Anda di halaman 1dari 25

KELOMPOK B5

KIM AP2

M. RAFI RAYANDHIKA(J0312201063)
TRI WAHYU KODRADI (J0312201086)
PENENTUAN GULA (SUKROSA,
GLUKOSA, ARABINOSA, MALTOSA,
LAKTOSA, DAN FRUKTOSA)
DENGAN KROMATOGRAFI KERTAS
POKOK BAHASAN

01 02 03 04
PENDAHULUAN METODE HASIL DAN PENUTUP
PEMBAHASAN

Latar Belakang Alat dan Bahan Hasil Kesimpulan

Prinsip Prosedur Pembahasan Daftar Pustaka

Tujuan
PENDAHULUAN
Kromatografi
Kromatografi adalah proses melewatkan
sampel melalui suatu kolom, perbedaan

Kertas kemampuan adsorpsi terhadap zat-zat yang


sangat mirip mempengaruhi resolusi zat
terlarut dan menghasilkan apa yang disebut
kromatogram (Khopkar 1990).
Pemisahan secara kromatografi memiliki
banyak metode, salah satunya adalah
kromatografi kertas. Kromatografi kertas
merupakan metode pemisahan sederhana
yang digunakan untuk memisahkan komponen
pigmen zat warna. Kromatografi dalam
pembelajarannya membutuhkan adanya
visualisasi molekul untuk menjelaskan
pemisahan zat warna atau pigmen dari
campuran zat cair yang bersifat homogen.
Proses pergerakan molekul mulai dari
pemisahan sampai zat warna terpisah menjadi
komponen penyusunanya (Rosalina V, et al.
2018).
Prinsip

Prinsip dasar percobaan ini adalah identifikasi


komponen zat berdasarkan perbedaan kecepatan
zat atau fase gerak merambat pada fase diam.
Adapun prinsip kerja kromatografi kertas yaitu
pengukuran, penotolan, pengembangan,
pengeringan, penyemprotan dan identifikasi.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk menganalisis
dan mengidentifikasi sampel gula dengan cara
kromatografi kertas serta membandingkan
pengaruh jenis pelarut (eluen).
METODE
ALAT DAN BAHAN Gelas Ukur
Corong Pisah
N-butanol
Asam Asetat
Stopwatch Akuades
Chamber Aseton
Kertas Etanol
Gunting Sukrosa
Benang Glukosa
Penggaris D-arabinosa
Pensil Maltosa
Pipa Kapiler Laktosa
Pinset Fruktosa
Hair-dryer Ninhidrin
Oven Pewarna KMnO4
PROSE
DUR
PEMBUATAN ELUEN 1
1. n-butanol, asam asetat, dan akuades dimasukkan ke
dalam corong pisah
2. Corong pisah ditutup dan diaduk
3. Cerat corong pisah sesekali dibuka
4. Jika sudah homogen, corong pisah didiamkan
5. Pada eluen 1 homogen tidak terbentuk 2 fase
6. Sebanyak 80 ml eluen dialirkan ke dalam gelas ukur lalu
dimasukkan ke dalam chamber
7. Chamber ditutup dan dijenuhkan selama 45 menit

* Untuk pembuatan Eluen 2, prosedur yang dilakukan sama dengan


pembuatan Eluen 1 hanya saja asam asetat diganti dengan etanol.
MENGGAMBAR KROMATOGRAFI
KERTAS DAN PENOTOLAN

01 02 03 04
Kertas dipotong Dibuat garis finish Pada garis start Penotolan analit
10cm x 15 cm, dan garis start diberi jarak 1 cm dan sampel
dibuat garis tepi untuk tiap analit dilakukan dengan
selebar 3 cm dan sampel pipa kapiler
PROSES ELUSI DAN PEWARNAAN KERTAS
1. Kertas yang telah dijahit dimasukkan ke dalam chamber
berisi eluen
2. Perhitungan waktu elusi dimulai ketika elusi mencapai
garis start dan berakhir ketika mencapai garis finish
3. Kertas diangkat lalu dikeringkan menggunakan hairdryer
4. Pewarnaan dilakukan dengan menyemprotkan KMnO4,
spot kuning yang terbentuk dilingkari dengan pensil
5. Kemudian diberi pewarna nihidrin dan dioven
6. Ulangi prosedur untuk eluen 2
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Kromatografi kertas merupakan bidang khusus kromatografi cair-cair. Fasa diamnya berupa
lapisan tipis air yang diserap oleh kertas. Selain air dapat juga digunakan cairan lain. Fase diam
disini adalah larutan pengelusi yang terikat pada kertas (selulosa) dan fase geraknya adalah larutan
pengembang. Kertas saring yang digunakan adalah kertas saring biasa yang umumnya memiliki
panjang 12 cm dan lebar 12 cm. Kertas saring biasa digunakan karena tipis dan mempunyai pori-pori
yang besar sehingga noda dapat merembes dengan cepat dan teratur. Garis awal pada kertas
dengan menggunakan pensil karena pensil terbuat dari bahan grafit dimana ia tidak larut dalam
eluen, berbeda dengan pulpen yang akan larut dan mengganggu penampakan noda. Penotolan
diusahakan tidak terlalu banyak karena dapat mempengaruhi besar spot. Spot yang terlalu besar
tidak baik untuk penampakkan noda karena nodanya dapat melebar kesamping atau ke bawah
sehingga dapat menyusahkan pembacaan noda. Maka dari itu digunakan pipa kapiler karena
memiliki diameter yang kecil.

