Anda di halaman 1dari 58

DASAR-DASAR

PERLINDUNGAN TANAMAN

Disusun oleh:

Ir. Sulistiya, MP

Fakultas Pertanian
UNIVERSITAS JANABADRA
Yogyakarta
2010
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Perlunya Perlindungan Tanaman

Manusia membudidayakan tanaman tentunya mempunyai tujuan tertentu, yaitu


untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan pangan, sandang, maupun papan,
serta kebutuhan lainnya seperti rasa estetika, kesehatan lingkungan, dan sebagainya. Agar
kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara memuaskan, manusia berusaha untuk menjaga
dan merawat tanaman yang dibudidayakannya itu sehingga terhindar dari segala macam
gangguan yang dapat mengakibatkan munculnya kerugian yang tidak diharapkannya.
Walaupun usaha manusia untuk meminimalisasi dampak negatif gangguan pada
tanaman telah dilakukan, tidak jarang usaha tersebut tetap tidak memberikan hasil
sebagaimana yang menjadi dambaannya. Serangan hama dan penyakit pada tanaman
merupakan salah satu jenis gangguan yang hingga saat ini masih terus mendapat perhatian
dari berbagai kalangan, baik para ahli maupun warga masyarakat umumnya. Hal ini
disebabkan karena kerugian yang diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit tanaman
ini sering begitu besar.
Menurut badan dunia yang membidangi masalah pangan dunia (FAO – Food and
Agricultural Organization), kerugian yang terjadi akibat serangan hama dan penyakit pada
tanaman petani di seluruh dunia rata-rata mencapai 35 persen. Jumlah spesies hama dan
penyakit tanaman yang menyerang adalah lebih dari 20.000 spesies (sebagaimana dikutip
oleh Endah, J. & Novizan 2002). Dari contoh beberapa jenis tanaman, terlihat tingkat
kerugiannya bervariasi. Misalnya, untuk kentang 40 persen, kapas 60 persen, tembakau 62
persen, dan gula bit 24 persen.
Di Amerika Serikat, yang teknologi pengendalian hama dan penyakitnya sudah
cukup maju, kerugian akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman pertanian
meskipun lebih rendah daripada rata-rata dunia, namun belum dapat ditekan hingga nol
persen. Contohnya: kerugian pada tanaman alfalfa masih sekitar 15 persen, jagung 12
persen, apel 13 persen, kapas 19 persen, jeruk enam persen, padi empat persen, kedele tiga
persen, simpanan jagung 5,5 persen, dan simpanan gandum tiga persen. Di Indonesia,
penurunan hasil padi secara kuantitas sebagai akibat serangan hama wereng masih
mencapai 17 hingga 24 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan India yang telah
mampu menekan menjadi 15 persen (Untung, K. 2001).
Dengan melihat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama dan
penyakit tersebut, manusia merasa perlu untuk melindungi pertanamannya dari serangan
hama dan penyakit. Karena perkembangan dunia pertanian ini tidak pernah bisa lepas dari
problematik serangan hama dan penyakit, maka manusia terus berusaha mengembangkan
ilmu mengenai cara mengendalikan serangan hama dan penyakit tersebut. Salah satu istilah
yang digunakan untuk ilmu pengendalian serangan hama dan penyakit tanaman ini adalah
Ilmu Perlindungan Tanaman.
Keberadaan hama dan penyakit di areal pertanian, sebenarnya dipicu oleh aktivitas
manusia sendiri. Dengan kata lain, munculnya hama dan penyakit tanaman merupakan
dampak dari melebarnya kegiatan manusia yang dilakukan dalam usahanya memenuhi
kebutuhan hidup. Kemerosotan ekosistem hutan sebagai akibat aktivitas eksploitatif oleh
manusia, misalnya pengubahan menjadi areal pertanian, merupakan salah satu unsur utama
yang memicu munculnya hama dan penyakit tanaman. Dalam ekosistem hutan yang ideal,
dalam arti unsur penyusunnya dalam keadaan seimbang, sebenarnya tidak ada istilah hama
dan penyakit tanaman. Organisme yang sering disebut hama dan penyakit tanaman itu,
dalam ekosistem hutan yang ideal sesungguhnya tidaklah pernah ada. Dalam lingkungan
ekosistem yang ideal ini, organisme tersebut sekadar melakukan aktivitas untuk
mempertahankan kehidupannya. Dalam kondisi demikian, keseimbangan ekosistem hutan
akan tetap terjaga. Dengan singkat kata, istilah hama dan penyakit tanaman hanya ada
dalam referensi manusia, karena keterkaitannya dengan kepentingan manusia, yaitu untuk
mempertahankan kehidupannya.
Gangguan pada tanaman yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada
umumnya akan menimbulkan kerusakan pada tanaman yang terserang. Namun demikian,
kerusakan tanaman tidak hanya disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Ada faktor
lain yang juga ikut berpengaruh terhadap munculnya kerusakan tanaman. Hal ini terjadi
karena pertumbuhan tanaman selain dipengaruhi faktor genetik, juga sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, terutama ketersediaan air dan unsur hara. Gejala kerusakan
tanaman akan timbul bila tanaman mengalami kekurangan atau kelebihan air dan unsur
hara.
Walaupun manusia telah berusaha untuk mengoptimalkan ketersediaan air dan
unsur hara, namun sering terjadi tanaman tetap mengalami gangguan pertumbuhan karena
pengaturan ketersediaan air dan unsur hara tersebut masih belum sesuai dengan kebutuhan
tanaman. Kerusakan yang timbul akibat kondisi lingkungan yang tidak optimal ini disebut
kerusakan fisiologis.
Permasalahannnya, bahwa seringkali terjadi gejala kerusakan fisiologis ini sama
dengan gejala yang ditimbulkan oleh adanya serangan hama dan penyakit. Perbedaannya
hanyalah bahwa penyakit fisiologis ini tidak dapat ditularkan ke tanaman lain. Penyakit
fisiologis ini seringkali timbul akibat tanaman kelebihan atau kekurangan unsur hara dan
air, perubahan suhu yang ekstrim (terlalu rendah atau tinggi), adanya bahan kimia seperti
herbisida dan pestisida, serta kelebihan atau kekurangan energi surya.
Karena gejala yang timbul pada kerusakan fisiologis dan kerusakan akibat hama
dan penyakit ini hampir sama, maka sering orang mengalami kesulitan untuk membedakan
kerusakan yang ada pada tanamannya. Untuk itu diperlukan adanya pengalaman yang
cukup, sehingga tidak timbul kesalahan penafsiran atas penyebab kerusakan tanaman.
Ketepatan penafsiran atas penyebab kerusakan pada tanaman ini penting untuk
pengambilan keputusan tentang langkah apa yang harus diambil untuk mengatasinya.

1.2. Sejarah Perlindungan Tanaman dari Gangguan Hama

Pada awal abad ke-20, upaya pengendalian hama tanaman mulai dikembangkan
manusia. Hal ini ditandai dengan terbitnya buku berjudul “Insect Pest of Farm, Garden,
and Orchard” yang ditulis oleh E. Dwigt Sanderson pada tahun 1915 (Triwidodo, H.
2003). Dalam beberapa kurun waktu berikutnya terjadi revolusi pengendalian hama dan
penyakit tanaman dengan adanya penggunaan DDT (Dichloro Diphenil Trichlorethana)
yang mencakup hampir seluruh areal pertanian di dunia. Bersamaan dengan itu,
bermunculanlah pabrik pestisida terutama di negara maju. Di saat itu, pengendalian hama
dan penyakit dengan menggunakan bahan kimia dianggap merupakan cara yang paling
efisien. Namun dalam perkembangannya, anggapan demikian mulai ditinggalkan, yaitu
setelah adanya laporan penelitian dan kasus yang muncul sebagai akibat dampak dari
penggunaan DDT (Kusnaedi 2003).
Pada mulanya, seorang peneliti berkebangsaan Swedia, pada tahun 1946 membuat
laporan yang menyimpulkan bahwa dalam waktu 20 tahun terdapat 224 spesies serangga
yang menjadi resisten (kebal) terhadap DDT. Kemudian kasus serupa bermunculan,
misalnya yang dilaporkan oleh para entomolog dari California. Dari beberapa jurnal
penelitian entomologi dan ahli lingkungan juga dilaporkan bahwa DDT dan sejenisnya,
dapat menimbulkan beberapa dampak negatif sebagai berikut (lihat Kusnaedi 2003).
(1) meningkatnya resistensi (kekebalan) hama terhadap daya bunuh insektisida oleh
beberapa hama penting.
(2) timbulnya ledakan hama yang tiba-tiba dengan intensitas serangan lebih besar
dibandingkan sebelum disemprot, yang dikenal dengan istilah target pest
resurgence. Hal ini dapat dimengerti karena daya bunuh DDT meluas hingga
mematikan musuh alami serangga.
(3) timbulnya hama sekunder. Hal ini dapat terjadi bila spesies herbivora yang pada
mulanya bukan hama telah berkembang cepat hingga pada tingkat merusak.
Ledakan ini diakibatkan oleh terbunuhnya musuh alami hama tersebut.
(4) kontaminasi lingkungan karena DDT dan sejenisnya memiliki efek residu,
sehingga lingkungan dipenuhi dengan berbagai spesies yang penuh dengan zat
racun. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan di California yang
megungkapkan bahwa persistensi insektisida di Danau Clear masih tertinggal
40 persen setelah jangka waktu 14 tahun. Bahkan, untuk DDT masih tersisa 39
persen pada saat 17 tahun setelah penyemprotan.
(5) terdapat efek residu pada hasil pertanian dan peternakan. Dari hasil penelitian
dilaporkan bahwa makanan yang disemprot dengan DDT dan sejenisnya
ternyata mengandung bahan tersebut. Bahkan, ikan yang memakan plankton di
Danau Clear yang mengandung 0,02 ppm DDD (Dichloro Diphenil
Dichlorethana, yaitu sejenis DDT yang sifat toksiknya lebih rendah), ternyata
mengandung 2.000 ppm DDD pada jaringan ikan tersebut. Bahkan, DDD
tersebut ditemukan lebih banyak lagi pada burung Grebe (jenis burung
pemakan ikan) yang memangsa ikan di danau tersebut.
(6) timbulnya gangguan kesehatan manusia. Bahan insektisida dapat menimbulkan
masalah kesehatan bagi manusia, baik secara langsung maupun dalam jangka
waktu yang panjang. Dilaporkan bahwa bahan insektisida dapat menimbulkan
gangguan pada saraf, kanker, gangguan reproduksi, dan keracunan pada
umumnya. Bahan insektisida tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui makanan hasil pertanian dan peternakan yang terkontaminasi
insektisida, air yang terkontaminasi, atau dari udara yang dihembuskan dari
daerah pertanian yang melakukan penyemprotan hama (Kusnaedi 2003).
Seperti dikemukakan Kusnaedi (2003), dampak negatif yang timbul dari adanya
revolusi di bidang pestisida tersebut mendorong para ahli entomologi untuk memikirkan
cara baru dalam pengendalian hama yang aman dan efektif. Sejak saat itu, mulailah
dilakukan penelitian tentang penggunaan pestisida yang selektif dan menggunakan metode
biologi dalam penerapannya. Namun nampaknya untuk mengubah kebiasaan masyarakat
yang sudah terlanjur menyukai DDT mengalami kesulitan. Hingga pada akhirnya, pada
tahun 1962, Rachel Carson mempublikasikan buku berjudul Silent Spring. Dampak positif
adanya publikasi ini sangat besar, karena masyarakat menjadi tahu dan sadar akan bahaya
penggunaan DDT. Melalui buku ini pula masyarakat menjadi tahu bahwa di berbagai
lingkungan dan mahluk hidup, seperti pinguin di Antartika, katak yang berada di bawah
tanah, ikan, buah, dan sayur yang dikonsumsi, terkandung racun DDT. Bahkan, racun ini
juga ditemukan dalam air susu ibu.
Pada tahun 1972, akhirnya Amerika Serikat melarang rakyatnya untuk
menggunakan DDT, termasuk Aldrin, Endrin, Heptaklor, DBCP, dan Chlordane. Adapun
di Indonesia, saat itu sedang gencar-gencarnya dilaksanakan program Bimas yang salah
satunya metodenya adalah penggunaan bahan tersebut. Baru pada tahun 1986, melalui
Inpres Nomor 3/1986 diberlakukan larangan penggunaan 57 macam insektisida
organofosfat yang menyebabkan meledaknya hama wereng coklat.
Setelah penggunaan DDT dan bahan kimia sejenisnya itu dilarang, para ahli mulai
memikirkan suatu konsep pengendalian hama yang efektif, namun aman bagi lingkungan.
Lahirlah kemudian konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dikenal dalam istilah
internasional sebagai “Integrated Pest Management”. Di seluruh dunia, program PHT ini
kemudian diperkenalkan dengan harapan agar penggunaan pestisida ditekan serendah
mungkin atau kalau bisa dihindari penggunaannya. Di Indonesia, program PHT mulai
diberlakukan sebagai program nasional sejak tahun 1979.

1.3. Sejarah Perlindungan Tanaman dari Gangguan Penyakit

Dilihat dari sejarahnya, sudah lama sekali penyakit tumbuhan diketahui oleh
manusia. Dilaporkan, bahwa penyakit tumbuhan ini sudah ada sebelum manusia memulai
membudidayakan tumbuhan. Kitab suci maupun filosof besar, seperti Aristoteles, Homer,
dan Theophrastus, telah mengemukakan beberapa penyakit tumbuhan seperti hawar,
embun bulu, karat, dan gosong (Sinaga, MS. 2003).
Seperti dikutip Sinaga, MS, (2003), Bangsa Yunani dan Yahudi (500 hingga 280
SM), meyakini bahwa adanya penyakit tanaman merupakan hukuman atas dosa yang
dilakukan manusia. Pada saat itu, penyakit tumbuhan sudah dikaitkan dengan cuaca atau
iklim yang buruk dan kondisi tanaman yang kurang baik. Theophratus (370 hingga 280
SM), seorang filosof Yunani terbesar yang dikenal sebagai “Bapa Botani”, telah
mengemukakan beberapa penyakit pada bijan, pohon, dan sayuran dalam bukunya
“Historia Plantarum”. Pliny juga telah merekomendasikan bahwa panen awal pada gandum
dan barley akan meloloskan tanaman dari infeksi karat.
Sekitar tahun 875 hingga beberapa tahun kemudian, epidemik ergot pada rye
(semacam gandum) dilaporkan telah menyebabkan epidemik penyakit manusia di berbagai
negara Eropa. Ergot pada rye disebabkan oleh Claviceps purpurea (cendawan). Cendawan
ini menggantikan isi dari butir rye dengan struktur sklerotium patogen tersebut. Sklerotium
C. purpurea mengandung senyawa alkaloid yang dapat menyumbat sirkulasi darah dan
menyebabkan gangrene, putusnya tangan, kaki, kuku, jari, dan akhirnya menimbulkan
kematian manusia yang memakan rye yang terinfeksi cendawan tersebut. Penyakitnya
disebut “api suci” (holy fire), yang pada saat itu diyakini sebagai hukuman bagi orang
berdosa.
Sejak tahun 1605, Sir Francis Bacon melakukan berbagai percobaan untuk
mempelajari penyakit tumbuhan. Sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19,
Tournefort, Zallinger, Fabricus, dan Franz Unger mulai memberi perhatian pada klasifikasi
penyakit tumbuhan. Franz Unger mengemukakan teori “The Autogenetic Theory Disease”
yang menyatakan bahwa dalam stadia penuaan tumbuhan, unsur sel dengan energi vital
tertentu menimbulkan bentukan baru dari kehidupan. Dalam teori ini sebenarnya telah
dipertimbangkan adanya patogen sebagai suatu kehidupan lain dalam inang yang
terinfeksi, tetapi belum dikemukakan sebagai suatu bentuk kehidupan atau tubuh yang
independent, artinya patogen masih dianggap sebagai akibat dari penyakit, bukan
penyebabnya. Konsep “generasi yang bersifat spontan” (spontaneous generation) diterima
untuk waktu yang lama karena mikroorganisme belum dapat dilihat manusia.
Pada tahun 1590, Hans dan Zacharias Jansen menemukan mikroskop compound.
Hooke (1655) merupakan orang pertama yang mampu melihat sel tumbuhan dan
mengilustrasikan secara rinci suatu cendawan mikroskopik patogenik tumbuhan.
Selanjutnya, pada tahun 1683, ditemukan bakteri, protozoa, dan mikroorganisme lain
dalam air dan substrat lain. Sejak itu, mulai populer “The Germ Theory of Disease” yang
merupakan dasar dari ilmu penyakit tumbuhan.
Ilmu penyakit tumbuhan terus berkembang, tahun 1729 hingga 1800, berbagai
ilmuwan mempelajari taksonomi dari cendawan, terutama penyebab karat dan gosong,
serta cendawan dari kelas Ascomycetes. Henrich Anto de Bary (1853) membuktikan
melalui demonstrasi dan mengemukakan kesimpulan bahwa cendawan adalah penyebab
penyakit, bukan akibat atau hasil dari penyakit tumbuhan. Penelitian yang banyak
dikerjakannya adalah mengenai Phtophthora infestans, penyebab hawar daun kentang, dan
siklus hidup Puccinia graminis triciti, penyebab karat pada gandum. Dari hasil
penelitiannya, dilaporkan juga bahwa diperlukan kehadiran inang alternatif (barberry)
untuk perkembangan Basidiospora dan tanaman gandum untuk perkembangan Aeciospora.
Berkat hasil penelitiannya, Henrich Anton de Bary dijuluki “Bapak Ilmu Penyakit
Tumbuhan”.
Tahun 1858 merupakan tahun diterbitkannya pertama kali buku teks dalam ilmu
penyakit tumbuhan. Buku tersebut ditulis oleh Julius Kuhn dengan judul: Die Kranheiten
der Kulturewachse ihre Ursachen un ihre Verhutung (Penyakit Tanaman, Penyebabnya
dan Pencegahannya). Selanjutnya, Thomas J. Burrial (1878 hingga 1883) membuktikan
bahwa fireblight pada apel dan pear disebabkan oleh bakteri. Smith, EF juga mempelajari
beberapa bakteri penyebab penyakit penting pada berbagai tanaman. Iwanoski (1892) dan
Beijerinck (1898) merupakan peneliti yang paling awal membuktikan bahwa virus (partikel
yang sangat kecil) sebagai penyebab penyakit pada tumbuhan. Penemuan ini merupakan
awal dari bidang virology. Stanley (1935) adalah orang pertama yang berhasil
mengkristalisasi virus (TMV) sebagai protein katalitik yang mampu melakukan
multiplikasi dalam sel hidup inang. Partikel virus dilihat pertama kali oleh Kaushe dkk,
pada tahun 1939 dengan mikroskop elektron.
Needham (1743) adalah orang pertama yang menemukan nematode sebagai
patogen tumbuhan dalam puru pada akar gandum. Selanjutnya, Cobb (1913 hingga 1932)
melakukan studi ekstensif dalam morfologi dan taksonomi nematode parasitik tumbuhan.
Lafont pada tahun 1909 melaporkan bahwa protozoa flagelata merupakan penyebab
penyakit tumbuhan. Mycoplasm like organism (MLO), sekarang disebut phytoplasm like
organism, sebagai penginfeksi penyakit aster yellow, dilaporkan oleh Doi et al di Jepang.
Selanjutnya, pada tahun 1972, Davis dkk mempelajari spiroplasma (microorganism
helical) sebagai penyebab kerdil pada jagung. Sementara itu, viroid diketahui pertama kali
sebagai penyebab spindle tuber disease pada tahun 1971, kemudian dilaporkan juga
sebagai penyebab penyakit “kadang-kadang” pada kelapa dan exocuritus pada jeruk.
Viroid adalah patogen paling kecil berupa molekul asam ribonukleik yang menular dan
sersifat obligat. Penyebab penyakit tanaman lain yang ditemukan adalah ricketsia like
organism (RLO) oleh Windsor dan Black (1972) sebagai penyebab club leaf disease pada
clover.
Studi mengenai ilmu penyakit tumbuhan berawal dari benua Eropa. Menjelang
akhir abad ke-19, titik berat studi fitopatologi bergeser ke Amerika Utara. Pada saat itu,
Amerika Serikat masih dalam taraf pengembangan diri, namun setelah Perang Dunia II,
studi mengenai fitopatologi semakin meluas ke seluruh dunia.
Di Indonesia, penyakit tanaman mulai mendapat perhatian dari Pemerintah Hindia
Belanda baru pada tahun 1877, yaitu saat epidemik berat penyakit karat daun kopi
(Hemileia vastatrix) di Srilanka. Untuk mencegah penyebaran karat kopi ke Indonesia,
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi 19 Desember 1877 yang melarang
pemasukan tanaman kopi dari Srilanka. Ordonansi tersebut merupakan peraturan pertama
dalam bidang penyakit tumbuhan, khususnya dalam bidang karantina tumbuhan. Walaupun
demikian, karena dapat disebarkan melalui angin, akhirnya penyebab karat daun
(uredospora) masuk juga ke Indonesia dan menghancurkan pertanaman kopi Arabica yang
berkualitas tinggi di Pulau Jawa. Pada saat itu, di Jawa sedang berlangsung peraturan
“tanam paksa”. Dengan susah payah pekebun mengganti tanamannya dengan kopi Liberica
(Coffea liberica) yang awalnya mempunyai ketahanan tinggi, tetapi kemudian juga musnah
karena karat daun. Akhirnya, pada tahun 1900, tanaman kopi yang ada diganti dengan kopi
Robusta (Coffea canephora) yang tahan karat daun hingga sekarang, tetapi mutunya tidak
sebaik kopi Arabika.
Pada tahun 1887, dimulailah kegiatan penelitian di bidang fitopatologi yang
dipelopori oleh Treub, Burch, dan Warburg yang meneliti penyakit sereh pada tebu, karat
daun kopi, dan kanker pada kina. Kemudian, van Breda de Haan meneliti berbagai
penyakit tembakau (cendawan dan nematode). Pada tahun 1897, didirikan Balai Penelitian
Kopi dan tahun 1906, berdirilah Balai Penelitian Tembakau Swasta. Hubungan antara balai
penelitian dan perkebunan berlangsung baik sehingga hasil penelitian dapat segera
disebarluaskan.
Berbeda dengan hubungan antara balai penelitian dan perkebunan yang
berlangsung baik, hubungan antara balai penelitian dan pamong praja agak kaku. Untuk
mengadakan penelitian di lapangan, diperlukan ijin dari Gubernur Jenderal. Keadaan ini
mulai berubah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 5
Februari 1897. Pada tahun 1912, berdirilah Afdeeling voor Plantenziekten yang dipimpin
oleh van Hall. Pada tanggal 1 Januari 1919, berdiri pula Institut voor Plantenziekten (Balai
Penyelidikan Hama dan Penyakit Tumbuhan) di Bogor, sebagai tempat awal penelitian
penyakit tumbuhan. Peneliti yang perlu dicatat sebagai pelopor di bidang ini adalah van
Breda de Haan, Rutgers, Palm, Schwarz, Muller, Thung, Reitsman, dan Tojib Hadiwidjaja.
Sejak tahun 1913 hingga 1936, secara teratur setiap tahun Lembaga Penyakit Tumbuhan di
Bogor menerbitkan laporan tahunan mengenai hama dan penyakit pertanian, perkebunan,
dan kehutanan di Indonesia.
Ilmu penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik penyakit,
penyebab penyakit, interaksi tumbuhan dan patogen, dan lingkungan biotik serta abiotik,
faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit dalam suatu populasi atau individual
tumbuhan; dan berbagai cara pengendalian penyakit. Ilmu penyakit tumbuhan juga
memiliki aspek seni, yaitu dalam aplikasi pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari
ilmu tersebut.
Jadi tujuan utama dalam mempelajari ilmu penyakit tumbuhan adalah mencegah
atau menekan seminimal mungkin terjadinya serangan penyakit tumbuhan, meningkatkan
produksi makanan, menjaga kuantitas dan kualitas hasil panen. Dengan demikian, hasil
panen aman digunakan, terutama tanaman untuk bahan serat, obat, dan komoditas yang
memiliki nilai estetika.
Telah dikemukakan bahwa ketergantungan manusia kepada tanaman sangat tinggi,
karena hanya tumbuhan berhijau daun yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi
energi kimia. Jika penyakit mematikan tumbuhan, maka mahluk hidup yang lain akan
sangat menderita dan mati.
BAB II HAMA TANAMAN

