ANALISIS PANGAN
Oleh:
Budi Arifin
Tuti Wukirsari
Luthfan Irfana
Auliya Ilmiawati
Daftar Isi
Analisis Proksimat Tepung Talas (1) Penyiapan Contoh Dan Metode Analisis Kadar Air ........ 1
Analisis Proksimat Tepung Talas (2) Metode Analisis Kadar Abu ....................................... 14
Analisis Proksimat Tepung Talas (3) Metode Ekstraksi Untuk Analisis Lemak Kasar ............. 21
Analisis Proksimat Tepung Talas (4) Metode Kimia Untuk Analisis Protein ......................... 28
Analisis Proksimat Tepung Talas (5) Metode Kimia Untuk Analisis Karbohidrat .................. 37
Analisis Proksimat Tepung Talas (6) Metode Analisis Serat Makanan ................................ 45
TUJUAN
I. PENDAHULUAN
Salah satu prosedur analitis paling mendasar dan penting yang dapat dilakukan pada
produk bahan pangan ialah pengujian kadar air. Bahan kering yang tersisa setelah
penyingkiran air lazim disebut padatan total. Berikut ini diberikan beberapa contoh yang
menunjukkan pentingnya kadar air bagi pengolah bahan pangan:
(1) Kadar air merupakan faktor mutu dalam pengawetan beberapa produk dan
memengaruhi stabilitas dalam
(a) Sayuran dan buah-buahan yang dikeringkan
(b) Susu bubuk
(c) Tepung telur
(d) Kentang kering
(e) Rempah-rempah dan herba.
(3) Kadar air yang rendah digunakan untuk memudahkan pengemasan dan/atau
pengapalan
(a) Susu kental
(b) Gula tebu cair (67% padatan) dan pemanis jagung cair (80% padatan)
(c) Produk-produk yang dikeringkan (karena sulit dikemas jika terlalu tinggi kadar
airnya).
(d) Jus buah pekat.
(4) Kadar air (atau padatan) sering ditentukan dalam standar komposisi (Standar
Identitas)
(a) Keju cheddar kadar airnya harus 39%.
(b) Terigu yang diperkaya kadar airnya harus 15%.
(c) Jus nanas harus memiliki padatan terlarut 10,5 oBrix (kondisi tertentu)
(d) Sirup glukosa harus memiliki padatan total (massa/massa) 70%.
(e) Persentase air yang ditambahkan pada daging olahan lazim ditentukan.
(5) Perhitungan nilai nutrisi bahan pangan mensyaratkan Anda mengetahui kadar airnya.
(6) Data kadar air digunakan untuk menyatakan hasil penentuan analitis lainnya dengan
dasar yang seragam, yaitu berdasarkan bobot kering.
Analisis Proksimat Tepung Talas 1
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
(1) Air bebas – Air ini mempertahankan sifat fisisnya dan karena itu, berperan sebagai
bahan pendispersi untuk koloid dan pelarut untuk garam.
(2) Air teradsorpsi – Air ini tertahan atau teroklusi dengan kuat dalam dinding sel atau
protoplasma, dan terikat kuat pada protein.
(3) Air hidrasi – Air ini terikat secara kimia; misalnya, laktosa monohidrat, juga
beberapa garam seperti Na2SO410H2O.
Bergantung pada bentuk air yang terdapat dalam bahan pangan, metode yang
digunakan untuk menentukan kadar air dapat mengukur lebih banyak atau lebih sedikit air.
Inilah salah satu alasan perlunya metode resmi. Mungkin saja terdapat beberapa metode
resmi untuk produk tertentu. Metode Association of Official Analytical Chemists (AOAC) untuk
keju, misalnya, meliputi metode 926.08, oven vakum; 948.12, oven dengan aliran udara
([atmospheric] forced draft oven); 977.11, oven mikrogelombang; 969.19, distilasi.
Biasanya, metode pertama yang diberikan oleh AOAC lebih baik daripada yang lain.
Dalam metode pengeringan oven, contoh dipanaskan pada kondisi tertentu, dan
bobot yang hilang digunakan untuk menghitung kadar air contoh tersebut. Nilai kadar air
yang diperoleh sangat bergantung pada jenis oven yang digunakan, kondisi di dalam oven,
serta waktu dan suhu pengeringan. Berbagai metode pengeringan oven disetujui AOAC
untuk banyak produk bahan pangan. Metode-metode tersebut sederhana, dan banyak oven
memungkinkan analisis banyak contoh secara bersamaan. Waktu yang diperlukan bisa
berkisar dari beberapa menit sampai lebih dari 24 jam.
Metode oven apapun yang digunakan untuk menguapkan air dilandasi fakta bahwa
titik didih air 100 oC; bagaimanapun, hal ini hanya berlaku untuk air murni pada permukaan
laut. Air bebas ialah bentuk air yang paling mudah disingkirkan. Namun, misalkan 1 mol zat
terlarut dilarutkan dalam 1,0 L air, titik didihnya akan naik 0,512 oC. Kenaikan titik didih ini
akan berlanjut selama proses penyingkiran air seiring bertambah pekatnya contoh.
Penyingkiran air terkadang paling baik dilakukan dalam 2 tahap. Produk cairan
(misalnya, jus, susu) biasanya dikeringkan dulu di penangas uap sebelum dikeringkan di
dalam oven. Produk-produk seperti roti dan gabah kering-lapang sering dikeringudarakan
dulu, kemudian digiling dan dikeringkan di oven, dengan kadar air dihitung dari air yang
hilang pada tahap pengeringan di udara maupun di oven. Ukuran partikel, distribusi ukuran
partikel, ukuran contoh, dan luas permukaan selama pengeringan memengaruhi laju dan
efisiensi penyingkiran air.
Hilangnya air dari suatu contoh selama analisis merupakan fungsi waktu dan suhu.
Dekomposisi terjadi jika pengeringan terlalu lama atau suhunya terlalu tinggi. Karena itu,
sebagian besar metode untuk kadar air bahan pangan mengompromikan waktu pengeringan
jika dekomposisi terbatas mungkin terjadi pada suhu tertentu. Satu masalah utama terjadi
ketika proses fisis harus memisahkan seluruh air tanpa menguraikan penyusun apapun
dalam bahan pangan yang dapat melepaskan air. Misalnya, karbohidrat terdekomposisi pada
100 oC menurut reaksi C6H12O6 6 C + 6 H2O. Tentu saja, air yang terbentuk dalam reaksi
ini bukanlah yang ingin diukur. Reaksi kimia lain (misalnya, hidrolisis sukrosa) sebaliknya
menggunakan air, yang akan mengurangi air yang terukur. Masalah lain yang kurang serius,
tetapi akan menjadi galat yang tetap, ialah hilangnya penyusun atsiri, seperti asam asetat,
propionat, dan butirat; serta alkohol, ester, dan aldehida di antara senyawaan cita rasa.
Walaupun perubahan bobot dalam metode pengeringan oven diasumsikan sebagai akibat
hilangnya air, pertambahan bobot juga dapat terjadi karena oksidasi asam lemak takjenuh
dan senyawaan lainnya.
Air didapati bertahan dalam produk hayati sampai sekurang-kurangnya 365 oC, yang
secara kebetulan merupakan titik kritis air. Dengan mengalurkan jumlah air yang dibebaskan
terhadap suhu (Gambar 1), terlihat bahwa tak satu pun kurva menunjukkan patahan, yaitu
suhu ketika dekomposisi mulai terukur, sebelum 184 oC. Umumnya, protein terdekomposisi
pada suhu sedikit lebih rendah daripada yang diperlukan untuk pati dan selulosa.
Ekstrapolasi bagian yang datar dari setiap kurva ke 250 oC memberikan kadar air yang
sesungguhnya jika diasumsikan tidak terdapat air teradsorpsi pada suhu yang dipelajari.
Metode pengeringan menggunakan suhu dan waktu pengeringan tertentu yang harus
dijaga dengan saksama. Apalagi mungkin terdapat keragaman suhu yang cukup besar,
bergantung pada jenis oven yang digunakan untuk analisis kadar air. Besarnya keragaman
suhu yang terjadi di dalam oven harus diperhitungkan sebelum menggunakan data yang
terkumpul dari penggunaan oven tersebut.
Di antara 3 jenis oven (konveksi, aliran udara, dan vakum), keragaman suhu
paling besar terjadi pada oven konveksi, karena udara panas besirkulasi dengan lambat
tanpa bantuan kipas. Pergerakan udara lebih jauh terhalangi oleh alas ( pan) yang diletakkan
di dalam oven. Ketika pintu oven ditutup, laju pemulihan suhu umumnya lambat. Hal ini juga
bergantung pada muatan yang diletakkan di dalam oven dan pada suhu ambien. Perbedaan
suhu 10 oC lazim di dalam oven konveksi. Hal ini harus diperhatikan sehubungan dengan
Analisis Proksimat Tepung Talas 3
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
ketepatan dan ketelitian analitis: oven konveksi sebaiknya tidak digunakan jika diperlukan
pengukuran yang teliti dan tepat.
Gambar 1 Kadar air beberapa bahan pangan yang diletakkan di dalam oven pada berbagai
suhu. Garis putus-putus mengekstrapolasi data ke 250 oC, kadar air yang
sesungguhnya.
Oven dengan aliran udara memiliki perbedaan suhu yang paling kecil di bagian
dalam oven, biasanya tidak lebih dari 1 oC. Udara disirkulasikan dengan kipas yang
mendesak aliran udara melalui rongga oven. Aliran udara dari banyak saluran agaknya lebih
menguntungkan daripada jika pergerakan udara horizontal di sepanjang rak. Dengan
demikian, tidak menjadi masalah apakah oven terisi penuh atau sebagian, kadar air yang
dihasilkan akan sama untuk contoh tertentu.
Ada dua fitur yang membuat oven vakum menghasilkan distribusi suhu yang lebih
lebar di dalam oven. Fitur pertama ialah panel kaca di dalam pintu. Walaupun mungkin
menarik untuk mengamati contoh yang sedang dikeringkan, kaca merupakan peredam
panas. Fitur kedua ialah cara udara dialirkan ke dalam oven. Jika inlet dan pembuangan
udara berada di sisi yang berseberangan, aliran udara hampir lurus melintasi oven. Beberapa
model yang lebih baru (Lab-Line model 3623) memiliki banyak saluran inlet dan
pembuangan udara di bagian atas maupun bawah. Pergerakan udara dalam jenis oven
vakum ini ke arah atas dari depan, kemudian ke belakang menuju pembuangan, sehingga
meminimumkan cold spots dan juga mengeluarkan air dari udara di bagian dalam oven.
Selalu gunakan gegep untuk memegang wadah apapun. Sidik jari sekalipun memiliki
bobot. Semua wadah harus dioven sebelum digunakan. Wadah aluminium sekali-pakai harus
dikeringkan dengan oven vakum selama 3 jam sebelum digunakan. Pada 3 jam dan 15 jam
dalam oven vakum atau oven dengan aliran udara pada 100 oC, bobot wadah beragam di
dalam batas galat neraca, atau 0,0001 g. Simpanlah wadah kering di dalam desikator yang
berfungsi. Tutup serat-kaca tidak perlu dikeringkan sebelum digunakan.
II. 1. 5. Perhitungan
Kadar air dan padatan total dalam bahan pangan dapat dihitung sebagai berikut
dengan menggunakan prosedur pengeringan oven:
Jika menggunakan oven dengan tekanan udara, contoh ditimbang dengan cepat ke
dalam wadah dan diletakkan di dalam oven untuk waktu yang dipilih sembarang jika tidak
terdapat metode standar. Periode waktu pengeringan untuk metode ini ialah 0,75–24 jam,
bergantung pada contoh bahan pangan dan perlakuan sebelumnya. Beberapa contoh cairan
dikeringkan terlebih dulu dengan penangas uap pada 100 oC untuk meminimumkan percikan.
Dalam hal ini, waktu pengeringan dipersingkat menjadi 0,75–3 jam.
Salah satu cara untuk memilih periode waktu pengeringan ialah dengan menimbang
dan menimbang kembali wadah dan contoh kering sampai 2 penimbangan berurutan yang
berselang 30 menit memenuhi batas tertentu, misalnya 0,1–2 mg untuk 5 g contoh.
Pengguna metode kedua ini harus mengetahui perubahan contoh, seperti pencokelatan yang
menyebabkan hilangnya air dengan bentuk yang salah. Contoh yang kaya akan karbohidrat
tidak boleh dikeringkan dalam oven dengan tekanan udara, tetapi dikeringkan dalam oven
vakum yang suhunya tidak lebih dari 70 oC. Oksidasi lipid dan kenaikan bobot contoh yang
ditimbulkannya dapat terjadi pada suhu tinggi dalam oven dengan tekanan udara.
Dengan mengeringkan pada tekanan rendah (25–100 mmHg), air dan bahan atsiri
dapat disingkirkan dengan lebih sempurna tanpa dekomposisi dalam 3–6 jam. Dahulu
digunakan labu vakum yang diisi sebagian dengan H2SO4 pekat sebagai desikan: 1–2
gelembung udara per detik dilewatkan melalui asam. Sekarang digunakan perangkap udara
yang diisi dengan CaSO4 yang mengandung suatu indikator untuk menunjukkan penjenuhan
oleh uap air. Di antara perangkap tersebut dan oven vakum diletakkan sebuah rotameter
yang ukurannya sesuai untuk mengukur aliran udara (100–120 mL/menit) ke dalam oven.
Hal-hal berikut harus diperhatikan dalam penggunaan oven vakum:
(1) Suhu yang digunakan bergantung pada produk, seperti 70 oC untuk buah-buahan
dan produk kaya-gula lainnya. Dekomposisi tetap dapat terjadi sekalipun pada suhu
rendah.
(2) Jika produk yang akan diuji memiliki konsentrasi zat atsiri yang tinggi, harus
diperhatikan penggunaan faktor koreksi untuk memampas kehilangan tersebut.
(3) Ingatlah bahwa dalam vakum, panas tidak dikonduksikan dengan baik. Karena itu,
wadah harus diletakkan langsung di atas rak logam untuk mengonduksikan panas.
(4) Penguapan merupakan proses endoterm; karena itu, jika beberapa contoh diletak-
kan dalam oven vakum, akan Anda dapati bahwa suhunya turun. Jangan mencoba
memampas pengaruh pendinginan tersebut dengan meningkatkan suhu; jika tidak,
contoh pada tahap akhir pengeringan akan mengalami pemanasan berlebih.
(5) Waktu pengeringan merupakan fungsi dari kadar air total yang ada, sifat bahan
pangan, luas permukaan per satuan bobot contoh, jika pasir digunakan sebagai
dispersan, dan konsentrasi relatif gula dan zat-zat lain yang mampu menahan air
dan/atau terdekomposisi. Selang waktu pengeringan ditentukan dengan percobaan
agar memberikan hasil yang dapat-ulang (reproducible).
I. 4. Oven Mikrogelombang
Prosedur yang dijelaskan di atas memiliki beberapa kesukaran. Jika contoh tidak
diletakkan di tengah dan disebarkan secara merata, sebagian akan terbakar sementara
daerah yang lain sedang diproses. Lamanya waktu yang diperlukan untuk operator yang tak
berpengalaman untuk meletakkan bobot contoh yang tepat di antara bantalan menyebabkan
terlalu banyak air akan hilang sebelum menimbang. Model yang lebih baru mungkin akan
menghilangkan masalah-masalah ini.
air dengan inframerah yang disetujui AOAC saat ini. Namun, karena kecepatan analisisnya,
teknik ini cocok untuk penggunaan kualitatif dalam-proses (in-process).
III. 1. Ikhtisar
Dalam teknik ini, air dalam contoh bahan pangan disuling bersama suatu pelarut
yang bertitik didih tinggi dan tak-dapat-campur dengan air, lalu campuran yang tersuling
dikumpulkan dan diukur volume airnya. Dua prosedur distilasi digunakan sekarang ini:
distilasi langsung dan refluks, dengan berbagai pelarut. Dalam distilasi langsung, contoh
dipanaskan dalam minyak mineral atau cairan yang titik nyalanya cukup jauh di atas titik
didih air, meskipun cairan tak-dapat-campur lainnya dengan titik didih hanya sedikit di atas
air juga dapat digunakan (misalnya, toluena, xilena, dan benzena).
