Anda di halaman 1dari 23

Sejarah Maritim

Pelayaran di Nusantara pada Masa Sistem Tanam Paksa

Oleh :

Eriyano Wempy Gilarsi 121511433002


Gita Ayu Cahyaningrum 121511433004
Azhari Putra Bahari 121411433080
Moh. Ibadurrahman 121411433006
Suci Wulan Dari 121411433011

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan kehadirat Allah, karena atas


rahmatNya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Pelayaran di
Nusantara pada Masa Sistem Tanam Paksa. Makalah ini diajukan untuk
melengkapi tugas mata kuliah Sejarah Maritim yang dibawahi oleh Bapak Dr.
Sarkawi B. Husain, S.S., M.Hum.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan


bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.

Surabaya, 23 Oktober 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................ 3
2.1 Kondisi Pelayaran di Nusantara pada Masa Sistem Tanam Paksa ........ 3
2.1.1 Politik Kolonial Konservatif .............................................................. 3
2.1.2 Munculnya Sistem Tanam Paksa ....................................................... 5
2.2 Perusahaan Dagang dan Pelayaran pada Masa Sistem Tanam Paksa ...8
2.2.1 NHM (Nederlansche Handel-Maatschappij).......................................8
2.2.2 KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).....................................9
2.2.3 Serangan pada Kapal ‘Friendship’ dan Terjadinya First Sumatran
Expedition .................................................................................................. 16
BAB 3 PENUTUP ...................................................................................... 19
3.1 Simpulan ............................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara maritim merupakan negara yang memiliki visi atau pandangan


hidup maritim untuk mengontrol dan memanfaatkan laut sebagai syarat mutlak
mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Negara maritim harus dapat mengendalikan
pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaannya. Untuk itu negara maritim wajib
memiliki armada laut yang tangguh, baik armada perang maupun armada dagang.

Politik kolonial di Indonesia mengalami perubahan pada waktu Inggris


menguasai Indonesia, yaitu pada tahun 1811-1816. Inggris mengirim Raffless
menjadi penguasa di daerah yang baru dikuasainya itu. Sistem pemerintah
kolonial liberal yang coba ditegakkan oleh Raffless hakikatnya mengandung tiga
aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas asas-asas modern
(Barat), pelaksanaan pemungutan sewa, dan penanaman tanaman dagangan untuk
ekspor.

Tahun 1830-an Belanda dihadapkan pada situasi ekonomi yang genting,


dengan kondisi negara di ambang pintu kebangkrutan akibat peristiwa baik di
Indonesia (Perang Padri dan Perang Diponegoro) maupun akibat Perang Belgia
(1831). Untuk itu mulailah dicari cara yang dianggap tepat untuk menjamin
kepentingan Belanda. Cultuurstelsel diberlakukan pada tahun 1830 dengan
maksud untuk menjadikan tanah jajahan Hindia menguntungkan dengan cara
mengekspor tanaman pertanian tropis.1

Laut Jawa merupakan laut inti bagi Asia Tenggara. Karena itu Laut Jawa
memiliki fungsi kohesif yang mengintegrasikan berbagai elemen kehidupan
masyarakat yang melingkunginya. Peranan kawasan dan jaringan Laut Jawa

1
De koloniale staat (Negara kolonial) 1854-1942 Panduan Archief van het Ministerie van
Koloniën (Arsip Kementerian Urusan Tanah Jajahan) Kepulauan Nusantara. Penyusun Francien
van Anrooij. Diterjemahkan oleh Nurhayu W. Santoso Susi Moeimam. Edisi revisi, Leiden,
Agustus 2014, hlm. 5.

1
masih dapat dilihat sampai saat ini. Dapat diakatakan Laut Jawa merupakan
mediterranean sea (laut tengah) bagi Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Ia
menjadi jembatan penghubung berbagai komunitas yang ada di sekitarnya, baik
dalam kegiatan budaya, politik, maupun ekonomi. Selain itu juga ada laut Arab
dan Laut Merah sebelum sampai ke Eropa.2

1.2 Rumusan Masalah

Beradasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penyusunan


makalah ini sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana kondisi pelayaran di Nusantara pada masa Sistem Tanam


Paksa?
1.2.2 Apa saja perusahaan dagang pelayaran pada masa Sistem Tanam Paksa
beserta peranannya?

2
Irawan Djoko Nugroho. Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi
Pengendali Pelabuhan Dunia, (Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2010), hlm. 16.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Pelayaran di Nusantara pada Masa Sistem Tanam Paksa

2.1.1 Politik Kolonial Konservatif

Politik kolonial Belanda di Indonesia mempunyai dimensi yang agak maju


jika dibandingkan dengan politik kolonial Portugis dan Spanyol. Tetapi dalam
fase-fase awal diwarnai oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
sebenarnya masih bersifat konservatif juga, dan tidak berbeda dari politik
konservatif yang dipraktikkan oleh Portugis dan Spanyol dalam periode
sebelumnya. Hal ini disebabkan politik kolonial Belanda (VOC) masih bersifat
monopolistis dan sistem ini masih terus dipertahankan oleh pemerintahan Belanda
sewaktu mengambil alih administrasi dari VOC pada akhir abad ke-18.
Pemerintah kolonial Belanda terus melanjutkan politik kolonial tradisional
tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari upeti dan keuntungan
perdagangan yang semuanya untuk kepentingan kerajaan. Seperti politik dan
administrasi kompeni, dijalankan sistem pemerintahan tidak langsung.