Hamaadalah semua binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman yang


diusahakan manusia. Apabila asalnya bukan dari binatang, gangguan itu disebut penyakit
tanaman. Binatang dikelompokkan ke dalam beberapa golongan yang disebut phylum. Di
antaranya: phylum Chordata, yaitu binatang yang bertulang belakang, misalnya kera, babi
hutan, tikus, dan burung; phylum Arthropoda, yaitu binatang yang badannya beruas,
misalnya tungau dan serangga; phylum Annelida, misalnya cacing tanah dan nematoda;
phylum Mollusca, misalnya siput dan bekicot.
Jumlah spesies binatang kurang lebih 916.000. Phylum Chordata sebanyak 60.000
spesies, phylum Arthopoda sebanyak 713.000 spesies, phylum Annelida sebanyak 8.000
spesies, dan phylum Mollusca sebanyak 80.000 spesies. Selebihnya adalah spesies lain
yang dikelompokkan ke dalam 12 phylum lainnya (Pracaya 2003).
.
2.1. Phylum Arthopoda1

Phylum Arthopoda merupakan salah satu phylum yang sangat penting karena
terdiri atas enam kelas, di antaranya kelas serangga (hexapoda) yang terdiri dari 640.000
spesies. Serangga (insecta) merupakan golongan binatang yang spesiesnya terbesar. Kira-
kira 75 persen dari jumlah binatang yang ada adalah serangga. Serangga ada yang
menguntungkan manusia, misalnya lebah, tetapi lebih banyak yang merugikan karena
merusak tanaman dan menyebarkan penyakit pada manusia dan binatang.
Ukuran serangga cukup bervariasi. Serangga terkecil besarnya kurang dari 0,25
mm, sedang yang terbesar mencapai 15 hingga 25 cm. Jumlah serangga dalam tanah seluas
satu hektar bisa mencapai 2,5 juta sampai 10 juta individu. Di dalam 45 cm lapisan tanah
hutan seluas satu hektar, terdapat sejumlah 150 juta serangga. Pada waktu pagi hari,
terdapat serangga beterbangan sejumlah kira-kira 7.000 ekor di udara dalam areal satu ha,
sedang pada sore hari, terdapat lebih kurang 27.000 serangga (Pracaya 2003).
Serangga mudah beradaptasi dengan keadaan sekitarnya. Walaupun serangga pada
dasarnya menyukai tanaman tertentu, namun bila tanaman yang disukai itu tidak ada,
serangga itu masih dapat bertahan hidup dengan memakan jenis tanaman lain.
Tubuh serangga terdiri atas tiga bagian, yaitu: kepala, dada (thorax), dan perut
(abdomen). Kepala serangga terdiri atas enam ruas (segmen). Pada kepala terdapat (a) satu
pasang mata majemuk yang terletak di kiri dan kanan kepala. Mata majemuk itu terdiri atas
beberapa puluh sampai ribuan kesatuan mata faset yang menyerupai lensa yang berbentuk
hexagonal, (b) satu pasang antena, sebagai alat perasa. Dengan antena, serangga dapat
mengetahui keberadaan makanan, arah perjalanan, pasangan, bahaya, dan dapat
mengadakan hubungan komunikasi dengan serangga lain, (c) mulut, yang mempunyai
beberapa kegunaan, yaitu: sebagai alat untuk menggigit atau mengunyah; sebagai alat
untuk menyerap (absorb); sebagai alat untuk menusuk dan mengisap cairan tanaman, alat
ini disebut stylet, dan sebagai alat untuk mengunyah dan menjilat.
Adapun dada (thorax) terdiri atas tiga ruas, yaitu: prothorax, mesothorax, dan
netathorax. Dada merupakan tempat melekatnya kaki dan sayap. Pada setiap ruas dada

1
Sumber utama penulisan sub-bab ini adalah Pracaya ( 2003), kecuali disebut secara khusus.
serangga yang berkaki enam, terdapat sepasang kaki, walaupun ada pula serangga yang
pada tingkatan masih muda sama sekali tidak berkaki. Di lain pihak, ada pula serangga
yang dalam tingkatan muda sudah mempunyai tiga pasang kaki dan tambahan dua sampai
delapan pasang kaki yang lunak pada bagian perut. Kaki demikian disebut kaki semu yang
di kemudian hari setelah dewasa akan hilang, misalnya pada ulat (caterpillar). Kaki
serangga terdiri atas enam ruas yang dapat digerakkan.
Serangga adalah binatang yang tidak bertulang belakang dan mempunyai sayap.
Pada umumnya, sayap dimiliki oleh binatang bertulang belakang, misalnya burung atau
kelelawar. Serangga dewasa umumnya berkaki enam, tetapi tidak demikian dengan
sayapnya. Jumlah sayap serangga ini bervariasi. Serangga yang belum dewasa, sayapnya
belum berfungsi, kemudian baru berfungsi setelah dewasa. Ada juga serangga dewasa yang
tak pernah mempunyai sayap, misalnya semut. Tidak ada serangga yang mempunyai sayap
lebih dari dua pasang (empat sayap). Beberapa serangga hanya mempunyai sepasang
sayap, misalnya lalat. Seringkali ada jenis serangga yang berjenis kelamin jantan
mempunyai sayap, tetapi serangga yang betina tidak mempunyai sayap, dan sebaliknya.
Karena bentuk sayap setiap golongan berbeda-beda, maka kemudian hal ini
digunakan untuk menentukan klasifikasi serangga. Pada umumnya, nama ordo serangga
pada akhiran kata ada istilah ptera yang artinya sayap. Misalnya, Diptera (lalat)
merupakan serangga bersayap dua; Coleoptera (kumbang) adalah serangga bersayap
penutup; Lepidoptera (kupu) adalah serangga yang sayapnya bersisik; Hemiptera (kutu
busuk) adalah serangga yang bersayap setengah; Hymenoptera (lebah) adalah serangga
yang bersayap selaput (membrane); dan Orthoptera (belalang) adalah serangga yang
mempunyai sayap lurus.
Mengenai bagian perut serangga (abdomen), umumnya terdiri atas 11 atau 12 ruas,
dan tidak mempunyai kaki seperti pada bagian dada. Pada ruas perut yang terakhir (yang
ke-11), terdapat tambahan ruas yang disebut circus. Wujudnya berupa sepasang ruas yang
sederhana, menyerupai antenna. Circus yang sangat panjang menyerupai ekor yang
jumlahnya dua atau tiga, misalnya pada lalat sehari (Ephemera varia Eaton). Ada pula
circus yang berbentuk seperti catut atau paruh burung kakatua, misalnya cocopet
(Dermaptera).
Segmen perut yang ke-12 disebut telson atau periproct dan tidak pernah ada
tambahan (appendages). Lubang untuk buang kotoran (anus) terletak pada telson. Alat
reproduksi betina terletak di antara ruas ketujuh dan kedelapan pada permukaan bawah
(ventral), alat reproduksi jantan terdapat pada batas belakang ruas perut yang kesembilan
yang terletak pada permukaan bawah (ventral).

2.1.1. Sistem Pernafasan

Sistem pernafasan serangga berbeda dengan binatang lain. Serangga tidak bernafas
dengan paru atau insang, melainkan dengan alat pertukaran udara (ventilasi) yang khusus.
Serangga tidak bernafas melewati hidung ataupun mulut, melainkan udara masuk melalui
lubang samping yang terletak di sisi dada atau perut. Pada kedua sisi badan serangga
terdapat lubang berpasangan yang disebut spiracle. Pada bagian kepala tidak ada lubang,
bagian dada terdapat dua pasang, dan pada bagian perut terdapat enam sampai delapan
pasang. Spiracle berhubungan dengan tabung yang disebut tracheae, yang selanjutnya dari
sini dihubungkan masing-masing membentuk saluran yang membujur (longitudinal
trunks). Saluran ini akan terbagi lagi menjadi saluran kecil yang disebut tracheoles, yang
dapat mencapai setiap bagian alat tubuh, jaringan, dan sel tubuh. Tracheoles tersebut
berliku-liku membentuk jaringan ke seluruh tubuh dan membawa udara langsung ke
bagian tubuh serangga, sebagai pengganti hemoglobin dari darah untuk transportasi
oksigen dan karbondioksida.
Sel hidup serangga, untuk pernafasannya (respirasi) menarik oksigen melalui
dinding yang tipis dari tracheoles secara difusi. Demikian sebaliknya, dengan cara yang
sama, sisa gas (karbondioksida, dan sebagainya) hasil dari metabolisme dikembalikan ke
tracheae dan keluar melalui spiracle. Pada tepi spiracle sering terdapat rambut, bibir atau
sumbat yang berguna untuk menghambat benda asing yang akan masuk. Kadang tracheae
yang terletak di dalam spiracle pada beberapa serangga mempunyai alat seperti kelep
(katup) untuk penutup. Pada tracheae dan tracheoles ada lapisan kutikula yang
bersambungan dengan kutikula yang terletak di luar badan. Lapisan kutikula bentuknya
seperti benang spiral yang halus, tampak ada alur yang berselang-seling, yang berfungsi
untuk menjaga tabung tracheae dari kerusakan.
Apabila serangga disemprot dengan pestisida yang berbentuk asap, uap, atau kabut,
dengan bahan aktif nikotin, fosfat organik, azodrin, phosdrin, diazinon, ambush, dan
sebagainya, maka zat aktif tersebut akan masuk ke dalam badan serangga melalui sistem
pernafasan. Pestisida yang berbentuk tepung atau minyak bisa menyumbat lubang tracheae
dan meracuni serangga. Peredaran udara dalam tracheae pada sebagian besar serangga
terjadi dengan cara difusi, tetapi banyak pula serangga yang bernafas dengan cara
mengembang dan mengempiskan dinding dorsal dan ventral perut, sehingga terjadi
gelombang pasang udara sepanjang tracheae. Penarikan nafas serangga demikian bersifat
pasif, sedangkan pengeluaran pernafasan bersifat aktif, yaitu dengan menggerakkan otot.
Ini berlawanan dengan gerakan pernafasan pada manusia.

2.1. 2. Perlindungan Diri


Untuk melindungi diri dari serangan musuh dan iklim yang tidak baik, serangga
memerlukan alat perlindungan atau cara menghindari bahaya, sehingga jenis serangga
yang bersangkutan tidak akan punah. Ada beberapa cara perlindungan diri pada serangga,
yaitu: (1) struktur perlindungan diri; (2) konstruksi perlindungan diri; (3) besar, bentuk,
dan warna sebagai perlindungan diri; (4) tempat kedudukan untuk perlindungan diri; dan
(5) reaksi perlindungan diri.

2.1.2.1. Struktur perlindungan diri


Serangga mempunyai kerangka luar (exoskeleton) yang fleksibel dan kuat yang
disebut kutikula. Kutikula yang paling luar (epicuticula) tebalnya kurang lebih satu hingga
dua mikron dan sangat tahan terhadap bahan kimia dan tidak larut dalam pelarut biasa
(termasuk asam mineral yang pekat). Di bawah epicuticula terdapat exocuticula yang tebal.
Lapisan ini tebalnya lebih kurang 10 mikron, warnanya hitam (gelap), dan berstruktur
keras. Di bawah exocuticula terdapat lapisan endocuticula. Bagian utama kutikula adalah
chitin dan arthropodin. Keras tidaknya kutikula ditentukan oleh jumlah chitin.
Di bawah endocuticula terdapat lapisan hypodermis dan di bawah lapisan
hypodermis ini terdapat selaput dasar (basement membrane) yang selnya dapat merupakan
sumber pengeluaran cairan (secretion) yang dapat membentuk lapisan kutikula. Serangga
tidak mempunyai tulang seperti pada umumnya binatang. Sebagai pengganti tulang untuk
penguat badan, terdapat kerangka luar yang mempunyai chitine. Kerangka luar ini
mempunyai dua fungsi, yaitu untuk melindungi otot, urat syaraf, dan alat tubuh lain, dan
sebagai kerangka untuk melekatnya otot.

2.1.2.2. Konstruksi perlindungan diri

Pada waktu ulat akan berubah menjadi kupu atau ngengat, dibuatlah kepompong
dari benang sutera yang keluar dari mulutnya untuk melindungi diri. Kadang juga ada jenis
ulat yang pada waktu masih tingkatan larva, sudah berada dalam kepompong, misalnya
ulat kantung pada pohon jambu. Untuk melindungi diri sering juga serangga menggunakan
tanah, daunan, serpihan kayu, pasir, atau kerikil kecil, dan bahan lain untuk menutupi
badannya. Cairan atau kotoran yang dikeluarkan dari dinding badan, misalnya berupa zat
seperti lilin, tepung, atau bulu pada kutu dan jenis aphis, berfungsi sebagai perlindungan
diri. Serangga yang berkelompok, sering mendirikan sarang dari gundukan tanah untuk
perlindungan diri, misalnya semut, rayap. Ada juga sarang bola kertas dari tabuhan dan
sarang yang dibuat dari daun yang dihubungkan dari semut rangrang, dan lainnya.
Larva kumbang ubi jalar, menumpuk kotorannya pada punggungnya sebagai
tempat perlindungan. Banyak lalat yang tidak meninggalkan kulitnya pada waktu masa
larva, tetapi kulit tetap melekat pada larva sampai tingkatan pupa, untuk membentuk
kantung pelindung yang baik. Ada juga lalat yang melekatkan telur pada ujung benang
untuk perlindungan dirinya.

2.1.2.3. Ukuran, bentuk, dan warna sebagai perlindungan diri


Besar dan kecilnya serangga juga bisa merupakan suatu bentuk perlindungan
terhadap musuh. Serangga yang sangat kecil, tidak terlihat oleh musuhnya yang lebih
besar, sedangkan sebaliknya serangga yang besar akan ditakuti oleh musuhnya yang kecil.
Serangga yang bentuknya menyeramkan akan menakutkan musuhnya. Serangga yang
bentuknya menyerupai ranting kering, yang disebut tongkat berjalan atau yang mempunyai
bentuk dan warna sayap seperti daun, biasanya tidak terlihat oleh musuh, kecuali kalau
serangga itu berjalan.
Ada juga serangga yang dapat mengadakan penyamaran warna (mimicry), misalnya
kupu atau lalat yang disukai burung dan katak, dapat mempunyai bentuk atau warna yang
menyerupai kupu lain yang beracun atau yang rasanya pahit. Bisa juga mereka menyerupai
tabuhan yang mempunyai sengat, sehingga musuhnya tidak berani mengganggu. Hal ini
disebut penyamaran warna untuk melindungi diri (protective mimicry). Namun demikian,
apabila penyamaran warna itu justru untuk menangkap mangsa, disebut penyamaran
penyerangan (aggressive mimicry). Serangga yang mempunyai sengat atau rasa tidak enak
untuk musuhnya (predator), ada tandanya. Misalnya, pada badan tabuhan ada garis kuning
cerah yang disebut pewarna peringatan (warning coloration).

2.1.2.4. Tempat kedudukan untuk perlindungan diri


Ada serangga yang membuat terowongan dalam tanah, batang pohon, dalam bahan
organik yang sedang membusuk, maksudnya agar tidak terkena temperatur tinggi,
penguapan yang berlebihan, atau dimakan oleh predator. Dengan makan di tempat yang
tersembunyi, serangga akan merasa lebih aman dari musuh-musuhnya.
2.1.2.5. Reaksi perlindungan diri
Serangga yang biasa makan di tempat yang terbuka akan belajar melarikan diri atau
menyembunyikan diri dari musuhnya. Misalnya, dengan terbang, meloncat, berenang,
menyelam, menjatuhkan diri, dan berpura-pura mati. Ada juga yang lari sambil membawa
telur atau larvanya, agar tidak dimakan oleh musuhnya.

2.1.3. Makanan dan Pencernaan Serangga

Makanan serangga terdiri atas bermacam-macam bahan organik yang terdapat di


alam. Bahan organik tersebut ada yang masih hidup dan ada yang sudah mati dan kering.
Ada serangga yang makan selulosa dari kayu yang telah kering dan keratin dari bulu. Ada
pula yang makan tembakau, lada, cabai, ataupun jahe. Mungkin di dalam perut rayap dan
lipas terdapat bakteri atau protozoa yang dapat mengadakan simbiosis di dalam usus,
sehingga dapat membantu pencernaan. Flora dan fauna dalam usus tersebut mungkin
dapat menggunakan nitrogen dari udara, sebab yang dimakan rayap hanya selulose yang
tidak ada nitrogennya. Dengan cara demikian, di dalam usus rayap akan tersedia makanan
yang mengandung nitrogen, misalnya vitamin dan asam amino yang berguna untuk
pertumbuhan badan rayap. untuk pencernaan makanan diperlukan enzym. Jenis enzym
tersebut bermacam-macam, tergantung makanan yang dimakan. Serangga yang makan
madu tidak perlu bermacam-macam jenis enzym, karena madu tersebut tersusun dari gula
yang sederhana, sehingga mudah dicerna. Lipas yang memakan segala jenis makanan,
memerlukan bermacam-macam enzym untuk membantu pencernaannya.
Saluran makanan serangga, dimulai dari mulut sampai anus (lubang pembuangan
kotoran), di ujung perut. Mulut serangga terletak di antara ruas kepala yang ketiga dan
keempat, sedangkan anus terletak pada ruas perut yang ke-12 (telson). Struktur tubuh
serangga menyerupai sebuah tabung dalam tabung. Tabung di luar merupakan dinding
badan, sedangkan tabung sebelah dalam merupakan saluran makanan. Ruangan antara dua
tabung tersebut disebut rongga badan, rongga darah atau hemocoele, rongga tersebut
sebagian besar dipenuhi dengan darah. Panjang saluran makanan pada serangga berbeda-
beda. Ada yang panjang dan ada yang pendek, tergantung dari jenis makanannya.
Pada umumnya, serangga tidak mempunyai butir darah merah, tetapi agas (nyamuk
kecil) yang termasuk keluarga Chironomidae, ordo Diptera, darahnya berwarna merah,
karena adanya hemoglobin. Sistem tracheae tidak berkembang sempurna (rudimenter).
Nampaknya darah serangga tersebut mempunyai fungsi untuk pernafasan, seperti binatang
yang lebih tinggi tingkatannya (ikan, burung). Apabila darah menyelimuti saluran
makanan, zat makanan yang telah dicernakan akan terserap secara osmose, dan kemudian
akan dibawa ke otot, kelenjar, dan jaringan lain untuk diubah menjadi protoplasma dan zat
lain.

2.1.4. Perkembangbiakan Serangga

Kebanyakan jenis serangga hama, baik betina maupun jantan, dapat menimbulkan
kerusakan. Namun demikian, ada juga serangga yang hanya betinanya yang merugikan,
sebab yang jantan umurnya terlalu pendek dan tidak pernah makan. Hal ini misalnya yang
terjadi pada serangga sisik. Serangga sisik betina harus makan banyak agar dapat
membentuk telur, sedangkan serangga yang jantan biasanya berukuran lebih kecil. Jenis
kelamin serangga kadang tidak bisa dibedakan dari luar karena perbedaannya hanya sedikit
sekali, tetapi kalau diteliti secara mendalam, perbedaan jantan dan betina akan dapat
dikenali. Misalnya, pada lalat, mata majemuk jantan yang terletak di kiri dan kanan kepala,
bersentuhan satu dengan yang lain. Seringkali ujung perut juga dapat dipakai untuk
mengenali jenis kelamin serangga.
Alat kelamin serangga biasanya terdapat pada ujung perut, yaitu pada ruas
kedelapan atau kesembilan. Alat kelamin betina dilengkapi dengan ovipositor, yaitu alat
untuk memasukkan telur ke dalam tanah atau jaringan tanaman. Alat kelamin jantan
dilengkapi dengan clasper atau alat pemeluk yang digunakan untuk memegang betina
selama perkawinan. Serangga jantan menghasilkan sperma, sedangkan yang betina
menghasilkan telur. Telur yang telah dibuahi akan bersatu menjadi satu sel yang akan
berkembang menjadi serangga baru. Ada juga serangga yang tanpa kawin dapat
menghasilkan individu baru. Hal ini disebut parthenogenesis. Contoh parthenogenesis
adalah lebah madu. Telur yang tidak dibuahi akan menghasilkan lebah jantan, biasanya
juga disebut drene, yang perannya hanya membuahi lebah betina, tanpa pernah bekerja.
Telur yang telah dibuahi akan menghasilkan lebah pekerja dan betina (ratu). Pada aphis,
telur yang tidak dibuahi menjadi betina.
Besarnya telur serangga pada umumnya tidak lebih dari 3,5 mm, sehingga tidak
kelihatan jelas dengan mata telanjang. Telur serangga bervariasi jumlah, bentuk, maupun
besarnya. Kadang serangga betina hanya menghasilkan satu telur, tetapi dalam keadaan
luar biasa (ekstrim), serangga dapat bertelur lebih dari satu juta. Ratu lebah dapat bertelur
antara 2.000 sampai 3.000 butir setiap hari, sedangkan ratu rayap (anai-anai) dalam satu
menit dapat menghasilkan 60 juta telur. Pada umumnya, serangga dapat bertelur lebih dari
100 butir.
Cara bertelur serangga ada yang sekaligus dalam waktu sehari, ada pula yang
berlangsung dalam beberapa hari. Serangga jenis lainnya ada yang bertelur memakai jarak
antara dua hingga lima hari, setiap bertelur lebih kurang 125 butir. Pada umumnya telur
diletakkan di tempat yang cukup banyak makanan, sehingga pada waktu menetas serangga
muda sudah mendapat makanan yang memadai dan tempat yang aman serta sesuai untuk
perkembangannya. Induk serangga biasanya tidak memperhatikan telurnya. Biasanya
sesudah selesai masa bertelur, serangga betina lalu mati.
Perkembangan serangga begitu cepat, karena beberapa faktor, seperti jumlah telur
yang demikian banyak dan daur hidup yang pendek, serta kecepatan tumbuh generasi baru
yang pesat. Ada sejenis serangga yang daur hidupnya hanya berlangsung 10 hari. Sepasang
lalat rumah, bila tidak ada yang mati dalam jangka waktu lebih kurang empat hingga lima
bulan sudah akan menjadi lebih dari satu triliun. Hama sisik yang mula-mula jumlahnya
hanya satu pasang, dalam jangka waktu tiga bulan sudah dapat mencapai lebih dari satu
juta.
Ada beberapa cara perubahan bentuk dalam perkembangan serangga, sejak menetas
hingga dewasa, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks:
Pertama, perkembangan tanpa metamorfosa. Bila anak burung menetas, bentuknya
hampir menyerupai burung dewasa. Demikian pula ular, bila menetas menyerupai ular
dewasa. Juga ada serangga yang ketika menetas, bentuknya sudah menyerupai serangga
dewasa, tanpa mengalami perubahan atau metamorfosa. Misalnya, ngengat (silverfish) dan
ekor loncat (springtails), yang termasuk dalam ordo Thysanura dan Collembola.
Kedua, perkembangan dengan metamorfosa sederhana atau bertahap. Metamorfosa
adalah perubahan yang nyata dalam bentuk dan rupa binatang sesudah menetas (lahir) dan
dewasa. Misalnya, berudu (anak katak), berbeda sekali dengan katak dewasa, maka anak
katak tersebut disebut mengalami metamorfosa. Adapun burung, kelinci, kucing, harimau,
tidak mengalami metamorfosa. Banyak spesies serangga yang bentuk mudanya
menyerupai serangga dewasa. Hanya bedanya, serangga muda belum mempunyai sayap.
Sayap akan tumbuh secara bertahap, makin lama makin besar dan akhirnya akan
menyerupai serangga dewasa. Misalnya, jengkerik dan gangsir. Perkembangan demikian
disebut metamorfosa sederhana atau metamorfosa bertahap. Serangga muda yang akan
mengalami metamorfosa bertahap disebut nimfa (nymph). Pada umumnya, sifat serangga
muda dan dewasa hampir sama. Mereka makan bersama-sama satu jenis makanan. Nimfa
belalang dan belalang dewasa, sama-sama makan rumput. Metamorfosa sederhana tersebut
disebut juga heterometabola atau perubahan yang berbeda. Termasuk dalam golongan ini
adalah ordo Orthoptera, Isoptera, Mallophaga, Thysanoptera, Homoptera, Hemiptera, dan
Anoptera.
Ketiga, perkembangan dengan metamorfosa sempurna. Golongan serangga ini
mempunyai kebiasaan yang berbeda sewaktu masih muda. Misalnya nyamuk, pada waktu
masih muda hidup di air dalam bentuk jentik. Demikian halnya ulat, pada waktu masih
muda makan daun, tetapi setelah dewasa menjadi kupu yang memakan madu. Pada jenis
serangga ini, bentuk waktu muda berbeda sekali dengan serangga dewasa. Serangga muda
biasa disebut larva, yang tidak mempunyai sayap, dan tanda calon sayap juga tidak
nampak. Larva atau nimfa mula-mula kecil, kemudian menjadi besar. Tingkatan
pertumbuhan ini disebut dengan instar. Larva setelah dewasa mengalami perubahan
bentuk, lalu menjadi pupa. Larva ada yang langsung membuat pupa, tetapi ada juga yang
sebelum menjadi pupa lebih dahulu membuat pelindung dari daun yang dilipat, tanah
(pasir) halus, sayatan kayu halus, rambut dari badan larva atau bahan lainnya, yang dapat
untuk melindungi diri. Tempat perlindungan di sekeliling pupa disebut kepompong atau
kokon (cocon). Apabila tempat berlindung tersebut dibuat dari kulitnya sendiri yang
kering, sehingga membentuk kantung yang tahan air dan kedap udara, disebut puparium.

