Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERADILAN KONEKSITAS

DOSEN PEMBIMBING :
FAHRUROJI, S.H.

KELOMPOK 2 (DUA) :

1. WAWAN SUHENDI 10. SIGIT YUNIANTO


2. M. SAMSURI 11. AHMAD SETIAWAN
3. HERU RIDARTONO 12. NUR SYARIP HIDAYAT
4. ASEP KUSMIYADI 13. RIKI EFENDY
5. ALI MUKTAR 14. SENDI PRAYOGA
6. AEP TARYANA 15. RATU NUFUS
7. ARIS MUNANDAR 16. LAILLIYAH
8. DIDIN IMANUDIN 17. DESTI RIANI
9. YONI KOSWARA 18. SULTONAH

FAKULTAS AHWAL AS-SYAKHSIYAH


HUKUM ACARA PIDANA
STAI BABUNNAJAH
PANDEGLANG – BANTEN
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat,
taufiq, ma‟unah dan hidayah-Nya serta mengucapkan shalawat atas Rasul-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Acara Pidana ini tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada :
Semua pihak yang telah berpartisipasi membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini.Walaupun sudah dengan segenap kemampuan, usaha, dan pemikiran semaksimal
mungkin demi kesempurnaan karya ini, kami menyadari banyak kekurangan dan
kesalahan. sehingga kami sangat mengharapkan masukan atau kritik yang konstruktif dari
para pembaca yang budiman, demi perbaikan dan penyempurnaan pada penyusunan
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan
keilmuan yang bermanfaat bagi keilmuan Peradilan Koneksitas khususnya, dan keilmuan
Hukum Acara Pidana secara umum terlebih lagi khususnya dunia akademisi di Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) BABUNNAJAH. Aamiin

Pandeglang, 25 Mei 2019

Penyusun

- ii -
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ………………………………………………………….……...…… 2
C. METODE PENELITIAN …………………………………………………………….……….. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. PERADILAN KONEKSITAS .......................................................................................... 3
B. PROSES PEMERIKSAAN TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS ................................................... 4
C. PERTANGGUNG JAWABAN DAN SANKSI BAGI ANGGOTA MILITER YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS ............................ 5
D. PELAKSANAAN PIDANA MATI ………………………………………………………….… 7
E. PELAKSANAAN PIDANA PENJARA …………………………………………………….... 7
F. PELAKSANAAN PIDANA KURUNGAN …………………………………………………… 7
G. PELAKSANAAN PIDANA TUTUPAN ……………………………………………………… 8
H. PELAKSANAAN PIDANA BERSYARAT …………………………………………………... 8
I. PELAKSANAAN PIDANA ……. ……………………………………………………………… 9

BAB III RINGKASAN


A. RANGKUMAN PERADILAN KONEKSITAS ……………………………………………… 10
B. PENYIDIK PERKARA PIDANA KONEKSITAS …………………………………………... 10
C. MENETAPKAN TENTANG WEWENANG MENGADILI ………………………………… 10
D. PROSEDUR PEMERIKSAAN PENGADILAN DALAM PERKARA KONEKSITAS....... 11
E. KEWENANGAN PERADILAN DALAM PERKARA KONEKSITAS …………………….. 12
F. KEWENANGAN PERADILAN MILITER …………………………………………………... 13
G. KONSEKUENSI YURIDIS SETELAH POLRI KELUAR DARI ABRI ………..…………. 15

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN .............................................................................................................. 16
B. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 17

- iii -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Anggota Tentara Negara Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan
diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan
yang diatur dalam Pasal 21 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Tentara adalah mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang,
yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas
tersebut {Pasal 46 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)}. Setiap anggota Tentara Nasional


Indonesia yang telah dibina fisik dan mental harus mampu dan dapat diandalkan untuk
melaksanakan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia baik dalam tugas Operasi Militer
untuk perang maupun tugas Operasi Militer Non perang.

Sebagai anggota militer apabila perbuatan atau tindak pidananya itu tergolong sebagai
tindak pidana militer yang pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM) UU No. 31 Tahun 1997 maka anggota militer tersebut akan
diperiksa dan diadili sesuai dengan acara pemeriksaan yang terdapat dalam UU No. 31
Tahun 1997, namun tak jarang terjadi bahwa anggota militer menjadi turut tersangka
dalam tindak pidana yang dilakukannya secara bersama dengan orang sipil yang tunduk
pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Apabila ternyata bahwa tindak
pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang nyata-nyata tunduk pada peradilan dalam
lingkungan peradilan militer tersebut dilakukan secara bersama dengan orang sipil yang
tunduk pada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer maka tindak pidana tersebut
dikenal dengan tindak pidana dalam perkara koneksitas. „Perkara koneksitas‟
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 89 ayat

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah „Tindak pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk

lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer‟.

