Disusun oleh :
Kelompok 2 C
1. Ade Nurhikmah 11171020000003
2. Ghina Syarifah 11171020000056
3. Hasna Dzakiyah M. 11171020000059
4. Rahmah Dinda P. 11171020000060
5. Fatimah Nur Fauziyah 11171020000062
6. Nadya Shafira 11171020000063
7. Aliya Zahra 11171020000065
8. Luna Septie Pramudita 11171020000066
9. Wulan Sari 11171020000069
10. Dili Ridho Amali Ikhsan 11171020000072
11. Listiani Oktaviana 11171020000075
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Enzim merupakan katalisator biologis yang bertanggung jawab untuk mendukung
semuareaksi kimia sel dalam mempertahan homeostatis. Katalisator dapat berupa enzim
maupunsenyawa bukan enzim yaitu berupa logam. Karena perannya dalam mempertahankan
proseskehidupan, pemeriksaan dan pengaturan obat-obatan yang mempengaruhi kerja
enzim menjadikunci utama dalam diagnosis klinis dan terapi. Komponen makromolekul
semua enzim adalah protein, kecuali kelas katalisator RNA yang disebut ribozim. Ribozim
merupakan molekul asam ribonukleat yang mengkatalis reaksi pada ikatan fosfodiester pada
RNA. Katalisator enzim berbeda dengan katalisator yang terbuat dari logam (Page, S. D.
2006). Dalam mengkatalis suatu reaksi enzim bersifaf sangat spesifik, sehingga meskipun
jumlah enzim ribuan di dalam sel-sel dan substratnya pun sangat banyak, tidam akan terjadi
kekeliruan. Apoenzim merupakan bagian enzim yang merupakan protein, mempunyai struktur
tiga dimensi. Bagian yang bukan protein disebut koenzim. Komoleks apoenzim dengan
koenzim disebut haloenzim. Sturktur tiga dimensi pada enzim tersebut sangat penting untuk
aktivitas katalis oleh karena itu perubahan konformasi yang sedikit saja pada struktur enzim
akan mempengaruhi aktivitasnya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang enzim, sifat warna,
danreaksi-reaksinya (Page, S. D. 2006).
II. Tujuan
Memperlihatkan kecepatan reaksi enzimatik sampai suhu tertentu sebanding dengan
kenaikan suhu, reaksi enzimatik mempunyai suhu optimum
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Enzim merupakan biokatalisator yang sangat efektif yang akan meningkatkan kecepatan
reaksi kimia spesifik secara nyata, dimana reaksi ini tanpa enzim akan berlangsung lambat
(Lehninger, 1995). Sifat-sifat istimewa enzim adalah kapasitas katalitik dan spesifisitasnya yang
sangat tinggi. Selain itu enzim mempunyai peran dalam transformasi berbagai jenis energi
(Winarno, 1986). Enzim disusun oleh untaian asam amino yang panjang dan antar asam amino
dihubungkan dengan ikatan peptida (Judoamidjojo dkk., 1992). Fungsi suatu enzim adalah
sebagai katalis untuk mempercepat proses biokimia yang terjadi didalam sel maupun di luar sel
(Poedjiadi, 1994). Kelebihan enzim sebagai katalis dibandingkan dengan katalis sintetik lainnya
antara lain: (1) enzim mempunyai spesifitas tinggi, (2) enzim bekerja secara spesifik, (3) tidak
terbentuk produk samping yang tidak diinginkan, (4) mempunyai produktivitas yang tinggi, (5)
produk akhir umumnya tidak terkontaminasi sehingga mengurangi biaya purifikasi dan
mengurangi efek kerusakan terhadap lingkungan (Chaplin, 2004).
Berdasarkan tempat bekerjanya, enzim dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu
endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim disebut juga enzim intraseluler, dihasilkan di dalam sel
yaitu pada bagian membran sitoplasma dan melakukan metabolisme di dalam sel. Eksoenzim
(enzim ekstraseluler) merupakan enzim yang dihasilkan sel kemudian dikeluarkan melalui
dinding sel sehingga terdapat bebas dalam media yang mengelilingi sel dan bereaksi memecah
bahan organik tanpa tergantung pada sel yang melepaskannya (Soedigdo, 1988).
