Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN MUAL MUNTAH PADA PASIEN KANKER YANG MENJALANI


KEMOTERAPI

Disusun untuk memenuhi tugas Residensi Keperawatan Peminatan Spesialis Medikal


dan KMB Berbasis Fakta

Oleh:

Endah Panca Lydia F

NPM 1906342116

PORGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2019

1
1. KANKER Payudara
Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal dan tidak terkendali, dapat
merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke tempat yang jauh dari asalnya
yang disebut dengan metastasis (Eunice, 2012). Menurut Smeltzer et al (2010) kanker
payudara merupakan suatu penyakit neoplasma ganas yang berasal dari jaringan
payudara, bisa berasal dari komponen kelenjarnya maupun komponen selain kelenjar
seperti jaringan lemak, pembuluh darah dan juga persyarafan. Neoplasma ganas ini
dapat tumbuh menjadi jaringan dan bermetastase ke jaringan sekitar maupun yang
jauh dari lokasi asalnya. Tumor ini dapat berupa massa yang keras pada payudara
disertai nyeri atau tidak nyeri dan adanya penebalan kulit disekitar putting. Pada
beberapa kasus menunjukkan adanya sekret atau drainase abnormal yang keluar dari
payudara sebagai indikasi bahwa sel tumor telah menginvasi ke dalam sistem duktus.
Penyebab dari kanker adalah multifaktorial artinya banyak faktor yang
berkontribusi terhadap kemungkinan terjadinya kanker hingga pada akhirnya sel-sel
yang awalnya normal berubah menjadi sel yang ganas. Meskipun belum ada penyebab
spesifik kanker payudara, para peneliti telah mengidentifikasi sekelompok faktor
resiko termasuk fakor hormonal. Selain itu, Warr (2008) juga menambahkan bahwa
kanker muncul sebagai dampak dari faktor lingkungan dan genetik. Virus, bahan
kimia, radiasi memiliki sifat yang mampu merusak sel DNA. Perubahan yang terjadi
pada sel DNA adalah awal mula terjadinya kanker. Demikian halnya dengan kanker
payudara terjadi perubahan struktur DNA sel akibat zat karsinogenik (Karch, 2011).
Price dan Wilson (2006) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis utama histologis
adenokarsinoma payudara yaitu yang berasal dari duktus terminalis dan dari lobulus
payudara. Jenis yang paling umum dari kanker payudara adalah karsinoma duktal atau
yang berasal dari sel-sel lobulus payudara yang merupakan kelenjar penghasil susu,
dan merupakan 75% dari semua jenis kanker payudara.
Menurut Smeltzer et al (2010) pengobatan kanker payudara dapat dibagi menjadi
dua tahap yaitu tahap awal dan stadium lanjut. Pilihan pengobatan tergantung dari
ukuran tumor yang muncul, lokasi tumor, kondisi fisik pasien secara umum dan juga
stadium kanker. Pengobatan tahap awal melibatkan tumor yang terbatas pada
payudara yang memerlukan penanganan lokal seperti tindakan pembedahan atau
radiasi. Pengobatan pada tahap stadium lanjut melibatkan tumor yang telah menyebar
di luar payudara ke daerah lain dari tubuh dan memerlukan tindakan yang tidak hanya
terapi lokal namun juga penanganan sistemik seperti kemoterapi .

