Anda di halaman 1dari 54

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA IBU F

DENGAN MASALAH UTAMA HARGA DIRI RENDAH


DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 1 SEMINAR KEPERAWATAN JIWA

ERMI HARYANTI
I 4051181001
RESTY JAYANTI
I 4051181002
NOVIANITA ANGGREINI
I 4051181003
RIZKI NURHAFIZAH
I 4051181004
MALINDA SURENI
I 4051181007
MITA WIDYA NINGRUM
I 4051181008
LIDWINA YULIENI KOSIANG
I 4052181001
UTIN HARMIYANTI
I 4052181002
ZAKIAH
I 4052181003
LILI SANTI
I 4052181004
WINDA AYU LESTARI
I 4052181007
SELLY MALISA
I 4052181009
UTIN YUNI KARTIKA
I 4052181010
ENGELIA REZEKI
I 4052181011
TAMPUBOLON
I 4052181014
JERISA ADVEN DOMINGGO

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-NYA, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Jiwa pada Ibu F dengan Masalah Utama Harga Diri Rendah di Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kalimantan Barat”.
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Suni, S.E., M.Si selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
2. Zainal Abidin, S.Pd selaku Kasi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Kalimantan Barat
3. Ns. Djoko Priyono, M.Kep, selaku koordinator stase jiwa Program Profesi Ners
Universitas Tanjungpura Pontianak
4. Ns. Sherly Mardisya, S.Kep selaku Pembimbing Klinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
5. Ihsan Usman, S.ST selaku Pembimbing Klinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat.
6. Nanik Susilowati, S.Tr.Kep selaku Kepala Ruangan Mawar
7. Ibu F selaku narasumber.
8. Rekan-rekan satu kelompok serta teman-teman Profesi Ners yang telah mendukung dan
memotivasi dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan ini.
Kami berharap Laporan Kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi dalam
pembelajaran Asuhan Keperawatan khususnya pada Stase Keperawatan Jiwa. Untuk
kesempurnaan dari laporan ini, maka kami mohon segala saran dan kritikan yang
membangun dari pembaca atau peserta seminar sangat kami butuhkan sebagai bahan
masukan untuk perbaikan laporan ini.

Singkawang, Oktober 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari penyakit, cacat,
kelemahan, tapi benar-benar merupakan kondisi positif dan kesejahteraan fisik,
mental dan social yang memungkinkan untuk hidup produktif. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia sehat adalah dalam keadaan bugar dan nyaman seluruh tubuh dan
bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah realtif, karena bersifat subjektif sesuai
orang yang mendefinisikan dan merasakan.
Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi
dan berinteraksi dengan baik, tepat dan bahagia. Clausen mengatakan orang yang
sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai
stesor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stesor, intensitas, makna, budaya,
kepercayaan agama dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang
yang sehat jiwanya dapat melakukan hal semacam berikut:
1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu
buruk
2. Merasa bebas secara relatife dari keteganggan dan kecemasan
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih saying yang besar
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif
Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang no.18 tahun 2014 tentang kesehatan
jiwa. Pasal 1 menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seseorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan social sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan/stress, dapat bekerja
secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan
jiwa dipandang penting karena permasalah kesehatan jiwa sangat besar dan
menimbulkan beban pembangunan yang signifikan. Jika permasalahan kesehatan jiwa
tidak ditanggulangi akan menurunkan status kesehatan fisik, menurun kan produktifitas
kerja dan kualitas sumber daya manusia (DirektoratBinaKesWa, 2014)
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seorang yang
secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi
psikologik, perilaku, biologis, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan
antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (maslim,2002;Maramis,2010). Menurut
(Herman, 2011), gangguan jiwa ialah terganggunya kondisi mental atau psikologi
seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang
dapat mempengangaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, dan
sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan
kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang
yang di cintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia.
Gangguan jiwa yang terjadi di era globalisasi dan persaingan bebas ini cenderung
semakin meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh dengan tekanan seperti
kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran dan masalah
pernikahan, krisis ekonomi,tekanan pekerjaan, dan diskriminasi meningkatkan resiko
meningkatnya gangguan jiwa (Suliswati,2005). Jenis dan karakteristik gangguan jiwa
sangat beragam diantaranya gangguan jiwa yang sering ditemukan dan dirawat yaitu
skizofrenia (Marasmis,2008). Sekitar 45% pasien yang di masuk rumah sakit jiwa
merupakan pasien Skizofrenia dan sebagian besar pasien skizofrenia tersebut
memerlukan perawatan ( rawat inap dan rawat jalan ) yang lama (Videbeck, 2008).
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan
di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2016, terdapat sekitar 35
juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis,
psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan
jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan
produktivitas manusia untuk jangka panjang (Kemenkes, 2016).
Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan
prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang
atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Berdasarkan laporan data dinas kesehatan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
barat ( 2018 ), didapatkan jumlah klien yang mengalami masalah keperwatan jiwa
dengan gangguan kosep diri harga diri rendah yaitu sebanyak 127 kasus ( 2,604%),
Isolasi sosial sebanyak 102 kasus (2,091 %), Gangguan persepsi sensori halusinasi
sebanyak 3931 kasus (80,60%), Gangguan proses fikir atau waham sebanyak 147 kasus
(3,014%), Resiko prilaku kekerasan sebnayak 288 kasus (5,905%), resiko bunuh diri
sebanyak 4 kasus (0,082%), dan defisit perawatan diri sebanyak 278 kasus (5,700%).
Peristiwa-peristiwa traumatik seperti bencana dan konflik berkepanjangan yang
dialami masyarakat kita telah meninggalkan dampak yang serius. Mereka harus
mengalami kehilangan baik pekerjaan, harta benda, bahkan nyawa. Dampak kehilangan
tersebut dapat mempengaruhi individu akan kemampuan dirinya(Keliat, 2011).
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok psikosa
dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa
kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk skizofrenia masuk
dalam kelompok gangguan jiwa berat. Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien
gangguan jiwa dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American
Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification)
NOC (Nursing Outcame Criteria).
Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah
keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Penelitian tahun 2000,
didapatkan tujuh masalah keperawatan jiwa yang sering ditemui diantaranya perubahan
persepsi halusinasi yaitu salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepsi sensori seperti merasakan sensasi palsu berupa suara , penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Isolasi sosial merupakan percobaan untuk
menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan maupun komunikasi
dengan orang lain (Balitbang, 2007). Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang
salah dan secara kukuh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998). Defisit perawatan diri
adalah suatu kondisi dimana seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam
melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi,
berpakaian berhias, makan dan BAK dan BAB. Perilaku kekerasan merupakan suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).
Resiko bunuh diri suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Selanjutnya harga
diri rendah kronis merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri , hilangnya percaya
diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat,1998)
Individu akan merasa gagal, putus asa dan akhirnya mempunyai suatu pikiran
negative terhadap dirinya dan akhirnya akan merendahkan martabat sendiri, individu
akan merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan merasa rendah diri, yang
dikenal dengan gangguan kosep diri : Haga Diri Rendah. Menurut ( Keliat, 2011), tanda
dan gejala harga diri rendah yaitu
mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis,
penurunan produktivitas, penolakan terhadap kemampuan diri. Selain tanda dan gejala
diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan harga diri rendah yang
tampak kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan
menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, dan bicara
lambat dengan nada suara rendah.
Harga diri seseorang di peroleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga
diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perilaku orang lain yang
mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri seseorang
berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki harga diri tinggi
menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif untuk
berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang memiliki harga diri rendah
melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. (Keliat,
2011).
Klien dengan gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah yang tidak ditangani
akan mengisolasi diri,perubahan sensori persepsi halusinasi dengar atau lihat, perilaku
kekerasan, dan klien akan kurang memperhatikan kebersihan diri. Pada klien dengan
gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah dapat mengakibatkan cemas dan takut,
individu akan takut ditolak, takut gagal, dan dipermalukan akhirnya cenderung untuk
menarik diri yang pada akhirnya individu akan mengalami gangguan orientasi realita.
Komplikasi yang berbahaya adalah individu mempunyai keinginan untuk menciderai
dirinya.
Oleh karena itu diperlukan perawatan intensif baik dari segi kualitas maupun
kuantitas dari pelayanan tenaga kesehatan termasuk didalamnya adalah perawat. Peran
perawat dalam penanggulangan klien dengan gangguan konsep diri : Harga Diri
Rendah meliputi peran promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatife. Pada peran
promotif, perawat meningkatkan dan memelihara kesehatan mental melalui penyuluhan
dan pendidikan untuk klien dan keluarga. Dari aspek preventif yaitu untuk
meningkatkan kesehatan mental dan pencegahan gangguan konsep diri : Harga Diri
Rendah. Sedangkan pada peran kuratif perawat merencanakan dan melaksanakn
rencana tindakan keperawatan untuk klien dan keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yuli Prihatiningsih (2013), tentang
Asuhan Keperawatan pada Klien S dengan Gangguan Konsep Diri Harga Diri Rendah
di Rumah Sakit jiwa Daerah Surakarta, didapatkan hasil setelah dilakukan asuhan
keperawatan 3x24 jam diagnosa keperawatan yang muncul pada : Setelah Ny. S adalah
gangguan konsep diri: harga diri rendah. Setelah dilakukan penatalaksanaan asuhan
keperawatan selama tiga hari sesuai rencana tindakan keperawatan Klien mampu
berinteraksi dengan orang lain. klien dapat membina hubungan saling percaya, klien
mampu menyebutkan penyebab menarik diri, klien mampu smenyebutkan keuntungan
berinteraksi dengan orang lain dan kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain,
klien mampu melaksanakan interaksi sosial secara bertahap serta klien mampu
mengungkapkan perasaan setelah berhubungan dengan orang lain.
Berdasarkan data diatas dan permasalahan yang ada kami mengangkat kasus
seminar dengan judul : “Asuhan Keperawatan Jiwa pada Ibu F dengan masalah utama
Harga Diri Rendah di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat”.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Dalam penyusunan makalah seminar ini adalah perolehnya pengalaman secara
nyata dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan
Konsep Diri : Harga Diri Rendah.