Secara umum sudah diketahui bahwa acara pemeriksaan untuk tindak pidana diperiksa
dan diadili sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagaimana disebutkan dalam Pasal
3 KUHAP

bahwa: “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”,6
namun bagaimana halnya dengan tindak pidana dalam perkara koneksitas? Lingkungan
peradilan manakah yang akan mengadilinya? Acara pemeriksaan yang diatur dalam
KUHAP bahwa pemeriksaan itu harus dilakukan secara singkat, cepat dan murah. Namun
ternyata proses pemeriksaan perkara koneksitas memakan waktu yang lama, sebab
perkara koneksitas hanya bisa disidangkan jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan
dan Keamanan dan telah disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kemudian harus menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk
menentukan apakah perkara masuk lingkungan peradilan umum ataukah lingkungan
peradilan militer. Proses pemeriksaan yang lama inilah yang menyebabkan Brigadir
Jenderal Soenarko GA, selaku Komandan Polisi Angkatan Laut dalam kasus pembunuhan
Direktur PT Aseba Budyarto Angsono pada Tahun 2004 tidak melaksanakan acara

-1-
pemeriksaan sesuai dengan acara pemeriksaan koneksitas padahal terdakwa melakukan
pembunuhan dibantu oleh 4 (empat) orang marinir. Berdasarkan keadaan yang terjadi
dalam proses pemeriksaan perkara koneksitas maka penulis tertarik untuk membahas
bagaimana sesungguhnya proses pemeriksaan perkara koneksitas dan diharapkan
dengan penulisan skripsi ini proses pemeriksaan perkara koneksitas diterapkan
sebagaimana peraturan yang mengaturnya karena bagaimanapun juga anggota militer
yang melakukan tindak pidana adalah merupakan sesuatu yang berbeda karena anggota
militer sepatutnya melindungi bangsa dan negara dari ancaman-ancaman yang ada bukan
turut terlibat dalam perbuatan yang meresahkan masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak


pidana dalam perkara koneksitas menurut KUHAP ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban dan sanksi terhadap anggota militer yang


melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas ?

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka. Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu terutama mengkaji kaidah-
kaidah (norma-norma) hukum dalam hukum positif.

-2-
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERADILAN KONEKSITAS

Peradilan koneksitas adalah suatu system peradilan yang diterapkan atas suatu tindak
pidana dimana diantara tersangkanya terjadi penyertaan antara penduduk sipil dengan
anggota militer. Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan peradilan koneksitas
adalah system peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil
dengan orang militer. Beliau juga berpendapat bahwa di dalam peradilan koneksitas selalu
terjadi penyertaan antara penduduk sipil dengan orang militer.Dari pengertian di atas
dapatlah kita lihat bahwa yang menjadi permasalahan pokok di dalam peradilan
koneksitas adalah mengenai yuridiksi mana yang berwenang untuk mengadili perkara
yang melibatkan penyertaan antara penduduk sipil dengan anggota militer. Menurut
ketentuan pasal 50 UU No 2 tahun1986 tentang peradilan umum dikatakan
bahwa “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”, dari ketentuan
pasal 50 tersebut dapatlah kita lihat bahwa peradilan umum mempunyai wewenang untuk
mengadili perkara pidana, namun yang menjadi pertanyaan adalah perkara pidana yang
bagaimana yang dapat diadili oleh peradilan umum, apakah semua perkara pidana dapat
diadili oleh peradilan umum ?. Untuk melihat hal itu maka isi ketentuan pasal 50 UU No 2
tahun 1986 tentang peradilan umum itu harus dibandingkan dengan ketentuan pasal 9
angka 1 UU no 31 tahun 1997 tentang peradilan militer yang
berisikan sebagai berikut : “ Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:

1.Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah :
a. Prajurit
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit.
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau
dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi
atas putusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh
suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Secara ringkasnya menurut ketentuan pasal 9 angka 1 undang-undang No 31 Tahun