2
2. Kemoterapi
Smeltzer et al., (2010) menjelaskan bahwa penatalaksanaan kanker payudara
didasarkan pada pengobatan lokal dan sistemik. Terapi lokal bertujuan untuk
menyingkirkan adanya kanker lokal. Prosedur yang paling sering digunakan adalah
radiasi dan mastektomi. Selanjutnya pengobatan sistemik yang dapat dilakukan adalah
dengan kemoterapi. Kemoterapi adalah salah satu pengobatan kanker dengan
memasukkan obat-obatan anti kanker ke tubuh pasien. Reed & Audisio (2010), juga
menambahkan bahwa kemoterapi juga merupakan salah satu dari beberapa modalitas
penyembuhan kanker (yang lain adalah pembedahan, radiasi dan hormonal) untuk
penyembuhan, kontrol atau sebagai terapi paliatif dengan tujuan kuratif dan paliatif.
Tujuan kuratif artinya untuk menyembuhkan penyakit. Terapi paliatif diberikan untuk
mengurangi gejala penyakit dan untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya.
Berdasarkan sifat emetogeniknya, obat kemoterapi dibagi ke dalam lima level, yaitu
level minimal jika kurang dari 10%, level rendah jika diantara 10%-30%, level
moderat jika diantara 31%-90% dan level tinggi jika diatas 90% (Hesket, 2008).
Table 2.1 Klasifikasi obat kemoterapi berdasarkan sifat emetogenesis
(Sumber: Grunberg, 2004)
High (>90%: level5) Moderate (30%-90%; Low (10%-30%; level Minimal (<10%;
level 3 & 4) 2) level1)
Carmustine (>250 Cyclophosphamide Aldesleukin Metotrexate
mg/m2 ) (<1500 mg/m2) (interlekin-2) (<100mg/m2)
Cisplatin Carmustin (<250 Doxorubicin (<20 Bleomycin
Cyclophosphamide (>1 mg/m2) mg/m2) Capecitabine
500 mg/m2) Doxorubicin Methotrexate (>100 Rituximab
Dacarbazin (>500 Cisplatin (<50mg/m2) mg/m2) Vincristine
mg/m2) Epirubicin Fluorouracil (<1000 Trastuzumab
Lomustine (>60 Cytarabine (>1 g/m2) mg/m2) Vinblastine
mg/m2) Idarubicin Mitozantrone (<12 Vinorelbine (IV)
Mechlorethamine Irinotecan mg/m2) Etoposide/teniposide
Pentostatin Ifosfamide Gemcitabine (IV)
Streptozocin Melphalan Temozolomide
Dactinomycin Hexamethylamine (PO) Mitomycin
Pcocarbazine (PO) Etoposide (PO)
Carboplatin Paclitaxel
Mitozantrone (>12 Asparaginase
mg/m2) Thiotepa
Cyclophosphamide Cytarabine (<1 g/m2)
(PO) Topotecan
Decotaxel

Wanita yang terdiagnosa kanker payudara disertai dengan metastase ke kelenjar limfe
lebih beresiko mengalami kekambuhan lokal dan sistemik. Dalam keadaan ini, pemberian
kemoterapi neoadjuvan sistemik pasca operasi dengan enam siklus siklofosfamid,

3
metotreaksat dan fluorourasil (protokol CMF) atau fluorourasil, doksorubisin dan
siklofosfamid (FAC) terbukti menurunkan secara signifikan angka kekambuhan.
Kemoterapi kombinasi ini sering digunakan dengan beberapa pertimbangan yaitu, pertama
dengan kombinasi ini menghasilkan pemusnahan sel kanker yang maksimal. Kedua, hal ini
menghasilkan ragam interaksi yang lebih luas antara obat dan sel tumor dengan berbagai
kelainan genetik pada populasi tumor yang heterogen. Ketiga, hal ini dapat mencegah atau
memperlambat timbulnya resistensi obat (Karch, 2011).
Kombinasi fluorourasil, doksorubisin dan siklofosfamid (FAC) sering diberikan pada
pasien dengan kanker payudara. 5-fluorourasil (5-FU) bersifat inaktif dalam bentuk induknya
dan memerlukan pengaktifan melalui suatu rangkaian kompleks enzimatik menjadi metabolit
ribosil dan deoksiribosil nukleotida. 5FU diubah menjadi 5-fluorouridin-5-trifosfat (FUTP),
yang kemudian dapat digabungkan ke dalam RNA, dan mempengaruhi proses translasi RNA
dan mRNA. 5FU juga diubah menjadi 5-fluorodeoksiuridin-5-trifosfat (FdUTP), yang dapat
digabungkan ke dalam DNA sel, menyebabkan inhibisi sintesis dan fungsi DNA (Katzung,
Susan & Anthony 2012). 5FU diberikan secara intravena, dengan waktu paruh yang sangat
singkat 15 menit, dimetabolisme di hepar dan diekskresikan melalui urin. Efek samping yang
ditimbulkan dapat dalam bentuk mielosupresi, mukositis, diare, mual, muntah serta
neurotoksisitas (Karch, 2011).
Selanjutnya, doksorubisin merupakan suatu obat antikanker yang bekerja dengan
mengikat DNA melalui penyisipan diantara basa-basa spesifik serta menghambat
pembentukan RNA, DNA atau keduanya. Menyebabkan pemutusan untai DNA dan
mengganggu replikasi sel. Obat ini menimbulkan efek samping berupa rambut rontok,
perubahan turgor kulit, gangguan gastrointestinal, hingga penurunan berat badan serta
menyebabkan supresi bone marrow.
Siklofosfamid adalah obat golongan alkilating agent yang memblok sintesa DNA RNA
dan sintesis protein. Obat ini inaktif dan harus diaktifksn kembali menjadi bentuk sitotoksik
oleh enzim mikrosom. Sistem oksidase pada P450 mengubah siklofosfamid menjadi 4-
hidroksiklofosfamid, yang berada dalam keseimbangan dengan aldofosfamid. Obat ini
dimetabolisme di hepar, diekskresikan melalui urin. Efek samping yang sering ditimbulkan
berupa mual muntah, rambut rontok juga mielosupresi (Katzung, Susan & Anthony, 2012).