Metode distilasi menyebabkan dekomposisi termal yang lebih sedikit pada beberapa
bahan pangan daripada pengeringan dengan oven pada suhu tinggi. Reaksi kimia yang
hebat juga dapat dikurangi dengan menggunakan pelarut yang titik didihnya lebih rendah,
meskipun distilasi akan bertambah lama. Namun, air diukur volumenya secara langsung (dan
bukan berdasarkan berkurangnya bobot), dan pembacaan meniskus tabung penerima
mungkin tidak seakurat pengukuran bobot. Metode distilasi disetujui AOAC untuk analisis
kadar air rempah-rempah (Metode AOAC 986.21), keju (Metode AOAC 969.19), dan pakan
hewan (Metode AOAC 925.04), tetapi juga memberikan ketepatan dan ketelitian yang baik
untuk biji-bijian, minyak, sabun, dan malam (waxes).
Distilasi refluks, yang lebih luas penggunaannya, menggunakan pelarut yang kurang
rapat daripada air (misalnya, toluena [td. 110,6 oC] atau xilena [td. 137–140 oC]) atau
pelarut yang lebih rapat daripada air (misalnya, tetrakloroetilena [td. 121 oC]). Keuntungan
menggunakan pelarut yang terakhir ini ialah bahan yang akan dikeringkan mengapung
sehingga tidak menjadi arang atau gosong. Selain itu, tidak ada bahaya kebakaran dengan
pelarut ini.
Gambar 2 Radas untuk distilasi refluks uap air dari bahan pangan dengan perangkap uap
air Bidwell-Sterling, digunakan jika pelarut kurang rapat daripada air.
Prosedurnya dijelaskan pada Gambar 3, dengan penekanan pada dikeluarkannya tetesan air
yang menempel, sehingga meminimumkan galat. Ketika toluena baru mulai mendidih, akan
terbentuk kabut di dalam labu distilasi yang merupakan emulsi beruap dari air dalam
toluena. Ketika uap bergerak naik dan memanaskan tabung, perangkap Bidwell-Sterling, dan
bagian bawah pendingin, pengembunan terjadi. Permukaan yang dingin dari pendingin juga
berkabut, dan tampak tetesan-tetesan kecil air. Emulsi berbalik menjadi toluena terdispersi
di dalam air. Kekeruhan ini lama-kelamaan akan jernih ketika didinginkan.
Letakkan contoh dalam labu distilasi dan rendam seluruhnya dengan pelarut.
Isikan tabung penerima (misalnya, perangkap Bidwell-Sterling) dengan pelarut,
dengan menuangnya melalui bagian atas pendingin.
Didihkan dan suling perlahan-lahan, lalu berangsur-angsur dipercepat.
Setelah distilasi berlangsung kira-kira 1 jam, gunakan sikat buret yang dimodifikasi untuk melepaskan
tetesan kecil air dari pendingin dan bagian atas perangkap Bidwell-Sterling.
Gosokkan sikat menaiki pendingin sampai ke suatu titik di atas daerah pengembunan uap.
Bilaslah sikat dan kawat dengan sedikit toluena untuk melepaskan tetesan air yang menempel.
Jika air telah melekat pada dinding tabung terkalibrasi, balikkan sikat itu dan gunakan kawat lurus
untuk melepaskan air ini sehingga terkumpul di dasar tabung.
Kembalikan kawat ke suatu titik di atas titik pengembunan, dan bilas kembali dengan sedikit toluena.
Setelah tidak ada lagi air yang tersuling dari contoh, ulangi penggunaan sikat dan kawat untuk
melepaskan tetesan kecil air yang menempel.
Bilaslah sikat dan kawat dengan toluena sebelum mengeluarkannya dari pendingin.
Biarkan radas mendingin ke suhu ambien sebelum volume air di dalam perangkap diukur.
Volume air 2 (untuk 50 g contoh) = % air
Tiga sumber potensial galat berikut harus dihilangkan jika teramati selama distilasi:
(1) Pembentukan emulsi yang tidak dapat pecah. Untuk mengatasinya, biarkan radas
mendingin setelah distilasi selesai, sebelum membaca jumlah air di dalam perangkap.
(2) Menempelnya tetesan kecil air pada radas yang kotor. Karena itu, alat kaca harus
bersih, meskipun air tampaknya tetap menempel sekalipun digunakan alat yang
sangat bersih. Sikat buret, yang tangkainya diluruskan agar dapat dimasukkan ke
dalam pendingin, diperlukan untuk melepaskan tetesan air tersebut.
(3) Dekomposisi contoh yang melepaskan air. Hal ini terutama karena dekomposisi
karbohidrat yang menghasilkan air (C6H12O6 6 C + 6 H2O). Jika masalah ini
terukur, hentikan penggunaan metode distilasi dan carilah prosedur lain.
Titrasi Karl Fischer khususnya digunakan untuk produk pangan yang memberikan
hasil tak beraturan jika dipanaskan atau dikenai vakum. Metode ini dipilih untuk penentuan
kadar air dalam banyak bahan pangan berkadar air rendah seperti buah-buahan dan sayuran
kering (Metode AOAC 967.19 E-G), permen, cokelat (Metode AOAC 977.10), kopi, minyak
dan lemak (Metode AOAC 984.20), atau bahan pangan berkadar air rendah lainnya yang
kaya akan gula atau protein. Metode ini cukup cepat dan peka dan tidak menggunakan
panas.
Metode ini didasarkan pada reaksi yang dijelaskan oleh Bunsen tahun 1853, yang
melibatkan reduksi iodin oleh SO2 dengan adanya air:
Reaksi ini dimodifikasi dengan memasukkan metanol dan piridin dalam suatu sistem empat-
komponen untuk melarutkan iodin dan SO2:
Reaksi-reaksi ini menunjukkan bahwa untuk setiap mol air, digunakan 1 mol iodin, 1 mol
SO2, 3 mol piridin, dan 1 mol metanol. Dalam pekerjaan rutin, digunakan larutan dalam
metanol yang mengandung komponen-komponen ini dengan nisbah 1 iodin: 3 SO2: 10
piridin, dan pada konsentrasi sedemikian rupa sehingga 3,5 mg air = 1 mL pereaksi.
Prosedur standardisasi pereaksi ini diberikan di bawah ini.
Dalam prosedur titrasi volumetrik (Gambar 4), yang cocok untuk contoh dengan
kadar air > ~ 0,03%, iodin dan SO2 dalam bentuk yang sesuai ditambahkan ke dalam
contoh dalam bejana tertutup yang terlindung dari uap air di udara. Kelebihan I2 yang tidak
bereaksi dengan air ditentukan secara visual. Warna titik akhir ialah merah tua-cokelat.
Beberapa sistem instrumental menggunakan potensiometer untuk menentukan titik akhir
Analisis Proksimat Tepung Talas 9
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
ini secara elektronik sehingga meningkatkan kepekaan. Jenis titrasi kedua, yang disebut
titrasi kulometri, ideal untuk produk dengan kadar air sangat rendah (0,03% s.d. ppm).
Dalam metode ini, iodin dibentuk secara elektrolitik untuk menitrasi air. Jumlah iodin yang
diperlukan untuk menitrasi air ditentukan dari arus yang diperlukan untuk membentuk iodin.
Dalam titrasi volumetrik Karl Fischer, pereaksi Karl Fischer (KFR) ditambahkan
secara langsung sebagai titran jika air dalam contoh dapat dimasuki (accessible). Air dalam
suatu contoh padat yang tidak dapat dimasuki oleh pereaksi diekstraksi dengan pelarut yang
sesuai (misalnya, metanol). Kemudian ekstrak metanol dititrasi dengan KFR.
Bau yang tidak enak dari piridin membuat para peneliti mencoba amina-amina lain
untuk melarutkan iodin dan SO2. Beberapa amina alifatik dan beberapa senyawa heterosiklik
lain didapati cocok. Berbasis amina-amina baru ini, pereaksi satu-komponen (pelarut
bersama dengan titran) dan pereaksi dua-komponen (pelarut terpisah dari titran) telah
disiapkan. Pereaksi satu-komponen mungkin lebih nyaman digunakan, tetapi pereaksi dua-
komponen lebih stabil selama disimpan.
Sebelum jumlah air yang terdapat dalam contoh bahan pangan dapat ditentukan,
kesetaraan air KFR (KFRek) harus ditentukan. Nilai KFRek menggambarkan jumlah
ekuivalen air yang bereaksi dengan 1 mL KFR. Standardisasi harus diperiksa setiap akan
digunakan karena KFRek akan berubah terhadap waktu.
dihidrat (Na2C4H4O62H2O) merupakan standar primer untuk menentukan KFRek. Senyawa ini
sangat stabil dan mengandung 15,66% air pada semua keadaan di laboratorium, sehingga
biasanya dipilih. Jika menggunakan bahan ini, KFRek dihitung sebagai berikut:
36 g H O/mol Na C H O 2H O S 1000
KFR (mg H O/mL) 2 2 4 4 6 2
ek 2 230,08 g/mol A
dengan S = bobot natrium tartrat dihidrat (g) dan A = mL KFR yang diperlukan untuk titrasi.
Setelah KFRek diketahui, kadar air contoh ditentukan sebagai berikut:
KFR K
%H O ek s 100
2 S
dengan KS = mL KFR yang digunakan untuk menitrasi contoh dan S = bobot contoh (mg).
Kesulitan dan sumber galat utama dalam metode titrasi Karl Fischer ialah
(1) Ekstraksi air yang tak sempurna – Karena alasan ini, kehalusan penggilingan
sangat penting dalam penyiapan bulir sereal dan beberapa bahan pangan.
(2) Uap air di udara – Udara luar tidak boleh masuk ke dalam bejana reaksi.
(3) Air yang melekat pada dinding unit – Semua alat kaca dan alat-alat lain yang
digunakan harus dikeringkan dengan saksama.
(4) Gangguan dari penyusun bahan pangan tertentu – Asam askorbat dioksidasi oleh
KFR menjadi asam dehidroaskorbat sehingga kadar air yang diperkirakan menjadi
terlalu besar; senyawaan karbonil bereaksi dengan metanol membentuk asetal
dan melepaskan air, yang juga membuat galat positif (reaksi ini juga menyebabkan
kaburnya titik akhir); asam lemak takjenuh akan bereaksi dengan iodin, dan sekali
lagi memperbesar kadar air yang diperoleh.
Metode kalsium karbida ialah satu-satunya prosedur produksi gas yang dijelaskan
di sini. Metode ini sederhana dan cepat karena tidak memerlukan radas yang rumit. Reaksi
kimia yang terjadi ialah
CaC2 + 2 H2O Ca(OH)2 + C2H2
Dalam reaksi karbida dan air, yang diperlukan hanyalah pengumpulan secara akurat gas
yang terbentuk, yakni asetilena, lalu ditentukan jumlahnya dengan salah satu cara berikut:
(1) Menggunakan gelas ukur terbalik yang diisi dengan air dan selang penghubung.
(3) Menentukan tekanan yang terbentuk dalam suatu sistem tertutup setelah reaksi
sempurna (diperlukan tabel kalibrasi).
V. Metode Fisis
Selain metode-metode yang disebutkan di atas, metode fisis juga dapat digunakan
untuk menganalisis kadar air & padatan total. Metode listrik (dielektrik dan konduktivitas),
hidrometri (piknometer, hidrometer, neraca Westphal, dan manik-manik Goldman),
refraktometri, analisis inframerah pada susu, dan titik beku termasuk di dalamnya.
Rincian setiap metode tidak dibahas di sini, dan tersedia pada hlm. 105–108 Bradley (1994).
PERCOBAAN
Talas dibersihkan kulitnya, dikupas, dan diiris-iris kecil, lalu direndam dalam air
garam 10% (b/v) selama 30 menit. Irisan talas kemudian direndam dalam air hangat (kira-
kira 40 oC) selama 2 jam. Setelah ditiriskan, irisan talas dikeringkan pada suhu 50–60 oC
selama 8–10 jam, lalu dihaluskan dengan blender dan diayak dengan ayakan 60 mesh.
Cawan petri kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven dengan suhu (130 ± 3) oC
selama 15 menit, didinginkan hingga suhu kamar dalam desikator (±15 menit), kemudian
ditimbang. Sebanyak kira-kira 2 g contoh tepung talas ditimbang dengan teliti ke dalam
cawan tersebut. Tutup cawan diangkat lalu cawan beserta isi dan tutupnya ditempatkan di
dalam oven selama 1 jam. Hindarkan kontak antara cawan dan dinding oven. Cawan
dipindahkan ke desikator, ditutup, lalu dibiarkan mendingin ke suhu kamar. Segera setelah
cawan mencapai suhu kamar, cawan ditimbang kembali. Pengeringan dan penimbangan
diulangi setiap jam sampaii diperoleh bobot konstan.
Catatan:
(1) Gunakan gegep dalam melakukan penetapan kadar air, hindarkan sentuhan dengan
tangan. Lakukan pekerjaan sebanyak 3 ulangan.
(2) Simpanlah contoh hasil penetapan kadar air untuk digunakan pada penentuan kadar
abu, protein, dan lemak. Karena jumlah cawan dan desikator yang terbatas, siapkan
botol plastik bertutup rangkap sebagai wadah penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
TUJUAN
1. Menjelaskan definisi, prinsip dan instrumentasi, prosedur, dan aplikasi serta kelebihan
dan kekurangan dari berbagai metode penentuan kadar abu.
2. Menentukan kadar abu suatu contoh dengan metode pengabuan kering dalam tanur.
I. PENDAHULUAN
Abu merupakan residu anorganik yang tersisa setelah pemijaran atau oksidasi
sempurna bahan organik dalam bahan pangan. Pengetahuan dasar mengenai berbagai
prosedur pengabuan dan jenis peralatan yang digunakan penting untuk menjamin hasil yang
dapat dipercaya. Terdapat 3 jenis pengabuan yang utama: pengabuan kering untuk sebagian
besar contoh, pengabuan basah (oksidasi) untuk contoh yang tinggi kadar lemaknya (daging
dan produk daging) sebagai persiapan untuk analisis unsur, dan pengabuan kering plasma
suhu-rendah (secara sederhana juga disebut pengabuan plasma atau pengabuan suhu-
rendah) untuk persiapan contoh ketika dilakukan analisis unsur-unsur atsiri. Kebanyakan
contoh kering (misalnya, whole grain, sereal, sayuran yang dikeringkan) tidak memerlukan
persiapan, sementara sayuran segar perlu dikeringkan sebelum pengabu-an. Produk kaya-
lemak seperti daging mungkin perlu dikeringkan dan lemaknya diekstraksi sebelum
pengabuan. Buah-buahan dan sayuran dapat mengalami prosedur pengabuan tambahan
seperti abu yang dapat larut dalam air dan kebasaan abu. Kadar abu bahan pangan dapat
dinyatakan berdasarkan bobot basah atau bobot kering.
I. 1. Definisi
Abu yang taklarut dalam asam umumnya menunjukkan cemaran mineral yang
taklarut dalam bahan pangan. Mineral-mineral tanah (sebagian besar silikat dan silika opalin)
yang hanya larut dalam HBr atau HF merupakan bagian terbesar dari abu ini. Kebasaan abu
berguna untuk menentukan keseimbangan asam-basa dari bahan pangan dan untuk
mendeteksi percampuran bahan pangan dengan mineral.
Analisis Proksimat Tepung Talas 14
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
I. 2. Penyiapan Contoh
Agar mewakili contoh aslinya, sebanyak 2–10 g contoh umumnya digunakan untuk
penentuan abu. Penghalusan (milling), penggilingan (grinding), dan yang sejenis mungkin
tidak akan banyak mengubah kadar abu; namun, jika abu ini merupakan tahap persiapan
untuk analisis mineral tertentu, pencemaran oleh unsur-unsur mikro mungkin terjadi. Ingat,
sebagian besar alat penggiling terbuat dari rangka baja. Penggunaan berulang alat kaca juga
dapat menjadi sumber cemaran. Sumber air yang digunakan dalam pengenceran juga dapat
mengandung cemaran dari beberapa unsur mikro. Air suling-deionisasi harus digunakan.
I. 2. 1. Bahan Tanaman
Timbulnya asap dan gosong dapat terjadi ketika mengabukan beberapa produk
(misalnya, keju, makanan laut, dan rempah-rempah). Biarkan hal ini perlahan-lahan berhenti
dengan tetap membuka pintu tanur sebelum prosedur yang biasa. Pengabuan contoh yang
sama dapat dilakukan setelah pengeringan dan ekstraksi lemak. Umumnya hanya sedikit
mineral yang hilang selama kedua pra-perlakuan ini. Jangan pernah memanaskan contoh
yang telah diekstraksi lemaknya sebelum semua eter telah diuapkan.
