Perawatan Jenazah
Perawatan Jenazah
BAB I
PENDAHULUAN
Kepercayaan yang ada pada agama memberitahukan konsep-konsep yang benar dan yang
salah, dan perilaku yang diharapkan untuk menjadi seseorang yang baik, penuh tenggang rasa
terhadap oranglain serta mempunyai rasa cinta kasih terhadap sesama, baik dalam perkataan
maupun perbuatannya.
Dengan memahami bahwa kematian merupakan suatu yang alami dari proses kehidupan
akan membantu perawatdalam memberikan respon terhadap kebutuhan pasien dengan lebih
murah hati.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini:
1. Mengetahui konsep kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian
2. Mengetahui tindakan asuhan keperawatan perawatan jenazah
3. Mengetahui konsep kematian menurut beberapa agama
4. Mengetahui tidakan perawatan jenazah yang harus dilakukan berdasarkan
agama klien.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Kematian
Kematian suatu keadaan alamiah yang setiap individu pasti akan mengalaminya. Secara
umum, setiap manusia berkembang dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, lansia dan akhirnya
mati.
Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah,
serta hilangnya respon terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas listrik
otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap atau
terhentinya kerja otak secara menetap. . Terdapat beberapa perubahan tubuh setelah kematian,
diantaranya :
1. Algor mortis (Penurunan suhu jenazah)
Algor mortis merupakan salah satu tanda kematian yaitu terhentinya produksi panas,
sedangkan pengeluaran berlangsung terus menerus, akibat adanya perbedaan panas antara
mayat dan lingkungan.
Faktor yang mempengaruhi Algor mortis yaitu :
a. Faktor lingkungan
b. Suhu tubuh saat kematian ( suhu meningkat, a.m.makin lama)
c. Keadaan fisik tubuh serta pakaian yang menutupinya
d. Aliran udara, kelembaban udara
e. Aktivitas sebelum meninggal, konstitusi tubuh
f. Sebab kematian, posisi tubuh
Penyebab kematian menurut ilmu kedokteran tidak berhubungan dengan jatuhnya manusia
ke dalam dosa atau dengan Allah, melainkan diakibatkan tidak berfungsinya organ tertentu dari
tubuh manusia.
Kematian menurut dokter H. Tabrani Rab disebabkan empat faktor:
(1) berhentinya pernafasan
(2) matinya jaringan otak
(3) tidak berdenyutnya jantung
(4) adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-
bakteri
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi terhadap masalah sekarat dan kematian secara umum dapat dinilai dari kemampuan
individu untuk menerima makna kematian, reaksi terhadap kematian, dan perubahan perilaku,
yaitu menerima arti kematian.
Menurut agama Budha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk tertentu.Kematian
semacam ini disebut —AYU-KHAYA“.
2. Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat
terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebutKAMMA-
KHAYA“.
3. Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut di atas,
yang terjadi secara berturut-turut. Disebut —UBHAYAKKHAYA“.
4. Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu: kecelakaan, kejadian-
kejadian
yang tidak pada waktunya, atau bekerjanya gejala alam dari suatu karma akibat kelahiran
terdahulu yang tidak termasuk dalam butir (c) di atas(UPACHEDAKKA).
Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat macam
kematian ini, yaitu perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang cahayanya diibaratkan
sebagai kehidupan.Cahaya dari lampu minyak dapat padam akibat salah satu sebab berikut
ini:
1. Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian akibat berakhirnya
masa hidup suatu makhluk.
2. Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat berakhirnya tenaga
karma.
3. Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada saat bersamaan,
sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-sebab yang diuraikan pada kedua
hal di atas.
4. Pengaruh dari faktor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api lampu. Sama halnya
seperti yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar.
Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab dari kematian. Dalam
Anguttara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya, Sang Buddha menyatakan dengan pasti bahwa
karma bukan merupakan penyebab dari segala hal.
Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin
dihindari. Ia begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan
Agama. Alkitab secara “konsisten” mengaitkan kematian itu dengan dosa atau maut. (bnd Kej. 2:17;
Maz 90:7-11; Rm 5:12; 6:23; 1 Kor 15:21 dan Yak 1:1-5).
Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja (Ibr 9:27), walaupun sering kita mendengar
orang mengatakan ada yang mati dan hidup lagi, biasanya itu yang disebut dengan mati
suri. Sebenarnya kematian itu tidak sesuai dengan kodrat manusia, hal ini disebabkan oleh
pemberontakkannya kepada Allah. Bruce Milne, menambahkan bahwa ini merupakan salah satu
bentuk hukuman ilahi. Namun menurut firman Tuhan , walaupun kematian itu tak terelakkan, bukan
merupakan akhir dari segala sesuatu. Itu sebabnya pada masa manusia itu diberi kesempatan untuk
hidup, haruslah mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Kematian bagi kalangan Tionghoa dalam hal ini orang Tionghoa tradisi masih
sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber
“malapetaka” atau “sial”. Itulah sebabnya perlu ditangani dengan ritual keagamaan yang benar
sehingga kelak mereka tidak diganggu oleh roh yang meninggal itu.
Penghormatan terhadap orangtua disebut Hao (Hshiao)yang bagi mereka harus disertai sikap
hormat pada orang-orang yang lebih tua sebagai pernyataan kasih. Sikap hormat ini berlangsung
setiap hari kepada mereka yang masih hidup dan setelah meninggal dilakukan dengan cara yang
berbeda. Oleh sebab itu seorang anak sangat dipentingkan oleh keluarga orang Tionghoa, terutama
anak laki-laki. Bagi mereka anak bukan hanya untuk melanjutkan marga (She) dan membawa berkat
(Hokky) , tetapi yang terutama untuk mengganti sang ayah merawat abu leluhur.
Menurut Nio Joe Lan, ada dua macam pendapat tentang pemujaan terhadap arwah leluhur :
1. Arwah manusia itu hidup terus, dengan memujanya maka diharapkan arwah leluhur itu akan
melindungi keturunannya dari malapetaka.
2. Pemujaan terhadap arwah leluhur semata-mata hanya merupakan peringatan terhadap leluhur,
yakni mereka yang telah memberi hidup pada generasi masa kini. Jadi dengan kata lain,
memelihara “meja abu” tersebut hanya untuk mengenang orangtua yang sudah meninggal.
Seorang anak laki-laki yang tidak mengurus “abu leluhur”, disebut Put Hao (tidak berbakti), bahkan
yang lebih dahsyat lagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki juga digolongkan sebagai Put
Hao. Itu sebabnya ada kelurga yang terpaksa mengadopsi anak laki guna memenuhi syarat ini, bahkan
yang lebih celaka konsep ortodox mereka, seorang suami diijinkan menikah lagi demi untuk mendapat
anak laki-laki.
Sampai saat ini orang Tionghoa masih menganggap kematian ini merupakan suatu hal yang
tabu untuk dibicarakan, apalagi pada saat seseorang yang lagi merencanakan menikah atau
melahirkan anak. Bagi orang Tionghoa, seseorang yang sudah meninggal secara otomatis statusnya
berubah menjadi dewa, bahkan umurnya boleh ditambah tiga tahun (satu tahun untuk Bumi, satu tahun
untuk udara dan satu tahun untuk laut),oleh sebab itu orang tersebut harus disembah terutama oleh
mereka yang lebih muda, termasuk anak cucu.
Penyembahan dilakukan di kubur, selain itu dapat juga dilakukan di rumah dengan cara
memanggil roh arwah tersebut di depan altar ( Hio Lo)-nya. Biasanya Hio Lo ini dipasang di rumah
putra sulung, kecuali atas persetujuan keluarga maka boleh ditempatkan di rumah anak yang lain.
Jaman ini tersedia fasilitas khusus untuk meletakkan abu leluhur, dan ada orang-orang volunteer yang
bersedia mengurusnya. Untuk mengetahui apakah roh yang dipanggil itu sudah hadir atau belum maka
diadakan Puak Poi yakni dengan melemparkan dua keping uang logam. Apabila jatuhnya berlainan sisi
sebanyak tiga kali berturut-turut, itu berarti roh arwah yang dipanggil sudah hadir.
