Anda di halaman 1dari 54

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA DISFUNGSI

MOTILITAS GASTROINTESTINAL: KONSTIPASI


BERHUBUNGAN DENGAN IMMOBILISASI PADA PASIEN
STROKE

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal


Bedah semester II

Disusun oleh :

Lidya Octa Nora (312017024)


Marina Purnawaty (312017025)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES AISYIYAH BANDUNG
JL. KH. AHMAD DAHLAN (BANTENG) NO.6
BANDUNG
2018KATA PENGANTAR

‫ببسِۡبم ٱللب ٱللرحَّۡممٰبن ٱللربحَّيِبم‬

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga
tercurah untuk Nabi danteladan kita, Muhammad SAW, juga untuk seluruh
keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
ihsan sampai hari kiamat.

Alhamdulillah, kami telah menyelesaikan makalah “Disfungsi Motilitas


Gastrointestinal: Konstipasi Berhubungan dengan Immobilisasi Pada Pasien
Stroke”, untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah pada
program pendidikan S1 Keperawatan semester II.

Karena proses pembuatan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka kami membuka diri untuk menerima berbagai masukan dan kritik
demi perbaikan di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandung, Mei 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

1.2 Tujuan........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4

2.1 Definisi Disfungsi Motilitas Gastrointestinal.................................................4

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan................................................5

2.3 Stroke............................................................................................................25

2.4 Patofisiologi dan Pathway Disfungsi Motilitas Gastrointestinal:


Konstipasi...........................................................................................................30

BAB III RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN...............................................31

3.1 Tabel Rencana Asuhan Keperawatan......................................................31

3.2 Analisis Jurnal..............................................................................................35

BAB IV PENUTUP...............................................................................................40

1.1 Kesimpulan..............................................................................................40

1.2 Saran........................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Saluran Pencernaan .................................................... 5

Gambar 2.2 Anatomi Lambung .................................................... 6

Gambar 2.3 Aliran Darah .................................................... 7


Gastrointestinal

Gambar 2.4 Potongan Lintang Usus .................................................... 17


yang Khas

Gambar 2.5 Anatomi Kolon .................................................... 25

3
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kerja Hormon Gastrointestinal, Rangsang untuk Sekresi, dan Tempat
Sekresi....................................................................................................................14

Tabel 2.2 Enzim Pencernaan Utama......................................................................21

Tabel 2.3 Zat Pengatur Gastrointestinal Utama.....................................................22

Tabel 2.4 Perbedaan Perdarahan Intraserebri dengan Perdarahan Subarakhnoid. 27

Tabel 2. 5 Perbedaan antara Stroke Haemoragik dengan Stroke Nonhaemoragik 28

Tabel 2. 6 Manifestasi Klinis Stroke Dihubungkan dengan Area Otak yang


Terkena Perbedaan antara Stroke Haemoragik dengan Stroke Nonhaemoragik. . .29

4
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saluran pencernaan memberi tubuh persediaan air, elektrolit, vitamin-


vitamin, dan zat makanan secara terus-menerus. Untuk mencapai hal ini
dibutuhkan gerakan makanan melalui saluran cerna, sekresi getah
pencernaan dan pencernaan makanan, absorbsi air, berbagai elektrolit,
vitamin-vitamin, dan hasil pencernaan, sirkulasi darah mengenai organ-
organ gastrointestinal untuk membawa zat-zat yang diabsorbsi, dan
pengaturan semua fungsi ini oleh sistem lokal, saraf, dan hormon.
Setiap bagian disesuaikan terhadap fungsi spesifiknya, beberapa untuk
lintasan makanan yang sederhana seperti esofagus, untuk penyimpanan
makanan sementara seperti lambung, dan yang lain untuk pencernaan dan
absorbsi seperti usus halus. Untuk melakukan fungsinya, semua sel tubuh
memerlukan nutrien. Nutrien ini harus diturunkan dari masukan makanan
yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral, serta
serat selulosa dan bahan sayuran lain yang tidak bernilai nutrisi.
Saat makanan berada di setiap bagian saluran pencernaan merupakan saat
yang penting untuk memproses secara optimal dan mengabsorbsi bahan
makanan. Selain itu, pencampuran yang tepat juga harus berlangsung. Akan
tetapi karena kebutuhan untuk pencampuran dan propulsi (pendorongan)
sangat berbeda pada tiap tingkatan proses, berbagai mekanisme umpan balik
hormonal dan saraf otomatis akan mengontrol waktu dari tiap aspek proses ini
sehingga pencampuran dan pendorongan akan terjadi secara optimal, tidak
terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Adanya gangguan atau kondisi
menyimpang pada sistem pencernaan dapat mempengaruhi status nutrisi
seseorang. Terutama bagian yang mempersarafi proses penyerapan, motilitas,
dan sekresi dari saluran pencernaan. Hal ini akan menyebabkan disfungsi
motilitas saluran pencernaan sehingga terhambatnya proses pencernaan.

1
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan disfungsi motilitas yaitu
ansietas, pemberian makanan enteral, intoleransi makanan, imobilitas, dan
lain-lain. Adalah stroke merupakan gangguan fungsi otak yang diakibatkan
oleh terhambatnya aliran darah ke otak dan dapat mengakibatkan kematian.
Stroke menjadi penyebab kematian ketiga di dunia setelah jantung dan kanker
sehingga diperlukan pengobatan dan perawatan yang cepat, tepat, dan cermat.
Dampak yang sering terjadi pada pasien stroke adalah terjadinya konstipasi
yang dapat disebabkan oleh kurangnya mobilisasi berhubungan dengan
adanya penurunan kemampuan mobilitas fisik pasien.
Konstipasi pada pasien stroke dapat menyebabkan terjadinya valsava
manuver dan herniasi yang dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu,
penanganan konstipasi harus disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing
pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi untuk
terjadinya defekasi dengan cara tindakan keperawatan mandiri yang alamiah
seperti dilakukannya mobilisasi, masase abdomen, dan diberikan minum air
hangat, karena penggunaan obat-obatan laksatif dalam jangka waktu yang
lama juga akan berefek tidak baik pada organ-organ pencernaan dalam seperti
usus besar akan kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang peka terhadap
rangsangan yang diberikan oleh laksatif maupun rangsangan untuk BAB.

1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk mengetahui anatomi fisiologi saluran pencernaan.


1.2.2 Untuk mengetahui prinsip-prinsip umum fungsi gastrointestinal
termasuk didalamnya motilitas, pengaturan saraf, dan sirkulasi darah.
1.2.3 Untuk mengetahui batasan karakteristik dan faktor resiko dari
disfungsi motilitas gastrointestinal.
1.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway dari disfungsi
motilitas gastrointestinal: konstipasi pada pasien stroke.

2
1.2.5 Untuk dapat memberikan intervensi dan implementasi pada pasien
stroke dengan disfungsi motilitas gastrointestinal: konstipasi dengan
berdasarkan pada Evidence Base Practice.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Disfungsi Motilitas Gastrointestinal

Disfungsi motilitas gastrointestinal adalah peningkatan, penurunan,


ketidakefektifan, atau kurang aktivitas peristaltik didalam sistem pencernaan.

Batasan Karakteristik dan Faktor Resiko

Adapun batasan karakteristik dari disfungsi motilitas gastrointestinal adalah :


a. Kram abdomen i. Kesulitan mengeluarkan
b. Distensi abdomen
feses
c. Nyeri abdomen
j. Feses kering
d. Tidak fIactus
k. Feses keras
e. Akselerasi pengosongan
l. Peningkatan residu
lambung
lambung
f. Residu lambung berwarna
m. Mual
empedu n. Regurgitas
g. Perubahan bising usus (mis., o. Muntah
tidak ada, hipoaktif, hiperaktif)
h. Diare

Sedangkan faktor resiko dari disfungsi motilitas gastrointestinal adalah :


a. Ansietas f. Malnutrisi
b. Pemberian makanan enterai g. Mediaksil
c. Intoleransi makanan (mis.gluten,
(mis.,narkotik/opiate, laksatif.
laktosa)
antibiotic, anestesi)
d. Imobilitas
h. Prematuritas
e. Makan kontaminan (mis.,
i. Gaya hidup monoton
makanan, air) j. Pembedahan

4
2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

2.2.1 FISIOLOGI SALURAN PENCERNAAN

Gambar 2. 1 Saluran Pencernaan

Saluran gastrointestinal (GI) adalah jalur (panjang totalnya 23-26 kaki)


yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung, usus, dan sampai anus.
Esofagus terletak di rongga mediastinum rongga thorakal, anterior terhadap tulang
punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang dapat
mengempis ini, yang panjangnya kira-kira 25 cm (10 inchi) menjadi distensi
apabila makanan melewatinya.
Bagian sisa dari saluran gastrointestinal terletak di dalam rongga
peritoneal. Lambung ditempatkan di bagian atas abdomen sebelah kiri dari bagian
tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang
dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira 1500 ml. Inlet ke lambung disebut
pertemuan esofagogastrik. Bagian ini dikelilingi oleh cincin otot halus, disebut
sfingter esofagus bawah (sfingter kardia), dimana ketika berkontraksi akan
menutup lambung dari esofagus. Lambung dapat dibagi ke dalam empat bagian
anatomis, yaitu kardia (jalan masuk), fundus, korpus, dan pilorus (outlet). Otot
halus sirkuler di dinding pilorus membentuk sfingter piloris dan mengontrol
lubang diantara lambung dan usus halus.