2. Tujuan khusus
Tujuan khusus makalah ini maka mahasiswa mampu
a. Melakukan penkajian pada klien harga diri rendah
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien harga diri rendah
c. Merencanakan tindakan keperawatan pad klien harga diri rendah
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien harga dirirendah
e. Melakukan evaluasi pada klien harga diri rendah
f. Mengidentifikasi kesenjangan antara kasus dan teori
g. Mengideitifikasi faktor pendukung dan penghambat serta mencari solusinya
h. Mendokumentasikan semua kegiatan keperawatan dalam bentuk narasi
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
a. Wawancara : Dilakukan pada pada klien, orang terdekat klien dan perawat ruangan
b. Observasi : Pengamatan pasien selama proses keperawatan
c. Perpustakaan : Catatan medis dan mata kuliah keperawatan jiwa
D. Manfaat Penulisan
a. Bagi penulis
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerepan asuhan keperawatan jiwa
serta memahami, menerapkan, dan meningkatkan keterampilan dalam menerapkan
asuhan keperawatan jiwa.
b. Bagi Intitusi Pendidikan
Diharapkan menjadi sumbangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kemajuan terhadap
terjadinya harga diri rendah.
c. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan menjadi masukan bagaimana memberikan pelayanan penyuluhan pada
pasien harga diri rendah sehingga pasien dapat mengikuti apa yang telah disarankan.
BAB II
LANDASAN TEORI

I. KONSEP DASAR TEORI


Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1995).
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga
diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga
diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan
menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1994). Biasanya harga diri sangat
rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa
masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri rendah terkait
dengan hubungan interpersonal yang buruk dan risiko terjadi depresi dan skizofrenia.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri
termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara
situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluasi yang telah berlangsung lama)
dan dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung (Keliat, 1994).
A. Definisi
Harga diri rendah merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada klien
dengan gangguan jiwa. Dibawah ini adalah pengertian dari harga diri rendah.
a. Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative dan
dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).
b. Penilaian negative seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan
secara langsung maupun tidak langsung (SchultdanVidebeck, 1998).
c. Perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri,
merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).
d. Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak
dapat bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri (yoeddhas, 2010)
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan, harga diri rendah adalah
suatu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya kepercayaan diri, dan gagal
mencapai tujuan yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung.

B. Tanda dan Gejala


Berikut adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah kronis.
a. Mengkritik diri sendiri
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimistis
d. Tidak menerima pujian
e. Penurunan produktivitas
f. Penolakan terhadap kemampuan diri
g. Kurang memperhatikan perawatandiri
h. Berpakaian tidak rapi
i. Selera makan berkurang
j. Tidak berani menatap lawan bicara
k. Lebih banyak menunduk
l. Bicara lambat dengan nada suara lemah (Nita fitria,2014)

C. Rentang Respons

Respons Respons
Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


diri diri positif rendah identitas
Gambar 2.1 Rentang Respon Harga diri rendah kronis
Sumber : Keliat (1999)
D. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Presipitasi
1) Faktor Predisposisi
a. Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orangtua
yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak
realistis.(Nita fitria,2014)
b. Citra tubuh, kehilangan/ kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi),
perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat tumbuh kembang
atau penyakit), proses pengobatan seperti radiasi dan kemotrapi
c. Harga diri; penolakan, kurang penghargaan, pola asuh overprotektif,
otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut, persaingan antara
keluarga, kesalahan dan kegagalan berulang, tidak mampu mencapai
standar
d. Ideal diri; cita-cita yang terlalu tinggi, harapan yang tidak sesuai dengan
kenyataan, ideal diri samara tau tidak jelas
e. Peran; streotipe peran seks, tuntutan peran kerja, harapan peran kultural
f. Identitas diri; ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari teman sebaya,
perubahan structural sosial
2) Faktor Presipitasi
Trauma, ketegangan peran, transisi peran perkembangan, transisi peran
situasi, transisi peran sehat-sakit.
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagiam
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami
kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri: harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional maupun kronik (Nita fitria,2014)
Situasional; Gangguan konsep diri: harga diri rendah yang terjadi secara
situasional bias disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya
harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau
menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah
sakit juga bias menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan
penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman,
harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta
perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.
Kronik; Gangguan konsep diri: harga diri rendah biasanya sudah berlangsung
sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien
sudah memiliki pikiran negative sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.
Baik faktor predisposisi maupun presipitasi di atas bila telah memengaruhi
seseorang baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak, maka dianggap telah
memengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme
koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi
lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak tidak memiliki
kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami
isolasi social dapat membuat klien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri
sehingga dapat muncul resiko perilaku kekerasan
3) Teori Para Ahli mengenai Harga Diri Rendah Kronis
Peplau dan Sulivan dalam keliat (1999) mengatakan bahwa pengalaman
interpersonal di masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia yang
tidak menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering
dipersalahkan, atau merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan aman yang
tidak terpenuhi. Hal ini dapat menimbulkan perasaan di tolak oleh lingkungan dan
apabila koping yang digunakan tidak efektif dapat menyebabkan harga diri rendah
kronis.
Caplan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan social,
pengalaman individu, dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan,
ditolak, serta tidak dihargai akan memengaruhi individu. Keadaan seperti ini dapat
menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku seperti harga diri
rendah kronis.
E. Pohon Masalah

Risiko tinggi Perilaku kekerasan

Effect Perubahanpersepsisensori: Halusinasi

Isolasi sosial

Core problem Harga diri rendah

Causa Koping individu tidak efektif

Gambar 2.2 Pohon Masalah Harga Diri Rendah


Sumber : Nita fitria (2014)

F. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Harga diri rendah kronis
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi sosial
4. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
5. Risti perilaku kekerasan

G. Penatalaksanaan Medis Harga Diri Rendah


1. Terapi somatik (medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut
antipsikotik.Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan
pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia.Pasien mungkin dapat mencoba beberapa
jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik
yang benar-benar cocok bagi pasien.Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun
yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk
mengobati Skizofrenia.Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu antipsikotik konvensional, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril
(Clozapine).
2. Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional.Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering
menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional
antara lain :
a. Haldol (haloperidol)
b. Mellaril (thioridazine)
c. Navane (thiothixene)
d. Prolixin (fluphenazine)
e. Stelazine ( trifluoperazine)
f. Thorazine ( chlorpromazine)
g. Trilafon (perphenazine)

Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik


konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical
antipsycotic.Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok
konvensional).Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan
(kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek
samping yang berarti.Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan
pemakaian antipskotik konvensional.Kedua, bila pasien mengalami kesulitan
minum pil secara reguler.Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka
waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot
formulations).Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di
dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan.Sistem depot formulation ini
tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic.

2. Newer Atypcal Antipsycotic


Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya
berbda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang
tersedia, antara lain :
a. Risperdal (risperidone)
b. Seroquel (quetiapine)
c. Zyprexa (olanzopine)

Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien-


pasien dengan Skizofrenia.

3. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang
pertama.Clozaril dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon
(berhasil) dengan antipsikotik konvensional.Sangat disayangkan, Clozaril
memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus
yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang
berguna untuk melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus
memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli
merekomendaskan penggunaan Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat
antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.

4. Cara penggunaan
a. Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek samping
sekunder.
b. Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen
c. Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti
dengan obat psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama),
dengan dosis ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama.
d. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya jenis obat
antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik
efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggU
2. Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
3. Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
e. Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien
f. Mulai dosis awal dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai dosis efektif (mulai peredaan sindroma psikosis) dievaluasi setiap 2
minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12
minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu dosis maintanance
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/mingu)
tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)
g. Untuk pasien dengan serangan sndroma psikosis multi episode terapi
pemeliharaan dapat dibarikan palong sedikit selama 5 tahun.
h. Efek obat psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir yang masih mempunyai efek klinis.
i. Pada umumnya pemberian oabt psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.
Untuk psikosis reaktif singkat penuruna obat secara bertahap setelah
hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
j. Obat antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu yang lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
k. Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic rebound
yaitu: gangguan lambung, mual muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain.
Keadaan ini akan mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi
sulfas atrofin 0,25 mg IM dan tablet trihexypenidil 3x2 mg/hari)
l. Obat anti pikosis long acting (perenteral) sangat berguna untuk pasien yang
tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap
medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan
pertama baru ditingkatkan menjadi 1cc setap bulan. Pambarian anti psikosis
long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan terhadap kasus
skizpfrenia.
m. Penggunaan CPZ injeksi sering menimbulkan hipotensi ortostatik pada waktu
peubahan posisi tubuh (efek alpha adrenergik blokade). Tindakan
mengatasinya dengan injeksi noradrenalin (effortil IM).
Haloperidol sering menimbulkan sindroma parkinson. Mengatasinya dengan
tablet trihexyphenidyl 3-4x2 mg/hari, SA 0,5-0,75 mg/hari.
5. Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama,
sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul.Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-
otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP).Dalam hal ini
pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita
harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat
beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan
kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya
benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau
mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi
pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial
grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan
menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita
yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia,
dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik
atipikal
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi
seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-
obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis
efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek
sampingnya lebih sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang
memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan
antipsikotik atipikal.Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome,
dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat
menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini
membutuhkan penanganan yang segera. (Irwan, 2008)

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


a) Pengkajian Keperawatan
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri. Berikut ini adalah tanda dan gejala harga diri rendah:
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimis
4. Penurunan produktivitas
5. Penolakan terhadap kemampuan diri
Selain data di atas, dapat juga mengamati penampilan seseorang dengan harga
diri rendah, terlihat dari kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak
rapi, selera makan kurang, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak
menunduk, bicara lambat dengan nada suara lemah.

Data yang perlu dikaji:


Masalah
Data Subyektif Data Obyektif
Keperawatan
Gangguan a. Mengungkapkan dirinya a. Mengkritik diri sendiri
b. Perasaan tidak mampu
konsep diri: merasa tidak berguna
c. Pandangan hidup yang
b. Mengungkapkan dirinya
Harga diri
pesimistis
merasa tidak mampu
rendah d. Tidak menerima pujian
c. Mengungkapkan dirinya
tidak semangat untuk e. Penurunan produktivitas
f. Penolakan terhadap
beraktivitas atau bekerja
d. Mengungkapkan dirinya kemampuan diri
g. Kurang memperhatikan
malas melakukan perawatan
perawatan diri
diri (mandi, berhias, makan,
h. Berpakaian tidak rapi
atau toileting) i. Kurang selera makan
j. Tidak berani menatap lawan
bicara
k. Lebih banyak menunduk
l. Bicara lambat dengan nada
suara lemah

b) Pengkajian faktor Predisposisi


1. Citra tubuh
b. Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)
c. Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat tumbuh kembang
atau penyakit)
d. Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh
e. Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemotrapi
2. Harga diri
a. Penolakan
b. Kurang penghargaan
c. Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu
dituntut
d. Persaingan antara keluarga
e. Kesalahan dan kegagalan berulang
f. Tidak mampu mencapai standar
3. Ideal diri
a. Cita-cita yang terlalu tinggi
b. Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan
c. Ideal diri samara tau tidak jelas
4. Peran
a. Stereotipe peran seks
b. Tuntutan peran kerja
c. Harapan peran kultural
5. Identitas diri
a. Ketidakpercayaan orang tua
b. Tekanan dari teman sebaya
c. Perubahan struktural sosial
c) Pengkajian Faktor Presipitasi
1. Trauma
2. Keteganggan peran
3. Transisi peran perkembangan
4. Transisi peran situasi
5. Transisi peran sehat sakit
d) Pengkajian faktor Perilaku
1. Citra tubuh
a. Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu
b. Menolak bercermin
c. Tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh
d. Menolak usaha rehabilitasi
e. Usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat
f. Menyangkal cacat tubuh
2. Harga diri rendah
a. Mengkritik diri sendiri/orang lain
b. Produktivitas menurun
c. Gangguan berhubungan
d. Destruktif pada orang lain
e. Merasa tidak mampu
f. Merasa bersalah dan khwatir
g. Mudah tersinggung/marah
h. Perasaan negatife terhadap tubuh
i. Keteganggan peran
j. Pesimis menghadapi hidup
k. Keluhan fisik
l. Penolakan kemampuan diri
m. Pandangan hidup bertentangan
n. Destruktif terhadap diri
o. Menarik diri secara sosial
p. Menarik diri dari realitas
3. Kerancuan identitas
a. Tidak ada kode moral
b. Kepribadian yang bertentangan
c. Hubungan interpersonal yang eksploitatif
d. Perasaan hampa
e. Perasaan mengambang tentang diri
f. Kerancuan gender
g. Tingkat ansietas tinggi
h. Tidak mampu empati terhadap orang lain
i. Masalah estimasi
4. Depersonalisasi

