TURUNNYA AL-QUR’AN
TURUNNYA
AL-QUR’AN
Al-Qur’an menurut istilah berarti bacaan mulia yang merupakan wahyu yang
di turunkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS dan
merupakan penutup kitab suci dari agama samawi (yang di turunkan dari langit)..
1
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
4. Memudahkan dalam penghafalan.
5. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an ada yang merupakan jawaban dari pertanyaan
atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan.
2
4. Surah Madaniyyah yang berisi ayat Makiyyah. Contoh : Surah Al-Anfal adalah
Madaniyah kecuali ayat 30 sebagai Makiyyah.
3
MATERI 2
I’JAZ AL-QUR’AN
I’JAZ AL-
QUR’AN
A. I’jaz Al-Qur’an
Secara bahasa, kata I'jaz berasal dari kata 'ajz yang berari kelemahan atau
ketidakmampuan. Dengan dernikian istilah al-l'jaz al-Tmi (kemukjizatan ilmiah) al-
Qur’an atau al-Hadis misalnya mengandung makna bahwa kedua sumber ajaran
agama itu telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak
diternukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan terbukti tidak
dapat dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hal itu membuktikan kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW.
Dalam menjelaskan macam-macam I’jazul Qur’an ini pun para ulama berbeda
pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing dari mereka.
Setidaknya ada beberapa macam I’jazul Qur’an, yaitu seperti berikut ini :
a) I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya.
b) I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan ajarannya.
c) I’jazul Ilmi yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan.
d) I’jaz di bidang pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib.
e) I’jaz dari segala perubahan.
f) I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an.
4
Pendapat dan pandangan pakar ulum Al-Qur’an tentang aspek kemukjizatan
Al-Qur’an beragam. Muhammad Ali Al-Shabuni dalam kitabnya al-
Tibyan menyebutkan segi – segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
1) Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada dalam bahasa
orang Arab.
2) Terdapat uslub yang unik yang berbeda dengan semua uslub – uslub bahasa
Arab.
3) Ia mengandung sifat mungkin dan membuka peluang bagi seorang makhluk
untuk mendatangkan yang sejenisnya.
4) Bentuk undang – undang yang detail lagi sempurna melebihi setiap undang
– undang buatan manusia.
5) Menggambarkan hal – hal yang ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali
dengan wahyu.
6) Tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang dipastikan
kebenarannya.
7) Menepati janji yang ada dalam Al-Qur’an.
8) Mengandung prinsip – prinsip ilmu pengetahuan didalamnya.
9) Berpengaruh kepada semua pengikut dan musuhnya.
Pada umumnya ulama, pengarang, dan buku-buku yang berkaitan dengan I’jaz
Al-Qur’an mengemukakan banyak sekali kemukjizatan yang dikandung oleh Al-
Qur’an. Al Qurthuby (256 H / 1258 M) mengemukakan sepuluh aspek kemukjizatan
Al-Qur’an, diantaranya :
5
Tidak ada hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Memenuhi seluruh janjinya, baik tentang limpahan rahmat atau ancaman.
Pengetahuan yang dikandungnya.
Memenuhi keperluan dasar manusia.
Pengaruh terhadap kalbu manusia.
Adapun alasan lain mengapa kita harus mempelajari tafsir Al-Qur’an ialah
sebagai berikut:
Ancaman bagi orang yang tidak mentadaburi Al-Qur`an adalah akan dikunci
hatinya
6
MATERI 3
ALWAN AL-TAFSIR
ALWAN AL
TAFSIR
Menurut Nashruddin Baidan corak tafsir adalah suatu warna, arah, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa corak tafsir adalah ragam, jenis, dan kekhasan
suatu tafsir. Terdapat 5 corak tafsir, yakni :
A. Tafsir Fiqhi.
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-
hukum fikih di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Corak ini memiliki kekhususan dalam
mencari ayat-ayat yang secara tersurat maupun tersirat mengandung hukum-hukum
fikih. Dari sinilah kemudian muncul para Imam Madzhab seperti Abu Hanifah, Imam
Malik, al-Shafa’i dan Imam Ahmad bin Hambal, yang memiliki kecenderungan pada
pencarian hukum-hukum fikih dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Di antara karya para mufassir yang memiliki kecenderungan tafsir fiqhi
adalah : Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas, Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib
karya Fakhruddin al-Razi, al-Jami’ Ii Ahkam al-Qur’an karya Abu Abdullah al-
Qurtubi, serta Kanzu al-Irfan fi Fiqh al-Qur’an karya Miqdad al-Sarawi.
B. Tafsir Falsafah
Secara definisi, tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat, atau bisa juga diartikan dengan penafsiran ayat-
7
ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Dalam hal ini ayat lebih
berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang
menjustifikasi ayat.
