Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS

2.1 Luka Kaki Diabetes

2.1 1 Pengertian

Luka kaki diabetes adalah kerusakan sebagian atau keseluruhan pada

kulit yang dapat meluas ke jaringan bawah kulit, tendon, otot, tulang atau

persendian yang terjadi pada seseorang yang menderita penyakit diabetes

mellitus (Nurhanifah,2017).

Luka kaki diabetes merupakan komplikasi akibat gejala neuropati

yang menyebabkan hilang atau berkurangnya rasa nyeri di kaki, sehingga

apabila penderita mendapat trauma akan sedikit atau tidak merasakan nyeri

sehingga mendapatkan luka pada kaki (Muhartono dan Sari ,2017).

Luka kaki diabetes adalah komplikasi serius diabetes mellitus yang

meningkatkan morbiditas pasien dan juga memiliki dampak sosioekonomi

yang signifikan (Khan, Manal dan Farooqui ,2017).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan luka kaki

diabetes merupakan suatu masalah yang terjadi pada pasien yang memiliki

riwayat diabetes melitus dan masalah itu berupa kondisi timbulnya infeksi,

perlukaan dan/atau kerusakan jaringan dalam yang disertai dengan kelainan


neurologis pada kaki pasien.

2.1 2 Etiologi

Beberapa etiologi yang menyebabkan luka kaki diabetes yaitu

neuropati, iskemik dan infeksi yang sering disebut dengan Critical Triad of

Diabetic Ulcers. Ulkus diabetik merupakan penyebab tersering pasien harus

diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan faktor

predisposisi terjadinya amputasi (Kartika,2017).

Neuropati perifer sebagai etiologi luka kaki diabetik dengan

mempengaruhi sensorik,motorik maupun sistem saraf otonom. Perlukaan

diakibatkan neuropati dapat terjadi melalui hilangnya sensasi nyeri akan

trauma fisik, kimiawi, maupun trauma termal sehingga pasien rentan luka

(Apelqvist, et al.,2013). Sistem motorik yang berubah menyebabkan

deformitas pada kaki ,seperti hammer toes dan claw foot, sehingga terjadi

perubahan tekanan pada penonjolan tulang kaki (Apelqvist, et al.,2013).

Perubahan pada sistem otonom pada kaki neuropati ditandai dengan kulit yang

kering dan callus sehingga kulit menjadi rentan akan trauma. Kondisi iskemik

seperti yang diakibatkan oleh perifer arteri perifer menyumbang 50 %

terjadinya luka diabetik (Apelqvist, et al.,2013).

Pasien dengan diabetes mellitus (DM) sendiri resiko 2 kali lebih besar

menderita penyakit arteri perifer dibandingkan tanpa DM (Apelqvist, et

al.,2013). Perlukaan akibat arteri perifer tidak hanya melibatkan pembuluh

arteri besar (makrovaskuler) namun juga mikrovaskuler,kondisi iskemik


jaringan kaki dapat terjadi pada level mikrovaskuler karena terjadinya

disfungsi kapiler sehingga menurunkan perfusi jaringan yang memperlambat

penyembuhan luka atau bahkan menimbulkan perlukaan spontan (Apelqvist,

et al.,2013).

Tabel 2.1 Tipe Diabetik Food Ulcer (DFU) berdasarkan etiologi


Ciri Neuropatik Iskemik Neuroiskemik
Sensasi/rasa Hilangnya sensasi/ Nyeri Hilangnya sensasi
rasa
Kalus/nekrosis Adanya kalus dan Nekrosis kasar Adanya kalus dan
sering menebal adanya nekrosis
Luka tekan Merahmuda dan Pucat dan adanya Granulasi buruk
granulasi, dikelilingi nanah dengan
oleh kalus granulasi yang
buruk
Suhu kaki dan nadi Hangat dengan nadi Dingin dan tidak Dingin dan tidak ada
hilang timbul ada nadi nadi
Lain Kulit kering dan Penyembuhan Resiko tinggi infeksi
pecah-pecah tertunda
Lokasi khas Daerah bantalan kaki, Ujung jari kaki, tepi Batas dari kaki dan
seperti kepala kuku dan diantara jari kaki
metatarsal, tumit dan jari kaki dan
atas dorsum jari kaki perbatasan lateral
kaki
Prevalensi berdasarkan 35 % 15 % 50 %
Armstrong,et al, 2011
Sumber : Apelqvist, J., et al ( 2013 )

2.1 3 Klasifikasi

Menurut Khan, Manal dan Farooqui (2017), berbagai sistem klasifikasi

digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan tingkat keparahan kaki

diabetes yang mencakup karakteristik dari luka (yaitu situs, kedalaman,

kehadiran neuropati, infeksi, dan ischemia, dll.) seperti stadium wagner dan

University of Texas Classification System. Stadium wagner digunakan untuk

merencanakan tindakan komunikasi antar tim dan meprediksi hasil perawatan.

