Anda di halaman 1dari 35

Makalah

Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia

Guru Pembibmbing :

Oleh :

Kelompok 3 / X MIPA 4

1. Aulia Salsabila (03)


2. Deka Agbal Muksami (04)
3. Hnifah Nofia Wati (10)
4. Julian Virdaus Zahro (11)
5. Melyna Aulia Azzahra (14)
6. Muh. Dhemaz Dana Dyaksa (18)
7. Rahmi Abitatassa’adah (25)
8. Risma Nur Fatimah (27)
9. Warna Adi Cahya (34

SMA NEGERI KALISAT

Jalan Ki Hajar Dewantara Nomor 42. Telepon (0331)591084

Email : smankalisat42@yahoo.com

Kode Pos : 68193

Kalisat – Jember
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena tanpa
rahmat & ridho-Nya, kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai
dengan tepat waktu. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Rendi selaku guru mata
pelajaran PPKN yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini.

Dalam makalah ini kami membahas tentang “KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN


KEPERCAYAAN DI INDONESIA”. Harapan kami selaku penulis adalah agar para pembaca
setelah melihat isi makalah dapat mengerti dan memahami tentang kemerdekaan beragama dan
kepercayaan di Indonesia.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui, maka dari
itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun guru agar kedepannya kami bisa
membuat makalah dengan sempurna.

Ciparay, September 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................2

1.3 Tujuan Pembelajaran.................................................................................................2

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Agama dan Kepercayaan di Indonesia..........................................................................3

2.2 Fungsi Agama.....................................................................................................6

a. Fungsi Edukatif............................................................................................6

b. Fungsi Penyelamat.......................................................................................6

c. Fungsi Sosial..............................................................................................6

d. Memupuk Persaudaraan................................................................................6

2.3 Fungsi Agama dalam Proses Integrasi Bangsa..............................................................7

2.4 Contoh Perilaku Keagamaan..................................................................................7

2.5 Norma-norma Kebebasan Beragama...........................................................................8

2.6 Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama.............................................................9

2.7 Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia...............................................................10

2.8 Kendala-kendala Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia..................................11

2.9 Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama.........................................................13

2.10 Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama......................................................16


BAB III

PEMBAHASAN

4.1 Pengertian Agama Dan Kepercayaan..........................................................................22

A. Agama Dan Kepercayaan Di Indonesia...............................................................23

B. Jenis-Jenis Kepercayaan di Indonesia..............................................................27

C. Kepercayaan-kepercayaan Masyarakat Indonesia.............................................28

4.2 Perilaku Keagamaan dalam Kehidupan Bermanfaat.....................................................29

4.3 Fungsi Agama.....................................................................................................30

4.4 Pengertian Kemerdekaan dan Kepercayaan...............................................................30

A. Jaminan Konstitusi.....................................................................................3

B. UUD yang Mengatur/Menegaskan Kebebasan Beragama..................................33


C. Norma-norma Kebebasan Beragama...............................................................35
D. Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama..............................................36
4.5 Hubungan Antar Agama di Indonesia.......................................................................37

4.6 Membangun Kerukunan Umat Beragama.................................................................38

BAB IV

PENUTUP

5.1 Kesimpulan.........................................................................................................40

5.2 Saran.................................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................42
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas
pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan
akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan.
Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit karena adanya
arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya
tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan
ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadi sebuah
monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas
adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya.
Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah.
Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan
Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah
ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit dariapada sekedar mengakuinya
secara normatif.
Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antar umat beragama di beberapa
daerah di Indonesia. Sebagai contoh insiden pembakaran gereja, kejadian ini
mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antar umat beragama
di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius.
Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan
diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan
founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Selain itu selama tahun
2007 telah terjadi pelanggaran HAM sebanyak 4075 kasus, dari kasus tersebut 20%
diantaranya merupakan kasus pelanggaran kebebasan beragama. Hal tersebut semakin
mengindikasikan bahwa peraturan yang mengatur kebebasan beragam di Indonesia masih
perlu dikaji lagi. Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan
beragama adalah masalah yang rumit.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Agama dan Kepercayaan?

