Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syok adalah kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak terpenuhinya
kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan massif kebutuhan
metabolik (konsumsi oksigen) atau penurunan pasokan metabolik (penghantaran
oksigen). Patofisiologi syok bervariasi sesuai dengan etiologinya dan mempunyai
gambaran klinis yang berbeda pula. Salah satu etiologi terjadinya syok adalah
reaksi anafilaksis.1
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat
menyebabkan kematian dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen
maupun pencetus yang lainnya. Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE)
diperantarai reaksi hipersensitif yang dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh
dari sel mast dan basofil sehingga berpengaruh pada sistem kardiovaskular,
pernapasan, dan gastrointestinal.1,6
Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya di
bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006
sebanyak 0,04% (4 per 10.000).7 Sedangkan di Amerika Serikat kejadian
anafilaksis pada seluruh populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan
0,002%-nya meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok anafilaktik
merupakan keadaan kegawatdaruratan pada anak.2,3,4
Penyebab dari syok anafilaktik bermacam-macam seperti obat-obatan,
makanan, seragga, latex, agen biologis, dan olahraga, sehingga pemberian obat-
obatan dan makanan tertentu perlu diwaspadai utuk mencegah terjadinya syok
anafilaktik. Manifestasi klinis yang muncul pada reaksi anafilaktik dapat terjadi
beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun sistemik. Bentuk reaksi ringan
dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress atau syok. Jika
sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani lebih cepat dengan
penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis merupakan reaksi alergi yang
dapat mengancam jiwa sehingga dapat menurunkan mortalitas.1,6 Oleh karena itu
pentingnya memahami dan mengetahui tentang syok anafilaktik.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan etiologi dari syok anafilaktik ?
2. Bagaimana patofisiologi dari syok anafilaktik ?
3. Apa saja manifestasi klinis yang timbul akibat adari syok anafilaktik ?
4. Bagaimana diagnosis dari syok anafilaktik pada anak ?
5. Bagaimana penatalaksanaan syok anafilaktik pada anak?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dan etiologi syok anafilaktik.
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi syok anafilatik.
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis serta diagnosis dari syok
anafilaktik pada anak.
4. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan syok anafilaktik pada anak.

1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca khususnya
kalangan medis tentang syok anafilaktik.
2. Sebagai referensi bagi kalangan medis dalam melakukan praktiknya di
lapangan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Definisi Syok Anafilaktik
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).5
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem
kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang
menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan sistem
gastrointestinal.1,6
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi
yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi,
seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,6,7
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan
alergen.1,7

2.2 Epidemiologi Syok Anafilaktik


Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Amerika Serikat disebutkan
bahwa angka kejadian anafilaksis berkisar antara 21 kasus/100.000 penduduk. 3

3
Diperkirakan angka kejadian reaksi anafilaksis di Amerika yang meninggal dunia
sebanyak 1500 per tahun, dan 1300 orang meninggal disebabkan karena obat-
obatan seperti penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat yaitu sebanyak 0.02% dan yang
lainnya karena penggunaan obat-obatan seperti kontras.2,4 Sementara di Indonesia,
khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus /
10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.7
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan
umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.6

2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan
reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval
pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis
dari IgE spesifik seiring waktu.8,9
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan
pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. 9
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-
kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa

4
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.9,10

Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis


Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah
lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,


ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat
berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin,
sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau
jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.10

5
Gambar 2.1 Sengatan lebah merupakan penyebab anafilaktik 10
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut,
dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan
kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah dikenal
sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, kacang-
kacangan, ikan, telur dan udang.10,11
Tabel 2.2 Faktor Penyebab Anafilaktik 9,10,11

Alergen Penyebab Anafilaksis

Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting


Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amph
otericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras

6
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine,
Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

2.4 Patofisiologi Syok Anafilaktik


Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type
reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan
dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan
IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.
Reaksi ini terjadi melalui 2 fase: 8,9
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.