Adapun stadium Wagner dalam (Muhartono dan Sari, 2017) adalah sebagai
berikut :

a. Stadium 0 yaitu tidak ada lesi tetapi tetap berisiko. Kulit dalam keadaan

baik, tetapi dengan bentuk tulang kaki yang menonjol atau bisa disebut

charcot arthropatik.

b. Stadium 1 yaitu ulkus superficial, terlokalisasi. Hilangnya lapiran kulit

hingga dermis dan kadang-kadang tampak tulang benjolan.

c. Stadium 2 yaitu ulkus dalam, disertai selulitis tanpa abses/kelainan

tulang.

d. Stadium 3 yaitu ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luas hingga

ke tendon.

e. Stadium 4 yaitu gangren sebagian, hanya pada ibu jari kaki/tumit,kulit

sekitar selulitis dan ganggren lembab/kering.

f. Stadium 5 yaitu gangren seluruh kaki dalam kondisi jaringan mati.

Tabel 2.2 Klasifikasi Ulkus DM Berdasarkan University of Texas


Classification System
Stage Grade
0 I II III
A Pre atau post Ulkus Ulkus dalam Ulkus meluas
tanpa kerusakan superficial (hingga ke hingga ke
kulit tendon/kapsul) tulang / sendi
B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi
C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
D Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan
iskemik iskemik iskemik iskemik
Sumber : Khan, Manal dan Farooqui (2017)

2.1 4 Patofisiologi

Beberapa etiologi yang menyebabkan ulkus diabetik yaitu neuropati,

iskemik dan infeksi yang sering disebut dengan Critical Triad of Diabetic
Ulcers. Ulkus diabetik merupakan penyebab tersering pasien harus

diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan faktor

predisposisi terjadinya amputasi (Kartika,2017). Neuropati perifer sebagai

etiologi luka kaki diabetes dengan mempengaruhi sensorik, motorik maupun

sistem saraf otonom. Perlukaan diakibatkan neuropati dapat terjadi melalui

hilangnya sensasi nyeri akan trauma fisik, kimiawi, maupun trauma termal

sehingga pasien rentan luka (Apelqvist, et al.,2013).

Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan

sensasi proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal,

sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi

posisi kaki juga hilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot,

mengakibatkan penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah,

deformitas khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki

menimbulkan terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan tekanan

plantar kaki dan mudah terjadi ulkus. Neuropati autonom ditandai dengan

kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder

akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya fisura,

kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga

dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson

menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia, serta menurunnya refleks

otot dan atrofi otot (Kartika,2017).


Keadaan hiperglikemia dalam neuropati perifer akan meningkatkan

metabolisme glukosa melalui jalur sorbitol. Sorbitol yang meningkat dapat

mengakibatkan keadaan neuropati pada pasien DM tipe 2. Keadaan

makrongiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa

aterosklerosis. Pada keadaan makrongiopati diabetik akan mengakibatkan

penyumbatan vaskular dan apabila mengenai arteri-arteri perifer dapat

mengakibatkan insufisiensi vascular perifer yang disertai klaudikasio

intermiten dan gangren pada ekstremitas (Price & Wilson, 2012).

Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi.

Hal ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan

yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis,

arteri tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin,

dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul

ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Kelainan

neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis.

Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena

penumpukan lemak di dalam pembuluh darah (Kartika,2017). Menebalnya

arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai

darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama dapat

mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki

diabetes. Proses angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan

penyumbatan pembuluh darah perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat


perfusi jaringan bagian distal tungkai berkurang. DM yang tidak terkendali

akan menyebabkan penebalan tunika intima (hyperplasia membran basalis

arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga aliran darah jaringan tepi

ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan ulkus diabetikum

(Kartika,2017).