1997 bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang untuk mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, maka apabila dilakukan penafsiran
secara a contrario dapat dilihat bahwa apabila tindak pidana yang dilakukan bukan oleh
anggota militer maka pengadilan di dalam lingkungan peradilan militer itu tidak berwenang
untuk mengadilinya. Maka dari ketentuan tersebut dapatlah kita lihat bahwa pasal 9 angka
1 tersebut merupakan ketentuan undang-undang yang bersifat lex special derogat
legegenerali terhadap ketentuan pasal 50 UU No 2 Tahun 1986 . Jadi dengan demikian
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh bukan anggota
militer merupakan yurisdiksi daripada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Namun kemudian akan menjadi suatu permasalahan apabila ada suatu tindak pidana
dimana anggota militer dan penduduk sipil bersama-sama sebagai tersangkanya,
pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadilinya ?. Menurut ketentuan pasal 89
pasal (1) UU no 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dikatakan bahwa “ tindak pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
-3-
A. Proses Pemeriksaan Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana
Dalam perkara Koneksitas

Adapun tentang proses pemeriksaan

terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas
diatur dalam beberapa peraturan selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer


Acara pemeriksaan Koneksitas diatur dalam bagian Kelima mulai Pasal 198 sampai
dengan Pasal 203. Pasal 198 menyebutkan :

(1) Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
yustisiabel Peradilan Militer dan yustisiabel Peradilan Umum, diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali apabila menurut
keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri kehakiman perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
oleh suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur dan penyidik dalam
lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing
menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara-perkara.

(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan keamanan serta Menteri Kehakiman.

b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


Pasal 16 menentukan bahwa :
“Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut Keputusan
Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer”.

Dalam Pasal 16 ini, jelas undang-undang memberikan kewenagan kepada Menteri


Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan
Pengadilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas.
Apabila unsur militer melebihi unsur sipilnya misalnya, maka hal tersebut dapat dijadikan
landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum ialah Pengadilan
Militer untuk mengadili perkara-perkara koneksitas. Jika dalm hal perkara diadili oleh
Pengadilan Militer, maka susunan hakim adalah dari Pengadilan Militer dan Pengadilan
Umum. Dalam hal ini kepentingan dari yustisiabel tetap mendapat perhatian
sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang.

c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang
Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a menyebutkan: “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk
pada kekuasaan Peradilan Militer dalm hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada
kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.

-4-
Ketetapan MPR ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung maslaah koneksitas
yang berkenaan dengan tindak pidana sebagaimana telah diatur didalam hukum pidana
dihapuskan, namun kendalanya terdapat pada peraturan perundang-undangan yang
menjadi aturan pelaksanaan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan,
ketetapan tersebut belum dapat dilaksanakan.

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Acara Pidana
Acara pemeriksaan untuk bagi anggota militer yang melakukan tindak podana
dalam perkara koneksitas diatur dalam Bab XI dari Pasal 89 sampai dengan Pasal 94
KUHAP. Pasal 89 menentukan bahwa:

(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkugan peradilan militer, diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), perkara itu harus diperiksa dan
diadili dalam lingkungan peradilan militer.

(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau
oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut
hukum yang berlaku untuk penyelidikan perkara pidana.

(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan Kemanan dan Menteri Kehakiman (Menteri
Hukum dan HAM).

Dari bunyi Pasal 89 ini terlihat bahwa untuk tindak pidana dalam perkara Koneksitas,
terdapat dua orang atau lebih yang bekerja sama atau bersama-sama melakukan tindak
pidana. Yang satu terdiri dari orang sipil yang tunduk pada lingkungan peradilan umum
sedangkan yang lain adalah orang militer yang tunduk pada lingkungan peradilan militer
{(Pasal 89 ayat (1)}.

B. Pertanggungjawaban dan Sanksi Bagi Anggota Militer Yang Melakukan Tindak


Pidana Dalam Perkara Koneksitas.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memberikan penjelasan


mengenai kemampuan bertanggung-jawab, KUHP hanya memuat alasan-alasan yang
terdapat pada diri si pelaku sehingga perbuatan itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan
kepadanya. Alasan tersebut berupa keadaan pribadi pelaku yang jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penykit (Pasal 44 KUHP). Dalam keadaan
demikian, pelaku tidak mempunyai kebebasan kehendak, dan oleh karena itu tidak dapat
menentukan kehendaknya atas perbuatannya, sehingga tidak dapat dipidana.

Dari batasan yang diberikan di atas tentang mampu bertanggung jawab maka dapat
diambil kesimpulan bahwa seseorang itu dapat dikatakan mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang dilakukannya apabila dia benar-benar menyadari bahwa
perbuatan yang dilakukannya adalah merupakan suatu perbuatan yang salah atau
dilarang menurut undang-undang namun tetap dia melakukannya dan perbuatan pidana
itu dilakukannya secara sadar.