Pengabuan kering ialah pembakaran pada suhu 525 oC atau lebih dengan tanur. Ada
beberapa model tanur, mulai dari unit berkapasitas-besar yang memerlukan 208 atau 240 V
sampai unit bench-top kecil yang hanya menggunakan 110 V. Juga terdapat tanur muffle
mikrogelombang yang menggunakan krus serat kuarsa. Waktu pengabuan sangat dikurangi
dengan penggunaan mikrogelombang; namun, kapasitas oven ini umumnya kecil.
Pemilihan krus penting dalam pengabuan karena jenis krus bergantung pada
penggunaannya. Krus kuarsa tahan terhadap asam dan halogen, tetapi tidak terhadap
basa, pada suhu tinggi. Krus Vycor stabil sampai 900 oC, tetapi krus Gooch Pyrex
terbatas sampai 500 oC. Pengabuan pada suhu lebih rendah (500–525 oC) dapat sedikit
meningkatkan kadar abu karena dekomposisi karbonat dan hilangnya garam-garam atsiri
Analisis Proksimat Tepung Talas 15
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
lebih sedikit. Krus porselen sifat-sifatnya menyerupai krus kuarsa, tetapi akan retak oleh
perubahan suhu yang cepat. Krus porselen relatif murah dan lazim dipilih. Krus baja tahan
terhadap asam maupun basa dan murah, tetapi mengandung kromium dan nikel, yang
mungkin mencemari. Krus platinum sangat lembam dan mungkin krus terbaik, tetapi krus
ini terlalu mahal untuk penggunaan rutin untuk contoh yang berjumlah banyak.
Semua krus sebaiknya ditandai untuk identifikasi. Tanda pada krus yang dibuat
dengan pulpen akan hilang selama pengabuan. Tinta lab yang dituliskan dengan pin baja
tersedia secara komersial. Krus juga dapat dietsa dengan ujung berlian dan ditandai dengan
larutan FeCl3 0,5 M dalam HCl 20%. Paku besi yang dilarutkan dalam HCl pekat membentuk
lelehan cokelat pekat yang lengket sebagai penanda yang baik. Krus harus dibakar dan
dibersihkan sebelum digunakan.
II. 2. Prosedur
(1) Timbanglah 5–10 g contoh ke dalam krus yang telah ditera. Keringkan dulu jika
contoh sangat basah.
(2) Letakkan krus dalam tanur yang dingin. Gunakan gegep, sarung tangan, dan
pelindung mata jika tanur tersebut panas.
(3) Pijarkan 12–18 jam (atau semalam) pada sekitar 550 oC.
(4) Matikan tanur dan biarkan suhu turun ke 250 oC atau lebih rendah, lalu buka
pintunya dengan hati-hati untuk mencegah hilangnya abu yang halus.
(5) Gunakan gegep untuk memindahkan krus dengan segera ke dalam desikator dengan
alas porselen dan desikan. Tutup krus, tutup desikator, dan biarkan krus menjadi
dingin sebelum ditimbang.
Jika abu dihitung berdasarkan bobot saat diterima atau bobot basah (termasuk uap air),
hilangkan koefisien bahan kering dari penyebut. Jika kadar air ditentukan dalam krus yang
sama sebelum pengabuan, penyebut menjadi (bobot contoh kering – bobot tera krus).
Catatan:
Krus yang hangat akan memanaskan udara di dalam desikator, dan tutup desikator dapat
terlempar oleh udara yang meloloskan diri. Vakum dapat terbentuk ketika didinginkan.
Karena itu, pada akhir periode pendinginan, lepaskan tutup desikator perlahan-lahan dengan
menggesernya ke satu sisi untuk mencegah masuknya aliran udara dengan tiba-tiba. Tutup
dengan lengan kaca asah atau yang dihubungkan dengan selang karet memungkinkan
pelepasan vakum perlahan-lahan.
(1) Contoh kaya-lemak harus diekstraksi dengan prosedur penentuan lemak kasar atau
dibakar habis dengan oksigen dari udara sebelum tanur ditutup.
(3) Contoh seperti jeli akan memercik dan dapat dicampur dengan wol katun.
(5) Larutan magnesium asetat dalam alkohol dapat ditambahkan untuk mempercepat
pengabuan sereal. Diperlukan penentuan blangko yang sesuai.
Asam tunggal tidak menghasilkan oksidasi bahan organik yang sempurna dan cepat
dalam pengabuan basah. Berbagai kombinasi asam nitrat dengan asam sulfat atau perklorat
dan kalium klorat atau sulfat lazim digunakan. Kombinasi yang berbeda dianjurkan untuk
Analisis Proksimat Tepung Talas 17
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
contoh yang berbeda. Belerang dan nitrat oksida dilepaskan pada oksidasi yang sempurna.
Gabungan nitrat-perklorat umumnya lebih cepat daripada prosedur sulfat-nitrat. Namun,
asam perklorat mudah meledak, maka gunakan lemari asam perklorat khusus yang dapat
dicuci. Lemari asam tersebut tidak mengandung dempul yang berbahan plastik atau gliserol.
III. 2. Prosedur
(1) 1 g contoh yang telah dikeringkan dan digiling ditimbang dengan tepat ke dalam
gelas piala Griffin 150 mL.
(2) Tambahkan 10 mL HNO3 dan biarkan terendam. Jika bahan berkadar lemak tinggi,
rendamlah semalam.
(3) Tambahkan 3 mL HClO4 60% (Perhatian: Letakkan gelas piala di bawah ujung pipet
selama pemindahan) dan panaskan perlahan-lahan pada lempeng pemanas sampai
350 oC sampai tidak terbentuk buih lagi dan HNO3 hampir teruapkan.
(4) Lanjutkan pendidihan sampai terjadi reaksi perklorat (sangat banyak asap), dan
kemudian letakkan kaca arloji di atas gelas piala. Contoh harus menjadi tidak
berwarna atau berwarna agak kekuningan. Jangan biarkan cairan dalam gelas piala
berkurang sampai kering.
(5) Pindahkan gelas piala dari lempeng pemanas dan biarkan mendingin.
(6) Cuci kaca arloji dengan sedikit air suling deionisasi dan tambahkan 10 mL HCl 50%.
(7) Pindahkan ke labu takar yang sesuai (biasanya 50 mL) dan encerkan dengan air
suling deionisasi.
(8) Mulailah prosedur pencucian lemari asam setelah contoh yang terakhir.
Suatu prosedur alternatif, yang dapat dipakai sebagai persiapan analisis besi dalam daging,
menggunakan 2 g contoh yang dididihkan dalam 30 mL HNO3 pada lempeng pemanas 350
o
C sampai tersisa 10 mL. Kemudian ditambahkan 10 mL HClO4 60% dan dilakukan seperti
tahap 4 di atas. Setelah oksidasi, diencerkan sampai 100 mL dalam labu takar.
Kedua teknik pengabuan basah yang dijelaskan di atas sangat berbahaya. Peringatan
dalam penggunaannya dapat dibaca di metode AOAC pada “Penanganan yang Aman
terhadap Bahaya Bahan Kimia Khusus”. Asam perklorat mengganggu pengujian besi karena
bereaksi dengan besi dalam contoh membentuk besi(II) perklorat, yang membentuk
kompleks taklarut dengan o-fenantrolina dalam prosedur itu. Gangguan ini tidak terjadi jika
digunakan spektrofotometri serapan atom (AAS).
Pengabu plasma suhu-rendah biasanya terdiri atas 2 atau lebih bejana kaca yang
terpisah, dengan perahu-perahu kaca untuk meletakkan contoh. Bahan utuh atau gilingan
Analisis Proksimat Tepung Talas 18
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
diletakkan dalam perahu dan dimasukkan ke dalam bejana. Bejana lalu ditutup dan vakum
dinyalakan. Setelah cukup vakum (≤1 torr), sedikit oksigen dialirkan ke dalam sistem dengan
tetap mempertahankan vakum minimum tertentu. Udara juga dapat digunakan agar
prosedur pembakaran lebih lembut sehingga tidak merusak komponen mikroskopik dan
struktural seperti kristal kalsium oksalat dalam berbagai jaringan daun. Pembangkit
gelombang elektromagnetik frekuensi-radio kemudian diaktifkan pada frekuensi sedikit
kurang dari 14 mHz untuk memecah oksigen, dan laju pembakaran diatur dengan
mengubah-ubah daya yang digunakan (50–200 watt). Beberapa model dilengkapi peranti
pengocokan untuk mengaduk contoh. Jalannya pengabuan dapat diamati melalui bejana.
IV. 2. Aplikasi
Pengukuran ini merupakan petunjuk kadar buah dari selai dan jeli. Abu yang lebih
sedikit dalam fraksi larut-air menunjukkan penambahan buah pada produk. Untuk mengukur
persen abu yang larut- dan yang taklarut-air, abu dilarutkan dalam 10 mL air suling, lalu krus
ditutup dan dipanaskan sampai hampir mendidih. Residu kemudian disaring dengan kertas
saring bebas-abu dan krus dibilas beberapa kali dengan air suling panas. Setelah
dikeringkan, residu dan kertas saring diabukan kembali sekurang-kurangnya 30 menit untuk
memperoleh bobot abu yang taklarut-air. Bobot abu yang larut-air dapat dihitung dengan
mengurangkan abu taklarut dari abu total.
Penentuan abu ini berguna untuk mengukur pencemaran di permukaan buah dan
sayuran serta sekam gandum dan padi. Cemaran biasanya berupa silikat dan taklarut dalam
asam, kecuali HBr. Untuk menentukan persen abu taklarut-asam, abu total atau abu yang
taklarut-air dilarutkan dalam 25 mL HCl 10%, lalu krus ditutup dan dididihkan 5 menit.
Residu kemudian disaring dengan kertas saring bebas-abu dan krus dibilas beberapa kali
dengan air suling panas. Setelah dikeringkan, residu dan kertas saring diabukan kembali
sekurang-kurangnya 30 menit untuk memperoleh bobot abu yang taklarut-asam.
V. 3. Kebasaan Abu
Abu dari buah dan sayuran bersifat basa (Ca, Mg, K, Na) sedangkan yang dari daging
dan beberapa sereal bersifat asam (P, S, Cl). Kebasaan abu telah digunakan sebagai
petunjuk mutu buah dan jus buah. Namun, garam dari asam sitrat, malat, dan tartarat
menghasilkan karbonat ketika dibakar. Fosfat juga dapat mengganggu prosedur ini.
Analisis Proksimat Tepung Talas 19
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
(1) Letakkan abu (abu total atau taklarut-air) dalam pinggan platinum dan tambahkan
dengan tepat 10 mL HCl 0,1 N.
(2) Tambahkan air mendidih jika perlu dan panaskan pada penangas uap.
(4) Titrasi kelebihan HCl dengan NaOH 0,1 N menggunakan indikator jingga metil.
Kebasaan abu yang taklarut-air juga dapat ditentukan dengan menitrasi secara langsung
dengan HCl 0,1 N menggunakan jingga metil. Nyatakan seperti dijelaskan di atas.
PERCOBAAN
Catatan:
Selalu gunakan sarung tangan tahan panas, gegep, dan safety gogles ketika membuka atau
menutup pintu tanur yang menyala serta memasukan atau mengeluarkan cawan berisi
sampel ke atau dari dalam tanur yang menyala.
Dilarang menyentuh bagian apa pun pada tanur yang sedang menyala tanpa sarung tangan
tahan panas!
Dilarang mengisi tanur dengan sampel hingga penuh! Selalu sediakan ruang kosong dalam
tanur yang menyala!
Dilarang mematikan tanur secara langsung! Turunkan dahulu suhu tanur serendah mungkin
lalu matikan sakelar. Baca prosedur penggunaan tanur pada unit yang tersedia di lab dengan
baik sebelum mengoperasikan tanur.
DAFTAR PUSTAKA
Aryetti, Soebrata BM. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Bogor: Departemen Kimia
IPB, hlm. 11.
Harbers LH. 1994. Ash Analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Introduction to the Chemical
Analysis of Foods. Boston: Jones and Bartlett, hlm. 115–119.
TUJUAN
3. Menjelaskan berbagai metode ekstraksi untuk analisis lemak kasar, dengan atau tanpa
pelarut, secara kontinu, semikontinu, atau takkontinu.
4. Menentukan dan membandingkan kadar lemak kasar suatu contoh kering dan basah
dengan metode ekstraksi pelarut semikontinu cara Soxhlet.
Kadar lipid total dalam bahan pangan lazim ditentukan dengan metode ekstraksi
dengan pelarut organik. Akurasi metode ini sangat bergantung pada kelarutan lipid dalam
pelarut yang digunakan. Kadar lipid dalam bahan pangan yang diperoleh dari ekstraksi
dengan suatu pelarut mungkin sangat berbeda dari kadar yang diperoleh dengan pelarut lain
yang berbeda polaritasnya. Selain metode ekstraksi dengan pelarut, terdapat metode
ekstraksi basah non-pelarut dan beberapa metode instrumental yang memanfaatkan sifat-
sifat fisis dan kimiawi dari lipid dalam bahan pangan untuk penentuan kadar lemak. Bab ini
dikhususkan untuk membahas metode-metode ekstraksi baik dengan maupun tanpa pelarut,
sementara metode-metode instrumental rencananya diberikan di bab terakhir penuntun ini.
Penyiapan contoh untuk analisis lipid bergantung pada jenis bahan pangan serta jenis
dan sifat lipid dalam bahan pangan. Metode ekstraksi lipid dari susu cair umumnya berbeda
dengan dari kacang kedelai yang padat. Untuk menganalisis secara efektif lipid dalam bahan
pangan, diperlukan pengetahuan akan struktur, kimia, dan keberadaan kelompok-kelompok
lipid utama dan penyusun mereka. Karena itu, tidak ada metode standar tunggal untuk
mengekstraksi semua jenis lipid dalam bahan pangan yang berbeda-beda. Untuk hasil
terbaik, penyiapan contoh sebaiknya dilakukan pada atmosfer nitrogen yang lembam pada
suhu rendah untuk meminimumkan reaksi kimia seperti oksidasi lipid.
Lipid tidak dapat diekstraksi secara efektif dengan etil eter dari bahan pangan yang
basah karena pelarut tersebut tidak dapat dengan mudah menembus jaringan bahan pangan
yang basah. Eter, yang higroskopik, akan dijenuhkan oleh air dan tidak efisien untuk
ekstraksi lipid. Mengeringkan contoh pada suhu tinggi juga tidak diinginkan karena sebagian
lipid menjadi terikat pada protein dan karbohidrat, dan lipid terikat ini tidak mudah
diekstraksi dengan pelarut organik. Pengeringan dengan oven vakum pada suhu rendah atau
liofilisasi memperluas permukaan contoh sehingga ekstraksi lipid menjadi lebih baik.
Pengeringan awal membuat contoh lebih mudah digiling untuk ekstraksi yang lebih baik,
memecah emulsi lemak-air yang membuat lemak larut dengan mudah dalam pelarut organik,
dan membantu melepaskan lemak dari jaringan bahan pangan.
Analisis Proksimat Tepung Talas 21
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
Efisiensi ekstraksi lipid dari bahan pangan yang dikeringkan juga bergantung pada
ukuran partikel; karena itu, penggilingan yang baik sangat penting. Metode klasik untuk
menentukan lemak dalam biji-bijian melibatkan ekstraksi serbuk biji dengan pelarut terpilih
setelah digiling berulang-ulang pada suhu rendah untuk meminimumkan oksidasi lipid. Agar
ekstraksi lebih baik, contoh dan pelarut dicampur dalam peranti penghalus berkecepatan-
tinggi seperti blender. Lipid agak sulit diekstraksi dari kacang kedelai karena terbatasnya
porositas sekam kedelai dan juga kepekaannya terhadap bahan pendehidrasi. Ekstraksi lipid
dari kacang kedelai mudah dilakukan jika telah dihancurkan mekanis dengan cara digiling.
I. 1. 3. Hidrolisis Asam
Sejumlah berarti lipid dalam bahan pangan seperti produk susu, roti, terigu, dan
produk hewani lainnya terikat pada protein dan karbohidrat, dan ekstraksi secara langsung
dengan pelarut nonpolar tidaklah efisien. Bahan pangan semacam ini harus dihidrolisis asam
terlebih dulu untuk memutus lipid yang terikat secara kovalen maupun ionik menjadi bentuk
lipid yang mudah diekstraksi. Contoh direfluks selama 1 jam dengan HCl 3 N, lalu etanol dan
heksametafosfat padat ditambahkan untuk mempermudah pemisahan lipid dari komponen-
komponen lainnya sebelum bahan pangan diekstraksi dengan pelarut. Tabel 1 menunjukkan
perbedaan persen lemak hasil ekstraksi dengan dan tanpa hidrolisis asam.