Ganong (2008) juga menyatakan bahwa kondisi hiperglikemi yang

disertai dengan insufisiensi sirkulasi arterosklerotik dan penurunan resistensi

terhadap infeksi dapat menyebabkan terjadi ulkus kronis dan gangrene. Ketika

peningkatan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan

oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan

kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya

menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas

trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat

dan memudahkan terbentuknya thrombus (gumpalan darah) pada dinding

pembuluh darah yang akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki

(Kartika,2017). Kondisi hiperglikemi yang disertai dengan insufisiensi

sirkulasi arterosklerotik dan penurunan resistensi terhadap infeksi dapat

menyebabkan terjadi luka kronis dan gangren, terutama di daerah kaki

(Ganong , 2008).

2.1.5 Manifestasi

Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan

(asmiptomatus), nyeri pada kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, jarak
tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermi), kerusakan jaringan

(nekrosis dan ulkus) (Misnadiarly,2006). Gejala kaki DM dimulai dengan

adanya perubahan kalus (pengerasan pada telapak kaki akibat perubahan titik

simpan berat badan). Perubahan ini penting dilihat untuk mengetahui apakah

penebalan kalus disertai infeksi pada jaringan di bawahnya. Karena ,kalau

telah terjadi neuropati penderita tidak akan merasa nyeri (Misnadiarly,2006).

2.1.6 Penatalaksanaan Luka Kaki Diabetes

Menurut Singh, Pai dan Yuhhai (2013), perawatan standar untuk luka

kaki diabetik idealnya diberikan oleh tim multidisiplin dengan memastikan

kontrol glikemik, perfusi yang adekuat, perawatan luka lokal dan debridement

biasa, off-loading kaki, pengendalian infeksi dengan antibiotik dan

pengelolaan komorbiditas yang tepat. Pendidikan kesehatan pada pasien akan

membantu dalam mencegah ulkus dan kekambuhannya.

1. Debridement

Debridement luka dapat mempercepat penyembuhan dengan

menghapus jaringan mati nekrotik, partikulat, atau bahan asing, dan

mengurangi beban bakteri. Cara konvensional adalah dengan

menggunakan pisau bedah dan memotong semua jaringan yang tidak

diinginkan termasuk kalus dan eschar.

2. Dressing

Bahan dressing yang digunakan meliputi dressing kasa saline-


moistened (wet-to-dry); dressing mempertahankan kelembaban (hidrogel,

hidrokoloid, hydrofibers, transparent films dan alginat) yang menyediakan

debridement fisik dan autolytic masing-masing; dan dressing antiseptik

(dressing perak, cadexomer). Dressing canggih baru yang sedang diteliti,

misalnya gel Vulnamin yang terbuat dari asam amino dan asam hyaluronic

yang digunakan bersama dengan kompresi elastis telah menunjukkan hasil

yang positif (Singh, Pai dan Yuhhai, 2013).

3. Off-loading

Tujuan dari off-loading adalah untuk mengurangi tekanan plantar

dengan mendistribusikan ke area yang lebih besar, untuk menghindari

pergeseran dan gesekan, dan untuk mengakomodasi deformitas (Singh,

Pai dan Yuhhai, 2013).

4. Terapi medis

Kontrol glikemik yang ketat harus dijaga dengan penggunaan diet

diabetes, obat hipoglikemik oral dan insulin. Infeksi pada jaringan lunak

dan tulang adalah penyebab utama dari perawatan pada pasien dengan

ulkus kaki diabetik di rumah sakit. Gabapentin dan pregabalin telah

digunakan untuk mengurangi gejala nyeri neuropati DM (Singh, Pai dan

Yuhhai, 2013).

5. Terapi adjuvan

Strategi manajemen yang ditujukan matriks ekstraselular yang rusak

pada ulkus kaku diabetik termasuk mengganti kulit dari sel-sel kulit yang
tumbuh dari sumber autologus atau alogenik ke kolagen atau asam

polylactic. Hiperbarik oksigen telah merupakan terapi tambahan yang

berguna untuk ulkus kaki diabetik dan berhubungan dengan penurunan

tingkat amputasi. Keuntungan terapi oksigen topikal dalam mengobati

luka kronis juga telah tercatat (Singh, Pai dan Yuhhai, 2013).

