Sskenario 1 Hipoksia Akut Dan Hipotermia
Sskenario 1 Hipoksia Akut Dan Hipotermia
BLOK BIOMEDIK II
Kelompok : A-8
Ketua : Putri Yunitasari Santoso (1102018100)
Sekretaris : Rania Reiza Faris Balfas (1102018099)
Anggota : Anggita Putri Dewayanti (1102018090)
Julita Asmara Putri (1102018087)
Nisrina Atifah Arifian Izzati (1102018088)
Rima Dara Ninggar (1102018091)
Muhammad Syaoqi Abdul Hapizh (1102018093)
Naila Hidayah (1102018096)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2014/2015
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp.62.21.4244574 Fax. 62.21.4244574
DAFTAR ISI
Daftar isi……………………………………………………………………………..........
Skenario……………………………………………………………………………...........
Kata-Kata Sulit…………….......………………….………………...................................
Pertanyaan dan Jawaban………………………….....……………………..……................
Hipotesis……………………………………………………………………….……….....
Sasaran belajar………………......………………………………………………….....
LO.1. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia ………………………............................
LO.1.1. Definisi Hipotermia.....................................................................................................
LO.1.2. Klasifikasi Hipotermia................................................................................................
LO.1.3. Penyebab Hipotermia..............................................................................................
LO.1.4. Gejala Hipotermia.............................................................................................
LO.1.5. Penanggulangan Hipotermia.....................................................................................
LO.1.6. Pengobatan Hipotermia.............................................................................................
Daftar Pustaka………………………………………………………….................….........
SKENARIO 1
Dua pendaki Gunung Sumbing terpaksa dievakuasi oleh tim SAR Kabupaten Temanggung
Jawa Tengah. Mereka dilaporkan mengalami hipoksia akut dan hipotermia. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah melaporkan peristiwa hipotermia
terjadi karena kurangnya persiapan saat mendaki. Menurut keterangan dokter yang merawat
dua pendaki tersebut, jika keadaan hipotermia tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kegagalan fungsi tubuh yang lebih dikenal sebagai Mountain Sickness Acute.
1
KATA SULIT
1. Hipoksia Akut
Kondisi kurangnya suplai oksigen ke jaringan dibawah normal
3. Hipotermia
Konidisi dimana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi
tekanan suhu dingin
2
PERTANYAAN
1) Apa gejala dari hipoksia?
2) Apa penyebab terjadinya hipoksia?
3) Bagaimana hipotermia bias terjadi?
4) Bagaimana pertolongan pertama pada hipotermia dan hipoksia?
5) Apa akibat dari hipoksia?
6) Apa penyebab AMS?
7) Bagaimana pencegahan AMS?
8) Bagaimana kegagalan fungsi tubuh yang disebabkan oleh hipotermia?
3
JAWABAN
1) Berkeringat, sesak nafas, detak jantung cepat.
2) Perubahan system saraf pusat jika telah mengenai batas otak akan menyebabkan
kematian otak.
3) Saat merasa kedinginan, tubuh akan membentung mekanisme pengaturan restabilan
suhu dengancara melebarkan pembuluh darah. Yang menyebabkan suhu tubuh
meningkat.
4) - Memindahkan penderita ke tempat yang lebih hangat
- Menanggalkan pakaian basah dan dingin, menggantinya dengan pakaian
hangat/selimut.
- Memberikan supli oksigen
- Menggunakan defibrillator (jika ada)
5) Dapat meninggal (sama seperti no. 8)
6) Kurangnya persiapan saat mendaki, terlalu cepat mendaki, kurangnya penyesuaian
tubuh terhadap lingkungan.
7) - Minum air putih yang banyak
- Istirahat cukup
- Menemui dokter dan meminta obat yang harus dibawa
- Mendaki tidak terlalu cepat
- Membawa penderita turun 500 mdpl
8) Pupil melebar, nafas berkurang (sesak nafas), pingsan, mati rasa, kulit agak
kebiruan.
4
HIPOTESIS
Hipoksia dan Hipotermia terjadi karena kurangnya supli oksigen dan tekanan udara yang
menurun, serta suhu tubuh yang menurun pada tempat yang tinggi. Hal ini menyebabkan
terjadinya sesak nafas, berkeringat, warna kulit menjadi kebiruan, detak jantung meningkat,
pupil melebar dan jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kegagalan fungsi tubuh
yang berakibat pada kematian. Hal ini dialami oleh sebagian besar pendaki yang menderita
AMS.
Pencegahan AMS antara lain adalah mendaki dengan tempo tidak terlalu cepat, meminum
air putih, memakai pakaian yang tebal dan hangat. Penyesuaian tubuh terhadap lingkungan.
