Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM

Penentuan Kadar Protein (N-Total) dari Daging Ayam dengan Metode Kjeldahl

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas


matakuliah Kimia Analisis Bahan Pangan dan Cemarannya

Dosen Pengasuh:
Dr. Miratul Khasanah, M.Si
Dr. Muji Harsini, M.Si

Disusun Oleh:
Rahmat Eko Sanjaya (NIM. 081324253002)

PROGRAM MAGISTER KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014
Judul Praktikum : Penentuan Kadar Protein (N-Total) dari Daging Ayam dengan Metode Kjeldahl
Tujuan : Menentukan kadar protein berupa N-total dari daging ayam dengan metode Kjeldahl
Hari/Tanggal : Rabu dan Jumat/7 dan 9 Mei 2014
Tempat : Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Unair

I. Dasar Teori
Protein merupakan suatu zat makanan yang penting bagi tubuh manusia, selain protein
berperan sebagai salah satu sumber energi dalam tubuh, protein juga berperan sebagai zat
pembangun dan pengatur fungsi tubuh. Metabolisme protein hasil konsumsi makanan yang
mengandung protein tidak hanya bermanfaat secara makro, tetapi juga berperan sebagai pembangun
molekul genetik melalui biosintesis nukleotida atau nukleosida. Protein adalah sumber asam amino
yang yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan yang paling penting adalah sebagai sumber N, unsur
yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang dan
ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam kelumit seperti besi dan belerang.
Peran protein sebagai zat pembangun terlihat dari fungsi protein sebagai bahan pembentuk
jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi di dalam tubuh. Pada masa pertumbuhan, proses
pembentukan jaringan terjadi secara besar-besaran, pada masa kehamilan proteinlah yang membentuk
jaringan janin dan pertumbuhan embrio. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang
perlu dirombak. Fungsi utama protein adalah membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan
yang telah ada.
Protein sebagai salah satu makromolekul sumber pangan manusia banyak ditemukan pada sel
tanaman dan hewan. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi, baik dari jumlah maupun
jenisnya. Bahan pangan hewani (seperti telur, daging, susu dan ikan), leguminose (seperti kacang-
kacangan) dan serealia (seperti beras, gandum dan jagung) umumnya mengandung protein yang
tinggi. Protein merupakan sumber gizi utama yaitu sebagai sumber asam amino. Diantaranya terdapat
8 dari 20 asam amino penyusun protein yang merupakan zat nutrisi esensial yang diperlukan tubuh,
yaitu lisin, triptofan, fenilalanin, metionin, treonin, leusin, isoleusin dan valin. Tabel 1 menampilkan data
kandungan protein dari beberapa jenis bahan pangan. Disamping sebagai sumber gizi, protein juga
memberikan sifat fungsional yang penting dalam membentuk karakteristik produk pangan.
Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa bahan pangan
Kandungan protein Kandungan protein
Bahan pangan hewani Bahan pangan nabati
(persen basis basah) (persen basis basah)
Daging sapi 18,5 Beras 7,9
Daging ayam 23,1 Tepung gandum 13,7
Telur 12,5 Tepung maizena 6,9
Ikan tuna 26,5 Pati jagung 0,3
Susu segar 3,3 Apel 0,2
Susu skim (kering) 36,2 Kentang 2,0
Keju cheddar 24,9 Kacang kedelai 36,5
Yogurt 5,3 Tahu 15,8
Sumber: USDA Nutrient Database for standard reference (http://www/nal.usda.gov)
Dalam bahan pangan, protein umumnya digolongkan menjadi protein globular, protein serat
(fibrous) dan protein konyugasi. Protein globular umumnya mempunyai sifat yang laruta dalam air,
asam, basa dan etanol. Protein ini dapat mengalami denaturasi dengan pemanasan yang
mengakibatkan sifat kelarutan dalam air hilang. Salah satu protein globular adalah albumin yang