4
Table 2.2 Klasifikasi obat kemoterapi berdasarkan potensial mual muntah akut dan lambat
(Sumber: Grunberg, 2004)

EMESIS RISK ACUTE INV DELAYED CINV

High ++ ++

Moderate ++ +

Low + _

Minimal _ _

3. Efek Samping Kemoterapi

Obat sitotoksik menyerang sel-sel kanker yang sifatnya cepat membelah. Namun
demikian, terkadang obat ini juga memiliki efek pada sel-sel tubuh normal yang juga
mempunyai sifat cepat membelah (Karch, 2011). Menurut Smeltzer et al (2010), efek
samping kemoterapi dapat bervariasi dari ringan sampai berat, tergantung dari dosis
kemoterapi dan regimennya. Terjadinya efek samping kemoterapi adalah akibat kerja obat
kemoterapi terhadap sel normal yang aktif melakukan pembelahan seperti sel darah, sel
saluran cerna, kulit dan rambut serta organ reproduksi. Menurut Sutandyo (2008) durasi
berlangsungnya efek samping dapat berlangsung jangka pendek, menengah dan jangka
panjang. Efek samping yang berlangsung jangka pendek (beberapa jam sampai hari) yaitu
mual, muntah, dan pusing. Efek samping jangka menengah (beberapa hari sampai minggu)
yaitu sariawan, diare, letih, lesu, dan nafsu makan menurun. Sedangkan efek samping jangka
panjang (beberapa minggu sampai bulan) yaitu mudah terkena infeksi. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah gejala gastrointestinal (mual‐muntah, stomatitis, diare, dan
konstipasi), mielosupresi (anemia, leukopenia dan trombositopenia), fatigue, dan rambut
rontok.

4. Mual dan Muntah Akibat Kemoterapi

Mual dan muntah merupakan gejala dan tanda yang sering menyertai gangguan
gastrointestinal, demikian juga dengan penyakit-penyakit lain. Beberapa teori mengenai
penyebab mual dan muntah telah berkembang, tetapi tidak ada kesepakatan mengenai
penyebab atau terapi definitif. Mual dan muntah dapat dianggap sebagai suatu fenomena
yang terjadi dalam tiga stadium, yaitu mual, retching (gerakan dan suara sebelum muntah)
dan muntah (Grunberg, 2004).

5
Aapro et al (2013) menjelaskan bahwa mual didefinisikan sebagai perasaan yang tidak
menyenangkan di belakang tenggorokan atau epigastrum karena adanya perasaan yang tidak
nyaman di daerah perut yang disertai dengan takikardi, berkeringat, dan terasa dingin.
Muntah terjadi karena adanya dorongan ekspulsi yang kuat dari isi perut, duodenum atau
jejunum yang keluar melalui mulut. Dorongan ini terjadi dikarenakan adanya kontraksi yang
bersamaan antara otot pernafasan yaitu penurunan diafragma dan pembukaan kardia
lambung. Selanjutnya, muntah dapat disertai dengan kelemahan otot akibat kehilangan cairan
dan elektrolit (Dougherty & Bailey, 2008).

