Oleh :
Dinda Tryana Sembiring (170600129)
1. Pengertian
a. Etika Profesi
Etika
diartikan sebagai ilmu kritis dan mendasar (radikal) tentang bagaimana manusia harus
hidup agar ia menjadi manusia yang baik sebagai manusia. Baik sebagai manusia, artinya
hidup dan perbuatannya dilihat dari motivasi, watak dan sifatnya, kejujurannya serta hati
nuraninya. Bisa juga dikatakan bahwa etika adalah sekumpulan nilai dan norma yang
menentukan perilaku manusia dalam hidupnya yang lahir dari hasil pemikiran manusia dan
dipandang sebagai sebuah kebenaran umum ( Sumber: Pendidikan Pancasila untuk
Mahasiswa, karangan Tim Nasional Dosen : halaman 178 )
Profesi
Pada dasarnya setiap profesi harus dipertanggung-jawabkan secara moral yaitu bahwa
seorang profesional menjadi lebih baik karena profesinya. Sedangkan Etika Profesi yang
Kristiani memiliki nilai khusus, yaitu nilai-nilai dan kebenaran yang terkandung dalam
Firman Allah. Maka aturan atau patokan dasar yang dipergunakan untuk menilai suatu
profesi adalah Firman Allah.
Jadi, etika profesi yang kristiani mewajibkan seorang profesional tidak hanya
menjadi manusia yang lebih baik, melainkan yang lebih baik, lebih benar, lebih adil
berdasarkan Firman Allah di dalam pelaksanaan dan pergumulan profesinya. Unsur
Firman Allah itulah yang menjadi dasar dan ciri khasnya sehingga etika profesi dapat disebut
Etika Profesi berdasarkan Nilai-Nilai Kristiani.
Etika Profesi terbagi atas dua, yaitu etika profesi pada umumnya dan etika profesi
luhur. Perbedaannya terletak pada motivasi yaitu bahwa etika profesi luhur dijalankan
karena motivasi pengabdian “sepi ing pamrih” (bahasa Jawa) tidak pertama-tama karena
motivasi imbalan atau upah. Artinya, dalam situasi tertentu, profesi tetap harus dijalankan
sekali pun tanpa upah dan bayaran.
Dikutip dari seorang moralis Katolik Dr. Bernard Kiesse, “……menurut keyakinan
orang dan menurut aturan kelompok (profesi luhur) para professional wajib membaktikan
keahlian mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani; tanpa menghitung
untung rugi……dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang professional
ialah bahwa Ia mengutamakan kepentingan sendiri diatas kepentingan klien. Keserakahan
atau pengobatan yang tidak perlu dilakukan adalah dosa dokter yang paling dicela.
Sebaliknya, dalam keadaan gawat darurat wajib melayani pasiennya pada setiap waktu siang
dan malam.
Semua orang setuju bahwa professional pantas mendapatkan imbalan atas jerih
payahnya, tapi bukan itu persoalannya, melainkan prinsipnya: Profesi itu dilaksanakan
bukan pertama-tama mengalir dari motivasi imbalan.
Seorang pembela hukum akan berjuang sekuat tenaga agar kliennya diloloskan dari
hukuman penjara, tapi bukan dengan menampilkan saksi-saksi palsu dan menipu hakim. Jadi,
etika profesi hukum menuntut agar orang yang menjalankannya, dalam keadaan apapun
menjunjung tinggi tuntutan profesinya.
Demikian pula misalnya, seorang dokter yang menghadapi kasus sulit. Pasien
meminta suntikan yang mematikan karna ia tidak mampu menahan rasa sakit (euthanasia). Ini
adalah kasus masalah moral yang cukup dilematis. Tetapi pada prinsipnya, dokter melalui
sumpah Hipokrates, mewajibkan dirinya selalu melindungi kehidupan.
Etika profesi luhur menuntut agar kewajiban profesinya tetap dipegang, meskipun
tidak sesuai dengan keinginan pasien. Dan itu merupakan prinsip dalam kode etik.
