Anda di halaman 1dari 11

ETIKA PROFESI DALAM IMAN KRISTIANI

Dosen Pembimbing : Drs. Benny M. Sembiring

Oleh :
Dinda Tryana Sembiring (170600129)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
I. Etika Profesi dan Nilai-Nilai Kristiani

1. Pengertian
a. Etika Profesi
 Etika
diartikan sebagai ilmu kritis dan mendasar (radikal) tentang bagaimana manusia harus
hidup agar ia menjadi manusia yang baik sebagai manusia. Baik sebagai manusia, artinya
hidup dan perbuatannya dilihat dari motivasi, watak dan sifatnya, kejujurannya serta hati
nuraninya. Bisa juga dikatakan bahwa etika adalah sekumpulan nilai dan norma yang
menentukan perilaku manusia dalam hidupnya yang lahir dari hasil pemikiran manusia dan
dipandang sebagai sebuah kebenaran umum ( Sumber: Pendidikan Pancasila untuk
Mahasiswa, karangan Tim Nasional Dosen : halaman 178 )

 Profesi

Profesi, pada umumnya diartikan adalah :

 Pekerjaan pokok, bukan sambilan


 Orang yang memiliki skill dalam pekerjaannya. Skill merupakan suatu
keahlian yang didapat dari pendidikan formal atau dari lembaga resmi
yang mengeluarkan surat resmi.
 Mendatangkan nafkah hidup atau memenuhi kebutuhan hidup.

b. Etika Profesi yang Kristiani


Etika Profesi, pada hakekatnya, mengutarakan bahwa seseorang profesional, entah
bidang apapun profesinya tetapi yang bernilai positif, harus membuat dirinya menjadi lebih
benar, lebih adil, lebih baik. Itu tuntutan moral etika profesi.

Pada dasarnya etika profesi mempunyai tiga prinsip, yaitu :

 Tanggung jawab : selalu bertanggung jawab dalam pelaksanaan pekerjaannya dan


terhadap dampak yang akan terjadi dari profesinya terhadap orang lain
 Keadilan : memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya tanpa membeda-
bedakan
 Otonomi : kaum profesi tetap memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya,
termasuk dalam mewujudkan kode etik profesinya ( Sumber: Pendidikan Pancasila
untuk Mahasiswa, karangan Tim Nasional Dosen : halaman 185 )

Pada dasarnya setiap profesi harus dipertanggung-jawabkan secara moral yaitu bahwa
seorang profesional menjadi lebih baik karena profesinya. Sedangkan Etika Profesi yang
Kristiani memiliki nilai khusus, yaitu nilai-nilai dan kebenaran yang terkandung dalam
Firman Allah. Maka aturan atau patokan dasar yang dipergunakan untuk menilai suatu
profesi adalah Firman Allah.
Jadi, etika profesi yang kristiani mewajibkan seorang profesional tidak hanya
menjadi manusia yang lebih baik, melainkan yang lebih baik, lebih benar, lebih adil
berdasarkan Firman Allah di dalam pelaksanaan dan pergumulan profesinya. Unsur
Firman Allah itulah yang menjadi dasar dan ciri khasnya sehingga etika profesi dapat disebut
Etika Profesi berdasarkan Nilai-Nilai Kristiani.

Etika Profesi terbagi atas dua, yaitu etika profesi pada umumnya dan etika profesi
luhur. Perbedaannya terletak pada motivasi yaitu bahwa etika profesi luhur dijalankan
karena motivasi pengabdian “sepi ing pamrih” (bahasa Jawa) tidak pertama-tama karena
motivasi imbalan atau upah. Artinya, dalam situasi tertentu, profesi tetap harus dijalankan
sekali pun tanpa upah dan bayaran.

Etika Profesi yang kristiani justru amat berkonsentrasi dengan motivasi


pengabdian dan pelayanan itu (Markus 10) dan karena itu etika profesi kristiani termasuk
ke dalam etika profesi luhur.

2. Tiga Prinsip Dasar Etika yang Kristiani

a. Mendahulukan Kepentingan Klien


Kewajiban Dasar etika profesi luhur pertama-tama agar profesi dilaksanakan “sepi ing
pamrih”, yang berarti kepentingan klien harus didulukan diatas kepentingan pribadi dan
kepentingan keluarga.