5. Patofisiologi Mual Muntah

Menurut Aapro et al (2013) muntah terjadi akibat rangsangan pada Chemoreseptor


Triger Zone (CTZ) atau yang disebut sebagai pusat muntah, yang terletak di daerah postrema
di bagian bawah dari ventrikel keempat. Organ circumventrikular ini pada dasarnya tidak
memiliki penghalang darah dan otak sehingga mampu mendeteksi agen muntah di kedua
sirkulasi sistemik dan cairan serebrospinal. Rangsangan tersebut dapat berasal dari korteks
serebral, organ vestibular, daerah CTZ, dan serabut aferen termasuk dari sistem
gastrointestinal.
Wood, Shega, Lynch dan Roenn (2007) mengemukakan bahwa kemoterapi dapat
menyebabkan mual muntah melalui suatu rangkaian yang kompleks. Pertama, kemoterapi
secara langsung menstimulasi CTZ, efek ini dimediasi oleh 5-hidrokxytryptamine-3 (5HT3),
neurokinin-1 (NK1), dan cholecystokinin-1 serta aktivasi reseptor D2. Ketiga
neurotransmitter ini berakhir pada serabut afferent vagal. Reseptor ini banyak ditemukan di
sel enterochromaffin terutama terletak di mukosa saluran pencernaan. Setelah tubuh terpapar
agen radiasi atau sitotoksik, serotonin dilepaskan dari sel enterochromaffin di mukosa usus
kecil ke neuron aferen vagal dimana 5HT3 berada. Serotonin yang dilepaskan mengaktifkan
neuron aferen vagal melalui reseptor 5HT3 hingga akhirnya memberikan respon muntah.
Dengan kata lain, kemoterapi menyebabkan gangguan pada mukosa gastrointestinal dan
menyebabkan pengeluaran neurotransmitter termasuk 5HT3. Hal ini menyebabkan mual
muntah melalui peningkatan aktifitas saraf simpatis yang dimediasi oleh saraf vagal.
Mekanisme kedua, gejala ini disebabkan oleh pengaruh neurohormonal melalui terganggunya
arginin vasopressin dan prostaglandin. Ketiga, mual muntah dimediasi oleh kecemasan
melalui jalur sentral.

6
Aapro et al., (2013) menambahkan bahwa mekanisme mual muntah akibat kemoterapi
diawali oleh interaksi 5HT3 dengan reseptor 5HT3 pada aferen terminal vagus di dinding
usus. Serabut aferen vagus melanjutkan stimulasi ke dorsal brain stem, terutama ke nukleus
traktus solitarius (NTS) dan ke area postrema (AP) yang berlokasi di komplek vagal dorsal.
Komplek dorsal vagal merupakan tempat beradanya reseptor untuk neurotransmitter yang
memiliki peran potensial pada respon muntah, diantaranya neurokinin-1, 5HT3 dan reseptor
dopamin 2, yang berikatan substansi P, 5HT dan dopamin.
Serabut eferen melanjutkan implus dari komplek vagal dorsal ke efektor final dari refleks
muntah yaitu the central pattern generator (CPG). Stimulasi pada CPG akan menyebabkan
pusat muntah berkordinasi untuk mengaktivasi impuls eferen viseral dan somatik ke organ
efektor. Kemudian dilanjutkan dengan terjadinya gerakan ekspulsif otot abdomen. Kejadian ini
disebut sebagai muntah.

Gambar 2.1 Patofisiologi mual muntah


(Sumber: Aapro, Karin & Petra, 2013)

7
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mual Muntah Akibat Kemoterapi

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi mual muntah akibat kemoterapi


menurut Rhodes dan McDaniel (2007) diantaranya adalah neuropatofisiologi mual muntah
akibat kemoterapi, psikologis, harapan pasien, usia dan jenis kelamin dan gejala penyerta.
a. neuropatofisiologi mual muntah akibat kemoterapi
Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berada di korteks cerebri. CTZ sensitive terhadap
rangsangan kimia dari cairan serebrospinal dan darah. Jalur vestibular yang mengaktivasi
pusat muntah melalui perubahan posisi tubuh dan jalur peripheral yang mengaktifkan
reseptor neuroreseptor. Reseptor ini ditemukan pada saluran pencernaan dimana syaraf vagus
nantinya akan mengaktivasi dengan pusat muntah di otak.
Selanjutnya, neurotransmiter seperti dopamine, acetylcholine, histamine, dan serotonin (5-
HT), terlibat dalam mekanisme muntah yang distimulasi oleh kemoterapi dan radiasi.
Saluran pencernaan, CTZ atau pusat muntah sangat kaya dengan reseptor dan neuroreseptor
tersebut. Serotonin atau 5-hydroxytryptamine tipe 3 (5-HT3) ditemukan pada jaringan perifer
dan CTZ yang merupakan input rangsang aferen vagal ke otak. Kemoterapi dan radiasi dapat
menyebabkan pelepasan serotonin dari sel enterocromafin di usus. Dengan tingginya
konsentrasi reseptor 5-HT3 pada system syaraf pusat, dapat menyebabkan mual dan muntah
akibat interaksi reseptor-reseptor pusat tersebut.
Reseptor lainnya adalah reseptor neurokinin receptor, yang diklasifikasikan sebagai
neurokinin-1 (NK-1), reseptor neurkinin-2, dan reseptor neurokinin-3. Reseptor-reseptor ini
akan berpasangan dengan golongan reseptor 11-amino acid peptides yang meliputi substansi
P, neurokinin A, dan neurokinin B. dari sejumlah neurokinin tersebut, hanya Nk-1 yang
distimulasi oleh substansi P yang terlibat dalam proses muntah. Berbagai macam resiko
muntah akan dihasilkan dari aksi agen-agen kemoterapi yang berbeda sehingga
mempengaruhi berbagai macam jalur patofisiolgi mual muntah pada pasien.
b. Psikologis
Pengelolaan efek kemoterapi yang tidak maksimal pada siklus kemoterapi awal akan
menyebabkan ketidaknyamanan terhadap pengobatan yang diberikan yang dapat
mempengaruhi respon emosional misalnya kecemasan. Dimana kecemasan ini dapat
memperburuk kejadian mual, retching dan juga muntah. Kecemasan akan merangsang system
saraf simpatik melalui hormone adrenalin. Respon stress terjadi apabila hipotalamus pituitary
memberi signal adrenal gland untuk menghasilkan ACTH (Adreno Corticotrophic

