1 22042 1 10 20150130 PDF
1 22042 1 10 20150130 PDF
ABSTRAK
ISPA merupakan masalah global kesehatan masyarakat dengan prevalensi dan beban
biaya kesehatan yang tinggi. Di Puskesmas Sukasada II, ISPA merupakan penyakit
terbanyak yang datang ke puskesmas Sukasada II sebesar 3,091 pasien pada tahun 2013
dan 1,452 pasien dari bulan Januari - Juni 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola pemberian antibiotik pada pasien ISPA bagian atas rawat jalan di
wilayah kerja Puskesmas Sukasada II pada bulan Mei – Juni 2014. Metode penelitian
yang digunakan adalah studi deskriprif cross-sectional dengan cara pengumpulan data
sekunder register dan rekam medis pasien ISPA yang berkunjung di Puskesmas
Sukasada II. Karakteristik sebaran kategori umur penderita ISPA di wilayah kerja
Puskesmas Sukasada II sebagian besar merupakan balita (46,5%) dengan prevalensi
tertinggi pada jenis kelamin laki-laki (52,8%) dan tertinggi di Desa Pancasari (54,2%).
Diagnosis ISPA diklasifikasikan dengan sebaran faringitis (41,7%), tonsilitis (25,0%) ,
rinitis (13,9%) , common cold ( 11,1%) dan sinusitis (8,3%). Pemberian antibiotik pada
pasien ISPA mencapai 93,8% dengan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah
kotrimoksasol, penoksimetil penisilin, amoksisilin dan siprofloksasin. Pemberian
antibiotik berdasarkan diagnosis pasien ISPA bagian atas masih ada yang belum sesuai
dengan pedoman pengobatan yang ditetapkan.
Kata kunci: ISPA bagian atas, karakteristik pasien, diagnosis ISPA, antibiotik.
1
PATTERNS ON ANTIBIOTICS GIVEN TO PATIENTS WITH
ACUTE UPPER RESPIRATORY TRACT INFECTION IN
SUKASADA II PRIMARY HEALTH CENTER THROUGHOUT
THE PERIOD OF MAY - JUNE 2014
ABSTRACT
Acute Respiratory Tract Infection (ARI) is a global health problem with high
prevalence and healthcare cost. In Sukasada II Primary Health Center (PHC), ARI is
one of the most common disease with a prevalence of 3,091 patients in 2013 and 1,452
patients from January to June 2014. The purpose of this study is to describe patterns of
antibiotics given to patients with upper respiratory infection in Sukasada II PHC
throughout the period of May to June 2014. The research method used is descriptive
cross-sectional study by collecting secondary data from registers and medical records of
patients who visit Sukasada II PHC. The highest category of age of patients whom
diagnosed with ARI is toddler (46.5%) with the highest prevalence in the male category
(52.8%) and highest in the Pancasari Village (54.2%). ARI diagnosis are classified into
few categories with prevalence of pharyngitis (41.7%), tonsillitis (25.0%), rhinitis
(13.9%), common cold (11.1%) and sinusitis (8.3%). Antibiotics were prescribed to
93.8% cases overall with most antibiotics used were Co-trimoxazole, Phenoxymethyl
penicillin, Amoxicillin and Ciprofloxacin. This study found that the antibiotics which
were prescribed to patients is not in accordance with the guidelines of upper ARI
treatment.
2
bagian atas termasuk ke dalam data 10 Tujuan dari penelitian ini adalah
penyakit terbanyak di Puskesmas untuk mengetahui pola pemberian
Sukasada II yang mencangkup 3091 antibiotik pada pasien ISPA bagian atas
kasus pada tahun 2013. di Puskesmas Sukasada II. Hasil dari
Penatalaksanaan pada penyakit penelitian ini diharapkan dapat
ISPA atas mencangkup pemberian memberikan informasi bagi tenaga
antibiotik dan pengobatan simtomatis. medis sehingga nantinya penggunaan
Pemberian antibiotik pada pasien ISPA antibiotik dapat sesuai dengan
bagian atas didasarkan pada pedoman pedoman.