6. Manajemen bedah

Menurut Singh, Pai dan Yuhhai (2013), manajemen bedah yang

dapat dilakukan ada 3, yaitu wound closure (penutupan luka),

revascularization surgery, dan amputasi. Penutupan primer

memungkikann untuk luka kecil, kehilangan jaringan dapat ditutupi

dengan bantuan cangkok kulit, lipatan atau pengganti kulit yang tersedia

secara komersial. Pasien dengan iskemia perifer yang memiliki gangguan

fungsional signifikan harus menjalani bedah revaskularisasi jika

manajemen medis gagal. Hal ini dapat mengurangi risiko amputasi pada

pasien dengan ulkus kaku diabetik iskemik. Amputasi merupakan pilihan

terakhir jika terapi-terapi sebelumnya gagal.

Menurut Muhartono dan Sari (2017) penatalaksanaan luka kaki

diabetes dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin. Komponen paling

penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah

1. Kendali metabolik, pengendaliannya sebaik mungkin seperti

pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin, dan

sebagainya.
2. Kendali vaskular, perbaikan asupan vascular (dengan operasi atau

angioplasty), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.

3. Kendali infeksi, jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan

pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuh

anorganisme pada hasil usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan

merupakan infeksi).

4. Kendali luka, pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara

teratur dengan konsep TIME yaitu Tissue debridement, Inflamation

and infection control, Moisture balance, Epithelial edge advancement.

5. Kendali tekanan, mengurangi tekanan pada kaki karena dapat

menyebabkan ulkus.

6. Penyuluhan, dengan memberi edukasi mengenai perawatan kaki secara

mandiri.

2.1 7 Pencegahan

Menurut Kartika (2017) Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi

menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan kaki diabetes dan ulkus

(pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan kulit) dan pencegahan

kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan

ulkus/gangren diabetik).

1. Pencegahan Primer

Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu

dilakukan setiap saat. Berbagai usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko
dengan melakukan pemeriksaan dini setiap ada luka pada kaki secara mandiri

ataupun ke dokter terdekat. Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas

kaki khusus agar meratakan penyebaran tekanan pada kaki.

2. Pencegahan Sekunder (Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik)

Kerjasama multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal harus ditangani

dengan baik dan dikelola bersama, meliputi:

1) Wound control

Perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan baik dan teliti.

Evaluasi luka harus secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan

setelah debridement adekuat. Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses

penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk bakteri, sehingga

dibutuhkan tindakan debridement. Debridement yang baik dan adekuat

akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian

akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari ulkus/gangren.

Debridement dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti mekanikal,

surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis.

2) Microbiological control-infection control

Data pola kuman perlu diperbaiki secara berkala, umumnya didapatkan

infeksi bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik harus selalu sesuai

dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Lini pertama antibiotik

spectrum luas, mencakup kuman gram negatif dan positif (misalnya


sefalosporin), dikombinasi dengan obat terhadap kuman anaerob

(misalnya metronidazole).

3) Mechanical control-pressure control

Jika tetap dipakai untuk berjalan (menahan berat badan/weight bearing),

luka selalu mendapat tekanan, sehingga tidak akan sempat menyembuh,

apalagi bila terletak di plantar seperti pada kaki Charcot. Berbagai cara

surgikal dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka seperti:

a. Dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses

b. Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal

head resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.

4) Educational control

Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu

dilakukan setiap saat.

2.2 Luka Kaki Diabetes Berulang

2.2.1 Pengertian

Diabetic Foot Ulcer Recurrent atau biasa disebut luka kaki diabetes

berulang adalah seseorang yang menderita luka kaki diabetes setelah luka

sebelumnya (Peters, Armstrong & Lavery, 2007).


Luka kaki berulang adalah ulkus yang muncul di kaki yang sama dan

di tempat yang sama pada luka yang telah sembuh (Örneholm, Apelqvist,

Larsson & Eneroth, 2017).

2.2.2 Etiologi

Menurut Waaijman (2013), etiologi dari luka kaki diabetes berulang

adalah luka sebelumnya, neuropati perifer dan peningkatan tekanan kaki

plantar. Beberapa penelitian menemukan hubungan antara mengalami ulkus

sebelumnya dan kekambuhan ulkus mengalami risiko tinggi pada pasien

dengan diabetes. Terutama ulkus sebelumnya pada sisi plantar kaki

meningkatkan risiko kekambuhan ulkus. Neuropati perifer juga berhubungan

dengan terjadinya ulkus. Pasien diabetes gangguan neuropati tidak bisa

merasakan sensasi 10 gram monofilamen.