5
Gambar 2.2 Anatomi Lambung

Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran GI, yang jumlah
panjangnya kira-kira 2/3 dari panjang total saluran. Bagian ini membalik dan
melipat diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan untuk sekresi
dan absorbsi. Usus halus dibagi kedalam tiga bagian anatomis yaitu bagian atas
disebut duodenum, bagian tengah yeyunum, dan bagian bawah disebut ileum.
Duktus koledokus, yang memungkinkan untuk pasase baik empedu dan sekresi
pankreas, mengosongkan diri ke dalam duodenum pada ampula vater.
Pertemuan antara usus halus dan besar terletak di bagian bawah kanan
duodenum, disebut seikum. Pada pertemuan ini yaitu katup ileosekal yang
berfungsi untuk mengontrol pasase isi usus ke dalam usus besar dan mencegah
refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini terdapat appendiks
veriformis. Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen,
segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri, dan
segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Bagian ujung dari usus besar terdiri dari
dua bagian yaitu kolon sigmoid dan rektum. Rektum berlanjut pada anus. Jalan
keluar anal diatur oleh jaringan otot lurik yang membentuk baik sfingter internal
dan eksternal.

6
Sirkulasi Darah Saluran Pencernaan

Pembuluh darah saluran gastrointestinal merupakan bagian dari sistem


yang lebih luas, yang disebut sirkulasi splanknik. Sirkulasi ini meliputi aliran
darah yang melalui usus sendiri ditambah aliran darah melalui limpa, pankreas,
dan hati.
Saluran pencernaan mendapatkan suplai darahnya dari banyak arteri yang
berasal dari sepanjang seluruh aorta torakal dan abdominal. Bagian pentingnya
adalah arteri gastrik dan arteri mesenterik inferior. Oksigen dan nutrien disuplai ke
lambung oleh arteri gastrik. Komponen esensial ini disuplai ke usus oleh arteri
mesenterik. Darah dialirkan dari organ ini oleh vena –vena yang bergabung
dengan vena lainnya dalam abdomen untuk membentuk pembuluh darah besar
yang disebut vena portal. Darah kaya nutrisi kemudian dibawa ke hepar. Aliran
darah ke seluruh saluran GI kira-kira 20% dari total curah jantung ini meningkat
secara bermakna setelah makan.
Saat memasuki dinding usus, arteri bercabang dan mengirimkan arteri
arteri kecil mengelilingi usus dengan ujung-ujung arteri ini bertemu pada sisi
dinding usus yang berlawanan dengan pelekatan arteri mesenterika. Dari arteri
yang berkeliling, masih ada arteri-arteri lebih kecil yang melakukan penetrasi ke
dalam dinding usus dan menyebar di sepanjang berkas otot, ke dalam vili
intestinal, dan ke dalam pembuluh submukosa di bawah epitelium untuk
menyediakan fungsi sekretoris dan absorbsi pada usus.

Gambar 2.3 Aliran Darah Gastrointestinal

7
Dalam kondisi normal aliran darah dalam setiap daerah traktus
gastrointestinal dan dalam setiap lapisan dinding usus secara langsung
berhubungan dengan tingkat aktivitas setempat. Sebagai contoh, selama absorbsi
aktif zat makanan, aliran darah di dalam vili dan daerah submukosa yang
berdekatan meningkat sebanyak delapan kali lipat. Demikian juga, aliran darah
dalam lapisan otot dinding usus meningkat bersamaan dengan peningkatan
aktivitas motorik dalam usus. Sebagai contoh, setelah makan aktivitas motorik,
sekretorik, dan absorbsi semuanya meningkat, demikian juga aliran darah sangat
meningkat namun kemudian kembali turun ke tingkat istirahat setelah 2-4 jam
kemudian. Penyebab peningkatan aliran darah selama peningkatan aktivitas
gastrointestinal diantaranya adalah :
1. Beberapa zat vasodilator dilepaskan dari mukosa traktus intestinal selama
proses pencernaan. Sebagian besar zat vasodilator ini adalah hormon
peptida termasuk kolesistokinin, peptida intestinal vasoaktif, gastrin, dan
sekretin. Hormon-hormon ini juga mengontrol aktivitas motorik dan
sekretorik spesifik dari usus.
2. Beberapa kelenjar gastrointestinal juga melepaskan dua kinin, kallidin, dan
bradikinin ke dalam dinding usus, pada saat yang bersamaan ketika kelenjar
mengeluarkan zat-zat yang lain ke dalam lumen. Kinin-kinin ini merupakan
vasodilator kuat yang diyakini menyebabkan peningkatan vasodilatasi
mukosa yang terjadi sepanjang sekresi.
3. Penurunan konsentrasi oksigen dalam dinding usus dapat meningkatkan
aliran darah intestinal paling sedikit 50-100%. Karena itu, peningkatan
kecepatan metabolik mukosa dan dinding usus selama aktivitas usus mungkin
menurunkan konsentrasi oksigen hingga cukup untuk menyebabkan
vasodilatasi. Penurunan oksigen dapat juga menimbulkan peningkatan
adenosin sebanyak empat kali lipat, suatu vasodilator terkenal yang dapat
menimbulkan peningkatan aliran.
Countercurrent Aliran Darah dalam vili menyebabkan aliran arteri ke
dalam vilus dan aliran vena keluar dari vilus berada dalam arah yang berlawanan

8
satu sama lain. Oleh karena pengaturan pendarahan ini, sebagian besar oksigen
darah berdifusi keluar dari arteriol secara langsung masuk ke dalam venula yang
berdekatan tanpa terbawa dalam darah ke ujung-ujung vili. Dalam kondisi normal,
pirau oksigen dari arteriol ke venula ini tidak berbahaya bagi vili, tetapi pada
keadaan sakit ketika aliran darah ke usus menjadi sangat terbatas seperti pada
syok sirkulasi, defisit oksigen pada ujung vili dapat menjadi sangat besar sehingga
ujung vili atau bahkan seluruh vili mengalami kematian akibat iskemik dan dapat
mengalami disintegrasi.
Pengontrolan saraf terhadap aliran darah gastrointestinal dilakukan oleh
saraf parasimpatis yang menjalar ke lambung dan kolon bagian bawah akan
meningkatkan aliran darah setempat yang pada saat bersamaan rangsangan ini
juga meningkatkan sekresi kelenjar. Peningkatan aliran ini kemungkinan
merupakan akibat sekunder peningkatan aktivitas kelenjaar dan tidak sebagai efek
langsung perangsangan saraf. Sebaliknya Perangsangan saraf simpatis memberi
efek langsung pada hampir seluruh traktus gastrointestinal yang menyebabkan
vasokonstriksi yang kuat pada arteriol dengan penurunan aliran darah yang besar.
Setelah beberapa menit mengalami vasokonstriksi, aliran sering kembali
mendekati normal melalui mekanisme yang disebut “autoregulatory escape”.
Artinya, mekanisme vasodilator metabolik lokal yang ditimbulkan oleh iskemia
meniadakan vasokonstriksi simpatis, mengembalikan ke arah normal aliran darah
bahan makannan yang penting ke kelenjar-kelenjar gastrointestinal dan otot.
Makna utama vasokonstriksi simpatis dalam usus adalah bahwa
vasokomstriksi tersebut membuat aliran darah gastrointestinal dan aliran darah
splanknik lain tertutup dalam waktu singkat selama kerja fisik yang hebat, ketika
otot rangka dan jantung membutuhkan peningkatan aliran darah. Juga, pada syok
sirkulasi, saat semua jaringan vital tubuh dalam keadaan bahaya kematian sel
karena tidak adanya aliran darah terutama otak dan jantung, perangsangan
simpatis dapat mengurangi aliran darah splanknik dari sangat singkat sampai
berjam-jam.
Perangsangan simpatis juga menyebabkan vasokonstriksi kuat pada vena-
vena intestinal dan mesenterik bervolume besar. Hal ini menurunkkan volume

9
vena-vena ini, dengan demikian memindahkan sejumlah besar darah ke bagian
lain sirkulasi.

Persarafan Saluran Gastrointestinal

Traktus gastrointestinal memiliki sistem persarafan sendiri yang disebut


sistem saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari
esofagus dan memanjang sampai ke anus. Sistem saraf enterik terutama terdiri
dari dua pleksus, yaitu satu pleksus bagian luar yang terletak diantara lapisan otot
longitudinal dan sirkular, disebut pleksus mienterikus atau pleksus Auerbach, dan
satu pleksus bagian dalam disebut pleksus submukosa atau pleksus Meissner,
yang terletak di dalam submukosa.
Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan gastrointesstinal, dan
pleksus submukosa terutama mengatur sekresi gastrointestinal dan aliran darah
lokal. Perangsangan oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis dapat sangat
meningkatkan atau menghambat fungsi gastrointestinal. Ujung-ujung saraf
simpatis yang berasal dari epitel gastrointestinal atau dinding usus dan
mengirimkan serat-serat aferen ke kedua pleksus sistem enterik dan ke ganglia
prevertebra dari sistem saraf simpatis, ke medula spinalis, dan ke dalam saraf
vagus menuju ke batang otak. Saraf-saraf sensorik ini dapat mengadakan refleks-
refleks lokal di dalam dinding usus itu sendiri dan refleks-refleks lain yang
dihantarkan ke usus baik dari ganglia prevertebra maupun dari daerah basal otak.
Pleksus mienterikus terutama berperan pada pengaturan aktivitas otot di
sepanjang usus. Bila pleksus ini dirangsang, efeknya yang utama adalah :
1. Peningkatan kontraksi tonik atau tonus dinding usus.
2. Peningkatan intensitas kontraksi ritmis.
3. Sedikit peningkatan kecepatan irama kontraksi.
4. Peningkatan kecepatan konduksi gelombang eksitatoris di sepanjang
dinding usus, menyebabkan gerakan gelombang peristaltik usus yang lebih
cepat.
Berbeda dengan pleksus mienterikus, pleksus submukosa berperan pada
pengaturan fungsi di dalam dinding sebelah dalam dari tiap bagian kecil segmen
usus. Sebagai contoh, banyak sinyal sensorik berasal dari epitel gastrointestinal

10
dan kemudian bersatu dalam pleksus suubmukosa untuk membantu mengatur
sekresi intestinal lokal, absorbsi lokal, dan kontraksi otot submukosa lokal yang
menyebabkan bberbagai tingkat pelipatan mukosa gastrointestinal.