Dikutip dari seorang moralis Katolik Dr. Bernard Kiesse, “……menurut keyakinan
orang dan menurut aturan kelompok (profesi luhur) para professional wajib membaktikan
keahlian mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani; tanpa menghitung
untung rugi……dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang professional
ialah bahwa Ia mengutamakan kepentingan sendiri diatas kepentingan klien. Keserakahan
atau pengobatan yang tidak perlu dilakukan adalah dosa dokter yang paling dicela.
Sebaliknya, dalam keadaan gawat darurat wajib melayani pasiennya pada setiap waktu siang
dan malam.

Semua orang setuju bahwa professional pantas mendapatkan imbalan atas jerih
payahnya, tapi bukan itu persoalannya, melainkan prinsipnya: Profesi itu dilaksanakan
bukan pertama-tama mengalir dari motivasi imbalan.

b. Pengabdian pada Tuntutan Luhur Profesi


Disini bukan masalah kepentingan klien yang menjadi fokus perhatian utama,
melainkan keluruhan martabat profesinya itu sendiri. Artinya, seorang hakim tidak akan
membiarkan dirinya diselewengkan dari pengambilan keputusan yang sesuai dengan fakta
dan hukum karena tekanan dan kepentingan pihak manapun juga.

Seorang pembela hukum akan berjuang sekuat tenaga agar kliennya diloloskan dari
hukuman penjara, tapi bukan dengan menampilkan saksi-saksi palsu dan menipu hakim. Jadi,
etika profesi hukum menuntut agar orang yang menjalankannya, dalam keadaan apapun
menjunjung tinggi tuntutan profesinya.

Demikian pula misalnya, seorang dokter yang menghadapi kasus sulit. Pasien
meminta suntikan yang mematikan karna ia tidak mampu menahan rasa sakit (euthanasia). Ini
adalah kasus masalah moral yang cukup dilematis. Tetapi pada prinsipnya, dokter melalui
sumpah Hipokrates, mewajibkan dirinya selalu melindungi kehidupan.

Etika profesi luhur menuntut agar kewajiban profesinya tetap dipegang, meskipun
tidak sesuai dengan keinginan pasien. Dan itu merupakan prinsip dalam kode etik.

c. Prinsip Ketaatan pada Firman Allah


Legitimasi etika profesi yang kristiani justru diperoleh dari firman Tuhan sendiri.
Artinya, manusia harus hidup berdasarkan bimbingan rasionya yang telah dianugerahkan
Allah kepada manusia. Kemampuan itu baik dan harus dipergunakan oleh manusia. Akan
tetapi, pembenaran perbuatan manusia dalam profesinya sebagai orang Kristen harus di
jiwai oleh prinsip hidup yang “meta rasio” melampaui ratio, yaitu iman dan kepercayaan.

Dalam etika profesi ini, seorang profesional menjalankan profesi serta menghayatinya
secara sungguh-sungguh dan tulus serta mengimani campur tangan Allah yang tidak
meninggalkannya sendirian dan terlantar serta gagal. Ia harus mempercayai
penyelenggaraan Allah dalam pelaksanaan pekerjaan dan profesinya dan bahwa hidup
setia-taat pada firman Tuhan maka ia dan keluarganya akan hidup dan berbahagia.

Dengan demikian, pelaksanaan profesi secara jujur menjadi tempat manusia untuk
bekerja sama dengan Allah. Pekerjaan dan profesi menjadi panggilan sebagai “duta Allah
dan gambar Allah” (Imago Dei). Firman Tuhan “Baiklah kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita” (Kej 1:26) dan “....penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”(ay 28).
Artinya manusia harus menjadi subjek pekerjaan profesinya yang harus menaklukkan
dunia pekerjaan sehingga ia membawa misi sebagai partner Allah “Imago Dei”. Dengan
demikian, pekerjaan dan profesi serta segala apa yang dihasilkan dari praksis itu, seperti hak,
keuntungan, dan harta kekayaan tetap bersifat religius dan tidak pernah boleh lepas mutlak
dari Allah.

3. Manusia adalah subyek Kerja dalam Ensiklik “Laborem


Exercens”
Laborem Exercens adalah Ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2002 yang
mengartikan bahwa manusia sebagai “Animal Laborans” : makhluk yang bekerja. Dalam
pengertian itu tersirat suatu gagasan bahwa manusia adalah makhluk yang
mengaktualisasikan diri dengan bekerja untuk menaklukkan alam semesta.