Berdasarkan biosintesisnya, enzim dibedakan menjadi enzim konstitutif dan enzim
induktif. Enzim konstitutif adalah enzim yang selalu tersedia di dalam sel mikroba dalam jumlah
yang relatif konstan, sedangkan enzim induktif adalah enzim yang ada dalam jumlah sel yang
tidak tetap, tergantung pada adanya induser. Enzim induktif ini jumlahnya akan bertambah
sampai beberapa ribu kali bahkan lebih apabila dalam medium mengandung substrat yang
menginduksi, terutama bila substrat penginduksi merupakan satu-satunya sumber karbon
(Kurnia, 2010).
1. Mekanisme reaksi enzim
Terikatnya substrat pada sisi aktif enzim menyebabkan berubahnya keadaan
substrat sehingga berada dalam keadaan transisi dan akibatnya molekul substrat
4
mengalami perubahan konformasi transisi yang diperlukan agar dapt diubah menjadi
produk. Beberapa ion logam yang merupakan kofaktor juga membantu terjadinya ikatan
sustrat dengan enzim (Wheeler, 1994). Jika enzim telah melakukan pembentukan ikatan
antara enzim dengan substrat dengan membentuk molekul kompleks enzim substrat,
pembentukan molekul ini sangat dipengaruhi oleh bentuk sisi aktif enzim dan
kespesifikan substrat.
Menurut Shahib (2005) ada dua teori yang mendukung dalam penjelasan
pembentukan kompleks enzim substrat, teori pertama yang diajukan oleh Fisher yaitu
teori Kunci dan Gembok / “Lock and Key” yang menjelaskan bahwa adanya kespesifikan
enzim terhadap substrat tertentu yang bentuknya sesuai dengan sisi aktif enzim. Teori
kedua adalah teori yang diajukan oleh Koshland yaitu teori “ Induced Fit” yang
menjelaskan bahwa substrat akan menginduksi suatu perubahan bentuk sisi aktif enzim
sehingga dapat dengan mudah berikatan.
2. Penggolongan Enzim
Klasifikasi enzim secara internasional meliputi: nama golongan dan macam reaksi
yang dikatalisisnya (Wirahadikusumah, 1989). Menurut Poedjadi (1994), enzim yang
dibagi kedalam enam golongan tersebut digolongkan berdasarkan pada jenis reaksi yang
dikatalisis, keenam golongan enzim tersebut yaitu :
a. Oksido-reduktase
Enzim yang berperan dalam reaksi oksidasi-reduksi. Enzim yang termasuk
dalam golongan ini ada dua yaitu dehidrogenase dan oksidase. Contoh enzim
dehidrogenase yaitu : alkohol dehidrogenase dan glutamat dehidrogenase. Contoh
enzim oksidase yaitu : glukosa oksidase dan glisin oksidase
b. Transferase
Enzim yang berperan dalam reaksi pemindahan gugus tertentu. Contoh enzim
yang termasuk golongan ini adalah metiltransferase, hidroksimetiltransferase dan
aminotransferase.
c. Hidrolase
Enzim yang berperan dalam reaksi hidrolisis. Ada tiga jenis enzim hidrolase,
yaitu jenis yang memecah ikatan ester, memecah glikosida, dan yang memecah ikatan
5
peptida. Contoh enzim hidrolase yaitu esterase, lipase, amilase, aminopeptidase,
karboksipeptidase, pepsin, tripsin, dan kimotripsin.
d. Liase
Enzim yang termasuk golongan ini mempunyai peranan penting didalam
reaksi pemisahan suatu gugus dari suatu substrat (bukan cara hidrolisis) atau
sebaliknya. Contoh enzim golongan ini yaitu: dekarboksilase, aldolase, dan hidratase.
e. Isomerase
Enzim yang termasuk dalam golongan ini bekerja pada reaksi perubahan
intramolekular misalnya reaksi perubahan glukosa menjadi fruktosa. Contoh :
ribulosafosfat epimerase, dan glukosafosfat isomerase.
f. Ligase
Enzim yang berperan pada reaksi penggabungan dua molekul, oleh karenanya
enzim-enzim tersebut juga dinamakan sintetase. Ikatan yang terbentuk adalah ikatan
C-O, C-S, C-N, atau C-C. Contoh: glutamin dan piruvat karboksilase.