Dalam etika profesi ini, seorang profesional menjalankan profesi serta menghayatinya
secara sungguh-sungguh dan tulus serta mengimani campur tangan Allah yang tidak
meninggalkannya sendirian dan terlantar serta gagal. Ia harus mempercayai
penyelenggaraan Allah dalam pelaksanaan pekerjaan dan profesinya dan bahwa hidup
setia-taat pada firman Tuhan maka ia dan keluarganya akan hidup dan berbahagia.
Dengan demikian, pelaksanaan profesi secara jujur menjadi tempat manusia untuk
bekerja sama dengan Allah. Pekerjaan dan profesi menjadi panggilan sebagai “duta Allah
dan gambar Allah” (Imago Dei). Firman Tuhan “Baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita” (Kej 1:26) dan “....penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”(ay 28).
Artinya manusia harus menjadi subjek pekerjaan profesinya yang harus menaklukkan
dunia pekerjaan sehingga ia membawa misi sebagai partner Allah “Imago Dei”. Dengan
demikian, pekerjaan dan profesi serta segala apa yang dihasilkan dari praksis itu, seperti hak,
keuntungan, dan harta kekayaan tetap bersifat religius dan tidak pernah boleh lepas mutlak
dari Allah.
Arti dan makna hidup manusia terletak pada tugas menguasai dan menaklukkan
alam semesta yaitu bumi, sumber alam, teknik serta bahkan sarana-sarana produksi, hak,
keuntungan, dan harta kekayaan. Oleh karena itu, pekerjaan dan profesi tidak hanya
merupakan aspek tetapi merealisasikan hakekatnya sebagai Citra Tuhan.
Berdasarkan Ensiklik itu lebih lanjut mengatakan bahwa salah satu kekurangan di
zaman ini adalah masyarakat yang meningkatkan kemungkinan untuk “memiliki”, yang
adalah aspek paling menyedihkan dari peradaban kita serta kita tidak hanya memasuki
milenium baru tetapi juga akan menghadapi revolusi sosial yang tidak kalah hebatnya dengan
apa yang terjadi semasa revolusi industri.
Mahkota kehidupan adalah profesinya dan muara profesi adalah benar, adil dan baik.
Artinya jika profesi dilaksanakan, harus membuat manusia menjadi lebih baik, lebih benar
dan adil.. Dikatakan benar jika terdapat 2 keadaan yaitu pernyataan dan kenyataan sesuai atau
sama. Adil artinya memberikan apa yang menjadi hak orang lain atau pihak lain. Hak adalah
apa saja yang boleh dituntut dan diakui oleh Undang-Undang. Baik adalah jika suatu
perbuatan dilandasi oleh :
Sifat
Watak
Kejujuran
Motivasi
Suara Hati
Dengan perkembangan industri dan timbulnya kelas buruh, muncul suatu etika
golongan buruh yang mempersoalkan etika keuntungan, namun etika keuntungan tetap
mempertahankan kedudukannya sebagai motivasi dan daya pendorong bagi yang memiliki
modal. Kewajiban pemilik pabrik untuk menghasilkan untung dan menambah modalnya
merupakan motivasi utama yang menjalankan kemajuan industri. Keuntungan tetap menjadi
tolak ukur untuk menilai perkembangan produksi.
Dalam kutipan diatas, jelas bahwa harta milik dan kekayaan dihubungkan dengan
campur tangan dan penyelenggaraan Illahi. Dan harta yang diberikan oleh Allah bukan hak
milik yang mutlak dari manusia karena itu seperti tanah sebenarnya tidak boleh dijual karena
pemilik yang sesungguhnya adalah Allah. Kepemilikan manusia atas harta bersifat relatif,
yaitu selalu harus dikembalikan pada rencana Allah terhadap umat perjanjian. Dalam
rencana itu, Allah memberikan harta dengan tujuan yang jelas yaitu untuk meneguhkan
perjanjian. Artinya, makna hak atas harta dan kekayaan agar manusia semakin
menginsyafi dan menghayati hidup sebagai umat pilihan Allah yang dilimpahi oleh berkat
dan kelimpahannya.
Maka harta dan kekayaan memiliki nilai panggilan agar kita melihat campur tangan
dan kebesaran Allah didalamnya agar manusia semakin mewujudkan solidaritasnya terhadap
sesama. Tetapi kenyataannya, sekarang hak atas harta telah menjadikan manusia semakin
lepas dari hubungan dengan Allah. Manusia memandang harta sebagai hak milik yang sah-
sah saja yang dipakai untuk memperoleh keuntungan yang tidak lagi sesuai dengan rencana
Allah sendiri.