Afektif Perseptual Kognitif Perilaku


a. Kehilangan a. Halusinasi a. Binggung a. Pasif
b. Disorientasi b. Komunikasi
identitas dengar dan lihat
b. Perasaan b. Binggung waktu tidak sesuai
c. Gangguan c. Kurang
terpisah dari diri tentang
c. Perasaan tidak berpikir spontanitas
seksualitas diri
d. Gangguan daya d. Kehilangan
realistis c. Sulit
d. Rasa terisolasi ingat kendali terhadap
membedakan
e. Gangguan
yang kuat impuls
diri dari orang
e. Kurang rasa penilaian e. Tidak mampu
lain f. Kepribadian
berkesinambung d. Gangguan citra ganda memutuskan
f. Menarik diri
an tubuh
f. Tidak mampu e. Dunia seperti secara sosial
mencari dalam mimpi
kesenangan

e) Mekanisme Koping
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis, seperti kerja
keras, nonton, dan lain-lain
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti ikut
kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain
c. Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti kompetensi
pencapaian akademik
d. Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti penyalahgunaan obat
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang penting bagi
individu
b. Identitas negative
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai
harapan masyarakat
3. Mekanisme pertahanan ego
a. Fantasi
b. Disosiasi
c. Isolasi
d. Proyeksi
e. Displacement
f. Marah/amuk pada diri sendiri

f) Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data diatas yang didapat melalui observasi, wawancara atau
pemeriksaan fisik bahkan melalui sumber sekunder, maka dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan pada pasien sebagai berikut:
Gangguan Konsep Diri: Harga diri rendah

g) Perencanaan Keperawatan
Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Pada
rencana intervensi berikut memberikan gambaran pada gangguan konsep diri yaitu harga
diri rendah.

Perencanaan
No Diagnosis
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Gangguan Pasien mampu : Setelah …. SP 1 (tanggal ……)
Konsep a.Mengidentifikasi Pertemuan pasien 1. Identifikasi kemampuan
diri : kemampuan dan mampu positif yang dimiliki
2. Diskusikan bahwa pasien
Harga diri aspek positif yang a. Mengidentifikasi
masih memiliki sejumlah
Rendah dimiliki kemampuan aspek
b. Menilai kemampuan dan aspek positif
positif yang
kemampuan yang seperti kegiatan pasien di
dimiliki
dapat digunakan b. Mengidentifikasi rumah serta adanya keluarga
c.Menetapkan/mem
kemampuan yang dan lingkungan terdekat
ilih kegiatan yang
dapat digunakan pasien
sesuai c. Memilih kegiatan 3. Beri pujian yang realistis dan
kemampuan sesuai kemampuan hindarkan setiap kali bertemu
d. Melatih d. Melakukan
dengan pasien yangmemiliki
kegiatan yang kegiatan yang
penilaian negative
sudah dipilih sudah dipilih 4. Nilai kemampuan yang dapat
e. Merencanakan
sesuai dilakakukan saat ini
kegiatan yang 5. Diskusikan dengan pasien
kemampuan
e.Merencanakan sudah dilatih kemampuan yang masih
kegiatan yang digunakan saat ini
6. Bantu pasien
sudah dilatihnya
menyebutkannya dan
memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang
diungkapkan pasien
7. Perlihatkan respons yang
kondusif dan penjadi
pendengar yang aktif
8. Pilih kemampuan yang akan
dilatih
9. Diskusikan dengan pasien
beberapa aktivitas yang dapat
dilakukan dan dipilih sebagai
kegiatan yang akan dilakukan
sehari-hari
10. Bantu pasien menetapkan
aktivitas mana yang dapat
pasien lakukan secara mandiri
11. Bantu pasien
mengidentifikasi aktivitas
mana yang memerlukan
bantuan minimal dari
keluarga, serta aktivitas yang
memerlukan bantuan penuh
dari keluarga atau lingkungan
terdekat pasien
12. Susun bersama pasien
aktivitas atau kegiatan sehari-
hari pasien
13. Nilai kemampuan pertama
yang telah dipilih
14. Diskusikan dengan pasien
untuk menetapkan urutan
kegiatan (yang sudah dipilih
pasien) yang akan dilatihkan.
15. Berikan dukungan dan pujian
yang nyata sesuai kemajuan
yang diperlihatkan klien
16. Masukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP 2 (tanggal….)
1. Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP1)
2. Pilih kemampuan kedua
yang dapat dilakukan
3. Latih kemampuan yang
dipilih
4. Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
Tujuan/ Strategi Pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien


b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami klien
beserta proses terjadinya

Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga

c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien harga diri rendah


d. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pada klien harga diri
rendah

Strategi Pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat


b. Menjelaskan followup klien setelah pulang

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien


b. Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang mengalami gangguan
konsep diri : harga diri rendah kronis
c. Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien
d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep diri
e. Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan klien dirumah
Rencana Asuhan Keperawatan Jiwa Klien dengan Harga Diri Rendah

Diagnosa Intervensi Kriteria Evaluasi Implementasi Rasional


Ganggua Mengidentifikasi Daftar 1. Mendiskusikan bahwa klien 1. Diskusikan tingkat
n konsep kemampuan dan kemampuan masih memiliki sejumlah kemampuan klien
diri: aspek positif yang yang dimiliki kemampuan dan aspek seperti menilai
harga diri dimiliki klien klien di RS, positif seperti kegiatan realitas, kontrol diri
rendah rumah, sekolah klien dirumah, adanya atau integritas ego
dan tempat keluarga dan lingkungan diperlukan sabagai
kerja., daftar terdekat klien. dasar asuhan
positif keluarga 2. Beri pujian yang realistis keperawatannya.
klien, daftar atau nyata dan hindarkan 2. Reinforcement positif
positif penilaian yang negatif akan meningkatkan
lingkungan klien setiap kali bertemu dengan harga diri klien.
klien. Pujian yang realistic
tidak menyebabkan
klien melakukan
kegiatan hanya karena
ingin mendapatkan
pujian.
Ganggua Membantu klien Klien menilai 1. Mendiskusikan dengan 1. Diskusikan pada klien
n konsep menilai kemampuan klien kemampuan yang tentang kemampuan
diri: kemampuan yang yang dapat masih dapat digunakan saat yang dimiliki adalah
harga diri masih dapat digunakan di ini setelah mengalami prasyarat untuk
rendah dilakukan rumah sakit, bencana. berubah
klien menilai 2. Bantu klien 2. Pengertian tentang
kemampuan menyebutkannya dan kemampuan yang
yang dapat berikan penguatan terhadap dimiliki diri
digunakan kemampuan diri yang memotivasi untuk
dirumah. berhasil diungkapkan klien. tetap
3. Perlihatkan respons yang mempertahankan
konduktif dan jadilah kemampuannya.
pendengar yang aktif. 3. Dapat meningkatkan
harga diri klien
Ganggua Membantu klien Klien memiliki 1. Mendiskusikan dengan 1. Klien adalah individu
n konsep menentukan kemampuan klien beberapa aktivitas yang bertanggung
diri: kegiatan yang akan yang akan yang dapat dilakukan dan jawab terhadap
harga diri dilatih sesuai dilatih, klien dipilih sebagai kegiatan dirinya sendiri.
rendah dengan mencoba, susun yang akan klien lakukan 2. Contoh peran yang
kemampuan klien jadwal harian sehari-hari. dilihat klien akan
2. Bantu klien menetapkan memotivasi klien
aktivitas yang dapat untuk melaksanakan
dilakukan secara mandiri. kegiatan. Klien perlu
Tentukan aktivitas-aktivitas bertindak secara
yang memerlukan bantuan realistis dalam
minimal dan bantuan penuh kehidupannya.
dari keluarga atau
lingkungan terdekat klien.
Berikan contoh cara
pelaksanaan aktivitas yang
dapat dilakukan klien.
Lakukan penyusunan
aktivitas bersama klien dan
buatlah daftar aktivitas atau
kegiatan sehari-hari klien.

Ganggua Melatih klien Klien melakukan 1. Mendiskusikan dengan 1. Memberikan


n konsep sesuai dengan kegiatan yang klien untuk menetapkan kesempatan kepada
diri: kemampuan yang telah dilatih urutan kegiatan (yang klien untuk tetap
harga diri dipilih (mandiri, dengan sudah dipilih klien) yang melakukan kegiatan
rendah bantuan atau akan dilatihkan. yang biasa dilakukan
tergantung) 2. Bersama klien dan keluarga 2. Keluarga dapat
memperagakan beberapa memberi dukungan ,
kegiatan yang akan klien termotivasi
dilakukan klien. untuk melakukan
3. Berikan dukungan dan kegiatan.
pujian yang nyata pada 3. Reinforcement positif
setiap kemajuan yang dapat meningkatkan
diperlihatkan klien. harga diri klien

h) Evaluasi
1. Kemampuan yang diharapkan dari pasien
a. Pasien dapat mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
pasien
b. Pasien dapat membantu rencana kegiatan harian
c. Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki
2. Kemampuan yang diharapkan dari keluarga
a. Keluarga membantu pasien dalam melakukan aktivitas
b. Keluarga memberikan pujian pada pasien terhadap kemampuannya melakukan
aktivitas
i) Hambatan Yang ditemukan Saat Merawat Klien
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk (2016), persepsi perawat RSJ
tentang hambatan yang dijumpai selama menerapkan kompetensi dalam merawat
pasien gangguan jiwa, terdapat 5 hambatan yaitu :
1) Dokumentasi Keperawatan

Perawat RSJ dalam membuat dokumentasi keperawatan menemui beberapa


hambatan seperti ketidak lengkapan jenis format SAK yang seharusnya ada,
misalnya format di UGD, PICU, Poli Jiwa Anak dan SPO khusus untuk ADL
pasien. Format yang digunakan masih dalam proses pengembangan dan evaluasi
sehingga terkadang menimbulkan berbagai persepsi yang beragam dan
berdampak pada hasil pengisian yang juga beranekaragam.

