Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Revolusi Iran merupakan salah satu bentuk revolusi yang d alam sejarah tercatat
sebagai sebuah gerakan yang dilakukan secara elegan. Sejauh ini revolusi
dipersepsikan dalam konotasi yang negatif. Gerakan Islamisme dan revolusi yang
dimotori oleh Ayatullah Khoemini di Iran pada tahun 1979 membuka mata dunia untuk
melihat, memahami dan menempatkan revolusi dalam konteks yang positif.
Dalam sebuah Revolusi tentunya harus ada tokoh yang memimpinnya dan mampu
berpikir untuk kemaslahatan ummat. Tokoh Revolusi Iran adalah Imam Khomeini
yang dilanjutkan oleh Ali Syari’ati dan Murtadha Muthahhari. Dalam makalah ini
kami akan membahas mengenai biografi dan pemikiran dari ketiga tokoh tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya yaitu;
1. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Imam Khomeini?
2. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Ali Syari’ati?
3. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Murtadha Muthahhari?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gerakan Pemikiran Imam Khomeini


1. Biografi Imam Khomeini
Imam Khomeini lahir di kota Khumyun atau Khomein, Iran Tengah pada tahun
1902. Nama Khomeini diambil dari nama kota kelahirannya, sedangkan nama
lengkapnya adalah Rohulloh Al-Musavi Al-Khomeini. Semasa kecil ia sering
dipanggil Rohulloh, setelah dewasa dan menjadi seorang fuqoha ia sering dipanggil
dengan sebutan Imam Khomeini. Al-Musavi merupakan nama keluarga besarnya,
yaitu keluarga ulama bermarga Musavi. Ayahnya Sayyid Mustafa adalah seorang
ulama terkemuka di Khomein. Ibunya Agha Khanum putri dari Mirza Ahmad
Mojtahed-e Khonsari, yang juga seorang ulama terkenal dan sangat dihormati di Iran
Tengah (Satori, 2007: 34). Baik dari ayah maupun ibunya, dapat dikatakan bahwa
Imam Khomeini merupakan keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi, yaitu
keturunan dari ulama-ulama besar Iran, yang menjadi simbol pemimpin umat Islam.
Berbicara mengenai silsilah keturunan, Imam Khomeini adalah keturunan dari
Sayyid Mussawi yang diyakini oleh masyarakat Syiah sebagai keturunan Nabi melalui
jalur Imam ketujuh Syiah, Imam Musa Al-Kadzim. Mereka berasal dari Neysyabur,
Iran Timur laut. Pada awal abad ke delapan belas, keluarga ini bermigrasi ke India,
dan bermukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow kerajaan Oudh yang
penguasanya menganut mazhab Syiah. Sayyid Ahmad Musavi Hindi, kakek Imam
Khomeini yang kemudian menjadi seorang ulama terkemuka di India, dilahirkan di
Kintur, wilayah Lucknow India Utara. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama
terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Nishapur penulis kitab Abaqat al Anwar, sebuah
kitab yang menjadi kebanggaan umat Islam di India.
Pada sekitar tahun 1830, Sayyid Ahmad, kakek Imam Khomeini meninggalkan
India untuk berziarah ke kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu dengan seorang
saudagar terkemuka dari Khomein, melalui perkenalan dengan saudagar dari Khomein
ini, Sayyid Ahmad memutuskan untuk pindah ke Khomein dan menjadi pembimbing
spiritual di Khomein.
Sayyid Ahmad kemudian menikah dengan Sakinah, dan dari pernikahannya,
pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yang salah satunya adalah Sayyid Mustafa

2
yang lahir pada tahun 1856. Sayyid Mustafa inilah yang menjadi ayah Imam
Khomeini. Terlahir sebagai keluarga ulama besar, sayyid Mustafa pun menjadi
seorang ulama terkemuka di Khomein dan Iran. Sayyid Mustafa menikah dengan Agha
Khanum, dan dari pernikahannya dikaruniai enam orang anak, dan anak bungsunya
adalah Rohulloh Al-Mussavi Khomeini atau Imam Khomeini.
Imam Khomeini sudah menjadi yatim sejak berusia sembilan bulan. Ayahnya
dibunuh karena menentang dinasti Qajar. Imam Khomeini kemudian diasuh oleh
ibunya, yang juga dibantu oleh bibinya, Saheba. Ketika Imam Khomeini berusia lima
belas tahun, ibunya meninggal, dan tidak lama kemudian disusul oleh bibinya. Di
usianya yang menginjak remaja, Imam Khomeini sudah menjadi yatim piatu.
Pengasuhan Imam Khomeini kemudian diambil alih oleh kakak tertuanya, Morteza.
Semasa dalam asuhan kakaknya, Khomeini tumbuh menjadi remaja yang cerdas
dan sangat menggemari ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Bahasa
Arab, Syair Persia, kaligrafi, sastra dan juga sejarah menjadi pelajaran yang
dikuasainya. Tak heran Pada awal tahun 1930, Imam Khomeini menjadi mujtahid dan
menerima ijazah, yaitu suatu level yang mengizinkannya untuk memberikan
interpretasi atas hukum dan prinsip-prinsip keagamaan yang menjadikan ia menempati
posisi senioritas ulama yang cukup tinggi (Fauziana, 2009:4) dari empat guru
terkemuka. Mereka adalah Syaikh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari
Libanon; Syaikh Abbas al-Qummi, seorang ahli hadis dan sejarawan terkemuka, yang
juga penulis buku Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga); Abul Qasim Dehkordi
Isfahani, seorang Mullah terkemuka dari Isfahan, dan Muhammad Reza Masjed Syahi.
Di usia yang ke-27 tahun, Imam Khomeini mulai mengajar filsafat, dan telah menulis
buku-buku tentang berbagai seni, dan agama. Pada usia 27 tahun pula, Imam Khomeini
menikah dengan Syarifah Batul, putri seorang Ayatollah yang bermukim di Teheran.
Dari pernikahannya Imam Khomeini dikaruniai lima orang anak, yaitu dua orang putra
dan tiga orang putri. Pada usia 30 tahun hingga awal 1960, Imam Khomeini
melewatkan hidupnya di kota suci Qom. Yaitu sebuah kota yang menjadi pusat
pendidikan di Iran. Di sana ia mengajar hukum, filsafat, dan etika. Ia bersikeras bahwa
Islam memiliki komitmen terhadap kehidupan sosial politik (Satori, 2010:35).
Perjalanan masa mudanya dilalui dengan bersikap apolitik, Imam Khomeini
mengikuti jejak guru-gurunya untuk beruzlah dan menghindar dari perpolitikan secara
langsung, namun setelah gurunya wafat, Imam Khomeini berkecimpung secara