-5-
Untuk orang-orang yang telah melakukan tindak pidana secara sadar dan mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Buku II
KUHP. Jenis-jenis pidana ini dapat diberlakukan terhadap anggota militer yang melakukan
tindak pidana dalam perkara koneksitas. Adapun jenis-jenis pidana menurut Pasal 10
KUHP adalah sebagai berikut:
a. Pidana Pokok:
1. pidana mati
2. pidana penjara
3. pidana kurungan
4. denda
5. pidana tutupan (UU No. 20 /1946)

b. Pidana Tambahan:
1. pencabutan beberapa hak yang tertentu,
2. perampasan beberapa barang yang tertentu,
3. pengumuman putusan hakim.

Dalam Rancangan KUHP yang dibuat untuk menggantikan KUHP sekarang yang
merupakan warisan dari penjajahan, terdapat beberapa kali perubahan sebagai berikut:
a. Rancangan KUHP tahun 2008.
Ketentuan Pasal 60 RUU KUHP menyebutkan bahwa:
1. Pidana Pokok terdiri atas:
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda; dan
e. Pidana kerja sosial.

2. Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat


ringannya pidana.

Sedangkan terhadap pidana tambahan, Pasal 62 RUU KUHP menentukan bahwa:


1. Pidana tambahan terdiri atas:
a. Pencabutan hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu;
c. Pengumuman keputusan hakim;
d. Pembayaran ganti kerugian; dan
e. Pemenuhan kewajiban adat.

2. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dijatuhkan
jika tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana.

3. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat atau pencabutan hak yang
diperoleh korporasi dapat dijatuhkan, walaupun tidak tercantum dalam
perumusan tindak pidana.

4. Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan


pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Berikut ini dibahas tentang pelaksanaan pidana militer menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
-6-
1. Pelaksanaan pidana mati

Dalam ketentuan Pasal 8 dan 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
ditegaskan bahwa „pidana mati‟ yang diajtuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat
dari dinas militer, dijalankan dengan tembak mati oleh sejumlah militer. Hal ini sejalan
dengan UU No. 2 PNPS 1964 yang menegaskan bahwa pelaksanaan pidana mati
dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pasal 255 Hukum Acara Pidana Militer
menentukan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum.

Untuk pelaksanaan pidana mati, belum bisa untuk dilaksanakan sepanjang belum
mendapat keputusan dari Presiden walaupun pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, artinya terpidana tidak naik banding,
tidak memohonkan grasi, dalam artian bahwa terpidana menerima putusan hakim. Hal ini
diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Grasi No. 22 Tahun 2002. Apabila keputusan yang
dikeluarkan oleh Presiden sama sekali tidak mengubah pidana mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan, maka pidana mati akan segera dilaksanakan sesuai dengan pengaturan
dalam UU No. 2 PNPS 1964. Adapun maksudnya adalah untuk mencegah kesalahan
yang mungkin terjadi, dengan melalui prosedur yang ketat masih dianggap perlu untuk
minta pendapat dan keputusan Presiden yang berbentuk grasi.

2. Pelaksanaan Pidana Penjara

Setelah menerima kutipan Surat Keputusan yang telah menjadi tetap dari Panitera
Pengadilan, Oditur melaporkan hal itu kepada PAPERA (Perwira Penyerah Perkara) atau
ANKUM (Atasan Yang berhak Menghukum) dengan melampirkan Ikhtisar Putusan. Bagi
seorang militer, baik ia dijatuhi hukuman pada Pengadilan Militer maupun Pengadilan
Umum dalam rangka Koneksitas, maka tempat menjalani hukuman itu dijalankan sesuai
dengan yang termaksud dalam Pasal 256 Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL).19
Dalam Pasal 256 HAPMIL ini ditegaskan bahwa:

a. Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer


atau di tempat lain menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku (ayat 1);

b. Dalam hal terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana
penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana
tersebut mulai dijalankan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu (ayat 2);

c. Apabila terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilaksanakan di lembaga Pemasyarakatan Umum.

Jadi bagi seorang militer baik ia dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer maupun
dijatuhi oleh Pengadilan Umum selama tidak dipecat dari dinas niliter, menjalani pidana
tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Militer. Kalau terpidana militer itu dipecat, maka
pelaksanaan hukuman itu di Lembaga Pemasyarakatan Umum.