AMS dapat ditanggulangi dengan cara memindahkan penderita ke tempat yang lebih hangat ,
menanggalkan pakaian basah dan dingin lalu menggantinya dengan pakaian hangat / selimut,
memberikannya suplai oksigen dan menggunakan defibrillator jika ada.
5
SASARAN BELAJAR
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia
LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hipotermia
LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Hipotermia
LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Penyebab Hipotermia
LO.1.4. Memahami dan Menjelaskan Gejala Hipotermia
LO.1.5. Memahami dan Menjelaskan Penanggulangan Hipotermia
LO.1.6. Memahami dan Menjelaskan Pengobatan Hipotermia
6
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia
Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh menjadi < 35 derajat celcius
(atau 95 derajat Fahrenheit) secara involunter. (Jurnal Universitas Muhammadiyah
Semarang)
7
2. Hiportemia Sedang (28-32oC)
Gejala yang dialami penderita hipotermia sedang adalah nadi berkurang,
pernapasan pelan dan dangkal, berhenti menggigil, refleks melambat, kehilangan
daya untuk mengenal lingkungan (disorientasi), gangguan pada detak jantung
atau irama jantung (aritmia).
3. Hipotermia Berat (<28oC)
Gejala pada penderita hipotermia berat adalah tekanan darah menjadi rendah
(hipotensi), nadi lemah, edema paru, koma, aritmia ventrikel, dan henti jantung.
8
2. Breathing: jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik,
pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding, dada dan diafragma.
3. Circulation: menilai keadaan dinamika dari aliran darah dengan observasi
tingkat kesadaran, warna kulit, nadi dan tekanan darah. Mengontrol pendarahan
segera mungkin apabila terjadi pendarahan pada bagian eksternal, internal, rongga
thoraks, rongga abdomen, fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang.
4. Disability: menilai kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
5. Exposure: membuka seluruh pakaian untuk evaluasi penderita, menjaga
penderita untuk tidak kedinginan dengan memberikan selimut dan membawa
penderita ke ruangan yang lebih hangat.
b. Pasien dengan hipotermia sedang, dapat diatasi dengan cara memindahkannya
dari lingkungan dingin ke tempat yang lebih hangat dan menggunakan selimut
c. Pasien dengan hipotermia berat, sebaiknya dipantau dengan pulse oxymetri
d. Perhatikan jalan napas, pernapasan, dan jantung. bila tidak ada gangguan
kardiovaskular, penghangatan aktif eksternal dapat diterapkan (radiasi panas, selimut
hangat, immersi air hangat, dan objek yang dipanaskan) dengan cairan intravena dan
oksigen yang dihangatkan.
2. Hipoksia anemik, terjadi ketika tubuh tidak mampu mengangkut oksigen yang
tersedia ke jaringan target. Penyebab hal ini antara lain:
Anemia berat karena kehilangan darah baik akut maupun kronis. Anemia yang
bersifat ringan-sedang tidak akan menyebabkan hipoksia anemik karena tubuh
9
masih dapat mengkompensasi walaupun pasien akan tetap mengalami hipoksia
jika melakukan aktivitas;
Penyakit seperti anemia sel sabit, anemia defisiensi besi, anemia aplastik,
anemia hemolitik.
3. Hipoksia stagnant, terjadi ketika tidak adanya aliran darah yang cukup ke jaringan
target. Organ yang paling terpengaruh adalah ginjal dan jantung karena mereka
memiliki kebutuhan oksigen yang tinggi. Penyebab hal ini antara lain:
Gagal jantung;
Darah vena yang tidak bisa mengalir baik akibat G-forces (seperti yang
dialami oleh para pengemudi pesawat-pesawat tempur atau aerobatik).
4. Hipoksia histotoksik, terjadi ketika jaringan tubuh tidak dapat menggunakan oksigen
yang sudah dialirkan ke mereka. Kasus ini bukan merupakan hipoksia sebenarnya
karena tingkat oksigenisasi jaringan dapat normal atau lebih dari normal. Penyebab
hal ini sebagian besar berupa racun, antara lain:
Keracunan sianida
Konsumsi alcohol
Narkotika.