3
langsung ke dalam kancah perpolitikan Iran. Imam Khomeini menjadi orang pertama
dan orang yang mendapat dukungan penuh dari masyarakat Iran yang sudah tidak
percaya pada pemerintahan Iran di bawah kekuasaan Syah Reza. Pengasingan dan
penjara menjadi konsekuensi yang harus dihadapinya. Hingga tahun 1979, sejarah
mencatat sebagai puncak perjuangan dari Imam Khomeini dan masyarakat Iran dalam
menumbangkan kerajaan Syah Reza yang berujung dengan Revolusi Rakyat Iran yang
membuahkan pergantian bentuk pemerintahan secara menyeluruh dari kerajaan
menjadi Republik Islam Iran dengan konsep kepemimpinan
Wilayatul Faqih dan menempatkan Imam Khomeini menjadi orang pertama dalam
Revolusi Iran tersebut. Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, dengan
memberikan suatu keyakinan kepada kaum Muslim di seluruh dunia bahwa ajaran
Islam merupakan ajaran yang sempurna, yang melingkupi seluruh aturan manusia,
baik secara spiritual, sosial maupun politik. Islam tidak membatasi manusia hanya
bergelut dengan ibadah ritual semata, namun Islam pun mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan dan menganjurkan umat Islam untuk bisa menguasai ilmu-ilmu modern.
Agama dan ilmu pengetahuan bersinergis yang menjadikan negara bisa maju dan tidak
berada di bawah hegemoni penjajah. Visi-misi dan keyakinan Imam Khomeini
tersebut menjadi salah satu bagian dari karakteristik Republik Islam Iran saat ini.
2. Latar Belakang Pendidikan Imam Khomeini
Imam Khomeini terlahir dari keluarga berpendidikan dan terkemuka, sehingga
sejak kecil ia sudah bergelut dengan pendidikan. Riwayat pendidikannya dimulai di
kota Khumayun atau Khomein. Imam Khomeini mulai memasuki maktab, yaitu pusat
pendidikan agama tradisional pada usia enam tahun. Di maktab ia belajar membaca
dan menulis bahasa Arab, ia juga mulai mempelajari kitab suci Al-quran, dan seperti
anak-anak kecil lainnya ia diajarkan menghapal surah-surah terakhir di dalam al-Quran
dan beberapa frase bahasa Arab serta sejarah Nabi dan para Imam versi Syiah. Pada
usia tujuh tahun Imam Khomeini baru memasuki sekolah formal pemerintah Iran,
disana ia belajar kaligrafi dari Mirza Mahallati, selain itu ia juga belajar sejarah,
geografi, dan ilmu pengetahuan sains dasar.
Pada perkembangan pendidikannya, Imam Khomeini tumbuh menjadi remaja
yang cerdas dan banyak menguasai ilmu yang dipelajarinya. Pada usia limabelas
tahun, Imam Khomeini telah menyelesaikan studi syair Persianya dan mulai menekuni
tata bahasa Arab juga kaligrafi kepada Morteza yang merupakan pengajar tata bahasa

4
Arab dan teologi di Isfahan. Imam Khomeini adalah remaja yang memiliki minat
tinggi dalam belajar, ia juga memiliki bakat khusus dalam beberapa pelajaran yang
diminatinya. Ia banyak belajar syair klasik, banyak mengingat ratusan versi dari puisi
yang berbeda-beda, pandai menulis dan menyusun syair Persia.
Ketika Imam Khomeini berusia lima belas tahun, ibu dan bibi yang merawatnya
meninggal dunia akibat kolera yang menyerang Iran. Pengasuhan Imam Khomeini
jatuh pada kakak tertuanya, Morteza. Setelah pendidikan tata bahasanya selesai,
Morteza mengirim Imam Khomeini ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia
mengirim Imam Khomeini ke Isfahan, kota penting yang merupakan pusat ilmu Syiah.
Selain belajar fiqih dan bahasa Arab, Imam Khomeini juga belajar filsafat dan Irfan
(tasawuf) dibawah bimbingan seorang ahli irfan Mirza Muhammad Ali Syahabad
(Fauziana, 2009:11).
Diusia tujuh belas tahun, Imam Khomeini pergi ke Arak (sekarang Sultanabad),
yaitu kota yang menjadi pusat ilmu di Iran dan memiliki banyak ulama terkemukanya.
Di Arak, ia belajar pada ulama terkemuka, Syekh Abdul Karim Haeri Yazdi, Imam
Khomeini belajar fiqih dan ushul fiqih. Imam Khomeini sangat menyukai gurunya ini,
sehingga ketika Syekh Haeri Yazdi pindah ke Qum sebagai pusat daerah Syiah Iran
karena wilayah Arak sudah menjadi wilayah di bawah mandat Ingris, Imam Khomeini
pun mengikuti langkah gurunya untuk pindah ke Qum. Sejak itu Imam Khomini
melanjutkan pendidikannya di kota Qum. Imam Khomeini belajar disebuah perguruan
tinggi Islam di Qom dan menyelesaikan tahap awal pendidikan tingginya. Ilmu tentang
politik banyak Imam Khomeini dapatkan dari Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi.
Imam Khomeini juga belajar fiqih dan usul fiqih dari seorang guru dari Kasyan, yaitu
Ayatulloh Alio Yasrebi atau Ayatulloh Kasyani. Dalam bidang politik Khomeini lebih
mengikuti jejak gurunya Ayatulloh Abdul Karim Haeri Yazdi, untuk bersikap pasif
terhadap penolakan Reza Shah tentang tradisi dan budaya Islam yang dianut sebagian
besar masyarakat Islam. Ia tidak melakukan aktivitas politik hingga tahun 1930, karena
ia berpendapat bahwa politik harus dipimpin oleh seseorang yang memiliki pengaruh
keagamaan yang paling kuat. Walaupun selama menempuh pendidikannya Imam
Khomeini tidak melakukan aktivitas politik, hanya belajar dan mengajar, Imam
Khomeini tetap menaruh perhatian pada hukum Islam (syariat) dan terus
memperdalam ilmu politik Islam (Fauziana, 2009:12).