Tabel 1 Pengaruh pelumatan asam terhadap ekstraksi lemak dari bahan pangan
I. 2. Pemilihan Pelarut
Pelarut yang ideal untuk ekstraksi lemak harus memiliki daya larut yang tinggi
terhadap lipid dan rendah daya larutnya atau sama sekali tidak melarutkan terhadap protein,
asam amino, dan karbohidrat. Pelarut ini harus mudah menguap tanpa meninggalkan residu,
memiliki titik didih yang relatif rendah, serta tidak mudah terbakar dan tidak toksik dalam
keadaan cair maupun uap. Pelarut yang ideal harus mudah menembus partikel contoh,
merupakan komponen tunggal untuk menghindari fraksionasi, serta murah dan tidak
higroskopis. Sukar menemukan pelarut lemak ideal yang memenuhi semua persyaratan ini.
Etil eter dan PE merupakan pelarut yang paling lazim digunakan, tetapi pentana dan heksana
juga digunakan untuk mengekstraksi minyak dari kacang kedelai.
Etil eter memiliki titik didih 34,6 oC dan merupakan pelarut lemak yang lebih baik
daripada PE. Pelarut ini mahal dibanding pelarut yang lain, memiliki bahaya ledakan dan
kebakaran yang besar, higroskopis, dan membentuk peroksida. Petroleum eter merupakan
fraksi bertitik didih rendah dari minyak bumi dan tersusun terutama oleh pentana dan
heksana. Titik didihnya 35–38 oC dan lebih hidrofobik daripada etil eter. Pelarut ini selektif
untuk lipid yang lebih hidrofobik, lebih murah, lebih tidak higroskopis, dan lebih sukar
terbakar daripada etil eter. Sifat-sifat rinci PE dijelaskan dalam Metode AOAC 945.16.
Ekstraksi dengan metode kontinu lebih cepat dan efisien daripada metode
semikontinu. Namun, dapat terjadi penyaluran (channeling) yang menyebabkan ekstraksi
tidak sempurna. Uji Wiley, Underwriters, dan Goldfish merupakan contoh metode ekstraksi
lipid kontinu. Prosedur dan perhitungan untuk metode Goldfish diberikan di bawah ini:
(1) Timbanglah thimble keramik berpori yang telah dikeringkan. Masukkan contoh yang
telah dikeringkan dengan oven vakum ke dalamnya dan timbang kembali. (Contoh
dapat pula digabungkan dengan pasir di dalam thimble dan kemudian dikeringkan.)
(2) Letakkan thimble tersebut di dalam tabung penahan kaca dan naikkan ke dalam
pendingin radas.
(3) Timbanglah gelas piala ekstraksi yang telah dikeringkan, tuangkan etil eter (atau PE)
ke dalamnya, dan letakkan pada pemanas radas.
(4) Ekstraksilah selama 4 jam, lalu turunkan pemanas dan biarkan contoh mendingin.
(5) Lepaskan gelas piala ekstraksi dan biarkan kering-udara semalam, lalu keringkan
pada 100 oC selama 30 menit. Dinginkan gelas piala dalam desikator dan timbang.
% lemak berdasarkan bobot kering = (g lemak dalam contoh/g contoh kering) 100
Untuk ekstraksi pelarut semikontinu, pelarut mengisi ruang ekstraksi selama 5 sampai
10 menit dan membasahi seluruh contoh, kemudian turun kembali ke dalam labu didih.
Metode ini memberikan efek perendaman contoh dan tidak menyebabkan penyaluran.
Namun, metode ini lebih memakan waktu daripada metode kontinu. Metode Soxhlet
(Metode AOAC 920.39C untuk Lemak Sereal; Metode AOAC 960.39 untuk Lemak Daging)
merupakan contoh metode ekstraksi semikontinu dan dijelaskan di bawah ini.
(1) Jika kadar air contoh >10%, keringkan dulu pada 95–100 oC dengan tekanan 100
mmHg selama sekitar 5 jam (Metode AOAC 934.01).
(5) Rangkaikan labu didih, labu Soxhlet, dan pendingin (lihat Gambar 5).
(6) Ekstraksilah dengan laju pengembunan 5 atau 6 tetes per detik selama sekitar 4 jam,
atau selama 16 jam dengan laju 2–3 tetes/detik, dengan memanaskan pelarut dalam
labu didih.
(7) Keringkan labu didih dengan lemak yang terekstraksi dalam oven udara pada 100 oC
selama 30 menit, dinginkan dalam desikator, dan timbang.
% lemak berdasarkan bobot kering = (g lemak dalam contoh/g contoh kering) 100
Ekstraksi Pertama.
(1) Timbanglah, ke 0,1 mg terdekat, 10 g susu ke dalam labu ekstraksi lemak Mojonnier
(Gambar 6).
(2) Tambahkan 1,5 mL NH4OH dan kocok dengan kuat. Tambahkan 2 mL jika contohnya
asam. NH4OH menetralkan contoh yang asam dan melarutkan protein.
(3) Tambahkan 10 mL etanol 95% dan kocok 90 detik. Alkohol mencegah kemungkinan
terbentuknya gel.
(4) Tambahkan 25 mL etil eter dan kocok 90 detik. Eter melarutkan lipid.
Analisis Proksimat Tepung Talas 24
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
(5) Dinginkan jika perlu, tambahkan 25 mL PE dan kocok 90 detik. PE menyingkirkan air
dari ekstrak etil eter dan melarutkan lebih banyak lipid nonpolar.
(7) Dekantasi larutan eter dari labu Mojonnier ke dalam pinggan lemak Mojonnier yang
sebelumnya telah ditimbang.
Perhitungan.
Sepasang blangko pereaksi harus disiapkan setiap hari. Untuk penentuan blangko pereaksi,
gunakan 10 mL air suling sebagai pengganti contoh susu. Blangko pereaksi ini harus <0,002
g. Analisis duplo harus menghasilkan <0,03 % lemak.
Terdapat 3 metode yang digunakan untuk lemak susu, yaitu (1) metode Babcock
(Metode AOAC 989.04 dan 989.10), (2) metode Gerber, dan (3) metode detergen. Prosedur
rinci dari ketiga metode ini diberikan pada hlm. 188 pustaka Min (1994).
lemak. Sentrifugasi dan penambahan air panas mengisolasi lemak untuk diukur secara
kuantitatif dalam bagian berskala dari botol uji. Lemak diukur secara volumetrik, tetapi
hasilnya dinyatakan sebagai persen lemak berdasarkan bobot.
Metode Babcock paling umum digunakan untuk penentuan lemak dalam susu.
Dibutuhkan waktu sekitar 45 menit, dan selisih antarulangan pengujian tidak boleh melebihi
0,1%. Metode Babcock tidak mengukur fosfolipid dalam produk susu. Metode ini tidak dapat
digunakan tanpa modifikasi pada produk yang mengandung cokelat atau ditambahkan gula,
karena kedua bahan ini akan gosong oleh asam sulfat. Suatu modifikasi metode Babcock
digunakan untuk menentukan minyak atsiri dalam ekstrak cita rasa (Metode AOAC 932.11)
dan lemak dalam makanan laut (Metode AOAC 964.12).
Prinsip metode Gerber serupa dengan metode Babcock, tetapi digunakan asam
sulfat dan amil alkohol; yang terakhir ini dapat mencegah penggosongan gula yang terjadi
pada metode Babcock biasa. Metode Gerber dapat dibandingkan dengan metode Babcock,
tetapi lebih sederhana dan lebih cepat serta memiliki aplikasi yang lebih luas pada berbagai
produk susu. Uji ini lebih populer di Eropa daripada di Amerika.
PERCOBAAN
Timbang dengan teliti 2 g tepung talas dan kering yang telah ditetapkan kadar airnya
pada Percobaan 2. Selain itu timbang juga 2 g tepung talas yang belum ditetapkan kadar
airnya. Masukkan contoh ke dalam 2 thimble (selongsong kertas saring) yang berbeda
sedemikian rupa sehingga bahan di dalam kantong diapit oleh kapas bebas-lemak (sebaiknya
wol kaca) di atas dan di bawahnya. Rangkailah radas ekstraksi Soxhlet dan masukkan
pelarut n-heksana.
Jangan menuang pelarut langsung ke dalam labu; tuangkan melalui badan Soxhlet
yang telah berisi thimble dan padatan. Mula-mula isikan pelarut sampai membasahi seluruh
permukaan thimble. Biarkan beberapa lama (sebaiknya semalam) agar sebagian pelarut
terserap oleh thimble dan padatan. Setelah tidak ada lagi pelarut yang terserap, tambahkan
pelarut sampai mencapai puncak badan Soxhlet dan mengalir ke dalam labu. Ulangi sekali
lagi sehingga di dalam labu terdapat pelarut yang cukup untuk 2 kali siklus soxhletasi.
Mengabaikan daya serap thimble dan padatan bisa berbahaya, terutama jika padatannya
banyak. Pelarut awal yang ditambahkan bisa saja terserap seluruhnya, dan perlu ditambah-
kan lebih banyak pelarut sampai benar-benar tidak ada lagi pelarut yang terserap.
Jangan lupa memasukkan batu didih ke dalam labu. Jika menggunakan pecahan
porselen, keringkan dulu di oven agar udara terkurung dalam rongga-rongga yang ada di
tepi pecahan. Tinggi kantong tidak boleh melewati puncak badan Soxhlet. Sebuah pemberat
Analisis Proksimat Tepung Talas 26
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
(biasanya tutup botol kaca) diletakkan di atas thimble supaya tidak terangkat ketika pelarut
mulai mengisi badan Soxhlet.
Jika digunakan labu berdasar-bulat, mantel pemanas dipakai sebagai sumber panas.
Lempeng pemanas digunakan jika labunya berdasar-datar. Penangas air merupakan sumber
panas lainnya yang dapat digunakan apapun jenis labunya.
Ekstraksilah ke dua contoh dengan laju pengembunan 5 atau 6 tetes per detik selama
sekitar 3 jam (kelompok yang dapat paling mendekati hal ini akan mendapat penghargaan),
lalu uapkan pelarut yang telah mengandung ekstrak lemak sampai agak pekat. Teruskan
pengeringan dalam oven 100 oC sampai bobotnya konstan. Catatlah bobot residu dalam labu
sebagai bobot lemak. Tentu saja bobot labu kosong harus diketahui sebelum dirangkaikan
dengan radas Soxhlet.
Bandingkan kedua ekstrak yang Anda peroleh. Adakah perbedaan bobot lemak di
antara mereka? Simpulkan pengaruh keberadaan air dalam contoh terhadap proses ekstraksi
lemak dengan metode ini dalam laporan Anda.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin B, Achmadi SS, Wukirsari T, Farid M, Darmawan N. 2007. Penuntun Praktikum Kimia
Organik Berbasis Kompetensi. Departemen Kimia IPB, in press, Perc. 5: Ekstraksi.
Min DB. 1994. Crude Fat Analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Introduction to the Chemical
Analysis of Foods. Boston: Jones and Bartlett, hlm. 184–189.
TUJUAN
5. Menjelaskan prinsip, prosedur, dan aplikasi dari berbagai metode kimia untuk analisis
protein.
6. Menentukan dan membandingkan kadar protein tepung talas dengan metode Kjeldahl
I. METODE KJELDAHL
I. 1. Prinsip
Dalam prosedur Kjeldahl, protein dan komponen-komponen organik lain dalam bahan
pangan dilumat dengan asam sulfat dengan bantuan katalis. Nitrogen organik total
diubah menjadi amonium sulfat. Hasil pelumatan dinetralkan dengan basa dan disuling ke
dalam larutan asam borat. Anion borat yang terbentuk dititrasi dengan asam standar, dan
diubah menjadi nitrogen dalam contoh. Hasil analisis tersebut menunjukkan kadar protein
kasar dalam bahan pangan, karena nitrogen juga berasal dari komponen non-protein.
Ketika dikembangkan pertama kali oleh Johann Kjeldahl pada tahun 1883, metode ini
meliputi 3 tahapan umum berikut:
(1) Pelumatan dengan asam sulfat, dengan penambahan serbuk KMnO4 untuk
menyempurnakan oksidasi dan mengubah nitrogen menjadi amonium sulfat.
(2) Netralisasi hasil pelumatan yang telah diencerkan, dilanjutkan dengan distilasi ke
dalam asam standar dengan volume tertentu, yang mengandung KI dan KIO3.
(1) Katalis logam seperti raksa, tembaga, dan selen ditambahkan ke asam sulfat agar
pelumatan sempurna. Raksa didapati paling memuaskan. Selen dioksida dan
tembaga sulfat dengan nisbah 3:1 telah dilaporkan efektif untuk pelumatan.
Tembaga dan titanium dioksida juga telah digunakan sebagai katalis campuran untuk
pelumatan (Metode AOAC 945.01). Penggunaan katalis campuran ini lebih aman
daripada raksa terkait dengan pembuangan limbah pasca-analisis.
(2) Kalium sulfat digunakan untuk meningkatkan titik didih asam sulfat untuk
mempercepat pelumatan.
(3) Sulfida atau natrium tiosulfat ditambahkan pada hasil pelumatan yang telah
diencerkan untuk membantu melepaskan nitrogen dari raksa, yang cenderung
mengikat amonium.
(4) Amonia disuling secara langsung ke dalam larutan asam borat dan dilanjutkan
dengan titrasi dengan asam standar.
(5) Kolorimetri, nesslerisasi, dan kromatografi ion digunakan untuk menentukan kadar
nitrogen setelah pelumatan.
I. 2. 1. Penyiapan Contoh
Bahan pangan padat digiling agar lolos saringan 20 mesh. Contoh untuk analisis
harus homogen. Tidak diperlukan persiapan khusus lainnya.
I. 2. 2. Pelumatan
Letakkan contoh (ditimbang dengan tepat) dalam labu Kjeldahl. Tambahkan asam
dan katalis; lumat sampai jernih agar diperoleh pemecahan sempurna semua bahan organik.
Terbentuk amonium sulfat yang takatsiri dari reaksi nitrogen dan asam sulfat.
asam sulfat
Protein (NH4)2SO4
kalor, katalis
Selama pelumatan, nitrogen protein dibebaskan sebagai ion amonium; asam sulfat
mengoksidasi bahan organik dan bergabung dengan amonium yang terbentuk; unsur karbon
dan hidrogen diubah menjadi karbon dioksida dan air.
Hasil pelumatan diencerkan dengan air. Basa yang mengandung natrium tiosulfat
ditambahkan untuk menetralkan asam sulfat. Amonia yang terbentuk disuling ke dalam
larutan asam borat yang mengandung indikator biru metilena dan merah metil.
Anion borat (yang sebanding dengan jumlah nitrogen) lalu dititrasi dengan HCl standar.
H2BO3 + H+ H3BO3
I. 2. 4. Perhitungan
Blangko pereaksi harus dibuat untuk mengurangkan nitrogen pereaksi dari nitrogen contoh.
Suatu faktor digunakan untuk mengubah persen N ke persen protein kasar. Kebanyakan
protein mengandung 16% N, maka faktor konversinya 6,25 (100/16 = 6,25).
%N
% protein atau % N 6,25 = % protein
0,16
I. 2. 5. Prosedur Alternatif
Untuk menggantikan distilasi dan titrasi dengan asam, amonia atau nitrogen dapat
diukur jumlahnya dengan
(1) Nesslerisasi
NH4OH + 2 HgI2 + 2 KI + 3 KOH NH4Hg2I + 7 KI + 4 H2O
raksa(II) amonium diraksa(II)
iodida iodida, merah-jingga, 440 nm
Metode ini cepat dan peka, tetapi amonium diraksa(II) iodida berupa koloid dan
warna tidak stabil.
OH
(2) NH3 + fenol + hipoklorit indofenol (biru, 630 nm)
(3) Pengukuran pH setelah distilasi ke dalam asam borat yang volumenya diketahui.
II. 1. Prinsip
II. 2. Prosedur
(2) Setelah dibiarkan di suhu kamar selama 15 atau 30 menit, absorbans dibaca pada
540 nm terhadap blangko pereaksi.
II. 3. Aplikasi
Metode biuret telah digunakan untuk menentukan protein dalam sereal, daging,
protein kacang kedelai, dan sebagai uji kualitatif untuk pakan hewan (Metode AOAC 935.11
[mengacu pada Metode 22.012–22.013, AOAC, Ed. ke-10, 1965]). Metode biuret juga
digunakan secara luas untuk mengukur kadar protein dari isolat protein.
III. 1. Prinsip
(1) Protein yang akan dianalisis diencerkan ke kisaran yang sesuai (20–100 mg).
