Anda di halaman 1dari 19

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK BIOMEDIK II

“Kekurangan Oksigen pada Pencinta Alam”

Kelompok : A-8
Ketua : Putri Yunitasari Santoso (1102018100)
Sekretaris : Rania Reiza Faris Balfas (1102018099)
Anggota : Anggita Putri Dewayanti (1102018090)
Julita Asmara Putri (1102018087)
Nisrina Atifah Arifian Izzati (1102018088)
Rima Dara Ninggar (1102018091)
Muhammad Syaoqi Abdul Hapizh (1102018093)
Naila Hidayah (1102018096)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014/2015
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.4244574

DAFTAR ISI

Daftar isi……………………………………………………………………………..........
Skenario……………………………………………………………………………...........
Kata-Kata Sulit…………….......………………….………………...................................
Pertanyaan dan Jawaban………………………….....……………………..……................
Hipotesis……………………………………………………………………….……….....
Sasaran belajar………………......………………………………………………….....
LO.1. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia ………………………............................
LO.1.1. Definisi Hipotermia.....................................................................................................
LO.1.2. Klasifikasi Hipotermia................................................................................................
LO.1.3. Penyebab Hipotermia..............................................................................................
LO.1.4. Gejala Hipotermia.............................................................................................
LO.1.5. Penanggulangan Hipotermia.....................................................................................
LO.1.6. Pengobatan Hipotermia.............................................................................................

LO.2. Memahami dan Menjelaskan Hipoksia.........................


LO.2.1. Definisi Hipoksia.....................................................................................................
LO.2.2. Klasifikasi Hipoksia................................................................................................
LO.2.3. Penyebab Hipoksia..............................................................................................
LO.2.4. Gejala Hipoksia.............................................................................................
LO.2.5. Penanggulangan Hipoksia.....................................................................................
LO.2.6. Pengobatan Hipoksia.............................................................................................

LO.3. Memahami dan Menjelaskan AMS.............................................................


LO.3.1. Definisi AMS.....................................................................................................
LO.3.2. Klasifikasi AMS................................................................................................
LO.3.3. Penyebab AMS..............................................................................................
LO.3.4. Gejala AMS.............................................................................................
LO.3.5. Penanggulangan AMS.....................................................................................
LO.3.6. Pengobatan AMS.............................................................................................

Daftar Pustaka………………………………………………………….................….........

SKENARIO 1

Pendaki Gunung Sumbing

Dua pendaki Gunung Sumbing terpaksa dievakuasi oleh tim SAR Kabupaten Temanggung
Jawa Tengah. Mereka dilaporkan mengalami hipoksia akut dan hipotermia. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah melaporkan peristiwa hipotermia
terjadi karena kurangnya persiapan saat mendaki. Menurut keterangan dokter yang merawat
dua pendaki tersebut, jika keadaan hipotermia tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kegagalan fungsi tubuh yang lebih dikenal sebagai Mountain Sickness Acute.

1
KATA SULIT
1. Hipoksia Akut
Kondisi kurangnya suplai oksigen ke jaringan dibawah normal

2. Mountain Sickness Accute


Penyakit gunung yang bias terjadi saat pendaki bermalam di ketinggian tertentu

3. Hipotermia
Konidisi dimana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi
tekanan suhu dingin

2
PERTANYAAN
1) Apa gejala dari hipoksia?
2) Apa penyebab terjadinya hipoksia?
3) Bagaimana hipotermia bias terjadi?
4) Bagaimana pertolongan pertama pada hipotermia dan hipoksia?
5) Apa akibat dari hipoksia?
6) Apa penyebab AMS?
7) Bagaimana pencegahan AMS?
8) Bagaimana kegagalan fungsi tubuh yang disebabkan oleh hipotermia?

3
JAWABAN
1) Berkeringat, sesak nafas, detak jantung cepat.
2) Perubahan system saraf pusat jika telah mengenai batas otak akan menyebabkan
kematian otak.
3) Saat merasa kedinginan, tubuh akan membentung mekanisme pengaturan restabilan
suhu dengancara melebarkan pembuluh darah. Yang menyebabkan suhu tubuh
meningkat.
4) - Memindahkan penderita ke tempat yang lebih hangat
- Menanggalkan pakaian basah dan dingin, menggantinya dengan pakaian
hangat/selimut.
- Memberikan supli oksigen
- Menggunakan defibrillator (jika ada)
5) Dapat meninggal (sama seperti no. 8)
6) Kurangnya persiapan saat mendaki, terlalu cepat mendaki, kurangnya penyesuaian
tubuh terhadap lingkungan.
7) - Minum air putih yang banyak
- Istirahat cukup
- Menemui dokter dan meminta obat yang harus dibawa
- Mendaki tidak terlalu cepat
- Membawa penderita turun 500 mdpl
8) Pupil melebar, nafas berkurang (sesak nafas), pingsan, mati rasa, kulit agak
kebiruan.

