Anda di halaman 1dari 29

1

LAPORAN PENDAHULUAN
STRIKTUR URETRA

A. Pengertian
Striktur uretra adalah penyempitan atau kontraksi dari lumen urethra
akibat adanya osbtruksi (long, 1996). Striktur urethra adalah penyempitan
akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada urethra
atau daerah urethra. (UPF Ilmu Bedah, 1994). Striktur uretra adalah
berkurangnya diameter atau elastisitas uretra yang disebabkan oleh jaringan
uretra diganti jaringan ikat yang kemudian mengerut menyebabkan jaringan
lumen uretra mengecil.
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra
menyempit akibat adanya jaringan parut dan kontriksi. Berbeda dengan
obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra merupakan
adanya oklusi dari meatus uretraliskarena adanyajaringan yang fibrotik
dengan hipertreofi. Jaringan fibrotik yang tumbuh dengan abnormal akan
menutupi atau mempersempit meatus uretralis, sehingga aliran urine (urine
flow) akan menurun. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 144)
Striktur uretra bisa terjadi secara kongenital maupun karena trauma.
Namun, kejadian striktur uretra pada laki-laki jarang yang bersifat kongenital
dan diakibatkan oleh trauma yang bersifat iatrogenik (kateterisasi, prosedur
endoskopik, atau rekonstruksi uretra sebelumnya) atau karena trauma (fraktur
pelvis). Sedangkan striktur uretra pada wanita diakibatkan oleh adanya
deformitas dari uretra yang berputar dan mengalami penyempitan(spinning
top). (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 144)
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa striktur uretra adalah kondisi
dimana saluran uretra mengalamai penyempitan atau obstruksi uretra.

B. Anatomi fisiologi
Uretra merupakan tabung yang
1 menyalurkan urine keluar dari bulibuli
melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani.
Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang
disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang
2

dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Panjang uretra dewasa ±


23-25 cm.
Secara anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh spingter uretra eksternal.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu
bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu
tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum
ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan
sekresi kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di
uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus
spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas :
a. Pars bulbosa
b. Pars pendularis
c. Fossa navikulare
d. Meatus uretra eksterna
Didalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang
berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada didalam
diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre
yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi
atau mengitari uretrha posterior dan disebelah proximalnya berhubung dengan
bulli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada
diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar punggul. Kelenjar
ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis.
Ukuran, panjang sekitar 4-6 cm, lebar 3-4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2-3
cm, beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
a. Jaringan kelenjar < 50- 70%
b. Jaringan stroma (penyangga)
c. Kapsul/muscule
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzim
yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi
(pengumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu
orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat
3

keluar melalui uretrha. Sel-sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut
keluar melalui uretra.
Jumlah cairan yang dihasilkann meliputi 10-30% dari ejakulasi.
Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses produksi adalah
keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain seperti pertumbuhan yang
banormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting
pada proses reproduksi tetapi lebih berperan pada terjadinaya gangguan aliran
kencing. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasnya pada
laki-laki usia lanjut.
C. Etiologi
Penyebab dari striktur uretra adalah sebagai berikut :
1. Kongenital
Pertumbuhan dan perkembangan meatus uretralis semenjak janin
mengalami gangguan, sehingga tidak terbentuk sempurna. Pembentukan
yang tidak sempurna tersebut akan mempersempit jalan urine, sehingga
terjadi obstruksi jaringan. Striktur uretra dapat terjadi secara terpisah
ataupun bersamaan dengan anomali saluran kemih yang lain. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 145)
2. Jaringan parut sepanjang uretra
Jaringan parut ini dipicu oleh adanya perlukaan karena suatu penyakit.
Infeksi jaringan (gonorhea) oleh diplococcus neisseria gonorhea akan
melukai jaringan uretra. Perlukaan yang kronis akan menyebabkan
jaringan fibrosa mengalami penebalan, sehingga terjadilah striktur fibrosa
pada uretra posterior. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 145)
3. Cidera traumatik (instrumentasi atau infeksi)
Banyak tindakan yang memicu terjadinya striktur, misalnya pemasangan
kateter yang lama, pembedahan dengan bakat keloid, dan evakuasibenda
asing atau batu dengan perlukaan.
Berdasarkan letak striktur, maka dimungkinkan beberapa penyebab yang
berbeda, antara lain:
1. Pars membranosa
Dikarenakan trauma panggul, kateterisasi yang salah jalur sehingga
menimbulkan kerusakan integritas membran uretralis.
2. Pars pulbosa
Trauma atau cidera uretritis
3. Meatus
Balanitis dan instrumenasi dengan permukaan yang kasar
4

(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 145)