pemberian antibiotik yang mencangkup
beberapa pertimbangan antara lain BAHAN DAN METODE
diagnosis, gejala klinis, pemeriksaan Penelitian dilaksanakan di Puskesmas
fisik, dan hasil dari pemeriksaan Sukasada II, Kecamatan Pancasari
penunjang. Antibiotik diberikan apabila Kabupaten Buleleng. Waktu
penyakit ISPA bagian atas tersebut pelaksanaan penelitian sepanjang
disebabkan oleh infeksi bakteri. Adanya periode Bulan Mei – Juni 2014.
penggunaan antibiotik yang tidak Rancangan penelitian yang digunakan
rasional dapat memberikan efek negatif, adalah studi deskriprif cross-sectional
antara lain meningkatkan pembiayaan dengan cara pengumpulan data
pengobatan, meningkatkan resistensi, sekunder register dan rekam medis
serta meningkatkan kemungkinan efek pasien ISPA yang berkunjung di
samping.1 Puskesmas Sukasada II.
Berdasarkan sumber penelitian Populasi penelitian ini adalah
sebelumnya, antibiotik hampir semua pasien ISPA bagian atas yang
diberikan pada 97,2 % pasien yang terdaftar pada register dan rekam medis
terdiagnosis ISPA bagian atas sebulan pasien ISPA bagian atas yang
dengan gejala klinis yang tidak khas berkunjung ke Poli Umum Puskesmas
seperti batuk (50 %), pilek (41 %), dan Sukasada II sepanjang periode Bulan
panas (45 %).4 Pada Puskesmas Mei – Juni 2014. Sampel pada
Pembantu Krakitan, Bayat, Klaten penelitian ini dilakukan secara total
antibiotik diberikan pada 97,2 % pasien sampling dengan kriteria sampel yang
ISPA bagian atas yang terdiri dari diikutsertakan dalam penelitian ini
amoksisilin (75%), kotrimoksasol seluruh pasien yang didiagnosis ISPA
(8,3%), dan cefadroxil (13,9%).4 bagian atas tanpa komplikasi yang
Pemberian antibiotik hampir selalu rawat jalan di Puskesmas Sukasada II
diberikan pada tiap pasien ISPA bagian sepanjang periode Bulan Mei – Juni
atas di Puskesmas Sukasada II. Rata- 2014.
rata pasien ISPA bagian atas yang Kriteria inklusi pada penelitian
diberikan antibiotik mencapai 90 - 95% ini adalah semua pasien yang
di puskesmas ini. terdiagnosa ISPA bagian atas yang
Tingginya pemberian antibiotik datang ke Poli Umum Puskesmas
pada pasien ISPA bagian atas di Sukasada II sepanjang periode Bulan
Puskesmas Sukasada II dan beberapa Mei – Juni 2014. Kriteria ekslusi
tempat lainnya memberikan suatu penelitian ini adalah Rekam medis
permasalahan. Permasalahan itu adalah pasien yang terdiagnosa ISPA bagian
kesesuaian pola pemberian antibiotik atas yang memiliki penyakit infeksi lain
pada pasien yang terdiagnosis ISPA atau memiliki alergi terhadap antibiotik.
bagian atas. Penelitian dilakukan untuk mengetahui
3
karakteristik demografi (jenis kelamin, berdasarkan nomor rekam medis pasien
usia, desa tempat tinggal), diagnosis, pasien yang terdiagnosis ISPA bagian
serta pola pemberian antibiotik. atas untu mendapatkan data diagnosis
Pengumpulan data pada yang lebih lengakap.
penelitian ini dilakukan dengan cara Analisis data kemudian
mencatat nomor rekam medis pasien dilanjutkan dengan cara deskriptif
yang terdiagnosis ISPA bagian atas dari menggunakan program SPSS versi 16.0
register harian di puskesmas. for Windows. Pada penelitian ini
Seterusnya dengan menggunakan dilakukan analisis univariat dan
nomor rekam medik tersebut, tim bivariat.