4
HIPOTESIS
Hipoksia dan Hipotermia terjadi karena kurangnya supli oksigen dan tekanan udara yang
menurun, serta suhu tubuh yang menurun pada tempat yang tinggi. Hal ini menyebabkan
terjadinya sesak nafas, berkeringat, warna kulit menjadi kebiruan, detak jantung meningkat,
pupil melebar dan jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kegagalan fungsi tubuh
yang berakibat pada kematian. Hal ini dialami oleh sebagian besar pendaki yang menderita
AMS.
Pencegahan AMS antara lain adalah mendaki dengan tempo tidak terlalu cepat, meminum
air putih, memakai pakaian yang tebal dan hangat. Penyesuaian tubuh terhadap lingkungan.
AMS dapat ditanggulangi dengan cara memindahkan penderita ke tempat yang lebih hangat ,
menanggalkan pakaian basah dan dingin lalu menggantinya dengan pakaian hangat / selimut,
memberikannya suplai oksigen dan menggunakan defibrillator jika ada.

5
SASARAN BELAJAR
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia
LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipotermia
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hipotermia
LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Penyebab Hipotermia
LO.1.4. Memahami dan Menjelaskan Gejala Hipotermia
LO.1.5. Memahami dan Menjelaskan Penanggulangan Hipotermia
LO.1.6. Memahami dan Menjelaskan Pengobatan Hipotermia

LI.2. Memahami dan Menjelaskan Hipoksia


LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipoksia
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hipoksia
LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Penyebab Hipoksia
LO.1.4. Memahami dan Menjelaskan Gejala Hipoksia
LO.1.5. Memahami dan Menjelaskan Penanggulangan Hipoksia
LO.1.6. Memahami dan Menjelaskan Pengobatan Hipoksia

LI.3. Memahami dan Menjelaskan AMS


LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi AMS
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi AMS
LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Penyebab AMS
LO.1.4. Memahami dan Menjelaskan Gejala AMS
LO.1.5. Memahami dan Menjelaskan Penanggulangan AMS
LO.1.6. Memahami dan Menjelaskan Pengobatan AMS

6
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia

LO.1.1. Definisi Hipotermia

Hipotermia termasuk kondisi kesehatan yang membutuhkan penanganan


medis darurat. Keadaan ini terjadi saat temperatur tubuh menurun drastis di bawah
suhu normal yang dibutuhkan oleh metabolisme dan fungsi tubuh, yaitu di bawah
35°C. Saat temperatur tubuh berada jauh di bawah titik normal, sistem persarafan dan
fungsi organ lain dalam tubuh akan mulai terganggu.

Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh menjadi < 35 derajat celcius
(atau 95 derajat Fahrenheit) secara involunter. (Jurnal Universitas Muhammadiyah
Semarang)

LO.1.2. Klasifikasi Hipotermia


Hipotermia dapat di klasifikasikan berdasarkan sumber paparan, yaitu
Hipotermia Primer dan Hipoterima Sekunder.
a) Hipotermia Primer: apabila produksi panas dalam tubuh tidak dapat
mengimbangi adanya stress dingin, terutama bila cadangan energy dalam
tubuh sedang berkurang.
b) Hipotermia Sekunder: adanya penyakit atau pengobatan tertentu yang
menyebabkan penurunan suhu tubuh. Menurut Hardisman (2014), kondisi
yang dapat mengakibatkan hipotermia yaitu penyakit Endokrin,
Kardiovaskuler, Neurologis, dan obat-obatan.
Hipotermia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan suhu tubuh, yaitu:
Hipotermia ringan, sedang, dan berat.
a) Hipotermia Ringan: 32 – 35 derajat celcius
b) Hipotermia Sedang: 28 – 32 derajat celcius
c) Hipotermia Berat: dibawah 32 derajat celcius
LO.1.3. Penyebab Hipotermia

1. Berada di Lingkungan yang dingin terlalu lama


2. Adanya gangguan atau penyakit yang di derita (diabetes mellitus, gagal jantung,
Alzheimer)
3. Penggunaan obat-obatan (alkohol, barbiturat, insulin)
4. Dehidrasi
5. Tidak memakai pakaian yang tepat saat mendaki
6. Memakai pakaian basah terlalu lama

LO.1.4. Gejala Hipotermia

1. Hipotermia Ringan (34-36oC)


Gejala yang terjadi pada penderita hipotermia ringan adalah menggigil secara
hebat, terutama pada ekstremitas; sulit berjalan dan berbicara; mengalami
pernapasan dengan frekuensi lebih dari 24 kali per menit (takipnea); denyut
jantung berdetak lebih cepat daripada denyut jantung normal (takikardi);
pernapasan cepat dan biasanya dangkal (hiperventilasi); berkemih terus-menerus
karena “cold diuresis”.

