DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 1 SEMINAR KEPERAWATAN JIWA
ERMI HARYANTI
I 4051181001
RESTY JAYANTI
I 4051181002
NOVIANITA ANGGREINI
I 4051181003
RIZKI NURHAFIZAH
I 4051181004
MALINDA SURENI
I 4051181007
MITA WIDYA NINGRUM
I 4051181008
LIDWINA YULIENI KOSIANG
I 4052181001
UTIN HARMIYANTI
I 4052181002
ZAKIAH
I 4052181003
LILI SANTI
I 4052181004
WINDA AYU LESTARI
I 4052181007
SELLY MALISA
I 4052181009
UTIN YUNI KARTIKA
I 4052181010
ENGELIA REZEKI
I 4052181011
TAMPUBOLON
I 4052181014
JERISA ADVEN DOMINGGO
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-NYA, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Jiwa pada Ibu F dengan Masalah Utama Harga Diri Rendah di Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kalimantan Barat”.
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Suni, S.E., M.Si selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
2. Zainal Abidin, S.Pd selaku Kasi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kalimantan Barat
3. Ns. Djoko Priyono, M.Kep, selaku koordinator stase jiwa Program Profesi Ners
Universitas Tanjungpura Pontianak
4. Ns. Sherly Mardisya, S.Kep selaku Pembimbing Klinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
5. Ihsan Usman, S.ST selaku Pembimbing Klinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat.
6. Nanik Susilowati, S.Tr.Kep selaku Kepala Ruangan Mawar
7. Ibu F selaku narasumber.
8. Rekan-rekan satu kelompok serta teman-teman Profesi Ners yang telah mendukung dan
memotivasi dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan ini.
Kami berharap Laporan Kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi dalam
pembelajaran Asuhan Keperawatan khususnya pada Stase Keperawatan Jiwa. Untuk
kesempurnaan dari laporan ini, maka kami mohon segala saran dan kritikan yang
membangun dari pembaca atau peserta seminar sangat kami butuhkan sebagai bahan
masukan untuk perbaikan laporan ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit, cacat,
kelemahan, tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan fisik,
mental dan social yang memungkinkan untuk hidup produktif. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia sehat adalah dalam keadaan bugar dan nyaman seluruh tubuh dan
bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah realtif, karena bersifat subjektif sesuai
orang yang mendefinisikan dan merasakan.
Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi
dan berinteraksi dengan baik, tepat dan bahagia. Clausen mengatakan orang yang
sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai
stesor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stesor, intensitas, makna, budaya,
kepercayaan agama dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang
yang sehat jiwanya dapat melakukan hal semacam berikut:
1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu
buruk
2. Merasa bebas secara relatife dari keteganggan dan kecemasan
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih saying yang besar
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif
Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang no.18 tahun 2014 tentang kesehatan
jiwa. Pasal 1 menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seseorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan social sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan/stress, dapat bekerja
secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan
jiwa dipandang penting karena permasalah kesehatan jiwa sangat besar dan
menimbulkan beban pembangunan yang signifikan. Jika permasalahan kesehatan jiwa
tidak ditanggulangi akan menurunkan status kesehatan fisik, menurun kan produktifitas
kerja dan kualitas sumber daya manusia (DirektoratBinaKesWa, 2014)
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seorang yang
secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologik, perilaku, biologis, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan
antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (maslim,2002;Maramis,2010). Menurut
(Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi mental atau psikologi
seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang
dapat mempengangaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, dan
sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan
kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang
yang di cintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia.
Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas ini cenderung
semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan seperti
kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran dan masalah
pernikahan, krisis ekonomi,tekanan pekerjaan, dan diskriminasi meningkatkan resiko
meningkatnya gangguan jiwa (Suliswati,2005). Jenis dan karakteristik gangguan jiwa
sangat beragam diantaranya gangguan jiwa yang sering ditemukan dan dirawat yaitu
skizofrenia (Marasmis,2008). Sekitar 45% pasien yang di masuk rumah sakit jiwa
merupakan pasien Skizofrenia dan sebagian besar pasien skizofrenia tersebut
memerlukan perawatan ( rawat inap dan rawat jalan ) yang lama (Videbeck, 2008).
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan
di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2016, terdapat sekitar 35
juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis,
psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan
jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan
produktivitas manusia untuk jangka panjang (Kemenkes, 2016).
