Anda di halaman 1dari 25

CRITICAL BOOK REVIEW CBR HUBUNGAN

DINAMIKA KELOMPOK ANTAR KELOMPOK


DAN GERAKAN SOSIAL

SKOR NILAI :

Disusun Oleh ;

Nama : Andreas Sitompul

Kelas : C Reg 2017

NIM : 3173322005

Matkul : Hubungan Antar Kelompok dan Gerakan Sosial

PRODI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga critical book review ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Adapun
tujuan dari critical book report ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Hubungan Antar Kelompok dan Gerakan Sosial.

Critical book report ini tentu tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Penulis mengungkapkan terima kasih kepada dosen Pembimbing yang telah
memberikan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa critical book review ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapakan adanya kritik dan saran yang membangun agar
critical jurnal review ini jauh lebih baik.

Medan, Oktober 2018

( )
BAB 1PENDAHULUAN

1.1.Rasionalisasi Pentingnya Critical Book Report

Sering kali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan
pahami.Terkadang kita memilih satu buku,namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya
dari segi analisis bahasa dan pembahasan. Oleh karena itu, penulis membuat Critical
Book Report ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih buku referensi,terkhusus
pada dinamika kelompok.

1.2.Tujuan Penulisan Critical Book Report


Critical book report ini disusun bertujuan untuk:

a) Penyelesaian tugas individu pada mata Kuliah hubungan antar kelompok dan gerakan
sosil program studi S1 pendidikan antropologi Universitas Negeri Medan.
b) Menambah wawasan mahasiswa dalam menggali informasi dan menganalisis,
terkhusus dalam materi dinamika kelompok
c) Meningkatkan kemampuan nalar dan berpikir kritis dalam mencari informasi.
terkhusus dalam materi dinamika kelompok.

1.3.Manfaat Penulisan Critical Book Report


Secara sederhana, penulisan critical book report memiliki beberapa manfaat sebagai
berikut:

a) Merangkum gagasan yang dituangkan di dalam buku, terkhusus dalam materi


dinamika kelompok
b) Menemukan kelebihan dan kekurangan dari buku tersebut dengan melakukan analisis
secara sederhana.
c) Melatih kemampuan berpikir kritis analitis serta menuangkannya kembali dalam
gagasan tertulis.
1.4. Identitas Buku Yang Di Report
Judul : Dinamika Kelompok

Penulis : Drs. Abu Huraerah, M.Si., Drs. Purwanto, M.Si.

Penerbit : PT. Refika Aditama

Kota terbit : Bandung

Tahun Terbit : April 2005

ISBN : 979-3304-51-0
BAB II RINGKASAN BUKU

Buku Utama : BAB 1 KONSEP KONSEP DASAR MENGENAI KELOMPOK

A. Pengertian kelompok

Pengertian kelompok. Para ahli membahasa dari sisi yang berbeda. Adapun
sudut pandang tersebut antara lain meliputi pandangan yang mendasarkan pada:
Persepsi,motivasi,tujuan kelompok,organisasi kelompok,interdependensi,dan
interaksi.

1. Pengertian kelompok berdasarkan persepsi

Seperti yang kita ketahui smith bahwa kelompok adalah sebagai satu unit
yang terdiri dari sejumlah orang yang memiliki persepsi kolektif,mengenai
kesatuan mereka,dan yang memiliki kemampuan untuk bertindak dalam cara yang
sama terhadap lingkungan mereka(iskadar 1990:12). Sementara itu,balesa
mengatakan bahwa kelompok adalah sejumlah individu yang berinteraksi dengan
sesamanya secara tatap mukaatau serangkain pertemuan,di mana masing masing
anggota tersebut saling anggota lain dalam suatu waktu.

Defenisi oleh smith maupun bales,memandang bahwa para anggota


kelompok diterima sebagai anggota kelompok dengan menekankan criteria/ukuran
tertentu, anggota terhadap kelompoknya dan ini menurutkan merupakan
kemungkinan. Bales menekankan segi persepsi individu sebagai anggota
kelompok berinteraksi dan saling menerima antar sesame anggota kelompok.

2. Penegrtian kelompok berdasarkan motivasi

Cattel mengatakan bahwa kelompok adalah kumpulan individu yang


dalam hubungan dapat memuaskan kebutuhan satu dengan yang
lainnya(iskandar,1990:12) sedangkan bass memandang kelompok sebagai
kumpulan individu yang berinterakasi sebagai kumpulan yang mendorong dan
member ganjaran pada masing masing.

3. Pengertian kelompok berdasrkan tujuan

Yang di mana mendasari pada pada motivasi. Seperti yang dilakukan mills
bahwa kelompok adalah suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih,dan
berada pada kelompok untuk satu tujuan dan mereka mempertimbangkan bahwa
kontaknya mempunyai arti (iskandar 1990:120).

4. Pengertian kelompok berdasarkan organisasi

Sedangkan pada psikologi tingkat analisis yang terendah adalah


individu.McDavid dan harari mengatakan kelompok adalah suatu system yang di
organisasikan pada dua atau lebih yang di hubungan antar anggotanya dan
memiliki sekumpulan norma yang mengatur fungsi kelompok dan setiap anggota.
5. Pengertian kelompok berdarkan inerdependensi

Pengertian kelompok dilihat dari saling ketergantungan (interdependensi)


ini adalah lewis mengatakan bahwa unsure unsure yang terkandung dalam sebuah
kelompok sebagai kelompok yang terkandung dalam sebuah kelompok yang
dinamika, yang saling ketergantungan masing masing anggota.

6. Pengertian kelompok berdasarkan pada interaksi

Boner megemukan kelompokm adalah sejumlah orang berinteraksi sama


lainnya, dan interaksi ini (proses interaksi) dapat di katakana kelompok adalah
sekumpulan orang berinteraksi yang satu dengan yang lain yang saling
mempengaruhi pada setiap anggota.

B. Ciri-ciri kelompok

1. Adanya motif yang sama

Yang dimana biasanya motif muncul dalam kehidupan yang


memperkokoh kehidupan kelompok yang biasanya timbul sense of
belonging(rasa penyatuh dalam kelompok)

2. Adanya sikap in-group dan out-grup

Yang di mana sekelompok manusia yang mempunyai tugas yang sulit


atau yang mengalami kepahitan hidupan yang pahit. Apabila anggota
kelompok mitu bertinggah laku sepeti mereka. Maka kelompok manusia itu
menujukan orang luat itu membuktikan kesedihan korban.

3. Adanya solodaritas

Solodaritas adalah kesetia kawanan Antar anggota kelompok sosial.


Solidarita yang tinggi dalam kelompok tergantung kepada kepercayaan setiap
anggota akan kemapuan anggota lain untuk melaksanakan tugas dengan baik.

4. Adanya srtuktur kelompok

Struktur kelompok adalah suatu system mengenai relasi antara anggota


kelompok berdasarkan perana dan status mereka serta sumbangan masing
masing dalam interaksi kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu .

Di dalam struktur kelompok kita jumpai :

a. Susunan kedudukan fungsional (tugas setiap anggota)


b. Susunan hierarkis antara anggota kelompok dengan harapan tugas dan
kewajiban yang di serahkan kepada anggota itu dapat di selesaikan dengan
wajar.
5. Adanya norma kelompok

Norma kelompok yang di maksud disni adalah pedoman yang


mengatur tinggah laku individu dalam satu kelompok. pada kelompok resmi
norma tinggah laku ini biasanya sudah tercantum dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga bahkan telah terjantum dalam undang undang untuk
bias mengetahuinya norma kelompok yang tidak tetulis.

C. Bentuk – bentuk Kelompok


1. Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder
Klasifikasi bentuk kelompokini di kemukakan oleh Charles Horton Cooley
(1864 - 1929). Menurutnya kelompok primer adalah kelompok yang di tandai ciri –
ciri kenel mengenal antara anggotanya serta kerja sama erat yang bersifat pribadi.
Contohnya, keluarga, kelompok sepermainan, rukun tetangga dan lain – lain. Atau
dapat dikatakan bahwa kelompok primer adalah kelompok – kelmpok kecil yang agak
langgeng (permanen) dan yag berdasarkan kenal mengenal secara pribadi antara
sesama anggotanya (Soekanto, 1989 :112-113).
Agar dapat diperoleh kejelasan mengenai teori Cooley tersebut, maka
dibicarakan hal – hal sebagi berikut :
a. Kondisi – kondisi fisik dari kelompok primer: Syarat yang penting adanya
kelompok primer (1) anggota – anggota kelompok secara fisik berdekatan dengan
yang lainnya (b) kelompok tersebut adalah kecil (3) adanya suatu kelanggengan
hubungan antara anggota – anggota kelompok yang bersangkuta.
b. Sifat hubungan – hubungan primer : kesamman tujuan dari individu – individu
tergantung di dalam kelompok, akan tetapi juga tidak terlepas dari unsur – unsur
kontrak, ekonomi, politik, hubungan kerja. Hubunga tersebut bersifat pribadi,
spontan, sentimentil dan inklusif.
c. Kelompok – kelompok yang konkret dan hubungan – hubungan primer :
kelompok primer, padanya kenyataanya tidak ada yang sempurna, memenuhi
syarat – syarat sebagaimana yang di jelaskan sebelumnya. Syarat tersebut
merupakan ukuran untuk dijadikan pegangan.

Kelompok sekunder, adalah kelompokbesar yang terdiri banyak orang antara


siapa hubungannya takperlu berdasarkan kenal – mengenal secara pribadi, dan
sifatnya juga tak begitu langgeng. Contohnya bangsa. Hubungan sekunder adalah
kontrak atau jual beli (Soekanto, 1986:117-118).
Interaksi dalam kelompok sekunder terdiri atas saling berhubungan yang tak
langsung, bejauhan dan formal, kurang bersifat kekeluargaan. Peran atau fungsi
kelompok sekunder dalam kehidupan manusia adalah untuk mencapai salah satu
tujuan tertentu dalam masyarakat dengan bersama, secara objektif dan rasional.

2. Gemeinschaft dan Gesellschaft


Gemeinschaf adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggota – anggotanya
di ikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat ilmiah serta bersifat kekal. Dasar
hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin juga bersifat nyata dan
organis, sebagimana dapat di umpamakan dengan organ manusia atau hewan.
Gesellschaft merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangkau waktu
yang pendek, bersifat sebagai suatu sikap dalam pikiran belaka serta strukturnya
bersifat mekanis sebagaimana dapat di umpamakan dengan sebuah mesin. Tonnies
mengatakan bahwa suatu Gemeinschaft mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu :
a. Intimate, artinya hubungan menyeluruh yang mesra sekali
b. Private, artinya hubungan bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa untuk
orang saja;
c. Ekslusive, artinya bahwa hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak
untuk orang – orang di luar “kita”.

Tonnies, didalam masyarakat selalu dapat di jumpai salah satu diantaranya tipe –
tipe Gemeinschaft yaitu:

a. Gemeinschaft by blood, yaitu gemain yang merupakan ikatan yang di dasarkan


pada ikatan darah atau keturunan.
b. Gemeinschaft of place, yaitu suatu Gemeinschaft yang terdiri dari organisasi yang
berdasarkan tempat tinggalnya sehingga dapat saling tolong – menolong.
c. Gemeinschaft of mind, yang merupakan suatu Gemeinschaft yang terdiri dari
orang – orang yang walaupun tidak mempunyai hubungan darah atau pun tempat
tingalnya tidak berdekatan, akan tetapi mempunyai jiwa dan pikiran yang sama.
3. Formal Group dan Informal Group
Kelompok Formal adalah kelompok – kelompok yang mempunyai peraturan –
peraturan yang tegas dan dengan sengaja di ciptakan oleh anggota – anggotanya untuk
mengatur hubungan antara kelompok, misalnya peraturan untuk memilih seorang
ketua, penmungutan uang, iuran da sebagainya. Seangkan kelompok informal tidak
mempunyai struktur dan organisasi yang tertentu atau yang pasti. Kelompok –
kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan yang berulang – ulang
menjadi dasar bagi pertemua kepentingan – kepentingan dan pengalaman –
pengalaman yang sama.
Terdapat pula pembagian kelompok sosial kedalam informal group dan formal
group, inti perbedaan disini ialah bahwa informal group itu tidak berstatus resmi, dan
tidak di dukung oleh peraturan – peraturan anggaran dasar dan anggran rumah tangga
tertulis, seperti pada formal group. Formal group juga mempunyai pembagian tugas,
peran – peran dan hirearki tertentu, serta norma pedoman tingkah laku anggotanya
dan konvensi – konvensinya hal ini tidak di rumuskan secara tegas dan tertulis seperti
pada formal group. Miftah Thoha dalam Yusuf (1998: 25) mengatakan bahwa 3 pola
dari kelompok yang pernah diteliti dalam bidang organisasi industri, yaitu:
a. Klik Mendatar (horizontal clique), anggota – anggota yang terbatas pada derajat
dan bidang kerja yang sama;
b. Klik Menegak ( vertical Clique ), orang – orang yang berbeda hiearkinya dalam
suatu kelompok.
c. Klik Acak ( random Clique), keadaanorang – orang yang berasal dari berbagai
derajat, tingkat, bagian dan lokasi.
4. Membership Group dan Reference Group
Membership Group adalah kelompok tempat seseorang menjadi anggota.
Reference Group adalah kelompok tempat seseorang mengindentifikasikan dirinya,
menyetujui norma – normanya, tujuan dan sikap individu di dalamnya. Perbedaan
Membership Group dan Reference Group menurut Robert K. Merton, Membership
Group merupakan kelompok dimana setiap orang secara fisik menjadi anggota
kelompok tersebut. Yang dipakai untuk menentukan keanggotaan seseorang pada
suatu kelompk fisik, tidak dapat dilakukan secara mutlak. Kelompok “bukan anggota”
dapat pula dibedakan beberapa kategori yaitu :
a. Anggota yang tidak memenuhi syarat.
b. Sikap terhadap keanggotaan kelompok
c. Kelompok terbuka dan tertutup
d. Ukuran waktu bagi bukan anggota.
Reference group adalah kelompok sosial yang menjadi ukuran bagi seseorang
(bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan prilakunya. Dengan
kata lain, seseorang bukan anggota kelompkk sosial yang bersangkutan,
mengidentifikasikan diri dengan kelompok tadi.