Watak konservatif yang melanjutkan cara-cara yang telah dijalankan oleh


VOC itu ternyata amat menonjol atau dominan mewarnai politik kolonial Belanda
pada periode sesudah runtuhnya VOC sampai masuk dan berkuasanya Inggris di
Indonesia (1811-1816). Ketika seorang patriot Belanda bernama Daendels dikirim
ke Indonesia dan menjadi penguasa di Indonesia, politiknya juga tidak banyak
berubah. Meskipun ide-ide liberal coba diperkenalkan oleh Daendels, dilihat dari
segi politik kolonial, masa pemerintahnnya (1808-1811) tidak banyak mengalami
perubahan, dan pada dasarnya masih tetap mempertahankan politik kolonial
konservatif seperti yang telah dilaksanakan VOC sebelumnya.

Politik kolonial di Indonesia mengalami perubahan pada waktu Inggris


menguasai Indonesia, yaitu pada tahun 1811-1816. Inggris mengirim Raffless

3
menjadi penguasa di daerah yang baru dikuasainya itu. Meskipun masa
pemerintahan yang singkat, Raffless yang dikirim pemerintah Inggris sebagai
Letnan Gubernur di Indonesia itu telah berhasil meletakkan dasar-dasar
kebijaksanaan ekonomi yang sangat penting dan sangat memengaruhi sifat dan
arah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda pada kurun waktu sesudahnya.
Raffless adalah seseorang yang berpandangan politik liberal. Oleh karena itu, ia
menolak sistem VOC dengan segala konsekuensinya.

Secara konkret Raffless ingin menghapus segala segala penyerahan wajib


dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC dan dilanjutkan pemerintahan
Belanda, selalu dibebankan kepada rakyat, khususnya kepada para petani. Kepada
petani ini, Raffless ingin memberikan suatu kepastian hukum dan kebebasan
dalam berusaha. Raffless dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh cita-cita liberal
dengan semboyannya “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan” bagi setiap
warga negara, walaupun ia menyadari bahwa keadaan yang berlaku di Jawa
(Indonesia) tidak dapat sepenuhnya mewujudkan cita-citanya tersebut.

Dalam usahanya menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru,


Raffless ingin berpatokan pada tiga asas. Pertama segala bentuk dan jenis
penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh
diberikan pada rakyat. Kedua peranan bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan
dan sebagai penggantinya dijadikan bagian yang integral dari sistem pemerintahan
kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai asas-asas pemerintahan
yang modern. Ketiga berdasar anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah
pemilik tanah, para petani yang menggarap sebagai penyewa. Untuk penyewaan
tanah itu para petani diwajibkan membayar sewa tanah (Landrent) atau pajak atas
pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah itulah yang selanjutnya dijadikan dasar
kebijaksanaan ekonomi pemerintah kolonial Inggris di bawah Raffless dan
kemudian ditiru oleh pemerintah kolonial Belanda sampai tahun 1830.

Sistem pemerintah kolonial liberal yang coba ditegakkan oleh Raffless


hakikatnya mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem

4
pemerintahan atas asas-asas modern (Barat), pelaksanaan pemungutan sewa, dan
penanaman tanaman dagangan untuk ekspor. Kecuali aspek di atas, Raffless
memperhatikan sesuatu yang ideal, yaitu usahanya untuk mempraktikkan
beberapa prinsip humaniter.

Untuk melaksanakan ide-ide tersebut, sebagai konsekuensinya diperlukan


perubahan total terhadap sistem lama dari pemerintahan secara tidak langsung.
Sebagian besar perubahan yang dilakukan oleh Raffless di dalam politik kolonial
berakhir dengan kegagalan. Sebagian besar dari kegagalan itu karena perbedaan
yang mencolok antara idealisme liberal dengan kondisi sosio-kultural masarakat
tradisional Jawa. Selain itu, Raffless sangat dipengaruhi oleh asas-asas kolonial
Inggris yang telah ditempuh di India. Kesalahan Raffless adalah ia terlalu
berlebihan menyamankan kondisi sosial di India dengan di Jawa, yang sebenarnya
terdapat perbedaan-perbedaan yang amat besar dalam susunan masyarakat dan
perkembangan ekonominya. Itulah sebabnya meskipun Raffless penganut ide-ide
liberal terpaksa akhirnya ia tetap mempertahankan cara lama karena yang telah
ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda sebelumnya karena kas negara
memerlukan pemasukan secepatnya.

Sistem dualisme seperti yang telah diterapkan oleh Raffless itu masih
diteruskan oleh Belanda sampai tahun 1830. Periode dari 1800-1830 ditandai
dengan pertentangan yang tajam dalam menentukan politik yang akan dianut baik
sistem konservatif maupun sistem liberal. Keadaan kemudian melahirkan politik
kolonial berdasarkan campuran prinsip-prinsip dan praktik yang satu sama lain
bertentangan.