Arti dan makna hidup manusia terletak pada tugas menguasai dan menaklukkan
alam semesta yaitu bumi, sumber alam, teknik serta bahkan sarana-sarana produksi, hak,
keuntungan, dan harta kekayaan. Oleh karena itu, pekerjaan dan profesi tidak hanya
merupakan aspek tetapi merealisasikan hakekatnya sebagai Citra Tuhan.

Laborem Exercens dicetuskan karena melihat adanya persoalan-perosalan baru sejak


adanya Revolusi Industri yang menyebabkan situasi pada saat itu mengalami krisis makna
dan nilai. Ensiklik ini diusahakan untuk mengembalikan martabat dan hak-hak mereka yang
bekerja dan merupakan usaha untuk “memanusiakan manusia”

Dipandang dari paham kerjanya, paham kerja menurut Laborem Exercens


bertentangan dengan paham kerja “Kapitalisme”. Dimana paham Kapitalisme menjadikan
manusia sebagai objek kerja, terkhususnya para buruh dan kalangan kurang mampu. Mereka
menjadi objek kerja bagi Kapitalisme yang diwakili oleh para pengusaha dan pemilik modal,
dan bahkan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas tidak memihak kaum
buruh.

Paus Paulus Johanes II mengimbau kaum beriman untuk berjuang mengubah


struktur kapitalisme yang memandang pekerjaan dan profesi sebagai “barang dagang”
dan manusia sebagai “alat produksi” itu menjadi struktur yang berdasar pada konsep
manusia sebagai subyek kerja. Pandangan ini pun harus menjadi titik tolak refleklisif
struktur praksis karya-karya gerejani misalnya sekolah dibawah naungan gereja, fakta bahwa
uang sekolah telah dinaikkan tiga sampai empat kali, sementara gaji guru tidak pernah
sekalipun ikut dinaikkan. Pihak yayasan berfikir tentang keuntungan, sementara pihak guru
sebagai pekerja berfikir tentang kesejahteraan. Maka benar sekali himbauan Ensiklik
Laborem Exercens tersebut. Pekerjaan dan profesi artinya tetap harus meneguhkan
manusia sebagai subyek. Misalnya ilmu pengetahuan dan teknik tetap menjadi “alat ditangan
manusia” dan bukan sebaliknya, justru manusia dikuasai dan menjadi “alat serta obyek”
dalam struktur karya-karya gereja yang berjiwa kapitalistik.

Berdasarkan Ensiklik itu lebih lanjut mengatakan bahwa salah satu kekurangan di
zaman ini adalah masyarakat yang meningkatkan kemungkinan untuk “memiliki”, yang
adalah aspek paling menyedihkan dari peradaban kita serta kita tidak hanya memasuki
milenium baru tetapi juga akan menghadapi revolusi sosial yang tidak kalah hebatnya dengan
apa yang terjadi semasa revolusi industri.

Masalah paham hak, keuntungan serta harta-kekayaan dalam paham kapitalisme


berdasar pada nilai-nilai kristiani agar semua dalam porsi yang sesuai dan manusia tetap
sebagai partner Allah dan gambar Allah. Itulah “mata air” yang paling sejati dan abadi
bagi setiap jati diri dan karakter yang menjiwai hidup, pekerjaan dan profesi serta segala
yang dihasilkannya maka dalam menjernihkan permasalahan, pembangunan jati diri serta
karakter kristiani pembahasan ini tidak mungkin karena telah mempengaruhi hampir seluruh
aspek kehidupan manusia dan dapat dikatakan salah satu akar persoalan yang menyebabkan
bobroknya jati diri dan karakter manusia Indonesia.

Mahkota kehidupan adalah profesinya dan muara profesi adalah benar, adil dan baik.
Artinya jika profesi dilaksanakan, harus membuat manusia menjadi lebih baik, lebih benar
dan adil.. Dikatakan benar jika terdapat 2 keadaan yaitu pernyataan dan kenyataan sesuai atau
sama. Adil artinya memberikan apa yang menjadi hak orang lain atau pihak lain. Hak adalah
apa saja yang boleh dituntut dan diakui oleh Undang-Undang. Baik adalah jika suatu
perbuatan dilandasi oleh :