Kelainan neuropati perifer akan mengakibatkan kehilangan pelindung

sensasi dan sering muncul pada pasien diabetes dengan usia di atas 60 tahun.

Ketidakmampuan untuk merasakan tekanan dan rasa sakit tetapi pasien

bersikeras ingin berjalan, yang bisa mengarah ke kerusakan dari kulit.

Kemudian risiko tinggi pada kekambuhan ulkus ditemukan pada pasien

dengan tekanan plantar tinggi. Dengan demikian, tekanan plantar tinggi

menjadi neuropatik kaki memainkan peran penting yang berkontribusi dalam

kekambuhan ulkus (Waaijman, 2013).


2.2.3 Pencegahan Luka Kaki Diabetes Berulang

Menurut Bus dan Netten (2016), pencegahan luka kaki diabetes

berulang adalah hal yang paling penting pada penyakit kaki diabetik

1. Penggunaan alas kaki

Penggunaan alas kaki yang baik karena ketika salah mnggunakan alas

kaki akan berisiko meningkatkan tekanan plantar pada lokasi ulkus yang

sembuh dan karena itu risiko kekambuhan.

2. Perawatan kaki

Pemeriksaan kaki rutin harian merupakan langkah awal unutk

mendeteksi dam mencegah komplikasi kaki diabetik yang harus dilakukan

oleh pasien secara mandiri (Heitman, 2010 dalam Astrada 2014).

3. Edukasi klien

Edukasi klien dianggap penting dan dapat meningkatkan pengetahuan

pasien terkait masalah kaki diabetes dan perawatan kaki (Armstrong,

Boulton dan Bus, 2017).

2.3 Faktor Resiko Terjadinya Luka Kaki Diabetes

2.3 1 Riwayat Medikasi

Pengobatan rutin pada penderita Diabetes melitus, menurut hasil

penelitian di Amerika Serikat yang dikutip oleh Misnadiarly didapatkan


bahwa pengobatan intensif akan dapat mencegah dan menghambat timbulnya

komplikasi kronik, seperti luka kaki diabetes (Misnadiarly, 2006).

Penggunaan obat-obatan tertentu dalam manajemen Diabetes Melitus

dapat mempengaruhi terjadinya luka kaki diabetik (LKD). Penggunaan

antibiotik tertentu seperti antibiotik golongan floroquinolone dalam jangka

panjang karena dapat menimbulkan efek samping neuropati terutama

penggunaan dalam bentuk oral dan injeksi (Lowes, 2013).

2.3 2 Riwayat Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan

tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari

dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer (Fatimah, 2015). Tekanan

darah > 130/80 mm/Hg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel

dan akan berpengaruh terhadap makroangopati melalui proses adhesi dan

agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi

hipoksia pada jaringan yang akan mnyebabkan terjadinya ulkus (Tandra,

2017).

Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita DM karena adanya

viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga

terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih dari

130/80 mm Hg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel.

Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui

proses adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi


sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan

terjadinya ulkus (Misnadiarly, 2006).

2.3 3 Penggunaan Alas Kaki

Seseorang yang menderita diabetes tidak boleh berjalan tanpa alas kaki

karena tanpa menggunakan alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma

yang mengakibatkan ulkus diabetika, terutama apabila terjadi neuropati yang

mengakibatkan sensasi rasa berkurang atau hilang (Purwanti dan Maghfirah,

2016).

Kaki pasien diabetes melitus sangat rentan terhadap terjadinya luka,

hal ini disebabkan karena adanya neuropati diabetik dimana pasien diabetes

mengalami penurunan pada indra perasanya. Pengunaan alas kaki yang benar

menurut Bus, Deursen, Armstrong, Lewis, Caravaggi, dan Cavanagh (2015)

cukup efektif untuk menurunkan angka terjadinya luka diabetikum karena

dengan menggunakan alas kaki yang tepat dapat mengurangi tekanan pada

plantar kaki dan mencegah kaki atau melindungi kaki agar tidak tertusuk

benda tajam. Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi ulkus

diabetikum yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan pada sepatu yang akan

digunakan setiap hari untuk mengetahui ada atau tidak batu- batu kecil yang

dapat mencederai kaki, menggunakan sepatu sesuai dengan ukuran kaki,

menggunakan kaos kaki yang tidak terlalu ketat atau kaos kaki yang terbuat

dari bahan katun, menganti kaos kaki setiap hari dan selalu menggunakan alas
kaki yang tertutup baik di dalam rumah ataupun diluar rumah (Bus, Deursen,