2. Bagaimana perilaku keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat?

3. Apa fungsi agama?

4. Apa yang dimaksud kemerdekaan beragama dan kepercayaan?

5. Bagaimana hubungan antar agama di Indonesia?

6. Bagaimana cara membangun kerukunan umat beragama?

1.3 Tujuan Pembelajaran

melalui kegiatan, mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan


mengkomunikasikan peserta didik dapat:
1. Mengidentifikasi agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
2. Menganalisis kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
3. Menyaji hasil identifikasi agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
4. Menyaji hasil analisis kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang ada di Indonesia
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Agama dan Kepercayaan di Indonesia

Berdasarkan definisi yang dikutip dari Kamus Besar Indonesia, Agama adalah sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
serta tata kaidah berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Agamayang diakui di Indonesia ada 6 yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,
Buddha dan Kong Hu Cu.

Pada era Orde Baru, Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5 yakni
Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Tetapi setelah era reformasi, berdasarkan
Keputusan Presiden (Keppres) No. 6/2000, pemerintah mencabut larangan atas agama,
kepercayaandan adat istiadat Tionghoa. Keppres No.6/2000 yang dikeluarkan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputudan (SK) Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor MA/12/2006 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui
keberadaan agama Kong Hu Cu di Indonesia.

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan tidak ada peraturan perundang-
undangan yang menyatakan ada agama resmi atau tidak resmi, dan yang diakui tidak diakui oleh
negara.

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menjelaskan yang ada hanyalah bahwa
disebutkan enam agama sebagaimana agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan negara
memberikan serta perlindungan, selain jaminan yang disebutkan dalam UUD 1945, juga dalam
“Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 menyebutkan agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu,” jelasnya
dalam diskusi di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Jum’at (17/10/2014). Menurutnya, keberadaan
enam agamai ini sebagai agama yang dipeluk penduduk Indonesia dapat dibuktikan dalam
sejarah.

Dia menyatakan hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di
indonesia. Meskipun demikian, agama lain seain keenam agama tersebut juga dijamin
keberadaannya. “ini tidak berarti agama-agama lain misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto,
Taoisme, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh pasal 29
Ayat 02 UUD 1945,” kata menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin.

Dia menambahkan agama-agama tersebut dibiarkan adanya,asal tidak mengganggu


ketentuan-ketentuan- yang terdapat dalam peraturan tersebut dan peraturan perundangan yang
lain.(http://news.bisnis.com/read/20141017/15/265869/ lukman-hakim-syaifuddin-agama-
kepercayaan-selain-dari-6-agama-tetap-dijamin-negara).Dalam pasal-pasal dalam UUD 1945
yang memuat pengaturan mengenai kebebasan beragama, diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Pasal 29 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya


masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keperBayaannya itu.

2. Pasal 28E ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperBayaan, menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya.

pasal 28I ayat (1), yang berbunyi:”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan , hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudahk, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum , dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku sarut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Adanya jaminan kebebasan bukan berarti sebagai warga negara Indonesia kita memiliki
kebebasan yang tidak terbatas, kita tetap harus menghormati kebebasan orang lain, karena
kebebasan kita akan menimbulkan kewajiban bagiorang lain begitu pula sebaliknya. Hal tersebut
sebagaimana yang diamanatkan oleh UUG 1945 pasal 28 J ayat (1) dan (2). Yang berbunyi
sebagai berikut.

1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
pengakuan serta hormat atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.

untuk mengkaji kebebasan beragama di Indonesia, hendaknya kita membaca dan menghayati
pasal-pasal, tersebut seBara menyeluruh. Kita tidak bisa membaca hanya Pasal 29, 28E, 38I, dan
28J saja. Tetapi kitaharus membaca menghayatinya sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal
sebelumnya.

Pengaturan mengenai kebebasan beragama, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan


penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adilsesuai
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adi sesua
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Jika kita kaji
instrumen-instrumen internasional, hal serupadiatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (Universal declaration of human rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, padal 29
Ayat (2), dikatakan sebagai berikut: dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap
orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk
tujuan menjamin pengakuan clan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam
suatu masyarakat demokratis.

Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (diadopsi PBB Tahun 1966)
yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005,Pasal 18 Ayat (3) berbunyi sebagai
berikut: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat
dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban,
kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama Dan
Kepercayaan (Declaration on the Eliminaton of All Froms of Instolerance and of Discriminaton
Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal1 ayat (3) juga dinyatakan: kemerdekaan
seseorang untuk menyatakan agama atau keperBayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan
dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-
nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.

Selain itu, konvensi tentang hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child), yang
diadopsi oleh sidang umum PBB pada pasal 14 ayat (3) menyatakan: kebebasan seseorang untuk
menyatakan agamanya atau keperBayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka
untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-
hak dasar dan kebebasan orang lain.