 Sifat
 Watak
 Kejujuran
 Motivasi
 Suara Hati

II. Tinjauan Nilai-Nilai Kristiani Mengenai Paham Hak,


Keuntungan, Dan Harta Kekayaan.
Salah satu topik aktual dalam etika terapan adalah masalah keuntungan sebagai tujuan
perusahaan. Secara singkat menurut buku Managerial Economic : Analysis and Cases by W.
Waren Haynes, Dallas, Texas, 1974 mengatakan, profit maximization is a central assumption
in managerial economic. Profits are the one pervasive objective running through all business
situations, other objectives are more a matter of personal society to society, and time to time.
The survival of a firm depends upon its ability to eam profit. It is easy to constuct modals
based on the assumption of profit maximization, it is more diffuclty to build modals based on
a multiplicity of goals, especially when those goals are concerned with such unstable and
realitvely immeasurable factors as the desire to be “air” the improvement of community, the
wish to perform a service to the community, the desire to increase one’s personal influence
and power, and so on. Dimana dalam buku ini dikatakan menurut konsep ekonomi manajerial
bahwa tujuan satu-satunya nya adalah memperoleh keuntungan yang maksimal.

1. Pandangan tradisional tentang keuntungan


Dalam ekonomi pasar tradisional, terdapat pandangan tentang keuntungan sebagai
berikut. Sumber-sumber daya alam menjadi milik semua manusia tetapi hanya menghasilkan
kekayaan bila ada orang yang menambah pekerjaannya maka kekayaan (material goods)
menjadi milik orang yang menghasilkannya. Demikian suatu masyarakat menjadi kaya
dengan bersama-sama memproduksi lebih banyak daripada yang dikonsumsi dan
menggunakan surplusnya untuk menanamkan modal, artinya investasi dalam barang yang
menghasilkan kekayaan.

Dengan perkembangan industri dan timbulnya kelas buruh, muncul suatu etika
golongan buruh yang mempersoalkan etika keuntungan, namun etika keuntungan tetap
mempertahankan kedudukannya sebagai motivasi dan daya pendorong bagi yang memiliki
modal. Kewajiban pemilik pabrik untuk menghasilkan untung dan menambah modalnya
merupakan motivasi utama yang menjalankan kemajuan industri. Keuntungan tetap menjadi
tolak ukur untuk menilai perkembangan produksi.

Bertumbuhnya peusahaan-perusahaan besar menjadikan pemilikan dipisahkan dari


manajemen, sehingga etika keuntungan mendapat suatu dimensi baru. Para manajer
menganggap dirinya disewa oleh para pemilik perusahaan dan mereka memandang
keuntungan sebagai kewajiban terhadap para pemilik saham sebagai motivasi etis. Di
samping itu, keuntungan dilihat sebagai sarana untuk menjamin kesehatan ekonomis sebuah
perusahaan. Kerugian merupakan semacam peringatan dan jika berlangsung terus diperlukan
tindakan-tindakan untuk menyehatkan keadaan. Jadi, keuntungan mempunyai aspek keadilan
( terhadap pemilik modal ) dan aspek kegunaan ( untuk menjamin perusahaan). Dalam
konteks ini, gagalnya sistem-sistem yang lain daripada ekonomi pasar sering disebabkan
karena tiadanya motif keuntungan.

2. Kesulitan-kesulitan tentang etika keuntungannya


Dibalik etika keuntungan terdapat asumsi bahwa keuntungan tersebut menghasilkan
kekayaan dan itu adalah baik. Argumentasi ini diperluas menjadi: menghasilkan lebih
banyak kekayaan lebih baik daripada menghasilkan kurang kekayaan karena itu
keuntungan harus ditingkatkan menjadi sebesar mungkin. Argumentasi ini dapat salah
karena dua alasan: tidak benar bahwa menghasilkan kekayaan selalu baik dan juga tidak
benar bahwa kekayaan disamakan dengan keuntungan.

a) penghasilan kekayaan harus dinilai kurang baik bila mengakibatkan overconsumption


dan overproduct yaitu produksi berlebihan karena ada yang mencari keuntungan.
Itulah kritik Marxisme bila mereka menuduh kapitalisme tentang anarki dalam
produksi. Pemasaran dan periklanan menjadi kegiatan yang menguntungkan sehingga
mengakibatkan overconsumpsion. Dalam pandangan etika kristiani itu dianggap
kesalahan fatal, seperti pada Kitab Ulangan 8:17-8 : “Maka janganlah kau katakan
dalam hatimu : kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku
memperoleh ini. Tetapi haruslah engkau ingat kepada Tuhan, Allahmu, sebab Dialah
yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh dengan maksud
meneguhkan perjanjian yang diikrarkannya dengan sumpah kepada nenek moyangmu,
seperti sekarang ini.”