6
Perubahan pH dapat mempengaruhi asam amino kunci pada sisi aktif, sehingga
menghalangi sisi aktif enzim membentuk kompleks dengan substratnya (Page, 1989).
b. Konsentarasi Enzim
Kecepatan laju reaksi enzimatik berhubungan langsung antara konsentrasi enzim
dengan substrat (Orten and Neuhaus, 1970). Konsentrasi enzim secara langsung
mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzimatik, laju reaksi meningkat dengan
bertambahnya konsentrasi enzim (Poedjiadi, 1994).
c. Konsentrasi substrat
Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi substrat.
Kecepatan reaksi akan meningkat apabila konsentrasi substrat meningkat. Peningkatan
kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga tercapai suatu titik batas yang pada
akhirnya penambahan konsentrasi substrat hanya akan sedikit meningkatkan kecepatan
reaksi (Lehninger, 1982).
d. Aktivator dan inhibitor
Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator adalah
senyawa atau ion yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis. Komponen kimia
yang membentuk enzim disebut juga kofaktor. Kofaktor tersebut dapat berupa ion-ion
anorganik seperti Zn, Fe, Ca, Mn, Cu, Mg atau dapat pula sebagai molekul organik
kompleks yang disebut koenzim (Martoharsono dan Soeharsono, 1997).
7
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
Tabung Reaksi
Gelas ukur
Gelas beaker
Pipet gondok
Pipet tetes
Inkubator
Spektrometer UV-Vis
2. Bahan
III. Hasil
IV. Pengaruh Suhu terhadap Kecepatan Reaksi Enzim
SUHU (°C)
BAHAN
0 25 37 60 100
B U B U B U B U B U
Larutan pati (mL)
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Inkubasi pasangan tabung dari tiap suhu selama 1 menit pada suhu 37°C
Liur (diencerkan
- 200 - 200 - 200 - 200 - 200
100x)
Campurkan baik-baik (pati kedalam liur), kemudian inkubasi 1 menit
Larutan iodium
(untuk suhu 60°C
dan 100°C 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
dilakukan diluar
penangas) (mL)
Aquades (mL) 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
Baca serapan (A) tiap tabung pada λ = 680 nm
Keterangan : B = Blanko, U = Uji
PH
BAHAN 1 7 9
B U B U B U
Larutan pati dalam berbagai pH
1 1 1 1 1 1
(mL)
Inkubasi pasangan tabung pada suhu 37°C, minimal 5 menit
Liur (diencerkan 100x) (uL) - 200 - 200 - 200
Campurkan baik-baik, kemudian inkubasi 1 menit
Larutan iodium (untuk suhu 60°C
dan 100°C dilakukan diluar 1 1 1 1 1 1
penangas) (mL)
Aquades (mL) 8 8 8 8 8 8
Baca serapan (A) tiap tabung pada λ = 680 nm
Keterangan : B = Blanko, U = Uji
VI. Pengaruh Konsentrasi Enzim terhadap Kecepatan Reaksi Enzim
Pengenceran liur
BAHAN
100x 200x 400x 800x
9
B U B U B U B U
Larutan pati (mL) 1 1 1 1 1 1 1 1
Inkubasi pasangan tabung pada suhu 37°C selama 5 menit
Liur diencerkan - 200 - 200 - 200 - 200
Campurkan baik-baik, kemudian inkubasi 1 menit
Larutan iodium (mL) 1 1 1 1 1 1 1 1
Aquades (mL) 8 8 8 8 8 8 8 8
Baca serapan (A) tiap tabung pada λ = 680 nm
Keterangan : B = Blanko, U = Uji
10
BAB IV
I. Hasil Pengamatan
Pengaruh Suhu
0.25
0.2 0.2
Series1
0.15
V (∆A/menit)