8
Hormone). Selanjutnya, ACTH merangsang adrenal medulla menghasilkan epinephrine dan
adrenal korteks menghasilkan cortisol. Kadar cortisol yang meningkat dapat menyebabkan
stress dan meningkatkan asam lambung, sedangkan epinephrine yang meningkat
menyebabkan kadar gula menjadi naik (Smeltzer et al., 2010). Selain itu pengalaman pasien
terhadap pengalaman mual muntah pada siklus sebelumnya juga mempengaruhi insiden mual
muntah pada siklus yang selanjutnya (Aapro et al., 2013).
c. Harapan pasien
Pasien merupakan individu yang menentukan sendiri tujuan dan perilakunya, yang secara
umum menentukan bagaimana persepsi dan harapan mereka tentang kondisi sakit yang
dialami. Persepsi harapan yang realistis dapat menurunkan mood yang negatif, mencegah
distress, meningkatkan mekanisme koping dan meningkatkan kualitas hidup.
d. Usia dan jenis kelamin
Mual, retching, muntah lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, walaupun dalam
penelitian ini tidak melibatkan pasien pria. Pasien yang lebih tua cenderung lebih
mentoleransi agen kemoterapi dari pada pasien yang lebih muda. Pasien yang lebih muda
yaitu kurang dari 50 tahun memiliki pengalaman mual muntah yang lebih parah dibandingkan
pada pasien yang usianya diatas 65 tahun (Aapro et al., 2013). Selain itu, lebih rentannya
wanita mengalami mual, retching dan muntah adalah adanya riwayat motion sickness,
tindakan pembedahan dan kehamilan. Wanita yang mengalami mual muntah saat hamil lebih
berdampak terhadap agen kemoterapi dan lebih mudah untuk mengalami mual muntah.
Grunberg (2004) mengungkapkan bahwa sedikit sekali wanita yang dapat mengontrol mual
muntah dari pada laki-laki, dengan perbedaan tingkat keparahan antara 20%-30%.
e. Gejala penyerta
Mual, retching dan muntah pada pasien dengan kanker payudara yang mendapat
kemoterapi dapat disebabkan juga oleh perkembangan penyakitnya, pengobatan yang sedang
dijalani, atau gejala non spesifik lain yang dapat menyebabkan keluhan semakin parah. Aapro
et al (2013) menambahkan bahwa pada pasien yang mengkonsumsi alkohol memiliki resiko
mual muntah lebih parah dari pasien yang tidak mengkonsumsi alkohol.

7. Klasifikasi Mual Muntah


Berikut adalah klasifikasi mual muntah menurut Grunberg (2004):
a. Mual muntah antisipatori
Mual muntah antisipatori muncul sebelum dimulainya kemoterapi selanjutnya. Hal ini
dikarenakan adanya stimulasi seperti bau, suasana, dan suara dari ruang perawatan dan
9
perawat yang memberikan kemoterapi. Mual muntah antisipatori muncul sebelum 12 jam
kemoterapi pada pasien yang mengalami kegagalan dalam mengontrol mual muntah pada
kemoterapi sebelumnya.
b. Mual muntah akut
Mual muntah akut terjadi dalam 24 jam setelah pemberian kemoterapi. Dimulai 1 sampai
2 jam pertama dan berakhir dalam waktu 24 jam. Agen kemoterapi cyclophosphamide dan
carboplatin dapat menyebabkan mual muntah delapan sampai sepuluh jam setelah
kemoterapi. Stimulasi dopamine dan serotonin pada CTZ pada fase ini memicu terjadinya
muntah. Pengguaan antiemetic sebelum kemoterapi efektif menurunkan mual muntah akut.
c. Mual muntah lambat
Mual muntah lambat muncul minimal 24 jam setelah kemoterapi hingga 5 hari setelah
kemoterapi. Mual muntah lambat dapat muncul pada pasien yang mendapatkan cisplatin
dengan dosis 50 mg/m2 atau kemoterapi kombinasi seperti cyclophospamide dan
antracycline.
Berdasarkan American Society of Clinical Oncology, faktor resiko terjadinya mual muntah
lambat adalah manajemen yang kurang optimal pada mual muntah akut. Pasien yang
memiliki mual muntah akut beresiko mengalami mual muntah lambat. Oleh sebab itu, mual
muntah fase lambat dapat dicegah dengan pencegahan gejala-gejala akut.