Dalam kutipan diatas, jelas bahwa harta milik dan kekayaan dihubungkan dengan
campur tangan dan penyelenggaraan Illahi. Dan harta yang diberikan oleh Allah bukan hak
milik yang mutlak dari manusia karena itu seperti tanah sebenarnya tidak boleh dijual karena
pemilik yang sesungguhnya adalah Allah. Kepemilikan manusia atas harta bersifat relatif,
yaitu selalu harus dikembalikan pada rencana Allah terhadap umat perjanjian. Dalam
rencana itu, Allah memberikan harta dengan tujuan yang jelas yaitu untuk meneguhkan
perjanjian. Artinya, makna hak atas harta dan kekayaan agar manusia semakin
menginsyafi dan menghayati hidup sebagai umat pilihan Allah yang dilimpahi oleh berkat
dan kelimpahannya.
Maka harta dan kekayaan memiliki nilai panggilan agar kita melihat campur tangan
dan kebesaran Allah didalamnya agar manusia semakin mewujudkan solidaritasnya terhadap
sesama. Tetapi kenyataannya, sekarang hak atas harta telah menjadikan manusia semakin
lepas dari hubungan dengan Allah. Manusia memandang harta sebagai hak milik yang sah-
sah saja yang dipakai untuk memperoleh keuntungan yang tidak lagi sesuai dengan rencana
Allah sendiri.
Pandangan hak milik modern yang kehilangan orientasi relegiusnya harus dikatakan
bahwa (Eka Darma Putra,2000,hal.55)
1). Makna hak milik atas harta adalah pemberian wewenang kepada manusia yang mesti
dilaksanakan dengan menaklukan diri kepada Allah.
2). Hak milik tak pernah mutlak
Adanya hak milik atas harta tidak pernah lepas hubungannya dengan Allah.
Manusia hanya menjadi “oikonomis” Allah, yaitu penatalayanan Allah.

b) Tidak benar juga bahwa keuntungan selalu sama dengan kekayaan. Ada beberapa
nilai materil yang tidak dapat diukur dengan uang. Contohnya adalah penghabisan
sumber daya alam, penghancuran lingkungan hidup, keselamatan konsumen dan
teristimewa kesejahteraan ekonomis dari mereka yang berada di luar jangkauan suatu
ekonomi tertentu.

Selain itu, motif keuntungan tidak cukup untuk menangani masalah-masalah


kemiskinan dan ketidakmerataan dalam masyarakat. Terutama dalam keadaan resesi
ekonomi dan pengangguran. Karena itu, kekurangan terbesar prinsip keuntungan ialah
sering tidak terjaminnnya keadilan. Melaksanakan prinsip keuntungan tidak dengan
sendirinya akan menampilkan keadilan. Faktor keadilan harus ditambah pada faktor
keuntungan dan tidak dapat diturunkan daripadanya. Prinsip keuntungan barangkali dapat
mengghasilkan masyarakat yang makmur, tapi belum tentu masyarakat yang adil dan
makmur.

Seperti dalam Kitab Suci dikatakan (Matius 6 : 19-24) :

“Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi….. tetapi kumpulkanlah bagimu harta di


sorga….. Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan
membenci seorang dan mmembenci yang lain,….. kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah
dan kepada Mamom”
Etika kristiani selalu memandang harta benda dengan amat serius. Ia memberi
penilaian positif atau negatif terhadap harta benda, bukan karena ia mempunyai nilai dan
makna instrinsik pada dirinya tetapi bagaimana harta diperoleh serta bagaimana harta benda
itu dikelola.

Harta benda dalam Kitab Suci tidak dipandang secara 2 lisme. Artinya kitab suci tidak
memandang harta dan kekayaan itu rendah dan jahat kepada Allah dan kepada Mamon.
Prinsipnya jelas, yaitu kita harus mendahulukan Allah dan memanfaatkan harta
kekayaan dalam rangka pengabdian kepada Allah. Artinya, harta kekayaan akan
kehilangan maknanya yang terdalam jika justru harta hanya tertuju untuk mengejar
keuntungan.