5
Pada tahun 1930, Imam Khomeini menyelesaikan studinya, mendapat ijazah serta
menjadi seorang Mujtahid dan mulai mengajar fiqih dan tata bahasa. Selain itu sejak
awal Imam Khomein menunjukkan bakat khususnya di bidang studi-studi irfan. Ilmu
Irfan sering disebut juga gnositisme, yaitu cabang dari ilmu filsafat yang melingkupi
pengetahuan mistis dunia bathiniyah manusia yang mengupayakan keakraban dengan
Allah (Rahnema,1998: 74). Selain itu Imam Khomeini sendiri mengatakan bahwa al-
Qur'an sarat dengan kajian-kajian 'irfani yang hanya bisa difahami oleh seorang yang
mumpuni, yang merupakan puncak rahasia dan menjadi sebab keagungan serta
kebesaran al-Qur'an. Al-Qur'an yang mulia sangat sarat dengan rahasia, hakikat,
makna-makna luhur, tauhid dimana akal ahli makrifat tercengang dengannya dan ini
adalah mukjijat agung lembaran cahaya samawi (al-Qur'an) (Satori, 2007:43). Pada
usia 27 tahun Imam Khomeini sudah menulis sebuah buku tentang Irfan dalam bahasa
Arab sekaligus menjadi guru dalam studi filsafat dan irfan, walaupun Irfan dan puisi
yang diminati Imam Khomeini, sebenarnya kurang popular di kalangan mullah di Qom
pada masa itu (Yamani, 2003:111).
Setelah Ayatullah Abdul Karim Haeri Yazdi wafat pada tahun 1937, Imam
Khomeini banyak dipengaruhi oleh Husayn Boroujerdi yang merupakan ulama paling
berpengaruh di Qom, dan Imam Khomeini menjadi asistennya. Di bawah
bimbingannya Imam Khomeini belajar ilmu fiqih bersama rekan-rekannya yang suatu
saat menjadi rekan dalam penggulingan Syah Reza Pahalvi, diantaranya yaitu
Ayatullah Muttahari, Ayatullah Muntaziri, Hujatul Islam Muhammad Javad Bahonar,
dan Hujatul Islam Ali Akbar Hashimi Rafsanjani.

Pada tahun 1942 Imam Khomeini mulai menampakan ketertarikannya dalam


bidang bidang politik. Ia menulis sebuah buku politik yang berjudul Kasful Asrar
(Membongkar Tabir Rahasia) yang isinya sindiran tentang kejadian-kejadian politik
Iran di bawah Syah Reza yang bekerja sama dengan Barat. Ketika Ayatulloh Burujerdi
wafat pada tahun 1961, Imam Khomeini menggantinya dengan menjadi guru besar di
Qum, sebagai guru besar, selain dalam bidang politik, Imam Khomeini juga banyak
menulis buku-buku dengan tema filsafat, hukum, dan budaya Islam. Selain buku-buku
karyanya sendiri, karya-karya Imam Khomeini juga banyak yang disusun oleh orang
lain, baik itu dari kumpulan ceramahnya maupun dari kumpulan-kumpulan kuliah
umumnya. Pada fase hidupnya tahun 1908-1961, adalah masa ketika Imam Khomeini
menghabiskan waktunya dalam jenjang penidikan formal. Ia juga banyak menulis dan

6
mengajarkan ilmunya yang menggambarkan pandangan–pandangannya tentang hidup
bernegara dan bermasyarakat berdasarkan ajaran Islam.

3. Pemikiran Imam Khomeini


a) Wilayatul Faqih
1) Definisi dan Sejarah perkembangannya
Konsep politik Islam wilayatul faqih merupakan poros sentral dari pemikiran
Syiah kontemporer. Sebuah sistem politik yang mengadopsi sistem politik berbasis
perwalian, yang bersandar pada seorang faqih yang adil dan kapabel untuk memegang
pimpinan pemerintahan selama gaibnya Imam yang maksum. Adapun definisi dari
Wilayatul Faqih tersebut, adalah sebagai berikut.
Menurut Tehrani, dalam bahasa Arab, kata ‗wilayah‘ dari kata wali yang menurut
istilah kalangan leksiograf Arab terkemuka merupakan unit terkecil (tunggal) dalam
bahasa yang mengandung makna tunggal; kedekatan daya tarik/ hubungan dekat/
persamaan/ pertalian. Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata
wali: teman; setia/berbakti; Pendukung atau Penyokong. Di samping ketiga arti ini,
dua arti lain disebutkan untuk kata wilaya’: kekuasaan (tertinggi) dan penguasaan;
kepemimpinan dan pemerintahan.
Dalam bahasa Persia, kata wali memiliki sederet arti, seperti teman, pendukung,
pemilik, pelindung, pembantu, dan penjaga. Begitu pula kata wilayah, yang bermakna
mengatur dan memerintah. Kata wilayah dalam Wilayatul Faqih bermakna
pemerintahan dan administrasi atau pengelolaan. Sebagian kalangan meletakkan
makna ini untuk mendapatkan pengertian pengendalian atau kontrol, penguasaan,
jabatan, hakim, dan kekuasaan tertinggi yang menunjukkan otoritas wali (sang
pembawa wilayah) atas mawla ‘alayh (orang yang bergantung pada atau menjadi objek
wilayah).
Wilayatul Faqih menurut Vaezi, wilayah memiliki akar kata wali yang artinya
teman, pendukung, berbakti, pelindung. Kata lain yang memiliki akar kata wali selain
wilayah yaitu maula dan maula alaih. Makna dari perwalian yaitu dimana urusan-
urusan seseorang telah diambil alih oleh orang lain. Oleh karena itu siapapun orang
yang mengambil alih urusan-urusan ini adalah wali dan konsekuensinya hal itu juga
berlaku bagi sebuah pemerintahan. Selain itu wilayah juga memiliki arti utama dekat
dengan seseorang atau dengan sesuatu, ditarik ke arti-arti umum seperti mendapat
tugas, memerintah, menjalankan otoritas. Dalam fiqih Islam, istilah wilayah

7
mempunyai beberapa penggunaan, diantaranya: wilayatul Qaraba, wilayatul Qada,
wilayatul hakim, wilayatul mutlaqa (otoritas mutlak), wilayatul usuba.
Adapun berkenaan dengan faqih (orang-orang yang faham ilmu fiqih), meskipun
para ahli fiqih imamiah umumnya sepakat atas doktrin Niyabah (vicegerency) yang
menekankan peran para ahli fiqih yang kapabel sebagai wakil dari Imam yang gaib,
untuk diserahi sebagian derajat otoritasnya. Beberapa peran-peran dan fungsi dari ahli
fiqih yang cakap memenuhi syarat sebagai wakil dari Imam adalah sebagai berikut :
membuat suatu fatwa (ifta), untuk menghakimi (al-qada), menguasai urusan-urusan
hisbiya.
2) Dalil dan Dasar Argumentasi Rasional Konsep Wilayatul Faqih
Secara prinsipil, masalah Wilayatul Faqih berakar pada dasar-dasar argumentasi
rasional dan pada dalil teks-teks keagamaan. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim
Muharram Habsiye dalam Satori (2007:92), argumentasi wilayatul faqih berakar pada:
Pertama, keharusan adanya pemerintahan sebuah masalah, selama menyangkut sistem
nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
manusia, maka otomatis ia akan menjadi objek agama; Kedua, pemerintahan
merupakan masalah yang ekstra krusial dalam kebahagiaan itu, maka agama
mengingat tujuannya, harus memasuki wacana pemerintahan. Akal mensyaratkan
keadilan, pengetahuan agama dan kemampuan memimpin bagi pemerintahan
(penguasa). Ketiga, Al-Qur‘an memberi pernyataan pada surah an-Nissa ayat 59,
“Wahai orang-orang yang beriman. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka yang memiliki otoritas atas kalian dan jika kalian bertikai tentang sesuatu
maka kembalikanlah hal itu ke Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan
Hari Akhir. Itu yang baik dan berakibat yang sebaik-baiknya”.
Dengan meyakini keselarasan dan keserasian antara akal dan keyakinan (naql)
maka menurut Satori (2007:93) dengan ayat suci ini kita dapat menyimpulkan
beberapa hal: Pemerintahan termasuk wilayah agama, Pemerintahan hanya merupakan
hak Tuhan, dan Ketaatan terhadap penguasa legitimate seiring dengan ketaatan
terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Penjelasan berikutnya menunjukkan bahwa dalam pemikiran Syiah, kebutuhan
akan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang faqih sudah dibuktikan dalam banyak
hadist yang terutama sanadnya disampaikan oleh ahli-ahli hadits kalangan Syiah. Ada