Pada tahap pengembangan, kertas yang berisi totolan dimasukkan ke dalam larutan
pengembang. Totolan cuplikan diusahakan tidak terendam dalam eluen karena larutan yang akan
diidentifikasi bisa ikut larut dalam pelarut dan rusak sehingga tidak dapat diidentifikasi lagi.
Kertas pun tidak boleh menyentuh dinding wadah karena akan menganggu pendistribusian warna
yang akan muncul. Sebelum itu wadah atau chamber berisi eluen dijenuhkan terlebih dahulu agar
uap dari eluen memnuhi chamber sehingga elusi dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya wadah
ditutup dengan tujuan agar eluen tidak menguap dan menganggu kesetimbangan pelarut, karena
jika eluennya menguap akan mempengaruhi perambatan noda.
Ditinjau dari mekanismenya, pemisahan dimungkinkan karena partisi yang kontinu
dari zat-zat antara fase air dan fase bergerak anorganik. Migrasi zat terlarut dimulai dari
suatu spot padat yang kecil atau garis yang tipis. Differential migration molekul zat
terlarut dimulai bila zona tempat mendepositkan zat terlarut mulai terselimuti pelarut
dengan gaya pendorong yang bersifat kapiler, karena cairan membasahi kertas bergerak
pada ruang-ruang berpori. Tegangan permukaan adalah gaya pendorong pergerakan
secara kapiler. Jadi partisi cair-cair adalah mekanisme yang mendominasi pemisahan
dengan kromatografi kertas (Khopkar 1990).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kromatografi kertas
1. Pelarut : disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan
yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan-
perubahan harga rf.
2. Suhu : perubahan dalam suhu mengubah koefisien partisi dan juga kecepatan
aliran.
3. Ukuran bejana : jika digunakan bejana besar, ada tendensi perambatan lebih lama,
seperti perubahan komposisi pelarut sepanjang kertas, maka koefisisen partisi
akan berubah juga.
4. Kertas : kertas mempengaruhi kecepatan aliran juga mempengaruhi
kesetimbangan partisi.
5. Sifat campuran : campuran mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu
terhadap lainnya dan terhadap harga Rf (Rubianto 2017).
Pada tahap identifikasi atau penamakan noda, jika noda sudah berwarna dapat
langsung diperiksa dan ditentukan harga Rf-nya. Besaran Rf ini (kependekan dari “rate
of flow”) menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fasa diam. Karena itu Rf
juga disebut faktor referensi atau faktor refensi. Harga Rf dihitung sebagai jarak yang
ditempuh oleh komponen dibagi jarak yang ditempuh oleh eluen (fasa gerak) setiap
komponen mempunyai harga Rf sendiri-sendiri.

Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasi senyawa. Bila


identifikasi nilai Rf memiliki nilai yang sama dengan nilai Rf standar dari senyawa
tersebut maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama
atau mirip. Sedangkan , bila nilai Rf nya berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan
merupakan senyawa yang berbeda.
Tabel 1. Hasil spot Eluen 1

Spot Jarak Spot (cm) Jarak Eluen (cm) Rf

Sukrosa 2,40 8,50 0,28

Glukosa 4,80 8.50 0,56

D-arabinosa 5,00 8,50 0,59

Maltosa 3,10 8,50 0,36 Jika dilihat dari nilai Rf standar


pada Tabel 1, sampel 1 mengandung
Laktosa 3,40 8,50 0,40 Glukosa, Maltosa, dan Laktosa.
Sedangkan sampel 2 mengandung
Fruktosa 5,10 8,50 0,60 Fruktosa dan Sukrosa
Sampel 1 4,60 8,50 0,54