Kondisi tersebut dirasakan menjadi hambatan terutama apabila harus


berkomunikasi dengan disiplin ilmu yang lain seperti dengan pihak medis,
psikolog maupun okupasi terapis. Ketidaklengkapan juga masih dijumpai pada
simbol khusus yang perlu untuk dimodifikasi, misalnya untuk mengkaji masalah
nyeri pada pasien gangguan jiwa belum ditemukan model yang tepat.
Ketidaklengkapan juga termasuk banyak komponen format yang tidak terisi
sesuai SPO dan kosong tidak diisi. Pengisian data dokumentasi yang menjadi
hambatan dan perlu perhatian khusus adalah validitas data yang dituliskan oleh
perawat. Subjektivitas perawat dalam menuliskan evaluasi asuhan keperawatan
masih mendominasi sehingga evaluasi yang ada di catatan perkembangan kurang
menggambarkan kondisi pasien secara rinci.

Pelaksanaan dokumentasi keperawatan menemui hambatan dalam bentuk


ketidak lengkapan format Standar Asuhan Keperawatan (SAK) terutama untuk
ruangan dengan karakteristik khusus dan perbedaan persepsi perawat dalam
proses pendokumentasian. Dokumentasi keperawatan sangat penting (Iyer &
Comp, 2005) menurut ANA (2000 dalam Nursalam, 2008) dokumentasi
merupakan pernyataan bahwa perawat bertanggung jawab dalam melakukan
asuhan keperawatan, termasuk dalam mengumpulkan data, mengkaji status
kesehatan klien, menentukan rencana asuhan keperawatan, mengevaluasi
efektivitas asuhan dan mengkaji ulang serta merevisi kembali rencana asuhan
keperawatan. Keberadaan ruangan dengan karakteristik khusus di RSJ seperti
ruang gawat darurat(UGD), ruang intensif (PICU), ruang khusus anak, geriatri
dan ruang khusus NAPZA, menjadikan perlu untuk dikembangkan format
dokumentasi khusus yang menjawab bahwa dokumentasi yang telah dilakukan
merupakan kinerja yang harus diperbaiki. Sehingga kemampuan dokumentasi
asuhan keperawatan di RSJ menjadi aspek yang perlu diperhatikan untuk
menunjang pencapaian kompetensi perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan secara menyeluruh.

2) Fasilitas
Fasilitas yang tersedia di RSJ masih menjadi salah satu hambatan yang
dirasakan saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai dengan SPO yang ada.
Seperti SPO untuk menerapkan asuhan keperawatan ADL mandi pada pasien
belum ditunjang dengan kelengkapan alat mandi dan fasilitas kebersihan pribadi
pasien. Sehingga perawat banyak melakukan modifikasi sesuai dengan
ketersediaan yang ada. Perawat dalam melaksanakan SPO untuk merawat pasien
gangguan jiwa membutuhkan dukungan fasilitas rumah sakit. Fasilitas yang
dibutuhkan sebaiknya diidentifikasi dan direncanakan berdasarkan kebutuhan
(Depkes RI, 2008). Dalam upaya tersebut dibutuhkan perencanaan dari kepala
ruangan untuk menyusun sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan,
menentukan strategi sehingga tujuan dapat tercapai(Simamora, 2012).
Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang sering terkendala dengan fasilitas
ruangan adalah pemenuhan kebutuhan kebersihan diri yang belum dapat
dilaksanakan sesuai dengan SPO yang ada. Keterbatasan peralatan mandi seperti
sabun, shampo, handuk, sikat dan pasta gigi untuk setiap pasien menstimulasi
perawat untuk melakukan modifikasi sehingga kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi. Kondisi pasien gangguan jiwa yang belum dapat menjaga barang
pribadi untuk kebersihan diri menjadi faktor yang harus dipertimbangkan agar
kebutuhan kebersihan diri pasien dapat terpenuhi.
3) Manajemen Ruangan

Pelaksanaan manajemen di ruangan terutama aspek perencanaan masih


menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja asuhan keperawatan pada perawat
ruangan. Deskripsi tugas yang tidak jelas terutama dalam pelaksanaan terapi
modalitas seperti TAK dan PKRS menimbulkan ketidaknyamanan diantara
perawat pelaksana sehingga mempengaruhi kinerja perawat. Selain itu
keterbatasan kewenangan perawat untuk melakukan terapi modalitas yang tidak
dipayungi oleh kebijakan rumah sakit dan ruangan membuat jenis terapi
modalitas yang dapat dilaksanakan baru sebatas TAK dan PKRS.
Aspek pengawasan dalam manajemen ruangan juga menjadi hambatan
bagi perawat ruangan dalam menjalankan kompetensi sebagai perawat secara
optimal. Kegiatan TAK di ruang rehabilitasi telah dilakukan evaluasi, namun
tidak tersampaikan kepada perawat pengelola pasien dan masih kurangnya aspek
pengawasan untuk menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut membuat kemajuan
kemampuan pasien tidak menjadi bagian dari evaluasi perawat ruangan. Selain
itu sistem reward yang masih belum sesuai dengan kinerja pelaksanaan terapi
modalitas seperti TAK, menjadi salah satu alasan perawat untuk tidak bekerja
secara maksimal.
4) Sumber Daya Manusia
Pelaksanaan kompetensi perawat di RSJ dirasakan menemui hambatan
akibat dari keberagaman kondisi sumber daya manusia yang tersedia. Tingkat
pendidikan yang bervariasi dari tingkat SPK, DIII, S1 Ners, Magister dan
Spesialis mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat dalam menerapkan asuhan
keperawatan. Perbedaan persepsi masih sering ditemukan dalam hal menentukan
diagnosa keperawatan dan menuliskan di format dokumentasi keperawatan. Masa
kerja perawat yang juga bervariasi juga menjadi kendala dimana perawat yang
masih baru perlu mempelajari kebiasaan yang telah ada dan seni dalam
mengatasi permasalahan selama berhadapan dengan pasien gangguan jiwa.
Jumlah perawat yang terbatas apabila di bandingkan dengan jumlah pasien,
terutama pada shift sore dan malam hari di ruang akut menyebabkan beban kerja
perawat yang tinggi. Beban kerja perawat selain akibat dari ketidak seimbangan
tersebut juga akibat dari beberapa perawat harus menjabat secara struktural
sehingga waktu banyak tersita untuk kegiatan selain di ruang rawat. Selain itu
duplikasi beberapa format dokumentasi keperawatan yang harus dilengkapi
selama merawat pasien masih menjadi hambatan untuk dapat bekerja secara
efisien meskipun beberapa format sudah dimodifikasi dengan bentuk yang lebih
sederhana, menyebabkan semakin terbatasnya jumlah waktu dalam pelayanan
langsung ke pasien. Situasi dan kondisi tersebut dirasakan sebagai beban oleh
perawat dan dapat mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan jiwa.
5) Kondisi Pasien
Perawat RSJ dalam menjalankan kompetensi sebagai perawat ruangan
juga mendapatkan hambatan akibat dari ketidak patuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan di rumah sakit. Kondisi penyakit yang dialami pasien
gangguan jiwa membuat pasien memiliki pola pikir, pengendalian emosi dan
perilaku yang unik, sehingga perawat harus memiliki kemampuan untuk
mengarahkan agar pasien mau mengikuti program terapi yang telah direncanakan
bersama tim kesehatan yang lain. Bagi sebagian perawat ketidakpatuhan
merupakan tantangan tersendiri, namun tetap menjadi faktor penghambat dalam
menjalankan peran dan fungsi sebagai perawat di tatanan RSJ. Pasien gangguan
jiwa cenderung mengalami ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang telah
direncanakan oleh perawat, seperti TAK dan Terapi Rehabilitasi saat pasien
masih menjalani rawat inap di RSJ. Gangguan jiwa yang bersifat kronis dan
membutuhkan pengobatan dalam jangka waktu lama menumbuhkan ketegangan
dan tingkat kejenuhan pasien sehingga menyebabkan ketidakpatuhan. Hussar
(1995) menjelaskan bahwa pasien dengan penyakit kronis kemungkinan besar
menunjukkan sikap kooperatif yang rendah terhadap pengobatan akibat dari
perasaan rendah diri akan lamanya pengobatan. Perawat sebagai tenaga
kesehatan memiliki peranan penting untuk menjadikan pasien patuh terhadap
proses pengobatan. Parashos & Xiromeritis (2000) menyebutkan 54% pasien
gangguan jiwa patuh terhadap pengobatan akibat adanya hubungan saling
percaya antara pasien dan tenaga kesehatan. Hubungan saling percaya dapat
dibina melalui kepedulian dan ketulusan perawat dalam memahami kondisi sakit
pasien. Selain itu perawat harus memiliki strategi unik untuk menciptakan
kondisi yang nyaman dan tidak menimbulkan kejenuhan selama pemberian TAK
dan Terapi Rehabilitasi, sehingga pasien mau mengikuti program terapi yang
telah direncanakan bersama tim kesehatan yang lain. Perawat harus memiliki
persepsi positif terhadap perilaku pasien dan tidak menyerah untuk melaksanakan
TAK dan Terapi Rehabilitasi sebagai bagian dari komptensi perawat di tatanan
RSJ.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Ruang Rawat : Mawar

Tanggal Dirawat : 08-01-2018

I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Ny. F (L/P) No. RM : 0023xx
Umur : 61 Tahun Tanggal Pengkajian : 10 september
2018
Pekerjaan : Belum bekerja Pendidikan : SD tidak tamat
Status : Belum Menikah

II. ALASAN MASUK


- Klien diantar oleh dinsos dengan keluhan bicara sendiri, tertawa sendiri,
mendengar bisikan, keluyuran, tidur (-)
- Saat dikaji klien mengatakan ia merasa malu untuk berinteraksi dengan orang lain
karena merasa dirinya sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput, senyumnya jelek
karena giginya ompong dan klien sering menolak ketika diajak berinteraksi

III. FAKTOR PREDISPOSISI


1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu : Klien mengatakan ia pernah
mengalami gangguan jiwa dimasa lalu dan sering kali dirawat di RSJ. Klien
pertama kali masuk rumah sakit pada tanggal 14 April 1987, dari data tahun
2011-2018 klien sudah 25x masuk rumah sakit.
2. Pengobatan sebelumnya : Pengobatan sebelumnya kurang berhasil karena
klien sering kali putus obat serta kurangnya dukungan keluarga terhadap klien
sehingga klien harus kembali dirawat di RSJ.
3. Aniaya fisik : klien mengatakan tidak pernah mengalami penganiyaan fisik
Aniaya seksualitas : klien mengatakan ia pernah menjadi korban penganiyaan
seksual pada usia 18 tahun oleh orang yang tidak dikenalnya
Penolakan : klien mengatakan tidak ada penolakan pemulangan klien
Tindakan criminal : klien mengatakan ia pernah kelai dengan pamannya, dan
ia melempar-lempar barang dirumahnya

Masalah keperawatan :

a) Sindrom trauma perkosaan


b) Respon pasca trauma
c) Resiko tinggi kekerasan
d) Regimen penatalaksanaan terapeutik inefektik : keluarga
4 Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa : Klien mengatakan
ada anggota keluarga yaitu abangnya yang mengalami gangguan jiwa dengan
gejala-marah-marah, mengamuk, emosi, suka berkeliaran dan bicara kacau.
Hubungan klien dengan keluarga tidak ada masalah. Anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa tidak dirawat di RSJ seperti klien.
5 Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan : Klien mengatakan ia tidak
suka dikatakan orang gila, klien pernah mengalami pelecehan seksual pada
usia 18 tahun sehingga klien malu dan takut untuk berinteraksi dengan orang
lain.
Masalah Keperawatan :
a) Koping keluarga inefektif ; ketidakmampuan
b) Koping keluarga inefektif gangguan koping