Menurut beberapa ulama, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama
Islam, maka tidak ada larangan untuk menerimanya. Ulama yang membela pemikiran
filsafat adalah adalah Ibn Rusyd yang menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam
bukunya at-Tahafut at-Tahafut, Sementara karya-karya para ulama dalam bidang
tafsir falsafi yang lain yakni : Rasail Ikhwan al-Safa, Fusus al-Hikam, dan Rasail
Ibnu Sina.
C. Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan
ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang
ada maka sebagian dari para ulama mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejolak atau fenomena
alam yang terjadi pada saat menafsirkan dan menulis kitab tafsir mereka.
Para ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan sains
modern antara lain : Fakhruddin al-Razi (Tafsir Mafatih al-Ghaib), al-Alamah Wahid
al-Din Khan (al-Islam Yatahaadda), dan Hanafi Ahmad (al-Tafsir al-Ilmiy li al-Ayah
al-Kauniyah).
D. Tafsir Sufi-isyari
Menurut Quraish Shihab, tafsir ini muncul sebagai akibat dari gerakan sufi
sebagai reaksi kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau kelemahan yang
8
dirasakan. Adapun karya ulama dalam bidang tafsir sufi-isyari diantaranya : Tafsir al-
Qur’an al-‘Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan ‘Arais al-
Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya al-Syairazi.
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai
peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah
Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para
mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya :
Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha.
Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi.
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
9
MATERI 4
APLIKASI METODOLOGI PENAFSIRAN SAINS DALAM AL-QUR’AN
10
C. Contoh Pengaplikasiannya
Contoh pengaplikasian sains dalam Al-Qur’an yakni penciptaan alam semesta.
Mengenai proses penciptaan alam semesta, Al-Qur'an telah menyebutkan secara
gamblang mengenai hal tersebut, dan dapat dipahami bahwa proses penciptaan alam
semesta menurut al-Qur`an adalah secara bertahap. Hal ini dapat diketahui melalui
firman Allah SWT dalam QS Al Anbiya ayat 30 :
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga yang beriman."
Apabila dikaitkan dengan sejumlah teori seputar terjadinya kosmos menurut
sains modern, maka konsep penciptaan semesta yang tertera dalam Al-Qur'an
tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Adanya kumpulan kabut gas dan terjadinya
pemisahan-pemisahan kabut gas tersebut atau dikenal dengan proses
evolusi terbentuknya alam semesta, sudah dipaparkan secara jelas oleh Al-Qur'an
jauh sebelum sains modern mengemukakannya.
11
MATERI 5
HADITS DAN HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN
A. Pengertian Hadits
Kata “hadits” atau “al-hadits” menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru). Sedangkan menurut istilah, al-hadits didefinisikan oleh ulama pada umumnya
seperti definisi Al-sunnah sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik
dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.
12
C. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran.
Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-firman Allah
SWT di dalam Al-Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam
islam adalah sebagai berikut:
13
E. Hadits Qudsi
14
MATERI 6
ALWAN AL
TAFSIR
15
Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab
(wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib
(wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-
khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman shahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era shahabat besar dan
menyusul era shahabat kecil. Dalam pada itu muncullah pra tabi’in besar yang
bekerjasama dalam perkembangan pengetahuan dengan para shahabat Nabi yang
masih hidup pada masa itu. Diantara shahabat Nabi yang masih hidup setelah periode
al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits
Nabi saw ialah ‘A’isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58
H/678 M), ‘Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-
Khatthab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang
mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.
16
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas.
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abd Allah Ibn Mas’ud.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal.
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash.
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadis dan juga muncul
hadis palsu. Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain:
a. Periwayat hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan.
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis.
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat.
17
dalam al-Muwatth’ Imam Malik. Baru pada awal abad kedua hijriyah, dalam
kodifikasinya, hadis sudah dipisahkan dari qaul sahabat dan tab’in seperti Musnad
Abu Dawud at-Thayalisi (204 H).
18
REFERENSI
Ahmad Fuad Pasya. 2004. Dimensi Sains AI-Qur'an. Solo : PT.Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri
Arifin, Zainal. 2018. Pengantar ‘Ulumul Qur’an. Medan : Penerbit Duta Azhar
M. Ali al- Shabuni. 1985. Al-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al Fikr
M. Nor Ichwan. 2001. Belajar Mudah ‘Ulumul al-Qur’an. Semarang : Seri Buku
Dasar Ulumul Qur’an.
M. Quraish Shihab dkk. 1999. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus
M. Quraish Shihab dkk. 2001. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus
19
Penafsiran Sains dalam al-Qur’an diambil dari
https://www.academia.edu/2005013/METODE_TAFSIR_AYAT-
AYAT_SAINS_DAN_SOSIAL diakses pada 6 Oktober 2019
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang : UIN-Maliki Press
20