3,15 8,50 0,37

3,30 8,50 0,39


Sampel 2
5,10 8,50 0,60

2,50 8,50 0,29


Gambar 1. Kemungkinan spot KK pada Eluen 1
Tabel 2. Hasil spot Eluen 2

Spot Jarak Spot (cm) Jarak Eluen (cm) Rf

Sukrosa 1,40 8,50 0,16

Glukosa 2,80 8.50 0,33


Jika dilihat dari nilai Rf standar
D-arabinosa 2,90 8,50 0,34 pada Tabel 2, nilai Rf pada sampel sangat
berdekatan dengan lebih dari satu nilai Rf
Maltosa 2,10 8,50 0,25 standar sehingga sulit untuk
mengidentifikasi jenis gula yang
Laktosa 2,30 8,50 0,27
terkandung pada sampel. Kemungkinan
Fruktosa 3,10 8,50 0,36 sampel 1 mengandung Maltosa, Laktosa,
dan Sukrosa, sedangkan sampel 2
Sampel 1 2,00 8,50 0,24 mengandung Glukosa, D-arabinosa dan
fruktosa
2,15 8,50 0,25

1,40 8,50 0,16

Sampel 2 2,90 8,50 0,34

3,00 8,50 0,35


Gambar 2. Kemungkinan spot KK pada Eluen 2
Indeks Polaritas Eluen 1
n-butanol : asam asetat : air (4 : 1 : 5)
Volume pelarut untuk membuat 200 ml eluen
4
volume n-butanol  × 200 𝑚𝑙 = 80 𝑚𝑙
10
1
volume asam asetat  × 200 𝑚𝑙 = 20 𝑚𝑙
10
5
volume air  × 200 𝑚𝑙 = 100 𝑚𝑙
10
Indeks Polaritas Eluen 1
4 1 5
× 4,0 + × 4,4 + × 10,2 = 7,14
10 10 10

Eluen 2
n-butanol : etanol : air (4 : 1 : 2,2)
Volume pelarut untuk membuat 200 ml eluen
4
volume n-butanol  × 200 𝑚𝑙 = 111,11 𝑚𝑙
7,2
1
volume asam asetat  × 200 𝑚𝑙 = 27,78 𝑚𝑙
7,2
2,2
volume air  × 200 𝑚𝑙 = 61,11 𝑚𝑙
7,2
Indeks Polaritas Eluen 2
4 1 2,2
× 4,0 + × 4,3 + × 10,2 = 5,94
7,2 7,2 7,2
Glukosa/gula merupakan molekul organik yang bersifat polar. Glukosa memiliki banyak
gugus hidroksil (-OH) yang bersifat hidrofilik. Oleh karena itu glukosa secara keseluruhan
bersifat polar. Glukosa juga dapat larut dalam pelarut polar seperti molekul air (H2O). Maka
dapat dikatakan bahwa analit dan sampel yang digunakan lebih ke arah polar, sehingga analit
dan sampel akan lebih menyukai fase gerak.

Eluen 1 memiliki indeks polaritas sebesar 7,14 sedangkan eluen 2 indeks polaritasnya
sebesar 5,94. Dari nilai indeks polaritas kedua eluen, dapat dilihat bahwa eluen 1 lebih polar
dibandingkan dengan eluen 2. Efeknya proses elusi eluen juga lebih cepat menggunakan Eluen
1 yang hanya membutuhkan waktu 54 menit, berbeda lumayan jauh jika dibandingkan dengan
menggunakan Eluen 2 yang membutuhkan waktu selama 1 jam 23 menit untuk melakukan elusi.

Berdasarkan literatur, semakin tinggi atau semakin bagus resolusi suatu eluen maka hasil
pemisahan juga semakin baik. Ditinjau dari jarak spot dan nilai Rf, Eluen 1 memiliki resolusi
yang lebih baik karena elusi pada Eluen 1 menghasilkan spot yang tidak tumpang tindih atau
sangat berdekatan serta jarak spot yang dihasilkan lebih jauh daripada hasil pada Eluen 2.
Sehingga kandungan pada sampel Eluen 1 pun lebih mudah diidentifikasi.
KESIMPULAN
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan
membandingkan nilai Rf standar dan sampel, dapat diketahui
bahwa pada proses elusi menggunakan Eluen 1 sampel 1
mengandung Glukosa, Maltosa, dan Laktosa. Sedangakn pada
elusi yang menggunakan Eluen 2, kemungkinan sampel 1
mengandung Maltosa, Laktosa, dan Sukrosa, sedangkan
sampel 2 mengandung Glukosa, D-arabinosa dan fruktosa.
Sehingga dapat disimpulkan Eluen 1 lebih cocok digunakan
untuk identifikasi sampel pada percobaan kali ini, hal ini
dikarenakan indeks polaritas Eluen 1 yang tinggi
menyebabkan jarak spot dan nilai Rf yang tebentuk pun
menjadi lebih jelas dan mudah untuk diidentifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Khopkar. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press
Underwood AL, Day RA. 2002.Analisis Kimia Kuantitatif Edisi
Keenam. Jakarta : Erlangga
Rosalina V, Evkar T, Tania L. 2018. Pengembangan Animasi
Berbasis Simulasi Molekul pada Metode Kromatografi.
FKIP Universitas Lampung
Rubianto D. 2017.Metode Kromatografi. Yogyakarta:
DEEPUBLISH.

Anda mungkin juga menyukai