(4) Pereaksi Folin segar ditambahkan, kemudian dicampurkan dan diinkubasi pada 50 oC
selama 10 menit.
(6) Kurva standar BSA dibuat dengan saksama untuk memperkirakan konsentrasi protein
dari zat anu.
III. 3. Aplikasi
Karena sederhana dan peka, metode Lowry telah digunakan secara luas dalam
biokimia protein. Namun, metode ini belum banyak digunakan untuk menentukan protein
dalam sistem bahan pangan tanpa terlebih dulu mengekstraksi protein dari campuran bahan
pangan.
IV. 1. Prinsip
Protein mereduksi ion tembaga(II) menjadi tembaga(I) pada kondisi basa. Ion
tembaga(I) mengompleks pereaksi BCA yang berwarna hijau-apel, membentuk warna
keunguan. Warna yang terbentuk berbanding lurus dengan konsentrasi protein.
IV. 2. Prosedur
(1) Campurkan (satu tahap) larutan protein dengan pereaksi BCA, yang mengandung
garam natrium BCA, natrium karbonat, NaOH, dan tembaga(II) sulfat, pH 11,25.
(2) Inkubasi pada 37 oC selama 30 menit, atau suhu kamar selama 2 jam, atau 60 oC
selama 30 menit. Pemilihan suhu bergantung pada kepekaan yang diinginkan. Suhu
yang lebih tinggi memberikan respons warna yang lebih baik.
IV. 3. Aplikasi
Metode BCA telah digunakan dalam isolasi dan pemurnian protein. Kesesuaian
prosedur ini untuk mengukur protein dalam sistem bahan pangan yang kompleks belum
dilaporkan.
V. 1. Prinsip
Protein menunjukkan serapan UV yang kuat pada 280 nm, terutama karena residu
tirosina dan triptofan dalam protein. Karena kadar triptofan dan tirosina dalam setiap
protein cukup konstan, absorbans pada 280 nm dapat digunakan untuk mengestimasi
konsentrasi protein, dengan menggunakan hukum Beer. Namun, koefisien ekstingsi (E280)
atau absorptivitas molar (Em) harus selalu ditentukan, karena komposisi asam amino
aromatik yang khas dalam setiap protein.
V. 2. Prosedur
Protein cukup dilarutkan dalam bufer atau basa lalu dibaca absorbansnya pada 280
nm terhadap blangko pereaksi. Konsentrasi protein dihitung berdasarkan persamaan Beer (A
= a b c) dengan A = absorbans, a = absorptivitas, b = panjang jalur kuvet, c =konsentrasi.
V. 3. Aplikasi
Metode UV 280 nm telah digunakan untuk menentukan kadar protein produk daging
dan susu, tetapi belum banyak digunakan dalam sistem bahan pangan. Teknik ini lebih
berguna dalam sistem protein murni atau pada protein yang telah diekstraksi dalam basa
atau bahan pendenaturasi seperti urea 8 M. Meskipun ikatan peptida menyerap lebih kuat
pada 190–220 nm, daerah UV rendah lebih sulit diukur.
Analisis Proksimat Tepung Talas 32
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
VI. 1. 1. Prinsip
Contoh yang mengandung protein dicampur dengan sejumlah tertentu dan berlebih
zat warna anionik dalam larutan tersangga. Protein mengikat zat warna membentuk
suatu kompleks yang taklarut. Zat warna yang larut dan tak terikat diukur setelah
penyetimbangan reaksi dan penyingkiran kompleks yang taklarut dengan sentrifugasi atau
penyaringan, dan akan berbanding terbalik dengan kadar protein dalam contoh.
Zat warna asam sulfonat anionik, seperti Jingga Asam 12, Jingga G, dan Hitam Amido 10B,
mengikat gugus kationik dari residu asam amino basa (imidazola dari Hys, guanidina dari
Arg, dan gugus -amino dari Lys) dan gugus amino ujung yang bebas dari protein.
VI. 1. 2. Prosedur
(1) Contoh digiling dengan baik (ukuran 60 mesh atau lebih kecil) dan ditambahkan ke
dalam larutan zat warna yang berlebih.
(2) Campuran dikocok dengan kuat untuk menyetimbangkan reaksi pengikatan zat
warna dan disaring atau disentrifugasi untuk memisahkan zat-zat yang taklarut.
(3) Absorbans larutan zat warna yang tak terikat dalam filtrat diukur dan konsentrasi zat
warna diestimasi dari kurva standar zat warna.
(4) Kurva kalibrasi yang lurus dapat diperoleh dengan mengalurkan konsentrasi zat
warna yang tak terikat terhadap nitrogen total (ditentukan dengan metode Kjeldahl)
dari bahan-bahan pangan tertentu yang mencakup kisaran kadar protein yang lebar.
(5) Kadar protein contoh anu dari jenis bahan pangan yang sama dapat diestimasi dari
kurva kalibrasi atau dari persamaan regresi kuadrat terkecil.
VI. 1. 3. Aplikasi
Pengikatan zat warna anionik telah digunakan untuk mengestimasi protein dalam
susu, tepung terigu, produk dari kedelai, dan daging. AOAC memuat 2 metode pengikatan-
zat warna (Metode 967.12 yang menggunakan Jingga Asam 12 dan Metode 967.13 yang
menggunakan Hitam Amido 10B) untuk menganalisis protein dalam susu.
VI. 2. 1. Prinsip
Ketika Biru Brilian Coomassie G-250 mengikat protein, zat warna tersebut
berubah dari warna kemerahan menjadi kebiruan, dan serapan maksimum zat warna
bergeser dari 465 ke 595 nm. Perubahan absorbans pada 595 nm berbanding lurus dengan
konsentrasi protein dalam contoh.
Analisis Proksimat Tepung Talas 33
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
VI. 2. 2. Prosedur
Contoh yang mengandung protein (1–100 g/mL) dan larutan standar BSA dicampur-
kan dengan pereaksi Bradford (larutan Biru Brilian Coomassie G-250 dalam etanol 95%,
diasamkan dengan asam fosfat 85%). Absorbans lalu dibaca pada 595 nm terhadap blangko
pereaksi, dan konsentrasi protein dalam contoh diperkirakan dari kurva standar BSA.
VI. 2. 3. Aplikasi
Metode Bradford telah digunakan untuk menentukan kadar protein dalam produk
wort dan bir serta dalam kentang. Prosedur ini juga telah diperbaiki untuk mengukur protein
dalam jumlah mikrogram. Karena cepat, peka, dan sedikitnya gangguan dibandingkan
dengan metode Lowry, metode Bradford digunakan secara luas dalam pemurnian protein.
VII. 1. Prinsip
Asam amino, amonia, dan gugus amino primer dalam protein, jika dididihkan
dalam bufer pH 5,5 yang mengandung ninhidrin dan hidrindantin, membentuk warna ungu
Ruhemann.
VII. 2. Prosedur
VII. 3. Aplikasi
Metode ninhidrin belum banyak digunakan untuk penentuan mutu protein dalam
bahan pangan. Namun, metode ini dapat digunakan utnuk menentukan hidrolisis ikatan
peptida selama pemrosesan bahan pangan.
VIII. 1. Prinsip
Konsentrasi yang rendah (3–10%) dari asam trikloroasetat, asam sulfosalisilat, dan
kalium ferisianida dalam asam asetat dapat digunakan untuk mengendapkan protein
yang terekstraksi membentuk suspensi partikel protein yang keruh. Penurunan intensitas
radiasi yang diteruskan akibat terbentuknya kekeruhan ini dapat dihubungkan dengan
konsentrasi protein dalam larutan.
Tepung terigu diekstraksi dengan NaOH 0,05 N. Protein yang terlarut dalam basa
dipisahkan dari bahan yang taklarut dengan sentrifugasi. Asam sulfosalisilat lalu dicampur
dengan sejumlah tertentu larutan protein, dan kekeruhan yang terbentuk diukur dengan
Analisis Proksimat Tepung Talas 34
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
membaca transmitans cahaya pada 540 nm terhadap blangko pereaksi. Kadar protein dapat
diestimasi dari kurva kalibrasi, yang diperoleh menggunakan metode nitrogen Kjeldahl.
Kelebihan dan kekurangan dari berbagai metode kimia untuk analisis protein yang dijelaskan
di atas dapat Anda baca pada pustaka Chang (1994).
PERCOBAAN
Timbang dengan teliti 0,1 g tepung talas kering yang telah ditetapkan kadar airnya
pada Percobaan 1 dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 250 mL. Tambahkan kira-kira 1 g
logam selen dan 7,5 mL H2SO4 pekat. Panaskan dalam ruang asam*, mula-mula dengan
nyala api kecil sambil digoyang-goyangkan. Sesudah 5–10 menit, api dibesarkan dan terus
dipanaskan sampai warna cairan menjadi hijau jernih**. Biarkan mendingin kemudian
encerkan dengan 200–250 mL air suling.
Pindahkan larutan hasil pengenceran ke dalam labu didih 500 mL yang berisi
beberapa butir batu didih. Tambahkan 40 mL NaOH 40% dan segera sambungkan labu
dengan radas distilasi. Suling hingga 2/3 bagian dari cairan tersuling, dan tampung hasil
sulingannya dalam Erlenmeyer 250 mL yang telah berisi 25 mL asam borat 2% dan 2–3
tetes indikator hijau bromokresol-metil merah (BCG-MM). Asam borat akan berubah warna
dari merah marun menjadi hijau kebiru-biruan, segera setelah kontak dengan amonia yang
terbentuk selama penyulingan. Lanjutkan distilasi beberapa menit sampai tetesan distilat
tidak menimbulkan perubahan warna lagi.
Hentikan distilasi, bilas pipa pendingin dengan air suling 2 sampai 3 kali dan tampung
air bilasannya dalam Erlenmeyer yang sama. Titrasilah distilat dan air bilasan dengan HCl
0,01 N sampai warna biru hilang (a mL). Lakukan pula prosedur yang sama untuk penetapan
blangko (b mL).
(a b) N HCl 0,014
Kadar nitrogen total (%) 100
bobot kering (g)
Kadar protein (%) = Kadar nitrogen total 6,25
Catatan:
* Jangan melakukan penetapan kadar protein cara Kjeldahl jika kondisi lemari asam tidak
betul-betul baik! Uap SO2 yang terbentuk selama proses destruksi ini berbahaya.
** Pengaturan nyala api tidak diperlukan lagi jika digunakan radas Kjeldahl (semi)automatis.
Standardisasi HCl 0,1 N. Timbang dengan teliti Na2CO3 anhidrat (Mr = 105,99),
lalu larutkan dengan air suling dalam labu takar untuk membuat 50 mL larutan Na 2CO3 0.1
N. (Bahan ini harus dikeringkan pada 120 oC dan didinginkan tepat sebelum penimbangan.)
Kemudian standardisasi larutan HCl 0,1 N dengan 10 mL larutan tersebut. Gunakan indikator
jingga metil dan titrasi sampai warna mulai berbeda dari warna larutan rujukan (air bebas-
CO2 yang diberi 3 tetes indikator). Titik ekuivalen belum tercapai di sini! Tutuplah Erlenmeyer
dengan corong, didihkan perlahan-lahan selama 3 menit, dan dinginkan di bawah air keran.
Setelah dingin (warnanya berubah kembali), lanjutkan titrasi sampai tercapai warna titik
akhir (biasanya hanya diperlukan beberapa tetes HCl). Catatlah volume titran dan hitung
konsentrasi larutan HCl hasil standardisasi. Lakukan 3 kali ulangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin B. 2006. Modul Praktikum Berbasis Kompetensi 2: Menimbang dan Membuat Larutan
untuk Standardisasi secara Titrimetri. Program Hibah Kompetisi A2, Departemen
Kimia IPB, in press.
Aryetti, Soebrata BM. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Bogor: Departemen Kimia
IPB, hlm. 12–14.
Chang SKC. 1994. Protein Analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Introduction to the
Chemical Analysis of Foods. Boston: Jones and Bartlett, hlm. 209–216.
TUJUAN
I. PENYIAPAN CONTOH
Ekstraksi gula sederhana (monosakarida) dan oligosakarida dari bahan pangan tanpa
pemisahan polisakarida dilakukan dengan menggunakan alkohol 80% (Metode AOAC
922.02, 925.05). Ke dalam bahan padat yang telah dihaluskan ditambahkan alkohol suling-
panas yang telah dinetralkan dengan padatan CaCO3 secukupnya. Alkohol ini ditambahkan
dalam jumlah yang cukup agar konsentrasi akhirnya 80%. Campuran kemudian dipanaskan
sampai hampir mendidih dengan lempeng pemanas atau penangas uap selama 30 menit
untuk mengekstraksi karbohidrat, lalu disaring dengan kertas saring dan ditampung filtrat-
nya. Residu yang taklarut kembali direndam dengan alkohol 80% panas, dipanaskan selama
1 jam, didinginkan, dan disaring melalui kertas saring yang sama. Jika filtrat kedua ini masih
sangat berwarna, ekstraksi terus diulangi. Residu terakhir dibiarkan kering dan digiling agar
lolos ayakan 1 mm, lalu disoxhlet selama 12 jam dengan alkohol 80%. Residu soxhlet
dikeringkan dan disimpan untuk penetapan pati, sedangkan filtrat-filtrat alkohol digabungkan
dan diencerkan ke volume tertentu dengan alkohol 80% untuk penetapan karbohidrat.
Analisis bahan pangan dasar terdiri atas penetapan air, protein, lemak/lipid, dan abu
(mineral). Jika hasil-hasil analisis ini dirangkum, yang tersisa dianggap sebagai karbohidrat
total. Karena itu, jumlah karbohidrat total dalam bahan pangan dapat dihitung dari rumus
berikut: 100% – (%air + %protein + %lemak/lipid + %abu).
Masalah dalam penggunaan metode ini ialah pelumatan/ekstraksi yang tak sempurna
dari masing-masing penyusun bahan pangan utama, serta galat eksperimental yang
terkandung dalam penetapan mereka. Galat ini, meskipun mungkin kecil, akan terakumulasi
dan memberikan hasil kadar karbohidrat yang tidak tepat.
Selain itu, metode ini tidak membedakan antara karbohidrat yang tersedia dan tak
tersedia. Profil karbohidrat lengkap dari suatu bahan pangan (gula pereduksi, oligosakarida,
polisakarida, serat, dsb.) berhubungan dengan dan memengaruhi mutu produk. Karena itu,
seiring dengan bertambah kompleksnya bahan pangan dan dengan digunakannya
karbohidrat baru dan turunannya dalam formulasi bahan pangan, diperlukan analisis yang
lebih spesifik (daripada metode berdasarkan selisih).
Sebagian besar metode kimia untuk analisis karbohidrat didasarkan pada reaksi gula
pereduksi dengan pereaksi kimia untuk menghasilkan endapan [seperti tembaga(I) oksida]
atau kompleks berwarna (seperti dalam reaksi antron). Tahap terakhir dari metode-metode
ini melibatkan analisis gravimetri atau pelarutan endapan yang diikuti dengan titrasi atau
penetapan secara spektrofotometri pada panjang gelombang tertentu (kompleks berwarna).
Beberapa metode tidak menggunakan perlakuan dengan asam kuat sehingga hanya cocok
untuk gula pereduksi, dan gula non-pereduksi harus dihidrolisis sebelum analisis.
Metode Munson dan Walker dapat digunakan pada semua gula pereduksi, dan
telah digunakan secara luas untuk menentukan konsentrasi karbohidrat dalam bahan pangan
(Metode AOAC 906.03 [merujuk pada Metode 31.037–31.044, Ed ke-14]). Hasil-hasil dari uji
Analisis Proksimat Tepung Talas 38
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
ini dapat ulang, dan jika digunakan tabel konversi yang tepat (untuk mengonversi
tembaga(II) oksida ke bobot karbohidrat tertentu), uji ini cukup akurat. Metode ini tidak
terlalu peka (>5,0 mg D-glukosa/5 mL larutan contoh yang dijernihkan), tetapi hal ini
biasanya bukanlah masalah yang berarti dalam bahan pangan. Tabel konversi tersedia untuk
kebanyakan gula pereduksi yang umum.
Metode Munson dan Walker melibatkan oksidasi karbohidrat dengan adanya kalor
dan tembaga(II) sulfat dan tartrat basa berlebih, pada kondisi yang dijaga dengan
saksama. Kondisi basa diperlukan untuk mempertahankan tembaga dalam larutan sebagai
tembaga hidroksida (Cu+). Selama pemanasan, air ditarik keluar dan tembaga(II) oksida
diubah menjadi tembaga (I) oksida. Tembaga(I) oksida mengendap ketika karbohidrat
dioksidasi dan dapat ditentukan
(2) Dengan pengendapan elektrolitik dari larutan asam nitrat (Metode AOAC 31.044, Ed.
ke-14). Tembaga(I) oksida dilarutkan dalam HNO3 dan kemudian diendapkan pada
elektrode Pt; pertambahan bobot elektrode menunjukkan kadar gula pereduksi.