2
banyak terdapat di dalam telur. Protein serat bersifat tidak laruta dalam air, sukar diuraikan dengan
enzim dan merupakan penyusun utama dari struktur sel. Protein konyugasi adalah protein yang
berikatan dengan senyawa bukan asam amino, seperti karbohidrat, lemak, logam dan fosfor.
Protein merupakan molekul polipeptida berukuran besar yang disusun oleh lebih dari 100 buah
asam amino yang berikatan satu sama lain secara kovalen dan dalam urutan yang khas yang disebut
dengan ikatan peptida. Umumnya, terdapat 20 jenis asam amino yang menyusun struktur protein. Yang
membedakan antara satu protein dengan protein lainnya adalah urutan dan jumlah asam amino yang
menyusun protein tersebut.
Semua asam amino penyusun protein mempunyai ciri yang sama, yaitu memiliki gugus
karboksil (-COOH) yang bersifat asam dan gugus amino (-NH2) yang bersifat basa yang diikat pada
atom karbon yang sama. Dalam struktur asam amino, gugus karboksil dapat bermuatan negatif
sedangkan gugus amino dapat bermuatan positif, tergantung pada pH medium. Yang membedakan
asam amino satu dengan asam amino lainnya adalah gugus R-nya yang bervariasi dalam struktur,
ukuran, muatan listrik dan kelarutan di dalam air. Adanya gugus karboksil dan gugus amino pada asam
amino menyebabkan protein bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat sebagai asam dan basa, tergantung
nilai pH-nya. Muatan pada proteinjuga sangat ditentukan oleh muatan pada gugus R-nya. Pada kondisi
dimana muatan positif dan negatif protein sama banyaknya, protein dikatakan mencapai titik isoelektrik.
Pada pH di bawah titik isoelektrik, protein cenderung bermuatan positif. Sebaliknya, pada pH di atas
titik isoelektrik, protein cenderung bermuatan negatif. Titik isoelektrik protein sangat penting dalam
proses pengolahan makanan, karena pada titik isoelektrik ini protein memiliki kelarutan yang minimum.
Dengan demikian, bahan pangan cair yang mengandung protein (seperti susu) akan mengalami
penggumpalan apabila pH susu berubah sehingga mencapai titik isoelektriknya.
Analisis protein perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan total protein dari suatu bahan
pangan, jumlah protein tertentu dalam suatu campuran, kandungan protein hasil dari suatu isolasi dan
purifikasi protein, kandungan non-protein nitrogen, komposisi asam amino dan nilai gizi protein. Analisis
protein cukup kompleks disebabkan terdapat komponen-komponen pangan lain yang memiliki sifat
fisika-kimia yang mirip yang dapat memengaruhi pengukuran. Sebagai gambaran, nitrogen bukan
hanya terdapat pada protein, tetapi juga pada komponen non-protein seperti asam amino bebas,
peptida berukuran kecil, asam nukleat, fosfolipid, gula amin, porfirin, dan beberpa vitamin, alkaloid,
asam urat, urea dan ion amonium. Dengan demikian, total nitrogen organik dari bahan pangan tidak
hanya berasal dari protein, tetapi juga ada sebagian kecil dari komponen-komponen non-protein yang
mengandung nitrogen yang ikut terukur. Salah satu metode analisis dalam menentukan kandungan
protein dari bahan pangan adalah dengan menggunakan metode Kjeldahl. Metode Kjeldahl
menggunakan prinsip penentuan kadar nitrogen total untuk kemudian dikonversi menjadi kadar protein.
Metode Kjeldahl dikembangkan pada tahun 1883 oleh pembuat bir bernama Johann Kjeldahl.
Makanan didigesti dengan asam kuat sehingga melepaskan nitrogen yang dapat ditentukan kadarnya
dengan teknik titrasi yang sesuai. Jumlah protein yang ada kemudian dihitung dari kadar nitrogen
dalam sampel. Prinsip dasar yang sama masih digunakan hingga sekarang, walaupun dengan
modifikasi untuk mempercepat proses dan mencapai pengukuran yang lebih akurat. Metode ini masih
merupakan metode standar untuk penentuan kadar protein. Karena metode Kjeldahl tidak menghitung
kadar protein secara langsung, diperlukan faktor konversi (F) untuk menghitung kadar protein total dan
kadar nitrogen. Faktor konversi 6,25 (setara dengan 0,16 g nitrogen per gram protein) digunakan untuk
banyak jenis makanan, namun angka ini hanya nilai rata-rata, tiap protein mempunyai faktor konversi

