Anda di halaman 1dari 20

MATERI 1

TURUNNYA AL-QUR’AN

TURUNNYA
AL-QUR’AN

PENGERTIAN CARA AL- SETTING


AL-QUR’AN QUR’AN TURUNNYA
DIWAHYUKAN AL-QUR’AN

A. Pengertian dan Cara Al-Qur’an diwahyukan

Al-Qur’an menurut istilah berarti bacaan mulia yang merupakan wahyu yang
di turunkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS dan
merupakan penutup kitab suci dari agama samawi (yang di turunkan dari langit)..

Nabi Muhammad SAW dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-


macam cara dan keadaan, diantaranya :

1. Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya.


2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki.
3. Wahyu datang seperti gemerincingnya lonceng.
4. Malaikat menampakkab dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli.

B. Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur


Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan
22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Adapun hikmah
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur antara lain :
1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan Mansukh, sesuai dengan
kemaslahatannya.

1
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
4. Memudahkan dalam penghafalan.
5. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an ada yang merupakan jawaban dari pertanyaan
atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan.

C. Setting Turunnya Al-Qur’an


 Asbab Al-Nuzul.
Dalam ulumul Quran, peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Alquran
dan memiliki keterkaitan makna disebut asbab nuzul atau asbabun nuzul. Asbab an-
Nuzul ialah ayat atau ayat-ayat yang turun karena satu peristiwa untuk menjawab
pertanyaan atau menetapkan hukum atau menerangkan hikmah di balik peristiwa itu.
Adapun urgensi asbabun nuzul antara lain : pemahaman yang benar, mengetahui
rahasia dibalik turunnya syariat, mencegah pemahaman pengkhususan, serta
memudahkan dalam menghafal Al-Qur’an.
 Al-Makky dan al-Madany
Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebelum berhijrah ke Madinah sedangkan Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW setelah berhijrah ke Madinah. Mengetahui al-Makky
dan al-Madany ini memiliki urgensi sebagai berikut : membantu dalam menafsirkan
Al-Qur’an, memberi informasi tentang sirah kenabian, serta mengetahui nasikh dan
mansukh.
Pada umumnya, para ulama’ membagi surah-surah al-Qur’an menjadi dua
kelompok, yaitu Makkiyah dan Madiniyyah. Surah-surah al-Qur’an itu
diklasifikasikan menjadi empat macam :
1. Surah-surah Makkiyah murni. Contoh : Surah al-Fatihah, Yunus, Al-Anbiya’,
An-Naml, dsb.
2. Surah-surah Madaniyyah murni. Contoh : Surah Ali Imran, An-Nisa, An-Nur,
dsb.
3. Surah Makiyyah yang berisi ayat Madaniyyah. Contoh : Surah Al-Hajj
adalah Makkiyah tetapi ada 3 ayat Madaniyah, yaitu ayat 19-21.

2
4. Surah Madaniyyah yang berisi ayat Makiyyah. Contoh : Surah Al-Anfal adalah
Madaniyah kecuali ayat 30 sebagai Makiyyah.

Ciri-ciri al-Makky antara lain :


a) Ayat dan surahnya pendek , susunannya luwes dan jelas, serta lebih puitis
(bersajak).
b) Banyak menyebut qasam (sumpah), tasybih (penyerupaan), dan amtsal
(perumpamaan).
c) Surah-surah al-makkiyah mengandung lafadz ”kalla”, yaitu di dalam al-quran
lafadz ini berulang sebanyak 33 kali dalam 15 surah.
d) Surah-surahnya mengandung seruan (yaa ayyuhan naas) “hai sekalian manusia”,
dan tidak mengandung seruan (yaa ayyuhal ladziina) “hai orang-orang yang
beriman”.
Sedangkan ciri-ciri al-Madany antara lain :
a) Surah-surahnya memuat kewajiban atau had.
b) Surah-surahnaya banyak menyebutkan orang-orang munafik, kecuali al-ankabut.
c) Al-madaniah adala setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli
kitab.
d) Menjelaskan ibadah, muamalah, had/sanksi, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional.

3
MATERI 2
I’JAZ AL-QUR’AN

I’JAZ AL-
QUR’AN

PENGERTIAN MACAM- SEGI ASPEK PROBLEMATIK


I’JAZ AL- MACAM KEMUKJIZATAN KEMUKJIZATAN A TAFSIR AL-
QUR’AN I’JAZUL AL-QUR’AN AL-QUR’AN QUR’AN
QUR’AN

A. I’jaz Al-Qur’an
Secara bahasa, kata I'jaz berasal dari kata 'ajz yang berari kelemahan atau
ketidakmampuan. Dengan dernikian istilah al-l'jaz al-Tmi (kemukjizatan ilmiah) al-
Qur’an atau al-Hadis misalnya mengandung makna bahwa kedua sumber ajaran
agama itu telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak
diternukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan terbukti tidak
dapat dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hal itu membuktikan kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah
SAW.
Dalam menjelaskan macam-macam I’jazul Qur’an ini pun para ulama berbeda
pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing dari mereka.
Setidaknya ada beberapa macam I’jazul Qur’an, yaitu seperti berikut ini :
a) I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya.
b) I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan ajarannya.
c) I’jazul Ilmi yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan.
d) I’jaz di bidang pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib.
e) I’jaz dari segala perubahan.
f) I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an.

4
Pendapat dan pandangan pakar ulum Al-Qur’an tentang aspek kemukjizatan
Al-Qur’an beragam. Muhammad Ali Al-Shabuni dalam kitabnya al-
Tibyan menyebutkan segi – segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
1) Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada dalam bahasa
orang Arab.
2) Terdapat uslub yang unik yang berbeda dengan semua uslub – uslub bahasa
Arab.
3) Ia mengandung sifat mungkin dan membuka peluang bagi seorang makhluk
untuk mendatangkan yang sejenisnya.
4) Bentuk undang – undang yang detail lagi sempurna melebihi setiap undang
– undang buatan manusia.
5) Menggambarkan hal – hal yang ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali
dengan wahyu.
6) Tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang dipastikan
kebenarannya.
7) Menepati janji yang ada dalam Al-Qur’an.
8) Mengandung prinsip – prinsip ilmu pengetahuan didalamnya.
9) Berpengaruh kepada semua pengikut dan musuhnya.

Pada umumnya ulama, pengarang, dan buku-buku yang berkaitan dengan I’jaz
Al-Qur’an mengemukakan banyak sekali kemukjizatan yang dikandung oleh Al-
Qur’an. Al Qurthuby (256 H / 1258 M) mengemukakan sepuluh aspek kemukjizatan
Al-Qur’an, diantaranya :

 Aspek bahasanya yang melampau seluruh cabang bahasa Arab.


 Gaya bahasanya yang melampaui keindahan gaya bahasa Arab pada
umumnya.
 Keutuhannya yang tidak tertandingi.
 Aspek peraturannya yang tidak terlampaui.
 Penjelasannya tentang hal-hal yang ghaib hanya dapat ditelusuri melalui
wahyu semata.

5
 Tidak ada hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
 Memenuhi seluruh janjinya, baik tentang limpahan rahmat atau ancaman.
 Pengetahuan yang dikandungnya.
 Memenuhi keperluan dasar manusia.
 Pengaruh terhadap kalbu manusia.

B. Problematika Tafsir Al-Qur’an


Tafsir secara etimologi (bahasa), diambil dari kata “fassara-yufassiru-
tafsiran” yang berarti keterangan atau uraian. Adapun tafsir menurut terminology
(istilah) ialah “ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz lafaz Al Qur'an
sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT, sehingga yang kurang jelas
menjadi jelas, yang samar menjadi tidak samar, yang sulit dipahami menjadi mudah
dipahami dan yang merupakan rahasia tidak menjadi rahasia lagi, sesusai ukuran
kemampuan manusia.
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti kayakinan (i’tiqad), analogi
(qiyas), dan ijtihad. Sedangkan menurut terminologi tafsir bi Ar-Ra’yi sebagaimana
di definisikan oleh Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil
berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan
metodenya, dalil hukum yang menunjukan, serta problema penafsiran, seperti
Asbabun Nuzul dan nasikh-mansukh. Dalam artian, tafsir bi Ar-Ra’yi adalah tafsir
yang menggunakan rasio atau akal manusia sebagai sumber penafsirannya.

Adapun alasan lain mengapa kita harus mempelajari tafsir Al-Qur’an ialah
sebagai berikut:

 Materi ilmu tafsir adalah materi pelajaran yang paling mulia.

 Ancaman bagi orang yang tidak mentadaburi Al-Qur`an adalah akan dikunci
hatinya

6
MATERI 3

ALWAN AL-TAFSIR

ALWAN AL
TAFSIR

TAFSIR FIQHI TAFSIR TAFSIR ‘ILMI TAFSIR SHUFI- TAFSIR ADABI


FALSAFI ISYARI DAN IJTIMA’I

Menurut Nashruddin Baidan corak tafsir adalah suatu warna, arah, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa corak tafsir adalah ragam, jenis, dan kekhasan
suatu tafsir. Terdapat 5 corak tafsir, yakni :
A. Tafsir Fiqhi.
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-
hukum fikih di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Corak ini memiliki kekhususan dalam
mencari ayat-ayat yang secara tersurat maupun tersirat mengandung hukum-hukum
fikih. Dari sinilah kemudian muncul para Imam Madzhab seperti Abu Hanifah, Imam
Malik, al-Shafa’i dan Imam Ahmad bin Hambal, yang memiliki kecenderungan pada
pencarian hukum-hukum fikih dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Di antara karya para mufassir yang memiliki kecenderungan tafsir fiqhi
adalah : Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas, Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib
karya Fakhruddin al-Razi, al-Jami’ Ii Ahkam al-Qur’an karya Abu Abdullah al-
Qurtubi, serta Kanzu al-Irfan fi Fiqh al-Qur’an karya Miqdad al-Sarawi.

B. Tafsir Falsafah
Secara definisi, tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan
dengan persoalan-persoalan filsafat, atau bisa juga diartikan dengan penafsiran ayat-

7
ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Dalam hal ini ayat lebih
berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang
menjustifikasi ayat.
Menurut beberapa ulama, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama
Islam, maka tidak ada larangan untuk menerimanya. Ulama yang membela pemikiran
filsafat adalah adalah Ibn Rusyd yang menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam
bukunya at-Tahafut at-Tahafut, Sementara karya-karya para ulama dalam bidang
tafsir falsafi yang lain yakni : Rasail Ikhwan al-Safa, Fusus al-Hikam, dan Rasail
Ibnu Sina.

C. Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan
ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang
ada maka sebagian dari para ulama mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejolak atau fenomena
alam yang terjadi pada saat menafsirkan dan menulis kitab tafsir mereka.
Para ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan sains
modern antara lain : Fakhruddin al-Razi (Tafsir Mafatih al-Ghaib), al-Alamah Wahid
al-Din Khan (al-Islam Yatahaadda), dan Hanafi Ahmad (al-Tafsir al-Ilmiy li al-Ayah
al-Kauniyah).

D. Tafsir Sufi-isyari

Tafsir sufi-isyari adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan


makna lahir nya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme
tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Adapun kedua makna
tersebut yakni makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna
batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.

Menurut Quraish Shihab, tafsir ini muncul sebagai akibat dari gerakan sufi
sebagai reaksi kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau kelemahan yang

8
dirasakan. Adapun karya ulama dalam bidang tafsir sufi-isyari diantaranya : Tafsir al-
Qur’an al-‘Adzim karya al-Tustari, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami dan ‘Arais al-
Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karya al-Syairazi.

E. Tafsir Adabi Ijtima’i


Tafsir Adabi al-Ijtimai adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-
Quran berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang
lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu
mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat
Islam dan bangsa.

Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai
peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah
Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para
mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya :
 Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha.
 Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi.
 Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
 Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.

9
MATERI 4
APLIKASI METODOLOGI PENAFSIRAN SAINS DALAM AL-QUR’AN

APLIKASI METODOLOGI PENAFSIRAN


SAINS DALAM AL-QUR’AN

PENGERTIAN METODE CONTOH


METODE TAFSIR PENGAPLIKASI
TAFSIR AN NYA

A. Pengertian Metode Tafsir


Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan.
Kemudian dalam entri ensiklopedi dijelaskan bahwa metode adalah cara melakukan
sesuatu atau cara penyampaian pengetahuan. Kemudian istilah tafsir dalam bahasa
Indonesia diartikan dengan keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an.
Kata sains berasal dari bahasa Inggris “science” yang bermakna ilmu pengetahuan.
Fungsi metode tafsir ayat-ayat sains yakni :
1. Tabyin (menjelaskan ilmu pengetahuan).
2. I’jaz (mengungkap kemukjizatan al-Qur’an di bidang ilmu pengetahuan).
3. Istikhrajal-ilm (adanya isyarat penemuan teori ilmu pengetahuan baru), jika
didapatkan, maka di tawarkan kepada public atau kepada pakar ilmu
pengetahuan untuk ditindak lanjuti.
B. Metode Tafsir
Metode dalam menafsirkan ayat-ayat ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an
adalah dengan memilih metode analisis yang digunakan para tafsir dan penelit
kontemporer terhadap ayat al-Qur’an. Termasuk metode tematik, yang banyak
direkombinasikan oleh penelitian al-Qur’an dari negeri-negeri Timur Tengah dalam
menerapkan at-tafsir al-ilmi.

10
C. Contoh Pengaplikasiannya
Contoh pengaplikasian sains dalam Al-Qur’an yakni penciptaan alam semesta.
Mengenai proses penciptaan alam semesta, Al-Qur'an telah menyebutkan secara
gamblang mengenai hal tersebut, dan dapat dipahami bahwa proses penciptaan alam
semesta menurut al-Qur`an adalah secara bertahap. Hal ini dapat diketahui melalui
firman Allah SWT dalam QS Al Anbiya ayat 30 :
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga yang beriman."
Apabila dikaitkan dengan sejumlah teori seputar terjadinya kosmos menurut
sains modern, maka konsep penciptaan semesta yang tertera dalam Al-Qur'an
tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Adanya kumpulan kabut gas dan terjadinya
pemisahan-pemisahan kabut gas tersebut atau dikenal dengan proses
evolusi terbentuknya alam semesta, sudah dipaparkan secara jelas oleh Al-Qur'an
jauh sebelum sains modern mengemukakannya.

11
MATERI 5
HADITS DAN HUBUNGANNYA DENGAN AL-QUR’AN

HADITS DAN HUBUNGANNYA


DENGAN AL-QUR’AN

PENGERTIAN HUBUNGAN FUNGSI KEDUDUKAN HADITS


HADITS HADITS HADITS HADITS QUDSI
DENGAN AL- TERHADAP AL- TERHADAP AL-
QURAN QUR’AN QUR’AN

A. Pengertian Hadits
Kata “hadits” atau “al-hadits” menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru). Sedangkan menurut istilah, al-hadits didefinisikan oleh ulama pada umumnya
seperti definisi Al-sunnah sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik
dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.

B. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an


Hubungan hadits dengan al-Qur’an yakni sebagai pedoman hidup, sumber
hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya dan tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara lain :
1. As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum.
2. As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci.
3. Hadits membatasi kemutlakan ayat al-Qur’an.
4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan al-Qur’an yang bersifat
umum.
5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an.