4. Post operasi
Beberapa operasipada saluran kemih dapat Menimbulkan striktur uretra
seperti operasi prostat, opearasi dengan alat endoskopi. (Nurarif &
Kusuma, 2015, hal. 159)
5. Infeksi
Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti
infeksi oleh kuman gonococcus yang menyebabkan uretritis gonorhoika
atau non gonorhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya
namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan
striktur ini terletak dipars membranosa walaupun juga terdapat pada
tempat lain; infeksi chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi
dapat dicegah dengan menghindarikontak dengan individu yang terinfeksi
atau menggunakan kondom. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 159)

D. Gejala klinis terdiri dari :


Keluhan berupa kesukaran dalam kencing, Pancaran air kencing kecil,
lemah, bercabang serat menetes dan sering di sertai dengan mengejan,
biasanya karena ada retensio urin timbul gejala-gejala sistitis, gejala –gejala
ini timbul perlahan-perlan selama beberapa bulan atau bertahun-tahun apabila
sehari keadaannya normal kemudian satu hari timbul tiba-tiba pancaran kecil
dan lemah tidak dipikirkan striktur urethra tapi dipikirkan kearah batu bulibuli
yang turun keurethra. Dapat terjadinya pembengkakan dan getah/nanah dari
daerah perineum, scrotom dan kadang-kadang dapat juga didapat adanya
bercak- bercak darah dicalana dalam, dicurigai adanya infeksi sistemik .

E. Patofisiologi
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya
jaringan perut dan kontraksi. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita terutama karena perbedaan panjangnya uretra. Striktur uretra
dapat terjadi secara terpisah ataupun bersamaan dengan anomali saluran
kemih yang lain. Adapula Cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah
selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sitoskopi),
Cedera akibat peregangan, Cedera akibat kecelakaan, Uretritis gonorrheal
yang tidak ditangani, Infeksi, Spasmus otot dan tekanan dai luar misalnya
pertumbuhan tumor
5

F. Pemeriksaan diagnostik
1. Anamesis yang lengkap
Dengan anamnesis yang baik, diagnosis striktur urethra mudah
ditegakkan, apabila ada riwayat infeksi “veneral atau straddle injury”
seperti uretritis, trauma dengan kerusakan pada pinggul straddle injury,
instrumentasi pada urethra, pemasangan kateter, dan kelainan sejak lahir.
2. Inspeksi
Meatus, ekstermus yang sempit, pembengkakan serta fistula (e)
didaerah penis, skrotum, perineum dan suprapubik.
3. Palpasi
Teraba jaringan parut sepanjang perjalalanan urethra, anterior pada
bagian ventral dari penis, muara fistula (e) bila dipijat mengeluarkan getah
/ nanah.
4. Colok dubur
5. Kalibari dengan kateter lunak (lateks) akan ditemukan adanya hambatan
6. Untuk Kepastian diagnosis dapat ditegakkan dan dipastikan dengan
uretrosistografi, uretoskopi kedalam lumen urethra dimasukkan dimana
kedalam urethra dimasukkan dengan kontras kemudian difoto sehingga
dapat terlihat seluruh saluran urethra dan buli-buli. dan dari foto tersebut
dapat ditentukan :
a. Lokalisasi striktur : Apakah terletak pada proksimal atau distal dari
sfingter sebab ini penting untuk tindakan operasi.
b. Besarnya kecilnya striktur
c. Panjangnya striktur
d. Jenis strIktur
7. Bila sudah dilakukan sistomi : bipolar-sistografi dapat ditunjang dengan
flowmetri
8. Pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan IVP, USG, (pada striktura yang
lama dapat terjadi perubahan sekunder pada kelenjar
prostat,/batu/perkapuran/abses prostat, Efididimis / fibrosis diefididimis.

G. Penatalaksanaan
a. Tergantung pada :
1. Lokalisasi
2. Panjang pendeknya struktur
3. Keadaan darurat
6

b. Dilatasi uretraperiodik
Dilakukan dengan halus dan hati-hati ( perlu pengalaman dan dituntut
ketekunan seta kesabaran kalau perlu dimulai dengan(bougie filiform) dan
seterusnya. Kontraindikasi : Pada anak kecil, bila gagal ( bougie terlalu
sering / jarak 2-3 bulan, nyeri, perdarahan, ekstravasasi, infeksi
dipertimbangkan uretrotomia interna.
c. Uretrotimia interna
1. Visual : sachse
2. Blind : Otis
Selalu dicoba urethromia interna dahulu terlebih dahulu kecuali
terdapat fistula urethro kutan atau abses perurethra. Bila dilatasi uretra
akut urethrotomi interna gagal atau terdapat abses/fistula dilakukan
tindakan pembedahan :
1. Plastik urethra satu tahap dengan tanpa ”graft ” kulit ( syaraf tak ada
infeksi dilakukan tindakan pembedahan ).
2. Bila terjadi penyulit abses / fistula (e) operasi dalam 2 tahap.
3. Kateter (plastik,silikon, atau lateks) dipasang 5-7 hari bila terjadi
striktur dapat dicoba lagi.
4. Pemakaian Antibiotik (lihat dari standar lab bedah) :
a. Bila terdapat infeksi saluran air kemih : diberikan antibiotik yang
sesuai hasil test kepekaan.
b. Bila kultur urin steril : profilaksis dengan : anamnesa,
pemeriksaan fisik, coba kateterisasi / kateter karet ( lateks )
c. Retensi urin : Sistostomi, kemudian dirujuk
d. Ifiltrat urin : Sistostomi, insisi multipel, kemudian dirujuk bila
proses infeksi