Mekanisme reaksi ini cukup kompleks, karena karbohidrat dalam larutan basa
menjalani berbagai reaksi termasuk tautomerisasi keto-enol (hal ini menjelaskan mengapa
gula ketosa dapat ditentukan), penidakjenuhan (unsaturation), dan eliminasi basa. Secara
sederhana, reaksi tersebut (dan titrasi dengan permanganat yang kemudian dilakukan)
ditunjukkan di bawah ini:
Metode Munson dan Walker bergantung pada kemampuan gula pereduksi untuk
bereaksi dengan larutan tembaga(II). Pembentukan Cu2O bergantung pada laju dan waktu
pemanasan, konsentrasi karbohidrat, jenis karbohidrat, dan kebasaan campuran reaksi.
Masalah utama lainnya ialah bahwa molekul hayati yang lain dapat mengganggu reaksi.
Selain itu, metode ini tidak mampu membedakan karbohidrat dan diperlukan pengetahuan
yang mendalam tentang jenis dan konsentrasi karbohidrat di dalam contoh sebelum analisis
(karena karbohidrat berbeda-beda kemampuannya untuk mereduksi larutan tembaga).
Dalam modifikasi metode ini digunakan tembaga(II) sitrat basa untuk menggantikan
tartrat, dengan natrium karbonat (sebagai basa). Setelah reduksi, kelebihan tembaga(II)
sitrat direaksikan dengan KI berlebih, dan I2 yang dibebaskan dititrasi dengan Na2S2O3.
Kelebihan metode ini ialah bahwa glukosa, fruktosa, dan gula invert dapat ditentukan
menggunakan tabel rujukan yang sama.
Prinsip dasar metode ferisianida basa, yang diperkenalkan pertama kali pada tahun
1962, ialah bahwa karbohidrat dalam larutan basa (pH > 10,5) dapat mereduksi ferisianida
menjadi ferosianida. Ferosianida kemudian dapat bereaksi dengan ion besi(III)
menghasilkan biru Prusia, yang dapat dibaca secara spektrofotometri pada 700 nm. Warna
biru yang dihasilkan cukup stabil, dan reaksi mematuhi hukum Beer. Namun, standar harus
digunakan untuk memperoleh hasil yang akurat.
Metode fenol-asam sulfat merupakan uji yang sederhana, cepat, dan universal untuk
pengukuran karbohidrat total dalam bahan pangan. Karena asam sulfat digunakan dalam
metode ini, karbohidrat pereduksi maupun non-pereduksi dapat diukur. Uji ini didasarkan
pada reaksi karbohidrat dengan fenol dengan adanya asam kuat (yang menghasilkan
panas), diikuti oleh pemanasan (25–30 oC selama 20 menit). Pada kondisi asam kuat, terjadi
dehidrasi karbohidrat membentuk furfural dan hidroksimetil furfural. Produk-produk ini
kemudian berkondensasi dengan fenol. Reaksi keseluruhannya menghasilkan warna kuning-
jingga yang dapat dibaca secara spektrofotometri pada 490 nm (heksosa) dan 480 nm
(pentosa). Kurva rujukan standar harus disiapkan untuk setiap gula, dan blangko harus
dibuat untuk setiap lompok (batch) contoh yang dianalisis.
Meskipun sebagian besar karbohidrat bereaksi dengan antron, reaktivitas yang tinggi
dari heksosa terhadap pereaksi ini memberikan suatu metode kolorimetri yang cukup spesifik
untuk karbohidrat ini. Karbohidrat bereaksi dengan 9,10-dihidro-9-oksoantrasena (antron)
pada kondisi asam (asam sulfat pekat) menghasilkan warna biru-hijau. Campuran reaksi
dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit dan dibiarkan mendingin dalam gelap
(untuk pembentukan warna, 20–30 menit) sebelum diukur absorbansnya pada 620 nm.
Blangko standar dan pereaksi harus dibuat bersama-sama dengan zat anu.
Karena metode ini melibatkan penambahan asam sulfat pekat, baik gula pereduksi
maupun non-pereduksi terukur. Namun, metode ini hanya dapat menoleransi sedikit alkohol
tanpa gangguan yang berarti (sampai 5%[b/v]); karena itu, alkohol harus disingkirkan
sebelum analisis. Reaksi ini juga bergantung pada jenis karbohidrat yang ada di dalam
contoh, konsentrasi pereaksi, serta waktu/suhu dari reaksi sebenarnya.
Karbohidrat bereaksi dengan orsinol pada kondisi sangat asam untuk menghasilkan
kompleks berwarna. Metode ini telah digunakan untuk menentukan pentosa dalam
keberadaan heksosa, karena respons warna untuk heksosa kira-kira 5% dari yang untuk
pentosa. Warna yang terbentuk cukup stabil, dan absorbans dapat diukur pada 670 nm.
Karena spesifisitas dan kepekaannya, uji enzim ideal untuk analisis karbohidrat dalam
bahan pangan. Pengujian dapat dilakukan pada alikuot dari bahan pangan itu sendiri tanpa
pemisahan parsial atau total karbohidrat sebelum analisis. Reaksi enzimatik biasanya
dilakukan pada suhu dekat suhu kamar, pada pH netral, dan dalam hitungan menit
(biasanya < 20 menit), maka meminimumkan perubahan senyawa selama analisis.
Uji enzimatik untuk karbohidrat dalam bahan hayati telah tersedia sejak akhir abad
ke-19. Namun, penggunaan rutin enzim untuk analisis karbohidrat baru diterima secara luas
dalam 15 tahun terakhir ini, seiring tersedianya berbagai kit uji enzim, yang selanjutnya
membuat enzim yang cukup murni tersedia dengan harga cukup terjangkau. Selain itu,
instrumentasi seperti lempeng mikrotiter dan pembaca (ultraviolet [UV] atau fluoresen)
memungkinkan analisis contoh yang banyak (pelat mikrotiter dengan 96 contoh/sumur) dan
cepat (<3 detik per sumur).
setiap metode ini memiliki keterbatasan berupa hanya cocok untuk sirup karbohidrat murni
(madu, sirup dekstrosa, dsb.) dan memerlukan larutan yang jernih. Selain itu, diperlukan
tabel konversi untuk memperoleh hasil yang akurat. Ulasan atas ketiga metode fisis yang
disebutkan di atas dapat dibaca pada hlm. 147–150 dari pustaka Low (1994).
PERCOBAAN
Metode Luff-Schrool
Sampel tepung talas ditimbang sebanyak 1 g, ditambahkan 200 mL HCl 3% dan
indikator pp, kemudian dihidrolisis dengan cara direfluks selama 2.5 jam di atas pemanas
listrik. Hidrolisat dibiarkan mendingin ke suhu kamar, lalu dinetralkan dengan NaOH 40%
(b/v). Sebanyak 10 mL larutan diambil dengan pipet Mohr ke dalam labu Erlenmeyer,
ditambahkan 15 mL akuades dan 25 mL pereaksi Luff-Schrool, selanjutnya dididihkan selama
10 menit (dihitung sejak mulai ada buih). Campuran kembali dibiarkan mendingin ke suhu
kamar, lalu ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 10 mL KI 20%, dan dititrasi dengan Na2S2O3
0.1 N yang telah distandardisasi. Titrasi sampel dilakukan triplo. Lakukan juga penentuan
blanko. Volume titran rerata untuk sampel = a mL; volume titran untuk blanko = b mL.
Hitunglah jumlah tiosulfat yang digunakan dengan persamaan
(b mL a mL) N
mL tio yang digunakan = tio = x mL
0,1
dengan Ntio merupakan normalitas tiosulfat hasil standardisasi.
Dengan menggunakan daftar di halaman berikut, dicari berapa mg glukosa yang setara
dengan mL tio yang digunakan (x mL), lalu dimasukkan ke rumus berikut:
mg glukosa fp
Kadar gula pereduksi (%) = 100%
bobot contoh (mg)
dengan fp = faktor pengenceran
mg KIO
Normalitas Na S O 5H O 3
2 2 3 2 fp V 35,7
LAMPIRAN
Daftar Penetapan Kadar Gula menurut Metode Luff-Schoorl
DAFTAR PUSTAKA
Arifin B. 2006. Modul Praktikum Berbasis Kompetensi 2: Menimbang dan Membuat Larutan
untuk Standardisasi secara Titrimetri. Program Hibah Kompetisi A2, Departemen
Kimia IPB, in press.
Aryetti, Soebrata BM. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Bogor: Departemen Kimia
IPB, hlm. 17–20.
Low NH. 1994. Carbohydrate Analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Introduction to the
Chemical Analysis of Foods. Boston: Jones and Bartlett, hlm. 141–145.
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1981. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Ed ke-2. Yogyakarta: Liberty, hlm. 32–33.
TUJUAN
I. PENDAHULUAN
Pada awal tahun 1970-an, meratanya penyakit jantung dan kanker tertentu di
masyarakat Barat didalilkan berhubungan dengan tidak mencukupinya konsumsi serat dalam
makanan. Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menguji hipotesis serat
tersebut. Konsumsi serat makanan (dietary fiber) yang baik dari berbagai macam bahan
pangan akan membantu melindungi terhadap kanker usus besar dan menormalkan lipid
darah sehingga mengurangi penyakit kardiovaskular. Jenis serat tertentu dapat memper-
lambat penyerapan glukosa dan mengurangi sekresi insulin, yang sangat penting bagi
penderita diabetes dan mungkin penting juga bagi yang bukan. Serat membantu mencegah
sembelit (konstipasi) dan penyakit divertikular. Begitu banyaknya manfaat serat makanan
sehingga banyak orang salah kaprah dan menganggapnya sebagai obat ajaib yang dapat
menyembuhkan atau mencegah semua penyakit. Pandangan yang lebih tepat ialah bahwa
komponen serat makanan penting dalam diet yang seimbang, dan asupan serat makanan
yang cukup akan membantu meminimumkan beberapa masalah kesehatan yang umum.
Jumlah serat yang diperlukan untuk kesehatan yang optimum masih belum diketahui
dengan pasti. Komponen serat tertentu akan menghasilkan suatu respons fisiologis,
sementara komponen serat lainnya memberikan respons fisiologis yang berbeda. Misalnya,
fraksi pentosa dalam serat makanan tampaknya paling bermanfaat dalam mencegah kanker
usus besar dan mengurangi penyakit kardiovaskular. Pektin dan hidrokoloid paling
bermanfaat dalam memperlambat penyerapan glukosa dan mengurangi sekresi insulin,
tetapi kurang berguna dalam mencegah divertikulosis dan sembelit; namun, campuran
hemiselulosa dan selulosa akan membantu mencegah gangguan gastrointestinal ini.
Pengenalan akan pentingnya serat makanan dan bahwa efek fisiologis tertentu dapat
berhubungan dengan komponen serat tertentu telah memunculkan sejumlah metode untuk
menentukan serat makanan. Beberapa metode yang lazim digunakan dijelaskan di bab ini.
I. 2 Definisi Serat
Selulosa. Selulosa ialah polimer linear yang panjang dari unit-unit glukosa yang
bertautan--1,4. Beberapa polimer dapat mengandung 10,000 unit glukosa. Ikatan hidrogen
di antara polimer-polimer yang sejajar membentuk mikrofibril yang kuat. Mikrofibril selulosa
memberikan kekuatan dan ketegaran (rigidity) yang diperlukan pada dinding sel primer dan
sekunder tumbuhan.
Pektin. Pektin kaya akan asam uronat dengan struktur tulang punggung berupa
rantai tak bercabang dari asam galakturonat yang bertautan-1,4. Rantai samping dapat
mengandung ramnosa, arabinosa, xilosa, dan fukosa. Pektin larut dalam air panas dan
membentuk gel. Kelarutan berkurang karena metilasi gugus karboksil bebas dan karena
pembentukan kompleks kalsium dan magnesium. Hemiselulosa mirip pektin merupakan
polisakarida matriks dalam dinding sel.
Polisakarida bukan dinding sel meliputi hidrokoloid seperti getah (mucilage), gom,
dan polisakarida ganggang. Hidrokoloid ialah polisakarida hidrofilik yang membentuk
larutan atau dispersi kental dalam air dingin atau panas. Getah yang khas ialah gom guar
dan gom kacang carob (locust bean gum). Gandum dan barley juga mengandung getah.
Gom eksudat tanaman meliputi gom arab, ghatti, karaya, dan tragacanth sementara
polisakarida ganggang terdiri atas agar, alginat, dan karaginan. Polisakarida bukan
dinding sel mengandung berbagai macam gula netral dan asam uronat.
I. 3. 3. Lignin
Lignin ialah polimer tiga-dimensi non-karbohidrat yang tersusun dari kira-kira 40 unit
fenol dengan ikatan intramolekul yang kuat. Lignin sering berikatan kovalen dengan
hemiselulosa.
II. METODE
II. 1. Ikhtisar
dilarutkan secara selektif oleh bahan kimia dan/atau enzim. Bahan tak-dapat-cerna
kemudian dikumpulkan dengan penyaringan, dan residu serat ditimbang secara gravimetri.
Pada pendekatan kedua, karbohidrat yang dapat-cerna disingkirkan dengan pelumatan
enzimatik, lalu komponen serat dihidrolisis dengan asam dan monosakarida diukur. Jumlah
monosakarida dalam hidrolisat asam menunjukkan serat.
Komponen yang paling menimbulkan masalah dalam analisis serat ialah pati. Pada
kedua pendekatan di atas, seluruh pati harus disingkirkan agar serat dapat diestimasi
dengan tepat. Dengan pendekatan gravimetri, penyingkiran pati yang tak sempurna akan
meningkatkan bobot residu dan membubungkan estimasi serat. Pada pendekatan kedua,
glukosa dalam hidrolisat asam dianggap serat. Karena itu, glukosa yang tidak disingkirkan
pada tahap analitis awal juga menyebabkan estimasi berlebih serat makanan. Hidrolase pati
yang digunakan dalam metode serat meliputi -amilase, amiloglukosidase, dan pululanase.
-Amilase mengkatalisis hidrolisis unit-unit D-glukosa internal yang berikatan -1,4,
sementara pululanase menghidrolisis unit-unit glukosa internal yang berikatan -1,6.
Amiloglukosidase menghidrolisis ikatan -1,4- dan -1,6-glukosidik dari ujung non-pereduksi
pati. Takadiastase merupakan -amilase jamur yang stabil terhadap panas dan Termamyl
merupakan -amilase bakteri yang juga stabil terhadap panas.
Estimasi serat paling konsisten ketika contoh rendah-lemak (kurang dari 5–10%),
kering, dan digiling sampai halus. Jika contoh mengandung lebih dari 10% lemak,
ekstraksilah lemaknya dengan mencampurkan contoh dengan 25 bagian (v/b) petroleum
eter (PE) atau heksana. Sentrifugasi dan dekantasi pelarut organiknya, lalu ulangi ekstraksi 2
kali lagi. Keringkan contoh semalam dalam oven vakum 70 oC dan giling agar lolos ayakan
0,3–0,5 mm. Catat berkurangnya bobot karena penyingkiran lemak dan air, dan lakukan
koreksi yang tepat terhadap persentase akhir nilai serat kasar yang diperoleh dalam analisis.
Contoh bukan-padatan dengan <10% serat paling baik dianalisis setelah liofilisasi
dan diperlakukan seperti di atas. Contoh bukan-padatan dengan 10% serat dapat dianalisis
tanpa pengeringan jika homogen dan rendah lemak dan jika ukuran partikel cukup kecil
untuk memungkinkan penyingkiran secara efisien karbohidrat dan protein yang dapat-cerna.
dalam makanan manusia diukur sebagai serat kasar sampai awal tahun 1970-an (kecuali
untuk Southgate di Inggris). Serat kasar ditentukan dengan ekstraksi contoh berturut-turut
dengan H2SO4 1,25% dan NaOH 1,25%. Residu yang taklarut disaring, dikeringkan,
ditimbang, dan diabukan untuk mengoreksi cemaran mineral dalam residu serat. Serat kasar
mengukur selulosa dan lignin di dalam contoh, tetapi hemiselulosa, pektin, dan hidrokoloid
larut dan tidak terdeteksi. Karena itu, penentuan serat kasar harus dihentikan.