2.2. Phylum Annelida2

Kelas
Nematoda. Nematoda berbentuk seperti cacing kecil. Panjangnya 200
hingga 1.000 milimikron. Ada beberapa perkecualian yang panjangnya melebihi satu cm.
Nematoda dapat hidup di dalam atau di atas tanah, di dalam tanaman (endoparasit) atau di
luar tanaman (ectoparasit). Umumnya hidup dalam lapisan atas tanah sampai sedalam 30
cm. Ada nematoda yang makan tanaman yang masih hidup, ada pula yang makan tanaman
yang telah mati. Jenis yang saprofit sangat menguntungkan, karena mempercepat proses
tanaman yang telah mati menjadi tanah dan biasanya tidak mempunyai stylet, sedangkan
nematoda jenis parasit atau predator mempunyai stylet. Nematoda yang di atas tanah sering
terdapat dalam jaringan tanaman atau di antara daun yang melipat, di tunas daun, di dalam
buah, di batang, atau di bagian tanaman yang lainnya.
Nematoda dapat bergerak, tetapi tidak begitu cepat, kira-kira hanya 30 m setiap
tahunnya, tergantung struktur tanah, udara, air tanah, suhu, dan lain-lain. Umumnya, di

2
Sumber utama penulisan sub bab ini adalah Pracaya (2003), kecuali disebut secara khusus.
dalam tanah yang jenuh air dan oksigennya hanya sedikit, perkembangannya terhambat.
Kecuali beberapa jenis yang dapat hidup dalam tanah yang jenuh air, karena dapat bantuan
oksigen dari akar tanaman padi. Dalam tanah yang teksturnya terbuka dan cukup
mengandung air yang terikat, perkembangannya cepat. Di tanah yang berat dan keras,
perkembangannya terhambat. Suhu optimal untuk hidupnya kira-kira 15 hingga 30oC dan
suhu maksimal 43,5oC.
Badan nematoda berbentuk benang, mempunyai mulut dan saluran makanan yang
baik. Mulutnya dilengkapi dengan bintil, bibir, kait, atau duri dalam mulut yang
berhubungan dengan kerongkongan yang sempit. Biasanya, mempunyai dinding otot
kerongkongan yang tebal dengan lapisan kutikula dan mengembang menjadi satu atau
lebih gelembung kerongkongan yang berotot atau pharynx. Dengan klep dan dinding
berotot, kerongkongannya akan memompa larutan makanan atau butiran makanan padat
dan dengan gerakan peristaltis, cairan makanan akan terus masuk dalam usus. Ususnya
biasanya berbentuk tabung lurus yang akan membuka di dekat ujung badan belakang pada
permukaan ventral.
Dinding badan tersebut berotot dan menutupi ruangan badan yang berisi cairan
darah, saluran makanan, alat pengeluaran kotoran, dan alat reproduksi. Tidak ada sistem
sirkulasi dan alat pernafasan yang sempurna. Badan nematoda tidak mempunyai ruas,
tetapi kadang ada kutikula yang keras melingkar seperti cincin. Dinding badan yang
berotot akan memungkinkan nematoda membengkok dan melengkung dengan gerakan
yang mengombak. Serangan nematoda ada yang menimbulkan gejala di bawah permukaan
tanah dan ada pula yang menyebabkan gejala di atas permukaan tanah.

2.2.1. Gejala di bawah permukaan tanah

a. Karena ada nematoda yang masuk ke akar, maka akar bereaksi membentuk hyperplasia
(tumor atau bisul) yang cukup besar, seperti bonggol. Nematoda tinggal bersama-sama
dengan telurnya. Nematoda demikian disebut endoparasit. Serangan ini menyebabkan
nekrosis, ujung akar mati, kemudian terjadi lagi pembentukan akar serabut baru yang
jumlahnya lebih banyak. Bila serangan terjadi di satu sisi, maka akar tumbuh membengkok
dan berbelit-belit. Waktu nematoda masuk ke akar, akan menimbulkan luka akibat
styletnya. Luka tersebut mendorong munculnya cendawan dan bakteri yang menyebabkan
penyakit sekunder, yaitu akar menjadi busuk dan dapat menjadi sumber penyakit yang
akan meluas ke seluruh kebun.

b. Kalau nematoda hanya tinggal di luar tanaman dan hanya memasukkan stylet atau
kepalanya saja untuk menghisap air sel tanaman dan mengeluarkan enzyme untuk
menghancurkan sel tanaman, disebut ectoparasit. Akibat luka tusukan stylet, bagian luar
tanaman berubah warna menjadi coklat. Luka tersebut juga mengakibatkan timbulnya
penyakit sekunder akibat bakteri atau cendawan.

2.2.2. Gejala di atas permukaan tanah

a. Apabila akar mengalami kerusakan, pertumbuhan tanaman di atas tanah akan mengalami
hambatan, karena unsur hara yang diserap tidak maksimal. Akibat selanjutnya,
pertumbuhan tanaman terhambat, kerdil, klorosis, dan sering diikuti kelayuan, daun gugur,
atau ujung tanaman mati.

b. Unsur hara yang tidak terserap maksimal dapat pula mengakibatkan titik tumbuh
mengalami kelainan, daun keriting, membengkok, berbelit, kadang pada batang ada tumor
atau pembengkakan.jaringan parenchyma daun dan batang mengalami kematian, sehingga
timbul bercak yang warnanya coklat (nekrosis).
Nematoda dibagi menjadi lima ordo, yaitu: (1) Dorylaimida, yang merupakan
ectoparasit, biasanya juga menjadi vector beberapa penyakit tanaman, (2) Mononchida,
yang memangsa binatang kecil lain termasuk nematoda. Nematoda yang termasuk ordo ini
menjadi predator, (3) Rhabditida, pada umumnya yang termasuk ordo ini bersifat saphrofit,
tidak mempunyai stylet, tetapi ada pula yang menjadi predator serangga, (4) Tilenchida,
umumnya nematoda yang termasuk dalam ordo ini menjadi parasit tanaman, (5) Enoplida,
banyak yang menjadi parasit serangga.
Berdasarkan tempat hidupnya, nematoda diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: (1)
nematoda yang hidup di dalam tanah. Nematoda ini dapat termasuk semi endoparasit,
endoparasit, atau ectoparasit. Nematoda memasukkan kepalanya ke dalam akar tanaman,
tetapi bagian badannya masih di luar akar, sehingga disebut semi-endoparasit. Bila
nematoda hidupnya di dalam tanah dan hanya menghisap cairan tanaman dengan styletnya
yang dimasukkan ke dalam akar, disebut ectoparasit. Ada nematoda yang dapat keluar
masuk akar, bersifat endoparasit atau ectoparasit, (2) nematoda yang hidup di dalam
tanaman. Nematoda ini boleh dikatakan sebagian besar hidupnya berada dalam tanaman
atau endoparasit. Tempatnya dapat di dalam bisul atau puru akar, dalam daun atau tunas,
dalam buah, dalam batang, dan di bagian tanaman lainnya lagi.
Beberapa contoh nematoda yang menjadi parasit tanaman, yaitu: (1) nematoda
bisul akar (Meloidogyne). Akar tanaman yang diserang nematoda ini menjadi bisul bulat
atau memanjang dengan besar bervariasi. Di dalam bisul ini terdapat nematoda betina,
telur, dan larva. Nematoda betina yang dewasa terlihat membengkak atau sedikit
membengkak, sedangkan nematoda jantan bentuknya seperti cacing kecil, demikian pula
larvanya yang muda. Nematoda jantan biasanya keluar dari akar, hidup dalam tanah,
membuahi nematoda betina yang tinggal dalam bagian kulit akar. Bisul akar yang busuk
akan membebaskan nematoda dan telurnya ke dalam tanah, kemudian masuk dalam akar
tanaman yang lain. Air ludah atau kotoran nematoda dapat menyebabkan hipertrophy
(membesarnya sel), sehingga timbul bisul pada akar. Gejala serangan nematoda antara lain
daun menjadi lekas masak dan gugur, akar serabut sekunder menjadi abnormal jumlahnya.
Misalnya: Meloidogyne exigua pada tanaman kopi; M. Javanica pada tanaman tebu, tomat,
kentang, tembakau, teh, buahan, sayuran, tanaman hias, dan padian, (2) nematoda siste
akar (Heterodera). Nematoda ini dapat diketahui keberadaannya dengan adanya benda
bulat, kecil, berwarna putih pada permukaan akar tanaman, setelah mati benda tersebut
warnanya menjadi coklat dan berisi banyak telur. Siste ini sebenarnya merupakan
nematoda betina yang telah mati dan kulitnya tetap melindungi telur-telurnya yang mula-
mula dikandungnya. Siste ini bisa lepas dari akar dan tinggal dalam tanah, serta dapat
hidup berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai bertemu dengan tanaman yang sesuai
untuk tempat tinggalnya. Larva yang bentuknya seperti benang, keluar dari siste dan
masuk dalam akar. Sesudah dewasa, larva betina bentuknya menjadi bulat, sedangkan larva
jantan tetap berbentuk benang. Sesudah perkawinan, yang betina meninggalkan jaringan
tanaman, selanjutnya menetap di permukaan akar. Tanaman yang diserang menjadi layu,
pembentukan akar serabut yang tidak normal, produksinya merosot. Misalnya: Heterodera
marioni (Cornu) Goodey yang menyerang tanaman tomat dan kentang; H. glycines pada
tanaman kedelai; H. rostochiensis pada tanaman kentang; H. schachtii pada tanaman bit,
kentang, dan lainnya.
Nematoda akar ectoparasit banyak merugikan petani karena serangannya pada akar
dengan menusuk dan menghisap cairan sel. Luka akibat tusukan ini akan mengundang
bakteri dan cendawan yang menyebabkan busuk akar, pertumbuhan tanaman terhambat,
dan mengurangi hasil. Nematoda ini bentuknya seperti benang, panjangnya 0,5 hingga
empat mm. Contohnya: Xiphinema sp dan Longidorus sp dapat menularkan virus.
Nematoda daun dan kuncup (Aphelenchoides) dapat hidup dalam daun dan kuncup,
masuknya melalui mulut daun. Bila keadaan lembab, nematoda dapat naik melalui batang
terus masuk dalam mulut daun. Nematoda ini bertelur pada ketiak daun atau pada bunga,
sehingga bijinya juga dapat menjadi alat penular. Akibat serangannya, pertumbuhan
tanaman terhambat, bahkan dapat mati. Pada tanaman padi, malai dapat hampa bila
terserang Aphelenchides besseyi, sedangkan yang menyerang tanaman kol bunga adalah A.
Fragariae.
Nematoda batang (Ditylenchus), dapat hidup dalam batang tanaman, juga dalam
daun atau bagian tanaman di bawah permukaan tanah. Nematoda ini dapat menyebabkan
batang membengkak, ruas menjadi pendek, batang dan daun dapat terpilin, malai menjadi
hampa atau tidak keluar dari pelepah. Contohnya: Ditylenchus angustus pada tanaman
padi.
Pengendalian nematoda dilakukan sebagai berikut. (1) usahakan penggunaan benih
bebas nematoda dari tanaman yang sehat, (2) biji yang diragukan kesehatannya
diperlakukan dengan air panas. Caranya: biji direndam air biasa, digoyang-goyangkan
selama satu jam, kemudian masukkan dengan segera dalam air panas 52oC selama 20
menit; 54oC selama 15 menit atau 56oC selama 10 menit, (3) dilakukan rotasi tanaman,
dengan tanaman yang tidak diserang nematoda dalam tiga tahun, misalnya dengan tanaman
leguminosae yang diikuti tanaman jagung, dan seterusnya dengan tanaman lain yang tidak
diserang nematoda, (4) dengan obat kimia (nematisida), seperti Furadan, Temik, Curater,
Cynem, Nemagon, dan Nemacide.

2.3. Phylum Mollusca3

Binatang yang termasuk


Mollusca pada umumnya tidak beruas, badannya lunak,
dapat mengeluarkan lendir, ada yang mempunyai pelindung (rumah) dan ada yang tidak.
Mollusca termasuk binatang yang menyukai kelembaban. Biasanya, pada waktu siang hari
bersembunyi di tempat yang teduh. Mollusca memakan bahan organik yang telah
membusuk ataupun tanaman yang masih hidup; alat untuk makan berbentuk seperti lidah
yang kasar atau parut yang disebut radula. Mollusca adalah binatang malam dan mencari
makan pada umumnya waktu malam hari. Jejak perjalanan mollusca dapat diketahui
dengan adanya bekas lendir sedikit mengkilat. Ada dua macam mollusca. Mollusca yang
mempunyai rumah biasanya disebut bekicot, sumpil, atau keong, sedangkan yang tidak
mempunyai rumah (pelindung) atau rumahnya kerdil, biasanya disebut siput. Bekicot atau

3
Sumber utama penulisan sub bab ini adalah Pracaya (2003), keculai disebut secara khusus.
siput pada umumnya hermaphrodit, mempunyai alat kelamin jantan dan betina. Meskipun
demikian, sering juga terlihat mollusca mengadakan perkawinan dengan sesamanya.
Ada beberapa jenis siput dan bekicot, di antaranya adalah: (1) siput telanjang (tidak
berumah) (Vaginula bleekeri (Keferst) atau Filicaulis bleekeri (Keferst). Warna siput
coklat keabuan, pada punggungnya ada bercak coklat tua yang tidak teratur dan ada garis
sepasang memanjang, panjangnya lima cm. Siput ini sering merusak pesemaian kol, sawi,
tembakau, tomat, dan lainnya, (2) siput setengah telanjang (Parmarion pupillaris Humb).
Warnanya coklat kekuningan atau coklat keabuan. Rumah pada punggungnya kerdil dan
sedikit menonjol. Jenis yang telanjang halus, tidak ada tonjolannya. Panjangnya lima cm.
Siput tersebut polyphag, pemakan segala tanaman. Sering merusak pesemaian atau
tanaman yang baru saja tumbuh seperti kol, sawi, tomat, tembakau, ubi jalar, kentang, dan
lainnya, (3) sumpil (Lamellaxis gracilis Hutt, sinonimnya Opeas gracilis Hutt dan
Subulina octona Brug. Sumpil mempunyai rumah yang bentuknya silindris, berukuran
kecil, warnanya kuning muda, panjangnya 11 mm. Kedua jenis sumpil ini biasanya
tercampur menjadi satu populasi. Banyak merusak semai tembakau, kol, sawi, bermacam-
macam sayuran, sering juga ada di balik pot tanaman anggrek di tempat yang lembab, di
dalam rumah kaca, dan lainnya, (4) bekicot (Achatina fulica Bowd atau A. variegata).
Bekicot ini mempunyai rumah, panjangnya 10 hingga 13 cm, berasal dari Afrika Timur
atau Afrika Selatan. Menjalar ke Indonesia melewati Malaysia, antara tahun 1921 hingga
1930. Pada waktu siang hari, bekicot sering istirahat pada batang pepaya, pisang, dinding
rumah, dan lainnya. Pada waktu malam hari, bekicot mencari makanan. Siang hari, bekicot
mencari tempat perlindungan di lubang tanah, kaleng atau bambu. Apabila diganggu,
bekicot akan menarik kepalanya masuk ke dalam rumahnya. Kadang dapat mengeluarkan
suara. Waktu musim kemarau yang panjang dan udara panas, kepala dan seluruh badan
dimasukkan dalam rumah dan lubangnya ditutup dengan suatu lapisan membran yang
tebal, sehingga bekicot tersebut dapat bertahan hidup selama musim kemarau, kurang lebih
enam bulan. Bila musim hujan tiba, dalam beberapa jam bekicot dapat segera mengakhiri
masa istirahatnya dan mulai mencari makanan. Bekicot yang baru saja menetas dapat tahan
tidak makan selama satu bulan. Bekicot yang besar dapat tahan terendam air tawar selama
12 jam, tetapi kalau air mengandung garam, bekicot akan mati dengan pelan. Telurnya
berwarna kuning dengan diameter lima mm, biasanya terdapat dalam kelompok telur yang
jumlahnya 100 hingga 500 butir gumpalan telur yang diameternya dapat sampai lima cm.
Biasanya terletak di bawah batu, tanaman, atau dalam tanah gembur. Telur ini akan
menetas dalam 10 hingga 14 hari.
Bekicot banyak merusak tanaman, di antaranya tanaman bunga bakung, bunga
dahlia, pepaya, dan tomat. Selain itu, bekicot juga makan tanaman yang telah mati. Musuh
alami bekicot misalnya Gonaxis dan Euglandina. Kunang-kunang Lamprophorus juga
makan bekicot muda. Bakteri Aeromonas liquefacicus sering juga menyerangnya.
Pengendaliannya: (1) ditangkap pada waktu malam hari, dikumpulkan, keesokan
harinya dipotong-potong, kemudian dijadikan pakan ayam atau itik. Dewasa ini, bekicot
sudah mulai dibudidayakan untuk diekspor ke luar negeri, (2) dengan bahan kimia. Bahan
kimia metaldehyde, nama dagang Metadek dan Metocol, merupakan racun kontak, yang
dapat mematikan bekicot dan siput. Siput atau bekicot yang makan akan menjadi kering
dan mati. Bahan kimia lain seperti methiocarb, nama dagang Mesurol juga dapat
digunakan. Bahan kimia tersebut biasanya dicampur dulu dengan dedak halus. Bekicot
atau siput juga dapat dikendalikan dengan diberi garam.
BAB III PENYAKIT TANAMAN

Tanaman dikatakan sakit bila ada perubahan seluruh atau sebagian organ tanaman
yang menyebabkan terganggunya kegiatan fisiologis sehari-hari. Secara singkat, penyakit
tanaman adalah penyimpangan dari keadaan normal. Penyebab sakitnya tanaman
bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh cendawan, bakteri, virus, dan lain-lain.
Penyakit tanaman dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
Pertama, penyakit lokal. Penyakit ini hanya terdapat di suatu tempat atau bagian
tanaman tertentu. Misalnya, pada buah, bunga, daun, cabang, batang, atau akar. Kedua,
penyakit sistemik penyakit ini menyebar ke seluruh tubuh tanaman, sehingga seluruh tubuh
tanaman menjadi sakit. Misalnya, penyakit CVPD pada tanaman jeruk. Dalam
penyembuhannya, seluruh tubuh tanaman harus diobati. Misalnya, dengan infus yang
obatnya dapat segera menyebar ke seluruh tubuh tanaman.
Ilmu yang mempelajari penyakit tanaman disebut Phytopathology. Kata ini berasal
dari bahasa Yunani kuno, yaitu phyton yang berarti tanaman dan pathos yang berasal dari
kata pathein, yang artinya menderita sakit atau penyakit, serta logos (ilmu).
Penyakit tanaman dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: penyakit parasit dan
penyakit non-parasit atau penyakit fisiologis. Istilah parasit berasal dari bahasa latin
parasitus, artinya pembonceng atau benalu. Kata parasit juga berasal dari bahasa Yunani
parasitos, yang artinya makan bersama-sama dengan lainnya dalam satu meja. Dewasa ini
istilah parasit dalam dunia pertanian berarti mahluk yang memperoleh makanan atau
keuntungan dari mahluk lain, tetapi tidak mau memberi imbalan. Dalam ilmu penyakit,
parasit adalah tanaman atau binatang yang hidup di dalam atau pada mahluk hidup lain dan
memperoleh makanan tanpa memberikan kompensasi sedikitpun. Tanaman atau binatang
yang ditempati parasit disebut inang atau tuan rumah. Parasit dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu: Pertama, parasit sejati, yang mengambil seluruh makanan dari inang; kedua,
setengah parasit, yang memenuhi kebutuhan makannya hanya sebagian yang mengambil
dari inang, selebihnya diusahakannya sendiri.
Parasit penyebab penyakit tanaman meliputi: cendawan, bakteri riketsia,
mikoplasma, virus, viroid, ganggang, dan benalu serta tali putri. Selain itu ada istilah
hiperparasit, yaitu parasit yang hidup dari parasit yang lain. Saprofit, yaitu organisme yang
hidup dari organisme yang telah mati, misalnya cendawan yang hidup pada kayu mati.
Epifit, yaitu tanaman, cendawan, atau bentuk lain yang hidup pada tanaman, tetapi
makanannya mengambil dari udara, sehingga tidak mengganggu tanaman inang. Misalnya,
anggrek, lumut, lichen (kerjasama antara ganggang dan cendawan).