8
banyak hadis dan riwayat dikemukakan sebagai dalil wilayatul faqih, salah satu hadist
tersebut antara lain sebagai berikut,
Riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib ra, melalui Syekh al-Shaduq, bahwa
Rasulallah SAW mengatakan, "Ya Allah! Berikanlah kasih sayang dan kemurahan
kepada penggantiku." Ketika ditanya siapakah para penggantinya itu, Rasulallah
menjawab, "Mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan
sunah-sunahku.
Menurut Teherani, terdapat dua catatan penting mengenai riwayat dan sanad dari
hadis ini bagaimana memaknai wilayatul faqih: Pertama, Rasulullah SAW mempunyai
tiga tanggung jawab utama: menyebarkan wahyu Allah SWT, menyampaikan
perintah-perintah agama dan membimbing umat manusia; memutuskan perkara-
perkara yang berhubungan dengan hukum dan melerai percekcokan; dan masalah
wilayah, yakni pemerintahan dan kepemimpinan atas umat Islam. Kedua, maksud dari
perkataan "mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-
sunahku" tertuju pada para fuqaha, bukan untuk para perawi dan pelapor hadits semata.
Karena seseorang yang memiliki keahliah dan dapat menentukan sebuah hadist dan
sunah itu berasal dari Rasulullah SAW, berarti telah mencapai maqam faqih dan
memiliki kecakapan dalam berijtihad (memberi interpretasi dan pertimbangan
mandiri) Dengan mempertimbangkan masalah penting tersebut, maka hadits ini
menyatakan sebagai berikut, "Para fuqaha adalah pengganti-pengganti Nabi SAW."
Karena Nabi memegang beberapa kedudukan, sementara tidak ada kedudukan khusus
yang disebutkan, maka selanjutnya dikatakan bahwa para fuqaha adalah pengganti-
pengganti Nabi SAW dalam semua kedudukan itu Hadits selanjutnya, riwayat dari
Imam ke-12, Syekh al-Shaduq meriwayatkan dalam kitab Kamal ad-Din dari Ishaq bin
Ya'qub, bahwa Imam Mahdi, Imam ke-12 memberi jawaban atas pertanyaan Ishaq
secara pribadi, ia menuliskan yang bersegel tuqi' yang isinya ―Dimasa ketidakpastian
(kegaiban Imam) rujuklah para penghantar (perawi) hadis-hadis kami (faqih), Karena
mereka adalah hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka‖ (Satori,
2007:44).
Dalam menegakkan otoritas fuqaha, para pembela wilayatul faqih sering merujuk
pada bagian kedua dari hadits ini, yang berbunyi "Mereka hujjah-ku untuk kalian dan
aku hujjah Allah untuk mereka." Bagaimanapun menurut ulama Syiah seperti Imam
Khomeini berpendapat bahwa bagian pertama dari hadits tersebut juga bisa digunakan

9
untuk menegakkan otoritas faqih. Bagian pertama dari hadits itu mendorong
masyarakat untuk bertanya pada mereka yang dekat dengan ajaran-ajaran para Imam
as. menyangkut semua parmasalahan baru yang dihadapi masyarakat.
Pernyataan itu membuat jelas bahwa fuqaha bertindak sebagai hujjah dari Imam
dalam segala hal dimana Imam bertindak sebagai hujjah Allah dalam bagian kedua
hadits tersebut, Imam Khomeini menjelaskan bahwa hujjah Allah sebagai seseorang
yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjawab beberapa perkara, artinya segala
perbuatan, tindakan-tindakan, dan perkataan-perkataannya bermakna sebagai hujjah
(bukti) bagi kaum muslim. Kesimpulannya menjadi seorang hujjah berimplikasi
memegang otoritas atas para pengikutnya dan oleh karenanya semua perintah-perintah
dari pemegang status seperti itu haruslah dipatuhi. Inilah yang kemudian dijadikan
dalil wilayatul faqih sekaligus menjadi bukti kuat bahwa fakih adalah wakil Imam.

3) Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini


Berbicara mengenai konsep politik, sebenarnya tidak ada gagasan-gagasan yang
benar-benar baru dari Imam Khomeini. Imam Khomeini mengungkapkan bahwa
persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang
bisa segera disepakati, khususnya di kalangan Syiah. Hal tersebut diungkapkan Imam
Khomeini dalam kalimat pembuka kumpulan ceramah-ceramahnya mengenai
pemerintahan Islam yang diberi judul Hukumat-I Islam (Yamani, 2003:114).
Menurut Imam Khomeini dalam buku Hukumat-e Islami tersebut, tema wilayatul
faqih sebenarnya dapat diterima keberadaanya dengan mudah dan tidak lagi
memerlukan dalil untuk mendukungnya. Keberadaan pemerintahan Islam akan
menjamin keberlangsungan ditegakan hukum-hukum Islam. Beberapa hal yang
berkaitan dengan konsep wilayatul faqih, Imam Khomeini adalah tentang kebutuhan
akan pemerintahan Islam, bentuk pemerintahan Islam dan bagaimana pandangan
Imam Khomeini terhadap demokrasi.
B. Gerakan Pemikiran Ali Syariati
1. Biografi Ali Syari’ati
Ali Syari’ati adalah seorang idiologi dan seorang pemikir revolusi Iran yang
terkemuka. Ia di lahirkan di Mazinan. Sebuah Kota di pinggiran kota Mashad dekad
Sabzavar, Timur laut Khurasan, negri Iran, pada tanggal 24 november 1933, putra