Robert K. Merton dengan menyebut hasil karya dari Harrold H. Kelly, Shibutani
dan Ralph. H. Turner mengemukakan adanya dua tipe umum dari Reference Group :

a. Tipe Normatif (normative Type) yang menentukan dasar – dasar bagi kepribadian
seseorang;
b. Tipe Perbandingan ( comparison Type) yang merupakan suatau pegangan bagi
individu d nilai kepribadiannya

Apabila teori reference group dihubungan dengan non-membership


sebagaimana di terapkan di atas, maka akan dapat di tarik beberapa kesimpulan :

a. Bukan anggotanya yang memenuhi syarat (disebut pula sebagai calon anggotanya)
mempunyai kecenderungan untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok,
dimana kemudian dia menjadi anggota.
b. Bukan anggota yang bersifat masa bodoh, tidak menganggap suatu kelompok
sebagai reference groupnya.
c. Bukan anggota yang tetap tidak ingin menjadi anggotanya tetapi menganggap
suatu kelompok suatu reference groupnya.
d. Perdedaan antara bekas – bekas anggota dengan orang yang buka anggota penting
bagi kenyataan bahwa pada umumnya bekas – bekas anggota tidak akan mampu
menganggap bekas kelompok sebagi reference groupnya, oleh karna pada
umumnya pengalaman keanggotaan mereka didasarkan pada kenyataan adanya
konflik antar kepentingan – kepentingan kelompok.

5. In-group dan out-group


In group adalah kelompok sosial yang mana individu mengidentifikasikan diri
nya, sedangkan out group adalah individu sebagai kelompok menjadi lawan “in-
group” dan sering di hubungkan dengan istilah “kami atau “kita” dan”mereka”
(Soekanto,1986 : 1010) .Sikap in-group pada umumnya di dasarkan pada faktor
simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok
sedangkan sikap out group selalu di tandai dengan suatu kelainan yang berwujud
suatu antagonism atau antipasti. (Soekanto,1986 :110-111).Disamping itu, menurut
Zastrow yang di kutip oleh edi Suharto (1997:276-282) dalam buku pembangunan,
kebijakan sosial dan pekerjaan sosial bahwa terdapat beberapa jenis kelompok yang
sering di gunakan sebagai media pertolonngan pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok percakapan sosial (Social Conversation Group)
2. Kelompok Rekreasi (Recreation Grooup)
3. Kelompok keterampilan Rekreasi (Recreation Skill Group)
4. Kelompok Pendidikan (Educational Group)
5. Kelompok Pemecahan masalah dan pembuatan keputusan
6. Kelompok mandiri
7. Kelompok sosialisasi
8. Kelompok penyembuhan
9. Kelompok sensitivitas

D. Teori Tentang Keinnginan Manusia Bergabung Dalam Kelompok

Teori yang di anggap sebagai teori awal dan sedarhana dalam melihat keinginan
manusia untuk bergabung dalam pengertian kelompok sebagaimana yang di jelaskan
Yusuf (1988:70-73) dengan mengutif beberapa ahli yaitu sebagai berikut, yaitu:

1. Teori kedekatan
Teori ini melihat segi kedekatan dalam pengertian spasial dan geografis
2. Teori yang mendasarkan pada aktifitas-aktifitas, interaksi-interaksi, dan
semtimen-semtimen(perasaan dan emosi). Ketiga elemen tersebut dijelaskan oleh
Miftah Toha dalam Yusuf (1988:71) adalah sebagai berikut:
a. Semakin banyak aktifitas seseorang yang dilakukan dengan orang lain,
semakin beraneka interaksi-interaksinya, dan juga semakin kuat juga
tumbuhnya sentiment-sentimen mereka
b. Semakin banyak interaksi diantara orang-orang, maka semakin banyak
kemungkinan aktifitas sentiment yang ditularkan pada orang lain
c. Semakin banyak aktifitas sentiment yang di tularkan pada orang lain maka
semakin banyak sentiment seseorang yang di pahami oleh orang lain, maka
semakin banyak kemungkinan di tularkannya aktivitas interaksi-interaksi
3. Teori keseimbangan
Teori inu menjelaskan bahwa seseorang tertarik pada orang lain, di dasarkan atas
kesamaan sikap dalam menanggapi suatu tujuan yang relefan satu dengan yang
lain.
4. Teori alasan praktis
Menurut teori ini kelompok-kelompok tersebut cenderung memberikan kepuasan
kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendasar dari orang berkelompok.

E. Pertumbuhan Kelompok

Milss menjelaskan bahwa pertumbuhan pengertiannya “Bukan penambahan


dalam keanggotaan” tetapi penambahan kapalibilitas-kapabilitas untuk
mempertemukan kemungkinan permintaan dalm tingkatan yang lebih luas.Dia
menyarankan seperangkat indicator pertumbuhan sebagai berikut:

1. Adaptasi
2. Pencapaian tujuan
3. Integrasi
4. Pola pemeliharaan dan perluasan

F. Norma Kelompok

Goldberg dan Larson menjelaskan bahwa norma-norma mengatur tingkah laku


anggota kelompok. Norma terdiri dari gambaran tentang bagaimana seharusnya
mereka bertingkah laku. Norma terbagi dalam pola-pola dan aspek-aspek yang dapat
di perkirakan dari kegiatan maupun dari segi pandangan kelompok. Para anggota
mempunyai norma “kejujuran” tinggi tentu akan bertingkah laku jujur terhadap satu
dengan yang lain dan mereka akan bersikap “ramah” satu dengna yang lain, jika ini
juga merupakan suatu norma kelompok (soemiati dan jusuf,1985:105).
Buku Pembanding : BAB I STUDI AWAL GERAKAN SOSIAL