Menurut kepercayaan mereka, orang yang mati secara tragis misalnya, tabrakan,bunuh diri,
dan dibunuh, rohnya akan gentayangan; karena belum tiba saatnya dipanggil masuk dunia orang mati.
Nama mereka belum tercantum di dalam kerajaan maut (Im Kan) yang dikuasai raja Giam Lo (Ong =
raja). Roh gentayangan inilah yang biasanya disembah mereka pada hai Cui Ko, yakni bulan ke tujuh
tanggal lima belas.
b.Tempat Persemayaman
Pada jaman dulu, mengurus jenazah orang mati selalu menjadi tugas keluarga. Saat itu
banyak orang yang matinya di rumah bukan di rumah sakit. Anggota keluarga memandikan dan
menyiapkan tubuh itu sebelum dimakamkan, tukang kayu setempat membuat peti mati, pesuruh gereja
menggali lubang; sedangkan upacara diadakan di gereja atau di rumah. Dengan dihadiri sanak famili
dan kerabat-kerabat, tubuh (Jenazah) dibaringkan dipekuburan milik gereja atau halaman rumah.
Menurut tradisi Tionghoa, jikalau seseorang meninggal, maka mayatnya harus disemayamkan
bebrapa hari sambil mengadakan upacara-upacara sembahyang dan pada malam hari mayatnya harus
tetap dijaga, sebab menurut kepercayaan mereka apabila mayat tersebut dilangkahi kucing maka
mayat itu bisa bangkit berdiri. Pada saat inilah sanak keluarga mengadakan penyembahan kepada roh
orang yang meninggal sebagai suatu penghormatan (Hao).
Tempat persemayaman jenazah biasanya dilakukan di rumah, namaun sekarang orang lebih
senang memakai rumah sosial, di Surabaya misalnya Yayasan Sosial Adi Jasa dan
sebagainya. Sebenarnya bagi orang Tionghoa tradisi, menyemayamkan orang mati di rumah sendiri
itu lebih baik, hal ini jugga untuk menunjukkan Hao mereka, namun karena pada masa sekarang karena
masalah keamanan, rumah yang tidak memadai, parkir, membuat orang-orang memakai rumah sosial.
2. Mengkafani jenazah
Tata cara mengkafani jenazah adalah:
Jenazah laki-laki atau wanita minimal dibungkus dengan selapis kain kafan yang menutupi
seluruh tubuhnya. Namun untuk jenazah laki-laki sebaiknya dibungkus tiga lapis dan untuk
wanita lima lapis yaitu kain basahan, baju, tutup kepala, kerudung dan kain kafan yang
menutupi seluruh tubuhnya.
3. Menyolatkan jenazah
Syarat-syarat sah sholat jenazah adalah:
a. Menutup aurat, suci dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempatnya
serta menghadap kiblat.
b. Mayat sudah dimandikan dan dikafani.
c. Letak mayat sebelah kiblat orang yang menyolatinya, kecuali kalau sholat dilakukan di atas
kubur atau sholat gaib
2. Mempersiapkan pakaian
a.Pakaian harus bersih dan rapi, dan yang paling penting adalah bahwa baju yang dikenakan
pada jenazah merupakan pakaian yang paling disenanginya sewaktu masih hidup
Sarung tangan dan kaos kaki yang berwarna putih
b.Pakaian yang disesuaikan dengan adat masing-masing, misalnya dengan menggunakan kain
putih
4. Pelaksanaan Pemandian
a.Jenazah setelah disembahyangkan kemudian diusung ke tempat pemandian yang telah
disiapkan
b.Jenazah dimandikan dengan air bersih terlebih dahulu, kemudian air bunga, lalu dibilas
dengan air yang sudah dicampur dengan minyak wangi.
c.Jenazah dikramasi rambutnya dengan sampo, kemudian disabun seluruh badannya dan
giginya disikat dan kukunya dibersihkan, setelah itu dibilas lagi dengan air bersih
d.Sehabis itu jenazah dilap dengan handuk.
