LP Striktur Uretra Ngeb
LP Striktur Uretra Ngeb
LAPORAN PENDAHULUAN
STRIKTUR URETRA
A. Pengertian
Striktur uretra adalah penyempitan atau kontraksi dari lumen urethra
akibat adanya osbtruksi (long, 1996). Striktur urethra adalah penyempitan
akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra
atau daerah urethra. (UPF Ilmu Bedah, 1994). Striktur uretra adalah
berkurangnya diameter atau elastisitas uretra yang disebabkan oleh jaringan
uretra diganti jaringan ikat yang kemudian mengerut menyebabkan jaringan
lumen uretra mengecil.
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra
menyempit akibat adanya jaringan parut dan kontriksi. Berbeda dengan
obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra merupakan
adanya oklusi dari meatus uretraliskarena adanyajaringan yang fibrotik
dengan hipertreofi. Jaringan fibrotik yang tumbuh dengan abnormal akan
menutupi atau mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran urine (urine
flow) akan menurun. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 144)
Striktur uretra bisa terjadi secara kongenital maupun karena trauma.
Namun, kejadian striktur uretra pada laki-laki jarang yang bersifat kongenital
dan diakibatkan oleh trauma yang bersifat iatrogenik (kateterisasi, prosedur
endoskopik, atau rekonstruksi uretra sebelumnya) atau karena trauma (fraktur
pelvis). Sedangkan striktur uretra pada wanita diakibatkan oleh adanya
deformitas dari uretra yang berputar dan mengalami penyempitan(spinning
top). (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 144)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa striktur uretra adalah kondisi
dimana saluran uretra mengalamai penyempitan atau obstruksi uretra.
B. Anatomi fisiologi
Uretra merupakan tabung yang
1 menyalurkan urine keluar dari bulibuli
melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani.
Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang
disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang
2
keluar melalui uretrha. Sel-sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut
keluar melalui uretra.
Jumlah cairan yang dihasilkann meliputi 10-30% dari ejakulasi.
Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses produksi adalah
keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain seperti pertumbuhan yang
banormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting
pada proses reproduksi tetapi lebih berperan pada terjadinaya gangguan aliran
kencing. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasnya pada
laki-laki usia lanjut.
C. Etiologi
Penyebab dari striktur uretra adalah sebagai berikut :
1. Kongenital
Pertumbuhan dan perkembangan meatus uretralis semenjak janin
mengalami gangguan, sehingga tidak terbentuk sempurna. Pembentukan
yang tidak sempurna tersebut akan mempersempit jalan urine, sehingga
terjadi obstruksi jaringan. Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah
ataupun bersamaan dengan anomali saluran kemih yang lain. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 145)
2. Jaringan parut sepanjang uretra
Jaringan parut ini dipicu oleh adanya perlukaan karena suatu penyakit.
Infeksi jaringan (gonorhea) oleh diplococcus neisseria gonorhea akan
melukai jaringan uretra. Perlukaan yang kronis akan menyebabkan
jaringan fibrosa mengalami penebalan, sehingga terjadilah striktur fibrosa
pada uretra posterior. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 145)
3. Cidera traumatik (instrumentasi atau infeksi)
Banyak tindakan yang memicu terjadinya striktur, misalnya pemasangan
kateter yang lama, pembedahan dengan bakat keloid, dan evakuasibenda
asing atau batu dengan perlukaan.
Berdasarkan letak striktur, maka dimungkinkan beberapa penyebab yang
berbeda, antara lain:
1. Pars membranosa
Dikarenakan trauma panggul, kateterisasi yang salah jalur sehingga
menimbulkan kerusakan integritas membran uretralis.