IV. FISIK
1. Tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, N: 82 x/menit, S: 36,5 ℃, P: 22x/menit
2. Ukur : TB: 161, BB: 70
3. Keluhan fisik : klien mengatakan ia sakit punggung, sering pusing (sakit kepala)
Masalah Keperawatan : Nyeri b.d proses penyakit

V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram :

X X
X X

X X X
X X X X

X 6 X X X
1

Ket: = menikah
= laki-laki

= perempuan

= klien

= meninggal

= orang terdekat

= tinggal serumah

Penjelasan : klien sekarang berusia 61 tahun, klien merupakan anak kedua dari 5
bersaudara, sebelumnya klien tinggal bersama pamannya namun saat dikaji klien
mengatakan semua keluarganya sudah meninggal, dan tempat tinggalmya
terbakar. saat pamannya masih hidup yang mengambilan keputusan yaitu
pamannya, konflik biasa terjadi sehingga klien kadang bertengkar dengan
pamannya.
Masalah Keperawatan :
a. Koping keluarga tidak efektif : ketidakmampuan
b. Koping keluarga tidak efektif ; Kompromi
2. Konsep diri :
a. Gambaran Diri :
Klien mengatakan bagian tubuh yang disukainya yaitu bibir karena klien suka
memakai lipstik, namun klien merasa malu untuk berinteraksi dengan orang
lain karena merasa dirinya sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput,
senyumnya jelek karena giginya ompong dan klien sering menolak ketika
diajak berinteraksi
b. Identitas Diri :
a. Status dan posisi klien sebelum dirawat : status klien belum menikah dan
sebagai keponakan karena ia tinggal bersama paman dan bibiknya.
b. Kepuasan klien terhadap status dan posisinya : klien mengatakan ia belum
menikah dan merasa bisa bebas, namun terkadang klien merasa malu
belum menikah dan klien menyukai posisinya sebagai keponakan dirumah.
c. Kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan : klien mengatakan puas
terlahir sebagai perempuan
c. Peran :
a. Tugas atau peran yang diembang dalam keluarga/kelompok/masyarakat :
Tugas membantu melakukan pekerjaan dirumah seperti menyapu,
mengepel, cuci piring, cuci pakaian, belanja sembako
b. Kemampuan klien dalam melaksanakan tugas atau peran : klien mampu
melaksanakan tugas yang diemban kepadanya.
d. Ideal Diri : Harapan terhadap tubuh, status, tugas/peran : Klien mengatakan
harapanya agar selalu sehat supaya klien tetap dapat melaksanakan tugas dan
perannya selama dirumah ataupun di RSJ.

e. Harga Diri : Hubungan klien dengan orang lain : hubungan klien dengan orang
lain baik hanya saja sulit untuk berinteraksi karena klien selalu merasa malu
dengan kondisinya saat ini,klien mengatakan sudah tidak cantik lagi, kulit
keriput, giginya ompong,senyumnya jelek dan merasa badannya gemuk.

Masalah keperawatan :
a) gangguan citra tubuh
b) gangguan konsep diri : harga diri rendah
3. Hubungan sosial :
a. Orang yang berarti : Klien mengatakan keluarga yang sangat berarti yaitu
kedua orang tuanya dan neneknya.
Selama di rumah sakit klien tidak mempunyai teman dekat, klien hanya
bertegur sapa seadanya dengan pasien lainnya
b. Kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat : Klien mengatakan tidak
pernah mengikuti kegiatan kelompok
c. Sejauh mana Klien terlibat dalam kelompok masyarakat : klien mengatakan
tidak pernah mengikuti kegiatan kelompok masyarakat, klien lebih suka
bekerja didalam rumah karena tidak ada yang melihat.

Masalah Keperawatan :
a) Kerusakan interaksi sosial
b) Isolasi sosial
4. Spritual :
a. Nilai dan keyakinan :
- Klien mengatakan ia beragama budha dan klien percaya Tuhan itu ada.
b. Kegiatan ibadah :
- Sebelum klien di rawat di RSJ klien selalu mengikuti sembahyang dan
selama dirawat di RSJ tidak pernah mengikuti sembahyang.
Masalah Keperawatan
Distress spiritual

VI. STATUS MENTAL


1. Penampilan : klien tampak rapi, penggunaan pakaian sesuai, rambut selalu
diikat,klien tampak bersih dan selalu berias wajah.
Masalah keperawatan : tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan pasien
membutuhkan pemeliharaan kesehatan dan kebersihan diri
2. Pembicaraan : volume suara klien rendah dan menjawab seadanya ketika
dilakukan pengkajian
Masalah keperawatan : resiko kerusakan komunikasi verbal
3. Aktivitas motorik : gerak motorik klien menunjukan kegelisahan, karena klien
merasa malu dengan keadaannya. Namun klien masih mampu mengantisipasi
dengan melakukan aktivitas yang ia kerjakan
Masalah keperawatan : tidak ada masalah
4. Alam perasaan : klien tampak tidak percaya diri pada saat melakukan
pembicaraan dan kuatir
Masalah keperawatan : Ansietas
5. Afek : Tumpul, hanya bereaksi bila ada stimulus, misnya : hanya berbicara
saat di ajak berbicara.
6. Interaksi selama wawancara : kontak mata kurang dan selalu merasa malu
Masalah keperawatan : kerusakan interaksi sosial
7. Persepsi : klien tampak seringkali berbicara sendiri saat sedang duduk sendiri
namun saat di tanyakan alasan klien berbicara sendiri dan apakahan ada
bisikan klien mengingakrinya. Teman klien mengatakan klien kadang sering
berbicara sendiri dan tertawa sendiri
Masalah keperawatan : gangguan persepsi sensori : halusinasi
8. Proses pikir : klien sering mengulangi pembicaraan, seperti ia selalu
mengatakan dirinya malu karena kulit keriput, tidak cantik, alis jelek dan gigi
ompong, tidak bisa senyum
Masalah keperawatan : perubahan proses pikir
9. Isi pikir : depersonalisasi, dimana klien merasa asing pada orang dan
lingkungan sekitar sehingga saat berbicara kontak mata (-),
Fobia : terkadang klien merasa orang lain menaruh rasa curiga terhadap
dirinya, sehingga merasa ada yang memperhatikan setiap melakukan sesuatu
Masalah Keperawatan : perubahan proses pikir
10. Tingkat kesadaran : klien tampak bingung, cemas dan khawatir sehingga
selalu menyendiri
Masalah keperawatan : perubahan proses pikir
11. Memori : gangguan daya ingat jangka panjang karena klien tidak dapat
mengingat kapan orangtua nya meninggal
Masalah Keperawatan : perubahan proses pikir
12. Tingkat konsentrasi dan berhitung : klien dapat menghitung sederhana, seperti
1-10 dan hitungan mundur 10-1.
13. Kemampuan penilaian : klien dapat mengambil keputusan yang sederhana
dengan bantuan orang lain, klien bisa memilih untuk melakukan kegiatan
mandi dulu atau tidur sehingga dapat menentukan keputusan saat diberi
penjelasan
14. Daya tilik diri : klien tidak mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa
Masalah Keperawatan :
a) penatalaksanaan regimen terapetik inefektif
b) risiko tinggi ketidakpatuhan
VII. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG
1. Makan : klien dapat melakukan aktivitas mandiri, dan tidak ada gangguan
pada saat makan
2. BAB/BAK : klien dapat melakukan aktivitas dengan mandiri dan tidak ada
gangguan apapun saat BAB/BAK.
3. Mandi : klien melakukan aktivitas mandiri pada saat mandi
4. Berpakaian/berhias : klien dapat melakukan aktivitas mandiri dan tidak ada
hambatan
5. Istirahat dan tidur : - klien mengatakan jarang tidur siang, adapaun tidur siang
klien tidak tau berapa lama tidurnya.
6. Penggunaan obat : klien meminum obat sendiri, kurang diawasi keluarga
Masalah keperawatan :
a. ketidakefektifan penatalaksanaan regimen teraupetik
b. Resiko tinggi ketidakpatuhan
7. Pemeliharaan kesehatan : ya, klien masih memerlukan perawatan lanjutan
dirumah dan perlu dukungan dari lingkungan sekitarnya.
8. Kegiatan didalam rumah :
Klien tidak dapat mempersiapkan makan dirumah, klien hanya dapat membeli
makanan diluar.
Klien mengatakan dirumah ia menyapu, mengepel lantai, mencuci piring dan
mencuci pakaian sendiri.
Klien mengatakan keuangan diatur oleh klien sediri.
9. Kegiatan diluar rumah : klien dapat berbelanja keperluan pribadinya sehari-
hari.
VIII. MEKANISME KOPING
Adatif :
a) Klien mau berbicara dengan orang lain meskipun ia sulit menatap lawan
bicara
b) Klien masih belum mampu menyelesaikan masalah
c) Klien seringkali menghindari aktivitas senam pagi yang dilakukan bersama
Maladatif :
a) Klien mengatakan tidak pernah minum alkohol
b) Reaksi klien tampak lambat saat berbicara
c) Klien melakukan pekerjaannya dengan sesuai
d) Klien tampak menghindar ketika diajak pengkajian
e) Klien juga mengatakan tidak pernah berusaha untuk mencederai diri
Masalah keperawatan : koping individu tidak efektif ; defensif

IX. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN


a) Klien tampak sulit berinteraksi dengan kelompok
b) Klien tampak sulit untuk beinteraksi dengan orang disekitar lingkungan
c) Klien mengatakan tidak bersekolah
d) Klien mengatakan belum memiliki pekerjaan
e) Tidak ada masalah dengan ekonomi
f) Tidak ada masalah dengan pelayanan kesehatan
Masalah keperawatan :
a) kurang pengetahuan
b) kerusakan interaksi sosial
X. PENGETAHUAN KURANG TENTANG
Klien mengaku kurang tahu tentang faktor presipitasi, koping, sistem pendukung,
penyakit fisik, dan obat-obatan.
Masalah keperawatan
a) kurang pengetahuan
b) koping individu inefektif
XI. TERAPI MEDIK
Terapi medis yang di gunakan sekarang
1) Lamiros 2 x 50 mg
2) Risperidone 2 x 2 mg
3) TFP 2 x 5 mg
4) THP 2 x 2 mg
5) Clozapine250-0-1