5. Pemakaian pakaian
a.Jenazah laki-laki
Pakaian jenazah laki-laki, baju lengan panjang, celana panjang, dan yang paling disenangi oleh
almarhum sewaktu masih hidup, rambut disisir rapi, bila perlu diberi minyak rambut, lalu
kedua tangannya dikenakan sarung tangan, dan juga kedua kakinya diberi kaos kaki berwarna
putih.
b.Jenazah Perempuan
Pakaian jenazah perempuan adalah pakaian nasional, misalnya kebaya dan memakai kain
(pakaian adat daerah) dan khuusnya pakaian yang disenangi olehnya sewaktu dia hidup.
Mukanya diberi bedak, rambutnya disisir rapi, bila rambutnya panjang bisa disanggul. Lalu
kedua tangannya diberi sarung tangan, dan kedua kakinya diberi kaos kaki berwarna putih.
(Pemuda dan mahasiswa Buddhis.1999. Petunjuk Teknis Perawatan Jenazah bagi Umat
Beragama Buddha di Indonesia. Diakses dari :
http://groups.yahoo.com/group/pemuda_buddhis/message/126.
1. Pakaian
Pakaian ini mulai disediakan tatkala seseorang anggota keluarga itu lanjut usia. Biasanya
karena penyakit ketuaan yang diderita bertahun-tahun, sehingga si sakit meminta anak cucunya untuk
menyediakan pakaian itu baginya. Untuk membeli pakaian ini, harus memeilih hari dan bulan baik yang
dibaca melalui buku Thong Su (semacam ensiklopedi Tioinghoa). Nama pakaian itu Sui I (Baju panjang
umur). Mernurut Martin C. Yang, pakaian tersebut dapat segera dikenakan pada si sakit apabila
diperkirakan orang itu sudah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir.
- Pakaian Berkabung
Orang yang berkabung (istilahnya Hao Lam) mengenakan pakaian serba putih, topi putih yang
terbuat dari kain blacu. Mereka yang lebih kental tradisinya lagi memakai pakaian serba hiam. Selain
itu juga dipasang Ha di lengan baju kiri tanda berkabung. Tujuan mereka memakai pakaian berkabung
adalah untuk meringankan penderitaan orang yanag meninggal, semakin kental tradisi itu dijalankan
maka semakin ringan penderitaannya. Sedangkan dampaknya bagi yang berkabung, mereka akan
mendapat pengaruh baik atau Hokky , semakin lama masa berkabung, maka semakin banyak
pengaruh baiknya.
-Peti Mati
Peti mati yang dipakai orang Tionghoa tradisi kelihatannya menyeramkan, sebab selain ukurannya
besar, berat ditambah lagi banyak ukir-ukiran kuno. Merupakan kebanggan tersendiri, apabila sanak
keluarga mampu membeli sendiri peti mati, sebab ada kepercayaan mereka siapa yang yang membeli,
dialah yang akan mendapat banyak rezeki. Bagi mereka peti mati merupakan sarana untuk menghantar
orang mati ke dalam kuburnya, oleh sebab itu semua barang-barang kesayangan almarhum supaya
dimasukkan juga ke dalamnya. Pembelian peti mati yang mahal juga merupakan salah satu
bukti Hao nya anak-anak, dan ada kebiasaan peti tersebut tidak boleh ditawar harganya.
- Tempat Dupa
Tempat dupa (Hio Lo), merupakan sebuah bokor kecil yang fungsinya sebagai tancapan dupa.
Benda ini mempunyai dua buah kuping, sedangakan pada bagian depannya terukir sebuah
kata Hi (bahagia). Lazimnya Hio Lo itu terbuat dari timah, namun sekarang ini tidak jarang kita lihat Hio
Lo yang terbuat dari tanah liat. Hio Lo itu diisi abu dapur yang kemudian dipercayai sebagai abu leluhur
dan harus dipelihara sampai generasi turun-temurun. Dupa (Hio) merupakan alat sembahyang yang
dibakar dan mengeluarkan bau-bau harum. Makna yang terkandung dalam pembakaran dupa ialah
menemukan jalan suci. Dalam konteks kematian seperti ini Hiomenyatakan bahwa yang bersangkutan
hadir dalam acara perkabungan. Melalui Hio ini akan terjalin komunikasi antara hidup dan yang mati.