2.2 Fungsi Agama

a.Fungsi edukatif

Agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaran-


ajaran melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll.

b.Fungsi penyelamat

Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat
mencapai kebahagiaan dan keselamatan.

c.Fungsi pengawasan sosial

Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah yang baik dikukuhkan sebagai norma
dan kaidah yang buruk sebagai larangan atay tabu. Fungsi pengawasan diperkuat dengan adanya
sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut.

d.Memupuk persaudaraan

Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling mencintai dan menghindari permusuhan.
Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan, cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa
dapat terwujud.

2.3 Fungsi Agama dalam Proses Integrasi Bangsa

a. Mengatur perilaku manusia melalui anjuran dan larangan sehingga manusia


senantiasa berperilaku benar.

b. Mengendalikan kehidupan masyarakat melalui konsep dosa (ganjaran terhadap


perilaku salah dalam suatu ajaran agama)

c. Memelihara solidaritas sosial baik intern maupun ekstern.

- Solidaritas intern:

Persatuan diantara sesama umat.

- Solidaritas ekstersn

Persatuan antar umat beragama yang berbeda. Solidaritas dapat dipupuk melalui penanaman
sikap salingmencintai sesama manusia. Sikap saling toleransi dan menghormati.

d. Ajaran agama menenteramkan batin manusia. Akibatnya masyarakat dapatberpikir


secara jernih dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehingga terhindar dari perilaku
anarkis yang dapat mengancam integrasi bangsa.

2.4 Contoh Perilaku Keagamaan

a. Perilaku kegamaan positif:

1) Ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga seseorang selalu berperilaku


baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan, dan kesatuan, integrasi nasional.
2) Sikap fanatik yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan
solidaritas diri antar pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong
royong tanpa pandang kelas sosial, dan perbedaan bangsa.

b. Perilaku keagamaan negatif

1) Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya


konflik destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi
kesempatan orang lain menjalankan ajaran agama.

2) Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar


serta meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan
kehendak atau ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis.

2.5 Norma-Norma Kebebasan Beragama

1) Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap
orang dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga
mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau
mengubah agama dan kepercayaannya.

2) Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan


mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan
dalam mengajaran, praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan
berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa
dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.

3) Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya


kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau
berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama
atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.

4) Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara


berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan
yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa
membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan
pandangan lainya, asal-usul bangsa, kekayaan dan status kelahiran.

5) Kelima, Rights of parent and guardian (Hak orang tua dan wali). Menurut norma
ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara
hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan
kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap
anak untuk bebas beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.

6) Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan


memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama
dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk
mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi.

7) Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom (Pembatasan yang


diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau
mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan
alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar
lainnya.

8) Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan


beragama atau kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.
2.6Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama

Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang
rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas
bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka
berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses
untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan
untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk
mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka,
menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.

Sedangkan kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam
kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara
kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh
yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan
yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun


Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerintahan lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan
saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan
menerbitkan rumah ibadah.

Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan
Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan
pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan
aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.

Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan;

1.Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama


2.Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan

4.Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara

2.7 Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia

Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di


Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup
umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat
ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak
hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.

Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat
memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin
faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup.
Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-
segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah
mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama
terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik,
bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang
paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-
kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah
baru dalam pemikiran keagamaan.

Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul
pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling
pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap
agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai
aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling
menghargai satu sama lain.

2.8 Kendala-Kendala Kerukunan Antar Umat Beragama

1) Rendahnya Sikap Toleransi

Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar
agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan
(lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola
perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan
teologi yang sensitif.

Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-


masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang
berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.

Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan


satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak.

Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan


sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang
berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

2) Kepentingan Politik

Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang
paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah
dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.

Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang
terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini,
tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah-darah saudara-saudara kita,
yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.

Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu
membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama
dan memanfaatkannya.

3) SikapFanatisme

Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang
dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan
yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam
adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang
ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut
perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing


sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para
pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam
agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya,
berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk
meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi
kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam
agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.

2.9 Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama

1) Dialog Antar Pemeluk Agama

Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara


tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat
pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan
mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang
disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai
“sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history).

Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan,
karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di
luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian,
yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di
antara para pemeluk agama yang berbeda.

Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus
meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi
komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama
dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada
lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan
komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan
meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang
dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara
keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami
kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-
agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.

Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat,
yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya.
Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering
menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari
pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar
dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif
menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan
baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut.

Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada
gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
2) Bersikap Optimis

Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis.
Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan
menyongsong masa depan dialog.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis.

Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di
luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di
universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-
agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan
sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya
lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan
FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham
pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara
reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai
problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini
seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut
agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan
umat atau jemaatnya.

Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan
bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih
mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi
kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam
memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-
provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh
pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid
dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan
mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik
(authentic religion) dan penganutnya.

Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk
mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen
politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra
daripada sebagai lawan.

2.10 Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama

Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang


merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi
bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh
pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya,
atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka
melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini
sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa
toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang
mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama
sekali.

Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status
orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat
mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam.
Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain,
jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan
hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan
mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan
memperkokoh persatuan Indonesia.

Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut.
Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk
menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati
orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan
umat beragama di Indonesia.

Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala
dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh
masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik
dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak.
Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Agama Dan Kepercayaan

Agama, berasal dari bahasa sansekerta artinya menunjukkan kepercayaan manusia berdasarkan

wahyu dari Tuhan. Secara etimologis berasal dari suku kata A-Gam-A berarti tidak pergi atau

tetap atau kekal jadi agama dapat diartikan sebagai pedoman hidup yang kekal.

Menurut Kitab Sunarigama, yang berasal dari kata A-Ga-Ma berarti ajaran tentang hal-hal yang

bersifat misteri.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agama adalah ajaran atau sistem yang

mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kaidah yang

berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya.

Kepercayaan atau Religi, berasal dari bahasa Latin Religere/religare artinya berhati-hati dan

berpegang teguh pada aturan-aturan dasar.

Jadi kepercayaan atau religi berarti kecenderungan batin (rohani) manusia yang terikat dengan

hal-hal yang gaib, suci (kekuatan alam), dan tabu.

Agama yang diakui di Indonesia ada 6 yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu,

Buddha dan Kong Hu Cu.

Pada era Orde Baru, agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5 yakni agama

Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Tetapi setelah era reformasi, berdasarkan keputusan

presiden NO.06 tahun 2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ini kemudian

diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indnoesia Nomor MA/12/2006

yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan agama Kong Hu Chu di Indonesia.

Menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan tidak ada peraturan perundang-

ungangan yang menyatakan ada agama resmi atau tidak resmi, dan yang ada hanyalah bahwa

disebutkan enam agama sebagaimana agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan negara

memberikan perlindungan.
Dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, dalam Pancasila, yaitu sila ke 1 yang berbunyi:

“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif

terhadap politik, ekonomi danbudaya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk

diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin

semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Adanya

jaminan kebebasan beragama bukan berarti sebagai warga negara Indonesia kita memiliki

kebebasan yang tidak terbatas.

Kita tetap harus menghormati kebebasan orang lain, karena kebebasan kita akan menimbulkan

kewajiban bagi orang lain begitu pula sebaliknya. Pengaturan mengenai kebebasan beragama,

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain

serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain

serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum.

A. Agama Dan Kepercayaan Di Indonesia

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh

penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu

(Confusius)".

1. Islam

Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 85%

dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.

Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan

kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-12, sebagian besar pedagang orang Islam

dariIndia tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Hindu yang dominan beserta kerajaan

Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya

berpindah agama ke Islam.


2. Kristen Protestan

Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada

sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil

meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia.

Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan

para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan

lebih sedikit di kepulauan Sunda.

3. Kristen Katolik

Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti

bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.

Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan

Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama

Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol

dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk

melindungi kedudukannya di Maluku.

Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap.

Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan

Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai

menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling

terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor.

Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik

masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas

di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda

dikalahkan oleh Perancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte,

adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama

Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda.


4. Hindu

Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu di

Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan

sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran

Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para

pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari.

Aliran Hindu juga telah terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah

lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau

Islam Kejawen.

Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum,

kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha

Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan

hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali

dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek

moyang roh.

Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara

agama dibandingkitab, hukum dan kepercayaan.

5. Buddha

Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam

masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan

Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti

kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram.

Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal

abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan

di Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah

Kerajaan Buddha yang lebih awal.