Jenis-Jenis Neurotransmitter yang Disekresi Oleh Neuron-Neuron Enterik

Adapun zat-zat neurotransmitter yang berbeda yang dilepaskam oleh


ujung-ujung ssaraf berbagai tipe neuron enterik, dua dari neurotransmitter yang
telah kita kenal adalah asetilkolin dan norepinefrin. Lainnya adalah adenosin
trifosfat, serotonin, dopamin, kolesistokinin, substansi P, polipeptida intestinal
vasoaktif, somatostatin, lei-enkefalin, met-enkefalin, dan bombesin.
Asetilkolin paling sering merangsang aktivitas gastrointestinal.
Norepinefrin haampir selalu menghambat aktivitas gastrointestinal. Hal ini juga
berlaku pada epinefrin, yang mencapai traktus gastrointestinal terutama lewat
aliran darah setelah disekresikan oleh medula adrenal ke dalam sirkulasi.
Substansi transmitter lain yang disebutkan tadi adalah gabungan bahan-bahan
eksitator dan inhibitor.
Perangsangan parasimpatis meningkatkan aktivitas saraf enterik.
Persarafan parasimpatis ke usus dibagi atas divisi kranial dan divisi sakral.
Kecuali untuk beberapa serat-serat parasimpatis ke regio mulut dan faring dari
saluran pencernaan, serat-serat saraf parasimpatis kranial hampir seluruhnya di
dalam saraf vagus. Serat-serat ini memberi inervasi yang luas pada esofagus,
lambung, pankreas, dan sedikit ke usus ssampai separuh bagian pertama usus
besar. Parasimpatis sakral berasal dari segmen sakral kedua, ketiga, dan keempat
medula spinalis serta berjalan melalui saraf pelvis ke separuh bagian distal usus
besar dan sepanjang anus. Area sigmoid, rektum, dan anus diperkirakan mendapat
persarafan parasimpatis yang lebih baik daripada usus yang lain. Fungsi serat-
serat ini terutama menjalankan refleks defekasi.
Neuron-neuron postganglionik dan sistem parasimpatis gastrointestinal
terletak terutama di pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Perangsangan

11
saraf parasimpatis ini menimbulkan peningkatan umum aktivitas seluruh sistem
saraf enterik.
Perangsangan simpatis biasanya menghambat aktivitas traktus
gastrointestinal. Serat-serat simpatis yang berjalan ke traktus gastrointestinal
berasal dari medula spinalis antara segmen T-5 dan L-2. Sebagian besar serat
preganglionik yang mempersarafi usus, sesudah meninggalkan medula memasuki
rantai simpatis yang terletak di sisi lateral kolumna spinalis, dan banyak dari serat
ini kemudian berjalan melalui rantai ke ganglia yang terletak jauh seperti ganglion
seliaka serta berbagai ganglion mesenterika. Kebanyakan badan neuron simpatis
postganglionik berada di ganglia ini, dan serat-serat postganglionik lalu menyebar
melalui saraf simpatis postganglionik ke semua bagian usus. Sistem simpatis pada
dasarnya menginervasi seluruh traktus gastrointestinal, tidak hanya meluas dekat
dengan rongga mulut dan anus, sebagaimana yang berlaku pada sistem
parasimpatis. Ujung-ujung saraf simpatis sebagian besar menyekresikan
norepinefrin dan juga epinefrin dalam jumlah sedikit.
Pada umumnya perangsangan sistem saraf simpatis menghambat aktivitas
traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem saraf parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan
pengaruhnya melalui dua cara :
1. Pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung sekresi norepinefrin
untuk menghambat otot polos traktus intestinal (kecuali otot mukosa yang
tereksitasi oleh norepinefrin).
2. Pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibisi norepinefrin pada
neuron-neuron seluruh sistem saraf enterik.
Perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat menginhibisi gerakan motor
usus begitu hebat sehingga benar-benar dapat menghentikan pergerakan makanan
melalui traktus gastrointestinal.
Serat saraf sensorik aferen banyak mempersarafi usus, beberapa
diantaranya mempunyai badan sel di dalam sistem saraf enterik itu sendiri dan
beberapa pada akar dorsal ganglia medula spinalis. Saraf-saraf sensorik ini dapat
dirangsang oleh iritasi mukosa usus, peregangan usus yang berlebihan, atau

12
adanya zat kimia yang spesifik dalam usus. Sinyal-sinyal yang dikirimkan melalui
serat-serat tersebut kemudian dapat menimbulkan eksitasi atau pada beberapa
keadaan lain, inhibisi gerakan intestinal atau sekresi intestinal.

Refleks-Refleks Gastrointestinal

Pengaturan anatomis sistem saraf enterik serta hubungannya dengan sistem


saraf simpatis dan parasimpatis mendukung tiga jenis refleks gastrointestinal yang
sangat berguna untuk pengaturan gastrointestinal. Refleks tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Refleks-refleks yang seluruhnya terintegrasi di dalam sistem saraf enterik
dinding usus. Refleks-refleks tersebut meliputi refleks-refleks yang mengatur
banyak sekresi gastrointestinal, peristaltik, kontraksi mencampur, efek
penghambatan lokal, dan sebagainya.
2. Refleks-refleks dari usus ke ganglia simpatis prevertebra dan kemudian
kembali ke traktus gastrointestinal. Refleks-refleks ini mengirim sinyal jarak
jauh ke daerah traktus gastrointestinal lain, seperti sinyal dari lambung untuk
menyebabkan pengosongan kolon (refleks gastrokolik), sinyal dari kolon dan
usus halus untuk menghambat motilitas lambung dan sekresi lambung
(refleks enterogastrik), dan refleks-refleks dari kolon untuk menghambat
pengosongan isi ileum ke dalam kolon (refleks kolonoileal).
3. Refleks-refleks dari usus ke medula spinalis atau batang otak dan
kemudian kembali ke traktus gastrointestinal. Refleks-refleks ini terutama
meliputi refleks-refleks yang berasal dari lambung dan duodenum ke batang
otak dan kembali ke lambung melalui saraf vagus untuk mengatur aktivitas
motorik dan sekretorik lambung, refleks-refleks nyeri yang menimbulkan
hambatan umum pada seluruh traktus gastrointestinal, dan refleks-refleks
defekasi yang berjalan dari kolon dan rektum ke medula spinalis dan kembali
lagi untuk menimbulkan kontraksi yang kuat pada kolon, rektum, dan
abdomen yang diperlukan untuk defekasi (refleks defekasi).

13
Pengaturan Hormon Terhadap Motilitas Gastrointestinal

Hormon-hormon gastrointestinal dilepaskan ke dalam sirkulasi portal dan terjadi


aktivitas fisiologis pada sel-sel target dengan reseptor-reseptor khusus untuk
hormon tersebut. Efek hormon-hormon tersebut tetap berlangsung bahkan setelah
semua hubungan saraf antara tempat pelepasan dan tempat kerja hormon telah
diputus.

Tabel 2.1 Kerja Hormon Gastrointestinal, Rangsang untuk Sekresi, dan


Tempat Sekresi.

Hormon Rangsang untuk Sekresi Tempat Sekresi Kerja


Gastrin Protein Sel-sel G di antrum, duodenum, Merangsang :
Distensi dan yeyunum sekresi asam lambung.
Saraf (Acid Inhibits Release) Pertumbuhan mukosa.
Kolesistokinin Protein Sel-sel I duodenum, yeyunum, Merangsang :
Lemak dan ileum Sekresi enzim pankreas.
Asam Sekresi bikarbonat.
Kontraksi kandung
empedu.
Pertumbuhan kelenjar
eksokrin pankreas.
Menghambat :
Sekresi asam lambung.
Sekretin Asam Sel-sel S duodenum, yeyunum, Merangsang :
Lemak dan ileum Sekresi pepsin.
Sekresi bikarbonat
pankreas.
Sekresi bikarbonat empedu.
Pertumbuhan kelenjar
eksokrin pankreas.
Menghambat :
Sekresi asam lambung.
Peptida Protein Sel-sel K duodenum dan Merangsang :
penghambat Karbohidrat yeyunum Pelepasan insulin.
lambung Lemak Menghambat :
Sekresi asam lambung.
Motilin Lemak Sel-sel M duodenum dan Merangsang :
Asam yeyunum Gerakan lambung.
Saraf Gerakan usus.
Sumber: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran

Terjadi dua jenis gerakan di dalam traktus gastrointestinal, yaitu :