3.1. Gejala Tanaman yang Terserang Penyakit4

Setiap tanaman yang sakit, akan memperlihatkan gejala atau simptomnya. Gejala
sebenarnya adalah perubahan bagian tanaman yang merupakan reaksi tanaman atas
masuknya benda asing seperti cendawan, bakteri, virus atau akibat kekurangan unsur hara.
4
Sumber utama penulisan sub bab ini adalah Sinaga, MS (2003), kecuali disebut secara khusus.
Dengan melihat gejalanya saja, belumlah cukup untuk memastikan penyebab sakitnya
tanaman, karena ada penyebab penyakit yang berbeda ternyata menunjukkan gejala sakit
yang sama. Untuk memastikan penyebab penyakit dengan benar, harus diteliti keadaan
tubuh tanaman atau keadaan tanah. Gejala penyakit tanaman tersebut ada bermacam-
macam, yaitu:
1). Layu. Di musim kemarau, pada siang hari, sering ada tanaman yang layu karena
kekurangan air. Setelah disiram air, ternyata tanaman tersebut segar kembali. Kelayuan
seperti ini bukan karena penyakit. Kalau kelayuan tersebut karena terserang penyakit,
walaupun disiram air tidak akan mau segar kembali, karena perakaran tanaman atau
jaringan dalam batang tanaman telah rusak akibat serangan cendawan atau bakteri,
sehingga pengangkutan air dari dalam tanah tidak dapat lancar.
2). Rontok. Bila daun, ranting, bunga atau buah banyak yang rontok sampai
berlebihan, dapat dipastikan bahwa tanaman menderita kelainan. Mungkin karena penyakit
parasit, non-parasit atau hama. Jeruk yang cabang atau pohonnya terserang jamur upas,
pada umumnya daunnya banyak yang rontok bahkan dapat sampai habis.
3) Perubahan warna. Daun mula-mula berwarna hijau cerah, selanjutnya menjadi
kuning, hijau redup (pucat), yang disebut klorose. Perubahan warna ini disebabkan oleh
rusak atau tidak berfungsinya klorofil. Bisa diakibatkan oleh kekurangan cahaya matahari
atau karena serangan penyakit. Perubahan warna juga terjadi dalam bentuk bercak coklat
karat, ungu, hitam, kelabu, keputihan, atau kombinasinya.
4). Daun berlubang-lubang. Bercak berbentuk lingkaran pada tanaman kentang
(disebut bercak kering Alternaria solani), dapat menjadi kering dan rontok, sehingga
terjadi lubang yang disebut perforasi atau lubang peluru (shot hole).
5). Nekrosis. Sekelompok sel di suatu bagian tanaman mati dan warnanya berubah
menjadi coklat, sehingga terjadi bercak coklat. Bila bercak ini terjadi di beberapa tempat,
akhirnya akan merata di seluruh permukaan bagian tanaman. Misalnya, pada daun, umbi,
cabang, ranting, kuncup, bunga, dan buah. Pada umbi kentang, terjadi nekrosis karena
serangan virus.
6). Kerdil atau atrophy. Daun, buah atau bagian tanaman lainnya menjadi kecil.
Kadang seluruh tubuh tanaman menjadi kerdil, misalnya pada tanaman padi yang diserang
wereng dan kemudian kena virus akan menjadi kerdil seperti rumput sehingga disebut
penyakit kerdil rumput.
7). Hypertrophy. Adalah parasit atau faktor lain yang merangsang membesarnya
bagian tanaman melebihi normal, misalnya pada akar, daun, dan buah. Hal ini diperkirakan
karena pembelahan sel yang bertambah banyak dan membentuk sel yang lebih besar
jumlahnya dan selanjutnya menambah besarnya organ tanaman tersebut. Gejala tersebut
disebut hyperplasia. Hal ini terjadi misalnya pada akar leguminosae yang berbintil-bintil
karena adanya bakteri Rhizobium sp.
8) Etiolasi. Pertumbuhan tanaman memanjang kecil, pucat, dan lemah, karena
kekurangan sinar surya. Misalnya yang terjadi pada semaian kol yang terlindung. Gejala
tersebut disebut etiolasi. Tanaman yang terkena etiolasi mudah terserang penyakit semai
roboh.
9). Roset. Tanaman yang mula-mula ruasnya panjang menjadi pendek, sehingga
buku yang satu dengan yang lainnya bersinggungan sampai terbentuk roset. Bila pada roset
ini tumbuh tunas, maka timbullah banyak tunas dalam satu ujung, akhirnya menyerupai
sapu. Ada yang menyebut hal ini sebagai gejala sapu setan, misalnya yang terjadi pada
tanaman kacang panjang yang diserang virus.
10). Kanker. Luka pada batang berkayu sering mengakibatkan kulit menjadi rapuh
dan mudah lepas, kemudian luka tersebut menjadi terbuka, sehingga akhirnya terlihat
kayunya. Kanker dapat berjangkit semusim atau tahunan, sehingga dari musim ke musim
makin bertambah besar. Tanaman apel, sering terserang penyakit kanker pada batang,
cabang, dan buahnya.
11). Semai roboh (dumping off). Tanaman semai selada sering terkena penyakit
semai roboh, dengan gejala batang menjadi lunak, lalu roboh, busuk, dan mati. Biasanya
penyakit tersebut disebabkan oleh udara lembab dan kekurangan sinar surya, karena atap
pesemaian tidak dibuka.
12). Daun mengeriting. Daun tomat dan kentang sering mengeriting karena
serangan virus.
13). Eksudasi (exudate). Tanaman yang sakit mengeluarkan cairan, bentuk dan
warna cairan berbeda-beda, tergantung tanaman dan penyakitnya. Misalnya, gummosis
yang mengeluarkan cairan jernih (warna seperti coklat) atau blendok pada tanaman jeruk
yang sakit karena Phytopthora parasitica. Bila yang dikeluarkan cairan resin, misalnya
pada tanaman pinus, penyakit tersebut disebut resinosis. Bila yang dikeluarkan getah atau
lateks, disebut lateksosis.
14). Busuk. Ada dua macam penyebabnya, yaitu busuk kering dan busuk basah.
Penyakit tersebut dapat menyerang akar, batang, kuncup, dan buah.
15). Mumifikasi. Buah menjadi kering mengkerut seperti mumi. Mula-mula buah
menjadi busuk basah, kemudian terisi benang cendawan parasit, sehingga mulai mengkerut
dan kering. Mumi biasanya tetap tergantung di pohon atau dapat juga rontok, kemudian
menghasilkan spora yang dapat tersebar kemana-mana.
16). Kudis. Daun, ranting, cabang, dan kulit buah jeruk sering diserang kudis,
berupa bintik berwarna kuning kecoklatan dan bergabus. Penyakit tersebut disebabkan oleh
cendawan Sphaceloma fawcetti. Umbi kentang yang diserang kudis warnanya menjadi
coklat tua, bentuk bercaknya tidak teratur, sedikit menonjol, dan bergabus. Penyebabnya
Streptomyces scabies.
17). Tepung. Pada daun, batang, atau buah kapri kelihatan warna putih karena
tertutup tepung. Tepung tersebut merupakan spora yang dapat berhamburan kemana-mana,
bila dihembus angin. Penyebabnya adalah cendawan Erysiphe polygoni.

3.2. Cendawan

Bentuk cendawan yang paling sederhana hanya terdiri atas satu sel, misalnya ragi
(yeast), tetapi umumnya cendawan terdiri atas banyak sel yang bentuknya seperti benang
halus dan disebut hifa. Kumpulan hifa tersebut disebut miselium. Hifa tidak dapat terlihat
tanpa mikroskop. Namun demikian, miseliumnya dapat dilihat meskipun tanpa mikroskop,
karena sudah merupakan kumpulan yang terdiri atas banyak sekali hifa, misalnya jamur
upas yang warnanya putih kemerahan. Hifa tersebut ada yang bersekat dan ada yang tidak
bersekat. Miselium dari cendawan parasit dapat tumbuh di atas permukaan atau di dalam
tubuh inang. Miselium yang terletak di permukaan inang, biasanya berwarna keputihan
halus, menyerupai benang sarang laba-laba atau benang hitam atau coklat yang membuat
jalinan tidak teratur pada permukaan tubuh inang, misalnya cendawan tepung dan
cendawan jelaga. Miselium yang masuk ke dalam tubuh inang berwarna hitam atau
transparan (hyaline). Ada yang masuk ke dalam sel, tetapi ada juga yang hanya berada di
ruangan antarsel. Cabang hifa yang masuk ke dalam inang adalah sel yang berguna untuk
menghisap zat makanan dan air, disebut dengan haustorium atau appressorium.
Cendawan tidak berhijau daun, sehingga tidak dapat berasimilasi C. Oleh karena
itu, makanannya diperoleh dari organisme yang telah mati (saprofit) atau dari organisme
yang masih hidup (parasit). Bila miselium dalam bentuk parasit atau saprofit mulai
berkembang dari satu titik, maka perkembangan selanjutnya akan terjadi secara radial
menuju ke segala arah (kecuali untuk beberapa substrat). Banyak bercak daun karena
cendawan, berbentuk bulat sesuai dengan sifat berkembangnya cendawan secara radial
menuju ke segala arah. Pada buahan yang busuk, kelihatan juga bercak yang bulat. Pada
kulit kayu, umumnya lukanya sedikit memanjang atau agak elips. Ini disebabkan oleh
pertumbuhan membujur dari cendawan lebih cepat daripada pertumbuhan melintang.
Hifa dari satu miselium kadang berkumpul menjadi satu membentuk ikatan
menyerupai benang berwarna coklat tua, merah kekuningan atau putih. Bentuk berubah-
ubah dari tipis sampai tebal. Rhizomorph dapat bercabang banyak atau sedikit dan sering
bercampur dan membentuk suatu jaringan. Rhizomorph tersebut dapat memanjang dan
menyimpan bahan makanan yang dapat dibawa ke bagian lain. Hal tersebut membantu
untuk penyebaran cendawan dalam satu pohon ke pohon lain yang berdekatan. Misalnya,
rhizomorph yang terdapat pada cendawan Armillaria mellea (Vahl). Sacc. yang
menyebabkan busuk akar pada tanaman buahan seperti jeruk, alpokat, dan apel.
Sclerotia disebut organ penyimpanan makanan. Terjadi karena adanya kumpulan
hifa yang padat dan berisi bahan makanan berbentuk minyak atau senyawa lain. Sclerotia
ada yang agak sulit dilihat mata, tetapi ada juga yang mudah dilihat. Bentuknya bermacam-
macam. Ada yang memanjang, silindris, bulat, datar, dan bentuk tidak teratur. Umumnya
berwarna tua, coklat tua atau hitam. Sclerotia dapat bertahan dalam keadaan buruk seperti
udara kering, temperatur sangat tinggi atau sangat rendah. Sclerotia dapat melekat pada
biji, setek, tanah, dan sebagainya, sehingga sangat efektif menyebarkan cendawan parasit.
Misalnya, pada penyakit Rhizoctonia solani Kuhn yang menyerang umbi tanaman kentang.

3.2.1. Perkembangbiakan cendawan

Cendawan berkembangbiak dengan berbagai cara, baik secara aseksual maupun


secara seksual. Perkembangbiakan secara aseksual dilakukan tanpa penggabungan sel
kelamin betina dan kelamin jantan, tetapi dengan pembentukan spora atau kembangbiak
secara vegetatif (pemutusan hifa atau miselium yang kemudian dapat berkembang biak
lagi). Perkembangbiakan cendawan pada umumnya dengan menggunakan spora yang kecil
sekali yang hanya terlihat dengan mikroskop. Dari hifa akan tumbuh spora yang di
dalamnya terdapat banyak sekali spora. Pembentukan sel baru menyerupai induknya.
Pembentukan individu secara seksual terjadi dengan penggabungan sel kelamin
jantan dan betina, yang kemudian juga akan membentuk spora. Dalam keadaan temperatur,
kelembaban, dan inang yang sesuai, spora akan tumbuh membentuk miselium. Fungsi
spora seperti biji pada tanaman tinggi. Warnanya ada yang jernih sampai hitam. Spora
yang terkecil garis tengahnya kurang dari satu mikron dan yang besar dapat mencapai satu
milimeter. Spora tersebut dapat terbentuk dari hasil penggabungan sel kelamin jantan dan
betina, atau dapat dibentuk langsung dari hifa.
Spora tersebut terbentuk dengan bermacam-macam cara, di antaranya adalah: (1)
Konidi. Spora aseksual yang dibentuk dari ujung hifa. Ujung cabang hifa yang ada
konidianya disebut konidiofora; (2) Klamidospora. Dibentuk langsung dari sel-sel tertentu
dari hifa; (3). Zoospora atau spora yang dapat bergerak. Terdiri atas massa protoplasma
yang telanjang dan mempunyai bulu halus yang dapat bergetar, sehingga dapat berenang
seperti binatang. Bulu halus tersebut disebut cilia. ; (4). Askospora. Spora yang dihasilkan
dari penggabungan sel kelamin jantan dan betina yang berkembang dalam suatu alat seperti
kantung yang disebut ascus; (5) Basidiospora. Spora pada Basidiomycetae; (6). Zygospora.
Spora yang terbentuk dari penggabungan dua sel yang mirip atau gamet; (7). Oospora.
Spora yang dibentuk dengan cara penggabungan dari gamet betina besar dan pasif dengan
gamet jantan, kecil tetapi aktif.

3.2.2. Klasifikasi Cendawan

Cendawan ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Cendawan yang
menguntungkan di antaranya, adalah: Volavaria volvaceae (jamur merang yang enak
dimakan); Monilia sitophila (jamur oncom merah); Rhizopus oryzae (jamur tempe);
Saccharomyces cerevisiae (cendawan yang dapat mengubah tepung menjadi gula). Adapun
cendawan yang merugikan di antaranya: Phytophthora parasitica (penyakit blendok pada
pohon jeruk; Corticium salmonicolor (penyakit jamur upas pada tanaman karet, jeruk, dan
lain-lain); Helminthosporium oryzae (penyakit bercak coklat pada tanaman padi); Ustilago
maydis (penyakit gosong bengkak pada tanaman jagung).
Cendawan dibagi dalam empat golongan yang penting, yaitu: (1) Phycomycetes,
(2) Ascomycetes; (3) Basidiomycetes; dan (4) Fungi imperfecti. Berikut ini akan diuraikan
macam-macam penyakit pada berbagai jenis tanaman akibat cendawan yang
dikelompokkan berdasar golongannya.

3.2.2.1. Penyakit yang disebabkan Phycomycetes

Hifa phycomycetes tidak bersekat. Cendawan yang termasuk dalam golongan ini di
antaranya mengakibatkan penyakit:

a. Akar gada pada tanaman kol (kubis)


Tanaman kol, sawi, kol bunga, dan semua yang termasuk keluarga Cruciferae
seringkali diserang suatu penyakit pada sistem perakarannya. Penyebabnya adalah
cendawan Plasmodiophora brassicae Wor. Gejalanya: akarnya menjadi membesar dan
menyatu seperti gada sehingga disebut akar gada, atau setiap akar membentuk seperti
jari kaki, sehingga disebut penyakit jari kaki. Akar kelihatan membengkak karena
infeksi akibat masuknya spora ke dalam bulu akar. Spora berkembang biak dan terus
masuk ke dalam akar yang lebih besar. Akar bereaksi dan mengadakan pembelahan
dengan cara pembesaran sel, maka timbullah bisul pada akar yang tak teratur.
Akhirnya, seluruh akar pada pangkal pohon kol membesar, berkumpul menjadi satu
sehingga membentuk massa yang besar seperti gada. Karena pertumbuhan yang tidak
teratur maka jaringan pengangkut air menjadi terganggu, sehingga aliran air ke seluruh
tubuh tanaman berkurang banyak dan pada waktu siang hari tanaman menjadi layu dan
baik lagi bila petang hari tiba.
Tanaman yang terserang menjadi kerdil, warna daunnya menjadi abu-abu. Bila
terbentuk akar adventif, tanaman dapat lebih segar sedikit dan ada kemungkinan dapat
sembuh. Akar yang pernah terkena infeksi, bila terkena infeksi lagi dapat menjadi
busuk.
Faktor yang memengaruhi timbulnya penyakit tersebut, antara lain adalah (1) tanah
yang masam, sehingga merangsang pertumbuhan cendawan; (2) temperatur optimum
untuk perkembangan penyakit, terletak antara 25 hingga 30oC; (3) tanah yang selalu
basah, hujan yang banyak, mengakibatkan semakin ganasnya serangan.
Sumber penyakit tersebut adalah (1) sisa spora yang masih banyak terdapat dalam
tanah; (2) bekas tanaman sakit; (3) pesemaian yang telah tercemar penyakit.
Pencegahannya adalah sebagai berikut. (1) tanah yang asam dijadikan basa, dengan
jalan memberi kapur pertanian sedini mungkin sampai pH lebih kurang 7,2; (2) rotasi
tanaman. Patogen dapat hidup dalam tanah tiga hingga enam tahun, maka jangan
menanam kol dan tanaman yang tergolong Cruciferae selama enam tahun; (3) drainase
yang baik, jangan sampai air menggenangi tanaman kol; (4) tanamlah strain (jenis)
yang tahan; (5) kebersihan harus dijaga, semua tanaman yang diduga menjadi sumber
penyakit dibersihkan; (6) berilah persenyawaan air raksa, sublimate (mercuri chloride)
atau calomel (mercuro chlorida). Setiap lubang tanaman diberi larutan sublimate 0,05
hingga 0,10 persen sebanyak 125 hingga 250 CC. sebelum ditanam, akar tanaman
dicelup lebih dahulu dalam larutan calomel empat persen.

b. Busuk daun kentang

Penyebabnya adalah cendawan Phytophthora infestans (Mont.) De Bary. Penyakit


daun kentang ini merupakan salah satu penyakit yang paling merusak tanaman kentang.
Cendawan ini asalnya dari pegunungan Andes sebelah utara, kemudian menyebar ke
seluruh Amerika, Eropa, dan seluruh dunia. Cendawan ini juga menyerang tanaman tomat.
Gejala (simtom) yang ditunjukkan adalah sebagai berikut. Daun yang sakit terlihat
bercak pada ujung dan tepi daunnya dan dapat meluas ke bawah serta mematikan seluruh
daun dalam waktu satu hingga empat hari. Hal ini terjadi bila udara lembab. Bila udara
kering, jumlah daun yang terserang terbatas, bercak tetap kecil dan jadi kering serta tidak
menular ke daun lainnya. Bila serangan menghebat, daun yang kering akan mengeriting
dan mengerut, tetapi bila keadaan udara tetap basah, maka daun akan membusuk dan
sering mengeluarkan bau yang tidak enak. Bila udara panas dan kelembaban tinggi,
perkembangan penyakit sangat cepat. Seluruh daun akan menghitam, layu, dan menjalar ke
seluruh batang. Dalam keadaan lembab, pada sisi bagian bawah daun akan kelihatan
cendawan kelabu, yang terdiri atas conidiophore dengan konidianya, tetapi bila udara
kering dan ada sinar surya, tidak ada cendawan atau kalau ada hanya sedikit.
Umbi dapat terserang juga menjadi busuk basah atau busuk kering. Pada
permukaan umbi terdapat bercak yang sedikit cekung sedalam tiga hingga enam mm,
warnanya coklat atau hitam keunguan dan bagian yang terserang relatif keras.
Pengendaliannya adalah sebagai berikut. (1) hanya umbi sehat yang dijadikan bibit;
(2) umbi disimpan pada suhu rendah, empat hingga lima oC. Pada suhu ini, pembusukan
dapat dihambat. Pada suhu dan kelembaban tinggi, penyebaran cendawan sangat cepat; (3)
disemprot dengan obat yang mengandung tembaga, misalnya bubur Bordeaux 1,5 persen
atau COC 0,8 persen. Apabila serangannya hanya ringan, cukup dilakukan tiga kali
penyemprotan. Dalam keadaan lebih berat, penyemprotan dapat dilakukan sampai enam
kali. Akumulasi tembaga yang jatuh ke tanah juga dapat mengurangi infeksi pada umbi;
(4) pergiliran tanaman.

c. Penyakit blendok, busuk coklat atau busuk akar

Penyebabnya adalah cendawan Phytophthora parasitica Dastur dan P. citrophthora


(Sm. Et S.) Leonian. Banyak menyerang jeruk besar, jeruk grape fruit, jeruk keprok, jeruk
nipis, dan jeruk lainnya. Tanaman yang sakit biasanya mengalami klorosis. Pada pangkal
batang kelihatan bercak kebasahan. Jaringan tanaman berubah warnanya. Kulit yang busuk
mengeriput dan retak. Belendok keluar dari bagian kulit yang retak. Biasanya bagian dalam
kulit timbul kalus, sehingga penyakit tidak dapat menyebar, tetapi biasanya terjadi
serangan lagi, sehingga lukanya menjadi bertambah besar. Apabila serangannya melingkar
di pangkal batang, tanaman dapat mati. Pada waktu tanaman belum mati, jumlah daun
yang hanya sedikit dan kecil, ranting, dan cabang akan mati. Buahnya juga berukuran
kecil. Kematian tanaman kadang-kadang tidak teratur, di satu sisi sudah mati, tetapi di sisi
yang lain masih hidup. Pohon yang hampir mati biasanya lalu berbunga banyak, tetapi
tidak menjadi buah, ataupun kalau menjadi buah, buahnya kecil dan akhirnya mati juga.
Cendawan parasit tersebut dapat hidup lama dalam tanah, karena dapat hidup
secara saprofit dalam waktu lama. Selain itu, juga dapat membentuk sporangia dan spora.
Bila suhu udara dingin, air tanah berlebihan, dan pH 5,0 hingga 6,8, cendawan tersebut
akan menyerang tanaman melewati luka. Miselium tersebar di antara sel dalam kulit.
Kerusakan kulit dan jaringan xylem (kayu) akan menahan aliran air dalam tubuh tanaman,
sehingga tanaman akan layu dan akhirnya mati. Bila suhu udara berkabut hingga
perbedaan suhu siang dan malam hanya kecil, penguapan air tanah akan terhambat dan
infeksi akan cepat terjadi.
Cara pengendaliannya adalah: (1) lahan diberi drainase yang baik, (2) tanaman
ditanam di atas tanah yang telah ditinggikan, (3) bagian tanaman yang sakit dipotong dan
dibakar, (4) bagian yang sakit dibersihkan dengan sikat, lalu diolesi fungisida, (5) pada
waktu musim hujan, pohon diolesi larutan kapur dicampur dengan bubur Bordeaux.
Phytophthora parasitica Dastur selain menyerang jeruk juga menyerang tanaman
nenas, sehingga menyebabkan busuk hati, busuk ujung, dan busuk akar. Tanaman lada
akan mengalami busuk akar, kanker melingkar, dan busuk pucuk. Pohon kina akan
mengalami busuk akar, busuk batang, busuk ujung, dan kanker melingkar. Tanaman
tembakau yang diserang P. parasitica var. nicotianae (Breda de Haan) Tucker akan
menderita bercak pada daun dan akarnya melingkar berwarna hijau tua yang kemudian
berubah menjadi coklat.

d. Tepung palsu daun anggur

Disebabkan oleh cendawan Plasmopara viticola (B. and C.) Berl. and DeT).
Penyakit ini di Jawa sudah dikenal sejak lebih kurang tahun 1905. Terdapat di daerah
panas dan kering, seperti di sebagian Amerika Selatan, Timur Tengah, Aljazair, dan daerah
Barat Daya Amerika Serikat.
Penyakit tersebut menyerang daun, tangkai daun, sulur, bunga, buah, tunas, dan
batang anggur. Daun yang diserang mula-mula pada permukaan sisi atas ada bercak kuning
pucat dengan ukuran berbeda-beda dan dikelilingi jaringan daun yang hijau, tetapi
batasannya tidak jelas. Mula-mula bercak tersebut transparan, sehingga disebut “bercak
minyak”. Apabila udara cukup lembab, pada permukaan sisi bawah tiap bercak terdapat
bercak putih susu dari bulu halus yang merupakan conidiophora dan spora. Karena itulah,
maka penyakit tersebut disebut cendawan tepung palsu atau cendawan bulu halus. Bercak
yang tua akan mejadi coklat karena matinya jaringan daun di kedua belah permukaan. Bila
udara kering, pertumbuhan sisi bawah daun terhenti atau terhambat. Bercak daun lama-
kelamaan melebar dan akan bertemu satu dengan yang lain, sehingga akan menutup
seluruh permukaan daun. Tunas yang masih muda, pertama-tama kelihatan ada bercak
berair, kemudian warnanya menjadi hijau kekuningan dan akhirnya berwarna coklat.
Apabila serangan menghebat, tunas menjadi kerdil, memilin, dan selanjutnya daun menjadi
kecil atau mati. Bunga yang terserang juga dapat mati. Buah yang masih muda,
pertumbuhannya terhambat dan besarnya berkurang. Pada permukaan buah kelihatan ada
cendawan yang warnanya abu-abu. Buah menjadi hitam dan akhirnya kering berkeriput.
Pengendaliannya: (1) tanamlah varietas yang resisten, (2) penanaman jangan terlalu
rapat, para-para jangan terlalu rendah, drainase harus baik, diusahakan udara tidak terlalu
lembab, (3) bagian tanaman yang terserang dipotong, (4) disemprot dengan bubur
Bordeaux atau pestisida lain yang mengandung tembaga.

e. Cendawan bulu halus (cendawan tepung palsu) pada bawang merah

Penyebabnya adalah Peronospora destructor (Berk.) Casp. Bila banyak embun dan
udara berkabut atau banyak hujan, penyakit ini berkembang biak dan menyebar dengan
cepat. Bila hujan masih ada dalam musim kemarau, akan banyak merugikan petani bawang
merah.
Biasanya kelihatan bulu halus berwarna ungu yang menutupi daun bagian luar dan
batang. Gejala tersebut terlihat jelas bila daun basah terkena embun. Satu atau dua hari
kemudian, bagian daun yang terserang berubah menjadi hijau pucat, kemudian kuning, dan
akhirnya roboh. Bila sebagian besar permukaan daun rusak, hasil berkurang, umbi tidak
masak dengan baik, dan tidak dapat disimpan lama. Umbi yang telah terkena infeksi bila
dijadikan bibit akan menjadi sumber penyakit. Umbi yang terserang infeksi, bila disimpan
akan menjadi lunak dan mengkerut, lapisan umbi sebelah luar menjadi terpisah, berwarna
kecoklatan, mengkerut, dan berair. Di bawah kulit kelihatan masih sehat, tetapi sebenarnya
telah terserang penyakit. Tanaman yang berasal dari umbi yang telah terkena infeksi,
daunnya berwarna hijau pucat dan sebaiknya dicabut dan dibakar.
Cara pengendaliannya: (1) tanamlah bawang merah di lahan yang mudah kering
dan tidak tergenang air. Jangan menanam di daerah yang banyak hujan, embun, dan
berkabut. Barisan tanaman disesuaikan dengan kebiasaan arah bertiupnya angin, (2)
tanamlah umbi yang sehat, tak terkena infeksi. Apabila terpaksa menggunakan bibit yang
telah terkena infeksi, diadakan pemanasan kering selama empat jam dalam suhu 41oC
untuk mematikan bibit cendawan, (3) apabila di kebun banyak serangan penyakit pada
daunnya, potonglah dengan segera daun tersebut, dan segera dibakar agar jangan menular.
Adapun tanaman yang masih kelihatan sehat, segera disemprot dengan fungisida seperti
dua persen Zineb (zinc-ethylene bisdithio carbamate) atau Dithane z-79, 20 hingga 30
gram per 10 liter air, ditambah bahan perata seperti sandovit atau tepol dua hingga tiga cc
per 10 liter air, (4) untuk pencegahan, setiap tujuh hingga 10 hari sekali disemprot dengan
Zineb.