3
yang berbeda tergantung komposisi asam aminonya. Metode Kjeldahl terdiri dari tiga langkah: digesti
(destruksi), netralisasi dan titrasi.
Tahap destruksi, sampel makanan yang akan dianalisis ditimbang dan didestruksi dengan
pemanasan dan penambahan asam sulfat pekat (sebagai oksidator yang dapat mendiestruksi
makanan) dan batu didih (untuk mempercepat tercapainya titik didih). Destruksi mengubah nitrogen
dalam makanan (selain yang dalam bentuk nitrat atau nitrit) menjadi amonia, sedangkan unsur oganik
lain menjadi CO2 dan H2O. Gas amonia tidak dilepaskan ke dalam larutan asam karena berada dalam
bentuk ion amonium (NH4+) yang terikat dengan ion sulfat (SO42-) sehingga yang berada dalam larutan
adalah:
N (makanan)  (NH4)2SO4
Setelah proses destruksi sempurna, sampel dipindahkan ke dalam labu destilasi dan kemudian
dihubungkan dengan labu penerima (receiving flask) melalui sebuah tabung (alat destilasi). Larutan
dalam labu destilasi dibasakan dengan penambahan NaOH 50%, yang mengubah amonium sulfat
menjadi gas amonia.
(NH4)2SO4 + 2 NaOH  2 NH3 + 2 H2O + Na2SO4
Gas amonia yang terbentuk dilepaskan dari larutan dan berpindah keluar dari labu destilasi masuk ke
labu penerima, yang berisi asam klorida berlebih. Rendahnya pH larutan di labu penerima mengubah
gas amonia menjadi ion amonium. Sisa asam klorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan
NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah
muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP.
NH3 + HCl  NH4+ + Cl- + HCl sisa
Tahap terakhir adalah titrasi, Kandungan nitrogen diestimasi dengan titrasi asam klorida sisa yang terbentuk
dengan NaOH standar, menggunakan indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir titrasi (metil merah).
HCl + NaOH  NaCl + H2O
Kadar ion OH- yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi asam klorida setara dengan kadar
nitrogen dalam sampel makanan secara stoikiometrik.
Kadar nitrogen dalam sampel hasil analisis dengan metode Kjeldahl dapat diestimasi dengan
persamaan:

(𝑚𝐿 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑚𝐿 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) 𝑥 𝑀 𝑁𝑎𝑂𝐻


%𝑁 = 𝑥 100 𝑥 14,008
𝑔 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑥 1000

% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = % 𝑁 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑒𝑣𝑟𝑠𝑖

Faktor konversi merupakan salah satu variabel dalam penentuan kadar protein sampel. Faktor
konversi memberikan informasi mengenai kadar nitrogen dalam protein. Faktor konversi setiap bahan
pangan berbeda, tergantung pada jenis bahan pangan yang dianalisis. Tabel 2 menyajikan faktor
konversi beberapa bahan pangan dalam penentuan kadar protein.
Tabel 2. Faktor konversi untuk mengkonversi persen nitrogen menjadi protein
Jenis pangan X (%N dalam protein) Faktor konversi F (100/X)
Campuran 16,00 6,25
Daging 16,00 6,25
Maizena 16,00 6,25
Roti, gandum, makaroni, bakmi 16,00 6,25