Terapi medis sebelumnya

6) Clozapine 3 x 100 mg
7) Stelosi 3x1
8) Elxion 1x1
Masalah keperawatan
a. Efek terapi obat-obatan
b. Efek merugikan terapi antidepresan
c. Efek merugikan terapi antipsikotik
XII. Daftar Masalah Keperawatan
1. Harga Diri Rendah
2. Isolasi Sosial
3. Halusinasi
4. Perubahan proses pikir
5. Sindrom trauma perkosaan
6. Respon pasca trauma
7. Resiko tinggi perilaku kekerasan
8. Koping keluarga inefektif gangguan koping
9. Koping keluarga inefektif ; kompromi
10. Koping keluarga inefektif ; ketidakmampuan
11. Nyeri b.d proses penyakit
12. Gangguan citra tubuh
13. Kerusakan interaksi sosial
14. Distress spiritual
15. Resiko kerusakan komunikasi verbal
16. Penatalaksanaan regimen terapetik inefektif : keluarga
17. Risiko tinggi ketidakpatuhan
18. Efek terapi obat-obatan
19. Efek merugikan terapi antidepresan
20. Efek merugikan terapi antispikotik
21. Koping individu tidak efektif
22. Kurang pengetahuan
23. Ansietas

XIII. Pohon Masalah (gambaran pohon Masalah )

Risiko mencederai diri


orang lain atau
lingkungan
Perubahan persepsi
sensori halusinasi
dengar
Isolasi Sosial menarik Perubahan Isi piker :
diri Waham Curiga
Risiko Kambuh Gangguan Konsep
diri Harga Diri
Regimen Terapeutik rendah
Koping Individu Distress Spiritual
tidak adekuat
Keterangan : inefektif
Koping keluarga
inefektif Respon Pascatrauma
Causa : akibat dari respon pascatrauma dan koping keluarga yang inefektif
menyebabkan koping individu inefektif sehingga memunculkan
Core Problem : harga diri rendah
Effect : harga diri rendah dapat menyebabkan pada situasi menarik diri, yang
menyebabkan halusinasi dan juga perubahan isi pikir, dan halusinasi dapat
menyebabkan resiko tinggi perilaku kekerasan
XIV. Daftar Diagnosa Keperawatan
1. Koping individu inefektif
2. Harga diri rendah
3. Isolasi sosial
4. Halusinasi (pendengaran)
5. Waham (curiga)
6. Risti perilaku kekerasan
BAB IV
PEMBAHASAN PENGKAJIAN
ANALISA DATA

Nama Klien : Ny. F Ruang : Mawar


Umur : 54 tahun Dx. Medis : Skizofrenia Paranoid
DATA MASALAH
KEPERAWATAN
Subjektif : Harga Diri Rendah
1. Klien mengatakan ia merasa malu dengan penampilannya
2. Klien mengatakan malu dengan dirinya karena sudah tua,
jelek, kulit keriput dan tidak bugar lagi
3. Klien mengatakan ia merasa pekerjaannya selalu tidak benar
Objektif :
1. Pada saat melakukan pengkajian kontak mata klien (-)
2. Klien tampak tidak percaya diri pada saat berbicara
3. Klien tampak sering menyendiri dan menjauh dari teman-
temannya
4. Klien selalu bertanya dengan apa yang sudah dikerjakannya
Subjektif Isolasi Sosial
1. Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain
2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani siapapun dan
meminta untuk sendirian
Objektif
1. Klien tampak apatis (acuh terhadap lingkungan)
2. Klien tampak kurang aktif saat berkomunikasi, hanya
menjawab jika ditanya saja
3. Volume suara klien rendah saat berbicara
Subjektif Waham Curiga
1. Klien mengatakan bahwa sekelilingnya mencurigainya
2. Klien mengatakan setiap yang dikerjakan seperti ada yang
memperhatikannya
Objektif
1. Klien tampak selalu berhati-hati dengan apa yang ia kerjakan
2. Klien tampak tidak fokus dengan pekerjaannya
Subjektif Halusinasi
-
Objektif
1. Klien tampak sering berbicara sendiri
2. Klien tampak berhenti saat pembicaraan seolah mendengarkan
sesuatu
Subjektif Resiko Tinggi
1. Klien mengatakan pernah berkelahi dengan pamannya Kekerasan
2. Klien juga mengatakan pernah melemparkan barang ketika
klien bertengkar
Objektif
-

INTERVENSI KEPERAWATAN
Inisial Klien : Ny. F Ruang : Mawar
Umur : 54 tahun Dx. Medis : Skizofrenia Paranoid
Tanggal/ Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
10 Sep 2018/ Dx. SP1: Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari
1 Klien dapat jam klien dapat kegiatan yang klien mengenai
menentukan melakukan akan dilatih harga diri rendah
kegiatan yang kegiatan yang sesuai
akan dilatih telah dipilihnya kemampuan
sesuai (senam)
kemampuan
klien
SP1 Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari
Mengidentifikasi jam klien dapat kegiatan yang klien mengenai
kemampuan dan melakukan akan dilatih harga diri rendah
aspek positif kegiatan yang sesuai
telah dipilihnya kemampuan

SP1 Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari


Membantu klien jam klien dapat kemampuan klien mengenai
menilai menilai yang dapat harga diri rendah
kemampuan kemampuan dilakukan
yang masih yang masih
dapat dilakukan dapat dilakukan
SP1 Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari
Melatih klien jam klien dapat kemampuan klien mengenai
sesuai dengan melatih yang dapat kemampuan
kemampuan kemampuan dilakukan yang dilakukan
yang dipilih yang masih
dapat dilakukan
SP1 Setelah 3x24 Identifikasi Ungkapan dari
Memberikan jam klien dapat keberhasilan klien mengenai
pujian yang melakukan klien keberhasilan
wajar terhadap kegiatan dan klien
keberhasilan diberi pujian
SP1 Setelah 3x24 Memberikan Ungkapan dari
Menganjurkan jam klien dapat kesempatan klien tentang
klien membuat jadwal pada klien untuk jadwal yang
memasukkan kegiatan harian menata kegiatan telah dipilihnya
jadwal kegiatan yang telah
harian dilakukan
11 Sep 2018/ Dx. SP 2 Setelah 3x24 Evaluasi jadwal Evaluasi dapat
1 Mengevaluasi jam klien dapat harian klien mambantu klien
jadwal kegiatan mengevaluasi merencanakan
harian klien jadwal kegiatan kegiatan
harian klien selanjutnya
SP2 Setelah 3x24 Identifikasi Senam akan
Melatih jam klien dapat kegiatan membantu klien
kemampuan melatih keduanya yaitu untuk
keduanya kemampuan senam berinteraksi
keduanya dengan
lingkungan
SP2 Setelah 3x24 Identifikasi Kegiatan
Menganjurkan jam klien dapat kegiatan selanjutnya akan
klien untuk memasukkan selanjutnya membantu
memasukkan dalam jadwal proses interaksi
dalam jadwal harian lingkungan
harian
12 Sep SP 2 Setelah 3x24 Evaluasi jadwal Evaluasi dapat
2018/Dx.1 Mengevaluasi jam klien dapat harian klien mambantu klien
jadwal kegiatan mengevaluasi merencanakan
harian klien jadwal kegiatan kegiatan
harian klien selanjutnya
SP2 Setelah 3x24 Identifikasi Senam akan
Melatih jam klien dapat kegiatan membantu klien
kemampuan melatih keduanya yaitu untuk
keduanya kemampuan senam berinteraksi
keduanya dengan
lingkungan
SP2 Setelah 3x24 Identifikasi Kegiatan
Menganjurkan jam klien dapat kegiatan selanjutnya akan
klien untuk memasukkan selanjutnya membantu
memasukkan dalam jadwal proses interaksi
dalam jadwal harian lingkungan
harian
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Inisial Klien : Ny. F Ruang : Mawar


Umur : 54 tahun Dx. Medis : Skizofrenia Paranoid
No Tanggal/ Jam Tindakan Respon Hasil Evaluasi Paraf
1 10 Sep 18/ 10.00 WIB a) Identifikasi kegiatan S : 13.00 WIB
yang akan dilatih 1. Klien mengatakan ia
sesuai kemampuan merasa malu dengan
b) Identifikasi kegiatan penampilannya
yang akan dilatih 2. Klien mengatakan
sesuai kemampuan dirinya sudah tua
c) Identifikasi dan tidak cantik lagi
kemampuan yang 3. Klien mengatakan ia
dilakukan merasa
d) Identifikasi pekerjaannya selalu
kemampuan yang tidak benar
dipilih O:
e) Identifikasi 1. Pada saat
keberhasilan klien melakukan
f) Memberikan pengkajian kontak
kesempatan pda mata klien (-)
klien untuk mencoba 2. Klien tampak tidak
kegiatan yang dipilih percaya diri pada
saat berbicara
3. Klien tampak sering
menyendiri dan
menjauh dari
teman-temannya
4. Klien selalu
bertanya dengan
apa yang sudah
dikerjakannya
A : Masalah Harga Diri
Rendah belum teratasi
P : Ulangi intervensi SP 1
2 11 Sep 2018/11.00 a) Mengevaluasi jadwal S : 13.00 WIB
WIB harian klien 1. Klien mengatakan
b) Mengidentifikasi ia jarang
kegiatan keduanya berkomunikasi
yaitu senam dengan teman-
c) Mengidentifikasi temannya
kegiatan selanjutnya 2. Klien mengatakan
selain bekerja
membantu-bantu
diruangan ia lebih
banyak
menghabiskan
waktu ditempat
tidur
3. Klien mengatakan
ia lebih suka
melakukan kegiatan
sendiri
O:
1. Klien tampak
kurang kooperatif
saat awal
pengkajian, namun
lama kelamaan
klien mulai
koperatif
2. Klien tampak lebih
bisa mengutamakan
perasaannya setelah
dilakukan
pendekatan
A: Masalah sudah teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi SP
2
3 12 September 2018/ a) Mengevaluasi jadwal S : 13.00 WIB
10.00 WIB harian klien 1. Klien mengatakan
b) Mengidentifikasi ia masih sulit
kegiatan keduanya berkomunikasi
yaitu senam dengan teman-
c) Mengidentifikasi temannya
kegiatan selanjutnya 2. Klien mengatakan
masih membantu
pekerjaan ruangan
dan banyak
menghabiskan
waktu sendiri
3. Klien mengatakan
ia lebih nyaman
melakukan kegiatan
sendiri
O:
1. Klien mulai
koperatif saat di
ajak bicara
2. Klien sesekali
menegur perawat
terlebih dahulu

A: Masalah sudah teratasi


sebagian
P : Ulangi intervensi SP 2
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan membahas hasil pelaksanaan Asuhan Keperawatan Jiwa pada Ny. F
dengan Harga Diri Rendah di Ruang Mawar Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
Pembahasan bab ini akan menjelaskan interpretasi hasil asuhan keperawatan, keterbatasan
dalam melakukan asuhan keperawatan, serta alternatif pemecahan masalah.