peneliti mencari rekam medis pasien
yang terdiagnosis ISPA bagian atas dan HASIL PENELITIAN
merekap data seperti nama, usia, jenis Karakteristik Subjek Penelitian
kelamin, desa tempat tinggal, gejala, berdasarkan Kelompok Umur
tanda klinis dan pengobatan dari rekam Berdasarkan data di atas, kelompok
medis pasien. Ketiga, tim peneliti umur yang paling tinggi mengalami
mengecek data diagnosa di komputer ISPA bagian atas adalah Balita sebesar
4
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian Gambaran Diagnosis
berdasarkan Jenis Kelamin Mengacu pada data yang didapatkan,
diagnosis ISPA bagian atas dapat
Jenis diklasifikasikan dengan sebaran
No Frekuensi Persentase
Kelamin common cold sebesar 11,1%, rinitis
1 Laki-laki 76 52,8 % sebesar 13,9%, faringitis sebesar 41,7%,
2 Perempuan 68 47,2 % sinusitis sebesar 8,3% dan tonsilitis
sebesar 25,0%.
Jumlah 144 100 %
5
Tabel 5. Gambaran Pemberian kotrimoksasol sebesar 76,5%, Pasien
Antibiotik pada Pasien ISPA yang terdiagnosis faringitis paling
bagian atas banyak diberikan antibiotik
kotrimoksasol sebesar 56,9%, Pasien
Jenis yang terdiagnosis sinusitis paling
No Frekuensi Persentase
Antibiotik banyak diberikan antibiotik
Penoksimetil kotrimoksasol sebesar 91,7%, Pasien
1 31 21,5 %
Penisilin yang terdiagnosis tonsilitis paling
banyak diberikan antibiotik
2 Siprofloksasin 5 3,5 %
penoksimetil penisilin dan
3 Amoksisilin 21 14,6 % kotrimoksasol yaitu sebesar 38,2 %.
6
kategori infeksi berat menurut World
Health Organisation.5
7
Soetjiningsih mengemukakan bahawa diagnosis yang terendah adalah sinusitis
kematian bayi dan malnutisi anak pria sebesar 8,3%.
lebih rentan sakit dibandingkan Menurut penelitian yang
perempuan.8 Anak laki-laki lebih suka dilaksanakan oleh Universitas
bermain di tempat yang kotor, berdebu, Indonesia, rinitis simpleks yang lebih
dan banyak bermain di luar rumah, dikenal sebagai selesma/koriza/common
sehingga kontak dengan penderita ISPA cold/flu/pilek, merupakan penyakit
lain yang memudahkan penularan dan virus yang paling sering terjadi pada
anak terkena ISPA. Hal ini sesuai manusia.9 Namun berdasarkan
dengan penelitian yang dilakukan penelitian ini, insiden faringitis
Dharmage pada tahun 1996, bahwa merupakan kasus yang paling tinggi di
kejadian ISPA lebih sering didapatkan Puskesmas Sukasada II.