10
sulung dari Sayyid Muhammad Taqi’ Syari’ati dan putri Zahrah.1 Orangtuanya adalah
keluarga yang cukup disegani ditengah-tengah masyarakat sebagai tokoh spritual yang
senantiasa menjalankan ritual dan ritus keagamaan yang taat. Meskipun demikian,
keluarga Taqi’ Syari’ati tetap merupakan keluarga layaknya penduduk kampung yang
hidup seadanya. Dari keluarga itulah Ali Syari’ati mulai membentuk mentalitas
kepribadian dan jatidirinya, terutama lewat peran seorang ayah yang menjadi guru
dalam arti yang sesungguhnya dan dalam arti spritual.
Ali Syari’ati kecil sudah memunculkan sifat yang berbeda dengan teman
sebayanya. Ali Syari’ati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di
Mashad, yaitu sekolah swasta Ibnu Yamin, tempat ayahnya mengajar. Ali Syari’ati
kecil terkenal pendiam, tidak suka diatur, namun dirinya sangat rajin. Selain itu, ia
juga selalu menyendiri, acuh tak acuh dengan dunia luar, sehingga tampak kurang
bermasyarakat. Karena itu, terhadap teman-teman sebayanya ia kurang bergaul. Ali
Syari’ati lebih senang mengurung dirinya di rumahnya dan menghabiskan waktunya
dengan membaca buku bersama ayahnya hingga menjelang pagi. Selain buku yang
dibacanya tidak berhubungan dengan pelajaran yang diwajibkan disekolah. Ali
Syari’ati juga tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah dari para guru sekolahnya.
Walaupun demikian seperti layaknya temantemannya ia selalu naik kelas pada setiap
tahunnya.2
Rupanya lingkungan intelektual yang terbangun dalam keluarganya, terutama
ayahnya, sangat mempengaruhi kecendrungan berpikir Ali Syari’ati dan mengerahkan
beberapa dimensi pikirannya. Muhammad Taqi’ Syari’ati adalah seorang guru dan
mujahid besar pendiri Markaz Nashr al-Haqaiq al-Islamiyah (Pusat Penyebaran
Kebenaran-Kebenaran Islam) di Masyhad dengan menggunakan al-Qur’an dan sunnah
sebagai sarana sentralnya,3 sekaligus salah seorang putra pergerakan pemikiran Islam
di Iran. Ali Syari’ati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya yang dianggap
sebagai pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan kekaguman Ali Syari’ati
terhadap sosok sang ayah-pun mengantarkan pemikirannya sampai pada kesimpulan

1
Dawan Raharjo, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam (Jakarta: Garafiti Pers, 1987),
hlm.167.
2
Ali Syari’ati, Sosilogi Islam terj. Saifullah Wahyudin (Yogyakarta: Ananda, 1982), hlm.
9-11.
3
Ibid., hlm. 7.
11
bahwa ayahnya adalah seorang mujadid, pembuat bid’ah yang menyimpang dari
tradisi lama yang berkembang saat itu.4
Begitu besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan
kecendikiawanan Ali Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki wawasan
dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam literature yang
secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya. Perilakunya cenderung
menyendiri dan perkembangan pendidikannya di rumah membuat Ali Syari’ati lebih
mandiri di tengah masyarakat. Hal ini kemudian melahirkan kebanggaan tersendiri
yang mendalam bagi dirinya. Ali Syari’ati merasakan telah tumbuh dewasa
meninggalkan zamannya, seolah ia telah melangkah seratus langkah meninggalkan
kawan-kawan sekelasnya, dan Sembilan puluh sembilan telah meninggalkan guru-
gurunya.5 Selain ayahnya, pemikiran Ali Syari’ati mudah juga sangat terobsesi oleh
kehidupan kakek-kakeknya yang suci, terutama tentang filsafat yang mempertahankan
jati diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi telah
merajalela. Adalah Akhund Hakim, kakek dari ayah Ali Syari’ati yang sering
diceritakan kepadanya, telah banyak memberi inspirasi bagi benihbenih kesadaran
yang tumbuh dalam jiwa Ali Syari’ati, demikian juga paman ayahnya, seorang murid
pemikir terkemuka dan sastrawan Adib Nisyapuri yang sangat menonjol. Demi
mengikuti jejak kakek-kakek leluhurnya, sesudah mempelajari fiqih, filsafat dan
sastra, mereka kembali ke kampung halamannya Mazinan.
Ali Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan kakek-
kakeknya, serta dari paman ayahnya tersebut. Ia melihat ruhnya yang abadi itu berada
dalam dirinya, dan melihat ruh yang bersinar cemerlang itu menerangi jalan yang dia
tempuh dalam kehidupannya. Menginjak usia remaja, pada tahun pertama di sekolah
menengah atas, Ali Syari’ati sudah mulai menyenangi bidang filsafat dan mistisisme.
Ia lebih berminat pada karya sastra, syair, dan kemanusiaan ketimbang mempelajari
buku studi ilmu sosial dan studi keagamaan. Mempelajari bahasa Arab di rumah
kepada ayahnya tidak mengalihkan perhatiannya pada studi filsafat dan karya-karya
modern Iran maupun asing.

4
Ali Syari’ati, Humanisme antara Islam dengan Madzhab Barat, terj. Afif Muhammad,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 13.
5
Ibid., hlm. 15.
12
2. Pemikiran Ali Syari’ati
a) Hakekat Manusia
Pandangan Ali Syari’ati, tentang manusia bersumber pada interpretasi teks al-
Qur’an surat al-Baqoroh ayat 30. Baginya, cerita-cerita tentang penciptaan Adam
mempunyai makna simbolis, karena Adam merupakan simbol makhluk ciptaan Allah
yang mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia yaitu manusia dalam
pengertian filosofis, bukan manusia dalam arti biologis.
Adam adalah sebagai manusia yang diciptakan Allah pertama kali, yang
mempunyai makna simbolis. Simbolisme inilah yang akan membantu kita untuk dapat
menangkap pesan-pesan keagamaan. Bahasa simbolis berkaitan dengan makna yang
mengandung misteri, tetapi ia memiliki kedalaman makna dan mempunyai nilai yang
lebih tinggi.
Ketika Adam akan diciptakan, terjadi perdebatan antara Allah dengan Malaikat.
“Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi” kata Tuhan. Malaikat
menjawab seraya bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi,
mereka akan berbuat kerusakan dan akan saling menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih, memuji dan mensucikan Engkau? Jawab Tuhan lagi,
“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Untuk meyakinkan malaikat bahwa makhluk-Nya yang baru ini lebih memiliki
keunggulan daripada malaikat. Maka Tuhan mengajarkan kepada Adam sejumlah
nama. Kemudian, menantang malaikat untuk menyebutkan nama-nama yang diajarkan
tadi, karena malaikat tidak dapat menyebutkannya, maka Tuhan, meminta Adam untuk
menyebutkan nama-nama yang telah diajarkan tadi kepada para malaikat. Selanjutnya
Tuhan memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam, Semuanya
bersujud kepada Adam kecuali Iblis.
Disini Ali Syari’ati labih menekankan, bahwa Tuhan menggambarkan ketinggian
derajat manusia, yang mempunyai nilai lebih tinggi di banding Malaikat. Disisi lain,
Ali Syari’ati, mengemukakan interpretasinya tentang hakikat kejadian manusia.
Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an, Bahwa manusia pada dasarnya di
ciptakan dari dua unsur. Pertama, roh Tuhan dan yang kedua adalah tanah, dan ini juga
terjadi pada jenis wanita. Penafsiran bahwa Hawa di ciptakan dari tulang rusuk kiri
Adam, dengan demikian, tidak dibenarkan, karena arti yang sebenarnya adalah nature