7
2. Hiportemia Sedang (28-32oC)
Gejala yang dialami penderita hipotermia sedang adalah nadi berkurang,
pernapasan pelan dan dangkal, berhenti menggigil, refleks melambat, kehilangan
daya untuk mengenal lingkungan (disorientasi), gangguan pada detak jantung
atau irama jantung (aritmia).
3. Hipotermia Berat (<28oC)
Gejala pada penderita hipotermia berat adalah tekanan darah menjadi rendah
(hipotensi), nadi lemah, edema paru, koma, aritmia ventrikel, dan henti jantung.

LO.1.5. Penanggulangan Hipotermia

Pencegahan yang dapat dilkakukan agar tidak terjadinya hipotermia adalah


sebelum mendaki, pendaki wajib untuk mempersiapkan fisik. Persiapan fisik
dilakukan agar dapat meningkatkan stamina, daya tahan otot yang baik, kekuatan
fisik, mental bagi pendaki, serta memiliki kualitas Volume O2 Maksimum (VO2 Max)
yang baik. Hal ini perlu untuk mengatasi perbedaan kadar oksigen saat berada di
ketinggian. Lalu kita juga perlu memperhatikan perlengkapan perjalanan sesuai dan
selengkap mungkin. Untuk pakaian dianjurkan menggunakan pakaian yang dapat
menjaga udara hangat tetap bertahan disekitar kulit, namun membiarkan keluarnya
keringat tubuh secara terus menerus. Lalu perhatikan makanan apa yang harus
disiapkan saat mendaki, karena seorang pendaki membutuhkan sekitar 5000 kalori
dan 70 gram protein setiap harinya. Dianjurkan untuk memakan makanan yang
mengandung karbohidrat karena karbohidrat adalah sumber tenaga paling utama.
Pendakipun juga harus meminum air yang cukup agar menjaga keseimbangan air
dalam tubuh.
Dalam menghadapi bahaya obyektif seperti hujan dan angin kencang, pendaki
dapat menimalisasi dengan perlengkapan jas hujan yang dapat melindungi dari angin
atau dingin yang dapat memicu terjadinya hipotermia. Dan yang paling penting dari
mendaki adalah pendaki harus mengetahui teknik mendaki gunung yang baik dan
benar, karena jika tidak pendaki akan kehilangan energi, cepat lelah, dan dapat
mengurangi keseimbangan.

LO.1.6. Pengobatan Hipotermia

Korban dengan hipotermia ringan (≥33 oC ) yang ditemukan dilingkungan


yang dingin, prioritas pertama adalah untuk mencari kemungkinan adanya cedera lain.
Prioritas kedua adalah untuk meningkatkan suhu inti pasien menjadi normal, sebelum
dan selama perjalanan ke rumah sakit. Pasien harus pindah ke sebuah tenda atau
tempat kering lainnya untuk menghindari angin dingin yang kencang, pakaian yang
basah harus segera dilepaskan, berikan api atau kehangatan disiketar pasien,. Deteksi
nadi dan suhu tubuh mencakup rektal, esophageal, atau membran timpani.
Pertolongan untuk pendaki yang mengalami hipotermia dimulai dengan
penilaian primer seperti jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan jika diperlukan RJP
(Resusitasi Jantung Paru).

a. Pengkajian secara cepat tentang ABCDE


1. Airway: tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah menilai
kelancaran jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea.

8
2. Breathing: jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik,
pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding, dada dan diafragma.
3. Circulation: menilai keadaan dinamika dari aliran darah dengan observasi
tingkat kesadaran, warna kulit, nadi dan tekanan darah. Mengontrol pendarahan
segera mungkin apabila terjadi pendarahan pada bagian eksternal, internal, rongga
thoraks, rongga abdomen, fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang.
4. Disability: menilai kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
5. Exposure: membuka seluruh pakaian untuk evaluasi penderita, menjaga
penderita untuk tidak kedinginan dengan memberikan selimut dan membawa
penderita ke ruangan yang lebih hangat.
b. Pasien dengan hipotermia sedang, dapat diatasi dengan cara memindahkannya
dari lingkungan dingin ke tempat yang lebih hangat dan menggunakan selimut
c. Pasien dengan hipotermia berat, sebaiknya dipantau dengan pulse oxymetri
d. Perhatikan jalan napas, pernapasan, dan jantung. bila tidak ada gangguan
kardiovaskular, penghangatan aktif eksternal dapat diterapkan (radiasi panas, selimut
hangat, immersi air hangat, dan objek yang dipanaskan) dengan cairan intravena dan
oksigen yang dihangatkan.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan tentang Hipoksia