3. Pelaksanaan Pidana Kurungan

Di dalam Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) ditegaskan


bahwa: “apabila seorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang
dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara
sebagai pidana utama yang tidak melebihi 3 bulan, hakim berhak menentukan dengan
putusan bahwa pidana tersebut dijalankan sebagai pidana kurungan”.
-7-
4. Pelaksanaan Pidana Tutupan

Pidana tutupan diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1946 yang hanya memuat
enam (6) pasal sebagai berikut:

Pasal 1 :
“Selain daripada hukuman tersebut dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan Pasal 6 huruf a
KUHPM adalah hukuman pokok baru, yaitu Hukuman Tutupan yang menggantikan
hukuman penjara dalam hal tersebut di Pasal 2”.

Dalam Pasal 2 :
(1). Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan hukuman tutupan.

(2). Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan
atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah
sedemikian sehingga hakim berpendapat bahwa hukuman penjara lebih pada
tempatnya. Dalam Pasal 3 :

(1). Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang
diperintahkan kepadanya menurut peraturan yang ditetapkan berdasar Pasal 5.
Dalam Pasal 4:

“Semua peraturan yag mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman
tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan
khusus tentang hukuman tutupan”.
Dalam Pasal 5 :

(1). Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan
segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan UU ini diatur dalam PP;

(2). Peraturan tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan diatur oelh
Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.
Dalam Pasal 6:
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari pengumumannya.

5. Pelaksanaan Pidana Bersyarat

Lembaga pidana bersyarat diatur dalam KUHP Pasal 14 a sampai dengan f dan
dalam ordonansi pelaksanaan pidana bersyarat (Stb. 1926 No. 251 jo. 486 dan 487, yang
berlaku mulai tanggal 1 Januari 1927) dan Pasal 15 samapai dengan Pasal 22 KUHPM.

Adapun yang dimaksud dengan pidana bersyarat adalah: hukuman yang dijatuhkan
kepada terpidana tidak perlu dijalani, kecuali ada perintah lain dari hakim, disebabkan
terpidana sebelum masa percobaan habis, melakukan perbuatan pidana atau telah
melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan dalam putusan.

Dalam Pasal 14 a ayat (4) KUHP ditentukan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan
jika hakim berkeyakinan akan adanya pengawasan yang memadai mengenai
pelaksanaannya. R. Soesilo mengatakan bahwa : „Dalam pokoknya ialah orang dijatuhi
hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa

-8-
terhukum sebelum habis tempo percobaan, berbuat peristiwa pidana atau melanggar
perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi penjatuhan keputusan tetap ada,
hanya pelaksanaan hukuman itu tidak dilakukan”.

Maksud dari penjatuhan hukuman semcam ini ialah untuk memberikan kesempatan
kepada terhukum supaya dalam tempo percobaan ini memperbaiki diri dengan tidak
berbuat peristiwa pidana atau tidak melnggar perjanjian yang diberikn kepadanya dengan
pengharapan jika berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak akan
dijalani buat selama-lamanya. Hukuman dengan „bersyarat‟ ini hanya dapat dijatuhkan
dalam hal dijatuhkan hukuman penjara tidak lebih dari satu (1) tahun dan hukuman
kurungan yang bukan kurungan pengganti denda.

Tentang pelaksanaan pidana bersyarat, dalam Pasal 257 HAPMIL disebutkan bahwa,
dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-
undang ini.

6. Pelaksanaan Pidana Tambahan

Dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
disebutkan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada seorang anggota
militer yang telah melakukan tindak pidana militer adalah:

a. Pemecatan dari Dinas Militer; b. Penurunan pangkat; dan c.


Pencabutan hak.

Khusus tentang pencabutan hak, maka sesuai Pasal 35 ayat (1) KUHPM, maka hak
yang dicabut adalah:

a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. hak memasuki Angkatan Bersenjata;

c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum.

-9-
BAB III
RINGKASAN

A. PERADILAN KONEKSITAS

Peradilan Koneksitas adalah ;


suatu system peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara
tersangkanya terjadi penyertaan antara penduduk sipil dengan anggota militer, atau :

a. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama,


b. oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan
militer,
c. diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
d. kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Kemanan dengan persetujuan
Menteri Kehakiman,
e. perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer. (Pasal 89 ayat (1).

Penyidikan perkara pidana koneksitas;

- dilaksanakan oleh suatu tim tetap,


- terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan
- oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum
yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
Pasal 89 ayat (2).