Mengikuti kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi

pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan

Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata
tertinggi, Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha

Indonesia pada masa lampau menurut teks Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.
6. Konghucu

Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang

Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di

kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada

kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya

suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial.

Di era 1900-an, pemeluk Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee

Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta).

status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan

hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih

rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya

wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan

mereka.

Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran

perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya

mengenalkan lima agama resmi.

Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih

menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan

Menteri Dalam Negeri tahun 1978.

Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan

semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga

Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan

tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara,

maka Tahun Baru Imlektelah menjadi hari libur keagamaan resmi.


B. Jenis-jenis Kepercayaan

1. Animisme

Berasal dari bahasa latin anima yang artinya roh. Adalah kepercayaan dimana disekeliling alam

tempat tinggal manusia banyak terdapat roh gaib. Agar diperoleh hubungan harmonis dengan roh

gaib, manusia mengadakan berbagai upacara keagamaan :pemujaan, sesajen, dll

2. Dinamisme

Dari bahasa Latin Dinamos artinya tenaga atau kekuatan yaitu kepercayaan bahwa disekeliling

alam manusia terdapat berbagai tenaga yang memiliki kekuatan gaib yang sakti, Kekuatan gaib

berasal dari berbagai gejala alam, misalnya matahari, bulan, air, api, angin.

Kekuatan gaib juga berasal dari roh manusia atau binatang yang sudah mati, istilah lain dari

kepercayaan ini adalah animalisme.

Kepercayaan ini juga menganggap segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat

mempengauhi keberhasilan dan kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup

misalnya kepercayaan adanya kekuatan gaib pada benda tertentu seperti akik atau keris,

kepercayaan ini disebut Fethisiisme

3. Politheisme

Berasal dari bahasa latin poly artinya banyak dan theos artinya Tuhan. Jadi Politheisme adalah

kepercayaan yang menganggap Tuhan atau dewa itu banyak

4. Sinkretisme

Adalah perpaduan beberapa kegiatan, istilah keagamaan, tatacara upacara, atau perlengkapan

upacara dari beberapapaham atau aliran yang berbeda. Misalnya: Islam Kejawen adalah

perpaduan dari nilai keagamaan kejawen tradisisonal (hindu) dengan Islam.

5. Monotheisme

Adalah agama atau kepercayaan kepada satu Tuhan (misalnya agama Wahyu).
C. Kepercayaan-kepercayaan Masyarakat di Indonesia

Beberapa daerah di Indonesia memiliki kepercayaan yang berbeda-beda berdasarkan

kepercayaan yang dianut atau diturunkan dari nenek moyang daerah masing-masing antara lain:

1. Nias (Sumatera Utara)

Suku Nias memiliki kepercayaan yang disebut pelebegu, istilah yang diberikan oleh para

pendatang yang berarti penyembah roh.

Menurut kepercayaan ini manusia memiliki dua macam tubuh yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh

halus. Tubuh Halus dibagi lagi menjadi 2 macam yaitu moso (nafas) dan lumo-lumo (bayangan)

2. Jawa

Masyarakat jawa (jawa tengan dan jawa timur) cukup banyak yang menganut tradisi kebatinan

dan kejawen.

3. Mentawai

masyarakat yang menganutnya beerada dipedalaman Siberut. Masyarakatnya percaya bahwa

setiap benda, manusia, hewan, dan tumbuhan itu memiliki jiwa. Kekuatan gaib yang ada di setiap

benda sering disebut BAJOU.

4. Batak

Masyarakat batak memiliki kepercayaan animisme. Mereka memiliki kepercayaan terhadap roh

nenek moyang. Mereka percaya terhadap Roh-Roh. Biasanya Roh orang mati disebut sebagai

Begu. Roh orang yang masih hidup adalah Tondi, Dan orang yang memiliki keistimewaan

tertentu disebut sebagai Sahala.

5. Baduy

Orang Baduy percaya kepada Tuhan yang disebut Batara Tunggal. Segala kehidupan sosial dan

kebiasaan mereka dapat diuraikan dalam pikukuh yaitu seperangkat aturan perilaku yang

diturunkan oleh leluhur. Pelanggar pikukuh harus mengikuti pembersihan dan kemudian

dibuang dari baduy dalam (kampong tangtu) ke daerah luar (kampong dangka)
3.2 Perilaku Keagamaan Dalam Kehidupan Bermasyarakat

1. Perilaku keagamaan Positif:

a) ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga sesorang selalu berperilaku baik, dan

menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan, integrasi nasional.

b) sikap fanatik yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan

solidaritas di antara pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong

royong tanpa pandang kelas social, dan perbedaan bangsa

2. Perilaku Keagamaan Negatif

a) Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya konflik

destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi kesempatan

orang lain menjalankan ajaran agamanya

b) Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar serta

meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan

kehendak/ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis

3.3 Fungsi Agama

1) Fungsi edukatif :

agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaran-ajaran

melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll.