LO.2.1 Definisi Hipoksia


 Hipoksia adalah kekurangan O2 di tingkat jaringan.Intinya, hipoksia adalah
penurunan suplai oksigen di bawah normal pada jaringan tubuh. Istilah hipoksia lebih
tepat dibandingkan dengan anoksia karena ketiadaan O2 di jaringan jarang dijumpai.
(Ganong).
 Hipoksia adalah penurunan asupan oksigen ke jaringan di bawah kadar fisiologis
sekalipun perfusi darah ke jaringan memadai. (Dorland, 2015).

LO.2.2 Klasifikasi Hipoksia


1. Hipoksia hipoksik, merupakan bentuk tersering dari hipoksia, terjadi ketika terdapat
gangguan pertukaran oksigen di paru-paru. Beberapa penyebabnya antara lain:
 Kondisi di mana tekanan parsial oksigen menurun seperti pada ketinggian
tertentu dari permukaan laut.

 Kondisi yang memblokade pertukaran oksigen pada tingkat alveolus dengan


pembuluh darah kapiler, seperti: pneumonia (radang paru), asma, tenggelam.

 Lain-lain, seperti penjeratan leher, terhirupnya asap (pada kebakaran),


penyakit jantung bawaan seperti Tetralogy of Fallot.

2. Hipoksia anemik, terjadi ketika tubuh tidak mampu mengangkut oksigen yang
tersedia ke jaringan target. Penyebab hal ini antara lain:

 Anemia berat karena kehilangan darah baik akut maupun kronis. Anemia yang
bersifat ringan-sedang tidak akan menyebabkan hipoksia anemik karena tubuh

9
masih dapat mengkompensasi walaupun pasien akan tetap mengalami hipoksia
jika melakukan aktivitas;

 Keracunan karbon monoksida (CO);

 Obat-obatan seperti aspirin, sulfonamid, nitrit;

 Methemoglobinemia (kondisi di mana terdapatnya methemoglobin, suatu


pigmen darah hemoglobin yang tidak normal, pada darah);

 Penyakit seperti anemia sel sabit, anemia defisiensi besi, anemia aplastik,
anemia hemolitik.

3. Hipoksia stagnant, terjadi ketika tidak adanya aliran darah yang cukup ke jaringan
target. Organ yang paling terpengaruh adalah ginjal dan jantung karena mereka
memiliki kebutuhan oksigen yang tinggi. Penyebab hal ini antara lain:

 Gagal jantung;

 Menurunnya volume darah yang bersirkulasi

 Melebarnya pembuluh darah vena

 Darah vena yang tidak bisa mengalir baik akibat G-forces (seperti yang
dialami oleh para pengemudi pesawat-pesawat tempur atau aerobatik).

4. Hipoksia histotoksik, terjadi ketika jaringan tubuh tidak dapat menggunakan oksigen
yang sudah dialirkan ke mereka. Kasus ini bukan merupakan hipoksia sebenarnya
karena tingkat oksigenisasi jaringan dapat normal atau lebih dari normal. Penyebab
hal ini sebagian besar berupa racun, antara lain:

 Keracunan sianida

 Konsumsi alcohol

 Narkotika.

LO.2.3 Penyebab Hipoksia


1. Keracunan gas atau zat kimia berbahaya
Menghirup karbon dioksida atau racun sianida dapat menyebabkan otak
kekurangan oksigen yang diawali tenggorokan seperti sedang dicekik dan kejang
kejang. Zat racun tersebut menyebabkan munculnya zat carboxy hemoglobin yang
menggagalkan upaya masuknya oksigen mengatur dan mengontrol hemoglobin.
Tanda tanda hipoksia paling mudah terjadi pada seseorang yang telah terpapar racun
dalam hitungan menit.
2. Aritma jantung
Seseorang yang mengalami serangan jantung karena pasokan oksigen terbatas
masuk dalam pembuluh arteri pada jantung biasanya diawali nyeri pada dada dan
10
muncul kesulitan bernafas serta aritma jantung menjadi tidak beraturan, Kadang cepat
atau lambat.
3. Gangguan fungsi paru paru
Seseorang yang mengalami gangguan pada jaringan paru paru menyebabkan
masuknya oksigen pada aliran darah menjadi lambat atau tersendat sendat sehingga
menimbulkan seseorang merasa nyeri luar biasa pada bagian paru parunya dan bahkan
pada sebuah kasus kekurangan oksigen pada paru paru bisa menyebabkan muntah
darah.
4. Aliran darah tidak lancar
Aliran darah yang tidak lancar adalah penyebab sederhana yang ampuh
menyebabkan seseorang terkena hipoksia yaitu karena pasokan oksigen menurun.
Aliran darah bisa terganggu, Contohnya karena seseorang terkena tekanan darah
tinggi atau hipertensi.
5. Mengkonsumsi obat obatan secara berlebihan
Seseorang yang mengkonsumsi obat obatan ermasuk narkoba dalaam jangka
panjang dan dosis besaar maka zat kimia yang ada pada obat tersebut mampu
memblokir kelancaran masuknya pasokan oksigen kedalam semua aliuran darah dan
arteri secara bersamaan.