2. Pars pulbosa
Trauma atau cidera uretritis
3. Meatus
Balanitis dan instrumenasi dengan permukaan yang kasar
4
E. Patofisiologi
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya
jaringan perut dan kontraksi. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra. Striktur uretra
dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan anomali saluran
kemih yang lain. Adapula Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah
selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi),
Cedera akibat peregangan, Cedera akibat kecelakaan, Uretritis gonorrheal
yang tidak ditangani, Infeksi, Spasmus otot dan tekanan dai luar misalnya
pertumbuhan tumor
5
F. Pemeriksaan diagnostik
1. Anamesis yang lengkap
Dengan anamnesis yang baik, diagnosis striktur urethra mudah
ditegakkan, apabila ada riwayat infeksi “veneral atau straddle injury”
seperti uretritis, trauma dengan kerusakan pada pinggul straddle injury,
instrumentasi pada urethra, pemasangan kateter, dan kelainan sejak lahir.
2. Inspeksi
Meatus, ekstermus yang sempit, pembengkakan serta fistula (e)
didaerah penis, skrotum, perineum dan suprapubik.
3. Palpasi
Teraba jaringan parut sepanjang perjalalanan urethra, anterior pada
bagian ventral dari penis, muara fistula (e) bila dipijat mengeluarkan getah
/ nanah.
4. Colok dubur
5. Kalibari dengan kateter lunak (lateks) akan ditemukan adanya hambatan
6. Untuk Kepastian diagnosis dapat ditegakkan dan dipastikan dengan
uretrosistografi, uretoskopi kedalam lumen urethra dimasukkan dimana
kedalam urethra dimasukkan dengan kontras kemudian difoto sehingga
dapat terlihat seluruh saluran urethra dan buli-buli. dan dari foto tersebut
dapat ditentukan :
a. Lokalisasi striktur : Apakah terletak pada proksimal atau distal dari
sfingter sebab ini penting untuk tindakan operasi.
b. Besarnya kecilnya striktur
c. Panjangnya striktur
d. Jenis strIktur
7. Bila sudah dilakukan sistomi : bipolar-sistografi dapat ditunjang dengan
flowmetri
8. Pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan IVP, USG, (pada striktura yang
lama dapat terjadi perubahan sekunder pada kelenjar
prostat,/batu/perkapuran/abses prostat, Efididimis / fibrosis diefididimis.
G. Penatalaksanaan
a. Tergantung pada :
1. Lokalisasi
2. Panjang pendeknya struktur
3. Keadaan darurat
6
b. Dilatasi uretraperiodik
Dilakukan dengan halus dan hati-hati ( perlu pengalaman dan dituntut
ketekunan seta kesabaran kalau perlu dimulai dengan(bougie filiform) dan
seterusnya. Kontraindikasi : Pada anak kecil, bila gagal ( bougie terlalu
sering / jarak 2-3 bulan, nyeri, perdarahan, ekstravasasi, infeksi
dipertimbangkan uretrotomia interna.
c. Uretrotimia interna
1. Visual : sachse
2. Blind : Otis
Selalu dicoba urethromia interna dahulu terlebih dahulu kecuali
terdapat fistula urethro kutan atau abses perurethra. Bila dilatasi uretra
akut urethrotomi interna gagal atau terdapat abses/fistula dilakukan
tindakan pembedahan :
1. Plastik urethra satu tahap dengan tanpa ”graft ” kulit ( syaraf tak ada
infeksi dilakukan tindakan pembedahan ).
2. Bila terjadi penyulit abses / fistula (e) operasi dalam 2 tahap.
3. Kateter (plastik,silikon, atau lateks) dipasang 5-7 hari bila terjadi
striktur dapat dicoba lagi.
4. Pemakaian Antibiotik (lihat dari standar lab bedah) :
a. Bila terdapat infeksi saluran air kemih : diberikan antibiotik yang
sesuai hasil test kepekaan.
b. Bila kultur urin steril : profilaksis dengan : anamnesa,
pemeriksaan fisik, coba kateterisasi / kateter karet ( lateks )
c. Retensi urin : Sistostomi, kemudian dirujuk
d. Ifiltrat urin : Sistostomi, insisi multipel, kemudian dirujuk bila
proses infeksi
H. Komplikasi
Striktur uretra menyebabkan retensi urin di dalam kandung kemih,
penumpukan urin di dalam kantung kemih beresiko tinggi untuk terjadinya
infeksi, yang dapat menyebab ke kantung kemih, prostat, dan ginjal. Abses
diatas lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan kerusakan
uretra.