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang
atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Berdasarkan laporan data dinas kesehatan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
barat ( 2018 ), didapatkan jumlah klien yang mengalami masalah keperwatan jiwa
dengan gangguan kosep diri harga diri rendah yaitu sebanyak 127 kasus ( 2,604%),
Isolasi sosial sebanyak 102 kasus (2,091 %), Gangguan persepsi sensori halusinasi
sebanyak 3931 kasus (80,60%), Gangguan proses fikir atau waham sebanyak 147 kasus
(3,014%), Resiko prilaku kekerasan sebnayak 288 kasus (5,905%), resiko bunuh diri
sebanyak 4 kasus (0,082%), dan defisit perawatan diri sebanyak 278 kasus (5,700%).
Peristiwa-peristiwa traumatik seperti bencana dan konflik berkepanjangan yang
dialami masyarakat kita telah meninggalkan dampak yang serius. Mereka harus
mengalami kehilangan baik pekerjaan, harta benda, bahkan nyawa. Dampak kehilangan
tersebut dapat mempengaruhi individu akan kemampuan dirinya(Keliat, 2011).
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok psikosa
dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa
kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk skizofrenia masuk
dalam kelompok gangguan jiwa berat. Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien
gangguan jiwa dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American
Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification)
NOC (Nursing Outcame Criteria).
Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah
keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Penelitian tahun 2000,
didapatkan tujuh masalah keperawatan jiwa yang sering ditemui diantaranya perubahan
persepsi halusinasi yaitu salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu berupa suara , penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Isolasi sosial merupakan percobaan untuk
menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan maupun komunikasi
dengan orang lain (Balitbang, 2007). Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang
salah dan secara kukuh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998). Defisit perawatan diri
adalah suatu kondisi dimana seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam
melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi,
berpakaian berhias, makan dan BAK dan BAB. Perilaku kekerasan merupakan suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).
Resiko bunuh diri suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Selanjutnya harga
diri rendah kronis merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri , hilangnya percaya
diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat,1998)
Individu akan merasa gagal, putus asa dan akhirnya mempunyai suatu pikiran
negative terhadap dirinya dan akhirnya akan merendahkan martabat sendiri, individu
akan merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan merasa rendah diri, yang
dikenal dengan gangguan kosep diri : Haga Diri Rendah. Menurut ( Keliat, 2011), tanda
dan gejala harga diri rendah yaitu
mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis,
penurunan produktivitas, penolakan terhadap kemampuan diri. Selain tanda dan gejala
diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan harga diri rendah yang
tampak kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan
menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, dan bicara
lambat dengan nada suara rendah.
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga
diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perilaku orang lain yang
mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang
berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi
menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk
berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah
melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat,
2011).
Klien dengan gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah yang tidak ditangani
akan mengisolasi diri,perubahan sensori persepsi halusinasi dengar atau lihat, perilaku
kekerasan, dan klien akan kurang memperhatikan kebersihan diri. Pada klien dengan
gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah dapat mengakibatkan cemas dan takut,
individu akan takut ditolak, takut gagal, dan dipermalukan akhirnya cenderung untuk
menarik diri yang pada akhirnya individu akan mengalami gangguan orientasi realita.
Komplikasi yang berbahaya adalah individu mempunyai keinginan untuk menciderai
dirinya.
Oleh karena itu diperlukan perawatan intensif baik dari segi kualitas maupun
kuantitas dari pelayanan tenaga kesehatan termasuk didalamnya adalah perawat. Peran
perawat dalam penanggulangan klien dengan gangguan konsep diri : Harga Diri
Rendah meliputi peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatife. Pada peran
promotif, perawat meningkatkan dan memelihara kesehatan mental melalui penyuluhan
dan pendidikan untuk klien dan keluarga. Dari aspek preventif yaitu untuk
meningkatkan kesehatan mental dan pencegahan gangguan konsep diri : Harga Diri
Rendah. Sedangkan pada peran kuratif perawat merencanakan dan melaksanakn
rencana tindakan keperawatan untuk klien dan keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yuli Prihatiningsih (2013), tentang
Asuhan Keperawatan pada Klien S dengan Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah
di Rumah Sakit jiwa Daerah Surakarta, didapatkan hasil setelah dilakukan asuhan
keperawatan 3x24 jam diagnosa keperawatan yang muncul pada : Setelah Ny. S adalah
gangguan konsep diri: harga diri rendah. Setelah dilakukan penatalaksanaan asuhan
keperawatan selama tiga hari sesuai rencana tindakan keperawatan Klien mampu
berinteraksi dengan orang lain. klien dapat membina hubungan saling percaya, klien
mampu menyebutkan penyebab menarik diri, klien mampu smenyebutkan keuntungan
berinteraksi dengan orang lain dan kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain,
klien mampu melaksanakan interaksi sosial secara bertahap serta klien mampu
mengungkapkan perasaan setelah berhubungan dengan orang lain.