7
Gambar 2.2 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 10

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP
kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula
kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler
ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain
adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya
aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-
mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator
sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis,
sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik)
dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.8,10,11
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators.11,12
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek

8
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.12,13
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.12

2.5 Gambaran Klinis Syok Anafilaktik


Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya
reaksi maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik
atau menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24
jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat terjadi segera
setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ
target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase
permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas
dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.13,14
Gejala yang timbul pada organ ialah:
a. Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat
dilihat dari pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena
perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula
terjadi tekanan darah rendah, vena perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi,
takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif plasma, nadi cepat dan
halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat ditemukan

9
aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai
asistol.
b. Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung,
batuk, sesak, mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea,
kongesti hidung, edema dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas,
bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing dispnea, dan kegagalan
pernafasan.
c. Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah,
sakit perut, diare.
d. Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e. Mata
Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f. Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
g. Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang. 13,14
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ,
Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya,
yaitu sebagai berikut:
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata
berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.8
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.

10
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.8,9
c. Berat/parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke
arah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.8,9

Gambar 2.3 Gambaran klinis anafilaktik 8


2.6 Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti:
1. Urtikaria
Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari
(kurang dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria
kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria
berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat berlangsung sampai
beberapa tahun.2
2. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan
reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi

11
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. 1
3. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan
atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak
ada nyeri dada. 1
4. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas. 1
5. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis. 1
6. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. 1
7. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada
beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan
denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.2
8. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus
seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi
hari. 1
9. Rhinitis alergika

12
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal
hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma
diawali dengan RA. 1

2.7 Penatalaksanaan Syok Anafilaktik


Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap,
yaitu :
1. Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang
dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi terlarang,
misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan anestesi sangatlah
dianjurkan.15

2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:


A. Airway (membuka jalan napas)
Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, penarikan mandibula ke anterior, dan membuka
mulut. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat terjadi obstruksi
jalan napas total atau parsial. Pertimbangkan intubasi elektif awal untuk
pasien dengan suara serak yang signifikan dan edema lingual atau
orofaringeal. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Pada pasien pediatri, intubasi mungkin secara teknis sulit,
menambah juga beratnya edema. Oleh karena itu, intubasi dengan sedasi
dapat dibenarkan.10,15
B. Breathing support
Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus
menerus, termasuk oksimetri. Jika jalan napas sudah memadai, oksigen harus

13
diberikan melalui masker wajah nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L /
menit pada awalnya, kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.15
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat
anafilaktik. Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan
dan diulang seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4
kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok
anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume
plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin.15

3. Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun
epinefrin memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat),
epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan
gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi
edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis
b1. Stimulasi dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan
pelepasan mediator sel mast dan basofil.10,15
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi
disarankan. Namun, penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak
dan orang dewasa, rute intramuskular lebih unggul dibandingkan rute
subkutan dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak, lebih cepat dan

14
kadarnya lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam
upaya untuk mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses
anafilaksis. Epinefrin konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara
intramuskular dengan dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis
maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin
harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Dosis dewasa dapat diberikan
langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan
intravena.10,15
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin
2–4 ug/menit. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan
untuk dilakukannya injeksi. 10,15
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti
epinefrin intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak.
Peneliti menetapkan bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah
yang cukup dari epinefrin menggunakan inhaler dosis terukur meskipun
pelatihan ahli. Sebagai alternatif untuk injeksi intramuskular, rute sublingual
administrasi epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan menggunakan model
kelinci. Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada
manusia. 10,15
Tabel 2.3 Dosis Adrenalin 15

Usia Dosis Adrenalin


Dewasa 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak lebih dari 12 tahun 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak 6-12 tahun 300 mikrogram im (0,3 ml)
Anak kurang dari 6 tahun 150 krogram im (0,15 ml)

Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan


agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah
dengan solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg),
dengan dosis maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus

15
meskipun disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial
lainnya (agonis a1) mungkin lebih efektif. 10,15
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk
menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat
memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin.
Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih
efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama,
dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis. 10,15

Tabel 2.4 Dosis Klorfenamin 15

Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 10 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 5 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 2,5 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 250 mikrogram/kg im atau iv pelan

Tabel 2.5 Dosis Steroid 15

Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 200 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 100 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 50 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 25 mg im atau iv pelan

Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang


memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.15

16
Gambar 2.4 Algoritma penanganan syok anafilaktik 15
5. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan
pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada
umumnya. 10,15
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu.
Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum
stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan
fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat
yang menguasai penanganan kasus gawat darurat. 10,15
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat
dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis.
Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk
keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita
dirawat di Unit Perawatan Intensif. 10,15

6. Pengamatan

17
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang
mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan
jarang dapat terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu
untuk observasi harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan
pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis.
Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun
waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.10,15

2.8 Pencegahan Syok Anafilaktik


Memberikan edukasi sifatnya sangat penting, terutama pada pasien muda
dengan anafilaksis terhadap makanan. Edukasi yang utama adalah meghindari
faktor alergen seperti makanan. 10,15

Tabel 2.6 Penyebab anafilaksis pada anak yang tersering 1,2

Makanan Kacang, telur, susu sapi, kerang-


kerangan, biji-bijian dan buah-
buahan
Zat aditif makanan Zat pewarna makanan
Medikasi Antibiotik (penisilin dan
sulfonamid), NSAID, aspirin,
agen anestesi
Racun Semut merah, himenoptera seperti
lebah
Immunoterapi Ekstrak alergen
Lateks
Vaksin
Infus darah
Kontras radiografik
Idiopatik

Pertama-tama, menemukan alergen adalah yang terpenting. Anamnesis


mengenai riwayat alergi, riwayat adanya alergi pada keluarga dapat membantu
sebagai upaya preventif. Selain itu dapat pula dilakukan tes untuk menemukan
alergen dapat dilakukan dengan tes alergi (skin tes). 10,15
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan
edukasi mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat

18
anafilaksis di tempat. Semua pengasuh anak harus memiliki pemahaman yang
baik tentang ini rencana perawatan, termasuk juga fasilitas penitipan anak dan
sekolah. 10,15

Gambar 2.5 Epipen, epinefrin autoinjektor 10


Peresepan epinefrin autoinjector juga merupakan upaya preventif
terjadinya reaksi anafilaksis lagi dikemudian hari. Orang tua dan pasien harus
menerima informasi mengenai indikasi untuk penggunaan autoinjector. Pada
gambar 2.5 terdapat salah satu gambar epinefrin autoinjektor dengan dosis 0,3 mg.
10,15

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
terjadi bila oxygen delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia
tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumtion (VO2). Syok anafilaktik
adalah suatu respons hipersensitivitas yang mengancam jiwa yang diperantarai
oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri
yang menurun hebat.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Berbagai manifestasi
klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik pada
umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang
timbul segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang timbul
belakangan (sesudah beberapa jam).
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya
reaksi maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik

19
atau menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24
jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat
darurat serta dilakukan secepat mungkin.

3.2 Saran
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan
edukasi mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat
anafilaksis di tempat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, Richard.E, et all.2002.Nelson Text Book of Pediatric.Philadelphia:


W.B Saunders Company. Page 797-799.

2. Bohlke K, Davis RL, et al.2004. Epidemiology Of Anaphylaxis Among


Children And Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization.
Journal Allergy Clin Immunology. 113(3):536 – 542.

3. Yocum MW, Butterfield JH, et al. 1999.Epidemiology Of Anaphylaxis In


Olmsted County: A Population-Based Study.J Allergy Clin Immunol.104(2 Pt
1):452 – 456

4. Neugut AI, Ghatak AT,et all.2001. Anaphylaxis in the United States: an


investigation into its epidemiology. Arch Intern Med.161(1):15 – 21.

5. Steven E. 2000. The American Heritage Dictionary of the English Language,


Fourth Edition. copyright by Houghton Mifflin Company.

6. Simon, Ledit R, et all.2011.World Allergy Organization anaphylaxis


guidelines.J Allergy Clin Immunol.p ; 587-593

7. Mangku, G.2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi


FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.Denpasar: FK UNUD.

8. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In


:International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski
5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6

20
9. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.

10. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology,


Recognition, and Treatment. Medscape. Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2 [1 April 2013]

11. Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal 1442-
1445

12. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah,
Denpasar.

13. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p: 190-193

14. Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publising, Jakarta.

15. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71

21

Anda mungkin juga menyukai