- Lilin
Lilin merupakan tanda duka-cita, tetapi juga merupakan tanda bahwa para pelayat tidak membawa
sial. Menurut kepercayaan mereka tetesan air lilin ini tidak boleh kena tubuh kita, karena akan
membawa sial seumur hidup.
- Foto Almarhum
Foto Almarhum diletakkan di depan peti mati yang kemudian setelah pemakaman dibawa pulang
oleh putra sulung untuk di sembah. Foto juga dipakai sebagai iklan di Surat Kabar, supaya sanak famili,
handai-taulan mengetahui beliau ini sudah meninggal. Sering terjadi percekcokkan hanya karena nama
seseorang famili lupa dicantumkan, oleh sebab itu memerlukan ketelitian.
Selama persemayaman, jenazah tersebut sudah mulai disembah dengan dipimpin oleh padri (Sai
Kong) atau Bikhu/Bikhuni. Sanak keluarga dikumpulkan dengan mengenakan pakaian berkabung,
mereka diminta untuk membakar dupa, berlutut dan mengelilingi peti mati berulang-ulang sebagai
tanda hormat. Anak sulung (laki-laki) memegang “Tong Huan” sebagai alat sembahyang selama ritual
itu.
Setelah ditetapkan hari dan jamnya, maka jenazah tersebut segera dimasukkan ke dalam peti
sambil diisi barang-barang kesukaan almarhum dan kemudian dipenuhkan dengan uang kertas
sembahyang. Sesudah jenazah dimasukkkan ke dalam peti, maka diadakan sembahyang “memaku
peti jenazah” . Pada saat itu padri mengucapkan kalimat “It thiam teng, po pi kia sai” artinya paku
pertama diberkatilah anak menantu”, dengan demikian seterusnya sampai paku ke empat. Setelah itu
diadakan doa dengan harapan agar meringankan dosa yang diperbuat oleh orang yang meninggal
itu. Selain itu bagi mereka, cara menggeser peti mati itu juga ada syaratnya, tidak boleh menyentuh
kosen pintu rumah, sebab menurut kepercayaan mereka roh almarhum itu akan tinggal di tempat yang
tersenggol dan itu akan mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.
Pemberangkatan jenazah ke tempat pemakaman dimulai dengan sembahyang. Kali ini semua
sanak famili mempersembahkan korban berupa daging, buah-buahan atau kue-kue, yang setelah
selesai acaranya boleh dibawa pulang untuk dimakan bersama, supaya mendapat berkat dan
rezeki. Pada saat yang sama menantu laki mengadakan ritualnya dengan mempersembahakan “Leng
Ceng”
Bagi mereka yang masih memegang ketat tradisi, untuk menunjukkan rasa cinta anak pada orang
tua, maka mereka diharuskan telanjang kaki berjalan samapi persimpangan jalan barulah boleh masuk
ke mobil jenazah yang mengantar sampai ke kubur. Namun belakangan ini tradisi seperti ini jarang
dilakukan, sebab selain udara yang panas juga mengganggu lalu-lintas jalan.
Selain itu juga diadakan pemecahan guci, semangka dan sebagainya, semua ini tujuannya supaya
mendapatkan berkat.
- Sembahyang di kubur
Ritual penyembahan di kubur (kremasi) dilakukan dengan cara membakar dupa, berlutut,
mengelilingi peti jenazah yang dipimpin kembali oleh padri. Setelah selesai sembahyang, maka
dilakukan secara teratur tabur bunga yang dimulai oleh sanak keluarga dan famili yang diikuti oleh
pelayat. Pada saat ini juga, famili, cucu luar mengambil kesempatan membuang (Ha), dengan demikian
mereka sudah boleh memakai pakaian bebas.