1. Perspektif Studi Gerakan Sosial Lama


Munculnya studi gerakan sosial dalam berbagai perspektif dewasa ini terkait
dengan sejarah awal kajian yang dilakukan para teoretisi sosiologi gerakan sosial
sebelumnya. Untuk memahami dinamika dan perkembangan studi gerakan sosial
dimaksud maka selanjutnya pengenalan terhadap periodisasi awal studi gerakan sosial
lama atau yang biasa disebut juga tradisi klasik maupun neo klasik sangatlah penting
untuk diperhatikan dalam tulisan ini. Dalam pemetaan studi gerakan sosial periode
tersebut di atas, bahwa studi gerakan sosial lama telah mendapatkan penekanan lebih
utama pada unsur-unsur irasionalitas perilaku kolektif (collective behavior), maka
dengan sendirinya tidaklah mengherankan jika periodesasi ini oleh sejumlah analis
disebut juga sebagai periode klasik (McAdam, 1987; Mayer, 1991) atau periode
tradisional (McCarthy & Zald, 1979; Jengkins, 1982). Untuk diketahui bahwa pada
era tahun 1930-an dan memasuki era tahun 1960-an studi gerakan sosial difokuskan
lebih pada perspektif teori psikologi sosial klasik, termasuk juga sebagai reaksi
terhadap popularitas psikonalisis dan pengaruh “dunia nyata” Nazisme, Fasisme,
Stalinisme, tindakan main hakim sendiri misalnya dengan mengeroyok atau
membunuh, termasuk juga berbagai aksi kerusuhan yang berbau ras atau sara.
Menurut Robert Mirsel (2004:21) pada tahapan periodesasi pertama, teori gerakan
sosial meneliti asal-usul irasional dari setiap tindakan dalam sebuah gerakan yang
muncul di bawah beberapa pemikiran yang saling berhubungan seperti dalam
berbagai unit analisis kajian misalnya perkumpulan massal (mass society) dan
tingkahlaku kolektif (collective behavior).