Tim tetap adalah;


- tim yang dibentuk dengan surat keputusan bersama,
- Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Pasal 89 ayat (3).

Tata cara menetapkan kewenangan mengadili perkara tindak pidana koneksitas :

1. Diadakan penelitian bersama oleh jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi
atas dasar hasil penyidikan tim tersebut. Pasal 90 ayat (1).
2. Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditanda
tangani oleh para pihak. Pasal 90 ayat (2).
3. Jika dalam penelitian bersama terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa
tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur
Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasal 90 ayat (3).

Menetapkan tentang wewenang mengadili;

apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum,
- perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
- maka perwira penyerah perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer
tinggi kepada penuntut umum,
- untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang
berwenang. Pasal 91 ayat (1)
-10-
Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer.

- perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
- pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dijadikan dasar bagi Oditur
Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
- untuk mengusulkan kepada Menteri pertahanan dan Keamanan,
- agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan
dan Keamanan yang menetapkan, bahwa
- perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pasal
91 ayat (2).

PROSEDUR PEMERIKSAAN PENGADILAN DALAM PERKARA KONEKSITAS.

1. Peradilan umum.
Langkah-langkah peradilan dalam hal telah ditetapkan bahwa perkara pidana diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka langkah selanjutnya adalah;

1.1. Penyerahan perkara;


Perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Pasal 91 ayat (1).

1.2. Berita acara pemeriksaan;

- penuntut umum yang mengajukan perkara,


- menerangkan dalam berita acara tersebut telah di ambil alih olehnya. Pasal 92 ayat (1).

1.3. Pemeriksaan pengadilan;


Perkara tersebut diadili dengan majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga
orang hakim.
Pasal 94 ayat (1).

2. Peradilan militer;
Langkah - langkah peradilan dalam hal telah ditetapkan bahwa perkara pidana diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka langkah selanjutnya adalah;

2.1. Usul kepada Menhankam.


- Perwira penyerah perkara,
- segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur
militer atau oditur mili-ter tinggi kepada oditur jendral ABRI,
- untuk dijadikan dasar usulan mengajukan perkara,
- kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan,
- agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman,
- dikeluarkan keputusan yang menetapkan,
- perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 91 ayat (2).

2.2. Berita acara pemeriksaan;


- Oditur militer menambahi catatan pada berita acara yang dibuat oleh tim,
- menerangkan dalam berita acara tersebut telah di ambil alih olehnya.
Pasal 92 ayat (2).
-11-
2.3. Pemeriksaan pengadilan;
Berdasarkan surat keputusan Menhankam, perwira penyerah perkara dan jaksa atau
jaksa tinggi menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah
militer tinggi. Pasal 91 ayat (3).

Bilamana terjadi perbedaan pendapat dalam wewenang mengadili.


1. Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi,
mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis,
dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa
Agung dan kepada Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasal 93 ayat
(1).
2. Jaksa Agung dan Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat seba-
gaimana dimaksud dalam ayat (1)……Pasal 93 ayat (2).
3. Dalam hal terjadi perbedaan antara Jaksa Agung dan Oditur Jendral Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang memutuskan.
Pasal 93 ayat (3).

Komposisi majelis hakim yang mengadili perkara koneksitas :


1. Dalam hal mengadili perkara koneksitas, baik diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum atau dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari sekurang-kurangnya
tiga hakim. Pasal 94 ayat (1).
2. Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara
pidana, majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim
anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan hakim anggota masing-
masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang. Pasal 94
ayat (2).
3. Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara
pidana tersebut majelis hakim terdiri, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan
hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan
dari peradilan umum diberi pangkat militer. Pasal 94 ayat (3).
4. Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat
banding. Pasal 94 ayat (4).
5. Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbale balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) dan hakim perwira sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 94 ayat (5).

KEWENANGAN PERADILAN DALAM PERKARA KONEKSITAS


Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945) amandemen
ke empat.
Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga negara yang mempunyai keistimewaan
termasuk dalam masalah peradilan, semua warga negara harus tunduk dan patuh kepada
keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang warga negara tersangkut
perkara hukum.
Oleh karena itu pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang
berperkara di pengadilan, baik dari kalangan rakyat sipil, militer maupun polri.

-12-
Secara yuridis eksistensi peradilan dimuat dalam Pasal 2 ayat (2)
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan sebuah mahkamah
konstitusi”.
Mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang baik dari kalangan sipil maupun
militer, maka sebuah peradilan harus bebas dari pengaruh dan interpensi dari siapapun.