A. Pengkajian
1. Etiologi
Peplau dan Salivan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa pengalaman interpersonal
di masa atau tahap perkembangan dan bayi sampai lanjut usia yang tidak
menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering dipersalahkan, atau
merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan aman yang tidak terpenuhi, Hal
ini dapat menimbulkan perasaan ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang
digunakan tidak efektìf dapat menyebabkan harga diri rendah kronis,
Caplan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman
individu) dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak, serta tidak
dihargai akan memengaruhi individu. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan stres
dan menimbulkan penyimpangan perilaku seperti harga diri rendah kronis. Adapun
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Harga Diri Rendah sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan orangtua
yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya barga din rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri harga diri rendah kronis
ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik.
Situasional. Gangguan konsep diri: harga dirì rendah kronis yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncúl secara tiba-tiba misalnya
harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau menjadi
narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga
bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik,
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak
tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas
kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.
Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiiki pikiran negatif belum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat. Baik faktor predisposisi maupun presipitasi di atas bila
telah memengaruhi seseorang baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak,
maka dianggap telah memengaruhi koping individu tersebut sehìngga menjadi
tidak efektif (mekanisme koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien
dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi di mana
klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial),
Klien yang mengalami isolasi social dapat membuat klien asyik dengan dunia dan
pikirannya sendiri sehingga dapat muncul risiko perilaku kekerasan.
- Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil pengkajian langsung pada Ny. F
penyebab terjadinya harga diri rendah yang sekarang dialaminya yaitu karena ia
merasa malu malu untuk berinteraksi dengan orang lain karena merasa dirinya
sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput, senyumnya jelek karena giginya
ompong dan klien sering menolak ketika diajak berinteraksi. Klien diantar oleh
keluarga dengan keluhan ia malu dan takut untuk berinteraksi dengan orang lain.
- pernah mendapat perilaku kurang menyenangkan yaitu perlakuan pelecehan
seksual pada usia 18 tahun. Klien mengatakan ada rasa takut jika bertemu dengan
laki-laki dikarenakan kejadian di masa lalu klien berkeyakinan teguh atas apa
yang terjadi pada dirinya dahulu.
Tanda dan gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala kiien dengan gangguan harga diri rendah
kronis.
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimistis.
d. Tidak menerima pujian.
e. Penurunan produktivitas.
f. Penolakan terhadap kemampuan diri.
g. Kurang memperhatikan perawatan diri.
h. Berpakaian tidak rapi
i. Selera makan berkurang.
j. Tidak berani menatap lawan bicara.
k. Lebih banyak menunduk.
l. Bicara lambat dengan nada suara lemah.
Pada kasus Ny. F tanda dan gejalanya adalah klien tampak lesu, tegang dan gelisah,
ekspresi datar, dangkal, klien menjawab pertanyaan perawat dengan
anggukan/gelekan, dan hanya menggunakan sepatah/dua patah kata, Klien tampak
sering menghindari pasien lain di ruangan, Klien mengatakan merasa takut karena
berbicara dengan orang baru yang tidak ia kenal, Berdasarkan hasil pengkajian dan
teori sebanding dengan apa yang didapat.

2. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka pendek atau jangka panjang
serta penggunaan mekanisme. Pertahanan ego untuk melindungi diri sendiri dalam
menghadapi persepsi diri sendiri yang menyakitkan. Pertahanan jangka pendek
meliputi :
a. Aktivitas yang memberikan kesempatan lari sementara dari
krisis misalnya : menonton konser musik, menonton televisi secara obsesif.
b. Aktivitas yang memberikan identitas pengganti sementara,
Misalnyaikut dalam klub sosial ,agama, kelompok, gerakan.
c. Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan
perasan diri yang tidak menentu, misalnya : olah raga yang kompetitif, prestasi
akademis, kontes untuk mendapatkan popularitas.
d. Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk
membuat identitas di luar dari hidup yang tidak bermakna saat ini, misal:
penyalah gunaan obat.

Pertahanan jangka panjang mencakup :

a. Penutupan identitas –adopsi identitas prematur yang di inginkan oleh orang terdekat
tanpa memperhatikan keinginan , aspirasi, atu petensi diri individu.
b. Identitas negativ-asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan yang
diterima masyarakat.
Berdasarkan kasus Ny. F Klien tidak mau memulai pembicaraan dengan orang lain,
yang ditandai dengan: klien selalu menghindar saat berinteraksi dengan orang lain.
3. Diagnosa keperawatan
Menurut Nita Fitria, 2009 masalah keperawatan yang dapat muncul adalah
gangguan konsep diri: Harga diri rendah, isolasi sosial, dan perubahan persepsi
sensori: Halusinasi.
Pada kasus tn. LH sesuai dengan apa yang ada diteori:
a. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Data subjekif : Klien mengatakan ia merasa malu dengan penampilannya
Klien mengatakan dirinya sudah tua dan tidak cantik lagi
Klien mengatakan ia merasa pekerjaannya selalu tidak benar

Data objektif : - Pada saat melakukan pengkajian kontak mata klien (-)
- Klien tampak tidak percaya diri pada saat berbicara
- Klien tampak sering menyendiri dan menjauh dari teman-
temannya.
-Klien selalu bertanya dengan apa yang sudah
dikerjakannya.

4. Intervensi keperawatan
a. Harga diri rendah
1) Identifiksi kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan (senam)
2) Identifikasi kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan.
3) Identifikasi kemampuan yang dapat dilakukan.
4) Identifikasi Kemampuan yang dapat dilakukan.
5) Identifikasi keberhasilan klien
6) Memberikan kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilakukan
7) Evaluasi jadwal harian klien.
8) Identifikasi kegiatan keduanya yaitu senam.
9) Identifikasi kegiatan selanjutnya.

5. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Tahap implementasi merupakan asuhan keperawatan pada klien yang sesuai dengan
perencanaan yang telah dibuat. Sedangkan pada tahap evaluasi, penulis
membandingkan antara hasil yang telah dicapai oleh klien dengan kriteria hasil yang
telah direncanakan sebelumnya.
4. Pada kasus Ny. F yang digunakan adalah evaluasi formatif yaitu evaluasi yang
dilakukan pada saat memberikan implementasi dengan respon segera. Implementasi
keperawatan yang dilakukan pada Ny. F dengan masalah gangguan konsep diri : harga
diri rendah, strategi pelaksanaan untuk mengatasi harga diri rendah, dimana perawat
dapat mengidentifikasi kegiatan yang akan dilatih sesuai kemampuan klien, erawat
juga mengidentifikasi kemampuan yang dapat dilakukan, kemampuan yang dapat
dipilih, mengidentifikasi keberhasilan klien dan memberikan kesempatan pada klien
untuk mencoba kegiatan yang dipilih. Evaluasi yang sudah dilakukan pada tanggal 10
September 2018 terdapat hasil data subjektif yaitu klien mengatakan ia merasa malu
dengan penampilannya, Klien mengatakan dirinya sudah tua dan tidak cantik lagi,
klien mengatakan ia merasa pekerjaannya selalu tidak benar. Data Objektif yaitu pada
saat melakukan pengkajian kontak mata klien (-), klien tampak tidak percaya diri pada
saat berbicara, klien tampak sering menyendiri dan menjauh dari teman-temannya,
klien selalu bertanya dengan apa yang sudah dkerjakannya. Analisanya yaitu masalah
harga diri rendah belum teratasi. Planningnya yaitu lanjutkan intervensi SP 2.
 Hambatan Yang ditemukan Saat Merawat Klien

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk (2016), persepsi perawat RSJ
tentang hambatan yang dijumpai selama menerapkan kompetensi dalam merawat pasien
gangguan jiwa, terdapat 5 hambatan yaitu :

6) Dokumentasi Keperawatan

Perawat RSJ dalam membuat dokumentasi keperawatan menemui beberapa


hambatan seperti ketidak lengkapan jenis format SAK yang seharusnya ada, misalnya
format di UGD, PICU, Poli Jiwa Anak dan SPO khusus untuk ADL pasien.

Format yang digunakan masih dalam proses pengembangan dan evaluasi


sehingga terkadang menimbulkan berbagai persepsi yang beragam dan berdampak
pada hasil pengisian yang juga beranekaragam.

Kondisi tersebut dirasakan menjadi hambatan terutama apabila harus


berkomunikasi dengan disiplin ilmu yang lain seperti dengan pihak medis, psikolog
maupun okupasi terapis. Ketidaklengkapan juga masih dijumpai pada simbol khusus
yang perlu untuk dimodifikasi, misalnya untuk mengkaji masalah nyeri pada pasien
gangguan jiwa belum ditemukan model yang tepat. Ketidaklengkapan juga termasuk
banyak komponen format yang tidak terisi sesuai SPO dan kosong tidak diisi.
Pengisian data dokumentasi yang menjadi hambatan dan perlu perhatian khusus
adalah validitas data yang dituliskan oleh perawat. Subjektivitas perawat dalam
menuliskan evaluasi asuhan keperawatan masih mendominasi sehingga evaluasi yang
ada di catatan perkembangan kurang menggambarkan kondisi pasien secara rinci.

Pelaksanaan dokumentasi keperawatan menemui hambatan dalam bentuk


ketidak lengkapan format Standar Asuhan Keperawatan (SAK) terutama untuk
ruangan dengan karakteristik khusus dan perbedaan persepsi perawat dalam proses
pendokumentasian. Dokumentasi keperawatan sangat penting (Iyer & Comp, 2005)
menurut ANA (2000 dalam Nursalam, 2008) dokumentasi merupakan pernyataan
bahwa perawat bertanggung jawab dalam melakukan asuhan keperawatan, termasuk
dalam mengumpulkan data, mengkaji status kesehatan klien, menentukan rencana
asuhan keperawatan, mengevaluasi efektivitas asuhan dan mengkaji ulang serta
merevisi kembali rencana asuhan keperawatan. Keberadaan ruangan dengan
karakteristik khusus di RSJ seperti ruang gawat darurat(UGD), ruang intensif (PICU),
ruang khusus anak, geriatri dan ruang khusus NAPZA, menjadikan perlu untuk
dikembangkan format dokumentasi khusus yang menjawab bahwa dokumentasi yang
telah dilakukan merupakan kinerja yang harus diperbaiki. Sehingga kemampuan
dokumentasi asuhan keperawatan di RSJ menjadi aspek yang perlu diperhatikan untuk
menunjang pencapaian kompetensi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
secara menyeluruh.