H. Komplikasi
Striktur uretra menyebabkan retensi urin di dalam kandung kemih,
penumpukan urin di dalam kantung kemih beresiko tinggi untuk terjadinya
infeksi, yang dapat menyebab ke kantung kemih, prostat, dan ginjal. Abses
diatas lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan kerusakan
uretra.
Selain itu terjadinya batu kandung kemih juga meningkat, timbul
gejala sulit ejakulasi, fistula uretrokutancus (hubungan abnormal antara uretra
dengan kulit).
Dampak masalah yang akan terjadi :
7

Pada klien striktur urethra akan timbul beberapa masalah, dengan


gejala yang telah diuraikan pada sub bab patofisiologi. Masalah ini dapat
berdampak pada pola pola fungsi kesehatan klien. Dimana klien sebagai
mahluk bio, psiko, sosial, spiritual. Dampak masalah yang muncul dapat di
bagi menjadi 2 yaitu dampak masalah pre operasi dan post operasi Sachse.
Dampak masalah pre operasi Sachse adalah :
1. Pola eleminasi .
Tanda tanda dan gejala yang berhubungan dengan striktura urethra
akibat penyempitan urethra yang berdampak pada penyumbatan parsial
atau sepenuhnya pada saluran kemih bagian bawah. Keluhan klien
antaralain adalah nokturia, frekuensi, hesistency, disuria, inkontinensia
dan rasa tidak lampias sehabis miksi . Dapat pula muncul hernia inguinalis
dan hemoroid .
2. Pola persepsi dan konsepsi diri
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Ketidak pastian tentang prosedur pembedahan, nyeri setelah
operasi, insisi dan immobilisasi dapat menimbulkan rasa cemas. Klien
juga cemas akan ada perubahan pada dirinya setelah operasi.
3. Pola tidur dan istirahat
Tanda dan gejala striktur urethra antara lain nokturi dan frekuensi. Bila
keluhan ini muncul pada klien maka tidur klien akan terganggu. Hal ini
terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap pada
setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek. Akibatnya klien
akan sering terbangun pada malam hari untuk miksi dan waktu tidur akan
berkurang.

Dampak masalah post operasi Sachse adalah:


1. Pola eliminasi
Klien post operasi Sachse dapat mengalami perubahan eliminasi. Hal
ini terjadi bila terdapat bekuan darah yang menyumbat kateter, edema dan
prosedur pembedahan . Perdarahan dapat terjadi pada klien post operasi
Sachse karena fiksasi dari traksi yang kurang tepat. Infeksi karena
pemasangan kateter yang kurang tepat atau perawatan kateter kurang atau
tidak aseptik dapat juga terjadi.
2. Pola istirahat
8

Pada klien post Sachse dapat mengalami gangguan tidur karena klien
merasakan nyeri pada lika operasi atau spasme dari kandung kemih.
Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3. Pola aktifitas.
Klien post Sachse aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa.
Klien cenderung mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan akibat
dari Sachse nya. Klien akan banyak memilih di tempat tidur dari pada
beraktifitas pada hari pertama dan hari yang kedua post Sachse Sedangkan
kebutuhan klien dibantu.
4. Pola reproduksi dan seksual.
Klien post Sachse dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di
sebabkan karena situasi krisis ( inkontinensia, kebocoran urine setelah
pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi seksual maka dapat
terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status kesehatan.
5. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat.
Perubahan penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah
dapat menimbulkan masalah dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga
klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya khususnya saat
dirumah supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
9

WOC STRIKTUR URETRA


10

1. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan.
pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan
status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan
kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi
Sachse dan pengkajian post operasi Sachse.
1. Pengkajian pre operasi Sachse
Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya,
yang meliputi; a. Pengkajian fokus :
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan
retensi umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik.
Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya
terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak.
Peristaklit usus menurun atau meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat
teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine,
apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya.
Pada anus biasanya ada haemorhoid.
Inspeksi :
a. Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent (nanah)
c. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya
pada penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak
nyamanan pada saat akan mixi.
b. Pengkajian psikososial :
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu :
menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
11

2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri,


takut dan kemampuan seks menurun dan takut akan kematian.
Riwayat psikososial terdiri dari :
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan
muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul karena
ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat
kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien
tentang sakitnya.
b. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien
dalam masyarakat.
c. Pengkajian diagnostik
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin
yaitu sel, eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
c. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no.
rigester dan diagnosa medis.
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak
lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi
memenjang dan akirnya menjadi retensio urine.
e. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran
perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang.
Penyakit kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani
kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan
hipertensi.
f. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga
yang menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang
menderita DM, asma, atau hipertensi.
g. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
12

Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan


tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan
upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri
(pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat ).
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan
pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan
menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause,
stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak
mengalami gangguan atau masalah.
h. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya,
ragu ragu, jumlah kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan
system perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai
atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya tentang defikasi,
apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari p[enyempitan
urethra kedalam rectum.
i. Pola tidur dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang
berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari (
nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan
waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.
j. Pola Aktifitas
Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan
sebelum sakit dan selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum
operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu
memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
k. Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota
keluarga, pasien lain, perawat atau dokter. Bagai mana peran klien
dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan sebagai mana
seharusnya.
l. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami
atau dirasakan klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul
kecemasan dalam menunggu acara operasinya. Tanggapan klien
13

tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam


menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak
berdaya.
m. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan
pendengaran dari klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi
pikiran, daya ingat dan waham. Pada klien biasanya tidak terdapat
gangguan atau masalah pada pola ini.
n. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya,
pengetahuannya tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual
yang terjadi sekarang, masalah seksual yang dialami sekarang
(masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola perilaku seksual
o. Pola penanggulangan stress
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress,
mekanisme penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan
masalah biasanya dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme
penanggulangan stressor positif atau negatif.
p. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa
tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus
ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan.
Bentuk tulang belakang bagaimana.

2. Pengkajian post operasi sachse


Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang
meliputi:
a. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu
dengan yang lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada
klien post operasi Sachse adalah keluhan rasa tidak nyaman, nyeri
karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi pada
waktu pembedahan.
Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan dari klien
sendiri.
b. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
14

c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan
nafas atau tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama
nafas, suara nafas. Ada wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan
otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan dada dan
perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
d. Sistem sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah,
suhu tubuh, monitor jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi,
konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus
apa belum, apakah ada mual dan muntah.

f. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi.
Bagaimana memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan
dibagian mana dipasang serta keadaan disekitar daerah yang
terpasang infus. Keadaan ekstrimitas.
23
g. Sistem eliminasi Apa ada ketidaknyamanan pada supra
pubik, kandung kemih penuh . Masih ada gangguan miksi
seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda perdarahan,
infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih.
Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana
keadaan sekitar daerah pemasangan kateter. Terapi yang
diberikan setelah operasi : Infus yang terpasang, obat – obatan
seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih. 3.
Analisa Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa
untuk menentukan masalah klien. Analisa merupakan proses
intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, menyeleksi,
mengklasifikasi data, mengelompokkan, mengkaitkan,
menentukan kesenjangan informasi, membandingkan dengan
standart, menginterpretasikan serta akhirnya membuat
kesimpulan. Penulis membagi analisa menjadi 2, yaitu analisa
sebelum operasi dan analisa setelah operasi.
15

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang bisa muncul dari pada klien dengan struktur uretra
adalah sebagai berikut :

1. Nyeri akut

a. Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan


kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3
bulan.
(PPNI, 2016, hal. 172)
b. Batasan karakteristik
Data Subjektif :
1) Mengeluh nyeri
Data Obyektif :
1) Frekuensi nadi meningkat
2) Sulit tidur
3) Proses berfikir terganggu
4) Menarik diri
5) berfokus pada diri sendiri
6) Perubahan selera makan
7) Diafrosis
8) Pola napas berubah
9) Tekanan darah meningkat
10) Tampak meringis
11) Bersikap protektif
12) Gelisah
13) Pola berfikir terganggu

(PPNI, 2016, hal. 172)


c. Faktor yang berhubungan :
1) Agens cedera fisiologis (misalnya, infeksi, iskemia, neoplasma)
2) Agens cedera fisik (misalnya, abses, amputai, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur bedah, trauma)
3) Agens cedera kimiawi (misalnya, luka bakar, kapsaisin, metilen klorida,
agens mustard)
(PPNI, 2016, hal. 172)
16

2. Gangguan Eliminasi Urine

1. Definisi : difungsi pada eliminasi urine.(PPNI, 2016, hal. 96)


2. Batasan karakteristik
3. Data Subyektif :
1. Urgensi
2. Urin menetes (dribbling)
3. Sering buang air kecil
4. Nokturia
5. Mengompol
6. Enuresis
4. Data Obyektif :
1. Distensi kandung kemih
2. Berkemih tidak tuntas (hesitency)
3. Volume residu urine meningkat
(PPNI, 2016, hal. 96)
5. Faktor yag behubungan:
1. Penurunan kapasitas kandung kemih
2. Iritasi kandung kemih
3. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih
4. Efek tindakan medis dan diagnostik(mis, operasi ginjal, operasi saluran
kemih, anastesi, dan obat-obatan)
5. Kelemahan otot pelvis
6. Ketidakmampuan mengakses toilet(mis, imobilisasi)
7. Hambatan lingkungan
8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
9. Outlet kandung kemih tidak lengkap(mis, anomali saluran kemih
kongenital)
10. Imaturitas(pada anak usia < 3 tahun)
(PPNI, 2016, hal. 96)
3. Retensi Urine