2.1.2 Munculnya Sistem Tanam Paksa

Pengembalian Indonesia kepada Belanda oleh Inggris pada tahun 1816


menghadapkan pemerintah Belanda pada persoalan sistem yang akan
dipergunakan agar jajahan memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada
negeri induk. Masa sampai tahun 1830 diliputi oleh pertentangan antara kaum

5
liberal dan kaum konservatif. Yang pertama mempertahakan bahwa tujuan dapat
dicapai dengan sistem perusahaan kapitalis Barat, sedang yang kedua condong
untuk menjalankan sistem pemungutan hasil tanaman. Akhirnya dengan tidak
melepaskan tujuan pokok yaitu eksploitasi daerah jajahan, dicarilah cara-cara
bagaimana prinsip kebebasan masih dapat dilaksanakan meskipun minimal.

Tahun 1830-an Belanda dihadapkan pada situasi ekonomi yang genting,


dengan kondisi negara di ambang pintu kebangkrutan akibat peristiwa baik di
Indonesia (Perang Padri dan Perang Diponegoro) maupun akibat Perang Belgia
(1831). Untuk itu mulailah dicari cara yang dianggap tepat untuk menjamin
kepentingan Belanda. Daerah koloni harus dapat mengisi kas Belanda sebab
mereka adalah gabus yang menjadi tempat mengapungnya kesejahteraan negara
induk. Akibatnya sistem yang menjujung tinggi kebebasan ekonomi ditolak, dan
oleh Van Den Bosch dikenalkan sebuah sistem yang dapat mendatangkan
keuntungan dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan kebiasaan tradisional yaitu
“Cultuurstelsel”

Van Den Bosch arsitek sistem baru ini sangat yakin bahwa Indonesia
sebagai tanah jajahan adalah sumber kekayaan bagi negara induk Belanda.
Istimewa sekali Pulau Jawa karena tanahnya subur dan penduduknya padat. Petani
diwajibkan menanam tanaman seperti nila, tebu, kopi, dan tembakau yang akan
diperdagangkan oleh pemerintah di bawah pengawasan pemerintah sendiri.
Serikat Dagang Belanda yang disebut Nederlandsche Handelmaatschappi adalah
serikat dagang tunggal yang berhak mengekspor hasil bumi yang diperoleh dari
tanam paksa untuk diperdagangkan di pasaran Eropa.

Pengaruh sistem itu bagi rakyat sangatlah berat. Oleh karena pemerintah
kolonial Belanda menghendaki keuntungan yang sebesar-besarnya, segala
peraturan dijalankan tanpa mengingat kepentingan rakyat terjajah. Pemerintah
kolonial memanfaatkan para pangreh praja di Indonesia dari yang paling atas
sampai yang paling bawah dikerahkan untuk bekerja di perkebunan. Kepatuhan
rakyat desa kepada atasannya menjadi modal bagi pemerintah untuk

6
menyukseskan usahanya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa para pembesar
Indonesia yang telah menjadi alat kolonial terlalu giat kerjanya sebab mereka
saling berlomba untuk mencari muka pada pembesar Belanda dan akhirnya
rakyatlah yang menjadi korban.

Culturstelsel harus produktif dan untuk itu pengawasan pemerintah


kolonial Belanda diperkeras. Untuk mengikat golongan yang berkuasa, Belanda
tidak hanya mengembalikan kekuasaan mereka, tetapi juga meningkatkan status
mereka dengan menyerahkan tanah yang akan memberikan tenaga kerja dan
penghasilan lain seperti pada rezim tradisional yang lama. Lagipula Van Den
Bosch mengadakan cara-cara yang efisien untuk mendorong para pegawai
menyukseskan perkebunan-perkebunan pemerintah dan merangsang mereka untuk
memperbesar premi yang disebut sistem presentase. Memang benar peraturan
tersebut yang paling efisien untuk mencapai tujuan yang diharapkan, akan tetapi
hal tersebut menjadi sumber korupsi dan penyelewengan-penyelewengan. Sistem
itu dapat dianggap sebagai legalisasi oleh pemerintah kolonial terhadap segala
macam penindasan.

Didorong untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya, pemerintah dan


pelaksana-pelaksananya telah menerapkan cara-cara yang menyimpang dari
ketentuan yang ada. Misalnya, menurut ketentuan Culturstelsel, petani hanya
diharuskan menyediakan tanahnya seperlima dari miliknya untuk kepentingan
tanaman wajib, tapi dalam praktiknya para petani menganjurkan kepada para
petani untuk menanami tanah yang jauh lebih luas dari ketentuan. Dalam
peraturan juga diebutkan bahwa mereka yang tidak memiliki tanah dikenakan
wajib kerja di perkebunan selama 65 hari dalam setahun, tetapi dalam praktiknya
rakyat digiring untuk terus bekerja di perkebunan melampaui ketentuan.