Pandangan hak milik modern yang kehilangan orientasi relegiusnya harus dikatakan
bahwa (Eka Darma Putra,2000,hal.55)
1). Makna hak milik atas harta adalah pemberian wewenang kepada manusia yang mesti
dilaksanakan dengan menaklukan diri kepada Allah.
2). Hak milik tak pernah mutlak
Adanya hak milik atas harta tidak pernah lepas hubungannya dengan Allah.
Manusia hanya menjadi “oikonomis” Allah, yaitu penatalayanan Allah.
b) Tidak benar juga bahwa keuntungan selalu sama dengan kekayaan. Ada beberapa
nilai materil yang tidak dapat diukur dengan uang. Contohnya adalah penghabisan
sumber daya alam, penghancuran lingkungan hidup, keselamatan konsumen dan
teristimewa kesejahteraan ekonomis dari mereka yang berada di luar jangkauan suatu
ekonomi tertentu.
Harta benda dalam Kitab Suci tidak dipandang secara 2 lisme. Artinya kitab suci tidak
memandang harta dan kekayaan itu rendah dan jahat kepada Allah dan kepada Mamon.
Prinsipnya jelas, yaitu kita harus mendahulukan Allah dan memanfaatkan harta
kekayaan dalam rangka pengabdian kepada Allah. Artinya, harta kekayaan akan
kehilangan maknanya yang terdalam jika justru harta hanya tertuju untuk mengejar
keuntungan.
Keuntungan telah menggeser peranan dan rencana Allah. Keuntungan telah menjadi
“dewa” eksistensi bisnis dan perusahaan. Praktek dan peradaban yang demikian telah
dikonstatir oleh Nabi Yehezkiel mengenai kota Sodom. Ternyata dosa sodom bukanlah
homoseks. Kami tidak menemukan ayat yang jelas menyatakan bahwa kota Sodom penuh
dosa karena praktek homoseks. Nabi Yehezkiel menyatakan bahwa mereka hidup hanya
untuk memuaskan nafsu mereka dengan hidup berlimpah-limpah bahkan sampai ke anak-
anaknya perempuan. Hal itu berbeda tipis, bahkan sama dengan prinsip perusahaan yang
hanya memburu keuntungan dengan semboyan mereka “business is business” dan “the goal is
one profits”.
Dampak paradigma berfikir kapitalis telah menembus dan merasuki kehidupan serta
peradaban zaman ini secara nasional dan internasional. Memang zaman globalisasi ini sangat
dijiwai paham kapitalisme yang “memboncengi’ ajaran nabi palsu. Artinya sistem dan
mekanisme yang semakin canggih dinegara berkembang (developing country) seperti
Indonesia dapat terjebak oleh pandangan “global industry”dan” global business” yang
akhirnya menindas rakyat miskin.
Kesimpulan
1. Para penyelenggara negara adalah figur-figur profesi, karena segala kiprah hidup dan
tindakan mereka harus berdasarkan etika profesi
2. Pandangan kapitalisme tentang hak, keuntungan serta harta/kekayaan tidak dengan
sendirinya melahirkan kelahiran sosial, bahkan mempelebar jurang ketidakadilan
3. Perwujudan keadilan sosial harus diperjuangkan atas dasar nilai kesetiakawanan dan
nasionalisme Indonesia serta ajaran kristiani
4. Dengan penghayatan profesionalitas serta penilaian terhadap hak, keuntungan akan
mendapatkan orientasi dan makna sesuai dengan firman Allah. Pandangan tersebut
akan menjiwai kehidupan manusia sebagai gambar Allah baik dalam individual
maupun kehidupan bebangsa
Daftar Pustaka
Mardiyanto, Yosep Didik Frater. 2014. Makna Kerja Menurut Laborem Exercens. Tersedia :
http:// Paroki-sragen.or.id ( diakses 21 September 2017 )
Taniredja, Tukiran. Dkk. 2016. Paradigma Terbaru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa.
Bandung : Alfabeta