4
Susu dan produk susu 15,66 6,38
Tepung 17,54 5,70
Telur 14,97 6,68
Gelatin 18,02 5,55
Kedelai 17,51 5,71
Beras 16,81 5,95
Kacang tanah 18,32 5,46
Sumber: Analisis Pangan oleh Andarwulan, Kusnandar dan Herawati, 2011)

II. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
Spatula 1 buah
Neraca Analitik 1 buah
Labu Kjeldahl 2 buah
Corong 2 buah
Pemanas Listrik 1 set
Gelas Kimia 100 mL 3 buah
Gelas Kimia 1000 mL 1 buah
Gelas Ukur 1 buah
Labu Destilasi 1 buah
Labu Erlenmeyer 1 buah
Labu Pengenceran 100 mL 1 buah
Buret 1 buah
Labu Titrasi (Erlenmeyer) 1 buah
Statif dan Klem 1 set
Pipet Volume 25 mL 1 buah
Pipet Tetes 1 buah
Batang Pengaduk 1 buah
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut:
1. Daging Ayam
2. Pelet Kjeldahl
3. Batu Didih
4. Asam sulfat pekat
5. NaOH 50%
6. HCl 0,0892 N (Hasil standarisasi dengan larutan baku primer boraks)
7. NaOH 0,1123 N (Hasil standarisasi dengan larutan baku primer asam oksalat)
8. Aquades

III. Prosedur Kerja


1. Menimbang 1 gram daging ayam yang sudah bersih menggunakan neraca analitik dan
memasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian menambahkan ¼ tablet dari pelet Kjeldahl dan
beberapa batu didih.
2. Menambahkan 15 mL Asam sulfat pekat ke dalam labu Kjeldahl yang telah berisi sampel,
kemudian panaskan hingga larutan sampel mejadi jernih dan berhenti berasap. Pemanasan
dilakukan dari pemanasan dengan temperatur rendah hingga temperatur tinggi secara bertahap.
Jika larutan sampel sudah jernih dan berhenti mengeluarkan asap, mendiamkan labu selama
beberapa waktu hingga dingin.

5
3. Larutan sampel dipindahkan ke labu pengenceran kemudian diencerkan dengan aquades hingga
volume menjadi 100 mL. Mengambil 25 mL dari larutan sampel hasil pengenceran dan dipindahkan
ke dalam labu destilasi yang telah berisi beberapa batu didih.
4. Menambahkan larutan NaOH 50% (b/v) secara perlahan-lahan ke dalam larutan sampel yang
sebelumnya sudah ditambahkan beberapa tetes indikator phenolftalein (PP). Larutan NaOH 50%
berhenti ditambahkan ketika larutan sampel dalam labu destilasi telah berubah menjadi warna
merah muda permanen.
5. Penambahan NaOH 50% ke dalam larutan sampel pada labu destilasi dilakukan dalam ice bath.
6. Memasang labu destilasi yang telah berisi larutan sampel dalam keadaan basa pada alat destilasi.
7. Destilat ditampung dalam erlemeyer yang telah terisi 25 mL larutan HCl 0,0892 N dan beberapa
tetes indikator metil merah.
8. Melakukan proses destilasi hingga volume pada labu destilat menjadi dua kali lebih banyak dari
volume awal dan ujung destilator harus terendam di dalam larutan pada erlenmeyer penampung
destilat.
9. Melakukan titrasi terhadap destilat dengan menggunakan larutan NaOH 0,1123 N hingga destilat
berubah warna menjadi kuning.
10. Mengulangi proses di atas dengan menggunakan larutan blanko, yaitu mengganti sampel dengan
aquades.
11. Melakukan perhitungan kadar nitrogen dengan menggunakan rumus:

(𝑚𝐿 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑚𝐿 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) 𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻


%𝑁 = 𝑥 100 𝑥 14,008
𝑔 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑥 1000

% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = % 𝑁 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑒𝑣𝑟𝑠𝑖