Armstrong, Lewis, Caravaggi, dan Cavanagh, 2015)

2.3 4 Riwayat Merokok

Riwayat perokok merupakan faktor resiko terjadi peripheral

arterial disease (PAD). Merokok dapat menyebabkan meningkatnya daya

lekat trombosit dan peningkatan permeabilitas endotel, sehingga akan

mempengaruhi penurunan sirkulasi ke daerah perifer dengan adanya

trauma atau neuropati yang dapat memicu kejadian ulkus pada kaki DM

(Silbernagl & Lang, 2007). Merokok tidak hanya memperlambat aliran

darah, tetapi juga menurunkan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan.

Bahan kimia beracun dalam asap rokok, khususnya karbon monoksida,

secara permanen memblokir transfer oksigen pada sel-sel darah merah

yang membawa oksigen ke jaringan di kaki. Sirkulasi yang buruk dapat

memperlambat penyembuhan luka, kram pada kaki, bahkan gangren yang

menyebabkan luka kaki diabetes (Purwanti dan Maghfirah, 2016).

2.3 5 Sirkulasi

Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di

ektremitas bawah yang disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis yang

sering ditemui pada pasien PAD adalah klaudikasio intermitten yang

disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang menimbulkan nyeri saat

istirahat. Iskemia berat akan mencapai klimaks sebagai ulserasi dan gangren.

Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi PAD adalah


dengan menilai Ankle Brachial Indeks (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik

brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi

dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai

normalnya dalah 0,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien

penderita DM memiliki penyakit arteri perifer (Roza, Afriant dan Edward,

2017).

Aliran darah yang tidak lancar di kaki menyebabkan luka sukar

sembuh dan menyebabkan risiko untuk amputasi lebih besar. Selain itu,

oksigenisasi yang kurang ke tempat yang terkena luka sehingga antibiotik sulit

untuk didistribusikan kedaerah tersebut menyebabkan bakteri sangat cepat

sekali berkembang biak (Roza, Afriant dan Edward, 2017).

2.3 6 Ras/Etnis

Beberapa ras atau etnis tertentu mungkin lebih rentan mengalami

komplikasi dari ras atau etnis lainnya. Ras Asia memiliki risiko lebih tinggi

menjalani amputasi jari kaki, sedangkan ras asli Amerika Utara (suku Indian)

lebih berisiko mengalami amputasi bawah lutut jika dibandingkan dengan ras

lain yang ada di Amerika Serikat. Ras kulit hitam lebih cenderung memiliki

kontrol kadar gula darah yang buruk jika dibandingkan dengan ras kulit putih

(Astrada, 2014). Menurut Ndip, et al (2010), penelitian yang dilakukan pada

berbagai macam ras didunia didapatkan hasil bahwa dari 466 pasien

didapatkan hasil pasien ras berkulit putih 196 orang, Hispanic (165 orang),

African (70 orang) dan Asian (35 orang) terhadap kejadian luka kaki diabetes.
2.3 7 Interaksi Sosial

Beberapa hal yang berkaitan dengan interaksi sosial menurut Maryati

dan Suryawati (2008) adalah interaksi antara individu dan individu. Dalam

hubungan ini bisa terjadi interaksi positif ataupun negatif. Interaksi positif

terjadi jika hubungan yang terjadi saling menguntungkan. Interaksi negatif

terjadi jika hubungan timbal balik merugikan satu pihak atau keduanya

(bermusuhan). Adapun interaksi antara individu dengan lebih dari 1 orang,

dimana interaksi ini dapat berlangsung secara positif maupun negatif. Bentuk

interaksi sosial individu dan kelompok bermacam- macam sesuai situasi dan

kondisinya. Selain itu interaksi sosial antara individu dengan kelompok,

dimana ini terjadi sebagai satu kesatuan bukan kehendak pribadi (Maryati

dan Suryawati, 2008).

2.3 8 Stres

Orang yang menderita diabetes juga akan mengalami stres dalam

dirinya. Stres dan diabetes melitus memiliki hubungan yang sangat erat

terutama pada penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan dan gaya hidup tidak

sehat sangat berpengaruh, ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin

pesat dan berbagai penyakit yang sedang diderita menyebabkan penurunan

kondisi seseorang hingga memicu terjadinya stress (Nugroho & Purwanti,

2010 dalam Derek, Rottie dan Kallo, 2017).


Stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebuhan

tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang mengalaminya.

stres dapat berdampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik,

psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual, stres dapat mengancam

keseimbangan fisiologis (Derek, Rottie dan Kallo, 2017). Stres diawali dengan

reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh

proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya denyut jantung, yang

kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan

mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaustion) jika individu merasa tidak

mampu untuk bertahan (Elpriska,2017).

Stress pada pasien DM dapat berakibat gangguan pada pengontrolan

gula darah. Dalam keadaan stress akan terjadi peningkatan ekskresi hormon

katekolamin, glukagon, glukokortikoid, endorfin dan hormone pertumbuhan.

Stress menyebabkan produksi berlebih pada kortisol, yang berfungsi melawan

efek insulin dan menyebabkan kadar glukosa darah tinggi, jika seorang

mengalami stress berat yang dihasilkan dalam tubuhnya, maka kortisol yang

dihasilkan akan semakin banyak dan dapat mengurangi sensifitas tubuh

terhadap insulin. Kortisol merupakan penghambat dari fungsi insulin

sehingga membuat glukosa lebih sulit untuk memasuki sel dan meningkatkan

glukosa darah (Elpriska,2017).


Stress dapat meningkatkan kandungan glukosa darah karena stress

menstimulus organ endokrin untuk mengeluarkan ephinefrin, ephinefrin

mempunyai efek yang sangat kuat dalam menyebabkan timbulnya proses

glikoneogenesis di dalam hati, sehingga akan melepaskan sejumlah besar

glukosa ke dalam darah dalam beberapa menit. Hal inilah menyebabkan

peningkatan kadar glukosa darah saat stress atau tegang (Pratiwi, Amatiria dan

Yamin, 2014). Akibat buruknya regulasi gula darah atau kontrol DM yang

buruk dapat mengakibatkan hiperglikemia dalam jangka panjang yang

memicu beberapa komplikasi yang serius baik makrovaskuler maupun

mikrovaskuler seperti luka kaki diabetes (Elpriska, 2017).


2.4 Kerangka Teori

Skema 2.1 Kerangka Teori

Lama menderita DM
Usia
Obesitas
Deformitas kaki
Kadar gula tidak terkontrol
Ketidakpatuhan diet
Latihan fisik (olahraga)
Neuropati perifer
PAD (Perfier atreri
Desease)/ sirkulasi
Merokok
Penggunaan alas kaki
Gangguan penglihatan
Perawatan kaki
Stres
Medikasi
Ras/etnis
Interaksi sosial
Hipertensi
Lama
Aspekmenderita
spiritual DM
Usia
Medikasi Luka Kaki Diabetes Pertama dan
Ras/etnis Luka Kaki Diabetes Berulang
Kadar gula tidak terkontrol
Ketidakpatuhan diet
Latihan fisik (olahraga)
Hipertensi
PAD/ sirkulasi
Merokok
Obesitas
Penggunaan alas kaki
Riwayat ulkus sebelumnya
Perawatan kaki
Interaksi sosial
Stres
Aspek spiritual
Medikasi
Keterangan :
: Komponen yang diteliti

: Mempengaruhi

(Sumber : Roza, Afriant dan Edward, 2017; Purwanti, dan Maghfirah, 2016; Maryati dan Suryawati,

2008; Ndip, et al, 2010; Silbernagl & Lang, 2007; Bus, Deursen, Armstrong, Lewis, Caravaggi, dan

Cavanagh, 2015; Misnadiarly, 2006; Tandra, 2017; Elpriska,2017; Derek, Rottie dan Kallo, 2017)

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis (Ha) dalam penelitian ini adalah

Ha: Ada pengaruh faktor riwayat medikasi, riwayat merokok, riwayat

hipertensi, penggunaan alas kaki, ras/etnis, interaksi sosial, sirkulasi

dan stres terhadap kejadian luka kaki diabetes pertama dan luka kaki

diabetes berulang pada pasien DM.

Hipotesis nol ( H0 ) dalam penelitian ini adalah

H0: Tidak ada pengaruh faktor riwayat medikasi, riwayat merokok,

riwayat hipertensi, penggunaan alas kaki, ras/etnis, interaksi sosial,

sirkulasi dan stres terhadap kejadian luka kaki diabetes pertama dan

luka kaki diabetes berulang pada pasien DM.

Anda mungkin juga menyukai