7) Fasilitas
Fasilitas yang tersedia di RSJ masih menjadi salah satu hambatan yang
dirasakan saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai dengan SPO yang ada.
Seperti SPO untuk menerapkan asuhan keperawatan ADL mandi pada pasien belum
ditunjang dengan kelengkapan alat mandi dan fasilitas kebersihan pribadi pasien.
Sehingga perawat banyak melakukan modifikasi sesuai dengan ketersediaan yang ada.
Perawat dalam melaksanakan SPO untuk merawat pasien gangguan jiwa
membutuhkan dukungan fasilitas rumah sakit. Fasilitas yang dibutuhkan sebaiknya
diidentifikasi dan direncanakan berdasarkan kebutuhan (Depkes RI, 2008). Dalam
upaya tersebut dibutuhkan perencanaan dari kepala ruangan untuk menyusun sumber
daya yang dimiliki dan dibutuhkan, menentukan strategi sehingga tujuan dapat
tercapai(Simamora, 2012). Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang sering
terkendala dengan fasilitas ruangan adalah pemenuhan kebutuhan kebersihan diri
yang belum dapat dilaksanakan sesuai dengan SPO yang ada. Keterbatasan peralatan
mandi seperti sabun, shampo, handuk, sikat dan pasta gigi untuk setiap pasien
menstimulasi perawat untuk melakukan modifikasi sehingga kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi. Kondisi pasien gangguan jiwa yang belum dapat menjaga barang pribadi
untuk kebersihan diri menjadi faktor yang harus dipertimbangkan agar kebutuhan
kebersihan diri pasien dapat terpenuhi.
8) Manajemen Ruangan

Pelaksanaan manajemen di ruangan terutama aspek perencanaan masih


menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja asuhan keperawatan pada perawat
ruangan. Deskripsi tugas yang tidak jelas terutama dalam pelaksanaan terapi
modalitas seperti TAK dan PKRS menimbulkan ketidaknyamanan diantara perawat
pelaksana sehingga mempengaruhi kinerja perawat. Selain itu keterbatasan
kewenangan perawat untuk melakukan terapi modalitas yang tidak dipayungi oleh
kebijakan rumah sakit dan ruangan membuat jenis terapi modalitas yang dapat
dilaksanakan baru sebatas TAK dan PKRS.
Aspek pengawasan dalam manajemen ruangan juga menjadi hambatan bagi
perawat ruangan dalam menjalankan kompetensi sebagai perawat secara optimal.
Kegiatan TAK di ruang rehabilitasi telah dilakukan evaluasi, namun tidak
tersampaikan kepada perawat pengelola pasien dan masih kurangnya aspek
pengawasan untuk menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut membuat kemajuan
kemampuan pasien tidak menjadi bagian dari evaluasi perawat ruangan. Selain itu
sistem reward yang masih belum sesuai dengan kinerja pelaksanaan terapi modalitas
seperti TAK, menjadi salah satu alasan perawat untuk tidak bekerja secara maksimal.
9) Sumber Daya Manusia
Pelaksanaan kompetensi perawat di RSJ dirasakan menemui hambatan akibat
dari keberagaman kondisi sumber daya manusia yang tersedia. Tingkat pendidikan
yang bervariasi dari tingkat SPK, DIII, S1 Ners, Magister dan Spesialis
mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan.
Perbedaan persepsi masih sering ditemukan dalam hal menentukan diagnosa
keperawatan dan menuliskan di format dokumentasi keperawatan. Masa kerja perawat
yang juga bervariasi juga menjadi kendala dimana perawat yang masih baru perlu
mempelajari kebiasaan yang telah ada dan seni dalam mengatasi permasalahan selama
berhadapan dengan pasien gangguan jiwa. Jumlah perawat yang terbatas apabila di
bandingkan dengan jumlah pasien, terutama pada shift sore dan malam hari di ruang
akut menyebabkan beban kerja perawat yang tinggi. Beban kerja perawat selain akibat
dari ketidak seimbangan tersebut juga akibat dari beberapa perawat harus menjabat
secara struktural sehingga waktu banyak tersita untuk kegiatan selain di ruang rawat.
Selain itu duplikasi beberapa format dokumentasi keperawatan yang harus dilengkapi
selama merawat pasien masih menjadi hambatan untuk dapat bekerja secara efisien
meskipun beberapa format sudah dimodifikasi dengan bentuk yang lebih sederhana,
menyebabkan semakin terbatasnya jumlah waktu dalam pelayanan langsung ke
pasien. Situasi dan kondisi tersebut dirasakan sebagai beban oleh perawat dan dapat
mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
gangguan jiwa.
10) Kondisi Pasien
Perawat RSJ dalam menjalankan kompetensi sebagai perawat ruangan juga
mendapatkan hambatan akibat dari ketidak patuhan pasien dalam menjalani program
pengobatan di rumah sakit. Kondisi penyakit yang dialami pasien gangguan jiwa
membuat pasien memiliki pola pikir, pengendalian emosi dan perilaku yang unik,
sehingga perawat harus memiliki kemampuan untuk mengarahkan agar pasien mau
mengikuti program terapi yang telah direncanakan bersama tim kesehatan yang lain.
Bagi sebagian perawat ketidakpatuhan merupakan tantangan tersendiri, namun tetap
menjadi faktor penghambat dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai perawat di
tatanan RSJ. Pasien gangguan jiwa cenderung mengalami ketidakpatuhan terhadap
pengobatan yang telah direncanakan oleh perawat, seperti TAK dan Terapi
Rehabilitasi saat pasien masih menjalani rawat inap di RSJ. Gangguan jiwa yang
bersifat kronis dan membutuhkan pengobatan dalam jangka waktu lama
menumbuhkan ketegangan dan tingkat kejenuhan pasien sehingga menyebabkan
ketidakpatuhan. Hussar (1995) menjelaskan bahwa pasien dengan penyakit kronis
kemungkinan besar menunjukkan sikap kooperatif yang rendah terhadap pengobatan
akibat dari perasaan rendah diri akan lamanya pengobatan. Perawat sebagai tenaga
kesehatan memiliki peranan penting untuk menjadikan pasien patuh terhadap proses
pengobatan. Parashos & Xiromeritis (2000) menyebutkan 54% pasien gangguan jiwa
patuh terhadap pengobatan akibat adanya hubungan saling percaya antara pasien dan
tenaga kesehatan. Hubungan saling percaya dapat dibina melalui kepedulian dan
ketulusan perawat dalam memahami kondisi sakit pasien. Selain itu perawat harus
memiliki strategi unik untuk menciptakan kondisi yang nyaman dan tidak
menimbulkan kejenuhan selama pemberian TAK dan Terapi Rehabilitasi, sehingga
pasien mau mengikuti program terapi yang telah direncanakan bersama tim kesehatan
yang lain. Perawat harus memiliki persepsi positif terhadap perilaku pasien dan tidak
menyerah untuk melaksanakan TAK dan Terapi Rehabilitasi sebagai bagian dari
komptensi perawat di tatanan RSJ.
Cara Menggulanginya Perdiagnosa
1. Cara menggulangi dengan membina hubungan saling percaya,
Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif mengindentifikasikan
kemampuan yang dapat dilakukan, membantu klien agar dapat mampu menilai
kemampuan yang dapat digunakan ,membuat jadwal
Kegiataan sesuai kemampuan dan kelurga dapat membantu memotivasi klien
dalam melakukan kegiatan yang di lakukan nya masalah keperawatan harga
diri rendah.
Rencana tindakan keperawatan pada klien strategi pelaksanaan 1 (SP1)
 Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klien
 Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat di lakukan
 Membantu klien klien menentukan kegiatan yang akan di latih sesuai
dengan kemampuan klien
 Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang di pilih
 Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan nya
 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
Rencana tindakan keperawatan pada klien strategi pelaksanaan 2 (SP2)
 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
 melatih kemampuan kedua
 menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiataan harian

“ Daftar Pustaka”

 Nursalam, 2008. Proses Dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik,


Jakarta: Salemba Medika.
 Iyer, P.W. & Comp, N.H., 2005. Dokumentasi Keperawatan: Suaru Proses
Pendekatan Proses Keperrawatan 3, ed., Jakarta: EGC.
 Depkes RI, 2008. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
 Simamora, H., 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia 3rd ed., Bandung: Pustaka
Setia.
 Hussar, S.A., 1995. Patient Compliance in Remington: The Science and Practice of
Pharmacy 2nd ed., Philadephia: The Philadelphia Collage of Pharmacy and Science.
 Parashos, I.A. & Xiromeritis, K.O., 2000. The Problem of Non-Compliance in
Skizofrenia: Opinion of Patients and Their Relatives. Journal of Clinical Nursing,
4(3)
 Fitria, Nita.2014. prinsip dasar dan aplikasi penulisaan laporan pendahuluan dan
strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP). Jakarta : salemba medika.

 Yusuf, A., ddk 2016. Kompetensi perawat dalam merawat pasien gangguan jiwa
(Nursing Competencies in Taking Care Patient with Mental Disorders) Jurnal Ners
Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan tentang Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. F dengan
masalah utama harga diri rendah dapat diambil kesimpulan:
a. Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan dan dalam
kasus ini ditemukan data yang menjadi fokus yakni harga diri rendah. Klien
mengalami harga diri rendah dipicu oleh klien selalu merasa malu dengan
kondisinya saat ini, klien mengatakan sudah tidak cantik lagi, kulit keriput,
giginya ompong, senyumnya jelek dan merasa badannya gemuk sehingga
membuat klien menutup diri dari lingkungan Klien sudah pernah dirawat di
Rumah Sakit Jiwa namun pengobatannya kurang berhasil. Berdasarkan
pengkajian, klien sering kali putus obat serta kurangnya dukungan keluarga
terhadap klien. Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah klien merasa
malu atas dirinya dikarenakan sudah tua, tidak cantik lagi, muka keriput,
senyumnya jelek karena giginya ompong, belum menikah dan merasa badannya
sudah gendut.
b. Diagnosa keperawatan adalah identifikasi atau penilaian terhadap pola respon
klien baik aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan utama yang penulis
angkat pada kasus Ny. F adalah harga diri rendah.
c. Intervensi keperawatan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan, kriteria hasil,
intervensi dan rasional rencana tindakan keperawatan. Pada kasus Ny. F dalam
satu minggu penulis melakukan intervensi sesuai dengan teori yang ada dengan
menggunakan SP1 sampai SP2 pada harga diri rendah.
d. Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana penerapan yang
telah disusun pada tahapan perencanaan. Pada diagnosa harga diri rendah
disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan, yang terdiri dari strategi
pelaksanaan untuk pasien. Saat mengimplementasikan rencana yang sudah
dirancang, penulis sudah menjalankan SP1 dan SP2.
e. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP. Dalam kasus dapat
dianalisis bahwa SP1 berhasil dihari kedua, dilanjutkan SP2 dihari ketiga sambil
mengingatkan SP1 yang sudah dirancang. Hari kedua, klien diberikan SP1 harga
diri rendah, klien mengikuti kegiatan senam namun belum cukup mampu bergaul
dan masih merasa nyaman melakukan kegiatan sendiri. Begitu pula SP 2 pada hari
ketiga klien mampu melakukan kegiatan namun klien masih merasa pekerjaan
yang dilakukannya salah dan masih merasa nyaman bekerja sendiri, klien
diingatkan kembali dan dilatih kembali agar mampu menerapkan SP1 dan SP2.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis memberikan saran yang diharapkan
bermanfaat.
a. Bagi rumah sakit, hendaknya lebih meningkatkan kinerja dalam pemberian asuhan
keperawatan yang mencakup segala biopsikososiokultural. Sehingga SP yang
diterapkan ke pasien dapat berlanjut hingga saat pasien dapat melakukan mandiri
dirumah.
b. Bagi klien, perlunya mengingatkan kembali implementasi yang sudah
direncanakan agar klien mampu melakukan SP secara mandiri supaya tidak terjadi
kekambuhan dan rutinitas dalam minum obat.
c. Bagi institusi, memberikan kemudahan dalam pemakaian sarana dan prasarana
yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan keterampilannya dalam melalui praktek klinik dan pembuatan
laporan khususnya pada keperawatan jiwa.
d. Bagi keluarga, perlunya keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam memperbaiki
kesehatan keluarga yang menderita gangguan jiwa sehingga pemecahan masalah
yang dihadapi klien dapat ditingkatkan.

Anda mungkin juga menyukai