13
(sifat), bukan tulang rusuk. Ini berarti, baik pria maupun wanita diciptakan dari unsur
yang sama meskipun terdapat perbedaan-perbedaan.
Tuhan menciptakan manusia dari sel-sel kal fakhar (Lumpur) dan Hammum
Masnum (tanah hitam yang berbau busuk). Kemudian Tuhan menghembuskan roh-
Nya ke dalam manusia ciptaan-Nya dan penciptaan selesai. Makna simbolis
pengertian di atas adalah bahwa manusia mempunyai dimensi yang berbeda yaitu
dimensi ke-Tuhanan dan dimensi kehinaan atau kerendahan. Sedangkan makhluk yang
lainnya hanya mempunyai satu dimensi.
Dalam makna yang simbolis Lumpur menunjukkan pada keburukan, kehinaan,
tidak berarti, stagnasi dan mati. Dimensi ke-Ilahian mengajak manusia cenderung
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Menurut Fazlur Rahman,6 bahwa ungkapan dua
dimensi ciptaan manusia bukan berarti dalam diri manusia, terdapat dua dimensi yang
berbeda antara jiwa dan raga, sebagaimana yang dikatakan oleh filosof-filosof sebelum
al-Ghazali. Tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
sebagaimana kata nafs yang seringkali digunakan dan diterjemahkan al-Qur’an
menjadi jiwa yang berarti pribadi atau keakuan. Dengan adanya dua dimensi dalam
diri manusia tersebut, Syari’ati, mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya, kadang
bisa mencapai derajat yang tinggi tapi kadang juga sampai ke derajat yang rendah dan
hina, tinggal manusia itu sendiri dengan otonomi yang dimilikinya untuk memilih. Jika
ia sesat maka ia akan memilih jalan syaitan dan jika benar maka ia akan mengikuti
jalan yang sempurna yaitu jalan yang menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Jalan yang bisa sampai kepada Tuhan adalah agama. Agama bagi Syari’ati adalah
sebuah jalan bukan sebuah tujuan, kesesatan manusia terjadi karena memandang
agama sebagai tujuan akhir dalam hidupnya, bukan sebagai jalan akhir yang bisa
sampai kepada Tuhan.7
b) Manusia Sebagai Khalifah
Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai kedudukan yang tinggi di bandingkan makhluk-makhluk yang lainnya.
Kedudukan tinggi bagi manusia ini dengan kata lain dapat di sebut sebagai khalifah
Tuhan di atas bumi atau wakil Tuhan di atas bumi.

6
Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an terj. Anas Wahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), hlm.
26.
7
Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, op.cit., hlm. 121.
14
Fakta moral yang mendalam yang tertanam dalam diri manusia, yang merupakan
tantangan bagi manusia dan yang membuat hidupnya sebagai perjuangan moral yang
tidak berkesudahan, sebagaimana yang dikatakan oleh Immanuel Kant, tentang
sumbangannya antara moral dengan agama yaitu jika manusia ingin mencapai
kebahagiaan tertinggi (summum bonum) maka kita harus menerima tiga postulat;
kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Allah.8
Manusia hidup dimuka bumi ini mempunyai amanah dari Allah yang sangat besar,
sehingga manusia hidup di dunia ini tidak hanya untuk bermain-main, karena Allah
menciptakan manusia tidak sekedar untuk permainan, tetapi untuk melaksanakan tugas
yang sangat berat dan harus mempertanggung jawabkan keberhasilan dan
kegagalannya, karena baik manusia maupun Tuhan telah mengambil resiko yang
sangat besar di dalam masalah ini. Sebagaimana kata Fazlur Rahman,9 bahwa manusia
dengan kedudukannya sebagai khalifah adalah sebuah kutukan, karena manusia tidak
mau melihat ke belakang, tidak bersiap-siap untuk hari kemudian dan tidak memahami
tujuan-tujuan moral jangka panjang dari perjuangan manusia. Mereka hanya cukup
puas untuk hari demi hari dan jam demi jam. Dalam menganalisa manusia sebagai
khalifah, Ali Syari’ati, menggunakan suatu diskripsi, bahwa manusia merupakan cita
ideal. Sehingga manusia harus mampu menentukan nasibnya sendiri baik sebagai
kelompok masyarakat maupun sebagai individu, seperti apa yang dikatakan oleh
Fazlur Rahman, Ali Syari’ati juga berpendapat, bahwa manusia mempunyai tanggung
jawab yang sangat besar, karena manusia memiliki daya kehendak.
Manusia ideal adalah manusia theomorfis yaitu dengan sifat-sifat ke- Tuhanan
dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Manusia ideal mempunyai tiga aspek
yaitu kebenaran, kebajikan dan keindahan, dengan kata lain manusia memiliki
pengetahuan, etika dan seni yang semuanya itu dapat dicapai melalui kesadaran,
kemerdekaan dan kreativitas. Manusia ideal adalah manusia yang mampu berfikir
mendalam tanpa terjerumus kedalam perenungan diri, sehingga melupakan yang
lainnya. Manusia ideal juga melakukan kegiatan-kegiatan politik tanpa harus lupa diri
dan gila hormat, gila kekuasaan dan sebaginya. Iman yang dimilikinya tidak
menyebabkan kemampuannya lumpuh.