f. Semai roboh

Penyebabnya adalah Phytium debaryanum Hesse. Semai atau tanaman yang baru
saja tumbuh di pesemaian roboh, lalu busuk, dan mati. Hipocotyl (bagian batang yang
letaknya di bawah keping) yang semula sehat dan kelihatan segar jernih, bersih, bila
terserang infeksi dari tanah warnanya berubah menjadi pucat, karena kerusakan klorofil.
Jaringan tanaman yang terserang menjadi putih kotor, mengkerut atau mengecil di atas
garis tanah, sehingga batangnya tidak dapat menahan beratnya keping dan batang atas.
Akhirnya, semai akan roboh. Bila serangannya hebat, semai akan mati sebelum muncul di
atas permukaan tanah.
Timbulnya penyakit semai roboh akan lebih cepat terjadi bila suhu dan kelembaban
udara cukup tinggi. Kerugian karena penyakit tersebut cukup besar. Pythium debaryanum
juga menyebabkan penyakit busuk lunak air pada umbi kentang. Cendawan tersebut juga
menyerang kubis yang telah dewasa, bagian teras (pith) kepala kubis menjadi lunak dan
berair. Dari sini, penyakit menyebar ke bagian dasar daun, yang nampak basah seperti
tercelup air. Dari luar, kepala kelihatan keras, tetapi bagian dalamnya telah menjadi lunak.
Spesies dari genus Pythium hampir terdapat di segala penjuru dunia dan menyerang
bermacam-macam tanaman. Cendawan yang juga menyebabkan penyakit semai roboh
adalah: Aphanomyces, Rhizoctoni, Phoma, Gloeosporium, Colletotrichum, Volutella,
Pythium yang lainnya selain Pythium debaryanum, Sclerotinia, dan lain-lain. Kadang juga
ada nematode parasit yang sering menyebabkan semai roboh dan sulit dibedakan dengan
semai roboh yang disebabkan oleh cendawan.
Pengendaliannya adalah: (1) siramlah dengan air bersih, misalnya air sumur yang
belum tercemar penyakit, (2) pemberian air jangan terlalu banyak, sesudah mulai kering
baru disiram, (3) pesemaian selalu dibuka pada waktu pagi dan sore hari, untuk
mengurangi kelembaban, (4) pada permukaan tanah pesemaian, ditabur selapis tipis pasir
bersih yang bebas penyakit, (5) menyemai dengan pasir murni yang telah dicuci bersih
dengan air panas kurang lebih 71 hingga 72oC. Dalam media semai ini dilarutkan cairan
zat hara, (6) dikecambahkan dengan lumut sphagnum, setelah berkecambah baru
dipindahkan ke pesemaian, (7) sterilisasi tanah, dengan menggunakan air panas untuk
merendam tanah pesemaian dengan suhu 98 hingga 100oC, atau dengan uap panas, atau
tanah dipanasi dengan oven. Dapat juga dengan menggunakan bahan kimia, misalnya
dengan formaldehyde cair, formaldehyde tepung dicampur dengan tanah, tepung tembaga
oksida merah dicampur dengan biji, atau menyiram tanah sesudah menyemai dengan
larutan tembaga karbonat.

g. Penyakit bulai jagung

Penyebabnya adalah Sclerospora maydis (Rac.) Butler. Sering disebut juga


penyakit putih, atau penyakit liyer. Banyak juga terdapat di luar negeri, seperti di Filipina,
yang penyebabnya spesies yang lain, yaitu Scleropora philippinensis Weston.
Daun yang terserang infeksi menjadi bergaris-garis putih sampai kekuningan. Pada
tingkatan akhir, warna daun menjadi kecoklatan dan kering. Pertumbuhan lalu terhambat.
Bila yang terserang tanaman jagung yang baru saja tumbuh, biasanya daun menjadi putih
dan akhirnya mati. Kalau umur tanaman sudah beberapa minggu, daun akan menguning
dan yang baru muncul akan menjadi kaku dan runcing. Tanaman tersebut dapat mati atau
kerdil dan tidak dapat berbuah. Sisi bagian bawah kelihatan ada tepung putih yang berasal
dari sisa conidia dan conidiophore. Bila umur tanaman sudah kira-kira satu bulan,
walaupun sudah diserang cendawan bule, masih tetap dapat tumbuh dan berbuah. Hanya
tongkolnya tidak dapat besar, kelobot tidak dapat membungkus secara penuh pada tongkol.
Ujung tongkol masih kelihatan, kadang bijinya tidak penuh, ompong. Serangan pada
tanaman jagung yang telah berbuah, biasanya tidak begitu berpengaruh. Hanya beberapa
daun saja yang kelihatan berubah warna dengan garis klorose kecoklatan dan biasanya
tidak terdapat conidia dan conidiophore.
Benang cendawan tersebut berkembang di dalam jaringan di antara sel daun dan
merusak klorofil. Benang miselium bercabang ke luar melewati mulut daun, membentuk
conidiophore. Kalau diperhatikan, pada permukaan daun tampak seperti ada pohon kecil
yang banyak. Bersama-sama mereka membentuk lapisan bulu tipis berwarna keputihan.
Bila kelembaban dan suhu tinggi (sampai 27oC), conidiophore akan menghasilkan conidia
yang berbentuk bola kecil yang dapat tersebar ke mana-mana karena hembusan angin.
Kemudian akan melekat pada mulut daun. Bila keadaan cocok, conidia akan berkecambah
dan berkembang. Waktu inkubasi lebih kurang 10 hari. Penyakit tersebut pada umumnya
banyak terdapat di daratan rendah pada waktu udara lembab dan panas. Bila udara dingin
dan kering, serangan akan terhenti.
Pengendaliannya adalah: (1) bila musim hujan datang, udara lembab dan serangan
bulai banyak, tanaman yang terkena penyakit segera dicabut, kemudian disemprot dengan
fungisida tembaga, (2) jangan menanam jagung pada waktu musim hujan, (3) dilakukan
penyemprotan pencegahan dengan fungisida tembaga, dapat juga disemprot dengan
insektisida untuk mencegah penularan oleh serangga, (4) menanam jenis jagung yang
resisten, (5) dilakukan rotasi tanaman.

3.2.2.2. Penyakit yang disebabkan Ascomycetes

Cendawan Ascomycetes hifanya bersekat dan membentuk spora (ascospora)


berjumlah delapan, kadang dua atau sampai 16, dalam satu sel khusus yang disebut ascus.
Bentuk ascus seperti gada. Cendawan Ascomycetes yang paling sederhana adalah ragi
(yeast) atau Endomycetales. Cendawan ini hanya berbentuk bulat atau oval dan biasanya
berkembang biak dengan membentuk tunas.

a. Embun tepung apel

Disebabkan oleh cendawan Podosphaera leucotricha (E. and E.) Salm. Cendawan
ini menyerang tanaman apel. Tanaman yang terserang daunnya seperti bertepung berwarna
putih. Bagian yang diserang terutama tunas muda.
Cendawan ini hidupnya di luar atau di atas permukaan inang. Dengan alat
pengisapnya, haustorianya dapat menembus cuticula dan masuk ke dalam sel yang berada
di bawahnya untuk menghisap zat makanan. Di atas permukaan daun ada bercak seperti
kain laken (beludru) putih atau abu-abu. Bercak tersebut cepat sekali meluas, sehingga
menutupi seluruh daun dengan lapisan seperti tepung. Apabila serangannya menghebat,
daun akan mati, menjadi keras dan rapuh, atau mengecil, menyempit dan melipat
memanjang. Ranting yang terserang menjadi mati, kerdil, atau hanya mati di ujungnya.
Bunga yang terserang menjadi keriput, tidak dapat menjadi buah dan rontok. Buah yang
masih muda, dapat pula diserang dan menjadi kerdil serta mengisut. Buah yang telah
masak atau tua juga dapat diserang dan warnanya menjadi kuning kemerahan (pirang) atau
retak.
Cendawan ini dapat menghasilkan dua macam spora, yaitu conidia dan ascospora.
Hifa yang mula-mula berkembang secara menjalar akan bercabang dan berdiri serta
membentuk conidiophore dengan conidia di atasnya. Kalau hifa ini patah, conidia dapat
terbawa angin dan jatuh di tempat baru. Kalau conidia ini jatuh di antara hifa akan
kelihatan seperti ada tepung banyak sekali berwarna putih atau abu-abu yang menempel
pada daun. Spora ini dapat berkecambah dan membentuk hifa baru. Suhu optimum
perkecambahan conidia antara 19 hingga 25oC. Masa inkubasinya lebih kurang lima
hingga 10 hari. Umumnya yang diserang daun muda yang segar. Daun tua biasanya tidak
diserang, karena haustoriumnya tidak dapat menembus cuticula yang sedikit tua.
Pada pertengahan musim panas, miselium diranting yang sakit dapat berubah warna
dari tidak berwarna atau hyaline menjadi coklat. Lewat proses seksual, dapat dihasilkan
buah spora perithecia, yang kecil berwarna coklat tua, bulat, garis tengahnya 75 hingga 90
mikron. Dalam perithecia ini terdapat ascospora yang bila telah masak akan pecah
berhamburan ke luar. Karena terbawa angin, ascospora ini akan tersebar ke mana-mana
dan mencapai inang baru.
Pengendaliannya dengan cara: (1) bagian yang telah diserang cendawan lebih baik
dipotong dan dibakar, (2) pupuklah tanaman sehingga semua unsur hara terpenuhi, (3)
semprotlah tanaman dengan fungisida yang mengandung belerang, misalnya bubur
Kalifornia atau dihembus dengan tepung belerang.

b. Embun tepung mangga

Penyebabnya adalah cendawan Erysiphe cichoracearum De Cand. Cendawan ini


merupakan salah satu penyakit yang penting pada tanaman mangga dan dapat mengurangi
hasil lima hingga 20 persen. Cendawan ini juga menyerang semangka, tanaman yang
termasuk keluarga Cucurbitaceae, dan tembakau. Bunga yang terserang akan kelihatan
diselimuti tepung halus berwarna putih. Mula-mula kelihatan pada kuntum bunga bagian
atas, kemudian secara berangsur turun ke bawah melalui tangkai bunga.
Dalam fase conidia, fase vegetatif (fase imperfect), disebut Oidium mangiferae,
sedang dalam fase ascus, fase generatif (fase perfect), disebut Erysiphe cichoracearum DC.
Cendawan ini termasuk Ascomycetes. Conidia yang terbawa angin dapat melekat pada
kuncup bunga yang berbulu, kemudian berkembang menjadi penyakit dan menghasilkan
spora dalam waktu lima hari, terhitung sejak terjadinya infeksi. Penyakit ini mengganas
pada waktu udara panas dan tidak ada hujan. Bunga yang terserang akan gagal membuka
dan gugur sebelum penyerbukan. Buah yang terserang tetap kecil dan rontok sebelum
mencapai maksimum, atau mencapai optimum. Buah dapat masak sebelum waktunya,
tidak manis, dan buruk penampilannya. Tunas yang terserang juga gagal membentuk daun
dan akhirnya gugur.
Pengendaliannya dengan cara: (1) bagian yang sakit segera dipotong dan dibakar.
Sehabis memegang tanaman yang sakit, jangan langsung memegang tanaman lain yang
sehat, (2) disemprot bubur Kalifornia atau dihembus tepung belerang.

c. Embun tepung kapri

Disebabkan oleh cendawan Erysiphe polygoni DC. Penyakit ini menyerang waktu
udara panas. Membentuk miselium tebal menutup daun, batang, bunga, dan buah.
Warnanya putih keabuan pada semua bagian tanaman. Tanaman menjadi gagal berbuah.
Daur hidup cendawan ini seperti embun tepung apel. Pengendalian lihat pada embun
tepung apel. Usahakan menanam sebelum tiba musim panas yang panjang atau tanamlah
varietas kapri yang berumur pendek.

d. Embun tepung padian dan rumputan

Penyebabnya adalah cendawan Erysiphe graminis DC. Cendawan ini menyerang


keluarga Graminae. Mula-mula berwarna putih pada waktu masih muda, kemudian karena
produksi conidia melimpah, maka terbentuk tepung berwarna keabuan atau merah
kekuningan dan berhamburan tertiup angin, terutama pada waktu hari panas. Bila serangan
menghebat, seluruh tanaman dapat tertutup cendawan. Daun mengeriput dan kering, tidak
dapat berasimilasi dan bertranspirasi, akhirnya tanaman menjadi kerdil.
Pengendaliannya adalah dengan cara menghindari menanam terlalu rapat.
Tanamlah varietas padi yang resisten. Semprotlah dengan fungisida yang mengandung
belerang.

e. Cendawan hijau atau kuning mas pada tanaman padi

Penyebabnya adalah cendawan Ustilaginoidea virens (Cke.) Takahshi. Cendawan


ini menyerang tanaman padi dan juga jagung. Disebut juga cendawan bercak hitam palsu.
Serangannya tidak begitu merugikan.
Cendawan ini mula-mula berkembang dalam kulit luar dan menghisap endosperm
padi, kemudian membentuk sclerotium yang cukup besar sampai keluar dari sekam dan
berwarna kuning emas atau kadang hijau. Pada umumnya, dalam satu malai hanya ada
beberapa biji (gabah) yang terserang. Lebar sclerotia lima mm dan panjangnya sembilan
mm. Conidianya bulat berduri dengan diameter empat hingga enam mikron.
Pengendaliannya adalah sebagai berikut. Karena serangannya tidak begitu hebat,
maka cukup bila kelihatan ada butir padi berwarna kuning emas segera dipotong agar
jangan menular ke lain tempat. Cendawan ini banyak menyerang pada musim hujan.

f. Cendawan jelaga

Penyebabnya ada tiga macam, yaitu: Meliola mangiferae Earle pada tanaman
mangga, Meliola penzigi Sacc pada tanaman jeruk manis, dan Meliola ipmoeae Earle pada
tanaman ubi jalar. Cendawan ini menyerang tanaman yang ditempeli embun madu (cairan
manis) dari serangga.
Serangga yang dapat mengeluarkan cairan manis antara lain kutu dompolan putih,
kutu dompolan hijau, wereng mangga, dan aphis. Makin banyak serangganya, makin
banyak cendawan jelaga yang datang.
Miselium cendawan ini hanya terdapat di permukaan daun dan tidak masuk ke
dalam jaringan. Cendawan ini hanya makan embun madu yang melekat pada daun untuk
pertumbuhannya. Selaput hitam tipis pada permukaan daun itu terbentuk dari hifa yang
saling menjalin dan menenun. Apabila udara kering, selaput tersebut lepas dari daun dan
pecah menjadi bagian kecil yang terhembus angin dan beterbangan ke mana-mana.
Berkembang biak pada waktu musim kemarau, sedangkan pada musim hujan kurang
begitu ganas karena embun madunya tidak begitu banyak.
Jamur jelaga sebenarnya tidak merugikan tanaman mangga, karena tidak
menghisap atau makan jaringan daun. Cendawan ini hanya hidup sebagai saprofit dan
makan cairan manis, tetapi karena menutup permukaan daun, maka menghalangi asimilasi
C, sehingga pembetukan zat gula atau karbohidrat terhambat. Akibatnya, kesuburan
tanaman berkurang dan produksi buah terganggu. Bunga atau buah yang masih kecil
rontok kalau dihinggapi cendawan ini. Bila yang dilekati buah yang telah tua, akan
mengurangi kualitasnya.
Pengendaliannya: (1) serangga penghasil embun madu disemprot dengan
insektisida agar mati. Jangan disemprot dengan fungisida, sebab fungisida hanya
mematikan cendawan, sementara itu serangga penghasil embun madu tetap hidup. Selama
hama belum lenyap, cendawan jelaga tetap akan ada, (2) bila hama pembuat embun madu
telah lenyap, barulah dihembus dengan tepung belerang, agar cendawan jelaga segera
hilang dari permukaan daun, (3) buah mangga, jeruk, dan lain-lain yang sudah masak,
tetapi warnanya hitam karena cendawan jelaga, dapat dicelup dalam larutan 30 g calcium
chloride dan 30 g asam boraks dalam satu liter air selama dua menit. Selanjutnya, dibilas
air bersih. Larutan sabun dapat juga membersihkan jamur jelaga.

g. Penyakit roboh selada

Penyebabnya adalah cendawan Sclerotinia sclerotiorum (Lib) Sacc et Trott dan


Sclerotinia minor Jagger. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian besar. Tanaman lain
yang diserang adalah tembakau, bunga matahari, dan tanaman lain yang batangnya lunak.
Daun tanaman yang terserang terkulai atau rontok, berbercak, berlendir, warnanya
coklat atau hijau pucat. Bercak kecoklatan lunak juga terdapat pada batang dan makin ke
atas makin besar. Batang menjadi lunak dan busuk, akhirnya tanaman roboh.
Badan cendawan (badan buah) dibentuk dalam bercak cekung yang tertutup
miselium putih atau di tengah batang (teras batang). Badan cendawan kecil, bulat berwarna
hitam, dapat masuk ke dalam tanah bersama-sama dengan batang yang busuk, dan
menghasilkan apothecia kecil yang masih dapat dilihat mata. Ascospora yang terbentuk
dalam badan cendawan dapat menginfeksi bagian tanaman lain. Miselium putih dapat
berkembang melimpah dalam jaringan pengangkutan air, sehingga dapat menyumbat aliran
air, dan menjadikan tanaman layu.
Pengendaliannya dengan cara: (1) tanaman yang sakit dicabuti dan dibakar, (2)
rotasi tanaman dilakukan selama tiga tahun, karena sclerotia dapat hidup dalam tanah
selama beberapa tahun. Tanaman yang tahan terhadap penyakit ini antara lain: jagung,
padian, bawang merah, dan bit, (3) tanah digemburkan agar permukaannya menjadi kering,
(4) disemprot dengan pestisida yang mengandung tembaga.

3.2.2.3. a. Penyakit yang disebabkan Basidiomycetes, Cendawan hitam, Ustilaginales

Cendawan ini biasanya membentuk masa spora berwarna hitam dalam basidia yang
berbentuk seperti gada. Masing-masing basidia mempunyai dua hingga empat spora yang
bertangkai pendek. Cendawan hitam (smut fungi) ini menyerang tanaman padian. Karena
yang diserang butir dan rangkaian seluruh bunga, warna padi menjadi hitam, sehingga
kualitasnya turun dan hasilnya berkurang pula.

a. Penyakit cendawan hitam pada jagung

Penyebabnya adalah cendawan Ustilago maydis (DC) CDA, sinonimnya: Ustilago


zeae (Beck) Ung. Penyakit ini menyerang tanaman jagung, terutama pada tongkolnya.
Hingga saat ini tidak begitu mendatangkan kerugian di Indonesia, tetapi di Amerika
Serikat, penyakit ini sangat menurunkan produksi.
Tongkol yang diserang kelihatan membengkak, ada yang kecil dan ada yang besar.
Mula-mula cendawan ini berwarna keputihan sebab masih tertutup membrane. Kemudian
berubah menjadi lebih tua, ungu muda, dan akhirnya menjadi hitam. Cendawan yang
seperti ini dapat menyerang tongkol, daun, kuncup buku pada batang, pada rangkaian
bunga jantan, dan bagian lain. Bila pembengkakan telah masak, membrane yang tertutup
menjadi kering dan pecah, kemudian keluarlah spora berbentuk tepung kering yang
warnanya hitam dan berhamburan bila terhembus angina.
Bila keadaan cocok, spora dapat segera berkecambah. Daya hidup spora sering
sampai bertahun-tahun. Suhu optimum untuk perkecambahan terletak antara 20 – 34oC,
menurut keadaan daerah atau strain. Suhu maksimum antara 36-38oC, sedangkan suhu
minimum 8oC. Spora cendawan ada yang masih tetap hidup walaupun telah termakan kuda
atau sapi dan telah melewati alat pencernakan. Spora akan segera berkecambah dalam
tumpukan kompos dan sporidianya akan melanjutkan tumbuh bila suhu memungkinkan.
Bila spora masih hidup pada waktu kompos ditaburkan untuk pupuk, maka akan menyebar.
Di lapangan, biasanya infeksi terjadi bila tanaman jagung telah setinggi 30 cm – 1,5 m dan
tongkolnya baru keluar rumbainya.
Pengendaliannya: (1) tanaman jagung yang terlalu subur mengakibatkan
kelembaban tinggi. Biasanya tanaman seperti itu mudah terserang penyakit ini. Oleh
karenanya, jangan menanam dengan jarak tanam terlalu rapat dan jangan menggunakan
kompos atau pupuk kandang yang mengandung bibit penyakit, (2) tanaman yang sakit
dibakar, jangan diberikan ternak atau untuk kompos, (3) menanam varietas yang resisten,
(4) bijididisinfeksi, misalnya dengan larutan sublimate, (5) dilakukan rotasi tanaman atau
jangan terus-menerus menanam jagung di suatu tempat.

3.2.2.3.b. Penyakit yang disebabkan oleh Basidiomycetes, Cendawan karat, Uredinales

Disebut cendawan karat karena sporanya berwarna merah seperti besi yang
berkarat. Daun yang diserang warnanya menjadi merah karat. Cendawan ini obligat parasit
yang menyerang tanaman paku-pakuan dan tanaman biji (Gymnosperma dan
Angiosperma). Ciri-ciri penting cendawan ini: miseliumnya bersekat, bercabang,
intercellular, jarang sekali yang intracellular, mengandung titik-titik minyak yang berwarna
merah oranye atau kekuningan. Ada 5 macam bentuk daur hidup spora yang berbeda
(polymorphis). Perkecambahan teliospora membentuk promiselium, atau pembentukan
sporanya tidak tergantung dari tanaman inang. Menghasilkan bentuk spora yang berbeda
pada tanaman inang yang berbeda dan tidak ada hubungannya (heteroecius).

a. Penyakit karat daun kopi

Penyebabnya adalah cendawan Hemileia vastatrix B and Br. Penyakit ini


merupakan salah satu penyakit penting di Indonesia. Pada tahun 1885, perkembangan
perkebunan kopi di Indonesia terhambat karena serangan penyakit ini. Terutama
menyerang tanaman kopi “Jawa” (Coffea arabica L), sampai petani harus menggantinya
dengan kopi Liberica (C. liberica Bull). Mulanya, kopi liberica tahan karat daun, tetapi
akhirnya terkena serangan juga. Kemudian ditanam kopi robusta (C. robusta) yang resisten
terhadap karat daun. Hanya sayangnya, kualitas kopinya kalah dengan C. arabica.
Cendawan ini menimbulkan bercak-bercak di sisi bawah daun. Mulanya berwarna
kuning muda, kemudian menjadi kuning oranye. Bercak ini besarnya berubah-ubah dan
tertutup dengan tepung yang warnanya oranye (uredospora). Bercak ini dapat menutupi
seluruh permukaan daun dan bila dilihat dari sisi atas tampak seperti “bercak minyak”.
Akhirnya daun gugur sebelum waktunya. Seluruh pohon dapat habis daunnya, rantingnya,
dan cabangnya kering dan akhirnya pohon mati. Penyakit ini dapat menyerang mulai dari
semai sampai pohon kopi yang telah tua.
Cendawan karat masih dapat hidup di waktu musim kering pada bagian tanaman
yang terserang. Pada waktu mulai musim hujan, serangan akan bertambah dan terus
tersebar selama musim hujan. Daun yang terkena infeksi terus bertambah, walaupun
musim hujan telah berhenti. Uredospora tersebar dengan cara terhembus angina, percikan
air, aliran air, serangga, dan ikut bersama-sama dengan pengangkutan bibit sambungan
atau semai ke lain daerah yang belum terjangkiti penyakit. Daya hidup spora antara 7-28
hari, tergantung keadaan skelilingnya. Infeksi melalui mulut daun akan terjadi bila keadaan
basah selama 3,5 – 12 jam. Suhu optimum 21-25oC. Daun yang muda lebih mudah
terserang daripada daun yang telah tua.
Pengendaliannya: (1) penyakit ini dicegah dengan menanam jenis kopi yang
resisten, misalnya “Hybride de Timor”, S 288, S 333, dan S 795, (2) disemprot dengan
fungisida tembaga, 3 minggu sebelum hujan, kemudian disemprot lagi setiap 3-4 minggu
sekali, selama musim hujan. Obat lainnya seperti Fentinhydroxida, Maneb, Dithianon, dan
Pyracarbolid juga dapat digunakan, (3) diusahakan pohon tetap dalam keadaan baik,
pemupukan cukup, tetapi buah diusahakan jangan terlalu banyak. Kalau buah terlalu
banyak, dapat dilakukan penjarangan, (4) pohon diberi pelindung yang cukup,
pemangkasan pada waktu permulaan musim kemarau jangan terlalu banyak, walaupun
akan mengakibatkan buah tidak banyak, tetapi tanaman dapat tetap tahan penyakit, (5)
menanam jenis Arabica di daerah yang cukup tinggi karena di kawasan ini serangan
penyakit akan berkurang, (6) tanaman yang telah sakit berat lebih baik dibongkar dan
dibakar.