Selain itu terjadinya batu kandung kemih juga meningkat, timbul
gejala sulit ejakulasi, fistula uretrokutancus (hubungan abnormal antara uretra
dengan kulit).
Dampak masalah yang akan terjadi :
7
Pada klien post Sachse dapat mengalami gangguan tidur karena klien
merasakan nyeri pada lika operasi atau spasme dari kandung kemih.
Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3. Pola aktifitas.
Klien post Sachse aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa.
Klien cenderung mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan akibat
dari Sachse nya. Klien akan banyak memilih di tempat tidur dari pada
beraktifitas pada hari pertama dan hari yang kedua post Sachse Sedangkan
kebutuhan klien dibantu.
4. Pola reproduksi dan seksual.
Klien post Sachse dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di
sebabkan karena situasi krisis ( inkontinensia, kebocoran urine setelah
pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi seksual maka dapat
terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status kesehatan.
5. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah
dapat menimbulkan masalah dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga
klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya khususnya saat
dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
9
1. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.
pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan
status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan
kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi
Sachse dan pengkajian post operasi Sachse.
1. Pengkajian pre operasi Sachse
Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya,
yang meliputi; a. Pengkajian fokus :
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan
retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik.
Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya
terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak.
Peristaklit usus menurun atau meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat
teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine,
apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya.
Pada anus biasanya ada haemorhoid.
Inspeksi :
a. Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent (nanah)
c. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya
pada penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak
nyamanan pada saat akan mixi.
b. Pengkajian psikososial :
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu :
menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
11
c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan
nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama
nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan
otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan
perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
d. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah,
suhu tubuh, monitor jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi,
konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus
apa belum, apakah ada mual dan muntah.
f. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi.
Bagaimana memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan
dibagian mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang
terpasang infus. Keadaan ekstrimitas.
23
g. Sistem eliminasi Apa ada ketidaknyamanan pada supra
pubik, kandung kemih penuh . Masih ada gangguan miksi
seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda perdarahan,
infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih.
Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana
keadaan sekitar daerah pemasangan kateter. Terapi yang
diberikan setelah operasi : Infus yang terpasang, obat – obatan
seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih. 3.
Analisa Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa
untuk menentukan masalah klien. Analisa merupakan proses
intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, menyeleksi,
mengklasifikasi data, mengelompokkan, mengkaitkan,
menentukan kesenjangan informasi, membandingkan dengan
standart, menginterpretasikan serta akhirnya membuat
kesimpulan. Penulis membagi analisa menjadi 2, yaitu analisa
sebelum operasi dan analisa setelah operasi.
15
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang bisa muncul dari pada klien dengan struktur uretra
adalah sebagai berikut :
1. Nyeri akut
Data Obyektif :
a) Disuria/anuria
b) Inkontinensia berlebih
c) Residu urine 150 ml lebih
(PPNI, 2016, hal. 115)
3. Faktor yang berubungan:
a) Peningkatan tekanan uretra
b) Kerusakan arkus refleks
c) Blok spingter
d) Disfungsi neurologis(mis, trauma, penyakit saraf)
e) Efek agen farmakologis(mis, atropine, belladona, psikotropik,
antihistamin, opiate)
(PPNI, 2016, hal. 115)
4. Resiko Infeksi
2) Batasan Kateristik :
1. Mengompol sebelum mencapai atau selama usaha mencapai toilet
19
C. Intevensi Keperawatan
Berikut ini adalah intervensi yang dirumuskan untuk mengatasi masalah
keperawatan pada klien dengan stuktur uretra.
a) Nyeri Akut
1. Tujuan : memperlihatkan pengendalian nyeri (mengenali awitan nyeri,
menggunakan tindakan pencegahan, melaporkan nyeri dapat
dikendalikan), menunjukkan tingkat nyeri.(wilkinson, 2016, hal. 296)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam , kriteria
hasil akan:
1) Memperlihatkan teknik relasasi secara individual yang efektif ntuk
mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan skala 0-
10)
3) Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
modifikasi faktor tersebut
5) Melaporkan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
6) Menggunakan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
7) Menggunakasn tindakana meredakan nyeri dengan analgesik dan
nonanalgesik secara tepat
8) Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan,
frekuensi antung atau tekanan darah
20
b) Pengkajian
Manajeman Eliminasi Urine (NIC) :
1. Pantau eliminasi urine, meliputi frekuensi, konsistensi, bau,
volume.