Berdasarkan data diatas dan permasalahan yang ada kami mengangkat kasus
seminar dengan judul : “Asuhan Keperawatan Jiwa pada Ibu F dengan masalah utama
Harga Diri Rendah di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Dalam penyusunan makalah seminar ini adalah perolehnya pengalaman secara
nyata dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan
Konsep Diri : Harga Diri Rendah.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus makalah ini maka mahasiswa mampu
a. Melakukan penkajian pada klien harga diri rendah
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien harga diri rendah
c. Merencanakan tindakan keperawatan pad klien harga diri rendah
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien harga dirirendah
e. Melakukan evaluasi pada klien harga diri rendah
f. Mengidentifikasi kesenjangan antara kasus dan teori
g. Mengideitifikasi faktor pendukung dan penghambat serta mencari solusinya
h. Mendokumentasikan semua kegiatan keperawatan dalam bentuk narasi
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
a. Wawancara : Dilakukan pada pada klien, orang terdekat klien dan perawat ruangan
b. Observasi : Pengamatan pasien selama proses keperawatan
c. Perpustakaan : Catatan medis dan mata kuliah keperawatan jiwa
D. Manfaat Penulisan
a. Bagi penulis
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerepan asuhan keperawatan jiwa
serta memahami, menerapkan, dan meningkatkan keterampilan dalam menerapkan
asuhan keperawatan jiwa.
b. Bagi Intitusi Pendidikan
Diharapkan menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kemajuan terhadap
terjadinya harga diri rendah.
c. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan menjadi masukan bagaimana memberikan pelayanan penyuluhan pada
pasien harga diri rendah sehingga pasien dapat mengikuti apa yang telah disarankan.
BAB II
LANDASAN TEORI
C. Rentang Respons
Respons Respons
Adaptif Maladaptif
Isolasi sosial
3. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang
pertama.Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon
(berhasil) dengan antipsikotik konvensional.Sangat disayangkan, Clozaril
memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus
yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang
berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus
memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli
merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat
antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
4. Cara penggunaan
a. Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping
sekunder.
b. Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen
c. Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti
dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama),
dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama.
d. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat
antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik
efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggU
2. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
3. Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
e. Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien
f. Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) dievaluasi setiap 2
minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12
minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu dosis maintanance
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu)
tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)
g. Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi
pemeliharaan dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun.
h. Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis.
i. Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.
Untuk psikosis reaktif singkat penuruna obat secara bertahap setelah
hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
j. Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
k. Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound
yaitu: gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain.
Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi
sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari)
l. Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang
tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan
pertama baru ditingkatkan menjadi 1cc setap bulan. Pambarian anti psikosis
long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus
skizpfrenia.
m. Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu
peubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan
mengatasinya dengan injeksi noradrenalin (effortil IM).
Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan
tablet trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari.
5. Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama,
sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul.Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-
otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP).Dalam hal ini
pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita
harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat
beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan
kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya
benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau
mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi
pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial
grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan
menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita
yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia,
dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik
atipikal
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi
seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-
obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis
efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek
sampingnya lebih sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang
memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal.Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome,
dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat
menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini
membutuhkan penanganan yang segera. (Irwan, 2008)
e) Mekanisme Koping
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis, seperti kerja
keras, nonton, dan lain-lain
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti ikut
kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain
c. Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti kompetensi
pencapaian akademik
d. Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti penyalahgunaan obat
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang penting bagi
individu
b. Identitas negative
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai
harapan masyarakat
3. Mekanisme pertahanan ego
a. Fantasi
b. Disosiasi
c. Isolasi
d. Proyeksi
e. Displacement
f. Marah/amuk pada diri sendiri
f) Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data diatas yang didapat melalui observasi, wawancara atau
pemeriksaan fisik bahkan melalui sumber sekunder, maka dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan pada pasien sebagai berikut:
Gangguan Konsep Diri: Harga diri rendah
g) Perencanaan Keperawatan
Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Pada
rencana intervensi berikut memberikan gambaran pada gangguan konsep diri yaitu harga
diri rendah.