Di kubur juga ada ritual lain seperti pelepasan burung merpati, lalu ada yang meguburkan boneka
di samping kuburan tersebut, dengan tujuan supaya adayang menemani arwah itu, dan tujuan lain
supaya arwah tersebut tidak mengajak pasangannya yang masih hidup.
Perjalanan pulang dari tempat pemakaman (kremasi), dilakukan setelah semua upacaranya
selesai. Pihak berkabung membagi-bagikan Ang Pao kepada para pelayat sebagai tanda ucapan
terima klasih. Sementara itu anak sulung membawa Hio Lo sambil dupanya tetap dinyalahkan dan
anak yang lain memegang foto almarhum.
Dalam sepanjang perjalanan itu, anak-anak almarhum harus memberi komandao, misalnya tatkala
meliwati jembatan. Komando ini diucapkanm serentak kepada roh yang mereka bawa melalui Hio Lo,
supaya roh tersebut tidak tersesat pulang ke rumah. Hio Lo inilah yang kemudian diletakkan di rumah
anak sulung supaya disembah oleh semua sanak keluarga.
Para pelayat yang yang sudah tiba di rumah duka atau rumah almarhum, biasanya disediakan
air bunga untuk cuci wajah dan disediakan makanan ala kadarnya.
Pada dasarnya melalui uraian ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kematian bagi
orang Tionghoa tradisi merupakan sesuatu yang tabu, mengerikan dan penuh misteri. Mereka percaya
ada kehidupan setelah kematian, namun sayang semuanya penuh ketidak-berdayaan dan penderitaan,
sehingga orang-orang yang meninggal justru memerlukan pertolongan dari sanak keluarga, misalnya
dalam memenuhi kebutuhan makanan,pakaian, rumah serta uang. Herannya dalam ritual yang lain,
sanak keluarga menganggap bahwa orang yang mati itu sudah menjadi dewa, sehingga mereka datang
kepada arwah tersebut untuk mohon berkat (rejeki).
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Kehilangan adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat unik secara
individual. Hidup adalah serangkaian kehilangan dan pencapaian. Seorang anak yang mulai
belajarKehilangan mencapai kemandiriannya dengan mobilisasi. Seorang lansia dengan
perubahan visual dan pendengaran mungkin kehilangan keterandalan-dirinya. Penyakit dan
perawatan di rumah sakit sering melibatkan berbagai kehilangan. Kematian merupakan salah
satu contoh kehilangan yang nyata.
Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah,
serta hilangnya respon terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas listrik
otak, atau dapat juga dikatakan terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap atau
terhentinya kerja otak secara menetap.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatannya, perawat harus mengetahui konsep
kematian berdasarkan agama pasien. Perawat memiliki peranan dalam perawatan jenazah.
Perawatan yang dilakukan terhadap jenazah berbeda sesuai dengan agama pasien. Perawatan
jenazah pada pasien beragama Kristen antara lain memandikan jenazah dan memformalin
jenazah. Perawatan jenazah pasien beragama Islam antara lain, membujurkan jenazah,
memandikan jenazah, mengkafani jenazah, dan menyolatkan jenazah. Sedangkan perawatan
jenazah pasien beragama Hindu antara lain memandikan jenazah dan membungkus jenazah
dengan kain putih.
Dalam melakukan perawatan jenazah, perawat harus mengetahui penyebab kematian
pasien, apakah karena penyakit menular atau tidak. Jika, pasien tersebut meninggal karena
penyakit menular, maka perawat harus menggunakan alat pelindung diri saat melakukan
perawatan jenazah.
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental keperawatan volume 1. Edisi 4. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran
Kozier dkk. Fundamental of nursing concepts, process and practice. Edisi 7.
Karim, H. A. Abdul. 2002. Petunjuk Merawat Jenazah dan Shalat Jenazah. Jakarta : Amzah
http://sites.google.com/a/saumimansaud.org/www/kematian
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/11705
http://groups.yahoo.com/group/debat-alkitab/message/12003?var=1
http://elmanbillonx.blogspot.co.id/2013/04/perawatan-jenajah.html