2. Konteks Sosial Politik yang Melatarinya


Studi gerakan sosial periode klasik dan neo klasik (gerakan sosial lama), dapat
dikatakan mendapatkan pengaruh oleh ruang lingkup konteks historis dinamika
gerakan masyarakat yang berkembang luas saat itu terutama situasi sosial dan politik
yang sedang terjadi luas pada masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat. Lebih
jelasnya lagi bahwa hal itu terjadi persis pada masa rezimrezim pergerakkan anti
demokrasi dan represif telah menjadi kekuatan geopolitik utama di negara-negara
Barat. Perkembangan ini berlanjut memasuki Perang Dunia II, sebagai buah
militerisasi persaingan dan konflik antara tiga negara pergerakan, antar tipe-tipe
negara dan antar masyarakat yang terbentuk melalui pergerakan-pergerakan yang
telah mencapai kekuasaan dalam negara. Selain hal tersebut di atas, maka yang
mengiringi lahirnya kompetisi di antara negara-negara adidaya pada saat itu adalah
demokrasi pasar, negara pasar dan masyarakat pasar seperti Inggris Raya, Perancis
dan Amerika Serikat. Ketiganya terbentuk bersamaan dengan lahirnya kapitalisme
industri, kemenangan liberalisme dalam artian klasik yakni pemisahan antara negara
dengan masyarakat madani dan keberhasilan yang dicapai oleh gerakan-gerakan
nasional. Negara-negara tersebut di atas biasanya secara longgar dikelompokan
bersama sebagai apa yang lazim disebut Barat (West). Tipe kedua dari negara yang
terlibat dalam konflik itu adalah Uni Sovyet (Robert Mirsel, 2004:25). Negara
tersebut merupakan sebuah rezim yang juga lahir dari gerakan yang mau menguji
coba sosialisme di dalam sebuah negara. Kekuatan ketiga, adalah Aliansi Sumbuh,
yaitu aliansi yang terdiri-dari rezim-rezim pergerakan seperti fasisme di Jepang, Italia,
dan Nazi Jerman, bersama dengan para sekutu dan rezim-rezim bonekannya. Biasanya
dalam masyarakat-masyarakat semacam ini, ekonomi kapitalis dipadukan dengan
negara aktivis dan represif. Negara-negara yang meleburkan diri dan menjadi bagian
negaranegara sekutu yang telah memenangkan perang, yakni demokrasi pasar Barat
dan Uni Sovyet yang dipadukan dengan negara-negara komunisnya, tidak bisa
bertahan hingga berakhirnya konflik. Munculnya konflik antar pemenang perang
melahirkan bentuk Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir sejalan dengan lahirnya
konflik-konflik regional di Dunia Ketiga. Beberapa tahun setelah Perang Dunia II
berakhir, maka Negara Cina dan Eropa Timur terserap ke dalam blok komunis, dan
perang pun meletus di Semenanjung Korea. Lebih spesifik lagi, bahwa di
negaranegara pendukung utama masing-masing blok, orang-orang atau kelompok
maupun organisasi-organisasi yang dituduh sebagai pendukung pihak lain dibersihkan
atau disterilkan (genocide). Pembersihan ini umumnya lebih kejam dilakukan di
negaranegara komunis, kecuali Perancis dan Italia. Demikian halnya masalah
demokrasi pasar, juga melakukan penyingkiran terhadap partai-partai politik dan
gerakan-gerakan komunis dari arena politik seperti halnya negara-negara komunis
melakukan tindakan yang sama terhadap gerakan dan partai-partai borjuis. Selain itu,
pada pihak lain, tekanan historis lainnya terutama di Amerika Serikat adalah
munculnya berbagai fenomena sosial yang cenderung membentuk diri dalam sebuah
perilaku kerumunan (crowd behavior). Fenomena perilaku kolektif yang membentuk
diri dalam sebuah kelompok kerumunan (crowd), seperti halnya kerusuhan rasial dan
tindakan main hakim sendiri dengan sikap mengeroyok hingga saling membunuh
yang dilakukan oleh warga kulit putih terhadap warga kulit hitam seperti yang terjadi
di Chicago tahun 1919, St. Louis Timur 1917, Detroit 1943, dan terhadap warga
keturunan Meksiko di Los Angeles pada tahun 1943. Kenyataan suram tersebut telah
berlangsung lama dalam sejarah Amerika abad kedua puluh. Menjelang awal tahun
1930-an, ciri kebencian rasial dari Nazisme memberi sebuah konteks baru terhadap
tindakan-tindakan kekerasan semacam itu terutama khususnya di Amerika Serikat.
Tindakan-tindakan tersebut dilihat sebagai fenomena serupa yang lebih besar. Para
ilmuwan sosial merasa terdorong untuk memahami sisi irasional dan intoleran dari
perilaku kerumunan (crowd) tersebut di atas, guna memerangi rasisme dalam segala
bentuknya. Upaya-upaya inilah yang kemudian turut serta mempengaruhi perpektif
teoritik studi gerakan sosial neoklasik yang agak sedikit lebih mengalami kemajuan
dan perubahan yang cukup berarti, namun masih tetap dipengaruhi oleh bayang-
bayang perspektif psikologi sosial terutama pada aliran crowd tradisi klasik awal.
3. Konstruksi Pemikiran yang Mempengaruhinya
Dalam periode ini perspektif psikologi sosial umumnya sangat berkembang
pesat di sekitar benua Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di dalam melakukan studi,
teoritisi klasik itu mengawali asumsi yang negatif mengenai tingkahlaku kerumunan
(crowd), yaitu tingkahlaku yang merujuk pada suatu kolektivitas yang liar
(collectifities riotous) dalam berbagai dinamika gerakan (Rajendra Singh, 2010:113).
Berbagai asumsi tersebut dapat dilihat dalam beberapa karya besar yang lebih
dominan dipengaruhi para psikolog sosial klasik seperti, Gustav LeBon, The Crowd,
(1987), Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903), karya William Mac Dougall,
The Group Mind (1920), karya E.D. Martin, The Behaviour of Crowd (1929) dan
sebagainya. Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, bahwa pendekatan psikologi
sosial klasik terhadap penulisan gerakan sosial, lahir dari sejumlah sejarah pemikiran
besar yang lebih dismisif yaitu muncul dari gagasan besar Sigmund Freud dalam,
Group Psychology and the Analysis of the Ego, (1921/1959), yang berorientasi
teoritis pada psikologi kelompok yang kemudian bergema kembali khususnya pada
awal abad ke 20 di dalam karya Robert Park dan E. Burgess kemudian. Dalam kontek
itu, maka sesungguhnya Robert Park telah berjasa penting sebagai pengguna pertama
istilah “tingkah laku kolektif” (collective behavior). Tulisan Park bersama Burges
tersebut memperlihatkan adanya pengaruh Gustave LeBon dalam penggunaan
sejumlah konsep seperti sugestibilitas, ketularan (contagion), dan kepatuhan
kerumunan (crowd) kepada seorang pemimpin yang dipercayai dan dihormati. Selain
itu, mereka juga memperlihatkan bahwa tingkahlaku kolektif (collective behavior)
merupakan kekuatan besar yang dapat membawa perubahan Menurut Turner dan
Killian (1987) kesimpulan Park tersebut pada akhirnya mengemukakan bahwa
kerumunan (crowd) dan publik atau kelompok atau perkumpulan massa (mass
society) mengakhiri ikatan-ikatan lama dan membawa individu ke dalam jalinan
hubungan-hubungan sosial yang baru. Park dan Aliran Chicago lainnya memainkan
peran penting dalam menggeser bidang akademik sosiologi baru yang muncul dari
teori-teori berskala besar (grand theory), yakni teori-teori mengenai struktur dan
perubahan sosial, kepada studi-studi empiris berskala kecil yakni mengenai proses-
proses sosial. Dalam konteks pemikirannya itu, maka menurut Ritzer dan Goodman,
karena Park adalah murid Simmel maka kemudian gagasan Simmel tentang tindakan
dan interaksilah yang pada akhirnya menjadi instrumen penting dalam
mengembangkan orientasi aliran Chicago (George Ritzer dan Douglas J. Goodman,
2003:72). Dengan adanya pergeseran umum tersebut maka selanjutnya lahir pula
batasan pertama tentang cabang sosiologi tingkahlaku kolektif dan gerakan sosial
yang berorientasi bukan hanya kepada peranan gerakan-gerakan sosial di dalam
pembaharuan politik dan perubahan sejarah, melainkan juga kepada psikologi sosial
yang mempengaruhi faktor-faktor tingkahlaku kerumunan (crowd) di dalam
pembentukan sebuah gerakan sosial yang terjadi belakangan ini.
4. Berbagai Tema Kajian Awal Gerakan Sosial
Adapun unit analisis yang pertama diperhatikan para teoritisi awal dalam studi
gerakan sosial lama yaitu menyoroti interkoneksivitas perspektif psikologi sosial pada
berbagai bentuk perilaku individu yang diamati. Para peneliti perspektif ini telah
memusatkan perhatian mendalam mereka terhadap suatu pertanyaan dan asumsi yakni
mengapa dan bagaimana individu-individu menggabungkan diri dalam sebuah