8. Managemen Mual dan Muntah

Berbagai obat antiemetik digunakan dalam pencegahan dan pengobatan mual muntah
akibat kemoterapi. Menurut Karch (2011) jenis antiemetik yang digunakan untuk mual
muntah dapat digolongkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a. Phenothiazines
Beberapa jenis obat yang termasuk dalam golongan ini adalah chlorpromazine
(thorazine), perphenazine (trilafon), prochlorperazine (compazine) dan promethazine
(phenergan). Obat-obatan ini sering digunakan untuk mual muntah yang diakibatkan oleh
anastesi dan tindakan pembedahan.
b. Nonphenothiazine
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metoclopramide (raglan). Obat
metoclopramide sering digunakan untuk mual muntah khususnya yang berhubungan dengan
kemoterapi. Metoclopramide adalah antagonis reseptor dopamine D2. Di saluran cerna,
pengaktifan reseptor dopamine menghambat stimulasi otot polos kolinergik; dimana blockade
efek ini dipercayai merupakan mekanisme kerja primer obat ini sebagai prokinetik. Obat ini

10
meningkatkan amplitude peristaltik esophagus, meningkatkan tekanan sfingter esophagus
bawah, dan meningkatkan pengosongan lambung tetapi tidak berefek pada motilitas usus
halus atau kolon. Metoklopramid juga menghambat reseptor dopamine D2 di chemoreceptor
trigger zone (area postrema) sehingga menghasilkan efek antimual. Efek samping yang sering
dimunculkan adalah efek pada susunan saraf pusat, kegelisahan, mengantuk, insomnia, rasa
cemas, agitasi (pada 10%-20% pasien), efek ekstrapiramidal berupa distonia, gambaran
parkinson khususnya pada lanjut usia, meningkatnya kadar prolaktin hingga menyebabkan
galaktorea, impotensi dan gangguan haid.
c. Anticholinergics/antihistamin
Beberapa obat yang termasuk dalam golongan ini adalah buclizine (bucladin), cyclizine
(marezine), meclizine (antivert). Obat ini sering digunakan untuk mual muntah yang
berhubungan dengan motion sickness.
d. Serotonin (5HT3) reseptor blockers
Antagonis selektif reseptor 5HT3 bekerja melalui blockade reseptor 5HT3 sentral di pusat
muntah dan chemoreceptor trigger zone terutama melalui blockade reseptor 5HT3 perifer di
saraf aferen spinal dan vagus usus ekstrinsik. Beberapa jenis obat yang termasuk dalam
golongan ini adalah dolasetron (anzemet), granisetron (kytril), ondansetron (Zofran), dan
palonosetron (aloxyl). Obat ini sering digunakan untuk mual muntah yang berhubungan
dengan kemoterapi, radioterapi dan postoperasi. Ondansetron sering diberikan untuk mual
muntah akut dan lambat akibat pemberian kemoterapi dengan potensi emetogenik tinggi.
Ondansetron memiliki waktu paruh 4-9 jam dan dapat diberikan sekali sehari melalui rute
oral dan intravena. Obat ini dimetabolisme di hepar dan dieliminasi oleh ginjal dan hepar.
Bagi pasien dengan insufisiensi hepar, mungkin diperlukan pengurangan dosis dengan
ondansetron.
Antagonis reseptor 5HT3 adalah obat primer untuk mencegah mual muntah akibat
kemoterapi khususnya pada fase akut. Jika digunakan sendiri, obat-obat ini sedikit
memperlihatkan efikasi pada mual muntah fase lambat. Obat-obat ini efektif jika diberikan
sebagai dosis tunggal dengan penyuntikan intravena 30 menit sebelum pemberian kemoterapi
(Katzung, Susan & Anthony, 2012).
Efek samping yang sering ditimbulkan oleh obat golongan ini adalah nyeri kepala seperti
ditekan, kepala seolah berputar-putar dan konstipasi. Selain itu obat golongan ini beresiko
untuk terjadi pemanjangan interval QT terutama setelah pemberian dolasetron. Belum pernah
dilaporkan interaksi obat yang signifikan dengan antagonis reseptor 5HT3. Obat-obat ini
mengalami metabolisme oleh sitokrom P450 di hepar tetapi tidak mempengaruhi metabolism