Metode serat detergen asam dan serat detergen netral dikembangkan untuk
mengestimasi secara lebih akurat lignin, selulosa, dan hemiselulosa dalam pakan hewan.
Serat detergen netral sama dengan serat detergen asam plus hemiselulosa. Karena pektin
dan hidrokoloid biasanya menjadi penyusun minor pada hampir semua bahan makanan,
metode detergen cukup memadai dan diterima dengan baik dalam industri hewan. Metode
serat detergen netral menjadi pelopor metode American Association of Cereal Chemists
(AACC) untuk menentukan serat taklarut (Metode AACC 32-20). Namun, karena pektin dan
hidrokoloid penting bagi kesehatan manusia, sulit untuk membenarkan penggunaan metode
ini lebih lama lagi untuk menganalisis makanan.
Serat yang larut dan yang taklarut menghasilkan respons fisiologis yang cukup
berbeda, dan kedua jenis serat ini penting bagi kesehatan manusia. Dari pengembangan
berbagai metode analisis yang diusulkan, diperoleh metode yang sekarang diterima secara
luas untuk menentukan serat makanan (total, yang taklarut, atau yang larut), yaitu metode
AOAC 991.43 (Gambar 7). Metode ini menggabungkan metode serat kasar, serat detergen,
dan metode Southgate (lihat subbab berikut).
Serbuk kering bahan pangan yang telah diekstraksi lemaknya dicampur dengan
bufer, ditambahkan -amilase yang stabil dalam panas, dan diatur pH-nya. Pati digelatinisasi
dan dilumat dengan memanaskan campuran dalam penangas air mendidih. Setelah dingin,
pH diatur dan ditambahkan enzim protease. Protein dilumat, lalu campuran didinginkan
kembali. pH diatur lagi, dan pelumatan pati disempurnakan dengan amiloglukosidase.
Tahapan selanjutnya ditentukan oleh jenis serat yang akan ditentukan. Jika serat
total hendak ditentukan tanpa memisahkannya menjadi fraksi yang larut dan yang taklarut,
lakukan seperti dijelaskan dalam catatan di bawah Gambar 7. Apabila fraksi serat yang
taklarut dan yang larut hendak ditentukan, saringlah campuran melalui krus masir yang
berisi Celite. Serat taklarut akan tertahan di dalam saringan, bilaslah dengan air. Serat yang
larut berada di dalam filtrat. Tambahkan 4 volume (v/v) etanol 95% ke dalamnya dan bilas
beberapa kali dengan air untuk mengendapkan serat yang larut. Biarkan endapan terbentuk
selama kira-kira 1 jam dan saring-vakum melalui krus masir yang berisi Celite. Bilaslah residu
serat yang larut ini 3 kali dengan etanol 78%.
Residu serat (total, yang taklarut, atau yang larut) dalam krus kemudian dibilas
dengan etanol 95% dan aseton. Krus lalu dikeringkan dengan oven, didinginkan, dan
ditimbang. Lakukan semua pekerjaan di atas sebanyak 2 kali ulangan (duplo) untuk setiap
jenis penentuan serat; siapkan juga 2 ulangan blangko pereaksi. Karena sejumlah protein
dan mineral terkompleks dengan penyusun dinding sel tanaman, nilai serat harus dikoreksi
terhadap cemaran-cemaran ini. Gunakan satu ulangan untuk menentukan kadar N dengan
prosedur Kjeldahl, dan abukan ulangan yang lain. Persen serat dihitung sebagai berikut:
bobot serat R ( P A B) R = rerata bobot residu contoh
% serat 100 100 P = bobot protein
bobot contoh W A = bobot abu
Analisis Proksimat Tepung Talas 48
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
Kadar Serat Makanan Total = Serat yang Taklarut + Serat yang Larut
1
Serat makanan total dapat ditentukan dengan langsung menimbang hasil pelumatan dengan amiloglukosidase dan (1) menambahkan 4 volume
(v/v) etanol 95% yang telah dipanaskan ke 60 oC, atau (2) mengatur volume ke 80 g dengan air dan kemudian menambahkan 320 mL etanol
95% yang telah dipanaskan ke 60 oC. Setelah (1) atau (2), ikuti prosedur untuk menentukan serat yang larut dimulai dari tahap pembentukan
endapan. Perhitungan (2d) akan menghasilkan serat makanan total.
Gambar 7 Metode untuk menentukan kadar serat makanan total dari bahan pangan.
Dalam metode kimia untuk penentuan serat, serat sama dengan jumlah semua
monosakarida non-pati ditambah lignin. Monosakarida diukur secara taklangsung dengan
metode kolorimetri atau kromatografi (GC atau HPLC). Secara spektrofotometri, pada kondisi
yang khusus dan terstandardisasi, heksosa dapat diukur dengan antron, pentosa dengan
orsinol, dan asam uronat dengan karbazol. Jumlah heksosa, pentosa, dan asam uronat
dianggap sebagai kadar polisakarida total. Asam uronat secara teknis sukar diukur dengan
kromatografi. Karena itu, kebanyakan prosedur yang mengestimasi serat dari analisis
monosakarida mengukur asam uronat secara kolorimetri dengan metode karbazol. Nilai
asam uronat kemudian dikoreksi terhadap keberadaan heksosa dan pentosa.
Southgate-lah yang pertama kali menghitung secara sistematis jumlah serat makanan
dalam berbagai macam bahan pangan. Pendekatannya menjadi dasar bagi banyak metode
gravimetri dan kimia yang sekarang ini digunakan dalam penentuan serat. Dalam metode
Southgate, serat difraksionasi menjadi polisakarida non-selulosa yang larut dan yang
taklarut, selulosa, dan lignin. Lignin ditentukan secara gravimetri, dan kadar polisakarida
ditentukan dari penyusun monosakarida yang diukur secara kolorimetri. Tahap-tahap utama
prosedur Southgate ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Skema analitis penentuan kadar serat makanan dengan metode Southgate.
Dua prosedur lainnya, yang merupakan versi modern dari prosedur Southgate, ialah
prosedur Englyst-Cummings dan pendekatan Theander-Martlett. Keduanya hanya akan
dibahas secara garis-besar di sini; rinciannya dapat Anda baca pada hlm. 175–178 dari
pustaka Bennink (1994).
Ukur gula netral dengan GC. Ukur asam uronat secara kolorimetri.
Serat makanan total = Gula netral + Asam uronat
* Untuk mengukur serat yang taklarut, gunakan 40 mL bufer sebagai pengganti 40 mL etanol, dan ekstraksi serat yang larut
pada 100 oC selama 30 menit. Kelanjutan prosedur tersebut menghasilkan serat yang taklarut
Serat yang larut = Serat total – Serat yang taklarut
Satu segi yang khas dari prosedur Englyst-Cummings ialah dimungkinkannya estimasi
pati resisten. Pati resisten dihasilkan dari retrogradasi pati, reaksi Maillard, pati kristalin yang
tidak mudah digelatinkan, dan lain-lain. Akan tetapi, prosedur ini tidak mengukur dan karena
itu, tidak mengikutsertakan lignin sebagai komponen serat makanan total. Karena sebagian
besar bahan pangan tidak mengandung lignin dalam jumlah besar, metode ini cocok untuk
menentukan kadar serat dari kebanyakan bahan pangan. Jika terkandung banyak lignin,
harus digunakan prosedur AOAC atau pendekatan Theander-Martlett (Gambar 10).
* Analisis gula: Asam uronat diukur secara kolorimetri; gula netral diukur dengan HPLC atau GC.
Serat yang larut = Jumlah gula** Serat yang tidak larut = Jumlah gula** + Bobot lignin
** Dikoreksi terhadap pemulihan gula yang tidak sempurna dan dikalikan 0,9 untuk mengoreksi penambahan 1 molekul air per
ikatan glikosida yang dihidrolisis.
Analisis Proksimat Tepung Talas 52
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
Metode analisis serat yang mana yang dipilih sebagian ditentukan oleh (1) seberapa
besar keahlian teknis yang tersedia, (2) berapa lama waktu yang dimiliki, (3) ketersediaan
GC dan/atau HPLC, serta (4) pentingnya pengetahuan tentang komposisi gula penyusun
serta kadar selulosa, non-selulosa, pektin, atau lignin. Jika hanya diperlukan serat total, yang
larut, dan yang taklarut, metode AOAC atau Englyst-Cummings yang cepat lebih disukai. Jika
komponen-komponen utama dari serat atau komposisi gula penyusun juga diperlukan, maka
prosedur GC Englyst-Cummings atau pendekatan Theander-Marlett akan dipilih.
PERCOBAAN
Tambahkan 200 mL larutan H2SO4 1,25% (b/v) (= 0,255 N) mendidih dan refluks
selama 30 menit dengan kadangkala digoyang. Saringlah suspensi dengan kertas saring
yang sebelumnya telah dibasahi dengan akuades panas. Bilaslah residu yang tertinggal
dalam Erlenmeyer dengan akuades mendidih, dan saring melalui kertas saring yang sama.
Kemudian bilaslah residu dalam kertas saring sampai air bilasan tidak bersifat asam lagi (uji
dengan kertas lakmus).
Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring dengan spatula ke dalam
Erlenmeyer yang sama. Bilaslah sisanya dengan 200 mL larutan NaOH 1,25% (b/v) (=0,313
N) mendidih sampai seluruh residu masuk ke dalam Erlenmeyer. Refluks kembali selama 30
menit sambil sesekali digoyang. Saringlah melalui kertas saring Whatman 41 yang diketahui
bobotnya (siapkan kertas saring ini sebelumnya dengan mengeringkannya dalam oven 105
o
C selama 1 jam dan ditimbang bobotnya, a) atau krus Gooch yang telah dipijarkan dan
diketahui bobotnya, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%.
Bilas kembali residu dengan akuades mendidih sampai air bilasan bebas basa, dan
kemudian dengan kira-kira 15 mL alkohol 95%. Keringkan kertas saring atau krus dengan
isinya pada 110 C selama 1–2 jam sampai bobot konstan (b), dinginkan dalam eksikator,
dan timbang. Jangan lupa mengurangkan bobot asbes, kalau digunakan. Lakukan pekerjaan
di atas sebanyak 2 kali ulangan.
Jika kadar serat kasar > 1%, residu harus diabukan, maka
b a bobot abu
% serat kasar 100%
bobot contoh
Jika tidak digunakan contoh yang kering, bobot contoh harus dikoreksi terhadap kadar air.
menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Labu
kemudian ditutup dan diinkubasi kembali pada suhu 40 oC. Setelah digoyang selama 60
menit, ditambahkan 20 mL air distilasi dan pH diatur ke 6.8 sebelum ditambahkan 100 mg
enzim pankreatin, ditutup dan diinkubasi kembali pada suhu 40 oC selama 60 menit sambil
digoyang. Terakhir, pH diatur dengan HCl menjadi 4.5. Setelah itu, ditambahkan 200 mL
etanol 95% hangat. Setelah 1 jam, residu disaring dengan fiter funnel yang telah diketahui
bobotnya (A gram). Filter funnel yang berisi serat makanan total dikeringkan dalam oven
dengan suhu 105 oC hingga bobot tetap (B gram), lalu diabukan dan ditimbang bobotnya
(D). Nilai blangko (C) untuk serat makanan total diperoleh dengan cara yang sama, tetapi
tanpa menggunakan sampel.
B AC D
Total Dietary Fiber (TDF) (%bobot/bobot) = 100%
bobot contoh
DAFTAR PUSTAKA
Aryetti, Soebrata BM. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Pangan. Bogor: Departemen Kimia
IPB, hlm. 21–22.
Bennink MR. 1994. Fiber Analysis. Di dalam: Nielsen SS, editor. Introduction to the Chemical
Analysis of Foods. Boston: Jones and Bartlett, hlm. 171–178.
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1981. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Ed ke-2. Yogyakarta: Liberty, hlm. 33–34.
TUJUAN
12. Menjelaskan prinsip, prosedur, dan aplikasi berbagai metode pencirian minyak dan lemak
serta pengukuran status oksidasi lipid dan/atau kerentanan lipid terhadap oksidasi.
13. Menentukan bilangan iodin, bilangan penyabunan, bilangan asam (persen asam lemak
bebas), bilangan peroksida, dan bilangan TBA pada sampel minyak goreng selama 5
minggu secara periodik.
Banyak metode tersedia untuk mengukur sifat-sifat lemak dan minyak. Beberapa
metode (misalnya, uji titer) terbatas penggunaannya untuk minyak yang dapat dimakan
(edible oils) (tidak untuk sabun dan minyak industri). Metode-metode lainnya (misalnya,
pengukuran warna) memerlukan radas khusus yang tidak lazim tersedia atau telah menjadi
kuno dengan adanya prosedur instrumental (misalnya, metode asam-asam atsiri [bilangan
Reichert-Meissl, Polenske, dan Kirschner] telah banyak digantikan oleh penentuan asam
lemak menggunakan GC). Akhirnya metode-metode untuk menentukan pengotor belum
didaftarkan, termasuk air, pengotor yang taklarut, dan bahan tak tersabunkan.
I. 1. Penyiapan Contoh
Pastikan contoh jernih dan bebas dari sedimen. Jika diperlukan (misalnya, bilangan
iodin), keringkan contoh sebelum pengujian (Metode AOAC 981.11). Karena pemaparan
pada panas, cahaya, atau udara mendorong oksidasi lipid, hindari kondisi-kondisi ini selama
penyimpanan contoh untuk menghambat ketengikan. Untuk minyak dan lemak, prosedur
pengambilan contohnya tersedia pada Metode AOAC C 1–47; 7.
I. 2. Indeks Bias
Indeks bias (refractive index, RI) minyak didefinisikan sebagai nisbah laju cahaya di
udara (secara teknis, vakum) terhadap laju cahaya di dalam minyak. RI diukur dengan
refraktometer pada 20 atau 25 oC untuk minyak dan 40 oC untuk lemak, karena sebagian
besar lemak berwujud cair pada suhu ini (Metode AOAC 921.08; Metode AOCS Cc 7-25).
Pengukuran RI digunakan untuk mengendalikan hidrogenasi; nilainya menurun secara linear
dengan menurunnya bilangan iodin. RI juga digunakan sebagai ukuran kemurnian dan cara
identifikasi, karena setiap zat memiliki RI yang khas. Tabel data terpublikasi tersedia.
I. 3. Titik Leleh
Metode tabung kapiler kurang berguna untuk minyak dan lemak (dibandingkan
dengan untuk senyawa murni) karena titik lelehnya kurang tajam. Titik leleh Slip paling
sering digunakan di Eropa, sedangkan titik leleh Wiley disukai di Amerika Serikat.
Kekurangan titik leleh Wiley ialah penentuan yang subjektif tentang kapan cakram berbentuk
bola. Kekurangan titik leleh Slip ialah waktu stabilisasinya yang mencapai 16 jam.
Indeks lemak padat (SFI) merupakan suatu persamaan empiris nisbah (ratio)
padatan terhadap cairan di dalam lemak pada suhu tertentu. Nilainya biasanya diukur
menggunakan dilatometri, yang mengukur perubahan volume akibat perubahan suhu
(Metode AOCS Cd 10-57). Ketika lemak padat meleleh, volumenya bertambah. SFI juga
dapat diukur menggunakan NMR bila persen lemak padat sesungguhnya dapat ditentukan.
Dilatometer lemak terbuat dari sebuah bola yang dihubungkan dengan tabung kapiler
terkalibrasi. Ketika lemak dalam bola memuai selama pemanasan, ia mendesak suatu cairan
(air atau raksa yang berwarna) ke dalam tabung kapiler. Mengalurkan volume terhadap suhu
menghasilkan sebuah garis ketika lemak tersebut padat, sebuah garis ketika cair, dan
sebuah kurva pelelehan di antaranya (Gambar 11).
I. 5. Uji Dingin
Uji dingin (cold test) ialah ukuran ketahanan minyak terhadap kristalisasi.
Prosedurnya diberikan dalam Metode AOAC 929.08 dan Metode AOCS Cc 11-53. Minyak
disimpan dalam penangas es (0 oC) selama 5,5 jam dan kristalisasi diamati. Ketiadaan kristal
atau kekeruhan menunjukkan keberhasilan proses winterizing, yang memastikan minyak
tetap jernih sekalipun disimpan pada suhu dingin.
I. 6. Titik Kabut
Titik kabut (cloud point) ialah suhu ketika terbentuk kabut dalam lemak cair karena
mulai terjadinya kristalisasi. Untuk menentukan titik kabut, contoh dipanaskan ke 130 oC,
didinginkan sambil digoyang, lalu suhu ketika pertama kali terjadi kristalisasi diamati, yaitu
ketika termometer dalam lemak tidak tampak lagi (Metode AOCS Cc 6-25).