gerakan, dan pada ciri-ciri yang khas yang membedakan individu-individu yang
terlibat pada sebuah gerakan dari mereka yang tidak terlibat. Dalam konteks gagasan
itu dikatakan bahwa kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat diteliti secara
empiris takkala mereka dialih bentukan ke dalam motivasi, predisposisi, dan
kecendrungan pribadi. Konsep mengenai kepribadian, merupakan cara yang
bermanfaat dan sahih guna memperlihatkan konsistensi di dalam motivasi, perilaku,
keyakinan dan predisposisi individu. Konsistensi ini kemudian, tetap terus bertahan
lintas waktu dan lintas peran-peran sosial yang terjadi.
Demikian juga halnya menyangkut persoalan ideologi serta yang menjadi
keyakinan para peserta terlibat dalam sebuah gerakan yakni adalah sistem
kepercayaan yang dibangun, adalah bersifat sekunder, dan lebih merupakan sebuah
elemen yang terdeterminasi ketimbang elemen penentu. Dalam konteks ini, maka
keyakinan-keyakinan para individu dibentuk oleh kepribadian, yakni oleh
kecendrungankecendrungan psikologis mereka atau juga oleh tekanan-tekanan mikro
informal (informal micro~pressures) di dalam lingkungan hidup pribadi para individu
saat itu. Dalam menilai pemikiran tersebut maka menurut Robert Mirsel, dalam teori
psikologi sosial (social~psikologycal theory), perilakuperilaku yang diperlihatkan
oleh para individu sebagai anggota suatu gerakan semacam itu, adalah kunci pokok
bagi studi mengenai keyakinan dan bukannya ide-ide mengenai sistem kepercayaan
sebagai sebuah sistem pemikiran yang abstrak (Robert Mirsel, 2004:32). Dalam
kajian teoritik pada tema dan unit analisa yang kedua adalah orientasi terhadap
perkumpulan massal (mass society theory). Kajian pada tema ini mengarahkan
perspektif studi gerakan pada suatu keadaan di dalam masyarakat. Di mana aksi-aksi
kolektif disebabkan oleh karena para individu disingkirkan dari kelompok-kelompok
sosial yang tetap dan membuatnya lebih rentan terhadap aksi-aksi protes atau
pengaduan-pengaduan di dalam sebuah gerakan kemasyarakatan. Analisis berfokus
pada penelitian bagaimana kondisi-kondisi individu seperti keterasingan (alienasi) dan
kondisi-kondisi kultural seperti ketakberaturan (anomie) berhubungan dengan
lahirnya sebuah gerakan sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakan-gerakan
kemasyarakatan, yakni bahwa gerakan-gerakan ini dipandang sebagai jawaban
terhadap hilangnya jangkar-jangkar tradisional, karena para individu yang terlepas
dari komunitasnya yang mapan kemudian mencari bentuk-bentuk komitmen bersama
yang baru. Demikian juga mengenai tema dan unit analisis ketiga studi gerakan sosial
yang melihat dari aspek teori tingkahlaku kolektif (collective behaviour theory).
Perspektif ini memandang bahwa fenomena-fenomena kelompok yang panik (panic
groups), kelompok histeris (hysterias) dan kelompok yang tingkahlakunya dengan
cepat sekali berubah-ubah (fads), dan tingkahlaku kerumunan (crowd behaviour)
berhubungan erat dengan pembentukan gerakan sosial dan kemungkinan besar
mewakili tahap-tahap awal pembentukan sebuah gerakan yang kemudian meluas dan
menetap dalam satu gerakan. Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil
menghasilkan apa yang dinamakan serta dilakukan oleh perkumpulan massal (mass
society) pada skala yang lebih luas (makro). Kolektivitas yang luas bersifat makro ini,
mencoba memisahkan individu dari keterikatan dengan kelompokkelompok primer
seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil seperti pada kelompok persekutuan-
persekutuan berdasarkan tempat tinggal dan serikat-serikat dagang. Selain itu, mereka
juga memisahkan individu dari hal-hal rutin biasa, termasuk dari tingkahlaku politik
yang konvensional. Dengan ini para individu tersebut lebih mudah menerima tekanan
(pressure) yang irasional. Kondisi-kondisi perkumpulan massal pada gilirannya itu
yang pada akhirnya membuat individu lebih gampang menerima tekanantekanan guna
mengambil bagian dalam tingkahlaku kolektivitas yang luas tidak sadar (collective
behaviour). Paradigma klasik dan neo klasik pada tindakan kolektif (collective
behaviour), khususnya neo klasik, tetap dominan hingga tahun 1970-an, sebagaimana
tema dan unit analisas di atas, baik yang merujuk pada studi tentang tingkahlaku
kolektif (collective behavior theory), maupun perkumpulan massal (mass society
theory). Tema-tema pada kajian tersebut, sama-sama masih memperlihatkan tindakan
kolektif yang merujuk pada cetakan konseptualisasi studi tentang crowd yaitu sebagai
kolektivitas yang liar (collectifities riotous), tindakan kolektivitas yang ckni
cenderung bertindak anarkis, brutal sadis dan juga kelompok yang perilakunya rentan
terhadap hal-hal yang menjadikan para anggota gerakan dapat melakukan apa saja
sesuai keinginannya dari berbagai tindakan yang irasional. Dalam tradisi klasik,
gambaran sosial tentang crowd adalah berupa kerumunan manusia secara kolektif
yang terdiri dari sejumlah individu-individu dalam ruang yang terbatas yang
merespon berbagai isu dan peristiwa sehari-hari dalam kepentingan umum. Crowd
tidak seperti yang digambarkan C.H. Cooley sebelumnya sebagai grup utama yang
berhadap-hadapan, melainkan lebih menyerupai kelompok massa atau tingkahlaku
kolektif yang saling merapat dan berdesak-desakan. Kelompok-kelompok yang
membentuk diri pada situasi tindakan berkerumunan (crowd), secara organisasi atau
kelembagaan menurut pendapat Rajendra Singh (2010:113) merupakan sebuah
kelompok yang bersifat sementara, tidak tetap, dan episodik. Dalam konteks itu, maka
manifestasinya adalah dalam bentuk kolektifitas-kolektifitas yang tidak
terlembagakan dan tidak terbudayakan secara teratur dan sistematis. Kelompok
pemikir sentral terhadap entitas crowd (kolektivitas yang liar) di atas, tidak dapat
disamakan dari sekumpulan manusia seperti misalnya bangsa, komunitas, kasta, kelas
kerena kelompok tersebut relatif stabil dan merupakan sekumpulan manusia yang
terlembagakan. Sebaliknya kolektivitas ini bukan merupakan kumpulan stabil
semacam itu. Para psikolog sosial sebelumnya biasanya membagi kegaduhan ke
dalam tipe pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok penonton dipinggir
jalan, para penonton pasif yang berkumpul karena keingintahuan untuk menyaksikan
berbagai peristiwa yang tidak biasanya, baik pemandangan atau suaranya. Menurut
Rajendra Singh (2010:114) meskipun crowd pasif tersebut memiliki kecendrungan
bisa berubah menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilakuperilakunya
kemudian menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial dan tindakan kolektif.
Demikian juga halnya, potensi crowd aktif tersebut selanjutnya terkadang mengambil
kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah tindakan huru-hara (mob) dan
kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang melanggar hukum
(lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling
bermusuhan atau sekelompok para perusuh yang memberontak dan agitasi pemogok
serta para pemrotes di jalan-jalan. Dalam psikologi sosial klasik tema tentang
persoalan huru-hara (mob), kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat
yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas massa haus
darah yang saling bermusuhan biasanya, didefinisikan sebagai perasaan gaduh dan
kesatuan mental. Maka dari itu tidak salah jika kemudian Gustave LeBon (1909:133)
menjuluki jenis kegaduhan tersebut sebagai plin plan (fickle) dan menghubungkannya
sebagai sejenis perilaku semborono yang irasional. Selanjutnya menurut Gustave
LeBon (1909:133) sebagai berikut : sejumlah mahluk hidup tertentu yang berkumpul
bersama, baik hewan maupun manusia, yang dengan insting menempatkan diri
mereka sendiri di bawah otoritas ketua, dan ketua biasannya direkrut secara khusus
dari sekelompok bawahan yang gugup secara tak wajar, mudah digerakkan, orang-
orang yang setengah tak waras yang berada dalam batas-batas kegilaan.
Dalam konteks yang sama, selanjutnya Edward Martin dalam karyanya
berjudul, The Behaviour of Crowd (1929) menyatakan bahwa crowd merupakan
situasi di mana orang-orang sebagai anggota kerumunan yang satu sama lain saling