6. Menderita anemia aplastik


Seseorang yang menderita anemia kronis macam anemia aplastik dapat
mengalami hipoksia karena tubuh yang kekurangan sel sel darah berarti pasokan
oksigen otomatis juga berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan koma atau
penurunan kesadaran jika berlanjut tanpa segera mendapat penanganan medis.

LO. 2.4 Memahami dan Menjelaskan Gejala Hipoksia

Gejala umum hipoksia adalah, cepat bernafas, sesak nafas, denyut nadi cepat,
berkeringat, pusing, mual, muntah, gelisah, cemas, tidak mampu berkonsentasi, batuk-batuk,
ke bingungan, ada perubahan perilaku, penurunan tingkat kesadaran, peningkatan tekanan
darah, timbulnya rasa takut, pucat, warna kulit, kuku dan bibir berubah menjadi kebiruan

Gejala hipoksia berdasarkan ketingian ini terbagi menjadi 4 golongan yaitu:

1. KETIGGIAN < 10.000 KAKI


- tidak ada gejala,
- gangguan kinerja ringan
- kehilangan daya krisis diri
-kehilangan memori jangka pendek
-inkoordinasi mental

2. KETINGGIAN 10.000-15.000 KAKI


- Sedikit ada tanda gejala
- gangguan pernafasan
- tekanan darah naik
- sakit kepala,
- kapasitas rendah

11
3. KETINGGIAN 15.000-20.000 KAKI
- kehilangan judgement
- kontrol otot syaraf lemah
- perubahan emosi
- proses berfikir lambat
- gejala nafas lambat
- gejala penurunan penglihatan

4. KETINGGIAN >20.000 KAKI


- semua gejala hal yang diatas
- penurunan kesadaran
- kejang otot
- kematian

LO. 2.5 Memahami dan Menjelaskan Penanganan dan Pencegahan Hipoksia

Pertolongan pertama ketika menghadapi hipoksia dengan melakukan tindakan ABC, Air
way, breathing dan circulation,
Air way adalah membebaskan jalan nafasnya, misalnya melonggarkan pakaian pada
daerah dada, memberikan ruang yang nyaman untuk bernafas, atau membawanya ketempat
yang lebih rendah. Karena semakin tinggi suatu empat, semakin tipis oksigenya.
Selanjutnya breathing dengan memberikan nafas buatan, dan Circulation adalah
menormalkan denyut jantung atau memberi CPR (Cardiopulmonary resuscitation)

Penanganan yang dapat dilakukan penderita hipoksia:


1. Pemberi oksigen
Memberikan oksigen kedalam sarularan pernafasan dengan alat bantu oksigen,
2. Turun segera
Apabila berada diketinggian, turunlah dengan segera
3. Istirahat diketinggian yang sama
Diharapkan terjadinya Proses aklimentasi (penyesuaian oksigen)
4. Terapi oksigen hiperbarik
Meningkatkan kekuatan difusi oksigen, sehingga meningkatkan ketersediaan oksigen
ke jaringan
5. Istirahat dan minum obat accatazolamade
Dengan obat accatazolamatade dapat menghilangkan dalam 12-24 jam dan disertai
istrahat yang cukup.

Pencegahan hipoksia:

1. Hindari merokok, minum alkohol dan obat anti depresan akan menperlambatt
pernafasan
2. Menghindari yang menurunkan oksigen.
3. Mengunakan tambahan oksigen dari tabung oksigen sebelum hipoksia muncul.
4. Menjaga asupan nutrisi

LI.3. Memahami dan Menjelaskan AMS

12
LO.3.1. Definisi AMS
Mountain sickness adalah penyakit gunung yang disebabkan salah satunya 
karena adanya penurunan kadar oksigen di dalam darah karena berada di ketinggian 
tertentu. Semakin tinggi dataran maka kadar oksigen di udara akan semakin 
berkurang.
Faktor yang dapat menjadi penyebab penyakit gunung ini adalah kurangnya 
aklimatisasi (proses penyesuaian diri pada dua kondisi lingkungan yang berbeda) dan 
pergerakan mencapai ketinggian tertentu yang terlalu cepat. Sekitar 25% penyakit 
gunung ini dialami saat pendaki berada di ketinggian 2400 meter di atas permukaan 
laut (mdpl), dan sekitar 40­50% terjadi saat pendaki berada di ketinggian 3000 mdpl. 
Mountain Sickness Acute bisa terjadi pada usia tua dan muda, pria ataupun 
wanita, walaupun beberapa penelitian menyatakan wanita lebih sering terkena 
dibanding pria. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan kadar oksigen dan tekanan 
udara yang semakin berkurang saat mendaki ke tempat yang lebih tinggi.