0 oC
0.113
0.1 25oC
37oC
0.05 0.049 60oC
0.033
100oC
0
-0.009
0oC 20oC 40oC 60oC 80oC 100oC 120oC
-0.05
Suhu
11
2. Pengaruh Konsentrasi Enzim terhadap Kecepatan Reaksi Enzim.
2.1 Hasil Percobaan
Abs Abs V (∆A/menit)
Kadar Enzim
Blanko Sampel
100 x 0,236 0,004 0,232
200 x 0,274 0,087 0,187
400 x 0,260 0,168 0,092
0.15 Series1
100 X
0.1 200 X
0.092
400 X
0.05
0.034 800 X
0
0X 200 X 400 X 600 X 800 X 1000 X
Konsentrasi Enzim
12
7 0,804 0,807 -0,003 Ungu kebiruan
9 0,680 0,609 0,071 Ungu muda
Pengaruh pH
0.08
0.07 0.071
0.06
0.05 Series1
V (∆A/menit)
0.04 1
0.03 7
0.02 9
0.01 0.008
0
-0.003
0 2 4 6 8 10
-0.01
pH
II. Pembahasan
13
dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml, yang kemudian diinkubasi selama 5
menit pada suhu 0, 25, 37, 60, 100 C yang masing-masing suhu dibuat blanko dan uji.
Setelah diinkubasi larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi
kembali selama tepat 1 menit dan ditambahkan larutan iodium 1 ml dalam 8 ml aquadest
pada masing-masing tabung, untuk suhu 600 C dan 1000 C dilakukan di luar penangas,
perlakuan tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya bumping selama proses
pemanasan.
Setelah itu dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 680 nm, dan dihitung kecepatan reaksi enzimatik serta dibuat kurva yang
menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu. Berdasarkan data hasil pengamatan,
perubahan absorbansi per menit yang diperoleh dari absorbansi larutan blanko dan
absorbansi larutan uji dapat dilihat dari kurva dibawah. Adapun kurva hasil percobaan
memperlihatkan laju reaksi dari enzim semakin cepat seiring bertambahnya suhu ini
terlihat pada kenaikan suhu dari 0oC hingga 37oC namun ketika suhu mengalami
kenaikan hingga 60oC terjadi penurunan laju reaksi. Kedua keadaan ini diakibatkan oleh
benturan antara enzim dan substrat. Pada keadaan pertama yaitu 0oC hingga 37oC, telihat
peningkatan laju reaksi akibat adanya gerak termodinamik yang secara perlahan
membentuk produk dan pada titik optimum (suhu optimum) yaitu 37oC dapat dikatakan
membentuk secara sempurna karena enzim amylase yang merupakan enzim yang terdapat
tubuh memilki suhu optimum 37oC. pada keadaan kedua yaitu suhu mengalami kenaikan
hingga 60oC, pada keadaan ini perbenturan antara enzim dan substrat terus berlangsung
namun keadaan ini tidak menambah laju reaksi namun mengurangi laju reaksi ini
disebabkan karena enzim mengalami denaturasi sehingga bangun tiga dimensinya
berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin
besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi substrat untuk
menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-S akan
sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit dan ini terlihat ( Mohamad Sadikin,
2002 ) dari kurva laju reaksi yang semakin menurun.
2. Pengaruh pH Terhadap Reaksi Enzim
Faktor-faktor yang memengaruhi kerja enzim salah satunya pH. Tujuan praktikum
ini untuk membuktikan bahwa keasaman (pH) memengaruhi kecepatan reaksi enzim.