Perencanaan
No Diagnosis
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Gangguan Pasien mampu : Setelah …. SP 1 (tanggal ……)
Konsep a.Mengidentifikasi Pertemuan pasien 1. Identifikasi kemampuan
diri : kemampuan dan mampu positif yang dimiliki
2. Diskusikan bahwa pasien
Harga diri aspek positif yang a. Mengidentifikasi
masih memiliki sejumlah
Rendah dimiliki kemampuan aspek
b. Menilai kemampuan dan aspek positif
positif yang
kemampuan yang seperti kegiatan pasien di
dimiliki
dapat digunakan b. Mengidentifikasi rumah serta adanya keluarga
c.Menetapkan/mem
kemampuan yang dan lingkungan terdekat
ilih kegiatan yang
dapat digunakan pasien
sesuai c. Memilih kegiatan 3. Beri pujian yang realistis dan
kemampuan sesuai kemampuan hindarkan setiap kali bertemu
d. Melatih d. Melakukan
dengan pasien yangmemiliki
kegiatan yang kegiatan yang
penilaian negative
sudah dipilih sudah dipilih 4. Nilai kemampuan yang dapat
e. Merencanakan
sesuai dilakakukan saat ini
kegiatan yang 5. Diskusikan dengan pasien
kemampuan
e.Merencanakan sudah dilatih kemampuan yang masih
kegiatan yang digunakan saat ini
6. Bantu pasien
sudah dilatihnya
menyebutkannya dan
memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang
diungkapkan pasien
7. Perlihatkan respons yang
kondusif dan penjadi
pendengar yang aktif
8. Pilih kemampuan yang akan
dilatih
9. Diskusikan dengan pasien
beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai
kegiatan yang akan dilakukan
sehari-hari
10. Bantu pasien menetapkan
aktivitas mana yang dapat
pasien lakukan secara mandiri
11. Bantu pasien
mengidentifikasi aktivitas
mana yang memerlukan
bantuan minimal dari
keluarga, serta aktivitas yang
memerlukan bantuan penuh
dari keluarga atau lingkungan
terdekat pasien
12. Susun bersama pasien
aktivitas atau kegiatan sehari-
hari pasien
13. Nilai kemampuan pertama
yang telah dipilih
14. Diskusikan dengan pasien
untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah dipilih
pasien) yang akan dilatihkan.
15. Berikan dukungan dan pujian
yang nyata sesuai kemajuan
yang diperlihatkan klien
16. Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP 2 (tanggal….)
1. Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP1)
2. Pilih kemampuan kedua
yang dapat dilakukan
3. Latih kemampuan yang
dipilih
4. Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
Tujuan/ Strategi Pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
h) Evaluasi
1. Kemampuan yang diharapkan dari pasien
a. Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien
b. Pasien dapat membantu rencana kegiatan harian
c. Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki
2. Kemampuan yang diharapkan dari keluarga
a. Keluarga membantu pasien dalam melakukan aktivitas
b. Keluarga memberikan pujian pada pasien terhadap kemampuannya melakukan
aktivitas
i) Hambatan Yang ditemukan Saat Merawat Klien
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk (2016), persepsi perawat RSJ
tentang hambatan yang dijumpai selama menerapkan kompetensi dalam merawat
pasien gangguan jiwa, terdapat 5 hambatan yaitu :
1) Dokumentasi Keperawatan
2) Fasilitas
Fasilitas yang tersedia di RSJ masih menjadi salah satu hambatan yang
dirasakan saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai dengan SPO yang ada.
Seperti SPO untuk menerapkan asuhan keperawatan ADL mandi pada pasien
belum ditunjang dengan kelengkapan alat mandi dan fasilitas kebersihan pribadi
pasien. Sehingga perawat banyak melakukan modifikasi sesuai dengan
ketersediaan yang ada. Perawat dalam melaksanakan SPO untuk merawat pasien
gangguan jiwa membutuhkan dukungan fasilitas rumah sakit. Fasilitas yang
dibutuhkan sebaiknya diidentifikasi dan direncanakan berdasarkan kebutuhan
(Depkes RI, 2008). Dalam upaya tersebut dibutuhkan perencanaan dari kepala
ruangan untuk menyusun sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan,
menentukan strategi sehingga tujuan dapat tercapai(Simamora, 2012).
Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang sering terkendala dengan fasilitas
ruangan adalah pemenuhan kebutuhan kebersihan diri yang belum dapat
dilaksanakan sesuai dengan SPO yang ada. Keterbatasan peralatan mandi seperti
sabun, shampo, handuk, sikat dan pasta gigi untuk setiap pasien menstimulasi
perawat untuk melakukan modifikasi sehingga kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi. Kondisi pasien gangguan jiwa yang belum dapat menjaga barang
pribadi untuk kebersihan diri menjadi faktor yang harus dipertimbangkan agar
kebutuhan kebersihan diri pasien dapat terpenuhi.
3) Manajemen Ruangan
I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Ny. F (L/P) No. RM : 0023xx
Umur : 61 Tahun Tanggal Pengkajian : 10 september
2018
Pekerjaan : Belum bekerja Pendidikan : SD tidak tamat
Status : Belum Menikah
Masalah keperawatan :
IV. FISIK
1. Tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, N: 82 x/menit, S: 36,5 ℃, P: 22x/menit
2. Ukur : TB: 161, BB: 70
3. Keluhan fisik : klien mengatakan ia sakit punggung, sering pusing (sakit kepala)
Masalah Keperawatan : Nyeri b.d proses penyakit
V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram :
X X
X X
X X X
X X X X
X 6 X X X
1
Ket: = menikah
= laki-laki
= perempuan
= klien
= meninggal
= orang terdekat
= tinggal serumah
Penjelasan : klien sekarang berusia 61 tahun, klien merupakan anak kedua dari 5
bersaudara, sebelumnya klien tinggal bersama pamannya namun saat dikaji klien
mengatakan semua keluarganya sudah meninggal, dan tempat tinggalmya
terbakar. saat pamannya masih hidup yang mengambilan keputusan yaitu
pamannya, konflik biasa terjadi sehingga klien kadang bertengkar dengan
pamannya.
Masalah Keperawatan :
a. Koping keluarga tidak efektif : ketidakmampuan
b. Koping keluarga tidak efektif ; Kompromi
2. Konsep diri :
a. Gambaran Diri :
Klien mengatakan bagian tubuh yang disukainya yaitu bibir karena klien suka
memakai lipstik, namun klien merasa malu untuk berinteraksi dengan orang
lain karena merasa dirinya sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput,
senyumnya jelek karena giginya ompong dan klien sering menolak ketika
diajak berinteraksi
b. Identitas Diri :
a. Status dan posisi klien sebelum dirawat : status klien belum menikah dan
sebagai keponakan karena ia tinggal bersama paman dan bibiknya.
b. Kepuasan klien terhadap status dan posisinya : klien mengatakan ia belum
menikah dan merasa bisa bebas, namun terkadang klien merasa malu
belum menikah dan klien menyukai posisinya sebagai keponakan dirumah.
c. Kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan : klien mengatakan puas
terlahir sebagai perempuan
c. Peran :
a. Tugas atau peran yang diembang dalam keluarga/kelompok/masyarakat :
Tugas membantu melakukan pekerjaan dirumah seperti menyapu,
mengepel, cuci piring, cuci pakaian, belanja sembako
b. Kemampuan klien dalam melaksanakan tugas atau peran : klien mampu
melaksanakan tugas yang diemban kepadanya.
d. Ideal Diri : Harapan terhadap tubuh, status, tugas/peran : Klien mengatakan
harapanya agar selalu sehat supaya klien tetap dapat melaksanakan tugas dan
perannya selama dirumah ataupun di RSJ.
e. Harga Diri : Hubungan klien dengan orang lain : hubungan klien dengan orang
lain baik hanya saja sulit untuk berinteraksi karena klien selalu merasa malu
dengan kondisinya saat ini,klien mengatakan sudah tidak cantik lagi, kulit
keriput, giginya ompong,senyumnya jelek dan merasa badannya gemuk.
Masalah keperawatan :
a) gangguan citra tubuh
b) gangguan konsep diri : harga diri rendah
3. Hubungan sosial :
a. Orang yang berarti : Klien mengatakan keluarga yang sangat berarti yaitu
kedua orang tuanya dan neneknya.
Selama di rumah sakit klien tidak mempunyai teman dekat, klien hanya
bertegur sapa seadanya dengan pasien lainnya
b. Kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat : Klien mengatakan tidak
pernah mengikuti kegiatan kelompok
c. Sejauh mana Klien terlibat dalam kelompok masyarakat : klien mengatakan
tidak pernah mengikuti kegiatan kelompok masyarakat, klien lebih suka
bekerja didalam rumah karena tidak ada yang melihat.