LO.3.2. Klasifikasi AMS


AMS dibagi menjadi tiga: Mild AMS (AMS Ringan), Moderate AMS (AMS 
Sedang), dan Severe AMS (AMS Parah).

1. Mild AMS (AMS Ringan)
Sebanyak 75 persen kasus yang ada, AMS ringan biasanya terjadi pada saat 
pendaki memasuki ketinggian 3.000 ­ 4.000 mdpl. Gejala munculnya AMS ringan 
biasanya muncul 12­24 jam setelah pendaki tiba di ketinggian tersebut. Gejala yang 
muncul biasanya berupa sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan, sesak nafas, 
tidur terganggu, dan lain sebagainya. Solusi untuk mengatasi hal ini adalah pendaki 
harus tetap sadar dan tetap melakukan aktivitas ringan. Disarankan untuk tidak 
langsung tidur jika mengalami gejala tersebut.

2. Moderate AMS (AMS Sedang)
Sementara AMS sedang akan menyerang pendaki jika gejala pada AMS 
rendah tidak teratasi dengan baik. Biasanya gejala yang muncul pada AMS sedang, 
pendaki akan merasakan sakit kepala parah, mual disertai muntah, penurunan 
kesadaran (ataksia), dan lain sebagainya.
Solusi jika pendaki mengalami gejala­gejala tersebut, segeralah turun ke tempat 
yang lebih rendah untuk proses penyesuaian ketinggian atau aklimatisasi. Hal ini 
harus dilakukan untuk menghindari gejala ataksia mencapai titik puncaknya di mana 
si penderita tidak akan bisa berjalan dengan normal.

3. Severe AMS (AMS Parah)
Sedangkan AMS berat terjadi ketika si penderita mengalami sesak nafas dan 

13
kehilangan kesadaran total (penurunan status mental). Dalam kasus ini, pendaki 
tersebut sudah tidak sadarkan diri dan harus segera ditandu menuju tempat yang lebih 
rendah dan harus ditangani serius oleh petugas medis. Jika tidak ditangani secara 
serius bisa menyebabkan High­Altitude Cerebral Edema (HACE) dan High­altitude 
pulmonary edema (HAPE). 
HACE terjadi karena otak membengkak dan mengalami penurunan fungsi 
karena kekurangan oksigen. Gejalanya adalah pusing yang sangat berat, kesulitan 
bernafas, mual dan muntah muntah, mulai tidak sadarkan diri, berhalusinasi, bahkan 
koma. 
Sedangkan HAPE terjadi karena pembuluh darah di paru­paru menyempit, 
menyebabkan paru­paru kemasukan cairan dari pembuluh darah. Sehingga penderita 
akan merasa kesulitan bernafas, dada sakit, batuk berdahak, bibir dan kuku berubah 
warna menjadi biru/abu­abu, kehilangan kesadaran, hingga koma.

Cara untuk menghindari penyakit AMS tidak rumit, pada saat mendaki, 
biasakan untuk berjalan sesuai ritme, tidak terburu­buru atau tergesa­gesa. Hal ini 
berguna bagi tubuh membiasakan ketinggian atau aklimatisasi. Sehingga kerja tubuh 
juga tetap berjalan dengan normal.

LO.3.3. Penyebab AMS


Penyebab peristiwa-peristiwa tersebut mungkin karena tiga hal yaitu: Pertama,
massa sel darah merah menjadi terlalu besar sehingga viskositas darah meningkat
beberapa kali lipat; peningkatan viskositas darah ini akan menurunkan aliran darah
jaringan sehingga pengangkutan oksigen juga berkurang.
Kedua, arteriol paru mengalami vasokonstriksi akibat hipoksia paru. Hal ini
terjadi akibat mekanisme konstriksi sebagai reaksi terhadap hipoksia, yang secara
normal terjadi dengan tujuan mengalihkan aliran darah dari alveoli rendah oksigen ke
alveoli tinggi oksigen. Tetapi karena semua alveoli sekarang berada dalam keadaan
rendah oksigen, semua arteriol mengalami konstriksi, tekanan arteri pulmonalis
meningkat hebat, sehingga terjadilah payah jantung kanan.
Ketiga, spasme arteriol alveolus mengalihkan banyak aliran darah ke pembuluh
paru nonalveolar, menyebabkan banyak aliran darah paru memintas ke pembuluh
darah yang oksigenasinya rendah, dan hal ini akan lebih mempersulit keadaan.
Kebanyakan dari pasien dapat pulih kembali dalam beberapa hari atau minggu setelah
pasien itu dipindahkan ke tempat yang lebih rendah.