14
1. Gerakan Propulsif – Peristaltik
Gerakan propulsif (mendorong) dasar pada traktus gastrointestinal adalah
peristaltik. Suatu cincin kontraksi timbul di sekitar usus dan kemudian
bergerak maju. Hal ini analog dengan meletakkan jari-jari seseorang
mengelilingi sebuah tabung tipis yang teregang dan kemudian
mengkonstriksikan jari-jari tersebut dan menggesernya maju sepanjang
tabung.
Peristaltik merupakan sifat bawaan yang dimiliki oleh banyak saluran
sinsitium otot polos, perangsangan pada titik manapun dalam usus dapat
menyebabkan munculnya cincin kontraksi dalam otot sirkular, dan cincin ini
kemudian menjalar sepanjang saluran usus (peristaltik juga terjadi di dalam
duktus biliaris, duktus kelenjar, ureter, dan banyak saluran otot polos lain
dalam tubuh).
Rangsangan umum untuk peristaltik usus adalah distensi usus. Yaitu, bila
sejumlah besar makanan terkumpul pada titik manapun dalam usus,
peregangan dinding usus akan merangsansg sistem saraf enterik untuk
menimbulkan kontraksi dinding usus 2-3 cm di belakang titik tersebut, dan
timbul sebuah cincin kontraksi yang menimbulkan gerakan peristaltik.
Peristaltik timbul secara lemah atau tidak terjadi sama sekali pada bagian
manapun dari traktus gastrointestinal yang tidak mempunyai pleksus
mienterikus secara kongenital. Demikian pula, akan terjadi penekanan hebat
atau penghambatan total peristaltik pada seluruh usus bila seseorang diobati
dengan atropin untuk melumpuhkan ujung-ujung saraf kolinergik dan pleksus
mienterikus. Oleh karena itu, peristaltik yang efektif memerlukan sebuah
pleksus mienterikus yang aktif.
Secara teoritis, peristaltik dapat terjadi ke arah manapun dari titik
perangsangan, tetapi secara normal hilang dengan cepat ke arah orad (ke arah
mulut), sementara yang menuju anus terus berlangsung sampai jarak yang
cukup jauh. Penyebab pasti penjalaran terarah peristaltik ini tidak pernah
dipastikan, walaupun kemungkinan terutama akibat dari fakta bahwa pleksus
mienterikus itu sendiri telah “dipolarisasikan” ke arah anus yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :

15
Refleks peristaltik dan “Hukum Usus”. Bila suatu segmen traktus intestinal
dirangsang oleh distensi dan dengan demikian menimbulkan peristaltik,
cincin kontraksi yang menimbulkan peristaltik secara normal mulai bergerak
sedikit pada sisi oral segmen yang teregang dan bergerak ke arah segmen
yang teregang, mendorong isi usus ke arah anus sejauh 5-10 cm sebelum
menghilang. Pada waktu yang bersamaan, usus kadang-kadang berelaksasi
beberapa sentimeter ke arah anus, yang disebut relaksasi reseptif, sehingga
memungkinkan makanan terdorong lebih mudah ke arah anus daripada ke
arah mulut. Pola yang kompleks ini tidak terjadi bila tidak ada pleksus
mienterikus. Oleh karena itu, kompleks ini disebut refleks mienterikus atau
refleks peristaltik. Refleks peristaltik ditambah gerakan peristaltik ke arah
anus disebut “hukum usus”.
2. Gerakan Mencampur
Pada beberapa tempat, kontraksi peristaltik sendiri menyebabkan sebagian
besar pencampuran. Hal ini khususnya terjadi bila gerakan maju isi usus
dihambat oleh sebuah sfingter sehingga gelombang peristaltik kemudian
hanya dapat mengaduk isi usus dan bukan mendorongnya ke depan. Pada saat
lain kontraksi konstriktif intermitten lokal terjadi setiap beberapa sentimeter
dalam dinding usus. Konstriksi ini biasanya berlangsung hanya 5-30 detik,
kemudian konstriksi yang baru akan timbul pada tempat lain dalam usus, jadi
proses :mencacah” dan “memotong” isi usus pertama kali di sini dan
kemudian di tempat lain. Gerakan peristaltik dan konstriktif dimodifikasi
dalam berbagai bagian traktus gastrointestinal untuk mendorong dan
mencampur dengan baik.

Otot Polos Gastrointestinal

16
Gambar 2. 4 Potongan melintang usus yang khas

Gambar 2.4 menunjukkan potongan melintang yang khas dinding usus,


meliputi lapisan-lapisan dari permukaan luar sampai ke dalam : lapisan serosa,
lapisan otot polos longitudinal, lapisan otot poloss sirkular, lapisan submukosa,
dan lapisan mukosa. Selain itu, terdapat berkas tipis serat-serat otot polos, yaitu
otot mukosa yang terletak di lapisan dalam dari mukosa. Fungsi motorik usus
dilakukan oleh berbagai lapisan otot polos tadi.
Ciri-ciri khas otot polos usus adalah sebagai berikut :

Otot polos gastrointestinal yang berfungsi sebagai, sinsitium.

Serat-serat otot polos traktus gastrointestinal mempunyai panjang 200-500


mikrometer dan diameter 2-10 mikrometer, dan serat-serat otot polos tersebut
tersusun dalam berkas sebanyak 1.000 serat paralel. Dalam lapisan otot
longitudinal, berkas-berkas tersebut membentang panjang menuruni traktus
intestinal, dalam lapisan otot sirkular berkas-berkas tersebut membentang
mengelilingi usus.

Dalam setiap berkas, serat-serat otot dihubungkan secara listrik satu


terhadap yang lain melalui sejumlah besar taut erat (gap junction), yang
menimbulkan gerakan ion yang bertahanan rendah dari satu sel otot ke sel otot
berikutnya. Oleh karena itu sinyal-sinyal listrik yang mengawali kontraksi otot

17
dapat segera berjalan dari satu serat ke serat berikutnya dalam setiap berkas, tetapi
penjalaran ini berlangsung secara lebih cepat di sepanjang berkas daripada di sisi
berkas.
Setiap berkas serat otot polos sebagian dipisahkan dari yang lain oleh
jaringan ikat longgar, tetapi berkas otot tersebut bersatu dengan yang lain pada
banyak titik, sehingga dalam keadaan sebenarnya setiap lapisan otot mewakili
kisi-kisi cabang berkas otot polos. Oleh karena itu, setiap lapisan otot berfungsi
seperti sinsitium, yaitu bila terbentuk sebuah potensial aksi dimanapun dalam
massa otot, potensial aksi biasanya berjalan ke semua arah dalam otot. Jarak yang
ditempuh bergantung pada eksitabilitas otot, kadang-kadang potensial aksi ini
terhenti setelah berjalan hanya beberapa milimeter, dan pada saat lain setelah
beberapa sentimeter atau bahkan setelah seluruh panjang dan tebal traktus
intestinal.
Otot polos traktus gastrointestinal hampir terus-menerus tereksitasi oleh
aktivitas listrik intrinsik yang lambat melalui membran serabut otot. Aktivitas ini
memiliki dua tipe dasar gelombang listrik : gelombang lambat dan gelombang
paku. Selain itu, tegangan potensial membran istirahat otot polos gastrointestinal
dapat diubah-ubah menjadi tingkat yang berbeda-beda, dan keadaan ini dapat pula
menjadi pengaruh penting terhadap pengaturan aktivitas motorik traktus
gastrointestinal.
1. Gelombang lambat
Sebagian besar kontraksi gastrointestinal berlangsung secara berirama dan
irama ini terutama ditentukan oleh frekuensi dari apa yang disebut
“gelombang lambat” dalam potensial membran otot polos. Penyebab pasti
gelombang lambat tidak sepenuhnya dimengerti, walau gelombang lambat itu
tampaknya disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara sel otot polos dan
sel khusus, yang disebut sel interstisial Cajal, yang diyakini berfungsi sebagai
pacemaker listrik untuk sel otot polos. Sel-sel interstisial ini membentuk
suatu jaringan satu sama lain dan tersisip diantara lapisan otot polos, dengan
kontak mirip sinaps ke sel otot polos. Sel interstisial Cajal menjalani
perubahan siklik pada potensial membran akibat kanal ion yang unik yang

18
secara berkala membuka dan menghasilkan aliran masuk (pacemaker) yang
dapat membangkitkan aktivitas gelombang lambat.
Gelombang lambat biasanya tidak menyebabkan kontraksi otot secara
tersendiri pada bagian besar traktus gastrointestinal, kecuali mungkin di
lambung. Sebaliknya gelombang itu terutama merangsang munculnya
potensial paku yang intermitten, dan potensila paku ini kemudian merangsang
terjadinya kontraksi otot.
2. Potensial paku
Potensial paku merupakan potensial aksi yang sebenarnya. Potensial ini
timbul secara otomatis bila potensial membran istirahat otot polos
gasstrointestinal menjadi lebih positif dari sekitar -40 milivolt (potensial
adalah antara -50 dan -60 milivolt). Pada otot gastrointestinal, potensial paku
berlangsung 10-40 kali lebih lama seperti halnya potensial aksi di serat sraf
yang besar, setiap gelombang paku gastrointestinal berlangsung selama 10-20
milidetik.
Perbedaan penting lain antara potensial aksi otot polos gastrointestinal dan
potensial aksi di serat-serat saraf adalah cara potensial tersebut dibangkitkan.
Pada serat-serat saraf, potensial aksi hampir seluruhnya disebabkan oleh
masuknya ion-ion natrium yang berlangsung cepat melalui kanal natrium ke
bagian dalam serat-serat. Pada serat-serat otot polos gastrointestinal, kanal
yang bertanggung jawab untuk potensial aksi agak berbeda, yaitu kanal ini
khususnya mengijinkan sejumlah besar ion kalsium untuk masuk bersama
dengan sejumlah kecil ion natrium, dan karena itu disebut kanal kalsium-
natrium. Kanal ini terbuka dan tertutup jauh lebih lambat daripada kanal
natrium cepat pada serat-serat saraf besar. Lambatnya pembukaan dan
penutupan kanal kalsium – natrium menimbulkan potensial aksi lebih lama.
Juga pergerakan sejumlah besar ion kalsium ke bagian dalam serat otot
selama potensial aksi memainkan suatu peranan penting dalam menimbulkan
kontraksi serat-serat otot intestinal.
Selain potensial gelombang lambat dan paku, tingkat dasar voltase
potensial membran istirahat. Bila potensial menjadi kurang negatif, yang
disebut depolarisasi membran, serat otot menjadi lebih mudah dirangsang.