1. Definisi: pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap.


(PPNI, 2016, hal. 115)
2. Batasan karakteristik:
Data Subyektif :
a) Sensasi penuh pada kandung kemih
b) Dribbling
17

Data Obyektif :
a) Disuria/anuria
b) Inkontinensia berlebih
c) Residu urine 150 ml lebih
(PPNI, 2016, hal. 115)
3. Faktor yang berubungan:
a) Peningkatan tekanan uretra
b) Kerusakan arkus refleks
c) Blok spingter
d) Disfungsi neurologis(mis, trauma, penyakit saraf)
e) Efek agen farmakologis(mis, atropine, belladona, psikotropik,
antihistamin, opiate)
(PPNI, 2016, hal. 115)

4. Resiko Infeksi

1. Definisi : berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.


(PPNI, 2016, hal. 304)
2. Faktor resiko :
a) Penyakit kronis (mis, diabetes mellitus)
b) Efek prosedur invasif
c) Malnutrisi
d) Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
e) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
f) Gangguan peristaltik
g) Kerusakan integritas kulit
h) Perubahan sekresi pH
i) Penurunan kerja siliaris
j) Ketuban pecah lama
k) Ketuban pecah sebelumnya waktunya
l) Merokok
m) Statis cairan
n) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
o) Penurunan hemoglobin
p) Imununosupresi
q) Leukopenia
r) Supresi respon inflamasi
18

s) Vaksinasi tidak adekuat


(PPNI, 2016, hal. 304)
5. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

1) Definisi : kerusakan kulit (dermis, dan atau epidermis) atau jaringan


(membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul
sendi, dan atau ligamen). (PPNI, 2016, hal. 282)
2) Batasan Karakteristik :
a) Kerusakan jaringan dan atau lapisan kulit
b) Nyeri
c) Perdarahan
d) Kemerahan
e) Hematoma
(PPNI, 2016, hal. 282)
3) Faktor yang Berhubungan :
a) Perubahan sirkulasi
b) Perubahan status nutrisi(kelebihan atau kekurangan)
c) Kekurangan atau kelebihan volume cairan
d) Penurunan mobilitas
e) Bahan kimia iritatif
f) Suhu lingkungan yang ekstrem
g) Faktor mekanis (mis, penekanan pada tonjolan tulang, gesekan) atau
faktor elektris (elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi)
h) Efek samping terapi radiasi
i) Proses penuaan
j) Neuropati perifer
k) Perubahan pigmentasi
l) Perubahan hormonal
m) Kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan atau
melindungi integritas jaringan.
(PPNI, 2016, hal. 282)
6. Inkontinensia Urin Fungsional

1) Definisi : pengeluaran urine tidak terkendali karena kesulitan dan tidak


mampu mencapai toilet pada waktu yang tepat.(PPNI, 2016, hal. 104)

2) Batasan Kateristik :
1. Mengompol sebelum mencapai atau selama usaha mencapai toilet
19

2. Mengompol diwaktu pagi hari


3. Mampu mengosongkan kandung kemih lengkap
(PPNI, 2016, hal. 104)
3) Faktor yang Berhubungan :
a) Ketidakmampuan atau penurunan mengenali tanda-tanda berkemih
b) Penurunan tonus kandung kemih
c) Hambatan mobilisasi
d) Faktor psikologis : penurunan perhatian pada tanda-tanda keinginan
berkemih (depresi, bingung, delirium)
e) Hambatan lingkungan (toilet jauh, tempat tidur terlalutinggi, lingkungan
baru)
f) Kehilangan sensorik dan motorik(pada geriatri)
g) Gangguan penglihatan
(PPNI, 2016, hal. 104)

C. Intevensi Keperawatan
Berikut ini adalah intervensi yang dirumuskan untuk mengatasi masalah
keperawatan pada klien dengan stuktur uretra.
a) Nyeri Akut
1. Tujuan : memperlihatkan pengendalian nyeri (mengenali awitan nyeri,
menggunakan tindakan pencegahan, melaporkan nyeri dapat
dikendalikan), menunjukkan tingkat nyeri.(wilkinson, 2016, hal. 296)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam , kriteria
hasil akan:
1) Memperlihatkan teknik relasasi secara individual yang efektif ntuk
mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan skala 0-
10)
3) Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
modifikasi faktor tersebut
5) Melaporkan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
6) Menggunakan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
7) Menggunakasn tindakana meredakan nyeri dengan analgesik dan
nonanalgesik secara tepat
8) Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan,
frekuensi antung atau tekanan darah
20