11
obat yang lain. Namun obat-obat lain dapat mengurangi bersihan antagonis reseptor 5HT3 di
hepar dan mengubah waktu paruhnya (Katzung, Susan & Anthony, 2012).
e. substance P/neurokinin 1 receptor antagonist
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah aprepitant (emend). Obat ini digunakan
pencegahan mual muntah akut dan lambat yang berhubungan dengan kemoterapi dengan
potensi emetogenik tinggi.
f. miscellaneous agents
Beberapa jenis obat yang termasuk dalam golongan ini adalah dronabinol (marinol),
hydroxyzine (vistaril), nabilone (icesamet), trimethobenzamide (tigan). Obat ini digunakan
untuk managemen mual muntah yang berhubungan dengan pemberian kemoterapi pada
dewasa.

9. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi adalah terapi tanpa menggunakan obat-obatan farmakologi untuk
mengatasi gejala yang muncul. Terapi komplementer termasuk dalam terapi non farmakologi.
Dimana terapi komplementer ini dilakukan sebagai pendukung terhadap pengobatan medis
secara terintegrasi sehingga mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis,
psikologis dan spiritual (Smith et al., 2004). Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan
dengan memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial dan spiritual).
Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan
caring pada klien (Synder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dipakai
sebagai pendamping terapi konvensional. Adapun tujuan dari terapi komplementer adalah
untuk memperbaiki fungsi dari sistem – sistem tubuh, terutama sistem kekebalan tubuh.
Menurut National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM)
pengobatan komplementer dikategorikan menjadi 5 kategori, namun kadangkala satu jenis
pengobatan bisa mencakup beberapa kategori (Synder & Lindquis, 2002):
1. Alternative Medical System, yaitu sistem pelayanan kesehatan yang mengembangkan
pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari Barat misalnya homeopathy, naturopathy,
ayuverda dan Traditional Chinese Medicine.
2. Mind Body Intervention, yaitu memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk
memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh

12
misalnya meditasi, yoga, relaksasi progresif, visualisasi kreatif, hypnotherapy,
neurolinguistik programming, brain gym, terapi musik, berdoa dan lain-lain.
3. Terapi Biologis, yaitu terapi yang natural terdiri dari terapi herbal, food combining, terapi
jus, makrobiotik, dan lain-lain.
4. Manipulasi Anggota Tubuh, yaitu terapi yang didasari oleh maipulasi dan pergerakan
tubuh misalnya massage, aromatherapy, pilates, chiropractic, yoga, dan lain-lain.
5. Terapi Energi, yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh atau
mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya akupunktur, akupressur, refleksiologi, chi
kung, tai chi, reiki, dan prana healing.
Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup (pengobatan holistic,
nutrisi),botanical (homeopati, herbal, aromaterapi), manipulative (chiropractic, akupresur,
akupuntur, refleksi, massage), dan mind-body (meditasi, guided imagery, biofeedback, color
healing, hipnoterapi). Banyaknya jenis terapi komplementer ini meningkatkan pentingnya
seorang perawat untuk mengetahui bagaimana perannya dalam terapi komplementer. Perawat
perlu mengetahui terapi komplementer dan mengaplikasikannya secara holistik. Diantaranya
mengkaji riwayat kesehatan dan kondisi pasien, menjawab pertanyaan dasar tentang terapi
komplementer dan merujuk pasien untuk mendapatkan informasi yang reliable, memberi
rujukan terapis yang kompeten maupun memberi sejumlah terapi komplementer (Synder &
Lindquis, 2002).
Banyak terapi komplementer yang dilakukan untuk menurunkan ataupun mengatasi mual
muntah akibat kemoterapi. Diantaranya adalah progressive muscular relaxation (PMR),
terapi musik, terapi zikir, terapi akupuntur atau akupresur dan lain-lain. PMR merupakan
salah satu teknik untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan
memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut
kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks sehingga
dapat mengurangi nyeri, kecemasan, depresi, gangguan tidur dan mual muntah akibat
kemoterapi (Cooke, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2011) menunjukkan
bahwa dengan latihan PMR pada pasien yang menjalani kemoterapi dapat menurunkan
frekuensi dan durasi mual muntah dibandingkan dengan kemoterapi sebelumnya tanpa
adanya latihan PMR.
Selain itu juga terdapat terapi musik yang sudah banyak dibuktikan untuk mengurangi
nyeri dan juga mual muntah akibat kemoterapi. Terapi musik bermanfaat dalam menurunkan
mual muntah karena musik merupakan stimulus yang menyenangkan yang dapat digunakan
sebagai distraksi pada pasien yang mendapat kemoterapi. Musik yang sesuai dengan selera