8
Lili Tjahjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tantang Etika dan Imperatif
Kategoris (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 55.
9
Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 28.
15
Manusia ideal yang dimaksudkan Ali Syari’ati, adalah manusia yang dapat
menaklukkan dunia tetapi dipihak lain ia juga tidak mengesampingkan nilai-nilai
spritual dan ke-Ilahian. Manusia ideal bagaikan seorang kaisar yang memegang
pedang dengan gagah tetapi juga memiliki hati seperti hatinya Yesus, ia menggunakan
pikiranya seperti Socrates tetapi juga memiliki kecintaan seperti kecintaan Al-Hallaj
dalam pencariannya menuju Tuhan. Manusia ideal adalah manusia seperti Yesus
dalam menyampaikan pesan-pesan perdamaian tetapi juga seperti Musa yang dengan
gagah berani berjihad. Manusia ideal adalah manusia yang bisa membentuk
lingkungan bukan manusia yang dibentuk oleh lingkungan.10
Kepercayaan yang di berikan oleh Tuhan kepada manusia, mengharuskannya
untuk bertanggung jawab atas amanat yang menjadi beban di pundaknya, betapapun
berat tanggung jawab itu, pengabdiannya kepada Tuhan dicerminkan dalam
pengabdiannya terhadap kepentingan sesama manusia. Tanggung jawabnya kepada
Tuhan diwujudkan dalam perjuangan memerangi kemiskinan, kebodohan, kezaliman
dan kelaparan. Manusia ideal juga berjuang untuk membebaskan belenggu
penindasan. Sependapat dengan Yusuf Qardhawi, bahwa hanya dengan iman dan
bimbingan mental, perubahan suatu bangsa akan menjadi berkembang. Bangsa bisa
maju karena dulunya pernah tertindas lemah, sehingga manusia kalau ingin maju
negaranya diperlukan bimbingan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum bimbingan
yang lainnya sebagaimana firman Allah. “Sesungguhnya Allah tidak akan pernah
merubah suatu kaum, sehingga kaum itu mau merubah nasibnya sendiri”.
C. Gerakan Pemikiran Murtadha Muthahhari
1. Biografi Murthada Muthahhari.
Murthada Muthahhari dilahirkan pada tanggal 2 Pebruari 1920/ 1338 di Fariman,
dekat Masyhad, pusat belajar dan tempat ziarah kaum muslim syi’ah yang besar di Iran
Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama yang cukup
ternama.11
Sejak menjadi mahasiswa di Qum, Muthahhari telah menunjukkan minatnya pada
filsafat dan ilmu pengetahuan modern, di tempat ini pula ia belajar kepada ayatollah
Boroujerdi dan ayatollah Khomeni dan dalam bidang filsafat Muthahhari banyak

10
Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, op. cit., hlm. 162
11
Murthada Muthahhari, The Causes Reponsible for Materialist in the West,
diterjemahkan oleh Akmal Kamil dengan judul, Kritik Islam Terhadap Materialisme (Jakarta: al-Huda,
2001), cet. I hlm. 9.
16
belajar pada Allamah Thbafabai. Muthahhari pada usia relatif muda telah mengajar
logika, filsafat dan fiqh pada fakultas Teologi Universitas Teheran. Pada saat yang
sama dia menjabat ketua jurusan filsafat. Disamping itu, Murthada Muthahhari
menekuni kajian ilmu ilmu ushul, kalam dan ‘irfan. Dalam perjalanan hidupnya,
Muthahhari memilih badai dari pada damai. Dia aktif pada bidang politik dan berjuang
bersama-sama Imam Khomeni menentang Rezim Pahlevi yang berkuasa secara
otoriter.12
Pada tahun 1963 , Muthahhari dipenjara bersama Imam khomeni dan setelah
Khomeni diasingkan ke Turki, Muthahhari mengambil alih kepemimpinan dan
menggerakkan para ulama mujahid untuk meneruskan semangat perjuangan sang
imam. Langkah-langkah politiknya jelas terlihat, bersama-sama dengan ulama lainnya
ia mendirikan Husainiyatul-Irsyad yang menjadi basis kebangkitan intelektual Islam.
Dia juga menggalang bantuan untuk rakyat Palestina dan pernah menjadi imam Masjid
al-Jawad dan menjadikan masjid tersebut sebagai basis gerakan politik Islam.
Muthahhari termasuk salah seorang tokoh penting dalam revolusi Iran dan menjadi
anggota dewan revolusi.
Karakteristik yang menonjol pada diri seorang Muthahhari adalah kedalaman
pemahamannya tentang Islam, keluasan pengetahuannya tentang filsafat dan ilmu
pengetahuan moderen , ketangguhan non kompromi terhadap keyakinan dan ideologi.
Perpaduan tiga hal itulah menjadikan Muthahhari seorang teolog yang tangguh dan
berwawasan luas.
Perjuangan Muthahhari dalam menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam, yakni
kebenaran dan keadilan, akhirnya harus ditebus dengan nyawanya. Dia syahid pada
tanggal 2 Mei 1979 , di tembak oleh kelompok ekstrem Furqan. Muthahhari kini telah
tiada, namun jasanya dalam menegakkan kebenaran melalui keteguhan keyakinan dan
keluasan ilmunya dapat menjadi teladan bagi kaum muslimin. Dia adalah seorang figur
yang telah menorehkan sejarah hidupnya dengan prinsip-prinsip Islam sejati.
2. Pemikiran
a) Prinsip-Prinsip Epistemologi
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme
berarti pengetahuan (knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian

12
Murtadha Muthahhari, Goal of Life, diterjemahkan oleh Ibrahim dengan judul Mengapa Kita
Diciptakan, (Jakarta: Pustaka Zahrah, 2003), cet. I hlm. 9.

17
epistemologi secara etimologi bermakna teori pengetahuan. Episteme juga sering
diartikan pengetahuan atau kebenaran, sedang logos diartikan pikiran atau teori.
Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan
lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggerisnya menjadi
Theory of Knowledge.13
Dalam Dictionary of Philosophy, Dagober. D. Runes yang dikutip oleh Miskah
Muhammad Amin, asal kata epistemologi berasal dari kata episteme ditambah logos,
theory. Dari akar kata-kata tersebut disimpulkan epistemology adalah cabang dari
filsafat yang menyelidiki keaslian pengertian, struktur, metode dan validasi ilmu
pengetahuan.8 Menurut Harun Nasution, kata Episteme berarti pengetahuan dan
epistemologi ialah ilmu yang membahas tentang: a. Apa itu pengetahuan dan b.
Bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut.
Dengan pengertian tersebut dipahami bahwa epistemologi adalah sebuah wadah
atau takaran yang dapat mengontrol keliru tidaknya suatu Muh. Natsir Prinsip-Prinsip
Epistemologi dan Implikasinya terhadap pengetahuan. Epistemologi adalah bagian
dari filsafat, karenanya epistemology memiliki cara kerja sebagaimana cara kerja
filsafat pada umumnya.
Secara terminology, pengertian epistemologi dapat dijelaskan ke dalam tiga hal,
yaitu ciri kefilsafatan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang berupaya
mengkaji suatu pengetahuan secara mendalam dan menyeluruh serta diarahkan untuk
menemukan kebenaran. Metode, epistemologi sebagai pengantar bagi seseorang untuk
memperoleh pengetahuan secara tepat dan sistem, sebagai suatu sistem yang bertujuan
memperoleh realitas kebenaran pengetahuan. Berdasarkan pada ketiga makna tersebut
yang dimaksud Muthahhari bahwa teori pengetahuan sebagaimana yang dijelaskan
oleh ulama Arab, mereka menyebutnya dengan istilah nazariah al-ma’rifat,
(epistemologi).
b) Filsafat Sejarah

Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” yang berarti pohon. Kata ini
memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis karena
memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon” yang

13
Rizal Muntasyi dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Jogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), cet. IV hlm. 27.