IV. Hasil dan Pembahasan


Hasil praktikum penentuan kadar protein (N-total) dengan metode Kjeldahl, didapatkan data-
data sebagai berikut.
Volume titran NaOH 0,1123 N (larutan sampel) = 11,2 mL
Volume titran NaOH 0,1123 N (larutan balnko) = 37,9 mL
Volume titran tersebut di atas untuk 25 mL larutan sampel dari 100 mL larutan sampel hasil
pengenceran, sehingga dikalikan 4 untuk menentukan jumlah mol NaOH yang digunakan untuk
menentukan kadar N.
Kadar nitrogen dalam 1 gram (pengenceran hingga 100 mL) sampel:
(𝑚𝐿 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 − 𝑚𝐿 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) 𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 4
%𝑁 = 𝑥 100 𝑥 14,008
𝑔 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑥 1000
(37,9 𝑚𝐿 − 11,2 𝑚𝐿) 𝑥 0,1123 𝑁 𝑥 4
%𝑁 = 𝑥 100 𝑥 14,008
1 𝑔 𝑥 1000
% 𝑁 = 16,8006 %
% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = % 𝑁 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑒𝑣𝑟𝑠𝑖
% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = 16,8006 % 𝑥 6,25
% 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = 105,0038 %
Jadi, kadar protein dalam 1 gram sampel daging ayam adalah 105,0038%

6
Praktikum penentuan kadar protein dari daging ayam menghasilkan kadar lebih dari 100%
serta kadar N-total sampel lebih dari 16,00, yaitu kadar N-total pada umumnya dari daging ayam.
Kelebihan kadar N-total hasil estimasi dengan titrasi, mengakibatkan kadar protein lebih besar dari
kadar maksimal protein dalam sampel atau bahan pangan, yaitu 100%. Terdapat beberapa
kemungkinan mengenai penambahan kadar protein sampel yang melebihi kadar maksimal protein
dalam sampel bahan pangan. Salah satu kemungkinan tersebut adalah kandungan dari N-total yang
terkandung dalam sampel. Seperti yang telah dijelaskan pada dasar teori di atas, bahwa terdapat
senyawa-senyawa dalam bahan pangan yang mengandung nitrogen (N) selain protein, bahkan asam
amino bebas pun menyumbang nitrogen yang dapat mempengaruhi estimasi harga protein.
Volume NaOH sebagai titran merupakan salah satu penentu dari kadar N-total dalam sampel.
Larutan NaOH merupakan standar baku yang digunakan untuk mengetahui jumlah HCl sisa yang tidak
ikut bereaksi dengan N dalam bentuk amonia (NH3). Berdasarkan hal yang demikian, dapat
diperkirakan salah satu penyebab dari kelebihan kadar N-total sampel dari kadar N-total maksimal
adalah pada proses destilasi. Destilasi merupakan proses pemindahan Nitrogen dalam bentuk amonia
ke dalam larutan asam klorida. Amonia akan bereaksi dengan asam klorida membentuk amonium
klorida dan terdapat asam klorida sisa yang tidak bereaksi dengan amonia. Asam klorida sisa tersebut
merupakan sarana untuk menentuakan kadar N-total dari sampel setelah dilakukan titrasi. Juga
diperlukan blanko yang digunakan sebagai faktor koreksi dalam penentuan kadar N-total sampel.
Kemungkinan kelebihan kadar N-total sampel dari kadar seharusnya terletak pada proses destilasi ini.
Ketika sampel dilakukan destilasi, destilasi dihentikan ketika volume destilat telah mencapai batas
(sekitar 50 mL). Acuan penghentian proses destilasi yang hanya mengacu pada volume destilat,
memungkinkan tidak semua amonia dalam sampel mengalir ke destilat. Hal ini memungkinkan masih
terdapat amonia dalam labu destilasi. Akibatnya, HCl sisa lebih besar dari seharusnya. Seharusnya,
dalam proses destilasi, diperlukan pengamatan mengenai kemungkinan masih terdapatnya amonia
dalam labu destilasi. Pengamatan tersebut dapat dilakukan dengan menguji tetesan yang keluar dari
ujung destilator ketika labu penampung destilat telah dipisahkan dari alat destilasi. Tetesan tersebut
dapat diuji dengan kertas lakmus merah. Jika lakmus merah berubbah warna menjadi biru, berarti
dalam labu destilasi masih terdapat amonia yang tidak mengalir semua.
Dua kemungkinan di atas, yaitu pengaruh N dari senyawa lain selain protein dan tidak semua
amonia mengalir ke labu destilat merupakan kemungkinan yang paling mungkin menyebabkan
terjadinya kelebihan kadar N dari kadar seharusnya yang berakibat pada kadar protein yang lebih dari
100%. Kedua hal tersebut dapat menjadi kemungkinan karena pertambahan kadar protein tidak terlalu
signifikan, hanya sebesar 5,0038% dan penambahan kadar N total yang hanya sebesar 0,8006%.
Sampel hasil destruksi diencerkan hingga 100 mL dan hanya 25 mL saja yang digunakan
dalam proses destilasi hingga titrasi. Pengenceran ini diperlukan untuk menurunkan kepekatan asam
sulfat yang digunakan untuk destruksi sampel. Selain itu, hanya 25 mL yang digunakan karena volume
ini merupakan volume yang relatif ideal untuk estimasi kadar N-total. Volume ini dikatakan ideal karena
dengan volume demikian dan sampel yang telah diencerkan, jumlah larutan NaOH 50% yang
digunakan tidak terlalu besar untuk membasakan sampel. Berbeda halnya dengan sampel yang tidak
diencerkan, volume NaOH 50% yang digunakan akan terlalu besar dan ini akan berdampak pada
proses destilasi yang tidak efesien. Akibatnya, dalam hasil pengamatan pada laporan ini, pada rumus
penentuan kadar N-total ditambahkan faktor pengali 4, yaitu jumlah mol dari NaOH 0,1123 N untuk
menitrasi sampel dikalikan 4. Pengalian ini didasarkan pada volume sampel yang digunakan hanya ¼
dari volume sampel hasil pengenceran.