13
pasien selain dapat menciptakan suasana rileks, juga dapat mempengaruhi system limbik dan
saraf otonom, sehingga merangsang pelepasan zat kimia Gamma Amino Butyric Acid
(GABA), enkefalin dan beta endorphin yang akan mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri
maupun kecemasan pasien (Miller & Kearney, 2005).
Selain terapi musik juga terdapat terapi lainnya seperti terapi zikir, terapi akupuntur
ataupun akupresur. Dengan terapi zikir harapannya dapat digunakan untuk mengikat energi
positif untuk menjaga keseimbangan tubuh agar tercipta suasana kejiwaan yang tenang,
damai dan terkendali. Dengan doa, zikir dan tawakal akan ada kekuatan psikoreligius, yang
dalam keilmuan termasuk dalam cabang psiko-neuro-endokrinologi atau psiko-neuro-
endokrin-imunologi. Hal ini dijelaskan karena kondisi psikis akan mempengaruhi
keseimbangan hormon yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai
organ target. Pengaruh stress terhadap sistem imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan
adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T hingga pada akhirnya
mempengaruhi imunitas tubuh.
Terapi selanjutnya adalah akupresur yang merupakan salah satu bentuk terapi dengan
memberikan pemijatan dan stimulasi pada titik tertentu di tubuh. Dimana telah banyak
penelitian yang dilakukan untuk mengkaji efektifitasanya terhadap mual muntah baik itu
untuk mual muntah akibat radiasi, kemoterapi, akibat anastesi maupun pada wanita hamil.
Adapun kelebihan dari terapi ini adalah tidak memerlukan banyak alat, hanya dengan
menggunakan jari tangan, ibu jari maupun telapak tangan, dapat dilakukan oleh siapapun.
Akupresur tidak menggunakan jarum seperti halnya akupuntur sehingga resiko yang
ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan akupuntur. Akupresur tidak memerlukan presisi
tinggi sebagaimana dibutuhkan akupuntur (Sukanta, 2008). Teknik pengobatan ini tidak
membutuhkan peralatan khusus, cukup dengan jari tangan, ibu jari, kepalan tanagn ataupun
dengan alat bantu seperti stik dari kayu sehingga akupresur dapat dilakukan dimana saja dan
kapan saja diperlukan (Hartono, 2012). Selain itu dapat dipelajari oleh siapa saja dan tidak
harus mengeluarkan biaya besar untuk pendidikan ataupun pelatihan terutama untuk
keperluan pengobatan sendiri.

14
Daftar Pustaka:
1. Aapro M, Karin J & Petra F. (2013). Pocket books for cancer supportive care:
prevention of nausea and vomiting in cancer patients. London: Springer Healthcare.
2. American Cancer Society. (2013). Cancer fact and fuguries 2013. atlanta: american
cancersociety:
http://www.cancer.org/research/cancerfactstatistic/cancerfactfigure2013/index
3. American Cancer Society. (2011). Quick FACTS From the Experts at The American
Cancer Society Breast Cancer What U Need to Know How. Atlanta: American Cancer
Society/Health Promotion.
4. Bailey, C., & Dougherty, L. (2008). Cancer nursing: care in context. 2nd edition.
Blackwell Publishing Limited. Australia.

5. Eunice, E. (2012). The effects of p6 acupressure and nurse provided conseling on


chemotherapy induced nausea and vomiting in patients with breast cancer. Oncology
Nursing Forum. Vol. 39 No.1.
6. Fawcet, J. (2006). Contemporary Nursing Knowledge Analysis and Evaluation of
Nursing Model and Theories. Second Edition. Philadelphia: F. A Davis Company.
7. Grunberg, S. M. (2004). Chemotherapy induced nausea vomiting: prevention,
detection and treatment-how are we doing. The Journal of Supportive Oncology, 2
(1), 1-12.
8. Hesket, P.J. (2008). Chemotherapy induced nausea and vomiting. The New England
Journal of Medicine, 358 (23), 2482-2494.
9. Karch, A., RN, MS. (2011). Focus on nursing pharmacology. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
10. Katzung BG., Susan B., Anthony J. (2012). Basic and Clinical Pharmacology 12th ed.
Alih Bahasa: Brahm U. Jakarta: EGC.
11. Synder, M. & Lindquis, R. (2002). Complementary as alternative therapies in
nursing. 4th ed. New York: Springer.

15

Anda mungkin juga menyukai