9) Mempertahankan selera makan yang baik


10) Melaporkan pola tidur yang baik
11) Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran
dan hubungan interpersonal.
(wilkinson, 2016, hal. 297)
2. Nursing Intervention Classification (NIC)
Pengkajian
1. Aktifitas Keperawatan
2. Kaji nyeri, meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan faktor pencetus nyeri.
3. Gunakan komunikasi terapeutik untuk menggali pengalaman nyeri
klien dan respon klien terhadap nyeri
4. Kaji dampak dan nyeri yang terjadi (tidur, nafsu makan, aktivitas,
kognisi, semangat hidup, interaksi)
5. Anjurkan keluarga untuk memberikan dukungan kepada klien
dalam mengatasi nyeri
6. Atur lingkungan yang nyaman bagi klien
7. Hindari faktor pencetus terjadinya nyeri
8. Pilih tindakan yang mampu mengatasi nyeri (farmakologis, non
farmakologis, interpersonal)
9. Ajari klien teknik non farmakologis secara kontinyu dalam
mengatasi nyeri (masase punggung, TENS, hipnotis, relaksasi,
guided imagery, terapi music, distraksi, terapi bermain, terapi
aktifitas, acupressure, hidroterapi dan lain sebagaunya)
10. Ajari dan pantau klien dalam menggunakan analgesic sesuai
anjuran medis
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 155-156)
Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
1. Sertakan dalam pemulangan pasien obat khusus yang harus di
minum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping,
kemungkinan interaksi obat, kawaspadaan khusus saat
mengonsumsi obat tersebuat (misalnya, pembatasan aktivitas fisik,
pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila
mengalaminyeri membandel.
2. Intruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika
pereda nyeri tidak dapat dicapai
21

3. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat


meningkat nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan.
4. Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opioid
(misalnya, resiko ketergantungan atau overdosis).
5. Manajemen nyeri (NIC): Berikan informasi tentang nyeri, seperti
penyebab nyeri,berapa lama aka berlangsung, dan antisipasi
ketidaknymanan akibat prosedur
6. Manajemen Nyeri (NIC)
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya , umpan –
balik biologis, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS),
hipnosis, relaksasi,iamjinasi terbimbing, terapi musik, distraksi,
terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau
dingin, dan masase ) sebelum, setelah, dan, jika memungkinkan,
selama aktivitas, yang menimbulkan nyeri; sebelum nyeri terjadi
atau meningkat; dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri
yang lain.
(wilkinson, 2016, hal. 298)
Aktivitas Kolaboratif
1. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang
terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam ) atau PCA.
2. Manajemen Nyeri (NIC)
3. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi
lebih berat.
4. Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika
keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri pasien dimasa lalu
(wilkinson, 2016, hal. 298)
Aktivitas lain
1. Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri
dan efek samping
2. Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif
dimasa lalu, seperti distraksi, relaksasi, atau kompres hangat/
dingin
3. Hadir didekat pasien untuk memnuhi kebutuhan rasa nyaman dan
aktivitas lain untuk membantu relaksasi, meliputi tindakan sebagai
berikut :
4. Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi
22

5. Ganti linen tempat tidur, bila diperlukan


6. Berikan perawatan dengan tidak terburu-buru dengan sikap yang
mendukung
7. Lihatlah pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
aktivitas perawatan.
8. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada
nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakuakan pengalihan
melalui televisi, radio, tape, dan interaksi dengan pengunjung.
9. Gunakan pendekatan yang positif untuk mengoptimalkan respons
pasien terhadap analgesik (misalnya, “Obat ini akan mengurangi
nyeri Anda”).
10. Eksplorasi perasaan takut ketagihan.
11. Manajemen Nyeri (NIC) :
12. Libatkan pasien dalam modalitas peredaan nyeri, jika
memungkinkan kendalikan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
(misalnya, suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan).
13. Pastikan pemberian analgesik terapi atau strategi nonfarmakologis
sebelum melakukan prosedur yang menimbulkan nyeri
(wilkinson, 2016, hal. 298)

b) Gangguan Eliminasi Urine


1. Tujuan :menunjukkan eliminasi urine (pola eliminasi, mengosongkan
kandung kemih sepenuhnya, mengensli urgensi) . (wilkinson, 2016, hal.
457)
2. Kriteria Hasil:
a) Tidak ada residu urine >100-200 cc
b) Patensi eliminasi baik
c) Menunjukkan hasil normal (bau urine, jumlah urine, warna urine,
kejernihan urine)
d) Intake cairan adekuat
e) Tidak ditemukan partikel dalam urine,darah dalam urine, terasa
nyeri saat berkemih/rasa terbakar
f) Tidakterjadi hesistensi, frekuensi, urgensi, retensi, nokturia, dan
inkontinensia. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 157)
3. Nursing Intervention Classification (NIC)
a) Aktifitas Keperawatan :
23