19
Bila potensial menjadi lebih negatif, yang disebut hiperpolarisasi, serat-serat
otot menjadi kurang mudah dirangsang.
Beberapa faktor yang menyebabkan depolarisasi membran artinya, yang
dapat membuat membran lebih peka rangsang adalah : peregangan otot,
perangsangan oleh asetilkolin yang dilepaskan dari ujung-ujung saraf-saraf
parasimpatis, dan perangsangan oleh beberapa hormon gasstrointestinal
khusus.
Faktor-faktor penting yang membuat potensial membran lebih negatif
yaitu hiperpolarisasi membran dan membuat serat otot kurang peka rangsang
adalah pengaruh norepinefrin atau epinefrin pada membran serabut, dan
perangsangan saraf-saraf simpatis yang terutama mensekresi norepinefrin
pada ujung-ujungnya.

Kontraksi tonik beberapa otot polos gastrointestinal

a. Beberapa otot polos traktus gastrointestinal memperlihatkan kontraksi


tonik dan/menggantikan kontraksi ritmis. Kontraksi tonik bersifat kontinu,
tidak berlangsung beberapa menit atau bahkan beberapa jam. Intensitas
kontraksi tonik sering meningkat atau menurun tetapi berlangsung kontinu.
b. Kontraksi tonik kadang-kadang disebabkan oleh potensial paku berulang-
ulang yang kontinu, makin besar frekuensi makin besar derajat kontraksi.
Pada saat lain kontraksi tonik disebabkan oleh hormon-hormon atau faktor
lain yang menimbulkan depolarisasi sebagian yang kontinu pada membran
otot polos tanpa menimbulkan potensial aksi.
c. Masuknya ion kalsium yang terus menerus ke bagian dalam sel yang tidak
berhubungan dengan perubahan potensial membran.

Kerja Lambung

Lambung mensekresi cairan yang sangat asam dalam berespons atau


sebagai antisipasi terhadap pencernaan makanan. Cairan ini dapat mempunyai pH
serendah 1, memperoleh keasamannya dari aam hidroklorida yang disekresikan
oleh kelenjar lambung. Fungsi sekresi asasm ini dua kali lipat, yaitu :

20
1. Untuk memecah makanan menjadi komponen yang lebih dapat diabsorbsi.
2. Untuk membantu destruksi kebanyakan bakteri pencernaan.
Sekresi lambung juga mengandung enzim pepsin yang penting untuk
memulai pencernaan protein,. Faktor intrinsik juga disekresi oleh mukosa gaster.
Senyawa ini berkombinasi dengan vitamin B12 dalam diet sehingga vitamin dapat
diabsorbsi di dalam ileum. Tidak adanya faktor intrinsik menyebabkan vitamin
B12 tidak dapat diabsorbsi dan mengakibatkan anemia pernisiosa.
Tabel 2.2 Enzim Pencernaan Utama
Enzim Sumber Enzim Kerja Pencernaan
Kerja enzim yang mencerna karbohidrat
Ptialin (amilase saliva) Kelenjar saliva Zat pati→dekstrin, maltosa, glukosa
Amilase Pankreas Zat pati→dekstrin, maltosa, glukosa
Dekstrin→maltosa, glukosa
Maltase Mukosa usus Malltosa→glukosa
Sukrosa Mukosa usus Sukrosa→glukosa, fruktosa
Laktosa Mukosa usus Laktosa→glukosa, galaktosa
Kerja enzim yang mencerna protein
Pepsin Mukosa lambung Protein→polipeptida
Tripsin Pankreas Protein dan polipeptida→polipeptida,
dipeptida, asam amino
Aminopeptidase Mukossa usus Polipeptida→dipeptida, asam amino
Dipeptida Mukosa usus Dipeptida→asam amino
Kerja enzim yang mencerna lemak (Trigliserida)
Lipase faringeal Mukosa faring Trigliserida→asam lemak, digliserida,
monogliserida
Steapsin Mukosa gaster Trigliserida→asam lemak, digliserida,
monogliserida
Lipase pankreas Pankreas Trigliserida→asam lemak, digliserida,
monogliserida
Sumber: Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, hal. 986

Tabel 2.3 Zat Pengatur Gastrointestinal Utama


Zat Stimulus untuk produksi Jaringan target Efek pada sekresi Efek pada motilitas
Neuroregulator
Asetilkolin Melihat, mencium, Kelenjar lambung, Peningkatan asam Secara umum
mengunyah makanan, kelenjar sekretori lambung meningkat,
distensi lambung lain, otot penurunan tonus
gastrointestinal sfingter
Norepinefrin Stres, berbagai Kelenjar Secara umum Secara umum
rangsangan lain sekretorius, otot menghambat menurun,
usus-lambung meningkatkan
tonus sfingter
Pengatur hormonal
Gastrin Distensi lambung dengan Kelenjar lambung Peningkatan Peningkatan
makanan sekresi getah motilitas lambung,
lambung yang kaya penurunan waktu
dengan HCl yang diperlukan
untuk pengosongan
lambung, relaksasi

21
sfingter ileosekal,
eksitasi kolon,
konstriksi sfingter
gastroesofagus
Kolesistokinin Lemak dalam duodenum Kandung empedu Melepaskan
empedu ke dalam
duodenum
Pankreas Meningkatkan
produksi enzim-
kaya sekresi
pankreas
Lambung Sedikit Menghambat
menghambat kontraksi lambung
sekresi lambung
Sekretin pH kimus duodenum di Lambung Sedikit
bawah 4-5 menghambat
sekresi lambung
Pankreas Meningkatkan
prooduksi
bikarbonat-kaya
getah pankreas
Pengatur lokal
Histamin Tidak jelas, zat dalam Kelenjar lambung Meningkatkan
makanan produksi asam
lambung
Sumber: Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, hal. 987

Kontraksi peristaltik di dalam lambung mendorong isi lambungnya ke


arah pilorus. Karena partikel makanan besar tidak dapat melewati sfingter pilorus,
partikel ini diaduk kembali ke korpus lambung. Dengan cara ini, makanan di
dalam lambung secara mekanis dicampur dan dihancurkan menjadi partikel lebih
kecil.

Kerja Usus Halus

Proses pencernaan berlanjut ke duodenum. Sekresi di dalam duodenum


datang dari pankreas, hepar, dan kelenjar di dinding usus itu sendiri. Karakteristik
utama dari sekresi ini adalah kandungan enzim pencernaan yang tinggi. Sekresi
pankreas mempunyai pH alkalin, karena konsentrasi bikarbonatnya yang tinggi.
Ini menetralisasi asam yang memasuki duodenum dari lambung. Pankreas juga
mensekresi enzim pencernaan, termasuk tripsin, yang membantu dalam

22
pencernaan protein, amilase yang membantu dalam pencernaan zat pati, dan lipase
yang membantu dalam pencernaan lemak.
Empedu (disekresi oleh hepar dan disimpan di dalam kandung empedu)
membantu mengemulsikan lemak yang dicerna, sehingga membuatnya mudah
untuk dicerna dan diabsorbsi.
Sekresi kelenjar usus terdiri dari mukus, yang menyelimuti sel-sel dan
melindungi mukoisa dari serangan oleh asam hidroklorida , hormon, elektrolit,
dan enzim. Hormon, neuroregulator, dan regulator lokal ditemukan di dalam
sekresi usus, berfungsi menngontrol laju sekresi usus dan mempengaruhi motilitas
gastrointestinal.
Ada dua tipe kontraksi yang terjadi secara teratur di usus halus. Kontraksi
segmentasi, yang menghasilkan campuran gelombang yang menggerakkan isi
usus ke belakang dan ke depan dalam gerakan mengaduk. Peristaltik usus,
mendorong isi usus halus tersebut ke arah kolon.

Kerja Kolon

Dalam waktu 4 jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum
terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proksimal kolon melalui katup
ileosekal. Katup ini yang secara normal tertutup, membantu mencegah isi kolon
mengalir kembali ke usus halus. Pada setiap gelombang peristaltik, katup terbuka
secara singkat dan memungkinkan sebagian isinya masuk ke kolon.
Aktivitas peristaltik yang lemah, menggerakkan isi kilonik dengan
perlahan sepanjang saluran. Transpor lambat ini memungkinkan reabsorbsi efisien
terhadap air dan elektrolit. Gelombang perilstaltik kuat intermitten mendorong isi
untuk jarak tertentu.