Culturstelsel jika dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya sebenarnya


tidak terlalu merugikan rakyat. Tetapi karena dalam praktiknya semua ketentuan
itu dilanggar dan diselewengkan oleh para pelaksananya, hasilnya berbeda.
Penyelewengan tersebut oleh pemerintah tidak ditindak karena tidak merugikan

7
pemerintah, justru memberikan keuntungan yang berlebih. Hakikatnya tidak ada
batas mengenai luasnya tanah yang akan ditanami untuk pemerintah. Banyak
tenaga yang terbuang sia-sia dalam mencoba tanaman-tanaman baru. Kerja
tambahan diminta di samping kerja wajib, dan kewajiban lainnya tidak dihapus.
Tampak jelas bahwa sistem itu mengakibatkan kemerosotan moral dan
bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Den Bosch.3

2.2 Perusahaan Dagang dan Pelayaran pada Masa Sistem Tanam Paksa

Sistem tanam paksa diperkenalkan di pulau Jawa pada 1830 yang


dicetuskan oleh Johannes van den Bosch untuk mewujudkan rencana menjadikan
Pulau Jawa sebagai penghasil komoditas pertanian yang dapat dijual di pasar
dunia. Tentu saja keuntungan dari hasil komoditi tersebut akan masuk ke dalam
kas Belanda. Tanah-tanah desa di Jawa disisakan seperlima bagian untuk ditanami
tanaman dagang yang ditentukan oleh pemerintah.Tanaman tersebut adalah kopi,
kina, cengkih, dan tebu. Hasil dari tanaman dagang tersebut akan dijual kepada
pemerintah dengan harga tertentu. Hasil bumi yang diserahkan kepada pemerintah
harus sudah diolah secara memadai di pabrik penggilingan milik pemerintah
sehingga hasil bumi tersebut layak untuk dijadikan komoditi ekspor.

2.2.1 NHM (Nederlansche Handel-Maatschappij)

Pabrik-pabrik ini berada di tangan orang Cina dan Eropa dengan


mempekerjakan para buruh upahan. Komoditas olahan ini kemudian dikirim dan
dikapalkan ke Belanda dengan kapal-kapal yang disewa oleh Perusahaan Dagang
Belanda NHM. NHM atau Nederlansche Handel-Maatschappij adalah suatu
perusahaan yang dibangun pemerintah pada tahun 1825 di tengah-tengah usaha

3
Budi Cahyo Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan
Hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995). hlm. 5-10.

8
untuk bersaing ketat dengan maskapai perkapalan Inggris. Adanya sistem dari
Tanam paksa ini sendiri lambat laun telah membawa keuntungan oleh beberapa
perusahaan maskapai Belanda. Seperti NHM yang mulai bangkit ketika adanya
pengangkutan komoditi dari Indonesia ke Belanda. Hasil bumi yang diangkut ini
kemudian dilelang dan di perdagangakan melalui jalur perdagangan internasional.

Pembentukan maskapai dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan


NHM adalah salah satu upaya untuk menunjang kekuatan Belanda untuk berlayar
atau berkuasa di kancah perdagangan internasional. NHM dimanfaatkan untuk
memperkuat kekuatan perniagaan Belanda. Namun terdapat kendala-kendala
dalam usahanya sebagai perusahaan maskapai dalam pengangkutan komoditi.
Banyak kantor-kantor niaga yang membuka cabang di Batavia terpaksa gulung
tikar sejak akhir 1820-an dan awal tahun 1830-an merupakan fakta yang tak dapat
dipungkiri, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh jeratan krisis likuidtas, karena dana
mereka dalam bentuk uang muka masih tertahan di produsen barang-barang
ekspor ketimbang oleh suatu tindakan tertentu pemerintah Hindia Belanda.4

2.2.2 KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij)

The Royal Packet Navigation Company yang lebih dikenal dengan KPM
dibentuk pada 1888 oleh Stoomvart Maatschappij Nederland Dan Rotterdamsche
Lloy, mulai beroperasi pada 1 Januari 1891. Beberapa tahun pertama sangat sulit,
tapi sedikit demi sedikit perusahaan tumbuh efisien dan beradaptasi pada
kemungkinan dan kebutuhan dari perdagangan. Sejumlah rute terus meningkat
dan menjadi kekuatan dari armada kapal. Kebijakan mereka untuk membangun
dan mempertahankan layanan pada area isolasi.

Di sisi lain di Nusantara bagian timur terdapat beberapa permasalahan


pada tahun1890 an, hal ini menjadi sangat menganggu karena suku Tugeri sering

4
Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
2003), hlm. 172.

9
melakukan perompakan dan pengayauan keluar wilayah, namun hal ini bukan
pertama kali terjadi. Perompakan dilakukan keluar wilayah melewati daerah
perbatasan koloni Belanda dan Inggris, setelah terjadi beberapa perompakan dan
pengayauan di wilayah Nieuw Guinea koloni Inggris sehingga memunculkan
keluhan dari pihak Inggris ke pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1891
gubernur Nieuw Guinea Inggris meminta campur tangan pemerintah Belanda
untuk mengakhiri perompakan dan pengayauan suku Tugeri ke Nieuw Guinea
Inggris an kepulauan Queensland.5