Gejala umum hipoksia adalah, cepat bernafas, sesak nafas, denyut nadi cepat,
berkeringat, pusing, mual, muntah, gelisah, cemas, tidak mampu berkonsentasi, batuk-batuk,
ke bingungan, ada perubahan perilaku, penurunan tingkat kesadaran, peningkatan tekanan
darah, timbulnya rasa takut, pucat, warna kulit, kuku dan bibir berubah menjadi kebiruan
11
3. KETINGGIAN 15.000-20.000 KAKI
- kehilangan judgement
- kontrol otot syaraf lemah
- perubahan emosi
- proses berfikir lambat
- gejala nafas lambat
- gejala penurunan penglihatan
Pertolongan pertama ketika menghadapi hipoksia dengan melakukan tindakan ABC, Air
way, breathing dan circulation,
Air way adalah membebaskan jalan nafasnya, misalnya melonggarkan pakaian pada
daerah dada, memberikan ruang yang nyaman untuk bernafas, atau membawanya ketempat
yang lebih rendah. Karena semakin tinggi suatu empat, semakin tipis oksigenya.
Selanjutnya breathing dengan memberikan nafas buatan, dan Circulation adalah
menormalkan denyut jantung atau memberi CPR (Cardiopulmonary resuscitation)
Pencegahan hipoksia:
1. Hindari merokok, minum alkohol dan obat anti depresan akan menperlambatt
pernafasan
2. Menghindari yang menurunkan oksigen.
3. Mengunakan tambahan oksigen dari tabung oksigen sebelum hipoksia muncul.
4. Menjaga asupan nutrisi
12
LO.3.1. Definisi AMS
Mountain sickness adalah penyakit gunung yang disebabkan salah satunya
karena adanya penurunan kadar oksigen di dalam darah karena berada di ketinggian
tertentu. Semakin tinggi dataran maka kadar oksigen di udara akan semakin
berkurang.
Faktor yang dapat menjadi penyebab penyakit gunung ini adalah kurangnya
aklimatisasi (proses penyesuaian diri pada dua kondisi lingkungan yang berbeda) dan
pergerakan mencapai ketinggian tertentu yang terlalu cepat. Sekitar 25% penyakit
gunung ini dialami saat pendaki berada di ketinggian 2400 meter di atas permukaan
laut (mdpl), dan sekitar 4050% terjadi saat pendaki berada di ketinggian 3000 mdpl.
Mountain Sickness Acute bisa terjadi pada usia tua dan muda, pria ataupun
wanita, walaupun beberapa penelitian menyatakan wanita lebih sering terkena
dibanding pria. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan kadar oksigen dan tekanan
udara yang semakin berkurang saat mendaki ke tempat yang lebih tinggi.
1. Mild AMS (AMS Ringan)
Sebanyak 75 persen kasus yang ada, AMS ringan biasanya terjadi pada saat
pendaki memasuki ketinggian 3.000 4.000 mdpl. Gejala munculnya AMS ringan
biasanya muncul 1224 jam setelah pendaki tiba di ketinggian tersebut. Gejala yang
muncul biasanya berupa sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan, sesak nafas,
tidur terganggu, dan lain sebagainya. Solusi untuk mengatasi hal ini adalah pendaki
harus tetap sadar dan tetap melakukan aktivitas ringan. Disarankan untuk tidak
langsung tidur jika mengalami gejala tersebut.
2. Moderate AMS (AMS Sedang)
Sementara AMS sedang akan menyerang pendaki jika gejala pada AMS
rendah tidak teratasi dengan baik. Biasanya gejala yang muncul pada AMS sedang,
pendaki akan merasakan sakit kepala parah, mual disertai muntah, penurunan
kesadaran (ataksia), dan lain sebagainya.
Solusi jika pendaki mengalami gejalagejala tersebut, segeralah turun ke tempat
yang lebih rendah untuk proses penyesuaian ketinggian atau aklimatisasi. Hal ini
harus dilakukan untuk menghindari gejala ataksia mencapai titik puncaknya di mana
si penderita tidak akan bisa berjalan dengan normal.
3. Severe AMS (AMS Parah)
Sedangkan AMS berat terjadi ketika si penderita mengalami sesak nafas dan
13
kehilangan kesadaran total (penurunan status mental). Dalam kasus ini, pendaki
tersebut sudah tidak sadarkan diri dan harus segera ditandu menuju tempat yang lebih
rendah dan harus ditangani serius oleh petugas medis. Jika tidak ditangani secara
serius bisa menyebabkan HighAltitude Cerebral Edema (HACE) dan Highaltitude
pulmonary edema (HAPE).
HACE terjadi karena otak membengkak dan mengalami penurunan fungsi
karena kekurangan oksigen. Gejalanya adalah pusing yang sangat berat, kesulitan
bernafas, mual dan muntah muntah, mulai tidak sadarkan diri, berhalusinasi, bahkan
koma.
Sedangkan HAPE terjadi karena pembuluh darah di paruparu menyempit,
menyebabkan paruparu kemasukan cairan dari pembuluh darah. Sehingga penderita
akan merasa kesulitan bernafas, dada sakit, batuk berdahak, bibir dan kuku berubah
warna menjadi biru/abuabu, kehilangan kesadaran, hingga koma.