pada anak laki-laki di banding anak Berdasarkan diagnosis, pada
perempuan.4 pasien yang terdiagnosis sebagai
Berdasarkan hasil penelitian common cold diberikan antibiotik yang
yang didapatkan, desa dengan terbanyak yaitu kotrimoksasol sebesar
persentase pasien ISPA bagian atas 50,0%. Antibiotik lain yang diberikan
yang paling tinggi adalah Desa berupa Penoksimetil penisilin dan
Pancasari sebesar 54,2% diikuti oleh amoksisilin, masing-masing sebesar
Desa di Luar wilayah kerja Puskesmas 25,0% dan 12,5%. Sisanya tidak
Sukasada II sebesar 20,8%, Desa diberikan antibiotik, yaitu sebesar
Wanagiri sebesar 15,3%, Desa 12,5%. Penggunaan antibiotik pada
Pegayaman sebesar 6,9%, Desa Gitgit pasien common cold, baik
dan Pegadungan dengan persentase kotrimoksasol, penoksimetil penisilin,
yang sama yaitu 1,4%. maupun amoksisilin yang berjumlah
Desa Pancasari merupakan desa total sebanyak 87,5%, tidak sesuai
dengan kasus dengan persentase pasien dengan pedoman pengobatan dasar
ISPA bagian atas yang paling tinggi di puskesmas tahun 2007, dimana
wilayah kerja Puskesmas Sukasada II dikatakan pada common cold tidak
karena daerah tersebut merupakan diberikan antibiotik karena pada
daerah dataran tinggi dengan hujan common cold etiologi terbanyak
yang tinggi tiap tahunnya, kurangnya disebabkan oleh virus. Pada common
paparan sinar matahari, dan dikelilingi cold, terapi diutamakan dengan
perbukitan. Semua faktor yang menggunakan obat simptomatis sesuai
dinyatakan tersebut menyumbang ke dengan keluhan yang dialami oleh
arah kelembapan udara di desa pasien. Selain itu common cold juga
Pancasari yang tinggi yaitu di antara biasanya akan sembuh dengan
77%- 82% dengan kisaran rata-rata sendirinya setelah 3-5 hari.10 Sehingga
78.4%. Selain itu, angka kejadian ISPA pemberian antibiotik pada pasien
tinggi di desa tersebut karena daerah common cold yang berjumlah sebanyak
tersebut merupakan daerah wisata 87,5% tidak memenuhi pedoman
dengan risiko polusi dari kendaraan. berdasarkan pedoman pengobatan dasar
Mengacu pada data yang puskesmas tahun 2007.
didapatkan, diagnosis ISPA bagian atas Pada pasien yang terdiagnosis
diklasifikasikan dengan sebaran terbesar sebagai rinitis, antibiotik terbanyak
faringitis sebesar 41,7%, tonsilitis yang diberikan yaitu kotrimoksasol
sebesar 25,0%. rinitis sebesar 13,9%, sebesar 65,0% (13 pasien dari 20 pasien
Common Cold sebesar 11,1% dan rhinitis). Antibiotik lain yang diberikan
8
antara lain amoksisilin dan serta adenopati servikal anterior.11 Pada
siprofloksasin, masing-masing sebesar rekam medis yang dicatat, tidak
15,0% dan 5,0%. Sebesar 15,0% (3 didapatkan adanya pencatatatan gejala
pasien dari 20 pasien) tidak diberikan yaitu eksudat tonsil dan juga adenopati.
antibiotik. Sehingga jumlah keseluruhan Selain itu pada sampel penelitian tidak
pasien rinitis yang diberikan antibiotik dikerjakan pemeriksaan laboratorium,
adalah 17 pasien (85,0%). Berdasarkan baik pemeriksaan RAT (Rapid Antigen
pedoman pengobatan dasar puskesmas Test) maupun kultur. Sehingga
tahun 2007, penyakit rinitis disebabkan pemberian antibiotik pada sampel yang
oleh suatu reaksi alergi terhadap serbuk menderita faringitis, yaitu dengan total
sari yang terdapat dalam udara. sebanyak 96,7%, tidak sesuai dengan
Sehingga dalam hal ini tidak pedoman pemberian antibiotik
dipergunakan antibiotik dalam berdasarkan CDC tahun 2012.