b) Pengkajian
Manajeman Eliminasi Urine (NIC) :
1. Pantau eliminasi urine, meliputi frekuensi, konsistensi, bau,
volume.
2. Kumpulkan spesimen urine porsi tengah untuk urinalis, jika perlu.
(wilkinson, 2016, hal. 458)
c) Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga
Manajeman Eliminasi Urine (NIC) :
1. Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2. Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine.
3. Instruksikan pasien untuk berespon segera terhadap kebutuhan
eliminasi.
4. Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat makan,
diantara waktu makan, dan diawal petang.
(wilkinson, 2016, hal. 458)
d) Aktifitas Kolaboratif
Rujuk ke dokter jika terdapat tanda dan gejala infeksi saluran
kemih. (wilkinson, 2016, hal. 458)
c) Retensi Urine
1. Tujuan : menunjukkan pola elimansi urine.(wilkinson, 2016, hal. 469)
2. Kriteria hasil :
 Residu pasca berkemih >100-200 ml
 Menunjukkan pengosongan kandung kemih dengan prosedur bersih
kateterisasi intermiten mandiri
 Mendeskripsikan rencana perawatan di rumah
 Tetap bebas dari infeksi saluran kemih
 Melaporkan penurunan spasme kandung kemih
 Mempunyai keseimbangan asupan dan haluaran 24 jam
 Mengosongkan kandung kemih secara tuntas
(wilkinson, 2016, hal. 470)
1. Aktifitas Keperawatan
 Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih.
 Perawatan Retensi Urine (NIC) :
Pantau penggunaan agens non-resep dengan anti-kolinergik atau
agonis alfa.
Pantau efek obat resep, seperti penyekat kalsium dan antikolnergik.
24

Pantau asupan dan haluaran.


Pantau derajat distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi.
(wilkinson, 2016, hal. 470)
2. Penyuluhan untuk Pasien/ Keluarga
 Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang
harus dilaporkan (mis, demam, menggigil, nyeri pinggang, hematuria,
serta perubahan konsistensi dan bau urine)
 Perawatan Retensi Urine (NIC) : instruksikan pasien dan keluarga
untuk mncatat haluaran urine, bila diperlukan.
 (wilkinson, 2016, hal. 470)
3. Aktifitas Kolaboratif
 Rujuk ke perawat terapi enterostoma untuk instruksi katerisasi
intermitten mandiri menggunakan prosedur bersih setiap 4-6 jam pada
saat terjaga.
 Perawatan Retensi Urine (NIC) : rujuk pada spesialis kontinensia urine
jika diperlukan.
(wilkinson, 2016, hal. 470)
4. Aktifitas lain
 Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih
 Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan yang adekuat tanpa
menyebabkan kandung kemih overdistensi
 Anjurkan pasien mengonsumsi cairan per oral berapa mL, untuk siang
hari berapa mL, untuk sore hari dan malam hari berapa mL
 Perawatan retensi urine ( NIC):
 Berikan privasi untuk eliminasi
 Gunakan kekuatan sugesti dengan mengalirkan air atau membilas
toilet
 Stimulasi refleks kandung kemih dengan menempelkan es ke
abdomen, menekan bagian dalam paha atau mengalirkan air
 Berikan cukup waktu untuk pengosongan kandung kemih (10 menit)
 Gunakan spirtus dari wintergreen pada pispot atau urinal
 Lakukan maneuver crede
 Jika perlukan kateterisasi untuk mengeluarkan urine residu, jika
diperlukan Pasang kateter urine.
(wilkinson, 2016, hal. 470)
25

d) Resiko Infeksi
1) Tujuan : faktor resiko akan hilang, dibuktikan oleh pengendalian resiko
komunitas. (wilkinson, 2016, hal. 235)
2) Kriteria hasil
Pasien dan keluarga akan:
a) Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
b) Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat
c) Mengindikasikan status gastrointestinal, parnapasan, genitourinaria,
dan imun dalam batas normal
d) Menggambarkan factor yang menunjang penularan infeksi
e) Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur
skrinning dan pemantauan. (wilkinson, 2016, hal. 235)
3) Aktivitas keperawatan
 Penyuluhan ntuk pasien/ keluarga
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga adanya terapi meningkatkan
risiko terhadap infeksi
 Instruksikan untuk menjaga hygiene personal untuk melindungi
tubuh terhadap infeksi (misal, mencuci tangan)
 Menjelaskan rasional dan manfaat serta efek samping imunisasi
 Memberikan pasien dan keluarga dalam metode untuk mencatat
imunisasi (misal, formulir imunisasi, buku catatan harian)
 Pengendalian infeksi (NIC):
 Mengajarkan pasien teknik mencuci tangan yang benar
 Mengajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu
masuk dan meninggalkan ruang pasien. (wilkinson, 2016, hal. 236)
4) Aktifitas kolaboratif
 Mengikuti protocol institusi untuk melaporkan infeksi yang dicurigai
atau kultur positif
 Pengendalian infeksi (NIC): memberikan terapi antibiotic bila di
perlukan. (wilkinson, 2016, hal. 236)
5) Aktifitas lain
 Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan tidak
menugaskan perawat yang sama untuk pasien lain yang mengalami
infeksi dan memisahkan ruang perawatan pasien dengan pasien yang
terinfeksi.
 Pengendalian infeksi (NIC):
26