Masalah Keperawatan :
a) Kerusakan interaksi sosial
b) Isolasi sosial
4. Spritual :
a. Nilai dan keyakinan :
- Klien mengatakan ia beragama budha dan klien percaya Tuhan itu ada.
b. Kegiatan ibadah :
- Sebelum klien di rawat di RSJ klien selalu mengikuti sembahyang dan
selama dirawat di RSJ tidak pernah mengikuti sembahyang.
Masalah Keperawatan
Distress spiritual
6) Clozapine 3 x 100 mg
7) Stelosi 3x1
8) Elxion 1x1
Masalah keperawatan
a. Efek terapi obat-obatan
b. Efek merugikan terapi antidepresan
c. Efek merugikan terapi antipsikotik
XII. Daftar Masalah Keperawatan
1. Harga Diri Rendah
2. Isolasi Sosial
3. Halusinasi
4. Perubahan proses pikir
5. Sindrom trauma perkosaan
6. Respon pasca trauma
7. Resiko tinggi perilaku kekerasan
8. Koping keluarga inefektif gangguan koping
9. Koping keluarga inefektif ; kompromi
10. Koping keluarga inefektif ; ketidakmampuan
11. Nyeri b.d proses penyakit
12. Gangguan citra tubuh
13. Kerusakan interaksi sosial
14. Distress spiritual
15. Resiko kerusakan komunikasi verbal
16. Penatalaksanaan regimen terapetik inefektif : keluarga
17. Risiko tinggi ketidakpatuhan
18. Efek terapi obat-obatan
19. Efek merugikan terapi antidepresan
20. Efek merugikan terapi antispikotik
21. Koping individu tidak efektif
22. Kurang pengetahuan
23. Ansietas
INTERVENSI KEPERAWATAN
Inisial Klien : Ny. F Ruang : Mawar
Umur : 54 tahun Dx. Medis : Skizofrenia Paranoid
Tanggal/ Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
10 Sep 2018/ Dx. SP1: Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari
1 Klien dapat jam klien dapat kegiatan yang klien mengenai
menentukan melakukan akan dilatih harga diri rendah
kegiatan yang kegiatan yang sesuai
akan dilatih telah dipilihnya kemampuan
sesuai (senam)
kemampuan
klien
SP1 Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari
Mengidentifikasi jam klien dapat kegiatan yang klien mengenai
kemampuan dan melakukan akan dilatih harga diri rendah
aspek positif kegiatan yang sesuai
telah dipilihnya kemampuan
A. Pengkajian
1. Etiologi
Peplau dan Salivan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa pengalaman interpersonal
di masa atau tahap perkembangan dan bayi sampai lanjut usia yang tidak
menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering dipersalahkan, atau
merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan aman yang tidak terpenuhi, Hal
ini dapat menimbulkan perasaan ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang
digunakan tidak efektìf dapat menyebabkan harga diri rendah kronis,
Caplan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman
individu) dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak, serta tidak
dihargai akan memengaruhi individu. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan stres
dan menimbulkan penyimpangan perilaku seperti harga diri rendah kronis. Adapun
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Harga Diri Rendah sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan orangtua
yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya barga din rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri harga diri rendah kronis
ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri: harga dirì rendah kronis yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncúl secara tiba-tiba misalnya
harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau menjadi
narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga
bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik,
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak
tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas
kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.
Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiiki pikiran negatif belum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat. Baik faktor predisposisi maupun presipitasi di atas bila
telah memengaruhi seseorang baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak,
maka dianggap telah memengaruhi koping individu tersebut sehìngga menjadi
tidak efektif (mekanisme koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien
dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi di mana
klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial),
Klien yang mengalami isolasi social dapat membuat klien asyik dengan dunia dan
pikirannya sendiri sehingga dapat muncul risiko perilaku kekerasan.
- Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil pengkajian langsung pada Ny. F
penyebab terjadinya harga diri rendah yang sekarang dialaminya yaitu karena ia
merasa malu malu untuk berinteraksi dengan orang lain karena merasa dirinya
sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput, senyumnya jelek karena giginya
ompong dan klien sering menolak ketika diajak berinteraksi. Klien diantar oleh
keluarga dengan keluhan ia malu dan takut untuk berinteraksi dengan orang lain.
- pernah mendapat perilaku kurang menyenangkan yaitu perlakuan pelecehan
seksual pada usia 18 tahun. Klien mengatakan ada rasa takut jika bertemu dengan
laki-laki dikarenakan kejadian di masa lalu klien berkeyakinan teguh atas apa
yang terjadi pada dirinya dahulu.
Tanda dan gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala kiien dengan gangguan harga diri rendah
kronis.