18
tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan. Oleh
karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran atau pesan-pesan sejarah di dalamnya
memerlukan kemampuan pesan-pesan yang tersirat sebagai ibarat atau ibroh di
dalamnya.

Menurut Muthahhari, ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin
kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu pertama, sejarah tradisional (tarikh naqli)
adalah pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-
keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa
kini. Kedua, sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum
yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melalui pendekatan
dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau. Ketiga, filsafat sejarah (tarikh
falsafi), yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa
masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai
perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi
masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.14

Pendapat lain tentang sejarah dikemukakan oleh Hugiono dan Poerwantara bahwa
dalam penulisan sejarah perlu dibedakan terlebih dahulu antara sejarah dalam
kerangka ilmiah, dan sejarah dalam kerangka filosofis. Sejarah dalam kerangka ilmiah
adalah sejarah sebagai ilmu, artinya sejarah sebagai salah satu bidang ilmu yang
meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat
serta kemanusiaan di masa lampau beserta seluruh kejadian-kejadian, dengan maksud
untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut, untuk
akhirnya dijadikan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah
program masa depan.

Sejarah dalam kerangka filosofis adalah sejarah dalam pengertian sebagai filsafat
sejarah. Filsafat sejarah mengandung dua spesialisasi. Pertama, sejarah yang berusaha
untuk memastikan suatu tujuan umum yang mengurus dan menguasai semua kejadian
dan seluruh jalannya sejarah. Usaha ini sudah dijalankan berabad-abad lamanya.

14
Murthada Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1984),
hlm. 65-67.

19
Kedua, sejarah yang bertujuan untuk menguji serta menghargai metode ilmu sejarah
dan kepastian dari kesimpulan-kesimpulannya.

Dalam kajian-kajian modern, filsafat sejarah menjadi suatu tema yang


mengandung dua segi yang berbeda dari kajian tentang sejarah. Segi yang pertama
berkenaan dengan kajian metodologi penelitian ilmu ini dari tujuan filosofis.
Ringkasnya, dalam segi ini terkandung pengujian yang kritis atas metode sejarawan.
Pengujian yang kritis ini termasuk dalam bidang kegiatan analitis dari filsafat, yakni
kegiatan yang mewarnai pemikiran filosofis pada zaman modern dengan cara
khususnya, di mana si pemikir menaruh perhatian untuk menganalisis apa yang bisa
disebut dengan sarana-sarana intelektual manusia. Ia mempelajari tabiat pemikiran,
hukum-hukum logika, keserasian dan hubungan-hubungan antara pikiran-pikiran
manusia dengan kenyataan, tabiat, realitas, dan kelayakan metode yang dipergunakan
dalam mengantarkan pada pengetahuan yang benar.

Dari segi yang lain, filsafat sejarah berupaya menemukan komposisi setiap ilmu
pengetahuan dan pengalaman umum manusia. Di sini perhatian lebih diarahkan pada
kesimpulan dan bukannya pada penelitian tentang metode atau sarana-sarana yang
digunakan seperti yang digunakan dalam metode analitis filsafat. Dalam kegiatan
konstruktif, filosof sejarah bisa mencari pendapat yang paling komprehensif yang bisa
menjelaskan tentang makna hidup dan tujuannya. 15

15
Effat Al-Sarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1981), hlm. 114-115.

20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Imam Khomeini lahir di kota Khumyun atau Khomein, Iran Tengah pada tahun
1902. Nama Khomeini diambil dari nama kota kelahirannya, sedangkan nama
lengkapnya adalah Rohulloh Al-Musavi Al-Khomeini. Salah satu pemikirannya
adalah Wilatul Faqih.
Ali Syari’ati adalah seorang idiologi dan seorang pemikir revolusi Iran yang
terkemuka. Ia di lahirkan di Mazinan. Sebuah Kota di pinggiran kota Mashad dekad
Sabzavar, Timur laut Khurasan, negri Iran, pada tanggal 24 november 1933, putra
sulung dari Sayyid Muhammad Taqi’ Syari’ati dan putri Zahrah. Pemikirannya adalah
Hakekat Manusia dan Manusia Sebagai Khalifah.
Muthada Muthahhari dilahirkan pada tanggal 2 Pebruari 1920/ 1338 di Fariman,
dekat Masyhad, pusat belajar dan tempat ziarah kaum muslim syi’ah yang besar di Iran
Timur. Ayahnya bernama Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama yang cukup
ternama. Pemikirannya adalah Prinsip-Prinsip Epistemologi dan Filsafat Sejarah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Sarqawi, Effat. (1981). Filsafat Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah

Fauziana, Rahma Dyah. (2009). Khomeini dan Revolusi Iran. Yogyakarta: Narasi

Fazlur Rahman, Fazlur. (1996). Tema-Tema Pokok al-Qur’an terj. Anas Wahyuddin.
Bandung: Pustaka

Lili Tjahjadi, Lili. (1991). Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tantang Etika dan
Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius

Muthahhari, Murtadha. (1984). Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama.


Bandung: Mizan

Muthahhari, Murtadha. (2001). The Causes Reponsible for Materialist in the West,
diterjemahkan oleh Akmal Kamil dengan judul, Kritik Islam Terhadap
Materialisme. Jakarta: al-Huda

Muthahhari, Murtadha. (2003). Goal of Life, diterjemahkan oleh Ibrahim dengan judul
Mengapa Kita Diciptakan. Jakarta: Pustaka Zahrah

Raharjo, Dawam. (1987). Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam. Jakarta:
Garafiti Pers

Rahmena, Ali. (1998). Para Perintis Zaman Baru Islam. ...: Mizan

Rizal Muntasyi dan Misnal Munir. (2007). Filsafat Ilmu. Jogyakarta: Pustaka Pelajar

Satori, Akhmad. (2007). Sistem Pemerintahan Iran Modern. …: RausyanFikr

Syari’ati, Ali. (1982). Sosilogi Islam terj. Saifullah Wahyudin. Yogyakarta: Ananda

Syari’ati, Ali. (1996). Humanisme antara Islam dengan Madzhab Barat, terj. Afif
Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah

Yamani. (2003). Filsafat Politik Islam (Antara Al-Farabi dan Khomeini). …: Mizan

22

Anda mungkin juga menyukai