LO.3.4. Gejala AMS


 lesu

 mual

 hilangnya nafsu makan

 bernafas terengah

 pusing bergoyang

14
 inkoordinasi

 disfungsi saraf yang ditandai oleh gangguan penilaian

 kecepatan jantung tinggi ( dipicu oleh hipoksia sebagai tindakan kompensasi untuk
meningkatkan penyaluran O₂ yang ada melalui sirkulasi ke jaringan )

(Lauralee Sherwood (2017), Fisiologi Manusia)

Jika gejala tidak ditangani dengan baik, Oedem perifer dapat terjadi, namun tidak ada
gejala fisik yang dapat ditemukan pada AMS dan adanya gejala neurologikal biasanya
dipikirkan ke arah HACE atau penyebab lain.
Komplikasi AMS
1. Edema otak
Kondisi terjadinya pembengkakan jaringan otak karena dilatasi atau pelebaran pembuluh
darah sehingga cairan intravaskuler bocor. Gejala yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
lemah, koordinasi hilang, Penurunan kesadaran, halusinasi, dan koma.
2. Edema paru-paru
Kondisi terbentuknya cairan instravaskuler dalam alveolus karena konstriksi atau
penyempitan pembuluh drah vena dan arteri pulmonalis sehingga menghambat pertukaran
oksigen. Gejala yang ditimbulkan antara lain sianosis, sesak nafas, batuk dengan
mengeluarkan cairan putih berair atau berbusa, bingung dan perilaku irrasional karena
oksigen kurang cukup sampai ke otak, hingga berujung pada kematian.
Kondisi Kriteria

AMS Sakit kepala disertai sekurang-kurangnya satu dari gejala berikut: fatique
atau kelemahan; dizziness; keluhan gastrointestinal (mual, muntah,
anoreksia); gangguan tidur.
HACE Perubahan status mental dan atau ataxia.
HAPE Sekurang-kurangnya 2 dari gejala berikut: dispneu saat istirahat; batuk;
kelemahan; rasa berat di dada atau kongesti dan Sekurang-kurangnya 2 dari
tanda berikut:
ronkhi atau wheezing pada satu sisi paru; sianosis sentral; takipneu;
takikardi.
Keterangan :
AMS = acute mountain sickness
HACE = high-altitude cerebral edema
HAPE = high-altitude pulmonal edema

1. HIGH-ALTITUDE CEREBRAL EDEMA (HACE)


High-altitude Cerebral Edema (HACE) biasanya dimulai dengan keluhan
AMS, seperti sakit kepala hebat dan muntah. Tidak ditemukannya gejala AMS
tidak berarti menyingkirkan terjadinya HACE. Pada beberapa kasus, HACE
meningkat kejadiannya pada 48 jam setelah mencapai ketinggian 4000 m.
Prevalensi HACE pada ketinggian 4000-5000 m diperkirakan 0,5-1%.9,10 Gejala
prodromal seperti gangguan mental dini atau perubahan tingkah laku biasanya
tidak dipedulikan atau disadari oleh pendaki maupun pendampingnya. Gejala
utamanya adalah ataxia dan tidak mampu berjalan, dan atau gangguan kesadaran
dengan perburukan ke arah koma dalam hitungan jam. Demam dapat muncul.

15
Saturasi oksigen arterial sangat rendah dalam hubungannya dengan ketinggian.
HACE ini dapat menjadi fatal, dimana edem cerebral yang terjadi pada HACE
dapat menyebabkan herniasi otak dengan kompresi batang otak yang akhirnya
menimbulkan kematian dalam 24 jam pertama sejak mulai gejala. Gambaran MRI
cerebral HACE memperlihatkan mikrohemoragi di corpus callosum.9,10 Salah satu
studi kasus memperlihatkan koma dapat muncul 24 jam pertama dan kematian
dapat terjadi 48 jam kemudian. Pada HACE berat, pemeriksaan fisik, radiologi
thorax dan autopsi memperlihatkan gambaran oedem paru.10