Koneksitas adalah : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan
Menteri Pertahanan dan Kemanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (Pasal 89
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP).

Koneksitas adalah : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan
Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (Pasal 198 UU NO. 31 Tahun 1997
Tantang Peradilan Militer).

KEWENANGAN PERADILAN MILITER

Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:


1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau
dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi
atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili
oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan
atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut
dalam satu putusan.

Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer


Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan
oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang :

a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau


b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya

-13-
Bagaimana menentukan, apakah lingkungkan peradilan militer atau peradilan umum
yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas?

TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA OLEH MEREKA YANG


TERMASUK LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN LINGKUNGAN PERADILAN
MILITER, DIPERIKSA DAN DIADILI OLEH PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN
PERADILAN UMUM, KECUALI DALAM KEADAAN TERTENTU MENURUT KEPUTUSAN
KETUA MAHKAMAH AGUNG PERKARA ITU HARUS DIPERIKSA DAN DI ADILI OLEH
PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

(Pasal 24 UU NO. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman)


Bagaimana menentukan, apakah lingkungkan peradilan militer atau peradilan umum
yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas?

Untuk menentukan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau


pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana, diadakan
penelitian bersama oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer
Tinggi atas dasar hasil penyidikan tim. Pendapat dari penelitian bersama tersebut
dituangkan dalam berita acara yang di tandatangani oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan
Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi atas dasar penyidikan tim.

Jika titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum, maka perkara pidana itu harus diadili di lingkungan peradilan umum.

Jika titik berat kerugian yang timbulkan oleh tindak pidana terletak pada kepentingan
militer, maka perkara pidana itu harus diadili di lingkungan peradilan militer.

Kesimpulan Ringkasan :

 Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana koneksitas dapat diadili di peradilan
umum maupun diperadilan militer dengan melihat titik berat kerugian yang
ditimbulkan dari tindak pidana dimaksud.
 Dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, pada Pasal 65 Ayat (2) secara tegas
dinyatakan bahwa Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam
hal pelanggaran militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-Undang.

Secara umum perbedaan antara proses pemeriksaan tindak pidana militer dan
proses pemeriksaan koneksitas yaitu :
1. Proses pemeriksaan tindak pidana militer secara keseluruhan dilakukan oleh
peradilan militer sedangkan proses pemeriksaan perkara koneksitas dapat dilakukan
pada pengadilan militer dan juga pada peradilan umum.
2. Proses pemeriksaan tindak pidana militer tunduk pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sedangkan perkara koneksitas
berpedoman atau diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP
khususnya dalam Pasal 89 sampai 94.
3. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana militer penyidikan dilakukan oleh Atasan
yang berhak Menghukum, Polisi Militer dan Oditur Militer sedangkan dalam perkara
koneksitas pelaksanaan penyidikan yang menurut pendapat A. Abu Ayyub Saleh
(2004:4) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari :

-14-
a. Penyidik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP

b. Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


c. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi

Lebih lanjut menurut A. Abu Ayyub Saleh (2004:5) bahwa :


a. Tim penyidik tersebut di atas melakukan kewenangannya masing-masing sesuai
ketentuan Pasal 89 ayat 2 KUHAP
b. Tim penyidik tersebut dibentuk dengan Surat Keputusan bersama Menteri
Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman RI sesuai ketentuan Pasal
89 ayat (3) KUHAP.

Konsekuensi Yuridis Setelah Polri Keluar dari ABRI


Setelah institusi Kepolisian Republik Indonesia keluar dari Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia tentunya menimbulkan dampak, baik terhadap institusi Polri itu sendiri
maupun institusi ABRI. Dengan keluarnya Polri dari institusi ABRI maka secara otomatis
bagi anggota Polri yang terlibat dalam suatu tindak pidana tidak lagi diperiksa dan dituntut
pada peradilan militer akan tetapi berdasarkan Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa :
“Proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara
umum dilakukan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum”.
Sebelum institusi Polri keluar dari ABRI, apabila ada anggota Polri yang terbukti
atau patut diduga melakukan suatu tindak pidana, maka akan diperiksa oleh peradilan
militer berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, akan tetapi dengan
keluarnya institusi Polri maka secara yuridis berdampak pada tidak berwenangnya
peradilan militer untuk memeriksa dan mengadili anggota Polri yang melakukan tindak
pidana.
Dalam hal penyidikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri, maka
berdasarkan ketentuan TAP MPR Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam Pasal 4 dijelaskan :
Penyidikan terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur menurut hukum
acara pidana yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa konsekuensi yuridis
dengan keluarnya Polri dari ABRI yaitu peradilan militer tidak mempunyai kewenangan
untuk memeriksa anggota Polri yang melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi Polri
dianggap sebagai pihak sipil dan bukan lagi anggota Militer yang apabila terbukti
melakukan suatu tindak pidana, maka akan diperiksa berdasarkan ketentuan hukum acara
pidana yang berlaku dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

