Referat Syok Anafilaktik Pada Anak
Referat Syok Anafilaktik Pada Anak
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dan etiologi dari syok anafilaktik ?
2. Bagaimana patofisiologi dari syok anafilaktik ?
3. Apa saja manifestasi klinis yang timbul akibat adari syok anafilaktik ?
4. Bagaimana diagnosis dari syok anafilaktik pada anak ?
5. Bagaimana penatalaksanaan syok anafilaktik pada anak?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi dan etiologi syok anafilaktik.
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi syok anafilatik.
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis serta diagnosis dari syok
anafilaktik pada anak.
4. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan syok anafilaktik pada anak.
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca khususnya
kalangan medis tentang syok anafilaktik.
2. Sebagai referensi bagi kalangan medis dalam melakukan praktiknya di
lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Definisi Syok Anafilaktik
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).5
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem
kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang
menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan sistem
gastrointestinal.1,6
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi
yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang
merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi
darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi,
seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,6,7
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah
terpapar dengan alergen
2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen
3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan
alergen.1,7
3
Diperkirakan angka kejadian reaksi anafilaksis di Amerika yang meninggal dunia
sebanyak 1500 per tahun, dan 1300 orang meninggal disebabkan karena obat-
obatan seperti penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian
terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat yaitu sebanyak 0.02% dan yang
lainnya karena penggunaan obat-obatan seperti kontras.2,4 Sementara di Indonesia,
khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus /
10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.7
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan
umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.6
2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat
penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan
reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval
pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis
dari IgE spesifik seiring waktu.8,9
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan
pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. 9
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-
kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
4
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-
lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.9,10
5
Gambar 2.1 Sengatan lebah merupakan penyebab anafilaktik 10
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut,
dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan
kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah dikenal
sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, kacang-
kacangan, ikan, telur dan udang.10,11
Tabel 2.2 Faktor Penyebab Anafilaktik 9,10,11
6
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine,
Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
7
Gambar 2.2 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 10
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP
kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula
kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler
ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain
adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya
aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-
mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator
sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis,
sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik)
dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.8,10,11
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators.11,12
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
8
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.12,13
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.12
9
aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai
asistol.
b. Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung,
batuk, sesak, mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea,
kongesti hidung, edema dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas,
bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing dispnea, dan kegagalan
pernafasan.
c. Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah,
sakit perut, diare.
d. Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e. Mata
Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f. Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
g. Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang. 13,14
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ,
Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya,
yaitu sebagai berikut:
a. Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata
berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.8
b. Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
10
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.8,9
c. Berat/parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke
arah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.8,9
11
sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan
biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. 1
3. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan
atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak
ada nyeri dada. 1
4. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi
saluran napas. 1
5. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis. 1
6. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. 1
7. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada
beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan
denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.2
8. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus
seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi
hari. 1
9. Rhinitis alergika
12
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal
hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma
diawali dengan RA. 1
13
diberikan melalui masker wajah nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L /
menit pada awalnya, kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.15
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat
anafilaktik. Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan
dan diulang seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta
mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4
kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok
anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20–40% dari volume
plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa
melepaskan histamin.15
3. Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun
epinefrin memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat),
epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan
gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi
edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis
b1. Stimulasi dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan
pelepasan mediator sel mast dan basofil.10,15
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi
disarankan. Namun, penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak
dan orang dewasa, rute intramuskular lebih unggul dibandingkan rute
subkutan dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak, lebih cepat dan
14
kadarnya lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam
upaya untuk mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses
anafilaksis. Epinefrin konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara
intramuskular dengan dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis
maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin
harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Dosis dewasa dapat diberikan
langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan
intravena.10,15
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin
2–4 ug/menit. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan
untuk dilakukannya injeksi. 10,15
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti
epinefrin intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak.
Peneliti menetapkan bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah
yang cukup dari epinefrin menggunakan inhaler dosis terukur meskipun
pelatihan ahli. Sebagai alternatif untuk injeksi intramuskular, rute sublingual
administrasi epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan menggunakan model
kelinci. Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada
manusia. 10,15
Tabel 2.3 Dosis Adrenalin 15
15
meskipun disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial
lainnya (agonis a1) mungkin lebih efektif. 10,15
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk
menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat
memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin.
Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih
efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama,
dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan
anafilaksis. 10,15
Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 10 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 5 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 2,5 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 250 mikrogram/kg im atau iv pelan
Usia Dosis
Dewasa atau >12 tahun 200 mg im atau iv pelan
6-12 tahun 100 mg im atau iv pelan
6 bulan hingga 6 tahun 50 mg im atau iv pelan
< 6 bulan 25 mg im atau iv pelan
16
Gambar 2.4 Algoritma penanganan syok anafilaktik 15
5. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan
pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada
umumnya. 10,15
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu.
Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum
stabil penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan
fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat
yang menguasai penanganan kasus gawat darurat. 10,15
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat
dipulangkan karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis.
Sebaiknya penderita tetap dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk
keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini sebaiknya penderita
dirawat di Unit Perawatan Intensif. 10,15
6. Pengamatan
17
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang
mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan
jarang dapat terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu
untuk observasi harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan
pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis.
Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun
waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.10,15
18
anafilaksis di tempat. Semua pengasuh anak harus memiliki pemahaman yang
baik tentang ini rencana perawatan, termasuk juga fasilitas penitipan anak dan
sekolah. 10,15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
terjadi bila oxygen delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia
tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumtion (VO2). Syok anafilaktik
adalah suatu respons hipersensitivitas yang mengancam jiwa yang diperantarai
oleh IgE (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri
yang menurun hebat.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah,
anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Berbagai manifestasi
klinis yang timbul dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik pada
umumnya disebabkan oleh pelepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang
timbul segera (yang timbul dalam beberapa menit) maupun yang timbul
belakangan (sesudah beberapa jam).
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya
reaksi maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik
19
atau menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24
jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat
darurat serta dilakukan secepat mungkin.
3.2 Saran
Seluruh pasien setelah mengalami reaksi anafilaksis harus diberikan
edukasi mengenai anafilaksis secara umum dan rencana tindakan darurat
anafilaksis di tempat.
DAFTAR PUSTAKA
20
9. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
11. Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal 1442-
1445
12. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah,
Denpasar.
13. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p: 190-193
14. Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publising, Jakarta.
15. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71
21