Titik asap (smoke point) ialah suhu ketika contoh mulai mengasap ketika diuji pada
kondisi tertentu. Titik nyala (flash point) ialah suhu ketika timbul nyala pada titik manapun
Karakterisasi Minyak Goreng dengan Variasi Penyimpanan 57
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
di permukaan contoh; produk-produk gas pembakaran yang atsiri dihasilkan dengan cukup
cepat sehingga terjadi penyulutan. Titik api (fire point) ialah suhu ketika pelepasan zat atsiri
(dengan dekomposisi contoh) berlangsung dengan laju yang cukup untuk menimbulkan
pembakaran terus-menerus. Uji-uji ini mencerminkan bahan organik atsiri dalam lemak dan
minyak, khususnya asam lemak bebas dan sisa pelarut ekstraksi.
Untuk titik asap, isilah cangkir terbuka Cleveland dengan minyak atau lelehan lemak,
amankan termometer, dan letakkan dalam cabinet. Panaskan contoh dan catat suhu ketika
terbentuk aliran kontinu asap tipis yang berwarna kebiruan. Titik nyala dan api serupa
pengerjaannya, dengan melewatkan nyala api pengujian melalui contoh dengan selang 5 oC
(Metode AOCS Cc 9a-48). Untuk lemak dan minyak yang menyala pada suhu <149 oC,
gunakan metode titik nyala-cangkir tertutup (Metode AOCS Cc 9b-55). Minyak goreng dan
minyak rafinasi (refined oils) harus memiliki titik asap berturut-turut di atas 200 dan 300 oC.
I. 8. Bilangan Iodin
Prinsip. Bilangan iodin ialah ukuran derajat ketidakjenuhan, jumlah ikatan rangkap
karbon-karbon dihubungkan dengan jumlah lemak atau minyak. Bilangan iodin dinyatakan
sebagai g iodin yang terserap per 100 g contoh.
Sejumlah lemak atau minyak direaksikan dengan sejumlah tertentu iodin (atau
halogen lainnya). Jumlah iodin yang tersisa di akhir reaksi diukur untuk menghitung jumlah
iodin yang diserap. Semakin tinggi jumlah ketidakjenuhan, semakin banyak iodin yang
diserap; karena itu, semakin tinggi bilangan iodin, semakin besar derajat ketidakjenuhan.
Prosedur. Dua prosedur paling umum untuk mengukur bilangan iodin ialah metode
Wijs dan metode Hanus. Metode Wijs (Metode AOAC 920.159; Metode AOCS Cd 1-25)
menggunakan iodin monoklorida (ICl), dan metode Hanus (Metode AOAC 920.158)
menggunakan iodin monobromida (IBr) sebagai bahan penghalogenasi. Metode AOCS Cd
1b-87 menggunakan sikloheksana sebagai pengganti karbon tetraklorida.
Metode Wijs:
(1) Tambahkan larutan ICl dalam asam asetat pada porsi uji minyak atau lemak yang
dilarutkan dalam sikloheksana.
(2) Biarkan campuran selama periode waktu tertentu. Adisi halogen pada ikatan rangkap
akan berlangsung (persamaan 1).
(3) Tambahkan larutan KI untuk mereduksi kelebihan ICl menjadi iodin bebas
(persamaan 2).
(4) Titrasi iodin yang dibebaskan dengan larutan natrium tiosulfat standar menggunakan
indikator pati (persamaan 3).
( B S ) N 12,69
Bilangan iodin (4)
bobot contoh (g)
Metode Wijs mungkin lebih luas penggunaannya dan memberikan hasil yang lebih dekat
dengan nilai teoretis. Hasil metode Hanus 2–5% di bawah metode Wijs, tetapi pereaksi
Hanus lebih stabil.
I. 9. Bilangan Penyabunan
Prinsip. Penyabunan ialah proses pemecahan atau penguraian lemak netral menjadi
gliserol dan asam-asam lemak melalui pengolahan lemak dengan basa (persamaan 5):
O O
CH2 O C R1 +
CH2OH K O C R1
O O
kalor
CH O C R2 + 3 K+OH CHOH + K+O C R2 (5)
O O
CH2 O C R3 CH2OH K+O C R3
triasilgliserol gliserol garam kalium
asam-asam lemak
(1) Tambahkan berlebih KOH dalam alkohol ke dalam sejumlah tertentu lemak.
(3) Titrasi-kembali KOH yang tidak bereaksi dengan HCl standar menggunakan
fenolftalein (pp) sebagai indikator.
(4) Gunakan bobot contoh serta nilai titrasi blangko dan contoh untuk menghitung
bilangan penyabunan (persamaan 6):
( S B) N 56,1
Bilangan penyabunan (6)
bobot contoh (g)
56,1 1000 mg
BM rerata triasilgliserol 3 (7)
SN g
dengan 56,1 = bobot molekul KOH dan SN = bilangan penyabunan dalam mg/g.
O O
CH2 O C R1 CH2OH HO C R1
O O
CH O C R2 + 3 H2O CHOH + HO C R2 (8)
O O
CH2 O C R3 CH2OH HO C R3
triasilgliserol gliserol asam-asam lemak
Selain FFA, fosfat asam dan asam amino juga dapat menimbulkan keasaman.
Bilangan asam didefinisikan sebagai mg KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam
bebas yang ada dalam 1 g lemak atau minyak. Persen asam lemak bebas (FFA) ialah
persen berdasarkan bobot dari asam lemak tertentu (misalnya, persen asam oleat). Dalam
contoh yang tidak mengandung asam selain asam lemak, bilangan asam dan persen FFA
dapat diubah satu sama lain menggunakan suatu faktor konversi. Kadang-kadang keasaman
minyak dan lemak yang dapat dimakan dinyatakan sebagai mL NaOH yang diperlukan untuk
menetralkan asam lemak dalam 100 g lemak atau minyak.
(1) Timbang dengan tepat contoh minyak atau lelehan lemak yang dicampur dengan baik.
(2) Tambahkan sejumlah tertentu etanol 95% netral dan indikator pp.
(3) Titrasi dengan NaOH yang normalitasnya telah ditentukan, kocok dengan konstan
sampai warna merah jambu bertahan 30 detik.
Faktor konversi bilangan asam untuk asam laurat dan palmitat berturut-turut ialah 2,81 dan
2,19. Bilangan asam dapat ditentukan dengan menggunakan metode AOCS Cd 3d-63.
Aplikasi. Dalam lemak kasar, bilangan asam atau persen FFA mengestimasi jumlah
minyak yang akan hilang selama tahap rafinasi (yang dirancang untuk menyingkirkan asam
lemak). Dalam lemak yang telah dirafinasi, tingkat keasaman yang tinggi berarti proses
rafinasi lemak buruk atau lemak mengalami pemecahan setelah disimpan atau digunakan.
Jika asam lemak yang dibebaskan bersifat atsiri, bilangan asam atau persen FFA dapat
menjadi ukuran ketengikan hidrolitik.
Status saat ini dari lemak atau minyak berkenaan dengan oksidasi lipid dapat diukur
dengan bilangan peroksida dan uji asam tiobarbiturat (TBA). Selain uji-uji tersebut,
yang dibahas di bawah ini, metode-metode lain yang memantau oksidasi lipid (dan yang
beragam kegunaannya) meliputi diena dan triena terkonjugasi, bilangan anisidin, bilangan
iodin, bilangan asam, uji Kreis, dan uji oksirana, dan juga pengukuran senyawaan fluoresen,
senyawaan karbonil total dan atsiri, senyawaan polar, dan gas hidrokarbon.
Prinsip. Bilangan peroksida mengukur tingkat oksidasi lipid dalam lemak dan
minyak, tetapi tidak mengukur stabilitasnya. Bilangan peroksida didefinisikan sebagai
miliekuivalen (mek) peroksida per kg lemak, yang merupakan ukuran terbentuknya gugus
peroksida atau hidroperoksida yang merupakan produk awal oksidasi lipid.
(1) Larutkan 5,0 g lemak/minyak dalam 30 mL asam asetat glasial-kloroform (3:2, v/v).
(3) Titrasi dengan natrium tiosulfat standar dan indikator pati (persamaan 12).
H+, kalor
ROOH + K+I ROH + K+OH + I2
(berlebih) (11)
I2 + pati + 2 Na2S2O3 2 NaI + pati + Na2S4O6 (12)
(biru) (tak berwarna)
( S B) N 1000
Bilangan peroksida (13)
bobot contoh (g)
Aplikasi. Bilangan peroksida mengukur produk sementara dari oksidasi. Nilai yang
rendah dapat menggambarkan permulaan oksidasi atau oksidasi tahap lanjut (Gambar 12);
yang dapat dibedakan dengan mengukur terhadap waktu. Untuk penentuan dalam bahan
pangan, kekurangannya ialah diperlukan 5 g contoh lemak atau minyak. Metode ini sangat
empiris; modifikasi dapat mengubah hasil. Metode AOCS Cd 8b-90 menggunakan isooktana
sebagai pengganti kloroform. Meskipun memiliki kekurangan, bilangan peroksida merupakan
salah satu uji yang paling umum untuk oksidasi lipid.
Gambar 12 Perubahan jumlah reaktan dan produk oksidasi lipid terhadap waktu.
Prinsip. Uji TBA mengukur produk sekunder dari oksidasi lipid, yaitu malonal-
dehida. Uji ini melibatkan reaksi malonaldehida (atau produk sejenis) dengan TBA untuk
menghasilkan produk akhir yang berwarna. Contoh dapat langsung direaksikan dengan TBA,
tetapi biasanya disuling dulu untuk menyingkirkan zat-zat pengganggu, baru kemudian
distilat direaksikan dengan TBA. Uji TBA berkorelasi lebih baik dengan evaluasi cita rasa atas
ketengikan daripada bilangan peroksida, kendati masih mengukur produk sementara dari
oksidasi.
(1) Campurkan bobot yang ditimbang dengan air suling dalam blender, dan atur pH-nya
ke 1,1–1,2 dengan HCl.
(2) Pindahkan secara kuantitatif ke labu penyulingan; gunakan volume tertentu dari air
suling sebagai pembilas.
(3) Tambahkan satu alikuot BHT (opsional), pereaksi antibuih, dan batu didih, lalu suling
contoh dengan cepat, kumpulkan 50 mL distilat pertama (12–14 menit).
(4) Gabungkan alikuot distilat dengan TBA, tutup tabung, dan didihkan selama 35 menit.
(5) Bacalah absorbans pada 530 nm terhadap blangko air suling yang direaksikan
dengan pereaksi TBA. Bilangan TBA dinyatakan dengan mengubah pembacaan
absorbans ke mg malonaldehida per 1000 g contoh.
Dalam uji oven Schaal, lemak atau minyak yang diketahui bobotnya diletakkan di
dalam oven pada suhu tertentu (sekitar 65 oC). Hasilnya dilaporkan sebagai waktu yang
diperlukan sampai ketengikan terdeteksi. Deteksi dilakukan dengan evaluasi cita rasa (bau
atau rasa) atau bilangan peroksida. Kelemahan metode ini meliputi kurangnya pengaturan
kondisi oksidasi dan segi subjektif dari evaluasi cita rasa.
Sementara dalam metode oksigen aktif, contoh lipid disimpan pada 98 oC dan
udara dialirkan melaluinya. Stabilitas dinyata-kan sebagai jam pemanasan sampai ketengikan
terdeteksi. Titik akhirnya mungkin berupa bau tengik atau bilangan peroksida sebesar 100
(Metode AOCS Cd 12-57). AOM awalnya dirancang untuk mengukur keefektifan antioksidan.
AOM lebih cepat daripada uji oven Schaal, tetapi tidak berkorelasi sebaik uji tersebut dengan
waktu simpan sesungguhnya. Sistem automatis Rancimat dan Oxidative Stability
Instrument yang dikembangkan dari metode ini (lihat Metode AOCS Cd 12b-92) telah
memungkinkan pemantauan data secara terus-menerus dengan menyapu zat-zat atsiri yang
asam ke dalam air deionisasi, lalu konduktivitasnya diukur. Sekalipun mahal, sistem
automatis ini dapat menghemat tenaga pelaksana.
PERCOBAAN
Percobaan ini akan dilaksanakan selama 4 minggu berturut-turut (minggu ke-5, 6, 7,
dan 8). Penentuan semua bilangan dilakukan pada sampel minyak goreng yang sama per
kelompok. Oleh karena itu setiap kelompok wajib menjaga sampel minyaknya selama
periode percobaan ini dilakukan. Penggantian sampel karena alasan apa pun akan
menyebabkan pengurangan 50% nilai kerja kelompok setiap praktikum setelah sampel
diganti.
Timbang dengan teliti + 2 g minyak ke dalam Erlenmeyer 250 mL, lalu tambahkan 25
mL larutan KOH dalam alkohol 0,5 N dan batu didih. Hubungkan Erlenmeyer dengan
pendingin tegak dan didihkan selama 1 jam sambil sesekali digoyangkan. Setelah itu,
Erlenmeyer diangkat, ditambahkan 1 mL indikator fenolftalein (pp), dan dititar dengan HCl
0,5 N. Lakukan 2 kali (duplo). Buat pula penetapan blangko seperti di atas (tanpa contoh).
Timbang dengan teliti + 2,5 g minyak ke dalam Erlenmeyer 250 mL. Sementara itu,
netralkan 25 mL etanol dengan mendidihkannya selama 5 menit, lalu ditambahkan 2 mL
indikator pp, dan dalam keadaan panas dititar dengan larutan NaOH 0,01 N sampai warna
kemerah-merahan. Alkohol netral tersebut dicampurkan dengan contoh di atas, dikocok, dan
Karakterisasi Minyak Goreng dengan Variasi Penyimpanan 63
Penuntun Praktikum Analisis Pangan Vokasi Analisis Kimia
dididihkan. Dalam keadaan panas, campuran dititar dengan larutan NaOH 0,01 N sampai
warna kemerah-merahan tetap setidak-tidaknya 10 menit. Lakukan 2 kali (duplo).
Ditimbang + 5,00 g contoh minyak ke dalam Erlenmeyer 250 mL bertutup asah dan
tambahkan 30 mL larutan asam asetat-kloroform (3:2). Goyangkan larutan sampai bahan
terlarut semua. Tambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh. Diamkan selama 1 menit dengan
kadangkala digoyang, kemudian tambahkan 30 mL akuades. Titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N
perlahan-lahan sambil digoyang dengan kuat sampai warna kuning hampir hilang. Tambah-
kan 0,5 mL larutan pati 1%. Lanjutkan titrasi seperti tadi sampai warna biru tepat hilang.
Bilangan peroksida dinyatakan dalam ekuivalen dari peroksida dalam setiap 1000 g contoh.
Jika volume titran <0,5 mL, ulangi dengan Na2S2O3 0,01 N. Lakukan 2 kali (duplo).
Timbang dengan teliti (duplo) kira-kira 3 g bahan (sebaiknya diketahui kadar airnya),
masukkan ke dalam blender, tambahkan 50 mL akuades, dan hancurkan selama 2 menit.
Pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu penyulingan 1 L sambil dicuci dengan 48,5 mL
akuades. Tambahkan kira-kira 1,5 mL HCl 4 N sampai pH menjadi 1,5. Masukkan batu didih
dan sedikit bahan antibuih (jika ada) lalu jalankan distilasi dengan pemanasan tinggi sampai
diperoleh 50 mL distilat dalam 10 menit. Aduklah distilat yang diperoleh, pindahkan
sebanyak 5 mL ke dalam Erlenmeyer 50 mL bertutup, dan tambahkan 5 mL pereaksi TBA
(larutan TBA 0,02 M dalam asam asetat glasial 90%; pelarutan dipercepat oleh pemanasan
di penangas air). Campurkan larutan dengan baik dan masukkan Erlenmeyer tertutup dalam
air mendidih selama 35 menit. Dinginkan labu kira-kira 10 menit dan ukur absorbansnya
pada 528 nm. Nyatakan bilangan TBA dalam mg malonaldehida per kg contoh:
DAFTAR PUSTAKA
Pike OA. 1994. Fat Characterization. Di dalam: Nielsen SS, editor. Introduction to the
Chemical Analysis of Foods. Boston: Jones and Bartlett, hlm. 196–202.
Staf Pengajar Kimia Organik. 2006. Penuntun Praktikum Kimia Organik untuk Mahasiswa
Program D3 Analisis Kimia. Bogor: Bagian Kimia Organik, Departemen Kimia IPB,
hlm. 51–52.
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1981. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Ed ke-2. Yogyakarta: Liberty, hlm. 57–58.