3.2.2.3. c. Penyakit yang disebabkan oleh Basidiomycetes; Cendawan Palisade


Bentuk cendawan ini seperti payung, daun telinga, sarang burung, dan bola,
sehingga sering disebut jamur paying, jamur kuping, jamur tanduk, jamur karang, jamur
merang, dan lain-lain. Bentuk seperti paying, daun telinga, dan lain-lain itu sebenarnya
merupakan badan buahnya.

a. Busuk akar armillaria

Penyebabnya adalah cendawan Armillaria mellea (Fr) Quel. Penyakit busuk akar
pernah menyerang areal jeruk di daerah Malang Utara sampai ribuan pohon. Banyak petani
jeruk yang menderita kerugian. Selain jeruk, juga diserang tanaman alpokat, coklat, kopi,
karet, mangga, kina, the, kelapa, lada, singkong, pisang, dan lain-lain.
Daunnya kelihatan menguning atau kadang-kadang berbecak merah
tembaga,kemudian layu dan rontok. Rontoknya daun terjadi sedikit demi sedikit, tetapi
dapat juga secara tiba-tiba. Kadang-kadang didahului dengan terbentuknya bunga yang
tidak akan menjadi buah, tetapi rontok. Gejalanya sering menyerupai penyakit akar yang
lain, misalnya Rigidoporus lignosus (Klotzsch) Imazeki pada tanaman karet, the, papaya,
coklat, dan kelapa. Cendawan Armillaria ini terutama menyerang akar yang terletak di
dekat permukaan tanah atau leher akar. Kulit akar akan membusuk dan mengeluarkan bau
tidak enak dan berwarna hitam kebiruan.
A. mellea biasanya berkembang biak secara vegetatif. Cendawan ini dapat hidup
saprofit dalam tanah. Bila terjadi kontak dengan ujung akar yang sehat, dapat masuk ke
dalam jaringan akar dan menjalar dengan cepat ke leher akar serta menyebar ke akar sehat
Rhozomorphs yang garis tengahnya 1-2 mm dapat menjalar bebas dalam tanah sehingga
mudah menyebar ke tanaman yang masih sehat.
Pengendaliannya: (1) tanaman yang sakit berat dicabut dan dibakar, sedangkan
bekas tanaman dibuat lubang terbuka, akar diambili dan dibakar. Kalau perlu, lubang bekas
cabutan juga ikut dibakar. Di bekas tanaman sakit jangan ditanami dulu, (2) tanah tempat
tanaman yang belum sakit berat dibuka. Akar yang sakit dipotong. Bekas luka diberi
fungisida. Tanah bekas galian ditaburi belerang, (3) dilakukan penjarangan tanaman dan
dicegah kemungkinan terjadinya kontak antara tanaman sakit dan yang masih sehat, (4)
kalau kelihatan ada Rhizomorph dan Sporophora diambil dan dibakar.

b. Jamur upas

Penyebabnya adalah Corticium salmonicolor B et Br, sinonimnya: Pellicularia


salmonicolor B et Br. Jamur upas sering disebut pula penyakit merah jambu atau penyakit
merah muda. Cendawan ini sering menyerang jeruk, karet, nangka, mangga, melinjo, kopi,
coklat, the, lengkeng, dan lainnya. Serangan cendawan ini terutama banyak terjadi pada
musim hujan dan udara lembab. Dapat juga akibat kekurangan sinar surya atau tanaman
rimbun
Gejalanya: pada ranting cabang atau batang tampak miselium seperti laba-laba atau
sutera yang mengkilap yang kemudian warnanya berubah menjadi merah jambu. Tanaman
yang terserang daunnya layu dan berubah warna menjadi coklat lalu rontok, dan akhirnya
mati.
Spora cendawan ini menyebar karena terhembus angina. Pada waktu udara kering,
cendawan berada dalam keadaan dormansi. Begitu hujan, dan udara lembab, spora segera
berkecambah.
Pengendaliannya: (1) Bila tingkat infeksi masih ringan, tempat serangan cendawan
digosok atau digaruk sampai hilang. Jangan sampai kotoran bekas cendawan mengenai
bagian yang masih sehat. Bekas luka yang digosok, diolesi ter carbolineum, meni atau cat.
Untuk menghindari terkena serangan lagi, semprotlah dengan fungisida tembaga berkadar
tinggi, kira-kira 3 minggu sekali, (2) bila serangan cendawan demikian hebat, yaitu sudah
mencapai tingkatan 2, 3, dan 4, lebih baik tanaman dipotong. Pemotongan dilakukan di
bagian yang masih sehat, jauh dari batas bagian yang sakit dan sehat agar spora tidak
berhamburan. Sebelum dilakukan pemotongan, bagian yang kena penyakit lebih baik
dioles lebih dahulu dengan fungisida seperti bubur Bordeaux, meni, cat, atau dengan
carbolineum. Kemudian bekas potongan juga dioles dengan fungisida. Cabang tanaman
sakit yang telah dipotong harus segera dibakar, (3) tanaman yang bukan merupakan
tanaman pokok diperiksa, kemungkinan juga terserang jamur upas, sehingga harus segera
diobati atau dipotong, (4) bila keadaan terlalu lembab, harus dilakukan pemangkasan pada
tanaman pokok maupun pelindung.

3.2.2.4. Penyakit yang disebabkan Fungi Imperfekti (Cendawan yang tidak sempurna)

Hifa dari cendawan ini bersekat, tetapi tidak menghasilkan tingkatan seksual.
Cendawan ini terdiri atas banyak jenis dan menghasilkan sekurang-kurangnya 2 tipe spora
atau badan buah spora dalam perjalanan daur hidupnya, misalnya: cendawan tepung pada
fase perfect (fase generatif) menghasilkan Conidia dari tipe Oidium.

a. Penyakit bercak kering

Penyebabnya adalah Alternaria solani (E and M) Jones and Grout. Penyakit ini
disebut juga bercak daun, penyakit Alternaria, “early blight” untuk membedakannya
dengan “late blight” atau penyakit Irlandia, yang penyebabnya cendawan Phytophthora
infestans. Penyakit bercak kering ini telah menyebar ke seluruh daerah penanaman kentang
di dunia, seperti AS, Kanada, Indonesia, Austalia, Selandia Baru, dan lainnya. Selain itu,
juga menyerang tomat, terung, dan cabai.
Gejala serangannya adalah sebagai berikut. Pada daun kelihatan ada bercak-bercak
coklat tua sampai hampir hitam, bentuknya bulat dengan lingkaran-lingkaran yang
konsentris. Dalam keadaan tertentu, bercak-bercak itu tetap kecil dan bersudut serta tidak
memiliki lingkaran konsentris, dibatasi beberapa tulang daun yang lebih kecil. Bercak-
bercak ini bila membesar akan bergabung menjadi satu. Serangan biasanya dimulai dari
daun bawah, kemudian naik ke atas, kadang-kadang juga menyerang batang. Daun yang
diserang tepinya menjadi tidak rata, bergerigi atau pecah tidak teratur. Kadang-kadang
berlubang, karena bercak-bercak itu mongering lalu jatuh. Kadang-kadang daun
menggulung atau keriting. Apabila serangan menghebat, daun menguning dan kering, yang
masih berwarna hijau hanya ujung-ujung tunasnya saja. Karena daun banyak yang rontok,
maka umbi akan tetap kecil, kulitnya lunak dan kurang mengandung tepung. Penyakit ini
juga menyerang umbi. Pada umbi kelihatan ada bercak-bercak berwarna lebih tua daripada
kulit yang tidak terserang. Sedikit cekung, bulat atau tidak teratur. Jaringan di bawah
bercak kelihatan berwarna coklat kering dan bergabus, dalamnya lebih kurang 5 mm.
Spora banyak dibentuk pada waktu hujan dan embun. Conidia tersebar karena
angina, lebah, atau serangga yang memakan daun. Infeksi terjadi lewat kulit epidermis,
bercak-bercak akan kelihatan dalam waktu 2-3 hari, dan dalam 3-4 hari sudah terbentuk
spora. Pembentukan spora terjadi bila garis tengah bercak telah mencapai 3 mm. miselium
cendawan A. solani dalam daun yang kering masih dapat bertahan hidup selama 1-1,5
tahun. Konidianya masih dapat berkecambah 10 persen, meskipun telah disimpan selama
17 bulan, pada suhu kamar. Suhu minimum 26,1oC dan maksimum 34,5oC. Selain
kentang, cendawan ini juga menyerang buah tomat.
Pengendaliannya: (1) disemprot dengan bubur Bordeaux atau Calcium arsenat, (2)
dilakukan rotasi tanaman, (3) tanaman yang sakit dicabuti dan dibakar, (4) tanamlah jenis
yang resisten.

b. Anthracnose buncis

Penyebabnya adalah Colletotrichum lindemuthianum (Sacc and Magn) Bri and


Cav. Penyakit ini juga disebut kanker polong, bercak polong, karat polong. Penyakit ini
telah tersebar di seluruh dunia, dari Eropa, AS, Asia, Indonesia, dan lainnya.
Penyakit ini terutama menyerang polong buncis, selain biji, semai, daun, dan
bagian vegetatif lainnya. Polong buncis yang masih muda kelihatan berbecak-bercak kecil,
kemudian meluas sampai bergaris tengah 1 cm atau lebih. Bercak ini cekung dengan pusat
berwarna lebih tua. Bagian tepi berwarna coklat karat dengan batas kemerah-merahan.
Mula-mula hanya terdapat sedikit bercak, kemudian bertambah banyak. Bentuknya tidak
teratur, kemudian meluas sehingga bercak satu dengan lainnya akan bersinggungan. Bila
udara lembab akan terlihat masa spora yang lengket berwarna kemerahan di bagian yang
cekung. Bercak ini lama kelamaan akan menjadi seperti luka bernanah.
Kadang-kadang luka ini hanya terdapat pada dinding polong, tetapi kadang-kadang
dapat menerobos sampai ke biji. Biji yang terserang kelihatan berbecakcekung pada kulit
yang berwarna coklat. Bila biji dapat berkecambah, akan kelihatan bercak pada keeping
atau hypocotylnya. Akibatnya, semai dapat roboh. Serangan pada tanaman yang lebih tua
akan menimbulkan bercak-bercak berwarna hitam atau coklat tua di seluruh batang. Luka-
luka ini dapat meluas sampai sepanjang 7-10 cm. Tanaman muda yang terserang akan
roboh dan mati. Serangan cendawan ini juga dapat mencapai tangkai atau tulang daun,
sehingga daun yang terserang akan menjadi layu. Bila serangannya mencapai bunga, maka
bunga yang terserang akan rontok dan tidak menjadi polong.

3.3. Penyakit yang Disebabkan oleh Bakteri5

Penyakit bakteri pada tanaman, baru dikenali pada tahun 1878 – 1883 oleh Burril.
Ternyata banyak bakteri yang dapat menyebabkan sakit pada tanaman. Di antaranya pada
tanaman apel dan per. Sebelum tahun 1878, belum diketahui adanya penyakit bakteri pada
tanaman. Smith, pada tahun 1920, melaporkan bahwa terdapat banyak penyakit yang
disebabkan oleh bakteri pada bermacam-macam tanaman. Jumlahnya lebih dari 60

5
Sumber utama penulisan sub bab ini adalah Pracaya (2003), kecuali disebut secara khusus.
keluarga dan lebih dari 150 genus. Pada tahun 1930, Elliot melaporkan telah mencatat 177
jenis penyakit bakteri pada tanaman. Bergey pada tahun 1930 mengatakan bahwa penyakit
tanaman dibagi dalam dua genus, yaitu Erwinia dengan 12 jenis dan Phytomonas dengan
81 jenis, tetapi ternyata di kemudian hari lebih banyak lagi penyakit bakteri yang
ditemukan.

3.3.1. Tipe penyakit bakteri

3.3.1.1. Penyakit pembuluh pengangkut air

Penyakit ini menyerang pembuluh pengangkut air pada tanaman, sehingga


pembuluh itu penuh bakteri, jalannya air terhambat tidak dapat mencapai daun, akhirnya
daun menjadi layu. Misalnya, Pseudomonas solanacearum yang menyebabkan busuk
coklat pada tanaman kentang, terung, tomat, tembakau, dan tanaman yang termasuk
keluarga Solanaceae; kemudian Pseudomonas campestris yang menyebabkan busuk hitam
pada tanaman kol, kubis bunga, sawi, kol tunas, dan tanaman lainnya yang termasuk
keluarga Cruciferae.

3.3.1.2. Penyakit parenchym

Patogen menyerang jaringan parenchyma yang lunak atau succulent yang


menyebabkan terjadiya nekrosis atau membusuk bagian yang diserang, misalnya
Pseudomonas malvacearum yang menyebabkan bercak daun menyudut pada tanaman
kapas; Bacillus carotovorus yang menyebabkan busuk lunak pada akar wortel, atau bagian
lainnya yang lunak dari batang atau buah pada tanaman lainnya.

3.3.1.3. Penyakit hyperplastis

Bakteri ini menyebabkan terjadinya bintil, tumor, bonggol, atau bengkak. Bakteri
merangsang sel-sel tanaman sehingga terjadi perkembangan yang lebih cepat dari
biasanya, sehingga terbentuk bisul atau tumor. Misalnya, Pseudomonas tumefaciens yang
menyebabkan bisul akar pada tanaman apel, dan lain-lain.
Letak bakteri pada jaringan yang sakit ada beberapa macam: (1) interselular,
bakteri terletak dalam ruangan antarsel, pada umumnya menyebabkan penyakit
parenchyma, (2) Intraseluler, bakteri terletak dalam sel, (3) Intravascular, bakteri terletak
dalam jaringan pengangkutan air (xylem) dan jaringan lain.
Kerja bakteri pada tanaman inang ada berbagai cara: (1) Dengan adanya enzyme
bakteri dapat memecah sel, sehingga menimbulkan lubang pada bermacam-macam
jaringan, (2) Dengan adanya enzyme, bakteri dapat memecah tepung menjadi gula,
senyawa nitrogen yang kompleks menjadi lebih sederhana, untuk mendapatkan energi
hidup, (3) Bakteri menghasilkan zat racun, dan lain-lain, yang merugikan tanaman, (4)
Menghasilkan zat yang dapat merangsang sel-sel inang membelah secara tidak normal.
Penyebaran penyakit bakteri juga bervariasi: (1) Melalui bibit berupa biji, buah,
umbi, batang stek, dan lain-lain, sehingga pada waktu ditanam bakteri dapat tersebar, (2)
Melalui serangga, burung, siput, ulat, manusia, dan lain-lain, (3) Melalui pupuk kandang
atau kompos.
Reaksi tanaman inang terhadap serangan bakteri bervariasi: (1) Pertumbuhan
jaringan atau keseluruhan tanaman menjadi terhambat, (2) Terjadi perubahan warna, dapat
menjadi hijau tua, menguning atau pucat, (3) Terjadi distorsi pada daun, batang, atau
bagian tanaman yang lain, (4) timbul jaringan baru, karena pembelahan sel bertambah
(hyperplasia) atau terjadi hypertrophy. Membentuk sel-sel gabus untuk menahan kemajuan
serangan bakteri.
Menurut Bergey’s Manual, edisi 1948, bakteri dibagi menjadi 5 ordo: (1)
Eubacteriales atau bakteri sejati. Selnya tegar, tunggal, membentuk dalam rantai dan
berkumpul dalam massa, (2) Actinomycetes, selnya tegar, bentuknya menyerupai
cendawan atau seperti benang bercabang, (3) Chlamydobacteriales, selnya tegar,
menyerupai ganggang, (4) Nyxobacteriales, selnya lentur, gerakannya merangkak, (5)
Spirochaetales, selnya lentur, berbentuk spiral dan dapat bergerak

a. Penyakit layu bakteri

Penyebabnya adalah bakteri Pseudomonas solanacearum (EF Smith) EF Smith,


sinonimnya: Xanthomonas solanacearum (EF Smith) Dowson; Bacterium solanavearum
(EF Smith) EF Smith; Phytomonas solanacearum (EF Smith) Bergey. Penyakit ini juga
disebut penyakit lender, liyer, lengger, klenger. Penyakit ini menyerang tanaman
tembakau, tomat, cabai, terung, kacang tanah, pisang, wijen, dan lebih dari 140 jenis
tanaman, terutama yang termasuk dalam keluarga Solanaceae. Penyakit ini tersebar di
daerah tropis dan subtropics, dari Afrika, Asia, Australia, Amerika, dan Eropa.
Gejalanya sebagai berikut. Patogen menyerang jaringan pengangkutan air, sehingga
mengganggu transport air tanaman inang. Akibatnya, kelihatan gejala layu, menguning,
dan kerdil. Bila keadaan memungkinkan, tanaman yang mudah terserang seperti tembakau,
kentang, tomat, dan terung akan segera mati dalam beberapa hari. Bila keadaan kurang
baik bagi patogen, maka layunya tanaman pelan-pelan atau tidak layu, tetapi
pertumbuhannya kerdil, menguning, dan daunnya mongering. Pada tanaman cabai, akan
terjadi perubahan warna dan daun mudanya akan terkulai, anakannya menjadi kerdil atau
menghitam, buahnya kerdil atau busuk, akarnya juga membusuk.
Apabila tanaman yang terserang, batangnya dipotong melintang akan kelihatan
penampang melintang berwarna coklat, apabila dipijat akan keluar lender yang berwarna
putih kotor dari bekas potongan yang berisi jutaan bakteri. Bila batang dibelah memanjang,
akan kelihatan garis-garis berwarna coklat. Kadang-kadang garis ini mencapai daun. Akar
yang sakit berwarna coklat.
Penyakit layu bakteri kadang-kadang dikelirukan dengan penyakit layu cendawan
Verticilillium dan Fusarium spp, untuk membedakannya kalau layu cendawan, batang
tanaman yang sakit kalau dipotong tidak mengeluarkan lender, kalau dimasukkan dalam
air, sedangkan pada layu bakteri akan keluar lender.
Pengendaliannya: (1) rotasi tanaman, dengan menanam tanaman yang tidak
diserang penyakit, misalnya Mimosa invisa selama lebih kurang 2 tahun, (2) pesemaian
disterilisasi dengan air panas 100oC. Tanah difumigasi dengan methyl bromide, (3)
menggunakan air siraman yang bebas dari penyakit.

b. Busuk lunak bakteri


Penyebabnya adalah Erwinia carotovora (LR Jones) Hollander, sinonimnya:
Bacillus carotovorus LR Jones. Penyakit busuk lunak ini banyak menyerang tanaman
sayuran seperti kol, sawi, wortel, kentang, tomat, kacang tanah, buncis, selada, dan lain-
lain. Tanaman yang diserang akan menjadi lunak, berlendir, baunya busuk, bila keadaan
memungkinkan, penyakit akan cepat sekali menjalar ke seluruh tubuh tanaman. Gejala
pertama pada daun yang masih segar tampak bercak berair, kemudian warnanya berubah
menjadi kecoklatan. Bila yang diserang batangnya, tanaman dapat roboh sehingga disebut
penyakit busuk batang.
Pengendaliannya: (1) tanaman kol, sawi, dan lain-lain yang telah diserang lebih
baik segera dipanen untuk dikonsumsi. Bila telah terserang berat, sebaiknya dibakar
dengan seluruh akar, batang, dan daunnya. Tanah bekas tanaman jangan terbawa ke mana-
mana, (2) sebelum terkena serangan, tanaman disemprot dengan fungisida, (3) sayuran
yang sehat saja yang disimpan atau dijual ke pasar, karena dapat menyebabkan kerusakan
pada sayuran yang masih sehat.

3.4. Penyakit Virus6

Virus berasal dari bahasa Latin, artinya lender yang beracun dan dapat menular.
Dulu virus dianggap bukan kehidupan, tetapi hanya racun yang tersusun dari jenis protein
yang dapat berkembang biak bila berada dalam sel yang hidup. Saat ini diketahui bahwa
virus adalah organisme yang hidup karena ternyata dapat berkembang biak secara besar-
besaran. Karena virus tersebut kecil sekali, maka tidak dapat dilihat dengan mikroskop
biasa dan harus dengan mikroskop electron. Jenis virus banyak sekali. Ada yang
menyerang tanaman, tetapi juga ada yang menyerang manusia dan binatang. Virus
walaupun kecil sekali, tetapi banyak yang merugikan mahluk hidup. Virus mempunyai
sifat parasit yang mutlak (obligat), yaitu hanya dapat hidup dan berkembang di dalam
organisme hidup, tetapi ada beberapa virus yang dapat tahan dalam keadaan tidak aktif
(dorman) dalam waktu yang lama sekali di dalam daun tembakau kering, tanah, atau
lainnya. Virus yang dorman tersebut bila menjumpai organisme yang sesuai akan bangun
lagi, aktif lagi, menjadi parasit dan berkembang lagi seperti semula.
Cara pemberian nama virus masih belum teratur. Pada umumnya, digunakan nama
tenaman yang diserang, biasanya dalam bahasa Inggris, lalu disingkat. Misalnya, Potato
Virus X, disingkat PVX dan Potato Leaf Roll virus, disingkat PLRV. Ada pula yang diberi
nama secara cryptogram, ditulis dengan kode. Belum ada dasar yang dapat diterima untuk
klasifikasi virus. Banyak virus yang dapat membentuk strain, gejalanya berbeda-beda.
Gejala tanaman yang terserang virus bermacam-macam, tergantung dari jenis virus
yang menyerang. Tanaman yang diserang ada yang daunnya menjadi keriting, belang-
belang kuning hijau, jadi kerdil, daun menggulung, kematian pucuk, ruas-ruas menjadi
pendek sekali, warna bunga berubah, buah menjadi menggeliat, dan lain-lain. Gejalanya
sering bersama-sama timbul dalam satu jenis tanaman. Gejala penyakit virus dibagi
menjadi tiga, yaitu: (1) klorose, pembuluh tulang daun menjadi jelas (menguning) atau
daun belang-belang setempat atau mosaic. Jaringan yang dekat pembuluh lebih pucat
warnanya, (2) nekrosis, ada bercak-bercak coklat mati, atau garis coklat mati, dalam