2. HIGH-ALTITUDE PULMONARY EDEMA (HAPE)


High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE) pertama kali dilaporkan oleh ahli
fisiologi Italia, Angelo Mosso tahun 1894, dimana Angelo melaporkan seorang
tentara yang mendaki Gunung Monta Rosa (15.000 kaki) mengeluhkan sakit
kepala hebat, sianosis, sesak nafas, takikardi, rhonki paru dan dahak berbusa tanpa
demam dan menggigil. Saat itu diduga sebagai suatu pneumonia dan akhirnya
sembuh setelah beberapa hari perawatan. Kondisi ini masih dianggap sebagai
pneumonia, sampai tahun 1960 dikenali patogenesisnya yang unik sebagai
HAPE.12 Gejala awal HAPE adalah hilangnya kapasitas latihan selama pendakian,
sering muncul bersamaan dengan sesak nafas dan batuk kering, gejala ini muncul
2-3 hari setelah sampai di ketinggian. Pendaki dengan gejala awal HAPE yang
tetap berada di ketinggian atau malah melanjutkan pendakian akan mengalami
sesak nafas saat istirahat, ortopnea, sputum berdarah, sianosis dan rhonki paru.
Hipoksemia berat, jika muncul, akan terjadi edema cerebral. HAPE biasanya
muncul setelah 48-72 jam dengan pendakian sangat cepat di atas 4000 m. Jika
oedem pulmonar muncul pada ketinggian 3000 m, penyakit penyerta biasanya
ditemukan pada gagal jantung kiri ataupun emboli paru.

LO.3.5. Penanggulangan AMS

a. Membawa pasien AMS ke tempat dengan ketinggian 500—1000 meter lebih rendah,
merupakan opsi utama, khususnya pada kejadian AMS berat.

b. Terapi oksigen hiperbarik dengan hyperbaric bag dengan kecepatan pemberian


oksigen 4L/menit.

c. Usahakan pasien dalam keadaan hangat.

d. Pemberikan 800 mg ibuprofen dan 85 mg acetazolamide serta placebo 3 kali sehari


pada

ketinggian 4280 m dan 4358 m memperlihatkan perbaikan keluhan sakit kepala.


e. Pemberian sildenafil 50 mg per oral satu kali sehari memperbaiki cardiac output dan
kemampuan berkuat dan meringankan peningkatan tekanan pada orang sehat
yang terpapar kondisi hipoksia normobarik dan mendaki sampai ketinggian 5400
m.

f. Pemberian obat Dexamethasone efektif sebagai pengobatan emergensi AMS


dengan dosis awal 4-10 mg, diikuti 4 mg setiap 6 jam. Dexamethasone menurunkan

16
gejala AMS namun tidak mempengaruhi kelainan fisiologik sehubungan dengan
paparan high-altitude.

LO.3.6. Pencegahan AMS

Menurut Richard (2014), prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal, yakni :
1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut.

2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan perbaikan atau
respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah.

3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk ke tahap
edema serebri (High Altitude Cerebral Edema), maka segera evakuasi ke tempat yang
lebih rendah.

Anjuran bagi pendaki gunung


Sebaiknya dilakukan Sebaiknya tidak dilakukan
Mendaki perlahan-lahan. Aktivitas berlebihan dan tidak perlu, serta
berjalan terlalu cepat saat pendakian.
Istirahat yang cukup, khususnya pada 72 Hindari mengonsumsi alcohol dan pil tidur.
jam pertama
Gunakan kacamata pelindung dan pakaian Jangan melanjutkan pendakian jika terdapat
yang berlapis. tanda-tanda AMS.
Minum yang cukup untuk menghindari Jangan ragu untuk meminta bantuan medis
dehidrasi dan makan makanan yang banyak atau turun ke ketinggian lebih rendah jika
serat dan rendah garam. kesehatan fisik maupun psikis mulai
menurun.
(Chawla dan Saxena (2014), Physiology of High Altitude Acclimatization,hal. 547)

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unimus.ac.id/860/3/BAB%20II.pdf
http://repository.ump.ac.id/189/3/BAB%20II_Wahyu%20Tri%20W..pdf
Kurniawan, Ehwan. 2014. Panduan Mendaki Gunung, Jakarta
http://www.academia.edu/31817879/MAKALAH_HIPOKSIA
http://www.moryz.com/asthma/guide/hypoxia-hypoxemia.html

17
repository.umy.ac.id
http://jurnal.fk.unand.ac.id
https://www.researchgate.net/publication/313714128_HIGH-ALTITUDE_ILLNESS
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/55946/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
Chawla dan Saxena (2014), Physiology of High Altitude Acclimatization,hal. 547
Lauralee Sherwood (2017), Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem ed. 8, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Buku Fisiologi Guyton and Hall. Edisi 12

18

Anda mungkin juga menyukai