2) Fungsi Penyelamatan : Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat

kebaikan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan.

3) Fungsi pengawasan Sosial : Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah

yang baik dikukuhkan sebagai norma dan kaidah yang buruk sebagai larangan atau tabu. Fungsi

pengawasan diperkuat dengan adanya sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut.

4) Memupuk persaudaraan : Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling

mencintai dan menghindari permusuhan. Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan,

cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud.


3.4 Pengertian Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama. Kehidupan beragama merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk kita

sebagai pelajar. Setiap awal pelajaran kalian tentunya selalu dipersilakan untuk berdoa

berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing. Begitupun ketika berada di lingkungan

keluarga atau masyarakat, kalian dapat melakukan berbagai kegiatan keagamaan dengan

nyaman, aman dan tertib. Hal itu semua, dikarenakan di negara kita sudah ada jaminan akan

kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia.

Kemerdekaan beragama dan berkepercayaan mengandung makna bahwa setiap manusia bebas

memilih, melaksanakan ajaran agama menurut keyakinan dan kepercayaannya, dan dalam hal ini

tidak boleh dipaksa oleh siapapun, baik itu oleh pemerintah, pejabat agama, masyarakat, maupun

orang tua sendiri. Kemerdekaan beragama dan berkepercayaan muncul dikarenakan secara

prinsip tidak ada tuntunan dalam agama apa pun yang mengandung paksaan atau

menyuruh penganutnya untuk memaksakan agamanya kepada orang lain, terutama terhadap

orang yang telah menganut salah satu agama. Setiap orang memiliki kemerdekaan beragama,

tetapi apakah boleh kita untuk tidak beragama?

Tentu saja tidak boleh, kemerdekaan beragama itu tidak dimaknai sebagai kebebasan untuk

tidak beragama atau bebas untuk tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemerdekaan

beragama bukan pula dimaknai sebagai kebebasan untuk menarik orang yang telah beragama

atau mengubah agama yang telah dianut seseorang. Selain itu kemerdekaan beragama juga tidak

diartikan sebagai kebebasan untuk beribadah yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran

agama masing-masing, dengan kata lain tidak diperbolehkan untuk menistakan agama dengan

melakukan peribadatan yang menyimpang dari ajaran agama yang dianutnya.

Pasal 18 disebutkan bahwa orang berhak akan kebebasan, keyakinan, dan agama termasuk

pindah agama.

Kemerdekaan beragama dan kepercayaan di Indonesia dijamin oleh UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal 28 E ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan

dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di

wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya.

Di samping itu, dalam pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ayat (2)

disebutkan,

bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Ketentuan-ketentuan di atas, semakin menunjukkan bahwa di Indonesia telah dijamin adanya

persamaan hak bagi setiap warga negara untuk menentukan dan menetapkan pilihan agama yang

ia anut, menunaikan ibadah serta segala kegiatan yang berhubungan dengan agama dan

kepercayaan masing-masing. Dengan kata lain, seluruh warga negara berhak atas kemerdekaan

beragama seutuhnya, tanpa harus khawatir negara akan mengurangi kemerdekaan itu. Hal ini

dikarenakan kemerdekaan beragama tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun sebagaimana

diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan

hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketentuan tersebut, diperlukan hal-hal berikut:

a. Adanya pengakuan yang sama oleh pemerintah terhadap agama-agama yang

dipeluk oleh warga negara.

b. Tiap pemeluk agama mempunyai kewajiban, hak dan kedudukan yang sama dalam

negara dan pemerintahan.

c. Adanya kebebasan yang otonom bagi setiap penganut agama dengan agamanya itu,

apabila terjadi perubahan agama, yang bersangkutan mempunyai kebebasan untuk

menetapkan dan menentukan agama yang ia kehendaki.


d..Adanya kebebasan yang otonom bagi tiap golongan umat beragama serta

perlindungan hukum dalam pelaksanaan kegiatan peribadatan dan kegiatan

keagamaan lainnya yang berhubungan dengan eksistensi agama masing-masing.