2. Kumpulkan spesimen urine porsi tengah untuk urinalis, jika perlu.
(wilkinson, 2016, hal. 458)
c) Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
Manajeman Eliminasi Urine (NIC) :
1. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2. Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine.
3. Instruksikan pasien untuk berespon segera terhadap kebutuhan
eliminasi.
4. Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat makan,
diantara waktu makan, dan diawal petang.
(wilkinson, 2016, hal. 458)
d) Aktifitas Kolaboratif
Rujuk ke dokter jika terdapat tanda dan gejala infeksi saluran
kemih. (wilkinson, 2016, hal. 458)
c) Retensi Urine
1. Tujuan : menunjukkan pola elimansi urine.(wilkinson, 2016, hal. 469)
2. Kriteria hasil :
Residu pasca berkemih >100-200 ml
Menunjukkan pengosongan kandung kemih dengan prosedur bersih
kateterisasi intermiten mandiri
Mendeskripsikan rencana perawatan di rumah
Tetap bebas dari infeksi saluran kemih
Melaporkan penurunan spasme kandung kemih
Mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam
Mengosongkan kandung kemih secara tuntas
(wilkinson, 2016, hal. 470)
1. Aktifitas Keperawatan
Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih.
Perawatan Retensi Urine (NIC) :
Pantau penggunaan agens non-resep dengan anti-kolinergik atau
agonis alfa.
Pantau efek obat resep, seperti penyekat kalsium dan antikolnergik.
24
d) Resiko Infeksi
1) Tujuan : faktor resiko akan hilang, dibuktikan oleh pengendalian resiko
komunitas. (wilkinson, 2016, hal. 235)
2) Kriteria hasil
Pasien dan keluarga akan:
a) Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
b) Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat
c) Mengindikasikan status gastrointestinal, parnapasan, genitourinaria,
dan imun dalam batas normal
d) Menggambarkan factor yang menunjang penularan infeksi
e) Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur
skrinning dan pemantauan. (wilkinson, 2016, hal. 235)
3) Aktivitas keperawatan
Penyuluhan ntuk pasien/ keluarga
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga adanya terapi meningkatkan
risiko terhadap infeksi
Instruksikan untuk menjaga hygiene personal untuk melindungi
tubuh terhadap infeksi (misal, mencuci tangan)
Menjelaskan rasional dan manfaat serta efek samping imunisasi
Memberikan pasien dan keluarga dalam metode untuk mencatat
imunisasi (misal, formulir imunisasi, buku catatan harian)
Pengendalian infeksi (NIC):
Mengajarkan pasien teknik mencuci tangan yang benar
Mengajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu
masuk dan meninggalkan ruang pasien. (wilkinson, 2016, hal. 236)
4) Aktifitas kolaboratif
Mengikuti protocol institusi untuk melaporkan infeksi yang dicurigai
atau kultur positif
Pengendalian infeksi (NIC): memberikan terapi antibiotic bila di
perlukan. (wilkinson, 2016, hal. 236)
5) Aktifitas lain
Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan tidak
menugaskan perawat yang sama untuk pasien lain yang mengalami
infeksi dan memisahkan ruang perawatan pasien dengan pasien yang
terinfeksi.
Pengendalian infeksi (NIC):
26
D. Evaluasi
Evaluasi adalah bagian akhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses
keperawatan ( diagnosis, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi
adalah untuk apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak
dan untuk melakukan pengkajian ulang jika belum tercapai. Ada tiga alternatif
yang dapat dipakai perawat dalam memutuskan, sejauh mana tujuan yang
telah ditetapkan itu tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian
dan tujuan tidak tercapai.
29
DAFTAR PUSTAKA
29