 Membersihkan lingkungan dengan benar setelah dipergunakan


masing-masing pasien
 Pertahankan teknik isolasi, bila diperlukanMenerapakan
kewaspadaan universal
 Membatasi jumlah pengunjung, bila diperlukan.
(wilkinson, 2016, hal. 236)

e) Gangguan Integritas Jaringan


1. Tujuan : menunjukkan integritas jaringan ( keutuhan kulit, tekstur dan
ketebalan jaringan, perfusi jaringan).(wilkinson, 2016, hal. 441)
2. Kritera Hasil :
 Tidak ada tanda atau gejala infeksi
 Tidak ada lesi
 Tidak terjadi nekrosis
(wilkinson, 2016, hal. 441)
3. Nursing Intervention Classification (NIC)
Aktivitas Keperawatan :
Untuk aktivitas keperawatan yang spesifik, lihat pada diagnosis
keperawatan ini :
1. Membran mukosa oral, kerusakan
2. Persepsi/sensori (penglihatan)
3. Integritas kulit, kerusakan
4. Perfusi jaringan, ketidakefektifan
(wilkinson, 2016, hal. 441)
f) Inkontinensia Urin Fungsional
1. Tujuan : menunjukkan kontinensia urine, mengidentifikasi keinginan
berkemih, respon tepat waktu terhadapdorongan berkemih. (wilkinson,
2016, hal. 460)
2. Kriteria Hasil : menggunakan peralatan adaptif untuk membantu
memanipulasi pakaian (melepas dan menggunakan kembali pakaian
untuk eliminasi) dan berpindah jika inkontinensia berhubungan dengan
hambatan mobilitas.
3. Nursing Intervention Classification (NIC)
a. Aktivitas Keperawatan
 Pantau eliminasi urine, termasuk frekuensi, baau, volume, dan
warna.
27

 Kumpulkan spesimen urine porsi tengah untuk urinalis.


 Identifikasi faktor yang menyebabkan episode inkontinensia.
(wilkinson, 2016, hal. 460)
b. Penyuluhan untuk Pasien/ Tugas
 Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang cara
memodifikasi lingkungan guna mengurangi episode
mengompol, pertimbangan strategi sebagai berikut :
 Meningkatkan pencahayaan lingkungan untuk meningkatkan
penglihatan.
 Memasang dudukan toilet yang lebih tinggi dan susur tangan.
 Menyediakan kursi buang air, pispot, dan urinal portabel.
 Anjurkan pasien dan keluarga untuk menetapkan rutinitas
berkemih pada waktu tertentu berdasarkan pola eliminasi pasien
untuk menurunkan episode mengompol.
 Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan kulit
dan higiene untuk mencegah kerusakan kulit.
 Lakukanstrategi manajeman kandung kemih selama melakukan
aktivitas di tempat yang jauh dari rumah.
 Ajarkan pasien dan pemberi asuhan tentang tanda dan gejala
infeksi saluran kemih.
 Jelaskan perlunya untuk segera berespon terhadap keinginan
berkemih.
 Minta pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine.
 Ajarkan pasien untuk menghindari mengonsumsi cairan sebagai
usaha untuk mencegah inkontinensia.
 Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan saat makan, dan
dipetang hari. (wilkinson, 2016, hal. 460)
c. Aktivitas Kolaboratif
 Konsultasikan dengan dokter dan ahli terapi okupasi untuk
bantuan ketangkasan manual.
 Rujuk ke penyedia perawatan jika tanda infeksi saluran kemih
terjadi. (wilkinson, 2016, hal. 460)
28

D. Evaluasi
Evaluasi adalah bagian akhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses
keperawatan ( diagnosis, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi
adalah untuk apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak
dan untuk melakukan pengkajian ulang jika belum tercapai. Ada tiga alternatif
yang dapat dipakai perawat dalam memutuskan, sejauh mana tujuan yang
telah ditetapkan itu tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian
dan tujuan tidak tercapai.
29

DAFTAR PUSTAKA

Basuki B Punomo, (2000), Dasar-Dasar Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Brawijaya, Malang
Carpenito, Linda Juall (1995), Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan
(terjemahan), PT EGC, Jakarta.
Doenges,et al, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan ( terjemahan). PT. EGC,
Jakarta
Soeparman, ( 1990), Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 3.Jogjakarta: Mediaction Jogja.
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan:
Dewan Penguruspusat Persatuan Perawat Indonesia.
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem
Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Suharyanto, A. M. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.
wilkinson, j. (2016). diagnosis keperawatan. jakarta: buku kedokteran EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai