Anda di halaman 1dari 14

PEMBUATAN PREPARAT POLEN DAN SPORA

LAPORAN PRAKTIKUM
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Mikroteknik Tumbuhan
yang diampu oleh Drs. Sulisetijono, M.Si
dan Dra. Nursasi Handayani, M.Si

Oleh
NUR AZIZAH
100342400923

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI BIOLOGI
Mei 2013
PEMBUATAN PREPARAT POLEN DAN SPORA

A. Tujuan pembuatan preparat


Kegiatan pembuatan preparat polen dan spora bertujuan untuk:
1. Membuat preparat polen dan spora dengan metode asetolisis
2. Membuat deskripsi spora dan polen spesimen
3. Membandingkan polen berbagai tumbuhan
4. Mengidentifikasi faktor-faktor penunjang pembuatan preparat secara asetolisis
agar memperoleh sediaan yang baik

B. Latar belakang
Polen meskipun berukuran kecil dapat dibuat prepaat irisan, namun tebal
irisan sebaiknya tidak lebih dari 10 mikron. Apabila ingin memperlihatkan
bangun poen dan hiasan selubungna dapat dibuat preparat utuh.
Spora tumbuhan paku cukup beragam bentuknya. Keragaman bentuk,
ukuran, dan tipe pahatan dinding pada polen sangat luas dan mempunyai nilai
dalam identifikasi spora yang telah menjadi fosil, penentuan dalam sistematik
pada spesies, marga, atau bahkan takson yang lebih tinggi, dan dalam validasi
teori tentang hubungan evolusioner antara tumbuhan biji tertutup dan kelompok
tumbuhan vaskular lainnya.
Polen yang masak pada tumbuhan biji tertutup mempunyai dinding luar,
yang disebut eksin, yang tebal. Keragaman polen terkait dengan bemtuk, ukuran,
dan tipe pahatan dinding merupakan hal yang menarik, begitu cepat pertumbuhan
minat pada morfologi komparatif butirr polen sehingga lahirlah bidang ilmu yang
terpisah dari morfologi tumbuhan, yaitu palinologi. Pada awalnya palinologi
berarti sains tentang polen dan spora.

C. Dasar teori
Bentuk spora beragam, spora tetrahedral denga pematang-pematang
menjari tiga yang jelas menjadi ciri khas sebagian besar spesies yang termasuk
Lycopsida, sedangkan spora yang bilateral adalah ciri khas Psilotum dan
Tmesipteris. Spora Equisetum unik karena mempunyai empat tonjolan mirip pita,
disebut elater, yang berkembang pada permukaan setiap spora. Elater bersifat
higroskopis, yang melilit sekeliling spora apabila udara lembab dan membentang
bila udara kering.
Spora yang masak pada tumbuhan paku sering memprlihatkan berbagai
tipe pahatan dinding spora yang mempunyai makna taksonomi. Pada kelompok
tumbuhan paku tertentu yang sangat maju mempunyai timbunan khusus yang
disebut perispora yang terdapat pada dinding spora.
Dinding polen yang tebal disertai bentukan duri, lempengan, pematang,
dan sebagainya menjadikan ciri khas butir polen spesies yang berbeda. Polen pada
pinus dan beberapa tumbuhan berkonus lainnya bersayap.
Morfologi polen, dan juga spora sangat beragam dan dapat dipergunakan
untuk menentukan jenis tumbuhan yang menghasilkan polen/spora tersebut.
Ukurannya yang demikian kecil dan diproduksi dalam jumlah yang sangat besar
memungkinkan polen/spora dapat tersebar hingga ke tempat yag sangat jauh dan
luas. Dindingnya yang sangat kuat memungkinkan polen dan spora dapat bertahan
lama bahkan kemungkinan memfosil menjadi besar. Bagi seorang geologis, fosil
polen/spora dapat merupakan fosil indeks. Dengan menganalisis polen/spora yang
ditemukan dalam lapisan-lapisan tanah dapat ditentukan umur relatif lapisan tanah
tertentu. Bagi seorang otanis makin banyak polen/spora yang teridentifikasi dalam
satu lapisan tanah, makin lengkaplah gambaran mengenai jenis-jenis tumbuhan
yang pernah ada pada masa yang silam.
Polen/spora mempunyai dua lapisan dinding, yaitu dinding luar yang
disebut eksin dan dinding dalam yang disebut intin. Dinding dalam tidak kita
bicarakan lebih lanjut disini. Permukaan dinding luar atau eksin mempunyai
semacam hiasan atau ornamen. Ornamen tersebut dapat berupa spina atau duri
pada eksin echinatus (echinate) atau berupa spinula atau duri kecil. Dapat pula
berupa pila atau batang kecil dengan ujunt berupa bola, eksin piliferous.
Permukaan eksin ada yang mempunyai lubang atau lekuk (pits), eksin
scrobiculatus, ada yang berparit (streaks) atau parit yang membentuk jala, eksin
reticulatus. Namun ada juga polen/spora yang permukaan eksinnya idak
mempunyai tonjolan, duri, atau apapun juga sebagai ornamen, polen semacam ini
dinamai psilatum (psilate = licin, halus). Eksin polen/spora kuat sehingga tidak
mudah rusak. Ornamen eksin tersebut dapat dipertahankan pada preparat awetan
yang dibuat dengan metode asetolisis.

D. Alat dan Bahan


1. Vial (floacon) 17. Akuades
2. Centrifuge 18. Natrium cholrat
3. Penangas air 19. HCl
4. Batang kaca pengaduk 20. Gliserin jelly
5. Pipet 21. Safranin
6. Kaca benda 22. Alkohol 50%
7. Kaca penutup 23. Alkohol 70%
8. Lap pembersih 24. Alkohol 80%
9. Neraca 25. Alkohol 96%
10. Sporofil tumbuhan paku 26. Alkohol absolut
11. Anthera 27. Alkohol : Xylol = 3:1
12. Polen 28. Alkohol : Xylol = 2:2
13. Spora 29. Alkohol : Xylol = 1:3
14. Asam cuka glasial 30. Xylol
15. Asam asetat anhidrida 31. Balsam kanada
16. Asam sulfat pekat 32. Mikroskop

E. Cara Kerja
Menyiapkan semua alat dan bahan kimia yang diperlukan untuk pembuatan
preparat polen dan spora dengan metode asetolisis.

Menyiapkan sporofil tumbuhan paku yang telah jelas mempunyai sorus.

Menyiapkan anthera bunga yang telah masak, sehingga polennya mudah


dilepaskan dari kotak sari.

Menyediakan botol vial (flacon) dan memasukkan ke dalamnya athera atau bagian
tumbuhan yang mengandung spora. Hendaknya satu vial untuk satu jenis bahan,
jangan lupa beri label nama bahan yang bersangkutan. Isi dengan asam cuka
glasial sehingga bahan terendam. Membiarkan sedikitnya 24 jam. Dalam keadaan
seperti ini bahan dapat disimpan berbulan-bulan sambil menunggu pemrosesan
lebih lanjut.

Memindahkan isi fial yang berupa rendeman anthera dan spora dalam asam cuka
glasial tersebut ke dalam tabung sentrifuge. Kemudian dipusing. Membuang
cairannya, demikian pula serpihan-serpihan yang besar dengan menggunakan
pinset. Endapan jangan sampai ikut terbuang.

Menyediakan campuran asetat anhidrida dan asam sulfat pekat dengan


perbandingan 9:1 (Perhatikan: tuangkan asam sulfat pekat ke asetat anhidrida!
JANGAN SEBALIKNYA!). menuangkan campuran ini ke dalam tabung
sentrifuge yang telah berisi spolen atau spora. Membuat campuran ini secukupnya
saja, jangan terlalu banyak. Cukup untuk kerja satu hari saja

Memanaskan tabung sentrifuge tadi dengan memakai penangas air, mulai suhu
kamar sampai mendidih. Jangan lupa setiap kali dikocok atau diaduk dengan
menggunakan batang kaca. Menghentikan pemanasan bila sudah mendidih.
Mengeluarkan tabung dari penangas air dan biarkan dingin. Membiarkan selama
kurang lebih 15 menit.

Memusingkan dan membuang cairannya dan diganti dengan aquades kemudian


dikocok. Mengganti aquades ini beberapa kali, tetapi jangan lupa setiap kali akan
membuang aquades pencuci tabung harus dipusing terlebih dahulu.

Mengecek di bawah mikroskop. Bila masih Nampak terlalu gelap harus dilakukan
bleaching (pengelantangan, pemutihan) dengan jalan menambahkan ke dalamnya
2 ml asam cuka glasial, ±2-3 tetes Natrium khlorat, ±2-3 tetes HCL pekat. Waktu
yang dibutuhkan untuk bleaching ini kira-kira 30 detik. Mencuci dengan akuades
beberapa kali. Ingat setiap kali akan mencuci/mengganti cairan harus dipusing
dahulu dengan sentrifuge.
Membuang akuadesnya dan mengganti dengan gliserin jelly yang telah
dipanaskan serta sudah ditambahkan ke dalamnya zat warna safranin.

Dengan menggunakan batang kaca bahan diambil (dalam keadaan cair karena
masih panas; bila perlu panaskan lagi dalam penangas air) dan meletakkannya di
atas kaca benda dan segera ditutup dengan kaca penutup.

Memindahkan gliserin jelly yang berisi polen/spora dalam keadaan masih panas
dan cair ke dalam vial yang bersih dan kering, memberi label. Ini dapat disimpan
lama. Bila Anda mau membuat sediaan di atas kaca benda, Ada tinggal
memanaskan vial ini dengan penangas air hingga jelly mencair dengan
menggunakan batang kaca ambil satu tetes, meletakkan di atas kaca benda yang
dipanaskan dan segera ditutup dengan kaca penutup. Bila jelly sudah mengeras
betul-betul, Anda dapat menutup tepi kaca penutup dengan entelan. Hasil sediaan
akan lebih baik bila jelly berisi polen/spora yang diletakkan di atas kaca benda
hanya sedikit saja sehingga waktu ditutup dengan kaca penutup tidak sampai
memenuhi seluruh kaca penutup, masih tersisa rongga di tepi sekeliling kaca
penutup. Bila jelly sudah mongering dank eras, rongga sekeliling tepi kaca peutup
diisi dengan entelan dan dibiarkan kering.

F. Data Pengamatan
Jenis
No Gambar Ornamen Pewarnaan Keterangan
Polen/Spora
1 Platycerium Psilate cukup Perbesaran
bifurcatum 400X
Ornamen
terlihat jelas
2 Asplenium rugulate cukup Perbesaran
nidus 400X
Ornamen
terlihat jelas

3 Paku 3 Scabrate/ kurang merah Perbesaran


Microsorum Granulate 400X
diversifolium Ornamen
terlihat jelas

4 Asteraceae Echinate cukup Perbesaran


400X
Ornamen
terlihat jelas

5 Krangkong Echinate cukup Perbesaran


400X
Ornamen
terlihat jelas

6 Monokotil Pilate cukup Perbesaran


(Bakung) 400X
Ornamen
terlihat jelas

G. Analisis data
Pembuatan preparat awetan polen dan spora menggunakan metode
asetolisis. Melalui preparat awetan ini kita dapat melihat bentuk spora dan
ornamen pada eksin spora dengan sangat jelas. Pewarnaan polen dan spora dengan
menggunakan safranin dalam alkohol 50%. Metode yang dilakukan mulai dari
pengambilan spesimen dari alam, pemusingan menggunakan sentrifuge,
pemanasan, pewarnaan, bleaching dan tahap finishing.
Bahan alam yang digunakan dalam pembuatan preparat ini mewakili
kelompok polen dan spora. Spora yag digunakan berasal dari tumbuhan kelompok
paku-pakuan, yaitu Platycerium, Asplenium, dan 1 jenis paku yang belum
diketahui namanya, paku ini kami sebut sebagai paku 3. Sedangkan dari
kelompok polen, tanaman diambil dari famili Asteraceae, tumbuhan monokotil
yaitu bunga Bakung, dan bunga Krangkong. Tanaman-tanaman tersebut difiksasi
langsung dari alam menggunakan larutan asam cuka glasial yang berfungsi untuk
menghentikan aktifitas spora.
Dari hasil pengamatan preparat didapatkan hasil yang cukup bagus.
Kelompok spora yang pertama berasal dari paku Platycerium menunjukkan
preparat yang bagus dengan pewarnaan yang cukup merah, ornamen berbentuk
psilate yaitu permukaan spora halus, bentuk spora seperti kacang hijau. Pada
polen Asplenium, bentuknya seperti kacang hijau tetapi memiliki eksin yang lebih
berornamen dibandingkan dengan Platycerium. Bentuk ornamen rugulate atau
elemen ornamentasinya memanjang kesamping dan tidak teratur dan
pewarnaannya sudah cukup bagus. Spora selanjutnya yaitu spora dari paku 3,
spora ini memiliki bentuk seperi bulan sabit tetapi tumpul pada ujungnya, bentuk
ornamentasi scabrate/ ganule yaitu ornamen yang memiliki proyeksi elemen
dengan diameter lebih dari satu micrometer dan menyerupai granula sehingga
disebut juga granulate. Spora ini memiliki pewarnaan yang kurang merah.
Polen memiliki bentuk dan ornamentasi yang bervariasi. pada paktikum
kali ini polen Asteracea dan polen Krangkong hampir memiliki bentuk yang sama,
hanya berbeda dari segi ukuran. Polen bunga Krangkong memiliki ukuran yang
lebih besar dari pada polen Asteraceae. Keduanya berpewarnaan cukup bagus,
memiliki ornamentasi bentuk Echinate atau menyerupai duri. Polen bunga Bakung
mewakili kelompok tumbuhan monokotil, sporanya memiliki ornamentasi bentuk
pilate (tonjolan ornamennya melebar di bagian pangkal), polen bakung ini
pewarnaannya sudah cukup, ornamennya dapat terlihat dengan sangat jelas.
H. Pembahasan
Polen atau serbuk sari merupakan butir halus berwarna kuning yang
dihasilkan oleh tumbuhan berbunga (Spermatpphyta). Tumbuh-tumbuhan dari
kelompok spermatophyta pada musim berbungan akan menghasilkan polen
sebagai sel kelamin jantan. Di saat proses pembuahan butir-butir polen akan
disebarkan baik oleh angin, serangga atau air hujan, tetapi tidak semua sel
kelamin jantan ini dapat membuahai sel kelamin betina. Sebagian besar polen-
polen tersebut tidak dapt mencapai tujuannya untuk proses penyerbukan. Polen-
polen yang tidak mencapai sel kelamin jantan akan jatuh dan ikut terendapkan di
sungai, rawa-rawa, danau, lagoon sampai zona litoral.
Butiran polen memiliki karakter yang spesifik yang tediri atas bentuk,
aperture, sclupture/ornamentasi dinding, simetri dan ukuran. Menurut Blackmore
(dalam Hesse dan Ehrendorfer, 1990) perbedaan karakter morfologi polen dapat
digunakan untuk identifikasi jenis, kontruksi klasifikasi atau interpretasi
filogenetik. Bentuk umum spora lebih sederhana dari polen. Dalam hal bentuk
terminology untuk polen juga dapat digunakan dalam spora, hanya saja terbatas
pada bentuk dasar elliptic untuk spora monolate dan triangular/circular untuk
spora trilate. Bentuk spora sangat tergantung kepada jumlah aperturnya.

Erdtman (1966), pengelompokan bentuk polen berdasakan atas


perbandingan antara sumbu polar (P) dengan sumbu equatorialnya (E). Sumbu
polar merupakan sumbu rotasi dan sumbu equatorial tempat keberadaan apertur.
Berdasarkan perbandingan ukuran sumbu polar dan ekuatorial tersebut polen
dikelompokan menjadi:
Bentuk spora pada Platycerium bifurcatum, Asplenium nidus, dan
Microsorum diversifolium mengikuti bentuk dasar dari polen, berdasarkan hasil
amatan spora dari ketiga paku tersebut memiliki bentuk oblate dengan
perbandingan 4/8. Berdasarkan perbandingan antara sumbu polar dengan sumbu
equatorialnya, polen pada bunga bakung merupakan kelompok polen dengan
bentuk oblate dengan perbandingan 4/8. Sedangkan polen pada bunga Asterceae
dan krangkong memiliki bentuk yang sama yaitu oblate spheroidal dengan
perbandingan 8/8.
Apertura adalah suatu penipisan atau modifikasi dinding spora attau polen
yang berfungsi sebagai jalan untuk keluarnya isi spora atau polen. Menurut Esau
(1953), apertura ini tidak sepenuhnya membuka tapi merupakan tempat dimana
eksin sangat tipis dan intin berkembang baik. Buluh polen muncul melalui
apertura selama perkecambahan polen, yaitu dengan mendorong intin ke samping.
Apertura dapat berupa alur (colpi) dan pori, dimana susunan jumlah pori dan alur
merupakan kriteria penting dalam klasifikasi polen. Apertura pada Asteraceae dan
krangkong termasuk periporate karena berupa lubang-lubang atau pori-pori yang
sangat banyak mengelilingi pori, selain itu pada dinding eksin polen terlihat
adanya tonjolan-tonjolan berupa spina.
Pewarnaan polen pada pembuatan preparat menggunakan safranin dalam
alkohol 50%, polen dan spora yang diberi pewarnaan tidak sepenuhnya berwarna
merah terang, tetapi ada yang berwarna merah pucat seperti pada spora paku 3
(Microsorum diversifoliu). Hal tersebut dimungkinkan karena kurangnya waktu
saat pewarnaan, atau terdapat faktor tertentu seperti permukaan eksin yang licin
sehingga warnanya tidak dapat terserap secara sempurna.

I. Diskusi
1. Apakah warna safranin pada eksin hasil kerja saudara tergolong kurang, cukup
ataukah terlalu banyak sehingga eksin berwarna jernih/terang, kemerahan atau
merah gelap?
Jawab: Warna safranin pada preparat pollen dan spora yang telah dibuat
tergolong sudah cukup bagus dan sudah terlihat jelas ornamen pada eksin
pollen dan spora.
2. Bagaimana efek pewarnaan safranin pada eksin jika diperhitungkan dengan,
a. Lama perendaman spesimen dalam safranin
Semakin lama waktu yang digunakan dalam pewarnaan akan menghasilkan
warna yang semakin pekat dan gelap, karena safranin telah terserap lebih lama
pada sel-sel.
b. Lama pencucian kelebihan safranin
Semakin lama pencucian pada spesimen dapat menghilangkan warna dari
safranin, karena safranin akan larut dan bercampur dengan air.
c. Kederasan kucuran air cucian
Kederasan air cucian juga berpengarauh sama dengan lama pencucian karena
semakin banyak air yang digunakan dan semakin lama pencucian maka
safranin akan memudar dan hilang
d. Jenis tumbuhan sumber spora/pollen
Spora berasal dari tumbuhan paku-pakuan (Pterydophyta) yaitu Platycerium
bifurcatum, Asplenium nidus, dan Microsorum diversifolium. Sedangkan polen
bersasal dari tumbuhan angiospermae yaitu dari famili Asteraceae, bunga
Krangkong mewakili tumbuhan dikotil, dan bunga Bakung mewakili tumbuhan
monokotil.
3. Bagaimana permukaan eksin, halus ataukah berornamen?
Jawab : preparat pollen dari Asteraceae, pollen kerangkong , pollen dan spora
Asplenium memiliki ornamen eksin bertipe spina atau duri (echinate). Preparat
spora Paku3 memiliki lekuk dan lubang (scrobiculatus) . Preparat pollen bunga
bakungan memiliki ornamen yaitu piliferous. Preparat spora dari Platycerium
tidak memiliki ornamen pada dinding eksinnya (psilate).
4. Jumlah spora/pollen dan penyebarannya dalam preparat yang dihasilkan.
Jawab : dalam satu bindang pandang ada spora atau pollen yang
menggerombol ±3-6 spora atau pollen, namun ada juga dalam satu bidang
pandang hanya ditemukan 1 spora atau pollen.
5. Tipe spora atau pollen yang dihasilkan
Jawab: Bentuk spora pada Platycerium bifurcatum, Asplenium nidus, dan
Microsorum diversifolium mengikuti bentuk dasar dari polen, berdasarkan hasil
amatan spora dari ketiga paku tersebut memiliki bentuk oblate dengan
perbandingan 4/8. Berdasarkan perbandingan antara sumbu polar dengan
sumbu equatorialnya, polen pada bunga bakung merupakan kelompok polen
dengan bentuk oblate dengan perbandingan 4/8. Sedangkan polen pada bunga
Asterceae dan krangkong memiliki bentuk yang sama yaitu oblate spheroidal
dengan perbandingan 8/8.

J. Tugas mahasiswa
1. Apa nama tumbuhan yang diambil spora atau polen dalam pembuatan preparat
dengan metode asetolisis ini?
Jawab: 3 jenis spesimen berasal dari tumbuhan paku, yaitu Platycerium,
Asplenium, dan 1 jenis paku yang belum diketahui, dalam hal ini spesimen
kami beri nama paku 3. Dari famili Asteraceae, tumbuhan monokotil yaitu
polen bunga Bakung dan polen bunga Krangkong.
2. Tergolong tumbuhan vaskular mana spesimen spora dan polen yang diambil?
Jawab: tergolong dari kelompok paku-pakuan (Pterydophyta) dan
Angiospermae
3. Deskripsikan permukaan eksin yang ditemukan dan ornamen spora dan polen
hasil amatan pada preparat yang saudara buat
Jawab: Kelompok spora yang pertama berasal dari paku Platycerium
menunjukkan preparat yang bagus dengan pewarnaan yang cukup merah,
ornamen berbentuk psilate yaitu permukaan spora halus, bentuk spora seperti
kacang hijau. Pada polen Asplenium, bentuknya seperti kacang hijau tetapi
memiliki eksin yang lebih berornamen dibandingkan dengan Platycerium.
Bentuk ornamen rugulate atau elemen ornamentasinya memanjang kesamping
dan tidak teratur dan pewarnaannya sudah cukup bagus. Spora selanjutnya
yaitu spora dari paku 3, spora ini memiliki bentuk seperi bulan sabit tetapi
tumpul pada ujungnya, bentuk ornamentasi scabrate/ ganule yaitu ornamen
yang memiliki proyeksi elemen dengan diameter lebih dari satu micrometer
dan menyerupai granula sehingga disebut juga granulate. Spora ini memiliki
pewarnaan yang kurang merah.
4. Bagaimana jumlah dan penyebaran spora serta polen pada preparat yang
saudara buat?
Jawab: dalam satu preparat terdapat banyak olen dan spora yang terambil dan
dapat diamati, hanya saja letaknya terpencar sehingga dalam satu bidang
pandang hanya dapat ditemukan 1-3 spora/polen saja.
5. Bagaimana hasil pewarnaan pada pewarnaan pada preparat yang saudara
hasilkan?
Jawab: Pewarnaan polen pada pembuatan preparat menggunakan safranin
dalam alkohol 50%, polen dan spora yang diberi pewarnaan tidak sepenuhnya
berwarna merah terang, tetapi ada yang berwarna merah pucat seperti pada
spora paku 3 (Microsorum diversifoliu). Hal tersebut dimungkinkan karena
kurangnya waktu saat pewarnaan, atau terdapat faktor tertentu seperti
permukaan eksin yang licin sehingga warnanya tidak dapat terserap secara
sempurna.

K. Tugas Terstruktur
Lakukan studi pustaka hal-hal yang terkait dengan pembentukan dinding
spora dan polen, berbagai ornamen permukaan eksin terkait dengan kelompok
tumbuhan secara taksonomis.
Apertura adalah suatu penipisan atau modifikasi dinding spora attau polen
yang berfungsi sebagai jalan untuk keluarnya isi spora atau polen. Menurut Esau
(1953), apertura ini tidak sepenuhnya membuka tapi merupakan tempat dimana
eksin sangat tipis dan intin berkembang baik. Buluh polen muncul melalui
apertura selama perkecambahan polen, yaitu dengan mendorong intin ke samping.
Apertura dapat berupa alur (colpi) dan pori, dimana susunan jumlah pori dan alur
merupakan kriteria penting dalam klasifikasi polen. Apertura pada Asteraceae dan
krangkong termasuk periporate karena berupa lubang-lubang atau pori-pori yang
sangat banyak mengelilingi pori, selain itu pada dinding eksin polen terlihat
adanya tonjolan-tonjolan berupa spina.

L. Kesimpulan
 Polen Asteracea dan polen Krangkong hampir memiliki bentuk yang sama,
hanya berbeda dari segi ukuran. Polen bunga Krangkong memiliki ukuran yang
lebih besar dari pada polen Asteraceae. Keduanya berpewarnaan cukup bagus,
memiliki ornamentasi bentuk Echinate atau menyerupai duri. Polen bunga
Bakung mewakili kelompok tumbuhan monokotil, sporanya memiliki
ornamentasi bentuk pilate (tonjolan ornamennya melebar di bagian pangkal),
polen bakung ini pewarnaannya sudah cukup, ornamennya dapat terlihat
dengan sangat jelas.
 Kelompok spora yang pertama berasal dari paku Platycerium menunjukkan
preparat yang bagus dengan pewarnaan yang cukup merah, ornamen berbentuk
psilate yaitu permukaan spora halus, bentuk spora seperti kacang hijau. Pada
polen Asplenium, bentuknya seperti kacang hijau tetapi memiliki eksin yang
lebih berornamen dibandingkan dengan Platycerium. Bentuk ornamen rugulate
dengan pewarnaan yang sudah cukup bagus. Spora selanjutnya yaitu spora dari
paku 3, spora ini memiliki bentuk seperi bulan sabit tetapi tumpul pada
ujungnya, bentuk ornamentasi scabrate/ granule ini memiliki pewarnaan yang
kurang merah.

M. Daftar pustaka
Campbell, N.A. and Reece, J.B. and Mitchell. L.G. 2003. Biologi, Edisi ke lima
jilid 2. Penerbit Erlangga
Widjajanto, dan Setjo, S. 2001. Petunjuk Praktikum Mikroteknik Tumbuhan.
Malang: JICA
Robert, H. T.Schudy, 1969, Aspect of Palynology, Wiley Interscience, a division.
Jhon Wiley & Sons, New York

Anda mungkin juga menyukai