14
Pengaruh pH berkaitan dengan terjadinya aktivitas enzim yang maksimal pada pH
optimum, sedangkan diatas dan dibawah pH optimum aktivitas enzim mengalami
penurunan. Di sekitar pH optimum, enzim mempunyai stabilitas yang tinggi, sedangkan
bila diatas atau di bawah pH optimum kestabilan enzim menurun. Enzim bersifat
amfolitik, yaitu enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus
basa, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan gugus terminal amino.
Perubahan aktivitas enzim akibat perubahan pH disebabkan oleh perubahan ionisasi
enzim, substrat atau kompleks enzim-substrat. Ketika pH lingkungan berubah, struktur
tiga dimensi protein akan terganggu dan perubahan pH yang ekstrim akan menyebabkan
denaturasi protein (Whitaker, 1996).
Pada uji ini, disediakan tabung 6 reaksi yang berisi amilum dengan pH 1,7, dan 9
pada tiap 2 tabung reaksi. Tiga tabung digunakan sebagai blanko, dan tiga lainnya
digunakan untuk uji. Pada tabung uji ditambahkan air liur yang telah diencerkan 100x.
Air liur berfungsi sebagai enzim amilase, sedangkan pati sebagai substrat. Amilase
merupakan enzim yang mengkatalis pemecahan pati menjadi gula yang lebih sederhana
yaitu maltose. Glukosa dan dextrin. Aksinya dengan memecah ikatan α-1,4 glikosida
antara molekul amilosa dan amilopektin pada pati. Kemudian penambahan larutan iod
Hubl untuk menunjukan adanya pati dalam sampel. Larutan pati akan bereaksi dengan
iod membentuk warna biru, Sebelum dilakukan proses spektroskopi UV-Vis, sampel
ditambahkan aquades dengan tujuan agar sampel tidak terlalu pekat dan dapat dibaca oleh
UV-Vis. Pada hasil praktikum yang diperoleh, warna larutan pada blanko lebih pekat dari
warna larutan uji, hal tersebut menunjukan bahwa pada larutan uji terjadi reaksi enzimatis
yaitu enzim amilase menghidrolisis pati. Namun didapatkan hasil larutan pada tabung
dengan pH 7 lebih pekat dibandingkan dengan pH 9 dan kurva kecepatan reaksi dengan
absorbansi pada pH 1 yaitu 0.008, pH 7 justru menurun dengan V -0,003, dan V pH 9
yaitu 0.071. Sedangkan menurut literatur pH optimal enzim umumnya 4.5-8. Hasil yang
tidak sesuai dengan literatur dapat disebabkan beberapa faktor seperti kesalahan
praktikan pada saat penuangan atau penambahan pada saat pengukuran penambahan
larutan.
15
3. Pengaruh Konsentrasi Enzim Terhadap Kecepatan Reaksi Enzim
Selain suhu dan pH aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi enzim.
Praktikum pengaruh kadar enzim terhadap aktivitas enzim menggunakan larutan pati
sebagai substrat, sedangkan air liur yang mengandung amilase sebagai enzim. Praktikum
ini melihat pengaruh perbedaan konsentrasi amilase pada air liur (sebagai enzim) yang
bekerja pada larutan pati (substrat) terhadap aktivitas enzim itu sendiri. Perbedaan
konsentrasi enzim diperoleh dengan melakukan pengenceran pada air liur. Pengenceran
yang dilakukan di antaranya 100x, 200x, 400x, dan 800x. Selain itu, ditambahkan pula
hubl ( iodium) yang berfungsi sebagai larutan uji terhadap kandungan karbohidrat juga
dilakukan penambahan air suling untuk melarutkan semua zat-zat tersebut serta
mempermudah proses pembacaan serapan oleh spektofotometer dengan panjang
gelombang 680 nm.