menciptakan kebencian. Dalam situasi sosial semacam itu diasumsi bahwa orang-
orang yang berkelompok telah membentuk suatu kerumunan tertentu, pada dasarnya
telah menciptakan situasi atau suasana emosional yang panas dan cenderung tidak
terkendali terhadap pihak lawan. Menurut hasil pengamatan Edward Martin (1929:v)
intensitas emosional yang meluap dari setiap anggota kerumunan atas sumber masalah
yang dimunculkan, cenderung dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan
kolektivitas anarkhis yang sadis dan kejam.
Dengan demikian, bahwa dalam kebanyakan formulasi seperti misalnya yang
ditemukan dalam studi Gustave LeBon terdahulu, dikemukakan bahwa siapa pun bisa
membuktikan penekanan yang rentan terhadap crowd. Dalam konteks itu, menurut
pendapat James M. Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of Social
Movements (2007), dalam visi yang lain, orang-orang tertentu secara khusus terbuka
pada gerakan emosi yang kuat terhadap entitas crowd (James M. Jasper, 2007:58,
Bab 3). Demikian selanjutnya dalam pemahaman yang agak sedikit lebih maju, Eric
Hoffer dalam karya anumertanya berjudul The True Believer (1993) merumuskan
versi yang agak sedikit lebih populer pada masannya, yakni menggambarkan bahwa
para anggota gerakan itu tidak lain adalah sebagai seorang fanatik yang putus asa
yang diperlukannya untuk percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu yang
mengisolasikannya dari sosial. Para pengikut sejati dan setia, sang pemeluk yang
teguh, para pengikut yang fanatik (true believer) memunculkan gerakan-gerakan yang
didorong oleh dorongan batin bersama untuk melakukan suatu gerakan (Eric Hoffer,
1993:25). Selain itu, Eric Hoffer juga menilai bahwa orang-orang yang kurang
memiliki identitas stabil dan frustrasi, merasa kekosongan bathin, hidup merasa
tandus dan tidak aman, situasi ini yang kemudian menjadi penyebab seseorang itu
kehilangan kepercayaan diri mereka sendiri. Pengorbanan diri pada tindakan kolektif,
menurut Hoffer adalah massa yang terang-terangan tidak rasional, menarik orang-
orang yang miskin, orang-orang aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum
remaja muda yang ambisius, orang-orang yang berada dalam bayangbayang obsesi,
orang-orang yang bosan dan merasa bersalah dan lain sebagainya (Eric Hoffer,
1993:26). Memang sangat disadari bahwa pengaruh psikologi sosial terutama inti
konseptual mengenai formulasi gagasan tentang crowd sebagai suatu kolektifitas
manusia-manusia dalam kelompok yang liar, berhasil diformulasikan ke dalam
cetakan konseptual baru di dalam meneliti perilaku kolektif (collective behavior).
Oleh karena itu maka upaya inilah tidak serta merta menjadikan studi tentang crowd,
begitu saja menghilang dari pemikiran sosiolog neo klasik kemudian. Melainkan
orientasi terhadap crowd, masih tetap eksis dan diulang kembali, hal ini misalnya
dapat ditemukan dalam karya Norman Cohn yang begitu berpengaruh pada tahun
1970-an tentang, The Pursuit of Millennium: Revolutionary Millenarians and
Mystical Anarchists of the Middle Ages (1961), yang membicarakan fantasi dan
gerakan milenarian dalam artian ketidakmampuan menyesuaikan diri dan paranoia.
Norman Cohn menjelaskan bahwa seolah-olah unit-unit paranoia yang sampai saat ini
menyebar ke seluruh populasi mendadak bergabung membentuk entitas baru, yaitu
sebagai suatu fanatisme paranoid kolektif (Norman Cohn, 1961:312). Hal yang
sama juga ditemukan dalam studi Michael Adas sebelumnya tentang, Prophet of
Rebellion, Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order,
(1943), kajian ini lebih mengetengahkan pendekatan baru bagi penulisan sejarah
komparatif dan analisa gerakan protes sosial dengan menyajikan lima kajian kasus
(sejarah pemberontakan Pangeran Dipenogoro di Hindia Belanda, 18251830, gerakan
Pai Maire atau Hau-Hau di Kalangan Masyarakat Maori, Selandia Baru 1864-1867,
gerakan Birsa pada masyarakat Munda, Chota Nagpur, India tengah bagian timur
1899-1900, pemberontakan MajiMaji di Afrika Timur jajahan Jerman, 1905-1906 dan
gerakan Saya San di Birma, 1930-1932 ). Dalam penelitiannya itu, M. Adas justru
membangun sebuah konstruksi pemikiran dalam mempelajari hubungan antara
harapan milenarian dengan faktor kepemimpinan yang bersifat propetis dan protes
sosial secara kekerasan, walaupun gerakan itu sifatnya agak terbuka dan revolusioner
secara politik, namun memobilisasi menggunakan kekuatan dan pengaruh simbol-
simbol ritual budaya yang potensial (Michael Adas, 143:79). Demikian juga halnya
menyangkut usaha pengulangan eksistensi dan entitas crowd dalam cetakan baru
ditemukan juga dalam studi gerakan millenearisme India, misalnya dalam karya
Stephen Fuchs berjudul Rebellious Prophets, (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph,
dalam The Modernity of Tradition (1969), dan Robert Hardgraves, dalam The Nadars
of Tamilnad, (1969). Kesimpulan penelitian mereka ini, banyak menyoroti gerakan
Birsite yang bermaksud untuk menghidupkan kembali ide raja Munda, tapi penekanan
utamanya ada pada mobilisasi kekuatan simbol-simbol ritual dalam agama.
Penemuan-penemuan sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan penghargaan
pada diri sendiri dan status orang Munda dalam hubungannya dengan kelompok-
kelompok dataran rendah yang dominan. Birsa menyerang kegiatan keagamaan
animisme dari rakyatnya dan menekankan pada konsep Tuhan tunggal yang terbentuk
sebagai campuran konsep Hindu dan Kristen. Birsa juga menginstruksikan kepada
para pengikutnya agar memakai benang suci dari kasta-kasta tinggi dan menghentikan
makan daging, ikan dan makan lain yang berhubungan dengan kasta rendah atau
kelompok pariah. Namun yang lebih menarik di sini, bahwa walaupun simbol
keabsahan cenderung mengajarkan kedilan dan meningkatkan solidaritas di antara
orang-orang yang bergabung dalam gerakan tertentu, mereka juga dapat membenci
pengikut nabi itu di antara kelompok-kelompok yang dikolonisasi lainnya. Dengan
demikian, perspektif psikologi crowd dalam berbagai studi yang dilakukan telah
mengambil suatu entitas baru dalam perkembanganya. Evolusi konseptualisasi teoritik
psikologis sosial klasik inilah yang ditanggapi Erward P. Thompson dalam karyanya
The Making of the English Working Class (1981) menyatakan : orang meragukan
proses penggabungan semacam itu. Bagaimanapun, dengan adanya fenomena
semacam itu persoalan historis belum terpecahkan~mengapa kemarahan, inspirasi
atau bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung dalam gerakan berpengaruh hanya
dalam waktu-waktu tertentu dan dalam bentuk yang khusus.
Pandangan E.P. Thompson di atas, bertujuan menantang para teoritisi yang
melakukan studi gerakan sosial dan sekaligus juga ingin menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diajukannya. Menurutnya paradigma klasik aliran crowd dari
psikologi sosial tradisional mengalami versi yang agak lebih radikal untuk memberi
batasan pada kehancuran dirinya. Akan tetapi walau bagaimanapun bahwa yang kita
temukan di dalam berbagai studi belakangan, kecendrungan-kencendrungan crowd
mengulangi diri dalam disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan sebagainya)
dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan penjelasan lain yang lebih variatif
sifatnya dalam berbagai studi yang dilakukan. Masalah itu terjadi, bahwa
sebagaimana yang dikatakan Rajendra Singh karena tampilan perspektif crowd selalu
mendapatkan kekuatan dukungan data historis yang dikumpulkan secara lengkap dan
telaten, pada kurun waktu yang merentang mulai abad ke-18 sampai dengan abad ke-
20 dalam sejarah Perancis dan Inggris. Para sejarawan sosial telah berhasil
menerangkan crowd dalam cetakan konseptual baru bersama-sama, karya-karya
belakangan ini dapat kita temukan misalnya, penelitian Singha Roy dalam The Crown
in the French Revolution, (1959) dan The Study of Popular Disturbances in the Pre-
Industrial Age; Historical Studies, (1963), Lars Rudebeck, dalam When Democracy
Makes Sense, (1992), Charles Tilly, et.al dalam The Rebelious Century, 1830-1930,
(1975), dan E.P Thompson dalam The Making of the English Working Class, (1981)
dan sebagainya.Rajendra Singh, 2010:117).