Keuntungan telah menggeser peranan dan rencana Allah. Keuntungan telah menjadi
“dewa” eksistensi bisnis dan perusahaan. Praktek dan peradaban yang demikian telah
dikonstatir oleh Nabi Yehezkiel mengenai kota Sodom. Ternyata dosa sodom bukanlah
homoseks. Kami tidak menemukan ayat yang jelas menyatakan bahwa kota Sodom penuh
dosa karena praktek homoseks. Nabi Yehezkiel menyatakan bahwa mereka hidup hanya
untuk memuaskan nafsu mereka dengan hidup berlimpah-limpah bahkan sampai ke anak-
anaknya perempuan. Hal itu berbeda tipis, bahkan sama dengan prinsip perusahaan yang
hanya memburu keuntungan dengan semboyan mereka “business is business” dan “the goal is
one profits”.

Dengan demikian, perusahaan akan membangun kerajaan bisnisnya bahkan keturunan


demi keturunan. Dan tidak jarang, perhatian untuk orang miskin hanya sebagai lambang dan
propaganda bagi kerajaan bisnis mereka serta kuantitas bantuan merekapun sebenarnya
tidaklah signifikan dengan keuntungan yang mereka hasilkan. Dan mitos ekonomi “trickle
down effect theory” ( meneteskan keberuntungan kepada pihak rakyat miskin ) tetaplah
menjadi mitos.

Dampak paradigma berfikir kapitalis telah menembus dan merasuki kehidupan serta
peradaban zaman ini secara nasional dan internasional. Memang zaman globalisasi ini sangat
dijiwai paham kapitalisme yang “memboncengi’ ajaran nabi palsu. Artinya sistem dan
mekanisme yang semakin canggih dinegara berkembang (developing country) seperti
Indonesia dapat terjebak oleh pandangan “global industry”dan” global business” yang
akhirnya menindas rakyat miskin.

Suatu kesulitan bagi kebanyakan rakyat Indonesia membedakan gerak pembangunan


yang mementingkan bangsa dengan penghisapan terhadap petani, buruh, pegawai rendahan
dan kecil. Seakan-akan tenggelam dalam janji dan kesempatan globalisasi. Bangsa ini disapu
ombak kapitalisme dan mekanisme pasar bebas yang ujung-ujungnya hanya demi keuntungan
dan harta bagi yang kuat dan mapan. Pemerataan keadilan dan kesejahteraan masih jauh dari
harapan bahkan kian memburuk oleh bentuk kapitalisme terutama oleh kapitalisme pribumi.
Kapitalis-kapitalis itu memperbodoh, membelenggu, dan menyingkirkan rakyat yang
terpinggir.
Terutama dari kinerja para oknum penguasa dan pemerintahan yang menjerumuskan
rakyat kelubang jati diri jongos dan karakter kuli. Misalnya pemberian “Bantuan Tunai
Langsung” (BTL). Istilah bantuan seperti memberi ikan kepada rakyat miskin. Praktek seperti
ini cenderung mengarahkan karakter bangsa menjadi pengemis. Sementara para oknum
penyelenggara kekuasaan beramai-ramai melakukan korupsi diatas penderitaan rakyat.
Gambaran jati diri dan karakter yang demikian juga “manusia sodom” yang dikecam Nabi
Yeheskiel di depan publik pada perjanjian lama(Yeh16:49)

Kesimpulan

1. Para penyelenggara negara adalah figur-figur profesi, karena segala kiprah hidup dan
tindakan mereka harus berdasarkan etika profesi
2. Pandangan kapitalisme tentang hak, keuntungan serta harta/kekayaan tidak dengan
sendirinya melahirkan kelahiran sosial, bahkan mempelebar jurang ketidakadilan
3. Perwujudan keadilan sosial harus diperjuangkan atas dasar nilai kesetiakawanan dan
nasionalisme Indonesia serta ajaran kristiani
4. Dengan penghayatan profesionalitas serta penilaian terhadap hak, keuntungan akan
mendapatkan orientasi dan makna sesuai dengan firman Allah. Pandangan tersebut
akan menjiwai kehidupan manusia sebagai gambar Allah baik dalam individual
maupun kehidupan bebangsa
Daftar Pustaka

Mardiyanto, Yosep Didik Frater. 2014. Makna Kerja Menurut Laborem Exercens. Tersedia :
http:// Paroki-sragen.or.id ( diakses 21 September 2017 )

Taniredja, Tukiran. Dkk. 2016. Paradigma Terbaru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa.
Bandung : Alfabeta

Sembiring, Benny. 2017. Yesus Kristus Dan Etika Profesi

Anda mungkin juga menyukai