tatalaksana penyakit rinitis. Pengobatan Pada data yang diperoleh, pasien
utama dalam rinitis yaitu dengan yang terdiagnosis sebagai sinusitis
menggunakan obat simptomatis berupa terbanyak diberikan antibiotik berupa
antihistamin dan kadang dipergunakan kotrimoksasol sebesar 91,7%. Sisanya
pula dekongestan untuk melegakan diberikan penoksimetil penisilin yaitu
hidung.10 Sehingga berdasarkan data sebesar 8,3%. Sehingga seluruh pasien
yang diperoleh, hanya sebesar 15% (3 yang didiagnosis sinusitis diberikan
pasien) yang memenuhi pedoman antibiotik. Pada penyakit sinusitis,
pengobatan dasar puskesmas yaitu tidak terapi yang diberikan berupa
diberikan antibiotik. Sebagian besar dari dekongestan untuk mengurangi
pasien, yaitu sebanyak 85% tidak sumbatan, analgetik untuk mengurangi
memenuhi pedoman penatalaksanaan nyeri, serta antibiotik apabila
10
rinitis berdasarkan pedoman puskesmas disebabkan oleh bakteri). Penggunaan
tahun 2007 karena diberikan antibiotik. antibiotik pada sinusitis didasarkan
Pasien yang terdiagnosis sebagai pada ada atau tidaknya infeksi bakteri.
faringitis terbanyak diberikan antibiotik Penentuan infeksi bakteri ini
berupa kotrimoksasol, yaitu sebesar mempergunakan pendekatan klinis yang
55,0% (33 pasien dari 60 pasien meliputi : gejala menetap lebih dari 10
faringitis). Sisanya diberikan antibiotik hari, demam yang tinggi ≥39˚C, sekret
berupa penoksimetil penisilin, nasal, serta perburukan gejala.12 Adanya
amoksisilin, dan siprofloksasin masing- salah satu dari gejala ini
masing sebesar 21,7%; 16,7%; dan mengindikasikan penggunaan antibiotik
3,3%. Pasien yang tidak diberikan pada sinusitis. Pada rekam medis
antibiotik yaitu sebesar 3,3%. Sehingga sampel penelitian, tidak didapatkan
jumlah keseluruhan pasien faringitis adanya pencatatan terhadap gejala-
yang diberikan antibiotik adalah 58 gejala tersebut. Sehingga pada sampel
pasien (96,7%). Penggunaan antibiotik penelitian tidak dapat ditentukan
pada faringitis didasarkan pada ada atau sinusitis tersebut disebabkan oleh
tidaknya infeksi bakteri. Penentuan ada bakteri atau tidak. Jadi penggunaan
atau tidaknya infeksi bakteri dilakukan antibiotika pada sampel sinusitis yang
dengan cara pemeriksaan kriteria klinis berjumlah 100% tidak memenuhi
yang kemudian dilanjutkan dengan pedoman berdasarkan pendekatan
pemeriksaan laboratorium. Kriteria klinis.
klinis yang dipakai antara lain: riwayat Pada pasien tonsilitis, antibiotik
demam, tidak batuk, eksudat pada tonsil terbanyak yang diberikan berupa
9
kotrimoksasol sebesar 36,1%. besar merupakan balita dengan jenis
Antibiotik lain yang diberikan antara kelamin laki-laki dan tertinggi di
lain penoksimetil penisilin sebesar Desa Pancasari.
36,1%, amoksisilin sebesar 16,7%, 2. Dilihat dari diagnosis sebagian
siprofloksasin sebesar 5,6%. Sisanya besar pasien ISPA di wilayah kerja
tidak diberikan antibiotik, yaitu sebesar Puskesmas Sukasada II didiagnosis
5,6%. Sehingga jumlah keseluruhan dengan faringitis, tonsilitis, rinitis,
pasien tonsillitis yang diberikan common cold dan sinusitis.
antibiotik adalah 34 pasien (94,4%). 3. Dari gambaran pemberian antibiotik
Menurut pedoman, jika terdiagnosis pada pasien ISPA di wilayah kerja
sebagai tonsillitis yang disebabkan oleh Puskesmas Sukasada II cenderung
bakteri, maka diberikan antibiotik masih tinggi yang terbanyak
berupa amoksisilin 500 mg tiap 8 jam antibiotik yang digunakan adalah
selama 7 hari. Pilihan lain berupa kotrimoksasol, penoksimetil
antibiotik eritromisin.10 Pemeriksaan penisilin, amoksisilin dan
laboratorium dilakukan untuk siprofloksasin.