12
C. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran.
Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-firman Allah
SWT di dalam Al-Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam
islam adalah sebagai berikut:

1. Bayan Al- Taqrir (memperjelas isi Al Quran)


2. Bayan At-Tafsir (menafsirkan isi Al Quran)
3. Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di Al
Quran)
4. Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)
5. Bayan at-Takhsis (mengkhususkan ayat yang masih umum)
6. Bayan at-Taqyid (memberi batasan kemutlakan Al-Qur’an)

D. Kedudukan Hadits Terhadap Al-Qur’an


Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, hadist mempunyai kedudukan
sebagai sumber hukum islam kedua. Di dalam Al Quran juga telah dijelaskan
berulang kali perintah untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, sebagaimana yang
terangkum firman Allah SWT :

 Surah An-Nisa’ ayat 80 :“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,


sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.” (QS.An-Nisa: 80)

 Surat Al-Asyr ayat 7 : “Apa yang diperintahkan Rasul, maka laksanakanlah,


dan apa yang dilarang Rasul maka hentikanlah.” (QS.Al-Hasyr:7)

13
E. Hadits Qudsi

Secara etimologi hadits adalah segala yang dinisbahkan kepada Nabi


Muhammad, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau karakter, kemudian
Qudsi secara bahasa diambil dari kata “quddus”, yang artinya suci. Disebut hadis
qudsi, karena perkataan ini dinisbahkan kepada Allah, “al-Quddus”, yang artinya
Dzat Yang Maha Suci.

Secara sederhana dikatakan hadits qudsi adalah perkataan Nabi Muhammad,


tentang wahyu Allah yang diteriadits Qudsiy) salah satu jenis hadits di mana
perkataan Nabi Muhammad disandarkan kepada Allah atau dengan kata lain Nabi
Muhammad meriwayatkan perkataan Allah. Hadits Qudsi jumlahnya tidaklah banyak
hanya kurang lebih serratus hadits yang oleh sebagian ulama dihimpun dalam sebuah
kitab.

14
MATERI 6

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

ALWAN AL
TAFSIR

MASA NABI MASA MASA TABI’IN MASA TABI’


SHAHABAT AT-TABI’IN

A. Pada Masa Nabi


Membicarakan Hadis pada masa Rasullah SAW berarti membicarakan hadits
pada awal kemunculannya. Uraian ini akan terkait langsung kepada Rasulullah SAW
sebagai sumber Hadits. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadaanya
dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau penetepan
Rasulullah SAW.
Adapun metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam mengajarkan
Hadis kepada para sahabat sebagai berikut:
a. Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW.
b. Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW.
c. Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.
d. Para sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari
Rasullah SAW.

B. Pada Masa Shahabat


Setelah Nabi saw wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan
shahabat Nabi. Shahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu

15
Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab
(wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib
(wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-
khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman shahabat besar.
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era shahabat besar dan
menyusul era shahabat kecil. Dalam pada itu muncullah pra tabi’in besar yang
bekerjasama dalam perkembangan pengetahuan dengan para shahabat Nabi yang
masih hidup pada masa itu. Diantara shahabat Nabi yang masih hidup setelah periode
al-Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits
Nabi saw ialah ‘A’isyah istri Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58
H/678 M), ‘Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-
Khatthab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78 H/697 M).
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang
mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.

C. Pada Masa Tabi’in


Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti seperti pada
masa sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan
sudah tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidun
para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah
tabi’in untuk mempelajari hadis.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadis
sehingga hadis tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra hadis
sebagai berikut:
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Aiyah dan Abu
Hurairah.

16
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas.
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abd Allah Ibn Mas’ud.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal.
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash.
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadis dan juga muncul
hadis palsu. Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain:
a. Periwayat hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan.
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis.
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat.