6
Sumber utama penulisan sub bab ini adalah Pracaya (2003), Sinaga, MS (2003), dan Endah, J (2002),
kecuali disebut secara khusus.
keadaan serangan berat dapat seluruh atau sebagian tubuh organ tanaman mati, (3) kerdil,
bentuk tubuh tidak normal, sebagian organ atau seluruh tubuh tanaman menggeliat. Strain
yang berbeda-beda dari satu jenis virus dapat juga menimbulkan bermacam-macam gejala
pada kultivar tanaman yang berbeda-beda, atau suatu virus mungkin menyebabkan gejala
yang berbeda-beda pada kultivar tanaman yang sama; atau virus yang tidak ada
hubungannya sama sekali mungkin menyebabkan gejala yang hampir menyerupai dalam
suatu tanaman inang. Oleh karena itu, mengidentifikasinya harus benar-benar teliti. Di
antaranya: morphologi partikel penularan, tanaman inang, reaksi spesies terhadap infeksi,
sifat bio-fisika, serology, sifat-sifat pertikel virus yang murni, dan lain-lain.
Pengendalian penyakit virus amat sulit. Dalam pengendalian penyakit akar yang
disebabkan cendawan atau bakteri, dapat dilakukan dengan penyambungan atau okulasi
dengan batang bawah yang tahan penyakit akar. Namun, tanaman tomat, misalnya, yang
disambung dengan takokak, dapat berhasil tidak layu , tetapi ternyata di kemudian hari
malahan penyakit virus menyerang, terutama pada waktu musim kering dan panas. Cara-
cara yang mungkin dapat dikerjakan dalam pengendalian, yaitu: (1) penyemprotan dengan
insektisida untuk mengurangi vector pembawa virus, (2) penanaman varietas yang tahan
virus, (3) penanaman bibit/benih yang bebas virus, (4) penanaman tepat waktu sehingga
perkembangbiakan virus tidak begitu hebat, (5) tanaman liar yang menjadi inang virus atau
vector dibersihkan dari sekitar tanaman yang dibudidayakan, (6) diadakan penanaman
tanaman yang mungkin dapat menahan gerakan vector, (7) diadakan tanaman campuran
yang mungkin dapat menahan gerakan virus atau vector, (8) bila kelihatan ada gejala
penyakit, tanaman segera dicabut dan dibakar. Jangan menunggu sampai virus merajalela,
(9) dilakukan rotasi dengan tanaman yang tidak terserang virus, (10) penelitian cara hidup
vector dan virus, sehingga dapat menentukan kapan harus menyemprot dan menanam
tanaman dengan kondisi baik, sementara kondisi vector dan virus sedang buruk, (11)
penelitian mengenai pupuk yang dipakai.
Penularan virus bervariasi. (1) melalui biji. Walaupun biji tidak membawa banyak
virus, tetapi juga dapat merupakan sumber penyakit virus. Misalnya, pada mosaic selada,
timun, petunia, leguminosae, bercak dua, cincin tembakau., (2) tepungsari. Tepungsari
tanaman buncis yang terserang penyakit mosaic bila menyerbuki putik tanaman sehat akan
menularkan virus, (3) setek dan umbi. Tanaman yang telah sakit bila diambil seteknya atau
ditanam umbinya dapat menularkan virus, (4) sambungan dan okulasi. Mata temple atau
mata sambungan yang berasal dari tanaman sakit juga dapat menularkan virus ke batang
pokok (bawah), (5) pemindahan secara bersinggungan. Bila memegang tanaman yang
sakit, kemudian memegang tanaman yang sehat, maka tanaman yang sehat juga akan
terkena infeksi. Pekerja yang menyiang tanaman tembakau, tomat, atau lainnya,harus
mengetahui hal ini, (6) serangga vector virus. Persentase tertinggi penularan virus
dilakukan oleh serangga. Serangga yang menularkan virus dibagi dalam dua golongan,
yaitu: (a) mulut untuk menggigit. Termasuk dalam golongan ini hanya sedikit yang
menularkan, yaitu beberapa kumbang dan belalang pada tanaman buncis, (b) mulut untuk
menghisap (menusuk dengan stylet), (7) nematode menjadi vector virus. Beberapa
nematode ada yang menjadi vector virus, di antaranya bercak cincin tomat oleh Xiphinema
americanum Cobb., (8) tanaman parasit berbiji. Di antarana tali puteri, Cuscuta campestris
Yuncker, yang dapat menjadi vector virus bila hidup pada tanaman yang telah terserang
penyakit virus, kemudian hidup di tanaman yang sehat. Tali puteri tersebar di daerah
sedang dan panas.
a. Penyakit tungro

Penyakit ini menyerang padi. Disebut juga penyakit virus tungro padi. Tungro
artinya pertumbuhannya mengalami degenerasi. Di Malaysia, disebut Penyakit Merah dan
di Indonesia disebut penyakit Mentek, serta sudah dikenal sejak tahun 1859. Penyakit ini
telah menyerang tanaman padi di Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, Bangladesh,
India, dan lainnya. Selain menyerang padi, juga menyerang berbagai macam rumput di
sawah.
Gejalanya: padi yang diserang tungro, tumbuh kerdil dan anakannya sedikit. Daun
muda yang baru muncul mengalami klorose di antara tulang-tulang daunnya, sehingga
terjadi perubahan warna dari ujung ke pangkal. Daun padi akan menjadi kuning atau
kuning jingga, tergantung pada varietasnya. Daun yang muda sering berbintik dan
bergaris-garis hijau pucat sampai hijau keputihan. Bulir padi sering tidak keseluruhannya
dapat membuka, sehingga hasil gabah berkurang. Bila serangan telah lewat umur 60 hari,
biasanya gejala-gejala tersebut tidak ada, makin lambat serangan terjadi, maka pengaruh
terhadap hasil panen tidak begitu nyata. Tanaman yang terinfeksi, perkembangan akarnya
terhambat. Tanaman muda dapat mati atau dapat juga sampai dewasa walaupun kerdil.
Berbunganya terhambat, sehingga akan menunda panen. Malai menjadi kecil, steril, dan
tidak sempurna keluarnya. Butir gabah sering tertutup dengan bercak-bercak coklat dan
lebih ringan daripada tanaman yang sehat.
Pengendalian yang dapat dilakukan: (1) menanam varietas yang tahan, misalnya IR
36, yang lebih baru. Kalau varietasnya tidak terus-menerus diperbaharui, makin lama dapat
menjadi makin tidak tahan terhadap virus ini, (2) tanaman yang terserang parah, sebaiknya
dicabut dan dibakar, (3) semprotlah dengan insektisida yang cocok, sehingga vector benar-
benar mati. Insektisida yang cocok selalu berubah-ubah kemanjurannya. Vector serangga
makin lama makin kebal terhadap insektisida, sehingga obatnya harus selalu bergantian
dengan kadar yang mematikan, (4) tanaman liar atau rumput yang menjadi sumber
penyakit dihilangkan, (5) melakukan penanaman secara serentak dan diadakan pergiliran
tanaman, (6) secara biologis, dicarikan serangga yang menjadi predator (pemakan) vector
serangga. Kalau cara ini dilakukan, jangan menyemprot dengan insektisida. Dengan parasit
serangga, cendawan atau bakteri, sehingga vector akan mati dengan perlahan-lahan.

b. Penyakit ujung keriting

Penyakit ini menyebabkan ujung daun semangka, tomat, cabai, buncis, bayam, dan
lainnya menjadi keriting, sehingga sangat merugikan petani. Gejalanya adalah sebagai
berikut.
Tanaman muda yang terkena infeksi, daunnya menjadi kuning dan mengeriting.
Tanaman yang lebih tua, daunnya menggulung ke atas dan memutar atau memilin daun
yang muda. Pada umumnya, daun menjadi lebih lebih kaku dan warnanya menjadi kuning
redup. Tangkai daunnya mengeriting ke bawah, berdirinya batang tidak normal. Tanaman
muda yang terserang menjadi kerdil. Tanaman tomat pada semua tingkatan pertumbuhan
dapat terserang penyakit ini, tetapi yang paling peka adalah tanaman yang muda. Buah
tomat akan menjadi masak lebih awal sebelum waktunya.
Pengendaliannya: (1) tanamlah bibit yang resisten, (2) semprotlah secara rutin
seminggu sekali dengan insektisida untuk mengendalikan vector penular, sehingga
populasinya dapat ditekan seminimum mungkin, (3) dilakukan rotasi tanaman, jangan
menanam tanaman yang dapat terkena penyakit virus ujung keriting. Jagalah kebersihan
sekeliling kebun dari kemungkinan tumbuhnya tanaman liar yang dapat terserang penyakit,
(4) tanaman yang sudah terlanjur terserang dicabut dan dibakar.

c. Penyakit TMV

TMV adalah singkatan dari Tomato Mosaic Virus. Penyakit ini tersebar di seluruh
dunia yang sudah ditumbuhi tanaman tomat. Bentuk virusnya seperti batang, dengan
ukuran lebar 18 dan panjang 300 nanometer (1 nanometer = 0,001 mikron).
Daun yang terserang, warnanya menjadi mosaic hijau muda dan hijau tua dengan
batas yang tidak jelas. Berbelang hijau tua dan muda, serta kadang-kadang daun yang lebih
muda menjadi menggeliat dan berkerut. Bila suhu tinggi, daun yang berbelang-belang
tambah banyak dan perkembangannya sedikit terhambat. Kalau suhu rendah, belang-
belangnya hanya sedikit, tetapi pertumbuhannya sangat terhambat, daunnya menggeliat
seperti daun paku atau sulur. Buah hanya sedikit dan kecil, kadang-kadang tidak berbentuk
buah. Mosaic daun juga mempengaruhi buah. Strain yang berbeda juga akan menghasilkan
gejala yang berbeda, tergantung dari panas, lamanya hari, intensitas sinar, umur tanaman,
cultivar tomat, dan strain virus itu sendiri. Ada strain virus yang menimbulkan gejala garis
nekrosis memanjang pada batang atau tangkai daun. Kadang-kadang tanaman dapat mati.
Pada buah terjadi nekrose cekung dan kadang-kadang mencapai bagian dalam buah yang
telah masak.
Pengendaliannya: (1) tanamlah tomat yang resisten, (2) tanaman yang terserang
dicabut dan dibakar, (3) tanaman liar di sekeliling kebun dibersihkan, (4) tanamlah biji
yang bebas virus, dengan direndam larutan 10 persen natrium phosphate selama 20 menit
untuk menghilangkan virus yang letaknya di luar biji. Untuk menghilangkan virus yang
letaknya di dalam biji dipanasi dengan suhu 70oC selama 2 – 4 hari, (5) daun disemprot
dengan susu untuk menghambat berpindahnya virus secara mekanis, (6) dilakukan
sterilisasi tanah, dan (7) dilakukan rotasi tanaman.

d. Penyakit CVPD

CVPD adalah singkatan dari Citrus Vein Phloem Degeneration. Penyakit ini
menyerang tanaman jeruk. Pertama kali menyerang jeruk di Jawa, kemudian menyebar ke
propinsi lain. Sudah lebih dari 11 propinsi dengan ratusan ribu tanaman jeruk yang telah
mati. Penyebab penyakit ini ada yang mengatakan virus, tetapi akhir-akhir ini dikatakan
BLO (Bacterium Like Organism) atau Mikroplasma.
Gejalanya: tanaman yang terserang akan mengalami klorosis, yang menyerupai
defisiensi (kekurangan) unsure hara, seperti Nitrogen), seng (Zn), mangan (Mn), besi (Fe).
Sebelum ada CVPD, di Indonesia sudah ada serangan virus tristeza dengan gejala serupa,
sehingga mula-mula dikira tanaman jeruk yang mengalami klorosis disebabkan virus
tristeza. Biasanya yang diserang CVPD adalah jeruk okulasi dan sambungan. Tanaman
jeruk yang mengalami serangan CVPD menunjukkan gejala luar di antaranya: (1) daun
menguning, klorosis, tulang daun menjadi lebih tua daripada sekitarnya. Makin pucat
daunnya maka makin jelas tulang daunnya, (2) daun menjadi lebih tebal dan kaku,
biasanya menjadi kecil, (3) pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, tanaman muda
menjadi kerdil, (4) tanaman jeruk yang daunnya menguning, perlu juga dicurigai telah
terserang CVPD.perlu diketahui bahwa tanaman jeruk yang terserang virus tristeza, tulang
daunnya menjadi pucat, sedangkan kalau terserang CVPD, tulang daunnya menjadi lebih
gelap warnanya (hijau tua).
Pengendaliannya: (1) tanamlah bibit jeruk yang bebas CVPD, (2) semprotlah
dengan insektisida dan akarisida yang dapat menekan Diophorina citri dan tungau
Tetranychus telarius L, misalnya dengan Dimecron 50 EW, Bayrusil, Diazinon, Sandoz
6538, Tamaron, dan lain-lain, (3) pupuklah yang cukup, terutama dengan pupuk organic,
misalnya pupuk kandang, kompos, dan dapat ditambah pupuk majemuk, dengan unsure
hara yang cukup, maka tanaman akan mempunyai daya tahan yang lebih kuat, (4) pada
waktu habis panen, segera dipupuk dengan cukup dan penyiraman yang cukup pula, (5)
tanaman jeruk yang telah berat sakitnya lebih baik dicabut dan dibakar, (6) tanaman jeruk
yang sakitnya masih ringan, dapat diobati dengan oxytetracycline-HCl 5 g dalam 10 liter
air, yang dapat dipakai untuk 10 -20 pohon. Caranya, diinfus, seperti menginfus orang
sakit. Waktu menginfus, sebaiknya dilakukan pada sore hari sampai malam dan pagi-pagi
sudah selesai, lebih kurang dalam 12 jam selesainya. Sore hari berikutnya diinfus lagi, dua
malam berturut-turut. Oabt ini bila terkena sinar surya akan rusak dan tidak ada gunanya,
sehingga jangan menginfus pada waktu siang hari. Setiap pohon diperlukan 0,5 sampai 1
liter larutan oxytetracycline-HCl. Pengobatan ini harus disertai dengan pemupukan yang
cukup, terutama pupuk organic, yaitu pupuk kandang dan kompos yang telah matang.
Dapat pula ditambah dengan pupuk pabrik, misalnya diberi pupuk majemuk NPK
sebanyak 1-3 kg, tergantung besar kecilnya tanaman jeruk. Pengobatan tanpa pemupukan
yang cukup tidak ada gunanya, tanaman jeruk akan tetap sakit dan akhirnya mati. Sesudah
pengobatan dan pemupukan, semprotlah secara rutin dengan insektisida, misalnya
seminggu sekali, sampai tanaman sehat betul. Selain diinfus, juga dapat diobati dengan
sistem dipompakan dengan tekanan tinggi.

3.5. Tanaman Berbiji yang Menjadi Parasit

Tanaman tingkat tinggi yang bersifat parasit atau setengah parasit, mengambil
makanan pada tanaman inang yang ditempati. Tanaman yang mempunyai khorofil, sifatnya
setengah parasit, karena dapat mengadakan fotosinesis sendiri, tetapi bahannya diambil
dari tanaman inang. Adapun yang tidak mempunyai khlorofil, sifatnya parasit mutlak.
Semua makanan langsung diambil dari tanaman inang,karena tidak dapat mengadakan
fotosintesis. Tanaman yang ditempati parasit akan menjadi kurus atau kerdil dan akhirnya
mati.

a. Benalu (Viscum articulatum Burm. f)

Termasuk familia Loranthaceae. Disebut juga kemladen, pasilan, misletu, dan


perekat burung. Tanaman ini merupakan setengah parasit, karena dapat mengadakan
fotosintesis, tetapi dengan alat pengisapnya (haustorium) dapat mengambil cairan makanan
dari tanaman inang yang ditempati. Buahnya biasanya disukai burung prenjak, karena
bijinya dikelilingi lender yang lekat, akan menempel pada ujung paruh, kemudian terbawa
terbang, akhirnya ketika burug hinggap di suatu cabang, paruhnya akan dioles-oleskan
pada cabang dan melekatlah biji di cabang tersebut. Pada suatu hari, biji itu akan tumbuh
dan mengisap makanan pada cabang yang ditempati. Pengendaliannya, dengan memotong
di bawah melekatnya haustorium.

b. Tali Puteri (Cuscuta sp), familia: Cuscutaceae

Merupakan parasit sejati, karena tidak mempunyai khlorofil, sehingga tidak dapat
mengadakan asimilasi. Semua zat makanan diambil dari tanaman inang, sehingga tanaman
inang dapat mati atau kerdil. Tali puteri bentuknya seperti benang panjang, warnanya
kuning sampai oranye dan tidak berdaun. Batangnya tergantung dari jenisnya, ada yang
warna sampai kemerahan, merah atau ungu. Tali puteri biasanya membelit tanaman inang
dan melekat dengan alat pengisap yang disebut haustoria. Warna bunga putih, kemerahan
atau kekuningan. Untuk sementara masih terpancang dalam tanah dan bergerak ke
sekeliling untuk mencari panjatan. Bila telah mencapai tanaman inang, segera melilitnya
dan membentuk haustorium yang masuk ke dalam jaringan tanaman inang. Batang tali
puteri yang terletak di bawah haustoria yang pertama, akan mengkerut dan segera mati.
Selanjutnya, tali puteri telah sempurna mengabsorbsi makanan dari tanaman inang dan
dengan cepat bercabang-cabang dan menyebar ke seluruh tubuh tanaman. Cabang-cabang
tali puteri yang terpotong, bila terbawa ke tanaman lain, juga akan tumbuh. Biasanya,
karena terbawa oleh anak-anak untuk bermain-main lalu diletakkan di suatu tanaman.
Pengendaliannya, dapat dikerjakan dengan mengambili secara terus-menerus atau
memangkas di bawah haustoria. Jangan ada bagian cabang atau tanaman tali puteri yang
masih melekat pada tanaman inang. Walaupun hanya tinggal sedikit saja bagian cabang tali
puteri dalam tubuh tanaman inang, tetap akan dapat segera tumbuh dengan cepat dan
tentunya merugikan.
BAB IV PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

Bahaya laten yang timbul akibat penggunaan pestisida sebagai bahan beracun
dalam usaha pertanian, telah menimbulkan kesadaran manusia akan perlunya konsep baru
dalam penggunaan pestisida tersebut bagi keperluan usaha pertanian yang aman bagi
kelangsungan ekosistem dan mahluk hidup. Kesadaran tersebut menjadi titik awal lahirnya
konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Berbeda dengan cara pemberantasan hama
dan penyakit secara konvensional, yang menggunakan pestisida secara terus-menerus tanpa
mempertimbangkan akumulasi residu, pada konsep PHT, pestisida mulai digunakan hanya
jika populasi hama dan penyakit telah meningkat dan berada di atas nilai ambang ekonomi.
Bila populasi hama dan penyakit masih rendah, pestisida tidak perlu digunakan, karena
pada tingkat populasi demikian, proses budidaya pertanian belum mengalami kerugian
secara ekonomi
Menurut FAO (1967, seperti dikutip Kusnaedi, 2003), pengendalian hama terpadu
adalah sistem pengendalian hama yang berhubungan dengan dinamika populasi dan
lingkungan yang berkaitan dengan spesies hama serta memanfaatkan perpaduan semua
teknik dan merode yang memungkinkan secara kompatibel menahan populasi hama di
bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi.
Sementara itu, The Council on Environmental Quality (1972, seperti dikutip
Kusnaedi, 2003) mendefinisikan PHT sebagai: “suatu pendekatan yang menggunakan
kombinasi dari berbagai teknik untuk mengendalikan berbagai macam hama potensial yang
dapat mengancam hasil tanaman budidaya. Di dalamnya meliputi ketergantungan
maksimal pada pengendalian populasi hama secara alami bersama-sama dengan
serangkaian teknik yang mendukungnya, yaitu cara-cara bercocok tanam, penyakit
spesifik, hama, varietas tanaman tahan hama, serangga mandul, senyawa-senyawa
perangkap, cara menstimulasi pertumbuhan parasit atau predator, atau penggunaan
pestisida kimia jika diperlukan”.
Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa PHT mengandung
pengertian dan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut.
1. Pengendalian hama bukan berupaya untuk membunuh habis populasi hama,
melainkan mengendalikan hingga populasi di bawah ambang ekonomi.
2. Tujuan utama dari pengendalian hama adalah mencapai kualitas dan kuantitas
produksi, tanpa mengganggu kelestarian lingkungan hidup.
3. Konsep dasar pengendalian hama dan penyakit tanaman adalah: (a) mengurangi
sumber hama dan penyakit dengan memanipulasi ekosistem, (b)
mengintegrasikan cara-cara pemberantasan yang kompatibel, dan (c)
menerapkan analisis ongkos dan keuntungan.
4. Penggunaan bahan kimia pestisida merupakan alternatif terakhir bila benar-
benar diperlukan.
5. Penggunaan teknik-teknik pengendalian hama dengan memadukan semua
teknik pengendalian sebagai berikut. (a) Menggunakan varietas yang tahan atau
toleran terhadap hama penyakit, (b) Sistem budidaya yang memperhatikan
siklus hidup hama, seperti rotasi tanaman, tumpangsari, waktu tanam, dan
penggunaan mulsa, (c) Pengendalian cara biologis dengan menyebarkan atau
mempertahankan kehidupan musuh alami dari hama, (d) Pengendalian cara
mekanik atau fisik merupakan pengendalian hama dengan cara ditangkap,
dibunuh, diburu, dijerat, gropyokan, dan pemberian umpan beracun, (e)
Penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir dan penggunaannya harus
berdaya bunuh selektif dan dikategorikan aman bagi lingkungan.
Penerapan konsep PHT beragam, tergantung keadaan ekosistem setempat, sehingga
tidak dapat diberikan rekomendasi untuk pelaksanaan PHT yang berlaku di semua
ekosistem. Pada prinsipnya, berdasarkan prioritas pelaksanaannya di lapangan, metode
pengendalian PHT diurutkan sebagai berikut (Endah, J dan Novizan, 2002). (1)
Pengendalian secara biologis atau hayati, (2) Pengendalian secara kultur teknis, (3)
Pengendalian secara genetik, (4) Pengendalian secara fisik dan mekanik, dan (5)
Pengendalian secara kimiawi dengan pestisida selektif.
Senada dengan Endah, J dan Novizan (2002), ahli entomologi Mary Louse Flint
dan Robert van Den Bosch (dalam Kusnaedi, 2003) pernah menganjurkan pedoman umum
pengendalian hama terpadu sebagai berikut.
(1) Biologi tanaman budidaya, terutama dalam konteks hubungan tanaman tersebut
dipengaruhi oleh ekosistem di sekitarnya, harus diketahui.
(2) Hama utama yang menyangkut biologis hama, jenis kerusakan yang
ditimbulkan, dan nilai ekonomi kerusakannya diidentifikasi secepat mungkin.
(3) Faktor-faktor lingkungan utama yang dapat menguntungkan dan merugikan
hama dalam ekosistem dipertimbangkan dan diidentifikasi secepat mungkin.
(4) Konsep, metode, dan bahan-bahan yang secara individual atau secara gabungan
akan membantu menekan atau menghambat hama, terutama hama potensial,
secara permanen segera dipertimbangkan.
(5) Program pengendalian hama yang fleksibel disusun hingga dapat diubah dan
diatur. Program yang kaku dan tidak dapat disesuaikan dengan lahan, daerah,
atau waktu yang berbeda sebaiknya dihindari.
(6) Perkembangan yang tidak dapat dilihat sebelumnya, sebaiknya dapat
diperkirakan atau dipertimbangkan. Rancanglah dengan gerak mundur dan
rancanglah dengan hati-hati maju ke depan. Tindakan yang terpenting adalah
tetap waspada terhadap kompleksitas ekosistem sumberdaya dan perubahan-
perubahan yang terjadi di dalamnya.
(7) Bagian yang terlemah dalam daur hidup spesies hama utama dicari dan
tindakan pengendalian diarahkan dengan hati=hati pada bagian tersebut
sesempit mungkin. Penerapan yang meluas dalam ekosistem sumberdaya
sebaiknya dihindari.
(8) Jika mungkin, metode yang dapat melestarikan, melengkapi, dan mendorong
faktor-faktor mortalitas fisik dan biotik yang mencirikan suatu ekosistem
dipertimbangkan dan dikembangkan.
(9) Keragaman hayati ekosistem jika mungkin diusahakan untuk ditingkatkan.
(10) Dibuat anggapan atau teknik survei yang memadai (pemantauan) terhadap
hama.