7
V. Kesimpulan
Dari hasil praktikum mengenai penetapan kadar protein (N-total) daging ayam dengan metode Kjeldahl
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kadar N-total 1 gram daging ayam hasil analisis dengan metode Kjeldahl, yaitu sebesar 16,8006%
2. Kadar protein 1 gram daging ayam hasil analisis dengan metode Kjeldahl sebesar 105,0038%
3. Kelebihan kadar N-total dan kadar protein dari kadar maksimal seharusnya disebabkan oleh
kemungkinan terdapatnya senyawa atau bahan lain dari sampel yang mengandung nitrogen selain
protein dan proses destilasi yang tidak sempurna.

VI. Daftar Pustaka


Andarwulan, N., Kusnandar, F., & Herawati, D. (2011). Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat.
deMan, J. M. (1997). Kimia Makanan. (K. Padmawinata, Trans.) Bandung: Penerbit ITB.
Winarno, F. G. (1992). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://rinaherowati.files.wordpress.com/2011/10/2-analisis-protein_.pdf diakses pada tanggal 15 Mei
2014
http://ayutiana.wordpress.com/2013/12/05/laporan-analisis-n-total-secara-destilasi-kjeldahl/ diakses
pada tanggal 15 Mei 2014
http://mnurcholis.lecture.ub.ac.id/files/2013/03/AZG-Protein-Compatibility-Mode.pdf diakses pada
tanggal 15 Mei 2014

8
Lampiran

Alat-alat yang digunakan dalam analisis protein

Destruksi sampel dengan labu Kjeldahl dalam


lemari asam

9
Rangkaian alat untuk destruksi sampel

Rangkaian alat destilasi untuk mendapatkan


nitrogen dalam bentuk amonia

Labu erlenmeyer penampung destilat yang telah


berisi asam klorida dan indikator metil merah

10

Anda mungkin juga menyukai