Larutan pati dimasukkan ke dalam dua tabung yang berbeda, tabung B sebagai
blanko dan tabung U sebagai uji. Volume larutan pati yang dimasukkan ke masing-
masing tabung jumlahnya sama yaitu 1 ml. Setelah di inkubasi selama 1 menit pada suhu
37oC, pada tabung U ditambahkan air liur yang sudah diencerkan sebelumnya. Setelah
diinkubasi selama beberapa menit kemudian kedua tabung ditambahkan larutan iodium
yang berwarna biru. Pada tabung B yang tidak ditambahkan air liur, larutan menjadi
berwarna biru. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tabung B tidak terdapat peran
enzim. Sedangkan pada tabung U yang sebelumnya ditambahkan air liur, setelah
ditambahkan iodium larutan menjadi berwarna jernih. Hal ini menunjukkan bahwa di
dalam tabung U terdapat peran enzim. Enzim ini berfungsi sebagai katalisator
dalam proses pemecahan pati menjadi monosakarida. Hal ini menunjukkan bahwa air
liur yang mengandung amilase berfungsi sebagai enzim yang bekerja dalam larutan pati
sebagai katalisator proses pemecahan pati menjadi monosakarida.
Dari hasil percobaan pengaruh kadar enzim terhadap aktivitas enzim diperoleh
kecepatan proses pemecahan pati menjadi monosakarida berturut-turut adalah pada
pengenceran 100x, 200x, 400, 800x yaitu 0,232 ; 0,187 ; 0,092 ; 0,034 menit.
Kecepatan proses pemecahan pati menjadi monosakarida pada masing-masing tabung
berbeda-beda karena konsentrasi air liur yang ditambahkan juga berbeda. Dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa kecepatan terkecil terdapat pada tabung dengan air liur
16
yang diencerkan sebanyak 800x. Semakin tinggi konsentrasi enzim maka semakin tinggi
pula kecepatan reaksinya, begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi pengenceran, semakin
rendah kecepatan reaksinya.
Hal ini sesuai dengan teori, dimana pada tabung dengan pengenceran kecil
memiliki kecepatan reaksi yang paling tinggi. Peningkatan konsentrasi enzim akan
meningkatkan reaksi enzimatik dan dapat dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik
(v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim, semakin besar konsentrasi enzim maka
reaksi semakin cepat (Soewoto 2000). Dari kurva pada hasil pengamatan menunjukkan
bahwa reksi enzimatik pada percobaan ini stabil.
17
BAB V
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
Estien, Y., Lisda N. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. Yogyakarta (ID): CV Andi Offset.
Iman, H. 2005. Pengaruh pH terhadap Aktivitas Endo-1,4-β-Glucanase Bacillus sp. AR 009.
(Jurnal Biodiversitas Nomor 04 Volume 6). Bogor: Bidang Mikrobiologi, Pusat
Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.
Laloknam, S., et all. 2009. Detection of amylase activity from fruit and vegetables in an
undergraduate classrooms. As. J. Food Ag-Ind. 2009, 2(03), 381-390. ISSN 1906-3040.
Poedjiadi, A., Supriyatin, T. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI Press.
Poedjiadi, A. 2006. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI Press.
Putra, Ganda, dkk. 2007. Ekstraksi dan Karakterisasi Enzim Poligalakturonase Endojinus pada
Pulp Biji Kakao. Malang: Universitas Brawijaya.
Sadikin, M. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta (ID): Widya Medika.
Setiasih, S. 2006. Karakterisasi Enzim α-Amilase Ekstrasel dari Isolat Bakteri Termofil SW2.
Jurnal Kimia Indonesia. Volume 1 (1) :22-27.
Soewoto, H., dkk. 2000. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta (ID): Widya Medika.
Suarni., Rauf, P. 2007. Potency of Mung Bean Sprout As Enzyme Source (α-amilase). Indo. J.
Chem. 2007, 7 (3), 332-336.
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan
Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta (ID): EGC.
Whitaker, J. R. 1996. Enzymes. In O. R. Fennema (Ed.). Food Chemistry. 3rd Edition. Maecel
Dekker, Inc., New York.
Williamson, KL., Fieser, FL. 1992. Organic Experiment 7th Edition. United States of America:
DC Health and Company.
19