4.1. Strategi Penerapan PHT

Sebagaimana diuraikan di depan, pengertian tentang PHT beragam, tergantung


tingkat pemahaman seseorang tentang ekosistem budidaya tanamannya. Namun dapa
dasarnya, PHT adalah cara pengelolaan pertanian yang bertujuan untuk meminimalisasi
serangan hama dan penyakit, sekaligus mengurangi bahaya yang ditimbulkannya terhadap
manusia, tanaman, dan lingkungan. Penerapan PHT dikatakan berhasil bila populasi hama
dan penyakit selalu berada di bawah ambang ekonomi, diikuti dengan peningkatan hasil
panen dan penurunan biaya produksi, serta dampak buruknya terhadap manusia dan
lingkungan diperkecil. Dalam pelaksanaan PHT, setap sumberdaya yang ada digunakan
semaksimal mungkin untuk menekan hama dan penyakit mencapai jumlah yang secara
ekonomi merugikan.
Nilai ambang ekonomi merupakan titik yang menunjukkan bahwa biaya
pengendalian lebih kecil daripada kerugian yang timbul akibat serangan hama dan
penyakit. Tindakan pengendalian hama baru dilakukan bila kerusakan yang ditimbulkan
oleh serangan hama dan penyakit telah melewati ambang ekonomi. Penerapan PHT bukan
bertujuan memusnahkan populasi hama dan penyakit, karena pada dasarnya hama dan
penyakit akan selalu berada di lahan pertanian. Dalam kondisi lingkungan yang
menguntungkan, hama dan penyakit dapat berkembang cepat, sehingga melewati ambang
ekonomi. Pada kondisi demikian inilah baru diperlukan tindakan pengendalian yang
tujuannya menekan kembali populasi hama dan penyakit sampai di bawah ambang
ekonominya.
Ada tiga hal yang menjadi kunci keberhasilan penerapan konsep PHT, yaitu
pengetahuan tentang hama dan penyakit, budidaya tanaman yang dilakukan, dan
interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan. Pengetahuan tentang hama dan penyakit
yang dibutuhkan antara lain pengenalan gejala awal, identifikasi jenis-jenis hama dan
penyakit yang spesifik, siklus hidup hama dan penyakit, dan bagaimana interaksinya
dengan lingkungan fisik. Misalnya, saat musim panas yang panjang perkembangan
serangga akan lebih cepat, sedangkan saat musim hujan, serangan penyakit jamur dan
bakteri yang akan meningkat. Dengan pengetahuan demikian dapat ditentukan waktu dan
bentuk tindakan yang harus dilakukan.
Pengetahuan tentang budidaya tanaman, seperti pemupukan, pengolahan tanah,
pemilihan benih atau bibit, pemangkasan, diperlukan untuk memperoleh tanaman yang
mampu tumbuh optimal. PHT tidak akan berhasil tanpa dukungan proses budidaya
tanaman yang baik dan benar. Tanaman yang sehat akan lebih tahan terhadap serangan
hama dan penyakit, serta lebih cepat sembuh setelah terserang hama dan penyakit. Praktek
budidaya di lapangan, sangat menentukan keberadaan hama dan penyakit dan besar
kecilnya serangan. Misalnya, pemberian pupuk nitrogen yang berlebihan dapat
meningkatkan serangan penyakit antraknosa pada anggrek atau serangan bercak daun
septoria pada tanaman krisan.

4.2. Tahap Pelaksanaan PHT7

Pelaksanaan
PHT merupakan siklus yang terjadi secara terus-menerus selama
kegiatan budidaya pertanian dilakukan dan sangat mengandalkan pada kegiatan monitoring
(pemantauan lapangan). Tahap pelaksanaan PHT secara ringkas dapatt digambarkan
sebagai berikut.

7
Sumber utama penulisan sub bab ini adalah Endah, J (2003), kecuali disebut secara khusus.
Sejarah lahan

Evaluasi monitoring
PHT

Pengendalian Ambang ekonomi


Hama dan penyakit

Siklus pelaksanaan PHT

4.2.1. Pengumpulan data sejarah lahan

Data sejarah lahan merupakan sumber informasi yang amat berharga dalam
pelaksanaan PHT. Data yang penting antara lain: jenis tanaman yang telah ditanam
sebelumnya, teknik budidaya yang telah dilakukan, serangan hama dan penyakit yang
pernah terjadi, tindakan pengendalian hama dan penyakit yang pernah dilakukan, keadaan
iklim, dan data lainnya yang berpengaruh terhadap proses budidaya tanaman. Kelengkapan
data yang dibutuhkan akan dapat membantu pengambilan keputusan akan tindakan yang
perlu dilakukan.
Data tentang jenis tanaman yang telah ditanam sebelumnya dapat digunakan dalam
pengambilan keputusan untuk menentukan pergiliran tanaman. Misalnya, bila sebelumnya
telah ditanami cabai dan tomat berturut-turut, pada periode berikutnya sebaiknya tidak
ditanami tanaman yang sama. Maksudnya, agar rantai makanan hama dan penyakit yang
sebelumnya menyerang keluarga Solanaceae tersebut terputus dengan kehadiran tanaman
lain yang tidak sekeluarga.

4.2.2. Monitoring

Monitoring (pemantauan lapangan) bertujuan untuk memantau pertumbuhan


tanaman dan hasil dari teknik budidaya yang telah dilakukan. Di samping itu, bertujuan
pula untuk memantau perkembangan hama dan penyakit. Semakin teratur dan sering
kegiatan ini dilakukan, hasilnya akan semakin baik. Ada dua hal yang perlu dilakukan
dalam pemantauan perkembangan hama dan penyakit, yaitu: (1) diagnosis gejala penyakit.
Diagnosis mengenai jenis hama dan penyakit yang menyerang dan menyebabkan
kerusakan tanaman dapat dilakukan dengan memperhatikan gejala-gejala kerusakan yang
ada pada tanaman. Gejala-gejala yang ditimbulkan biasanya khas untuk setiap jenis hama
atau penyakit. Hasil diagnosis dapat digunakan untuk menentukan tindakan pengendalian
yang harus dilakukan, karena untuk setiap jenis hama dan penyakit diperlukan tindakan
pengendalian yang berbeda. Dengan demikian, diagnosis yang tepat akan sangat membantu
dalam menentukan tindakan pengendalian yang tepat dan mencegah adanya tindakan yang
tidak perlu. Hasil diagnosis sedapat mungkin spesifik menunjuk jenis spesies yang
menyebabkan kerusakan tanaman. Untuk hama dan penyakit yang sulit dianalisis dapat
dilakukan analisis di laboratorium. Caranya, dengan mengirimkan sampel tanaman yang
terserang hama atau penyakit tersebut, kemudian di laboratorium akan dianalisis dan
diberikan kesimpulan tentang penyebab kerusakan tanaman tersebut. (2) pemantauan siklus
hidup hama dan penyakit. Siklus hidup hama dan penyakit dapat digunakan untuk
mengetahui fase pertumbuhan hama dan penyakit yang menimbulkan kerusakan pada
tanaman dan waktu tindakan pengendaliannya. Bila siklus hidup hama dan penyakit
tersebut telah diketahui, maka dapatlah ditentukan cara yang efektif untuk memutuskan
siklus hidup tersebut.

4.2.3. Penetapan ambang ekonomi

Penetapan ambang ekonomi, terhadap suatu kerusakan yang ditimbulkan oleh


serangan hama dan penyakit tanaman untuk jenis tanaman tertentu harus memenuhi syarat-
syarat berikut (1) sepsifik, artinya nilai ambang ekonomi yang ditentukan hanya berlaku
untuk satu jenis hama atau penyakit tertentu yang merusak jenis tanaman tertentu pula,
sehingga nilai ambang ekonomi tersebut tidak dapat digunakan untuk jenis hama dan
penyakit lainnya pada jenis tanaman yang sama, (2) mudah terukur, artinya parameter yang
dipakai harus kuantitatif (bukan kualitatif), sehingga mudah diukur dan memudahkan
pengamatan di lapangan. Dengan kata lain, pengukuran dapat dilakukan setiap orang
dengan hasil yang mendekati sama, (3) mempertimbangkan hama dan penyakit serta
tanaman. Nilai ambang ekonomi yang dibuat harus pula mempertimbangkan kecepatan
perkembangbiakan jenis hama dan penyakit serta nilai ambang ekonomi yang benar.

Jenis hama Ambang ekonomi


Penggerek batang padi > 1 kelompok telur/m2 atau intensitas
serangan rata-rata 10%
Wereng punggung putih pada padi > 1 ekor/tanaman
Walang sangit pada tanaman padi > 5 ekor/m2 pada tahap tanaman setelah
berbunga
Ulat grayak pada tanaman padi > 5 ekor/m2
Kutu daun (Myzus persicae) pada bawang > 10 ekor nimfa/35 helai daun
merah
Ulat grayak pada tanaman kubis > 5 ekor ulat setiap 10 tanaman
Penggerek tongkol (Heliothis sp) jagung > 3 tongkol rusak/30 tanaman
Ulat grayak pada cabai > 2 ekor larva/tanaman
Thrips pada tomat > 1 ekor pada 6 tanaman
Penghisap daun (Empoasca sp) pada kacang Intensitas serangan > 12,5%
tanah
Lalat Agromyza sp pada kacang panjang Intensitas serangan > 1%
4.2.4. Tahap pelaksanaan

Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama dan
penyakit menurut konsep PHT. Untuk mencapai efektivitas pengendalian hama dan
penyakit, seluruh cara di bawah ini sebaiknya dilakukan secara terpadu dan saling
melengkapi.

(1). Pengendalian biologis atau hayati

Tentang pengendalian secara biologis ini, Kusnaedi (2003) menyatakan bahwa


pada dasarnya hama dan penyakit memiliki musuh alami berupa predator, parasit, patogen,
dan musuh organisme sejenis.
Cara ini dilakukan dengan menyebarkan dan memelihara musuh alami atau
predator dari hama atau penyakit tertentu di daerah pertanian. Musuh alami yang populer
di antaranya adalah jenis bakteri Bacillus thuringiensis yang merupakan sumber penyakit
ulat api pada kelapa sawit, ulat Putella sp pada kubis dan penggerek batang tebu. Pada
tahun-tahun terakhir, bakteri B. Thuringiensis telah dikembangkan secara komersial yang
dikenal sebagai pestisida biologis. Beberapa merek dagang telah tersedia dan dipasarkan,
seperti Thuricide HP, Delfin WGD, dan Costar OF.
Contoh lain dari musuh alami hama dan penyakit adalah belalang sembah yang
merupakan pemangsa kutu daun (Aphid), ular piton dan burung hantu yang memangsa
tikus sawah, jamur Beauvearia bassiana dan Metarrhizium anisopliae yang menjadi
sumber penyakit untuk ulat jengkal (Ectropis burmitra) pada tanaman teh. Keberadaan
musuh alami ini harus tetap terjaga dengan cara menyediakan lingkungan yang sesuai dan
tidak menyemprotkan pestisida secara berlebihan.

(2) Pengendalian secara kultur teknis

Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
(a) sanitasi, merupakan usaha untuk memperkecil kesesuaian hama dan penyakit terhadap
ekosistem yang disenangi. Beberapa hama dan penyakit dapat bertahan hidup di luar
tanaman inang, misalnya di sisa-sisa tanaman yang masih hidup atau yang sudah mati.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah:
 memangkas dan memusnahkan bagian tanaman yang sakit atau membongkar dan
memusnahkan seluruh bagian tanaman yang terserang, terutama pada penyakit
yang disebabkan oleh virus seperti penyakit keriting pada tanaman cabai
 membersihkan areal pertanian dari tumpukan sampah atau gulma, karena dapat
menjadi sumber berbagai penyakit tanaman. Kumbang kelapa, misalnya, selalu
memilih tumpukan sampah untuk meletakkan telurnya.
 Membersihkan kebun dari sisa-sisa tanaman yang terserang atau sisa-sisa tanaman
setelah proses panen
 Membersihkan peralatan yang terkontaminasi penyakit tanaman
 Membersihkan tangan setelah memegang tanaman atau bagian tanaman yang
terserang
(b) pengolahan tanah. Tindakan membalik tanah dapat menyebabkan matinya hama dan
penyakit tanaman yang bersembunyi di dalam tanah, misalnya ulat tanah (Agrotis epsilon).
Pembalikan tanah menyebabkan hama dan penyakit tanaman mati, karena terkena sinar
surya secara langsung selama beberapa hari atau termakan oleh predator, seperti burung,
karena keadaannya menjadi terbuka.

(c) pengelolaan air. Prinsipnya, adalah memberikan air dalam jumlah dan waktu yang tepat
bagi tanaman melalui sistem irigasi dan drainase yang tepat. Keadaan tersebut akan dapat
mengendalikan kelembaban di sekitar tanaman dan menciptakan kondisi yang tidak
disenangi oleh hama dan penyakit tanaman tersebut.

(d) pergiliran tanaman, bertujuan untuk memustuskan rantai makanan bagi hama dan
penyakit di suatu tempat dengan cara tidak menanam satu jenis tanaman secara terus-
menerus.

(e) pemberaan lahan, atau tindakan mengosongkan lahan untuk beberapa waktu lamanya,
dengan maksud untuk memutuskan rantai makanan bagi hama dan penyakit tertentu

(f) pemupukan berimbang, dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, terutama pada
masa pertumbuhan cepat, yaitu pada saat pembentukan daun, cabang, dan akar. Kondisi
kekurangan atau kelebihan unsur hara dapat berakibat buruk bagi pertumbuhan tanaman

(g) penggunaan mulsa. Berfungsi antara lain untuk mencegah perkembangan hama dan
penyakit, terutama bagi hama dan penyakit yang pada periode tertentu dapat hidup di
dalam tanah.

(h) penggunaan tanaman perangkap. Cara ini banyak dilakukan pada pertanian organik.
Untuk mencegah serangan hama dan penyakit pada tanaman utama dengan cara menanam
tanaman perangkap di sekitarnya. Biasanya, digunakan tanaman yang mempunyai warna
dan bau mencolok.

Selain itu, Kusnaedi (2003) mengemukakan bahwa pengendalian hama dan


penyakit dengan cara kultur teknis dapat dilakukan melalui:
 Pemilihan dan Penggunaan Bibit. Bila pada bibit atau benih terdapat telur serangga,
maka akan terjadi penyebaran hama dan penyakit di suatu lahan yang sebelumnya
tidak ada hama atau penyakit tersebut. Sebaiknya bibit atau benih diperoleh dari
produsen yang bermutu dan dapat menjamin kualitas bibit atau benih yang
dijualnya.
 Diversifikasi ekosistem, yaitu membuat aneka ragam tanaman (multiple cropping)
atau kondisi lingkungan yang dapat mengatur dinamika populasi hama dan
penyakit tanaman. Fungsi sistem ini adalah untuk mendukung peran musuh alami.

(3) Pengendalian secara genetik

Dapat dilakukan dengan cara: (a) pemilihan jenis tanaman dan varietas yang tahan
terhadap serangan hama dan penyakit. Program pemuliaan tanaman telah banyak
menghasilkan varietas tanaman yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit, (b)
mempertimbangkan kesesuaianya dengan kondisi lingkungan di lokasi penanaman. Saat
ini terdapat kecenderungan untuk mengusahakan tanaman di luar zona adaptasinya.
Contohnya, menanam tanaman dataran tinggi di dataran rendah, sehingga tanaman mudah
mengalami stress dan meningkatkan kemungkinan terserang hama dan penyakit.

4. Pengendalian secara fisik dan mekanik

Perlakuan atau tindakan fisik lebih banyak dilakukan untuk mengendalikan


serangan hama. Beberapa perlakuan yang termasuk dalam perlakuan fisik di antaranya
pemanasan, pembakaran, pendinginan, pembasahan, pengeringan, penggunaan lampu
perangkap, radiasi sinar infra merah, penggunaan gelombang suara, atau penggunaan
penghalang.
Perlakuan atau tindakan secara mekanik bertujuan untuk mematikan atau
memindahkan hama secara langsung, baik dengan tangan atau dengan bantuan alat atau
bahan lainnya. Beberapa perlakuan yang termasuk dalam perlakuan secara mekanik di
antaranya pengambilan dengan tangan, penggunaan perangkap dan gropyokan untuk
mengendalikan hama tikus, penggunaan perangkap lampu untuk mengendalikan serangga,
atau pemasangan bebegig atau orang-orangan di sawah untuk mencegah serangan burung.

5. Pengendalian secara kimiawi dengan pestisida selektif

Cara ini menggunakan racun kimia (pestisida) untuk mengendalikan hama dan
penyakit. Dalam banyak kasus, pestisida memang berhasil menekan populasi hama dan
penyakit dalam waktu singkat, bila digunakan dengan tepat sebagai bagian dari strategi
penerapan PHT. Pada PHT, pemakaian pestisida yang berspektrum luas, berdosis tinggi,
dan terdiri atas satu jenis saja dalam waktu panjang harus dihindari. Karena, akan
menyebabkan kekebalan pada hama dan penyakit tertentu.

6. Pencatatan dan evaluasi

Setelah tahap pelaksanaan selesai, semua data mengenai pelaksanaan PHT perlu
dikumpulkan, sehingga dapat diperoleh kesimpulan tentang kegagalan atau
keberhasilannya. Data tersebut harus tercatat dengan rinci untuk kemudian dievaluasi
kelebihan dan kekurangannya. Catatan-catatan ini kemudian akan kembali menjadi bagian
dari sejarah lahan dan dapat digunakan dalam tahap pelaksanaan PHT berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Joesi, Endah H. dan Novizan, 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman.
Agro Media Pustaka. Jakarta.

Kusnaedi, 2003. Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.


Pracaya, 2003. Hama Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sinaga, Meity Suradji, 2003. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Sudarmo, Subiyakto, 1991. Pengendalian Serangga Hama Penyakit dan Gulma Padi.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

-------------------------.1991. Pengendalian Serangan Hama Sayuran dan Palawija.


Kanisius. Yogyakarta

-------------------------,1995. Pengendalian Serangga Hama Tanaman Buah-buahan.


Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Triwidodo, H. 2003. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.

Untung, Kasumbogo. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

REFERENSI (Bacaan)

Adkisson, PL. 1972. Use of Cultural Practices in Insect Pest, in Implementing Practical
Pest management Strategies. Proceeding of a National Extention Insect
Pest management Workshop at Purdue University, Lafayette. Indiana.

Agrios, GN. 1969. Plant Pathology. Academy Press. New York.

========, 1997. Plant Pathology, 4th Eds. Academic Press, Inc. San Diego.

Alexopoulos, CJ and Mims CW. 1979. Introductory Mycology, 3rd Eds. John Wiley &
Sons, Inc. Singapore.

Alexopoulos, CJ, Mims CW, and Blackwell, M. 1996. Introductory Mycology, 4th Eds.
John Wiley & Sons, Inc. New York, Singapore.

Anonim, 1981. Pest Control in Tropical Grain Legumes. Center for Overseas Pest
Research. London.

------------------, tt. Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang dan


Pemberantasannya. Lembaga Penelitian Hortikultura. Jakarta.

------------------, 1983. Pest Control in Tropical Tomatoes. Center for Overseas Pest
Research. London.

------------------, 1985. Penyakit CVPD. Media Pestisida, No. 15, Tahun 1985.
------------------, 1986. Pest Control in Tropical Onions. Tropical Development and
Research Institute. London.

------------------, 1992. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Komisi Pestisida,


Departemen Pertanian. Jakarta.

Baker, KF and RJ Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogen. WH Freemen. San
Fransisco.

Bentvelzen, SJ, JCM. 1983. Hama dan Penyakit Tanaman dan Pemberantasannya.
Kursus Pertanian Tanaman Tani. Salatiga.

Borror, DJ and DM Delong. 1954. An Introduction to the Study of Insects. Holt


Rinehart and Winston. New York.

Brown, JF. 1980. Plant Protection. Australian Vice Chancellors Comm Press Etching Pty.
Ltd. Brisbane.

Chupp, Charles, and Arden F. Sherf. 1960. Vegetable Diseases and Their Control. The
Ronald Press Company. New York.

Clifton, CE. 1958. Introduction to the Bacteria. Mc Graw - Hill. New York.

Davidson, RH and LM Peairs. 1966. Insect Pests of Farm, Garden, and Orchard. John
Wiley & Sons. New York.

De Bach, P. 1964. Biological Control on Insect, Pest and Weeds. Reinhold. New York.

--------------, 1974. Biological Control by Natural Enemies. Cambridge. Massachusetts.

Esguera, NM and BP Gabriel. 1969. Insect Pest of Vegetables. Dept of Ento, Coll of
Agric Univ of the Phil Tech. Bull.

Essig, EO. 1958. College Entomology. The Mac Millan Co. New York.

Frohlich, G dan W. Rodewald. 1970. Pest and Diseases of Tropical Crops and Their
Control. Pergamon Press. Braunschweig.

Galloway, LD. 1952. Applied Mycology and Bacterology. Leonard Hill. London.

Harahap, Idham Sakti. 1999. Hama Palawija (Seri PHT). Penebar Swadaya. Jakarta.

Harjadi, Sri Setyati, MM. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.

Harris, TW. 1980. Treatise on Some of The Insect Injurious to Vegetation. CL Fling
Orange Judd. New York.
Heald, FD. 1943. Introduction to Plant Pathology. McGraw-Hill. New York.

Horsfall, JG and Cowling, EB. 1977. Plant Disease. Advanced Treatice Academic Press.
New York.

Hoyt, SC and EC Burt. 1974. Integrated Control of Fruit Pest. Annu Rev. Entomol. 19.

Huffaker, CB. Biological Control. Plenum Press. New York.

Ilag, LL. 1983. Learning The Principles of Plant Pathology. Dept. Of Plant Pathology,
College of Agriculture. Los Banos, Laguna.

Imms, AD. 1973. A General Textbook of Entomology. ELBS and Chapman & Hall Ltd.

Kalshoven, LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Rev. By van der Laan. PT Ichtiar
Baru van Hoeve. Jakarta.

Kalshoven, LGE dan Van der Vecht. 1950. De Plagen van de Cultuurgewassen in
Indonesia. Deel I. van Hoeve’S-Gravenhage. Bandung.

-----------------------------------------------, 1951. De Plagen van de Cultuurgewassen in


Indonesia. Deel II. van Hoeve’S-Gravenhage. Bandung.

Kalshoven, LGE dan Van Der Laan. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-
van Hoeve. Jakarta.

Kran, et al. 1977. Diseases, Pest and Weeds in Tropical Crops. Verlag Paul Parey.
Berlin.

Martin, H. 1972. Insecticide and Fungicide Handbook. Oxford. London.

Luckmann, W. and RL. Metcalf. 1975. The Pest Management Concept, in Introduction
to Insect Pest Management. John Wiley & Sons. New York.

Mary, Louse Flint dan Robert van Den Bosh. 1990. Pengendalian Hama Terpadu Suatu
Pengantar. Kanisius. Yogyakarta.

Metcalf, CL dan WF Flint. 1951. Destructive and Useful Insects. MC Graw-Hill. New
York.

Mc Maugh, Judy. 1995. What Garden Pest or Disease is That?. Lansdowne Publishing
Pty Ltd. Australia.

Novizan, 2002. Petunjuk Pemakaian Pestisida. Agro Media Pustaka. Jakarta.


Nieuwhof, M. 1962. Cole Crops. Leonard Hill. London.

Peter, Farb. 1978. Pustaka Alam Life Serangga. Tira Pustaka. Jakarta.

Pirone, P. Pascal. 1978. Disease and Pests of Ornamental Plants. John Wiley & Sons.
New York.

Putra, Nugroho Susetya. 1994. Serangga di Sekitar Kita. Kanisius. Yogyakarta.

Rabb, RL and FE Guthrie (eds.). 1970. Concepts of Pest Management. North Carolina
State University Press. Raleigh.

Reissig, WH, EA Heinrichs, JA Litsinger, K. Moody, L. Fielder, TW Mew and AT


Barrion. 1986. Illustrated Guide to Integrated Pest management in Rice
in Tropical Asia. IRRI, Los Banos, Laguna. Philippines.

Reuther, W, et al. 1978. The Citrus Industry, Vol. IV. Crop Protection University of
California. Berkeley.

Rismunandar. 1986. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Sinar. Bandung.

Rukmana, Rahmat dan UU Sugandi Saputra. 1997. Penyakit Tanaman dan Teknik
Pengendaliannya. Kanisius. Yogyakarta.

Sandergon, ED. 1915. Insect Pest of Farm, Garden and Orchard. John Wiley & Sons.
New York.

Semangun, Harjono. 1971. Penyakit-penyakit Tanaman Pertanian di Indonesia.


Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

-----------------------, 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Shepard, BM, AT Barrion and JA Litsinger. 1987. Friend of the Rice Farmer, Helpful
Insects, Spiders, and Pathogens. IRRI. Los Banos, Laguna. Philippines.

Stoll, G. 1986. Natural Crop Protection. Verlag Josef Margraf. FR Germany.

Tarr, SAJ. 1972. Principles of Plant Pathology. MacMillan. London.

Thung, TH. 1949. Grondbeginselen der plantenvirologie. H. Veenman & Zonen.


Wageningen.

Tjahjadi, Nur. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.


Tukidjo, M. 1984. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan Bagian dari Perlindungan
Tanaman. Andi Offset. Yogyakarta.

Worthing, CR. 1979. The Pesticide Manual, a World Compendium. British Crop
Protection Council. London.

Wudianto, Rini. 2001. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wyniger, R. 1962. Pest of Crops in Warm Climates and Their Control. Verlag fur rech
and Gesellschaft AG. Basel.

Zadoks, JC and Schein, RD. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management.
Oxford Univ. Press. Oxford.

Anda mungkin juga menyukai