Cara untuk menghindari penyakit AMS tidak rumit, pada saat mendaki,
biasakan untuk berjalan sesuai ritme, tidak terburuburu atau tergesagesa. Hal ini
berguna bagi tubuh membiasakan ketinggian atau aklimatisasi. Sehingga kerja tubuh
juga tetap berjalan dengan normal.
mual
bernafas terengah
pusing bergoyang
14
inkoordinasi
kecepatan jantung tinggi ( dipicu oleh hipoksia sebagai tindakan kompensasi untuk
meningkatkan penyaluran O₂ yang ada melalui sirkulasi ke jaringan )
Jika gejala tidak ditangani dengan baik, Oedem perifer dapat terjadi, namun tidak ada
gejala fisik yang dapat ditemukan pada AMS dan adanya gejala neurologikal biasanya
dipikirkan ke arah HACE atau penyebab lain.
Komplikasi AMS
1. Edema otak
Kondisi terjadinya pembengkakan jaringan otak karena dilatasi atau pelebaran pembuluh
darah sehingga cairan intravaskuler bocor. Gejala yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
lemah, koordinasi hilang, Penurunan kesadaran, halusinasi, dan koma.
2. Edema paru-paru
Kondisi terbentuknya cairan instravaskuler dalam alveolus karena konstriksi atau
penyempitan pembuluh drah vena dan arteri pulmonalis sehingga menghambat pertukaran
oksigen. Gejala yang ditimbulkan antara lain sianosis, sesak nafas, batuk dengan
mengeluarkan cairan putih berair atau berbusa, bingung dan perilaku irrasional karena
oksigen kurang cukup sampai ke otak, hingga berujung pada kematian.
Kondisi Kriteria
AMS Sakit kepala disertai sekurang-kurangnya satu dari gejala berikut: fatique
atau kelemahan; dizziness; keluhan gastrointestinal (mual, muntah,
anoreksia); gangguan tidur.
HACE Perubahan status mental dan atau ataxia.
HAPE Sekurang-kurangnya 2 dari gejala berikut: dispneu saat istirahat; batuk;
kelemahan; rasa berat di dada atau kongesti dan Sekurang-kurangnya 2 dari
tanda berikut:
ronkhi atau wheezing pada satu sisi paru; sianosis sentral; takipneu;
takikardi.
Keterangan :
AMS = acute mountain sickness
HACE = high-altitude cerebral edema
HAPE = high-altitude pulmonal edema
15
Saturasi oksigen arterial sangat rendah dalam hubungannya dengan ketinggian.
HACE ini dapat menjadi fatal, dimana edem cerebral yang terjadi pada HACE
dapat menyebabkan herniasi otak dengan kompresi batang otak yang akhirnya
menimbulkan kematian dalam 24 jam pertama sejak mulai gejala. Gambaran MRI
cerebral HACE memperlihatkan mikrohemoragi di corpus callosum.9,10 Salah satu
studi kasus memperlihatkan koma dapat muncul 24 jam pertama dan kematian
dapat terjadi 48 jam kemudian. Pada HACE berat, pemeriksaan fisik, radiologi
thorax dan autopsi memperlihatkan gambaran oedem paru.10
a. Membawa pasien AMS ke tempat dengan ketinggian 500—1000 meter lebih rendah,
merupakan opsi utama, khususnya pada kejadian AMS berat.
16
gejala AMS namun tidak mempengaruhi kelainan fisiologik sehubungan dengan
paparan high-altitude.
Menurut Richard (2014), prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal, yakni :
1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut.
2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan perbaikan atau
respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah.
3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk ke tahap
edema serebri (High Altitude Cerebral Edema), maka segera evakuasi ke tempat yang
lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.unimus.ac.id/860/3/BAB%20II.pdf
http://repository.ump.ac.id/189/3/BAB%20II_Wahyu%20Tri%20W..pdf
Kurniawan, Ehwan. 2014. Panduan Mendaki Gunung, Jakarta
http://www.academia.edu/31817879/MAKALAH_HIPOKSIA
http://www.moryz.com/asthma/guide/hypoxia-hypoxemia.html
17
repository.umy.ac.id
http://jurnal.fk.unand.ac.id
https://www.researchgate.net/publication/313714128_HIGH-ALTITUDE_ILLNESS
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/55946/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
Chawla dan Saxena (2014), Physiology of High Altitude Acclimatization,hal. 547
Lauralee Sherwood (2017), Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem ed. 8, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Buku Fisiologi Guyton and Hall. Edisi 12
18