23
Gambar 2. 5 Gambar Anatomi Kolon

Defekasi

Distensi rektum secara relatif mmenimbulkan kontraksi otot-ototnya dan


merilekskan sfingter anal internal yang biasanya tertutup. Sfingter internal
dikontrol oleh sistem saraf ototnom, yaitu sfingter eksternal di bawah kontrol
sadar dari korteks serebral. Selama defekasi, sfingter anal eksternal secara
volunter rileks untuk memungkinkan isi kolon keluar. Rata-rata frekuensi defekasi
pada manusia adalah sehari sekali, tetapi frekuensi nervariasi diantara individu :
a. Perubahan kebiasaan usus dapat memperberat penyakit kolonik.
Peningkatan pada frekuensi defekasi disebut diare, sebaliknya penururnan
frekuensi disenut konstipasi.
b. Populasi lansia cenderung mengalami perubahan frekuensi defekasi.
Feses terdiri dari bahan makanan yang tidak tercerna, materi anorganik, air,
dan bakteri.

Pathway Disfungsi Motilitas Gastrointestinal

24
2.3 Stroke

Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat


sekitar 150.000 kematian setiap tahunnya. Sekitar 550.000 orang mengalami
stroke setiap tahun. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada orang
dewasa dan merupakan diagnosis utama teratas dalam perawatan jangka
panjang. Sejalan dengan tingginya tingkat kematian pada stroke, penyakit ini
juga menyebabkan angka kesakitan atau morbiditas yang signifikan pada
orang-orang yang bisa bertahan dengan penyakit stroke. Sebesar 31% dari
orang tersebut membutuhkan bantuan untuk perawatan diri, 20%

25
membutuhkan bantuan untuk ambulasi, 71% memiliki gangguan dalam
kemampuan bekerja sampai tujuh tahun.
Menurut WHO, stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Hendro Susilo, 2000).
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya
suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002).
Jadi, dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah
gangguan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhambatnya aliran darah ke
otak dan dapat mengakibatkan kematian.
Klasifikasi stroke dapat dibedakan menurut patologi dan serangannya, yaitu:
1. Stroke Haemoragik
Stroke haemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena
pecahnya pembuluh arteri, vena, dan kapiler (Djoenaidi Widjaja et al,
1994). Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
a. Perdarahan Intraserebri (PIS)
PIS terjadi karena pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma)
terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam
jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang
terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena
herniasi otak.
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM.
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi
Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak
(Juwono, 1993). Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang
subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak, serebri yang
berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik, afasia, dan
lainnya).

26
Tabel 2.4 Perbedaan Perdarahan Intraserebri dengan Perdarahan
Subarakhnoid

Gejala PIS PSA

Timbulnya Dalam 1 jam 1-2 menit

Nyeri kepala Hebat Sangat hebat

Kesadaran Menurun Menurun sementara

Kejang Umum Sering fokal

Tanda rangsangan meningeal +/- +++

Hemiparase ++ +/-

Gangguan saraf otak + +++

Sumber: Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan

2. Stroke Nonhaemoragik
Dapat berupa iskhemia atau emboli dan trombosis serebri, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari.
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskhemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran
umumnya baik.

Tabel 2. 5 Perbedaan antara Stroke Haemoragik dengan Stroke


Nonhaemoragik

Gejala (Anamnesa) Stroke Nonhaemoragik Stroke Haemoragik

Awitan (onset) Sub akut kurang Sangat akut/mendadak

27
Waktu (saat terjadi awitan) Mendadak Saat aktivitas

Peringatan Bangun pagi/istirahat -

Nyeri kepala +50% TIA +++

Kejang +/- +

Muntah - +

Kesadaran menurun - +++

Kadang sedikit

Koma/kesadaran menurun +/- +++

Kaku kuduk - ++

Tanda kernig - +

Edema pupil - +

Perdarahan retina - +

Bradikardi Hari ke-4 Sejak awal

Penyakit lain Tanda adanya aterosklerosis di retina, Hampir selalu hipertensi,


koroner, dan perifer. Emboli pada aterosklerosis, HHD
kelainan katup, fibrilasi, bising
karotis.

Pemeriksaan darah pada LP - +

28
Rontgen + Kemungkinan pergeseran glandula
pineal

Angiografi Oklusi, stenosis Aneurisma, AVM, massa


intrahemisfer/vasospasme

CT Scan Densitas berkurang (lesi hipodensi) Massa intrakranial densitas bertambah


(lesi hiperdensi)

Oftalmoskop Fenomena silang Perdarahan retina atau korpus vitreum

Silver wire art

Lumbal pungsi:
Tekanan Normal Meningkat
Warna Jernih Merah
3
Eritrosit <250/mm >1000/mm3
Arteriografi
Oklusi Ada pergeseran

EEG Di tengah Bergeser dari bagian tengah

Sumber: Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan

Tabel 2. 6 Manifestasi Klinis Stroke Dihubungkan dengan Area Otak yang


Terkena Perbedaan antara Stroke Haemoragik dengan Stroke
Nonhaemoragik

Lokasi Arteri Serebral Tengah Arteri Serebral Anterior Arteri Serebral Posterior

Perubahan motorik Hemiparase Hemiparase kontralateral, Hemiparase kontralateral


kontralateral/hemiplegia, kerusakan pada kaki dan sedang (dengan bagian
kerusakan pada muka dan tungkai lebih besar daripada talamus dan subtalamus
lengan lebih besar daripada lengan, kaki jatuh, dan yang terlibat)
tungkai gangguan cara berjalan
Tremor yang terlihat

29
Perubahan sensoris Perubahan hemisensoris Gangguan hemisensoris Hilangnya difusi sensoris
kontralateral kontralateral (talamus)

Pengabaian ekstrimitas yang


terlibat

Perubahan visual atau Hemianopia homonimus Deviasi mata ke arah bagian Disfungsi pupil (bagian
okular yang terkena batang otak)
Ketidakmampuan untuk
menggerakkan mata ke arah Hilangnya kemampuan
bagian yang terkena menafsirkan gerakan,
nistagmus

Kebutaan kortikal

Hemianopia homonimus

Gagap

Disleksia

Penurunan daya ingat

Perubahan bicara Disleksia, disgrafia, afasia Afasia ekspresif Disleksia

Perubahan mental Penurunan daya ingat Kebingungan, amnesia Penurunan daya ingat

Efek datar, apatis

Rentang perhatian memendek

Kehilangan kecerdasan
mental

Perubahan lainnya Mungkin terjadi muntah Apraksia (ketidakmampuan Halusinasi visual


melakukan gerakan yang
bermakna pada area yang
terkena)

Inkontinensia

30
Ataksia ipsilateral

Paralisis pada wajah

Hemiparesis Terjadi kelemahan motorik Hilangnya sensasi pada wajah Ataksia


kontralateral dengan berulang bagian ipsilateral, perubahan
asimetri pada wajah sensasi pada bagian atas Paralisis pada laring dan
Gait ataksia (hilang kontrol badan dan bagian anggota langit-langit lunak
pada gerakan berjalan), tubuh ( tangan dan kaki)
dismetria (aksi yang tidak
Perubahan sensori terkontrol) Gangguan
kontralateral hemisensoris kontralateral Hilangnya sensasi pada
wajah bagian ipsilateral

Hemianopia homonimus Penglihatan ganda, hemianopia Nistagmus Nistagmus


homonimus
Periode kebutaan
ipsilateral (amaurosis Nistagmus, paralisis diam
fugax) tidak bergerak

Afasia jika belahan otak Disartria Disartria


yang dominan yang
terlibat

Sindrom Horner tingkat Hilang ingatan Sindrom Horner Sindrom Horner


sedang
Disorientasi

Jatuh secara tiba-tiba pada saat


berdiri (Drop attacks)

Bunyi abnormal pada Tinitus, hilang pendengaran Tinitus, hilang pendengaran Sendawa atau batuk
arteri karotis (Carotid
bruits) Vertigo Vertigo

Disfagia Mual, muntah

Koma atau sindrom lockes-in

31
Sumber: Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan

2.4 Patofisiologi dan Pathway Disfungsi Motilitas Gastrointestinal:


Konstipasi Pada Pasien Stroke

Aterosklerosis, hiperkoagulasi, artesis

Pembuluh darah oklusi

Iskemik jaringan otak

32
BAB III RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Tabel Rencana Asuhan Keperawatan

DIAGNOSA KEPERAWATAN : Disfungsi motilitas gastrointestinal b.d konstipasi e.c immobilisasi pada pasien stroke

NURSING OUTCOME

Skala Target Outcome: Dipertahankan pada 1x24 jam

Sangat Banyak Cukup Sedikit Tidak


Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu Terganggu

SKALA OUTCOME 1 2 3 4 5
KESELURUHAN

Indikator:

101501 Toleransi terhadap 1 2 3 4 5 NA

33
makanan

101524 Nafsu makan 1 2 3 4 5 NA

101525 Waktu pengosongan 1 2 3 4 5 NA


lambung

101503 Frekuensi BAB 1 2 3 4 5 NA

101504 Warna feses 1 2 3 4 5 NA

101505 Konsistensi feses 1 2 3 4 5 NA

101506 Jumlah feses 1 2 3 4 5 NA

101508 Bising usus 1 2 3 4 5 NA

101509 Warna cairan lambung 1 2 3 4 5 NA

101510 Jumlah residu cairan 1 2 3 4 5 NA


lambung ketika

34
aspirasi

101526 pH cairan lambung 1 2 3 4 5 NA

101527 Sserum albumin 1 2 3 4 5 NA

101528 Hematokrit 1 2 3 4 5 NA

101529 Glukosa darah 1 2 3 4 5 NA

Sangat Berat Berat Sedang Mild Tidak ada

SKALA OUTCOME KESELURUHAN 1 2 3 4 5

Indikator:

101513 Nyeri perut 1 2 3 4 5 NA

35
101514 Distensi perut 1 2 3 4 5 NA

101515 Perut melunak 1 2 3 4 5 NA

101516 Regurgitasi 1 2 3 4 5 NA

101530 Refluks lambung 1 2 3 4 5 NA

101517 Peningkatan peristaltik 1 2 3 4 5 NA

101520 Darah pada feses 1 2 3 4 5 NA

101521 Peningkatan hitung sel darah 1 2 3 4 5 NA


putih

101522 Penurunan hitung sel darah 1 2 3 4 5 NA


putih

101523 Diferensiasi hitung sel darah 1 2 3 4 5 NA


putih

36
101531 Dispepsia 1 2 3 4 5 NA

101532 Mual 1 2 3 4 5 NA

101533 Muntah 1 2 3 4 5 NA

101534 Hematemesis 1 2 3 4 5 NA

101535 Diare 1 2 3 4 5 NA

101536 Konstipasi 1 2 3 4 5 NA

101537 Penurunan berat badan 1 2 3 4 5 NA

101538 Perdarahan gastrointestinal 1 2 3 4 5 NA

NURSING INTERVENTION RASIONAL

Monitor tanda dan gejala konstipasi Untuk mengetahui lebih dini sehingga tidak terjadi konstipasi

37
Monitor (hasil produksi) pergerakan usus (feses), meliputi frekuensi, Jikaa terjadi penurunan gerakan usus, konsistensi keras, berbentuk feses yang kering, warna
konsistensi, bentuk, volume, dan warna, dengan cara yang tepat coklat

Monitor bising usus Konstipasi → penurunan bising usus

Konsultasikan dengan dokter mengenai penurunan frekuensi bising usus Untuk mendapatkan terapi segera, takutnya terjatuh ke dalam kontipasi

Jelaskan mengenai masalah dan rasionalisasi tindakan pada pasien Pasien tidak kaget/takut, pasien mengerti akan tindakan yang akan dilakukan sehingga tidak
malu

Idenntifikasi faktor-faktor (misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet) yang Untuk mencegah terjadinya konstipasi dan apabila sudah terjadi konstipasi dapat dilakukan
menyebabkan/berkontribusi terjadinya konstipasi tindakan kolaborasi dengan dokter untuk mendapatkan terapi laksatif untuk melunakkan
feses, menganjurkan klien mobilisasi sehingga peristaltik usus terangsang, diet rendah serat
untuk melancarkan saluran pencernaan

Buatlah jadwal untuk BAB dengan cara yang tepat Merangsang BAB dan membiasakan BAB keluar dengan rutin

Dukung peningkatan asupan cairan, jika tidak ada kontraindikasi Asupan cairan yang kurang dapat menyebabkan penyerapan cairan pada feses sehingga feses
kering. Apabila kondisi edema paru, asupan cairan dibatasi

Evaluasi jenis pengobatan yang memiliki efek samping pada gastrointestinal Untuk menghindari dan mencegah terjadinya distress gastrointestinal

38
Instruksikan pada pasien/keluarga pada diet tinggi serat dengan cara yang Diet tinggi serat yang berlebihan akan menyebabkan diare karena terjadi peningkatan dari
tepat bising usus

Instruksikan paien/keluarga mengenai hubungan antara diet, latihan, dan Makanan tinggi serat mempermudah proses pemcernaan, dibantu dengan asupan cairan untuk
asupan cairan terhadap kejadian konstipasi. melembekkan/melunakkan feses, dan latihan untuk merangsang pergerakan usus

Sarankan penggunaan laksatif dengan cara yang tepat. Ajarkan Laksatif berfungsi untuk melembabkan feses dan memudahkan pengeluarannya
pasien/keluarga mengenai kurun waktu dalam menyelesaikan terjadinya
konstipasi

Lakukan enema/irigasi dengan tepat Melunakkan feses sehingga pengeluaran feses lebih mudah

Berikan petunjuk kepada pasien untuk dapat berkonsultasi dengan dokter jika Konstipasi dapat segera diatasi
konstipasi masih tetap terjadi

Evaluasi catatan asupan untuk apa saja nutrisi yang telah dikonsumsi Dapat menghindarkan makanan-makanan yang dapat menyebabkan terjadinya konstipasi

39
NCP DISFUNGSI MOTILITAS GASTROINTESTINAL: KONSTIPASI
NO DIAGNOSIS KEPERAWATAN INTERVENSI IMPLEMENTASI
1. Konstipasi 1. Manajemen konstipasi 1. Memonitor tanda dan gejala konstipasi.
2. Memonitor (hasil produksi) pergerakan usus (feses), meliputi frekuensi,
konsistensi, bentuk, volume, dan warna dengan cara yang tepat.
3. Memonitor bising usus.
4. Mengkonsultasikan dengan dokter mengenai penurunan/peningkatan bising
usus.
5. Menjelaskan penyebab dari masalah dan rasionalisasi tindakan pada pasien.
6. Mengidentifikasi faktor-faktor (misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet)
yang menyebabkan atau berkontribusi pada terjadinya konstipasi.
7. Membuat jadwal untuk BAB dengan cara yang tepat.
8. Mendukung peningkatan asupan cairan, jika tidak ada kontraindikasi.
9. Mengevaluasi jenis pengobatan yang memiliki efek samping pada
gastrointestinal.
10. Menginstruksikan pasien/keluarga pada diet tinggi serat dengan cara yang
tepat.
11. Mengevaluasi catatan asupan untuk apa saja nutrisi yang telah dikonsumsi.
12. Memberikan petunjuk kepada pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika

40
konstipasi masih tetap terjadi.
13. Melakukan enema atau irigasi dengan tepat.
14. Menginformasikan kepada pasien mengenai prosedur untuk mengeluarkan
feses secara manual jika diperlukan.

3.2 Analisis Jurnal

A. Judul Jurnal : PENGARUH MOBILISASI DINI SIM KANAN KIRI TERHADAP KONSTIPASI PADA PASIEN
STROKE INFARK DI RUANG ICU RSUD dr. H. MOHAMMAD ANWAR SUMENEP
Metode
P (Problem) : Konstipasi pada pasien stroke
I (Intervensi) : Mobilisasi
C (Comparison) :-
O (Outcome) : Motilitas usus bergerak, BAB keluar

V-I-A
V I A
¿ Hasil penelitian pada kelompok kontrol saat Berdasarkan hasil penelitian untuk intervensi
1. α ¿ α α¿ α =0,05 se pre test didapatkan bahwa seluruh responden keperawatan mobilisasi (sim kanan-kiri) dapat
(100%) tidak defekasi dan saat post test diterapkan pada pasien stroke yang mengalami
α α =0,05 se α Validitas Seleksi : Pasien
didapatkan hampir seluruhnya (80%) penurunan motilitas usus (disfungsi motilitas usus)
stroke, populai penelitian ini adalah semua pasien stroke yang responden mengalami defekasi. Sedangkan akibat dari penurunan kesadaran yang mengalami
dirawat di ruang ICU. Sampel yang digunakan dalam penelitian

41
ini adalah 20 orang, yaitu 10 orang kelompok perlakuan dan 10 pada kelompok perlakuan, saat pre test tirah baring lama di instalasi Rumah Sakit.
orang lagi kelompok kontrol. Pengambilan sampel dilakukan didapatkan bahwa seluruh responden (100%)
dengan cara Non Probability sampling dengan teknik purposive tidak defekasi dan pada saat post test sebagian
sampling. besar (70%) responden mengalami defekasi.
2. Validitas Informasi : Penelitian ini dilakukan pada bulan
Hasil analisa data menunjukkan bahwa p value
Agustus-September 2016, desain penelitian yang dipakai adalah
= 0,025 dengan hingga nilai p< yang berarti
Quasy Experiment, dengan rancangan Non Equivalent Control
ada pengaruh mobilisasi sim kanan-kiri
Group. Tindakan yang dilakukan yaitu mobilisasi sim kanan-kiri
terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di
tiap 2 jam dalam 12 jam dengan 6 kali perubahan. Instrumen
Ruang ICU RSUD dr. H. Moh. Anwar
penelitian yang dipakai adalah Standar Operasional Prosedur
Sumenep.
(SOP) mobilisasi, lembar check list dan lembar observasi. Hasil
pengukurannya adalah adanya defekasi dimasukkan dalam
lembar observasi. Data yang diperoleh kemudian diberi kode dan
dianalisis menggunakan uji statistik chi square.
3. Validitas Perancu : Pengeluaran defekasi pada pasien
stroke tergantung pada kualitas dan kuantitas perlakuan
mobilisasi. Hasil analisa data menggunakan uji statistik Chi
square menunjukkan bahwa p value 0,025 dengan =0,05,
sehingga p yang berarti ada pengaruh mobilsasi kanan – kiri
pada pasien stroke.
4. Validitas Analisis : Data yang sudah terkumpul kemudian
dilakukan analisa data. Analisa data menggunakan uji statistik
Chi square dengan 0,05). Hasil penelitian pada kelompok kontrol
saat pre test didapatkan bahwa seluruh responden (100%) tidak
defekasi dan saat post test didapatkan hampir seluruhnya (80%)
responden mengalami defekasi. Sedangkan pada kelompok
perlakuan, saat pre test didapatkan bahwa seluruh responden
(100%) tidak defekasi dan pada saat post test sebagian besar
(70%) responden mengalami defekasi. Hasil analisa data

42
menunjukkan bahwa p value = 0,025 dengan hingga nilai p<
yang berarti ada pengaruh mobilisasi sim kanan-kiri terhadap
konstipasi pada pasien stroke infark di Ruang ICU RSUD dr. H.
Moh. Anwar Sumenep.
5. Validitas Eksterna : Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 20 orang (10 orang kelompok perlakuan dan
10 orang kelompok kontrol). Dilakukan mobilisasi sim kanan-
kiri tiap 2 jam. Waktu untuk diberikan perlakuan mulai pukul
08.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB (mobilisasi dilakukan
secara intensif selama 2 jam dalam 12 jam dengan 6 kali
perubahan posisi sim kanan-kiri. Dalam satu hari dilakukan
observasi sebanayak 4 kali.

B. Judul Jurnal : MENGATASI KONSTIPASI PASIEN STROKE DENGAN MASASE ABDOMEN DAN
MINUM AIR PUTIH HANGAT
Metode
P (Problem) : Konstipasi
I (Intervensi) : Masase Abdomen
C (Comparison) : Masase abdomen dan minum air putih
O (Outcome) : M otilititas usus bergerak, BAB keluar

V-I-A
V I A
1. α =0,05 ¿ α =0,05 ¿ α =0,05 ¿ Validita Proses defekaasi terhadap ketiga kelompok Dapat dijadikan sebagai evidence based practice

43
s Seleksi : Populasi penelitian ini adalah pasien stroke dengan iskhemi dilihat dari waktu terjadinya defekasi antara dalam asuhan keperawatan medikal bedah dalam
yang sudah tujuh hari serangan stroke, tekanan darah dalam rentang kelompok intervensi I dan II dengan nilai p= memberikan intervensi keperawatan pada pasien
120/80-150/100, dan tidak memiliki tanda-tanda peningkatan tekanan 0,015, dan dari frekuensi defekasi antara stroke yang mengalami konstipasi dan emberikan
intrakranial sebelum, selama, dan sesudah intervensi. kelompok intervensi II dan kelompok manfaat untuk digunakan sebagai pencegahan
2. Validitas Informasi : Penelitian ini merupakan penelitian
kontrol dengan nilai p= 0,000. Pada dan pengobatan alami sehingga penggunaan
kuantitatif menggunakan metode Quasi eksperiment pendekatan post
penelitian ini didapatkan perbedaan waktu obat-obatan laksatif dapat dihindarkan.
test only non equivalent control group design. Untuk melihat perbedaan
terjadinya proses defekasi yang signifikan
proses defekasi antar kelompok menggunakan analisis beda lebih dari
antara kelompok intervensi I dengan
dua mean digunakan uji ANOVA atau uji F. Dengan t-test independent
kelompok intervensi II, bahwa ada
didapatkan ada perbedaan waktu terjadinya defekasi di antara tiga
perbedaan yang bermakna antara perlakuan
kelompok (p=0,015; .
masase abdomen dengan masase abdomen
3. Validitas Perancu : Data yang sudah terkumpul kemudian
dan air putih hangat terhadap waktu
dilakukan analisis data. Untuk melihat perbedaan proses defekasi antar
terjadinya defekasi (p=0,015; . Juga pada
kelompok menggunakan analisis beda lebih dari dua mean digunakan
kelompok intervensi II dan kelompok
uji ANOVA atau uji F.
4. Validitas Analisis : Data yang terkumpul kemudian dilakukan kontrol, terdapat perbedaan yang bermakna
analisis data. Sebelum dilakukan uji statistik di setiap kelompok antara perlakuan masase abdomen dan
dilakukan uji normalita data. Untuk mengatasi drop out, dilakukan minum air hangat dengan intervensi yang
koreksi sampel menggunakan formula sederhana: n= n(1-f), f (10% atau standar terhadap frekuensi defekasi
0,1). Karena semua data berdistribusi normal maka dilanjutkan uji (p=0,000; . Berdasarkan hasil tersebut maka
statistik parametrik dengan uji t-test paired (Dependent t-test) pada H0 ditolak, yang artinya terdapat pengaruh
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Untuk analisis perbedaan masase abdomen dan minum air hangat
antara nilai motilitas usus dan perbedaan waktu terjadinya defekasi pada terhadap motilitas usus sehingga
kelompok kontrol dan perlakuan pasien stroke dilakukan uji t-test mempercepat proses terjadinya waktu
independent. defekasi.
5. Validitas Eksterna : Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 47 orang (14 orang kelompok intervensi I dimana responden
diberikan masase abdomen dengan teknik swedish selama 15-20 menit,
16 orang kelompok intervensi II dimana responden diberikan masase

44
abdomen dengan teknik swedish selama 15-20 menit kemudian diberi
tambahan minum air hangat sebanyak 500 ml, dan 17 orang kelompok
kontrol yang mendapatkan intervensi yang biasa dilakukan di ruangan
seperti menganjurkan makan makanan mengandung serat, memenuhi
kebutuhan cairan, aktivitas dalam bataas yang dapat ditoleransis dan
dengan bantuan obat laksatif. Penganbilan sampel dilakukan dengan
pendekatan purposive sampling.

45
BAB IV PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat


dan sekitar 150.000 kematian setiap tahunnya. Sekitar 550.000 orang
mengalami stroke setiap tahun. Stroke merupakan penyebab utama
kecacatan pada orang dewasa dan merupakan diagnosis utama teratas
dalam perawatan jangka panjang. Sejalan dengan tingginya tingkat
kematian pada stroke, penyakit ini juga menyebabkan angka kesakitan
atau morbiditas yang signifikan pada orang-orang yang bisa bertahan
dengan penyakit stroke. Sebesar 31% dari orang tersebut membutuhkan
bantuan untuk perawatan diri, 20% membutuhkan bantuan untuk ambulasi,
71% memiliki gangguan dalam kemampuan bekerja sampai tujuh tahun.
Dampak yang sering terjadi pada pasien stroke adalah terjadinya
konstipasi yang dapat disebabkan oleh kurangnya mobilisasi berhubungan
dengan adanya penurunan kemampuan mobilitas fisik pasien. Konstipasi
pada pasien stroke dapat menyebabkan terjadinya valsava manuver dan
herniasi yang dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, penanganan
konstipasi harus disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing pasien
dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi untuk terjadinya
defekasi dengan cara tindakan keperawatan mandiri yang alamiah seperti
dilakukannya mobilisasi, masase abdomen, dan diberikan minum air
hangat, karena penggunaan obat-obatan laksatif dalam jangka waktu yang
lama juga akan berefek tidak baik pada organ-organ pencernaan dalam
seperti usus besar akan kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang peka
terhadap rangsangan yang diberikan oleh laksatif maupun rangsangan
untuk BAB.

46
Oleh karena itu dengan mobilisasi, masase abdomen, dan ditambah
dengan minum air hangat yang malalui beberapa penelitian sangat
berpengaruh terhadap proses defekasi secara alami tanpa harus
menggunakan obat-obatan, diharapkan dapat diterapkan sebagai tindakan
keperawatan mandiri pada pasien stroke dengan tirah baring
(immobilisasi) untuk mengatasi masalah disfungsi motilitas
gastrointestinal: konstipasi.

1.2 Saran

Dalam tatalaksana disfungsi motilitas gastrointestinal hendaknya


dilakukan secara komprehensif sesuai dengan gangguan dan resiko-resiko
yang mungkin terjadi baik pada sistem pencernaan itu sendiri maupun
yang bisa berpengaruh pada sistem kerja organ lain didalam tubuh kita.
Dan profesi keperawatan bisa menerapkan hasil penelitian yang telah
dilakukan sebagai Evidence Based Practice dalam asuhan keperawatan
secara holistik terutama dalam asuhan keperawatan medikal bedah dalam
memberikan intervensi keperawatan pada pasien stroke yang mengalami
gangguan eliminasi: BAB akibat tirah baring (immobilisasi).

47
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M, Hawks, Jane Hokanson. 2014. Keperawatan Medikal Bedah:


Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier

Brenda G. Bare.Suzanne C. Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-


Bedah.Vol 2.Edisi 8.Jakarta: EGC

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).


United Kingdom: Elsevier

Ginting, Dameria Br, Waluyo, Agung, Sukmarini, Lestari. 2015. Mengatasi


Konstipasi Pasien Stroke Dengan Masase Abdomen Dan Minum Air Putih
Hangat. Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, 23-30

Guyton,Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi 12.Singapura: Elsevier

Herdman, T. Heather, PhD, RN, FNI, Kamitsuru, Shigemi, PhD, RN, FNI. 2015.
Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). United


Kingdom: Elsevier

48
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba Medika

Puspitasari, Dian Ika, Hannan, Mujib, Su’udiyah. 2017. Pengaruh Mobilisasi Dini
Sim Kanan Kiri Terhadap Konstipasi Pada Pasien Stroke Infark Di Ruang
ICU RSUD dr. H. Mohammad Anwar Sumenep (The Effectiveness of Early
Mobilization Left-Right Sim to Constipation on Stroke Patient in the
Intensive Care Unit dr. H. Moahammad Anwar Sumenep Public Hospital).
Jurnal Ners dan Kebidanan, Vol. 4, No.2

49

Anda mungkin juga menyukai