A. Jaminan Konstitusi Tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu:

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat

tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas

kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui

bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.

Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1)

UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2)

UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada
pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.
B. UUD yang mengatur /menegaskan kebebasan beragama

landasan hukum tentang kebebasan beragama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945

yaitu:

a) Pasal 28 E

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya.

b) Pasal 28 I

1. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa

pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

c) Pasal 29

1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

d) Pasal 22

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Negara harus menjamin:

a. Bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, dan

b. Hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.
e) Pasal 4

Hak beragama adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan

oleh siapapun.

UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan

PolitikMengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 (pasal 1,

ayat 1).

Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum.

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tercantum dalam UU No. 12 tahun 2005:

a). Pasal 18

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup

kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,

baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,

untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan,

dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun yang dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut

atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat

dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan,

ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

4. Negara Peserta dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan

apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral

bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

C. Norma-Norma Kebebasan Beragama

Ada delapan norma kebebasan beragama:

Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap

orang dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga
mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau

mengubah agama dan kepercayaannya.

Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan

kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam

mengajaran, praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan

berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa

dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.

Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu

dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata

lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu

dipaksa oleh siapa pun.

Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara berkewajiban

menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan yurisdiksinya

memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainya, asal-

usul bangsa, kekayaan dan status kelahiran.

Kelima, Rights of parent and guardian (Hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara

berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk

memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan

mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk

bebas beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.

Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan memperoleh status

hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan

kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau

membentuk asosiasi.

Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom (Pembatasan yang diperkenankan

terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu

agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi

keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar lainnya.


Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau

kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun

D. Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Bergama dan Kepercayaan di Indonesia

Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama di Indonesia ternyata

negara dan pemerintah belum benar-benar bisa menegakkan pasal pasal yang ada di dalam UUD

1945. Mulai dari aparat kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat malah menjadi

pelanggar HAM terbanyak. Negara juga kurang tegas dalam menangani kasus kasus pelanggaran

tesebut maka dari itu bukan semakin berkurang kasus yang terjadi tetapi malah semakin

bertambanhnya kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama, bukan hanya tentang

kebebasan beragama tapi masih banyak juga pasal lain yang masih sering dilanggar.

-Dari pantauan Komnas HAM selama satu tahun terakhir, kasus-kasus terkait rumah ibadah

cenderung meningkat. “Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam bentuk

penutupan, perusakan, penyegelan, atau pelarangan rumah ibadah merupakan isu menonjol," kata

Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM,

Jakarta, Selasa

Beberapa kasus pengabaian pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus lama pelanggaran

kebebasan beragama/berkeyakinan, di antaranya: pengabaian penyelesaian pembangunan Masjid

Nur Musafir di Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pengabaian penyelesaian pembangunan

gereja HKBP Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, serta pengabaian penyelesaian pemulangan warga

Ahmadiyah Lombok dari tempat pengungsian Mataram, Nusa Tenggara Barat.

3.5 Hubungan antar agama di Indonesia

Walaupun pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama

kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-

undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto

mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan

agama. Sebagai hasilnya, Buddha dan Khonghucu telah diasingkan.

Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan

memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada

awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok,
nasionalis dan Islam. Golongan Islam, yang dipimpin oleh Jenderal Prabowo, berpihak pada

Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari golongan nasionalis, berpegang pada negara sekuler.

Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh

pemerintahanHindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk

memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang

lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini

mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura,

yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia

kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah

timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam. Hal

ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah

timur Indonesia, seperti kasus Poso pada tahun 2005.

Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan

kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di

Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan

ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut. Pada 6

Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama:

Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi

itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur,Selandia Baru dan Papua

Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama

berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia. Pemerintah Australia, yang

diwakili oleh menteri luar negerinya, Alexander Downer, sangat mendukung konferensi tersebut.

3.6 Membangun Kerukunan Umat Beragama

Kemerdekaan beragama di Indonesia menyebabkan Indonesia mempunyai agama yang beraneka

ragam. Di sekolah mungkin saja warga sekolahnya (siswa dan guru) menganut agama yang

berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya. Atau mungkin saja, kalian mempunyai tetangga yang

tidak seagama dengan kalian. Hal itu semua, di negara kita merupakan sesuatu yang wajar.