menentukan bakteri penyebab 4. Pemberian antibiotik berdasarkan
tonsillitis. Karena memerlukan waktu diagnosis pasien ISPA bagian atas
yang lama dan menghabiskan biaya, di wilayah kerja Puskesmas
maka dibuatlah kriteria klinis yang Sukasada II masih ada yang belum
dinamakan kriteria centor untuk sesuai dengan pedoman pengobatan
menentukan apakah tonsillitis yang ditetapkan. Ketidaksesuaian
disebabkan oleh bakteri atau tidak. itu meliputi jenis antibiotik dan
Kriteria centor mencangkup gejala: kesesuaian indikasi pemberiannya.
eksudat pada tonsil, limfadenopati
servikal anterior, tidak ada batuk, dan DAFTAR PUSTAKA
ada riwayat demam. Diperlukan 3 atau 1. Zoorob R, Sidani MA, Fremont RD,
lebih gejala untuk menegakan tonsillitis dan Kihlberg C. Antibiotic Use in
bakteri.13 Pada sampel penelitian, tidak Acute Upper Respiratory Tract
didapatkan adanya pencatatan gejala Infections. American Family
eksudat tonsil dan juga limfadenopati. Physician. 2012; 86(9): 817-22.
Hal ini menandakan bahwa kriteria 2. Meropol SB, Localio AR, Metlay
centor tidak dipergunakan dalam JP. Risks and Benefits Associated
penentuan pemberian antibiotik. Selain With Antibiotic Use for Acute
itu pada sampel juga tidak dilakukan Respiratory Infections: A Cohort
pemeriksaan laboratorium untuk Study. Ann Fam Med. 2013;11:165-
menentukan tonsillitis tersebut 172.
disebabkan oleh bakteri atau tidak. 3. Rasmaliah. Infeksi Saluran
Sehingga pemberian antibiotik kepada Pernafasan Akut (ISPA) dan
94,4% pasien tonsillitis belum dapat Penanggulangannya. USU Digital
dikatakan sesuai dengan pedoman. Library. 2004; 1-8.
4. Suyami S. Karakteristik Faktor
SIMPULAN Resiko ISPA pada Anak Usia Balita
Simpulan pada penelitian ini adalah di Puskesmas Pembantu Krakitan,
sebagai berikut: Bayat, Klaten. 2004.
1. Karateristik sebaran katergori umur 5. WHO. Infeksi saluran pernapasan
penderita ISPA di wilayah kerja akut (ISPA) yang cenderung
Puskesmas Sukasada II sebagian
10
menjadi epidemi dan pandemi.
2008; 1-44.
6. Imran L., Marjanis S, Mulyono W,
Djoko Y, Noenoeng R. Etiologi
Infeksi Saluran Pernafsan Akut
(ISPA) dan Faktor Lingkungan.
Buletin Penelitian Kesehatan.
1990;18(2); 26-34.
7. Kholisah N, Azharry MRS, Kartika
EB, Krishna A, Wibisana, Yassien,
dkk. Infeksi Saluran Napas Akut
pada Balita di Daerah Urban
Jakarta. Sari Pediatri.
2009;11(4):223-228.
8. Soetjiningsih.Tumbuh kembang
anak. Jakarta: EGC. 1995.
9. Citra Ayu EP. Faktor Resiko
Kejadian ISPA. Skripsi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI). 2009.
10. Depkes RI. Pedoman Pengobatan
Dasar di Puskesmas 2007. Dirjen
Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. 2007.
11. Centers for Disease Control (CDC).
Acute pharyngitis in adults. 2012
(Diakses: 15 September 2014).
Diunduh dari URL:
http://www.cdc.gov/getsmart/campa
ign-materials/info-sheets/adult-
acute-pharyngitis.html.
12. Chow AW, Benninger MS, Brook I,
Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks
LA, dkk. IDSA clinical practice
guideline for acute bacterial
rhinosinusitis in children and adults.
Oxford Journals. 2012.
13. NHS wirral antimicrobial guidelines
for the management of common
infections in primary care. Wirral
Primary Care Trust. 2013.
11