Setelah mendapat keluhan dan komplain dari pemerintahan kolonial


Inggris, akhirnya pemerintah Belanda membuka jalur pelayaran KPM ke wilayah
pantai selatan Niew Guinea, dengan mengotrak kapal KPM di tahun 1891. Pada
kontrak tersebut tertera kewajiban kapal KPM untuk menyinggahi pantai selatan
Nieuw Guinea beberapa kali dalam setahun guna untuk menunjukkan bahwa
wilayah itu milik Belanda dan melaporkan berbagai hal tentang wilayah itu
kepada pemerintah pusat. Namun, meski dibuka jalur pelayaran tetap ada
penyerangan perompak suku Tugeri Juni tahun 1892 di Nieuw Guinea koloni
Inggris. Penyerangan ini memaksa Inggris mindahkabn tempat kedudukan hakim
dari Mabudanan ke Daru. Kejadian ini mendorong pemerintahan Inggris menekan
pemerintahan Belanda untuk menertibkan suku Tugeri dan menjamin keamanan
jika tidak bisa maka Inggris akan masuk dan melakukan tindakan penertiban serta
penguasaan.

Atas dorongan hal itu membuat pemerintah Belanda termotivasi


mendirikan pangkalan pos pemerintahan di Nieuw Guinea, yang ilakukan oleh
posthouder Van Ahee bersama 12 serdadu polisi. Namun pos itu hanya bisa
berdiri beberapa hari dan harus ditinggalkan akibat serangan dari suku Tugeri
pada 20 Desember 1892. Misi yang gagal membuat Van Ahee terpaksa kembali

5
Rosmaida Sinaga, Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962, (Komunitas Bambu:
Jakarta, 2013), hlm. 54.

10
dan ia sangat bersyukur atas kedatangan kapal KPM yang mengangkut seluruh
petugasnya.6

Setelah kejadian berulang kali terjadi membuat pemerintah Belanda


melakukan upaya untuk mengatasinya, yakni dengan menegakkan kekuasaan
Belanda di Nieuw Guinea, namun tinakan ini juga bagian dari respon pemerintah
Belanda dalam merespon pernyataan pemerintahan Inggris yang akan memasuki
wilayah Nieuw Guinea koloni Belanda. Peneggakkan kekuasaan diawali dengan
pembenahan hubungan transportasi dan komunikasi dari dan ke NNG, pemerintah
kolonial Belanda membenahi peraturan pelayaran KPM karena di anggap masih
sedikitnya tempat-tempat yang disinggahi , sehingga pemerintah kolonial
membuat peraturan yang mewajibkan kapal KPM singgah di banyak lagi kota-
kota pantai guna membuka dan meningkatkan hubungan dagang dan juga
memuahkan para petugas kontrolir untuk mengunjungi wilayah kekuasaannya.
Pelayaran jalur KPM dari Ternate ke Nieuw Guinea diatur melalui jalur selatan
dan utara :

Pelayaran KPM jalur utara

 Perjalann pergi : Ternate, Gane Patani, Salawati, Sorong, Dorei, Room,


Teluk Umar, Ansus (Yapen), Taronta (Teluk Walckenaar), Teluk
Homboldt (Perbatasan Dengan Jerman).
 Perjalanan pulang : Teluk Tanah Merah, Jamma, Awek (Pantai Utara
Yapen), Saba (Di Biak), Korido, Dorei, Sankoren (Amberbaken, pada
musin angin barat laut sebagai gantinya Koor di pulau-pulau Amsterdam
dan Middelburg disinggahi), Saonek (Waideo), Patani dan Ternate.

Pelayaran KPM pada jalur selatan

 Perjalanan pergi : Ternate, Bacan, Misool, Sekar, Skroe, Karas (Teluk


Rijcklofvan Goens), Gisser, Banda, Teluk Kaimana, Utanata (Wakara),
Selerika (perbatasan dengan Inggris).

6
Ibid., hlm. 55.

11
 Perjalanan pulang : Pulau Hermuis, Teluk Kayu Merah, Teluk Triton,
Namatote, Banda, Gisser, Skroe, Sekar, Bacan Dan Ternate.7

Setelah pemebenahan rute pelayaran, pemerintah melakukan


pembangunan kompleks perkantoran dan menyediakan rumah bagi para kontrolir
dan aparat kepolisian yang ditugaskan di NNG. Pemilihan tempat kontrolir jatuh
pada Manokwari karena mempunyai pelabuhan yang aman untuk berlabuh bagi
kapal-kapal besar, tidak berawa serta terletak di teluk yang dalam dan tenang,
selain itu tersedia air minum, tanah subur dan iklim yang sehat. Alasan lain
pembangunan pangkalan di Teluk Doreh :

 Karena pangkalan itu merupakan tempat berlabuh yang aman bagi kapal
uap polisi.
 Memiliki kealaman yang memadai yang memungkinkan kapal-kapal
dagang berukuran besar untuk berlabuh
 Berkaitan dengan tempat-tempat yang disinggahi oleh kapal-kapal uap
miliki KPM, pangkalan ini diupayakan dibangun sedekat mungkin dengan
kedudukan tempat kontrolir sebagai kepala pelabuhan.
 Untuk kepentingan para kontrolir di Nieuw Guinea Utara dan Skroe,
kapal-kapal uap kecil harus diadakan segera setelah laporan harga
pembuatan kapal-kapal uap kecil disampaikan ke armada di Surabaya,
Galangan Kapal Tanjung Priuk, Firma Tayor, dan Lawson di Batavia serta
perusahaan galangan kapal Tanjung Pagar di Singapura.8