-15-
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam
perkara koneksitas pada prinsipnya sama dengan proses pemeriksaan pada
perkara biasa namun terdapat 2 (dua) perbedaaan dalam hal aparat yang
berwenang untuk melakukan penyidikan dan cara bekerja dari tim yang melakukan
penyidikan dan hal ini disebutkan dalam Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, dan Pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa :

aparat yang berwenang dalam melakukan penyidikan untuk perkara koneksitas


terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur penyidik Polri, Polisi Militer dan
Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi, sedangkan cara bekerja tim tetap ini
disesuaikan dengan kewenagan yang ada pada masing-masing unsur tim, yaitu
tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri sedangkan tersangka
pelaku anggota militer diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer dan Oditur Militer.
Kemudian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka susunan majelis hakim
peradilan koneksitas sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang. apabila
diaperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, maka Hakim ketua adalah
dari Hakim peradilan Umum sedangkan hakim anggotanya 1 (satu) dari lingkungan
peradilan umum dan 1 (satu) dari lingkungan peradilan militer, apabila diperiksa dan
diadili dalam lingkungan peradilan militer, Hakim Ketua dari lingkungan peradilan
militer dan hakim anggota diusulkan oleh Menteri Kehakiman (menteri Hukum dan
HAM), dimana untuk hakim anggota dari lingkungan peradilan umum akan diberikan
pangkat militer „tituler‟.

2. Sebagai seorang anggota militer maka dia dianggap mampu untuk mempertanggung
jawabkan tindak pidana yang dilakukannya secara bersama dengan orang sipil, maka
penerapan pidana terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam
perkara koneksitas adalah sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan yang diatur
dalam Buku II KUHP dan pemidanaannya akan diterapkan sesuai jenis-jenis pidana
yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan juga sesuai yang diatur dalam Pasal 6
KUHPM.

B. Saran

Bahwa pada dasarnya anggota militer itu selain sebagai anggota masyarakat biasa juga
merupakan warga negara yang mempunyai tugas khusus untuk mempertahankan
keamanan negara. Oleh karena itu bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana
secara bersama-sama dengan orang sipil yang dikenal dengan perkara koneksitas
haruslah lebih tegas lagi dalam penerapan hukumannya. Sekecil apapun pelanggaran
yang dilakukan oleh seorang anggota militer perlu mendapatkan tindakan yang benar-
benar tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang bagi anggota
militer selain KUHP juga KUHPM dan Hukum Disiplin Militer.

-16-
DAFTAR PUSTAKA

Amiroedin, Syarief, Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer Dalam Perkara


Pidana Kesusilaan, Jakarta, 1996.

Anonimous, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta., 2013.

Harahap, Yahya, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;

Pemriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi


Kedua, cetakan pertama, Sinar Grafika, jakarta, 2000.

Kurniawan, Adi, Pembuktian Tindak Pidana Perzinahan Yang diLakukan Oleh Militer,
Purwokerto, 2013.

Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
2013.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

Prinst, Darwan, Peradilan Militer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Poernomo, Bambang, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cetakan ke-3,
1978.

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ke-3, Refika Aditama,
Bandung, 2003.

Sianturi, S.R, Hukum Pidana Militer, Badan Pembinaan Tentara Nasional Indonesia,
Jakarta, 2010.
......................, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-
PTHM, Jakrta, 1989.

Soesilo. R, KUHP, Politea, Bogor, 1996. Sudirdja Rudi Pradisetia, Sanksi Pidana Bagi
anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana dalam KUHPM, Makalah, FH Universitas
Pasundan, Bandung, 2011.

Salam, Moch. Faisal, Peradilan Militer Indonesia, Mandar maju, Bandung, 1994.

.........................., Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006.


Soekamto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Tim Pengajar Fakultas Hukum, Hukum
Pidana Militer, Universitas Sam Ratulangi Manado.

-17-

Anda mungkin juga menyukai