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimistis.
d. Tidak menerima pujian.
e. Penurunan produktivitas.
f. Penolakan terhadap kemampuan diri.
g. Kurang memperhatikan perawatan diri.
h. Berpakaian tidak rapi
i. Selera makan berkurang.
j. Tidak berani menatap lawan bicara.
k. Lebih banyak menunduk.
l. Bicara lambat dengan nada suara lemah.
Pada kasus Ny. F tanda dan gejalanya adalah klien tampak lesu, tegang dan gelisah,
ekspresi datar, dangkal, klien menjawab pertanyaan perawat dengan
anggukan/gelekan, dan hanya menggunakan sepatah/dua patah kata, Klien tampak
sering menghindari pasien lain di ruangan, Klien mengatakan merasa takut karena
berbicara dengan orang baru yang tidak ia kenal, Berdasarkan hasil pengkajian dan
teori sebanding dengan apa yang didapat.
2. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek atau jangka panjang
serta penggunaan mekanisme. Pertahanan ego untuk melindungi diri sendiri dalam
menghadapi persepsi diri sendiri yang menyakitkan. Pertahanan jangka pendek
meliputi :
a. Aktivitas yang memberikan kesempatan lari sementara dari
krisis misalnya : menonton konser musik, menonton televisi secara obsesif.
b. Aktivitas yang memberikan identitas pengganti sementara,
Misalnyaikut dalam klub sosial ,agama, kelompok, gerakan.
c. Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan
perasan diri yang tidak menentu, misalnya : olah raga yang kompetitif, prestasi
akademis, kontes untuk mendapatkan popularitas.
d. Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk
membuat identitas di luar dari hidup yang tidak bermakna saat ini, misal:
penyalah gunaan obat.
a. Penutupan identitas –adopsi identitas prematur yang di inginkan oleh orang terdekat
tanpa memperhatikan keinginan , aspirasi, atu petensi diri individu.
b. Identitas negativ-asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan yang
diterima masyarakat.
Berdasarkan kasus Ny. F Klien tidak mau memulai pembicaraan dengan orang lain,
yang ditandai dengan: klien selalu menghindar saat berinteraksi dengan orang lain.
3. Diagnosa keperawatan
Menurut Nita Fitria, 2009 masalah keperawatan yang dapat muncul adalah
gangguan konsep diri: Harga diri rendah, isolasi sosial, dan perubahan persepsi
sensori: Halusinasi.
Pada kasus tn. LH sesuai dengan apa yang ada diteori:
a. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Data subjekif : Klien mengatakan ia merasa malu dengan penampilannya
Klien mengatakan dirinya sudah tua dan tidak cantik lagi
Klien mengatakan ia merasa pekerjaannya selalu tidak benar
Data objektif : - Pada saat melakukan pengkajian kontak mata klien (-)
- Klien tampak tidak percaya diri pada saat berbicara
- Klien tampak sering menyendiri dan menjauh dari teman-
temannya.
-Klien selalu bertanya dengan apa yang sudah
dikerjakannya.
4. Intervensi keperawatan
a. Harga diri rendah
1) Identifiksi kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan (senam)
2) Identifikasi kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan.
3) Identifikasi kemampuan yang dapat dilakukan.
4) Identifikasi Kemampuan yang dapat dilakukan.
5) Identifikasi keberhasilan klien
6) Memberikan kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilakukan
7) Evaluasi jadwal harian klien.
8) Identifikasi kegiatan keduanya yaitu senam.
9) Identifikasi kegiatan selanjutnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk (2016), persepsi perawat RSJ
tentang hambatan yang dijumpai selama menerapkan kompetensi dalam merawat pasien
gangguan jiwa, terdapat 5 hambatan yaitu :
6) Dokumentasi Keperawatan
7) Fasilitas
Fasilitas yang tersedia di RSJ masih menjadi salah satu hambatan yang
dirasakan saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai dengan SPO yang ada.
Seperti SPO untuk menerapkan asuhan keperawatan ADL mandi pada pasien belum
ditunjang dengan kelengkapan alat mandi dan fasilitas kebersihan pribadi pasien.
Sehingga perawat banyak melakukan modifikasi sesuai dengan ketersediaan yang ada.