Dalam perspektif analisa para sejarawan tersebut maka selanjutnya crowd


diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan suatu alasan untuk ada, dan suatu
peran untuk bertindak dalam sejarah. Berdasarkan bukti dalam hasil penelitiannya
tentang sejarah Perancis dan Inggris, George Rude menyatakan bahwa crowd
bukanlah abstraksi tidak berwujud, melainkan ia terdiri dari orang-orang. Dalam
konteks, analisanya terhadap data sejarah tersebut, ia membedakan antara gejolak
masyarakat pra industri dengan masyarakat industrial dalam masyarakat di dunia
negara itu. Menurutnya gejolak pra industri dicirikan oleh kerusuhan pangan (foot
riots), gerakan milenarian, dan pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan
gejolak industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan pertemuan massa
publik berjangkauan ke depan. Singkat kata, dalam menanggapi keberadaan entitas
crowd yang tidak berkewajahan tersebut maka George Rude (1964:194) kemudian
menyatakan sebagai berikut : peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa
di Inggris, kecendrungan khusus para pemintal dan penambang untuk menghancurkan
mesin dalam pertikaian industrial di Inggris,...bagian yang dimainkan kaum
perempuan dalam perjalanan tertentu Revolusi Perancis,.peran petani dan buruh tani
dalam kerusuhan (riot) pedesaan Inggris..dan seterusnya. Berdasarkan contoh dalam
beberapa studi di atas, menunjukkan bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd terkait
erat dengan komposisi unsur-unsur seperti; sosial, pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain
sebagainya yang turut mempengaruhinya. Meskipun crowd berperilaku berbeda
dalam situasi yang tidak sama, ada beberapa elemen yang serupa seperti penggunaan
aksi langsung dan penerapan keadilan alamiah.
Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk, wajah, tipe aksi crowd
selama selama abad ke 18 dan 19 tak meragukan lagi membuktikan bahwa konstruksi
perspektif teori psikologi sosial klasik mengenai orientasi pada crowd sebagai entitas
wajah yang gampang berubah dan mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai
situasi dan kondisi sosial yang ada. Dengan demikian, maka perspektif seperti itu
sudah tidak memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan, tendensius dan
mungkin agak keliru. Namun harus diakui, atas kekurangan perpektif psikologi
sosial atas crowd, telah mendorong penemuan berbagai tipe letupan kolektif non
institusional seperti revolt dan riot. Dan peran aksi-aksi individual dan kolektif itu,
yang dalam konteks ini pun masih ditemukan tipe-tipe individu yang berkerumun,
mengelompok bahkan dalam bentuk aksi individual sekalipun dan sebagainya. Dalam
beragam bentuk, aksi dan tindakan individu dapat terjadi dalam upaya menentang
situasi sosial dalam berbagai isu yang berkembang misalnya nilai, praktek, tindakan
dan perilaku. Termasuk iven-iven yang dapat memancing kemarahan dan emosi
kolektif atau setidak-tidaknya sebuah perlawanan (resistance) dan protes individual
atau kelompok tertentu dalam menentang situasi dan struktur kehidupan yang
dominatif dan marginalitatif.
BAB III PEMBAHASAN

A. Konsep – Konsep Yang Digunakan Dalam Buku

konsep dari buku ini adalah tentang kelompok yang dimana pertama kali
memberikan materi tentang konsep – konsep dasar mengenai kelompok, aspek
dinamika kelompok, unsur – unsur dinamika kelompok, kepemimpinan dalam
kelompok dan pengembangan kelompok usaha agribisnis terpadu dalam kehidupan
petani di pedesaan model pendekatan praktek.

B. Teori – Teori yang Digunakan dalam Buku


Teori – teori yang digunakan dalam buku Dinamika Kelompok adalah :

1. Teori kedekatan, menganggap seseorang berhubungan denga orang lain karena


adanya kedekatan ruangan dan daerah.
2. Teori aktivitas – aktivitas, interaksi-interaksi, sentiment-sentimen/perasaan atau
emosi (Menurut Homants). Ketiga elemen tersebut berhubungan satu sam lain
secara langsung, semakin banyak aktivitas seseorang yang di lakukan dengan
orang lain semakin beraneka interaksi nya dan semakin kuat tumbuh perasaan atau
emosi mereka.
3. Teori keseimbangan (a balance theory of group formation) dari Newcomb
Seseorang tertarik kepada yang lain di dasarkan atas kesamaan sikap dalam
menanggappi suatu tujuan yang relevan satu sama lai. Teori iini menekankan pada
aspek psikologis dalam proses pembentukan kelompok.
4. Teori alasan praktis (pratical teori) dari reitz
Menekankan pada motif atau menelah maksed orang berkelompok, mengacu pada
teori kebutuhan Maslow.
5. Robert Mirsel (2004:21) pada tahapan periodesasi pertama, teori gerakan sosial
meneliti asal-usul irasional dari setiap tindakan dalam sebuah gerakan yang
muncul di bawah beberapa pemikiran yang saling berhubungan seperti dalam
berbagai unit analisis kajian misalnya perkumpulan massal (mass society) dan
tingkahlaku kolektif (collective behavior).
C. kelebihan dan kekurangan buku

 Dilihat dari aspek tampilan buku, buku utama yang direport memiliki tampilan yang
menarik, dimana pada bagian sampulnya disertai dengan gambar yang sesuai
dengan judul. Sedangkan pada buku kedua atau buku pembanding juga memiliki
gambar tetapi gambar nya menurut saya tidak sesuai dengan judulnya
 Dilihat dari aspek tata letak tulisan, buku utama ini memiliki tata letak tulisan yang
rapi,dan di awal paragraph di majukan kedepan sehingga dapat memudahkan
pembaca untuk membaca buku ini. Sedangkan pada buku kedua tidak memiliki
tulisan yang rapi dan pada tulisan juga banyak sekali kata-kata yang terputus.
 Pada buku utama Penggunaan kata-kata yang mudah dipahami, memudahkan
pembaca untuk memahami makna yang tersirat dalam buku tersebut. Sedangkan
pada buku kedua bahasanya sulit untuk dipahami, dan banyak menggunakan bahasa
inggris, sehingga jika seorang pembaca yang tidak paham dengan bahasa inggris
akan sulit untuk memahami.
 Pada buku utama memiliki glosarim sedangkan buku pembanding tidak memiliki
glosarium, sehingga saya sebagai pembaca merasa terbantu jika menemukan kata-
kata yang baku atau tidak di mengerti bisa di lihat di glosarium.
 Dari segi jenis kertas, menurutsaya kertas pada buku kedua lebih baik dari pada
buku utama, karena buku kedua menggunakan kertas bewarna putih sedangkan
buku pertama menggunakan kertas bewarna coklat.

D. Kontribusi buku terhadap kompetensi yang ingin di capai dalam mata kuliah

Adapun kontribusi buku terhadap kompetensi yang ingin di capai dalam mata
kuliah adalah memberikan mahasiswa imformasi dan pemahaman akan kelompok dan
gerakan sosial, agar mahasiswa mampu mengumpulkan data – data konflik sosial
yang baik dan benar dalam hubungan antar kelompok dan gerakan sosial.

Anda mungkin juga menyukai