Pada 1908 perusahaan mengalihkan perhatiannya pada negara diluar


kepulauan indonesia dan memulai pelayanan pada australia. Seperti komunikasi-
komunikasi yang dilihat sebelumnya: pada 1896 sebuah layanan percobaan yang
dibuka pada Cina dan Jepang namun tidak mengenakkan, pada 1900 dimulainya
lagi layanan ini telah dipertimbangkan, namun kebijaksanaan yang itemukan

7
Ibid., hlm. 59.
8
Ibid., hlm. 62.

12
melakukan pendirian secara independen KPM. Dan akhirnya membuat formasi
dari lintasan Jawa-Cina-Jepang.9

Dalam melakukan pembenahan transportasi dan komunikasi yang


dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rute timur terdapat salah
satu kelompok masyarakat yang menonjol dan menjadi perhatian pemerintah
karena keberaniannya melakukan pelayaran perompakan dan pengayauan hingga
melewati batas wilayah, suku tersebut yakni suku Tugeri (Marind-Anim). Pada
saat melakukan pelayaran mereka biasanya dalam jumlah rombongan besar
menyusuri aliran sungai-sungai dengan perahu.10

Tabel pelayaran penjarahan dan perompakan suku Tugeri yang tercatat:

No Tahun Tindakan Suku Tugeri

1 1890 Merompak dan mengayau hingga ke Nieuw Guinea Inggris


2 Juni 1892 Menyerang daerah Daru
3 20 Des 1892 Menyerang pos pemerintah kolonial Belanda
4 1896 Terlibat dalam pelayaran penjarahan Nieuw Guinea Inggris
5 Des 1899 Mengepung dan menyerang desa suku Sanana (membantai,
menangkap, dan membawa lari penduuknya) yang merupakan
penduduk wilayah Inggris

Meskipun KPM telah berakar di kepulauan Indonesia sampai awal 1958,


lintasan diperpanjang lebih jauh. Sebelum meletusnya Perang Dunia II, sebagai
contoh mereka mempertahankan layanan pada Siam, Burma, Indocina, Cina,
Australia, Teritori Utama Austalia, New Zealand, Filipina, Timur dan Selatan
Afrika, Amerika Selatan. Beberapa layanan original selama Perang Dunia I ketika

9
M. Thorburn (Ed), “N.Y. NEDERLANDSE TANK- EN PAKETV AART MAA
TSCHAPPIJ” Royal Interocean Lines, Vol. XIV No. I Januari 1967, hlm. 6.
10
Rosmaida Sinaga, op.cit., hlm.54.

13
lalu lintas transit tradisional ke Eropa dan Amerika terganggu dan perlunya
membuat komunikasi dengan negara lain.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, peranan angkutan laut ini


sudah terlihat pentingnya sejak zaman kerajaan. Kerajaan-kerajaan besar
Nusantara dapat tumbuh dan jaya dengan armada lautnya yang kuat dan tangguh.
Armada laut itu bukan saja digunakan untuk perang, tetapi yang lebih penting lagi
adalah sebagai kekuatan armada yang bisa mendukung kehidupan perdagangan
dan ekonomi umumnya. Pemerintah kolonial pun melihat pentingnya arti
angkutan laut ini. “Usaha untuk menguasai laut itu tergambar ketika pemerintah
kolonial memberikan hak monopoli atas pelayaran kepada Koniklijke Paketvaart
Maatschappij (KPM) yakni Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda, di pelayaran
antarpulau dan pelayaran samudera di Indonesia. Pada tahun 1890 KPM didirikan
di Indonesia.

Perusahaan ini memulai usahanya pertama kali dengan tiga kapal.


Dikarenakan hak monopolinya yang besar dan muatan yang tersedia juga sangat
meningkat jumlahnya dengan adanya perkembangan usaha dibidang perkebunan
dan pertambangan di Indonesia pada waktu itu, maka usaha KPM pun maju pesat.
Sejalan dengan usaha untuk memperkuat kedudukan perusahaan pelayaran
Belanda pada waktu itu, maka dibuatlah sebuah perjanjian pelayaran Nusantara
yang dikenal dengan istilah Groot Archipelago Contract antara pemerintah Hindia
Belanda dengan KPM yang memberikan keuntungan KPM berupa penguasaan
pelayaran antarpulau di Indonesia.11

Pendirian KPM diiringi dengan meningkatnya Angkatan Laut yang


kemungkinan disebabkan karena ancaman seperti aliansi antara Inggris dan
Jerman di New Guinea serta beroperasinya British North Borneo Company. Saat
itu, pemerintah kolonial dinilai mulai aktif dan agresif dalam kebijakannya untuk
memperhitungkan keamanan bagi imperialismenya. Prinsip dari kerjasama KPM

11
Tommy H. Purwaka, Pelayaran Antarpulau Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Wawasan Nusantara, 1993), hlm. 22.

14
dan pemerintah mencakup tiga hal yaitu KPM harus mengutamakan shipping
reguler antarpulau, lebih mengembangkan lalu lintas shipping di bagian timur
kepulauan dan KPM harus beroperasi untuk keuntungan politik dan ekonomi.12
Prinsip tersebut menyimpulkan bahwa KPM diarahkan sebagai alat integrasi
politik dan ekonomi Hindia Belanda.

Sebuah konsep ‘shipping follow the trade’ (pengapalan mengikuti


perniagaan) kemudian berubah setelah KPM beroperasi. Rute yang dijalankan
KPM mencakup hampir ke seluruh pulau, sehingga mampu menjadi penghubung
yang meningkatkan ikatan antara pedagang lokal dengan pedagang Belanda.
Dampaknya adalah perkembangan perniagaan di tingkat lokal dan merubah
konsep menjadi ‘trade follow the shipping’. Kesuksesan ini juga membuat KPM
menjadi sebuah simbol dari usaha dan keberhasilan pemerintah dalam
memperluas jangkauan politisnya. Salah satu kebijakan komersil yang
diberlakukan KPM sendiri adalah ekspansi shipping menuju pelabuhan yang
memiliki potensi ekonomi namun tidak terdaftar dalam rute yang reguler. Dalam
tahap ini, KPM bekerja sama dengan pedagang lokal untuk menyediakan kargo.
Untuk kepentingan penyediaan kargo ini, KPM bahkan menawarkan kredit
kepada pedagang lokal. Sementara keuntungan yang diberikan kepada pedagang
lokal adalah tiket perjalanan kelas dan perjalanan komersil.

Perubahan Setelah Adanya KPM:

 Terjalinnya hubungan kontak antara penduduk pedalaman dengan pesisir


serta orang asing maupun pemerintahan
 Semakin terbukanya perdagangan antar wilayah di Nusantara dan
berdampak pada ekonomi penuuk maupun pemerintah
 Lebih banyak kota-kota pantai yang di singgahi guna membuka dan
meningkatkan hubungan dagang

12
H.W.Dick, The Indonesian Interisland Shipping Industry, An Analysis of
Competition and Regulation, (Singapore: Institut of Southeast Asian Studies, 1987), hlm.
11.

15
 Terdapat kota-kota pantai baru yang di singgahi seperti Nieuw Guinea
(setelah adanya desakan Inggris)
 Memudahkan tugas para kontrolir untuk mengunjungi wilayah
kekuasaannya secara rutin
 Pemindahan barang yang mudah dan juga mobilisasi darurat yang
memungkinkan dan diharuskan terjadi
 Peningkatan akses transportasi dan komunikasi ke tempat-tempat yang
menjadi pos pemerintahan
 Peningkatan perdagangan dan keuntungan dari pajak guna menambah kas
negara Belanda
 Para penumpang KPM rute timur mempuyai kesempatan kembali
ketempat semula (setelah pembenahan jalur pelayaran)

2.2.3 Serangan pada Kapal ‘Friendship’ dan Terjadinya First Sumatran


Expedition

Serangan yang ditujukan pada pemukiman pesisir Sumatera Utara faktanya


adalah aksi serangan balasan, selesainya dikirimnya sebuah pesan peringatan
keras setelah serangan awal di tahun sebelumnya pada kapal dagang Amerika,
Friendship. Quallah Batto atau juga dikenal Kuala Batee berada di 3 derajat 44’
LU dan 96 derajat 56’ BT dari Pulau Sumatera, dan pada 1830 sebuah negara di
wilayah tersebut telah ada pemerintahan independen dan cukup besar dikenal
dengan kerajaan Aceh. Pada 1831 Friendship menelusuri pesisir barat dari Aceh
dan Sumatera Utara untuk mencari lada. Aceh sendiri sejak abad ke-17 dikenal di
mata dunia sebagai produsen dan pengekspor besar lada, dan sejak abad ke-17
menjalin hubungan perdagangan lada dengan banyak negara Barat termasuk
Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, dan Spanyol.13

13
Farish A Noor, Attack, Reprisal, and Dealing with the Media Fall-Out: The Battle of
Quallah Battoo in 1832. Media Syariah, Vol. XVI No. 1 Juni 2014, hlm. 259.

16
Pada Februari 1831 Friendship kapal dagang Amerika mendekat ke
Quallah Batto dengan maksud membeli lada dalam jumlah yang besar. Pada 7
Februari Kapten Friendship Charles Endicott dan beberapa orang awak kapalnya
menuju Pulau Quallah Battoo untuk bernegosiasi pembelian jumlah besar lada.
Sementara kapten dan anak buahnya ke darat, beberapa gerombolan orang-orang
Quallah Batto naik ke Friendship dan menyerang kru, membunuh satu perwira
dan dua kru lalu merebut Friendship. Lalu kapten Endicoot dan anak buahnya
terpaksa meminta bantuan orang lokal Malaya termasuk seorang pemimpin lokal
bernama Adam, yang membantu mereka untuk menghubungi pedagang Barat
lainnya yang berada di sekitar, dan akhirnya dapat merebut kembali Friendship.
Misinya gagal, lalu mereka kembali ke Salem, Massachusetts, di mana akhirnya
tersebar berita tentang penyerangan kapal dagang. Penyerangan kapal Friendship
ini menjadi peristiwa yang akhirnya melibatkan kapten dan kru dari USS
Potomac, Presiden Amerika Serikat, Angkatan Laut Amerika dan kedua sisi
kongres.