Perawat dalam melaksanakan SPO untuk merawat pasien gangguan jiwa
membutuhkan dukungan fasilitas rumah sakit. Fasilitas yang dibutuhkan sebaiknya
diidentifikasi dan direncanakan berdasarkan kebutuhan (Depkes RI, 2008). Dalam
upaya tersebut dibutuhkan perencanaan dari kepala ruangan untuk menyusun sumber
daya yang dimiliki dan dibutuhkan, menentukan strategi sehingga tujuan dapat
tercapai(Simamora, 2012). Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang sering
terkendala dengan fasilitas ruangan adalah pemenuhan kebutuhan kebersihan diri
yang belum dapat dilaksanakan sesuai dengan SPO yang ada. Keterbatasan peralatan
mandi seperti sabun, shampo, handuk, sikat dan pasta gigi untuk setiap pasien
menstimulasi perawat untuk melakukan modifikasi sehingga kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi. Kondisi pasien gangguan jiwa yang belum dapat menjaga barang pribadi
untuk kebersihan diri menjadi faktor yang harus dipertimbangkan agar kebutuhan
kebersihan diri pasien dapat terpenuhi.
8) Manajemen Ruangan
“ Daftar Pustaka”
Yusuf, A., ddk 2016. Kompetensi perawat dalam merawat pasien gangguan jiwa
(Nursing Competencies in Taking Care Patient with Mental Disorders) Jurnal Ners
Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan tentang Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. F dengan
masalah utama harga diri rendah dapat diambil kesimpulan:
a. Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan dan dalam
kasus ini ditemukan data yang menjadi fokus yakni harga diri rendah. Klien
mengalami harga diri rendah dipicu oleh klien selalu merasa malu dengan
kondisinya saat ini, klien mengatakan sudah tidak cantik lagi, kulit keriput,
giginya ompong, senyumnya jelek dan merasa badannya gemuk sehingga
membuat klien menutup diri dari lingkungan Klien sudah pernah dirawat di
Rumah Sakit Jiwa namun pengobatannya kurang berhasil. Berdasarkan
pengkajian, klien sering kali putus obat serta kurangnya dukungan keluarga
terhadap klien. Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah klien merasa
malu atas dirinya dikarenakan sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput,
senyumnya jelek karena giginya ompong, belum menikah dan merasa badannya
sudah gendut.
b. Diagnosa keperawatan adalah identifikasi atau penilaian terhadap pola respon
klien baik aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan utama yang penulis
angkat pada kasus Ny. F adalah harga diri rendah.
c. Intervensi keperawatan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan, kriteria hasil,
intervensi dan rasional rencana tindakan keperawatan. Pada kasus Ny. F dalam
satu minggu penulis melakukan intervensi sesuai dengan teori yang ada dengan
menggunakan SP1 sampai SP2 pada harga diri rendah.
d. Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana penerapan yang
telah disusun pada tahapan perencanaan. Pada diagnosa harga diri rendah
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan, yang terdiri dari strategi
pelaksanaan untuk pasien. Saat mengimplementasikan rencana yang sudah
dirancang, penulis sudah menjalankan SP1 dan SP2.
e. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP. Dalam kasus dapat
dianalisis bahwa SP1 berhasil dihari kedua, dilanjutkan SP2 dihari ketiga sambil
mengingatkan SP1 yang sudah dirancang. Hari kedua, klien diberikan SP1 harga
diri rendah, klien mengikuti kegiatan senam namun belum cukup mampu bergaul
dan masih merasa nyaman melakukan kegiatan sendiri. Begitu pula SP 2 pada hari
ketiga klien mampu melakukan kegiatan namun klien masih merasa pekerjaan
yang dilakukannya salah dan masih merasa nyaman bekerja sendiri, klien
diingatkan kembali dan dilatih kembali agar mampu menerapkan SP1 dan SP2.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran yang diharapkan
bermanfaat.
a. Bagi rumah sakit, hendaknya lebih meningkatkan kinerja dalam pemberian asuhan
keperawatan yang mencakup segala biopsikososiokultural. Sehingga SP yang
diterapkan ke pasien dapat berlanjut hingga saat pasien dapat melakukan mandiri
dirumah.
b. Bagi klien, perlunya mengingatkan kembali implementasi yang sudah
direncanakan agar klien mampu melakukan SP secara mandiri supaya tidak terjadi
kekambuhan dan rutinitas dalam minum obat.
c. Bagi institusi, memberikan kemudahan dalam pemakaian sarana dan prasarana
yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan keterampilannya dalam melalui praktek klinik dan pembuatan
laporan khususnya pada keperawatan jiwa.
d. Bagi keluarga, perlunya keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam memperbaiki
kesehatan keluarga yang menderita gangguan jiwa sehingga pemecahan masalah
yang dihadapi klien dapat ditingkatkan.