D. Pada Masa Tabi’ at-Tabi’in


Masa tab’i at-tab’in dimulai dengan berakhirnya masa tab’in, dan tab’in
terakhir adalah tab’in yang bertemu dengan sahabat yang meninggal paling akhir. An-
Naisaburi menyatakan bahwa tabi’n yang terakhir adalah yang bertemu dengan Anas
ibn Malik di Basrah, dengan Abdullah ibn Abi Aufa di Kufah, dengan al-Sa’ib ibn
Yazid di Madinah, dengan Abdullah ibn Haris ibn Jauz di Mesir, dengan Abu
Umamah al-Bakili di Syam, dan Abu Thufail Amir ibn Wailah al-Laisi. Sedangkam
menurut ’Ajjaj al-Khatibi bahwa akhir masa tab’in yang merupakan awal masa tab’i
at-tab’in adalah tahun 150 H.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Subhi al-Shalih yang menyatakan
bahwa akhir dari masa tab’in adalah tahun 181 H, bersamaan dengan meninggalnya
Khalaf ibn Khalifah. Ia adalah tab’in yang terakhir karena ia adalah tab’in yang
bertemu dengan sahabat yang terakhir kali meninggal, yaitu Abu Thufail Amir ibn
Wailah.
Cara periwayatan hadits pada tabi al-tab’in adalah bi al-lafzi, yaitu dengan
lafaz, karena kodifikasi hadis dimulai pada akhir masa tab’in. Kodifikasi pada masa
ini telah menggunakan metode yang sistematis, yakni dengan mengelompokkan
hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan masing-masing, walaupun masih
bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan tab’in. Sebagaimana terdapat

17
dalam al-Muwatth’ Imam Malik. Baru pada awal abad kedua hijriyah, dalam
kodifikasinya, hadis sudah dipisahkan dari qaul sahabat dan tab’in seperti Musnad
Abu Dawud at-Thayalisi (204 H).

18
REFERENSI
Ahmad Fuad Pasya. 2004. Dimensi Sains AI-Qur'an. Solo : PT.Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri

Al-Dhahabi. 2005. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Hadith

Al-Makky dan al-Madany diambil dari https://my-


bukukuning.blogspot.com/2012/02/ulumul-quran-5-makki-dan-
madani.html#.XZly_SgzbIU diakses pada 6 Oktober 2019

Arifin, Zainal. 2018. Pengantar ‘Ulumul Qur’an. Medan : Penerbit Duta Azhar

Corak Tafsir diambil dari http://makalahratih.blogspot.com/2013/02/macam-macam-


corak-tafsir.html diakses pada 6 Oktober 2019

Fungsi dan Kedudukan Hadits Terhadap al-Qur’an diambil dari


https://dalamislam.com/landasan-agama/hadist/fungsi-hadist-dalam-islam
diakses pada 6 Oktober 2019

Hadits Qudsi diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Qudsi diakses pada 6


Oktober 2019

Idri. 2013. Studi Hadis. Jakarta: Kencana

M. Ali al- Shabuni. 1985. Al-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al Fikr

M. Nor Ichwan. 2001. Belajar Mudah ‘Ulumul al-Qur’an. Semarang : Seri Buku
Dasar Ulumul Qur’an.

M. Quraish Shihab dkk. 1999. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus

M. Quraish Shihab dkk. 2001. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus

Macam-macam I’jazul Qur’an diambil dari


http://myrealblo.blogspot.com/2015/11/ulumul-quran-ijazul-quran.html
diakses pada 6 Oktober 2019

Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadith. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

19
Penafsiran Sains dalam al-Qur’an diambil dari
https://www.academia.edu/2005013/METODE_TAFSIR_AYAT-
AYAT_SAINS_DAN_SOSIAL diakses pada 6 Oktober 2019

Pengertian Al-Qur’an diambil dari https://www.idpengertian.com/pengertian-al-


quran-menurut-bahasa-dan-istilah/ diakses pada 6 Oktober 2019

Soenarjo. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Yayasan


Penyelenggara/Pentafsir Al-Qur’an

Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press

Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang : UIN-Maliki Press

20

Anda mungkin juga menyukai