Ketika berita mengenai penyerangan Friendship mencapai Amerika,


membuat kemarahan dan dianggap penghinaan. Media Amerika menyoroti fakta
bahwa kapal dagang tak bersenjata Amerika telah di bajak, kru terbunuh, dan
kapal seketika direbut oleh orang-orang Sumatera. Pendapat publik semakin
menunjukkan sikap permusuhan dan sampai mendorong pemerintahan melakukan
tindakan. Presiden Andrew Jackson yang lincah, mendapat reputasi selama
perang dengan Inggris 1812-1815. Memerintahkan Perwira Angkatan Laut John
Downes, menjadi kapten dari Amerika Frigate (pengawal) USS Potomac, yang
telah menjelajahi pesisir Brazil. Potomac telah diperintahkan oleh presiden
menilai situasi dan mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memastikan
keamanan kapal-kapal dagang Amerika yang berlayar di perairan India Timur di
masa depan.

Potomac beralih perjalanan dan berlayar ke timur, meninggalkan garis


pantai Brazil dan menuju Afrika Selatan, setelah menyeberangi Samudera India
dan lalu menuju Selat Malaka. Awal Februari 1832 (satu tahun setelah

17
penyerangan Friendship) memasuki Aceh menuju Quallah Batto dan berencana
membuat penyerangan. Penyerangan pada Quallah Batto telah dilaksankan, dan
menggunakan kombinasi tipu muslihat dan strategi. Perwira Downes
menyamarkan kapalnya sebagai kapal dagang Belanda. Dengan senjata yang telah
dipasang di dek dan menutup semua port. Setelah mendekat ke Quallah Batto,
Potomac menangkap sejumlah orang lokal dari pemukiman, dan menanyai mereka
tentang pertahanan alami dari kota kecil itu. Telah diputuskan penyerangan (6
Februari 1832) tempat itu pada dini hari, menggunakan kombinasi pasukan tentara
dan pengeboman dari laut.

Total kekuatannya 282 marinir Amerika dan angkatan laut yang mendarat
di utara pemukiman, di tepi pantai disertai dengan senjata api. Pada dini hari
memulai penyerangan dengan kelompok yang mendarat menyerang benteng
pertahanan dari Quallah Battoo yang dekat dengan pantai. Pemimpin
memperkirakan kehilangan 150 orang Sumatera pada pertempuran. Para orang
Sumatera yang kualahan lalu mundur ke benteng kelima yang berada lebih dalam
di pulau, sementara orang Amerika menyerang kota Quallah Battoo itu sendiri,
meletakkan api pada bangunan dan kapal. Ketika peperangan semakin intensif,
lebih jauh 300 orang Sumtera telah tewas dan terluka, dan di pertengahan hari
penduduk pemukiman menyerah pada orang-orang Amerika. Pemimpin lokal
Quallah Battoo mengungsi pada peritiwa itu, namun peristirahatan dari
penududuk mereka terpaksa dihentikan dalam perlawanan mereka dan para orang
Amerika memutuskan untuk membongkar apapun yang tertinggal dari bangunan
perlawanan di pemukiman.

Amerika kehilangan relatif sedikit, hanya dua tentara yang terbunuh dan
hampir setengahnya terluka, meskipun tidak ada yang kritis. Perwira Downes dan
anggotanya memutuskan bahwa tujuannya telah tercapai, dan setelah beberapa
hari bersandar di Quallah Batto dan melanjutkan perjalanan mereka ke timur
hingga sampai akhirnya mereka mengelilingi dunia dan kemudian kembali ke
Amerika.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Tulis 2 paragraf! Paragraf pertama menjawab rumusan masalah pertama


secara singkat. Paragraf kedua menjawab rumusan masalah kedua secara singkat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Dick, H.W. 1987. The Indonesian Interisland Shipping Industry, An Analysis of


Competition and Regulation. Singapore: Institut of Southeast Asian
Studies.
Niel. Robert Van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia.
Noor, Farish A. 2014. America in Southeast Asia before the ‘Pivot’: The ‘Battle of
Quallah Battoo’ in 1832. Singapore: S. Rajaratnam School of
International Studies Singapore Nanyang Technological University
Singapore NTU.
Purwaka, Tommy H. 1993. Pelayaran Antarpulau Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Wawasan Nusantara.
Sinaga, Rosmaida. 2013 Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962. Komunitas
Bambu: Jakarta.
Utomo, Budi Cahyo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari
Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang. IKIP Semarang Press.
The Essex Institute Historical Collections Vol. Lyiii 1922. Issued Quarterly
Salem, Mass. Printed For The Essex Institute 1922.
M. Thorburn (Ed), “N.Y. NEDERLANDSE TANK- EN PAKETV AART MAA
TSCHAPPIJ” Royal Interocean Lines, Vol. XIV No. I Januari 1967.

20

Anda mungkin juga menyukai