Keberagaman agama yang dianut oleh bangsa Indonesia itu tidak boleh dijadikan hambatan

untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Hal tersebut tentu saja akan terwujud

apabila dibangun kerukunan umat beragama.


Kerukunan umat beragama merupakan sikap mental umat beragama dalam rangka mewujudkan

kehidupan yang serasi dengan tidak membedakan pangkat, kedudukan sosial dan tingkat

kekayaan. Kerukunan umat beragama dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik

dalam pergaulan antara warga baik yang seagama, berlainan agama maupun dengan pemerintah.

Di negara kita di kenal konsep Tri Kerukunan Umat Beragama, yang terdiri atas kerukunan

internal umat seagama, kerukunan antar umat berbeda agama, dan kerukunan antar umat

beragama dengan pemerintah. Kerukunan antar umat seagama berarti adanya kesepahaman dan

kesatuan untuk melakukan amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan menghormati adanya

perbedaan yang masih bisa ditolerir.

Dengan kata lain dengan sesama umat seagama tidak diperkenankan Kemerdekaan beragama

dan untuk saling bermusuhan, saling kepercayaan tidak boleh dimaknai menghina, saling

menjatuhkan, sebagai kebebasan untuk tidak tetapi harus dikembangkan sikap beragama atau

kebebasan untuk saliang menghargai, menghomati memaksaakan ajaran agama kepada dan

toleransi apabila terdapat perbedaan, asalkan perbedaan tersebut tidak menyimpang dari ajaran

agama yang dianut.

Kemudian, kerukunan antar umat beragama adalah cara atau sarana untuk mempersatukan dan

mempererat hubungan antara orang-orang yang tidak seagama dalam proses pergaulan pergaulan

di masyarakat, tetapi bukan ditujukan untuk mencampuradukan ajaran agama. Ini perlu

dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang membahayakan keamanan,

dan ketertiban umum.

Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan adanya dialog antar umat beragama yang di

dalamnya bukan membahas perbedaan, akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan

perdamaian hidup dalam bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing agama

mengajarkan untuk hidup dalam kedamaian dan ketentraman. Kerukunan antar umat beragama

dengan pemerintah, maksudnya adalah dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari

adanya aturan pemerintah setempat yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat tidak boleh hanya mentaati aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga

harus mentaati hukum yang berlaku di negara Indonesia.


BAB IV

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai pluralisme

agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi setiap orang. Secara

sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam

dan plural dalam hal beragama.

Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga

terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama.

Sesungguhnya tidak ada yang namanya absolutisme agama, hal itu berarti antar umat

beragama tidak bisa menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan hanya

menghargai agama orang lain.

Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama lain itu salah

maka yang sesungguhnya salah adalah orang tersebut karena secara tidak langsung ia

menyalahkan yang Tuhan dan bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu,

pengertian dan pemahaman tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada

alasan untuk secara mutlak menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.

Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat

komprehensif. Kita harus bersikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa

mempersoalkan perbedaan keyakinan.

Prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah

teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri

semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.

Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar

umat Islam berbuat baik dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada umat Islam.

Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya

toleransi agama. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan
semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa dan menjadi hal yang

sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup dinegeri ini.

5.2 Saran

Pemerintah dan aparat harus meningkatkan kinerjanya dalam mencegah dan

menyelesaikan pelanggaran hak kebebasan beragama. Lalu Pemerintah bersama dengan

masyarakat harus dapat bekerja sama dalam menciptakan dan menjaga kerukunan antar umat

beragama. Setelah itu, Masyarakat harus dapat saling menghargai dan bertoleransi terhadap

masyarakat penganut agama lain. Toleransi sebagai salah satu kunci untuk mewujudkan hal

tersebut perlu mendapatkan perhatian yang lebih, agar terciptanya Negara yang terhindar dari

perpecahan, menerima adanya perbedaan serta mencintai silaturrahmi.

Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi

sejak Islam itu ada. Maka teori toleransi di dalam Islam harus diimplementasikan dan

dipraktikkan secara konsisten.

5.3 Rekomendasi

Laporan “Kemerdekaan Beragama dan Kepercayaam” direkomendasikan sebagai

pedoman untuk pembaca, serta untuk sebagai bahan pembelajaran dan diarsipkan

diperpustakaan.
DAFTAR PUSAKA

http://khaifaradz.blogspot.com/2017/03/makalah-kemerdekaan-beragama-dan.html

16.25 WIB, 26/10/2019

Anda mungkin juga menyukai