Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Enterobacteriaceae adalah penyebab utama infeksi nosokomial, dengan Klebsiella


menjadi bakteri utama kedua setelah E. coli. Spesies Klebsiella menjadi patogen penting
bagi manusia, dan sedang terlibat dalam peningkatan morbiditas di antara populasi pasien.
Biasanya ditemukan di usus manusia dan hewan, air dan tanah, infeksi dengan bakteri ini
menyebabkan lama tinggal di rumah sakit. Beberapa komorbiditas dan status kekebalan
yang terganggu bersama dengan paparan terhadap beberapa antibiotik adalah faktor utama
yang meningkatkan risiko infeksi dan resistensi obat. Kolonisasi pernafasan dan saluran
pencernaan adalah umum pada pasien rawat inap. Dengan demikian, spesies Klebsiella
sering menjadi penyebab bronkopneumonia, infeksi saluran kemih dan septikemia pada
pasien yang dirawat. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan wabah infeksi
nosokomial karena sering bertukar resistensi yang ditanggung oleh plasmid dengan bakteri
lain, yang lebih umum di pusat tersier dan khusus. Klebsiella pneumoniae adalah spesies
tunggal dan dominan yang mendapatkan lebih signifikan karena mengembangkan resistensi
multi-obat di pusat perawatan tersier mirip dengan Pseudomonas dan Acinetobacter. Di
antara Klebsiella, K. oxytoca sekarang lebih sering diisolasi. Ini sebelumnya bernama
Bacterium oxytocum oleh Flugge pada tahun 1886 dan merupakan organisme yang
membentuk indole, memiliki reaksi Voges-Proskauer yang positif dan liquefar es gelatin
bersama dengan ciri-ciri lain spesies Klebsiella.
K. oxytoca biasanya diperoleh dari sumber-sumber lingkungan. Beberapa penelitian
sebelumnya telah menyimpulkan signifikansi patogeniknya dalam dahak dan kultur darah
pada beberapa pasien, sementara pada pasien lain tidak pasti, lebih pada infeksi pernapasan.
K. oxytoca telah diisolasi dari sampel klinis yang berbeda terutama dari darah dan
sekresi pernapasan, dan mendapatkan signifikansi klinis pada pasien yang mengalami
gangguan sistem imun dan lemah yang dirawat di Unit Perawatan Intensif Critical Care Unit
(ICUs). Selanjutnya, berbagai mekanisme terlibat dalam pengembangan resistensi multi-
obat. Ini termasuk produksi b-laktamase spektrum-luas (ESBL), laktamase AmpC,
Klebsiella pneumonia carbapenemase (KPC) dan enzim pengubah aminoglikosida. Modi et
al. telah melaporkan 89% ESBL yang memproduksi isolat K. pneumoniae pada skrining
yang dilakukan di unit perawatan neonatal di pusat perawatan tersier. KPC dikodekan oleh
gen bla, yang berpotensi ditransfer dari satu spesies ke bakteri Gram-negatif lainnya.
1.2 Tujuan

1.2.1. Memahami morfologi dari Klebsiella oxytoca


1.2.2. Memahami faktor virulensi Klebsiella oxytoca
1.2.3. Memahami diagnostik Klebsiella oxytoca
1.2.4. Memahami resistensi antibiotik pada Klebsiella oxytoca
1.2.5. Memahami terapi resistensi antibiotik pada Klebsiella oxytoca
BAB II
ISI

2.1 Morfologi Klebsiella sp

Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Familly : Enterobacteriaceae
Genus : Klebsiella
Spesies : Klebsiella oxytoca

Gambar 1. Mikroskopis Klebsiella Oxytoca

Klebsiella sp. pertama kali diteliti dan diberi nama oleh bacteriologist Jerman yang
bernama Edwin Jklebs (1834 – 1913). Klebsiella sp. merupakan bakteri gram negatif dari
famili Enterobactericeae yang dapat ditemukan di traktus gastrointestinal dan traktus
respiratori. Beberapa species Klebsiella sp. antara lain Klebsiella pneumoniae, Klebsiella
oxytoca, Klebsiella ozaenae dan Klebsiella rhinoscleromatis. Pada manusia, K.
pneumoniae hidup secara saprofit dalam sistem pernafasan dan tinja manusia normal
sebesar 5%, dengan 1% dapat menyebabkan radang paru – paru. Berdasarkan
kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella sp. merupakan bakteri fakultatif anaerob.
Klebsiella sp. merupakan kuman berbentuk batang pendek, tidak memiliki
spora, dan tidak memiliki flagela. Klebsiella sp. menguraikan laktosa dan membentuk
kapsul baik invivo atau invitro dan koloninya berlendir. Kapsul Klebsiella sp. terdiri
dari antigen O yang merupakan liposakarida yang terdiri atas unit polisakarida yang
berulang. Polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigen O tahan
terhadap panas dan alcohol dan bisa dideteksi dengan aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap
antigen O terutama adalah IgM. Antigen kedua adalah antigen K. Antigen K ini berada di
luar antigen O dan merupakan suatu capsular polysacharida. Antigen K dapat mengganggu
aglutinasi melalui antiserum O dan berhubungan dengan virulensi. Kedua antigen ini
meningkatkan patogenitas Klebsiella sp .

Gambaran mikroskopis Klebsiella sp. pada pengecatan gram ditunjukkan pada Gambar 2

Gambar 2. Bakteri batang gram negatif K. pneumoniae pada pengecatan gram.

Gambar 3. Klasifikasi Enterobacteriaceae


2.2 Patogenesis

Klebsiella sp. merupakan bakteri enterik yang kadang - kadang ditemukan dalam
jumlah kecil sebagai flora normal saluran napas atas. Bakteri enterik biasanya tidak
menyebabkan penyakit dan mungkin di dalam usus berperan terhadap fungsi dan nutrisi
normal. Bakteri menjadi patogen apabila bakteri berada dalam jaringan diluar jaringan usus
yang normal atau di tempat yang jarang terdapat flora normal. Bakteri enterik juga dapat
menyebabkan infeksi yang didapat dari rumah sakit (nosokomial) dan terkadang
menyebabkan infeksi yang didapat dari komunitas.
Faktor virulensi bakteri yang mempengaruhi patogenesis pada tubuh manusia adalah
kapsul polisakarida, endotoksin, reseptor dinding sel. Klebsiella sp. memiliki kapsul besar
yang terdiri dari polisakarida K yang menutupi antigen somatik dan dapat
diidentifikasi menggunakan tes quellung dengan antiserum khusus. Struktur kapsul
tersebut berfungsi melindungi bakteri dari fagositosis oleh granulosit polimorfonuklear, dan
mencegah kematian bakteri oleh serum bakterisidal. Adanya antigen pada kapsul yang
dimiliki Klebsiella sp. meningkatkan patogenitas bakteri. Infeksi sistem pernafasan oleh
Klebsiella sp. umumnya disebabkan oleh kapsular antigen tipe 1 dan 2.
Reseptor dinding sel yang dimiliki bakteri memungkinkan Klebsiella sp. melekat
pada sel host, mengubah permukaan bakteri sehingga fagositosis oleh leukosit
polimorfonuklear dan makrofag terganggu, dan invasi sel inang non-fagositik terfasilitasi.
Invasi pada sel inang ini juga dipengaruhi oleh kapsul polisakarida yang mengelilingi sel
bakteri, dan setelah itu Klebsiella sp.memproduksi endotoksin. Endotoksin merupakan
liposakarida kompleks yang terdapat pada dinding sel Bakteri Gram Negatif. Efek
biologi endotoksin dapat menyebabkan demam, leukopenia, pendarahan kapiler,
hipotensi ,kolaps sirkulasi

Gambar 5. Struktur Virulensi Enterobacteriaceae


2.3. Tes identifikasi

Prinsip identifikasi Klebsiella sp. dengan melihat gambaran mikroskop, isolasi


primer pada media, melihat penampakan koloni pada media dan melakukan tes – tes
biokimiawi.
1. Agar Darah
Media ini digunakan untuk isolasi, menumbuhkan berbagai macam bakteri patogen
dan menetapkan bentuk hemolisa dari bakteri tersebut. Media kultur ini kaya nutrien yang
menyediakan kondisi pertumbuhan bakteri yang optimal. pH media ini sekitar 6,8 untuk
menstabilkan sel darah merah dan menghasilkan media hemolisa yang jelas. Kandungan
yang didapat pada agar darah seperti nutrien
substrat (ekstrak hati dan pepton), NaCl, agar – agar, darah domba.
Media Agar Darah merupakan media differensial yang berfungsi membedakan
bakteri berdasar kemampuan bakteri melisiskan sel darah merah. Ekspresi dari
hemolisis bakteri dapat diketahui ada atau tidaknya zona bening disekeliling koloni bakteri.
Terdapat 3 tipe sifat hemolisis yaitu alpha, beta, dan gama. Bakteri yang memiliki tipe
hemolisis alpha adalah S. Pneumoniae. Hemolisis alpha terjadi penurunan hemoglobin
sel darah merah di sekitar koloni sehingga sekeliling bakteri akan tampak warna hijau atau
coklat dalam medium. Hemolisis beta didefinisikan lisis lengkap dengan tampilan warna
tranparan disekeliling bakteri pada medium. Bakteri yang termasuk beta hemolisis adalah
Streptococcus hemolitik, Streptococcus pyogenes. Tipe hemolisis gamma menunjukan
kurangnya tanda hemolisis. Bakteri yang memiliki sifat ini adalah Klebsiella sp.,
Enterococcus faecalis Gambaran pertumbuhan Klebsiella sp. pada media agar darah
ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Koloni K. pneumoniae pada agar darah (Gama-hemolisis)


2. Mac Conkey Agar

Media Mac Conkey agar termasuk salah satu media isolasi primer. Mac Conkey
merupakan medium selektif differensial yang mengandung zat warna khusus dan
karbohidrat untuk membedakan koloni yang memfermentasikan laktosa (bewarna
merah jambu) dengan yang tidak memfermentasikan laktosa (tidak bewarna), ukuran
dan bentuk koloni bervariasi tergantung species. Kelompok lactosa fermenter seperti
Klebsiella sp. menghasilkan koloni bewarna
merah jambu pada media isolasi primer. Koloni Klebsiella sp. Membentuk koloni
yang mukoid, kapsul polisakarida yang besar, kurang motil dan menunjukan
positif untuk lisin dekarbosilase dan sitrat. Media Mac Conkey memungkinkan
identifikasi persumtif secara cepat pada bakteri interik.
Gambaran pertumbuhan Klebsiella sp. pada media Mac Conkey ditunjukkan pada Gambar
7.

Gambar 7. Koloni K. pneumonia tampak berwarna merah muda mukoid pada media
Mac Conkey (laktosa positif)

3. Pewarnaan kapsul
Pewarnaan kapsul dengan menggunakan teknik gins – burri memiliki tujuan
untuk mengetahui ada tidaknya kapsul pada bakteri. Kapsul bakteri mudah ditembus zat
warna namun sukar dalam mengikat zat wana. Pada pewarnaan ini bakteri bewarna terang
jernih dengan latar belakang yang gelap.

4. Biokimia
a. Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
TSIA merupakan media yang dapat mengidentifikasi bakteri sesuai dengan karakter
spesifik yang ditunjukan oleh bakteri. Media TSIA mengandung 0,1% glukosa, 1%
sukrosa, 1% laktosa, ferosulfat (untuk mendeteksi produksi H2S), ekstrak jaringan
(substrat pertumbuhan protein), dan indikator pH (fenol merah). Zat tersebut
dimasukkan kedalam tabung reaksi sehingga menghasilkan agar miring dengan
bagian pangkal yang dalam dan diinokulasi dengan menusukkan pertumbuhan
bakteri ke dalam bagian pangkal. Jika memfermentasikan glukosa bagian miring
dan pangkal akan berubah warna kuning akibat sejumlah kecil asam yang
dihasilkan. Apabila produk fermentasi kemudian dioksidasi menjadi CO2 dan H2O
dan dilepaskan dari agar miring serta dekarbosilasi oksidatif protein masih berlanjut
dengan pembentukan amino ,bagian miring berubah menjadi alkalin (merah).
Reaksi oleh Klebsiella sp. pada TSIA yaitu asam/asam bewarna kuning pada
bagian pangkal dan miring, dapat terdeteksi gas, tidak dihasilkan H2S

b. Tes motilitas pada agar semisolid

Uji ini dignakan untuk mengetahui pergerakan bakteri. Bakteri diinokulasikan


dengan menggunakan suatu kawat lurus melalui pusat medium. Organisme
organisme non-motil seperti Klebsiella sp. hanya tumbuh pada garis
inokulum. Sedangkan organisme yang motil tumbuh keluar dari medium, yang
menjadi keruh.

c. Tes Indol

Uji indol untuk menilai pembentukan indol oleh bakteri dari triptopan sebagai
sumber karbon. Bila positif menghasilkan warna merah sedangkan apabila negatif
menghasilkan warna kuning. Klebsiella sp. merupakan bakteri dengan indol negatif.

d. Tes metil merah dan Voges – Prokauer (VP)

Tes metil merah digunakan untuk mendeteksi produksi asam kuat selama
proses fermentasi glukosa. Pembentukan asam pada fermentasi glukosa
memberikan warna merah dengan indikator metil merah. Voges – Prokauer
merupakan uji untuk menentukan organisme yang memproduksi dan
mengelola asam dan fermentasi glukosa, memperlihatkan kemampuan sistem buffer
dan menentukan bakteri yang menghasilkan produk netral (asetil metal karbinol
atau aseton) dari hasil fermentasi glukosa. Klebsiella sp menghasilkan warna merah
yang memberikan hasil positif terhadap reaksi VP.
e. Tes sitrat

Biakan diinokulasi pada media simmon sitrat agar dengan inokolum yang tipis
kemudian diinkubasi pada suhu 350 selama 48 jam. Jika hasil positif terjadi
perubahan warna indikator dari hijau menjadi biru yang bermakna
pertumbuhan bakteri pada medium sitrat menghasilkan keadaan alkalis dan bakteri
telah menggunakan sitrat. Klebsiella sp. memberikan reaksi positif terhadap
penggunaan sitrat.

Gambar 8. Koloni pada SCITB

Gambar 9. Alur Diagnostik Klebsiella oxytoca


2.4. Kolonisasi Klebsiella sp.

Pneumonia dapat disebabkan oleh kolonisasi bakteri yang melekat pada


nasofaring, baik mikroorganisme normal yang sebaiknya ada maupun
mikroorganisme yang normalya tidak ada. Kolonisasi bakteri di tubuh manusia
memiliki makna seseorang memiliki konsentransi mikroorganisme cukup tinggi
pada suatu tempat, namun mikroorganisme tersebut tidak menimbulkan
gejala dan tanda. Kolonisasi bakteri patogen respiratori terkadang kurang
ditemui tanda klinis namun akan mulai menimbulkan masalah apabila menjadi
sumber penularan dan penyebaran pada orang lain. Salah satu bakteri patogen
respiratori yang berkolonisasi di nasofaring adalah Klebsiella sp.. Penelitian
oleh Irwanti (2010) didapatkan kolonisasi Klebsiella pneumoniae sebesar
7% pada nasofaring bayi dan balita, sedangkan penelitian oleh Setiawan
(2010) didapatkan sebesar 15,28% pada nasofaring dewasa.

2.5 Hubungan kolonisasi nasofaring dengan infeksi saluran nafas bawah

Infeksi saluran nafas bawah terjadi apabila ada ketidak seimbangan tubuh,
mikroorganisme,dan lingkungan. Mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit pada tubuh manusia. Ada beberapa cara mikroorganisme
dapat mencapai permukaan saluran pernafasan dengan inokulasi langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, kolonisasi
permukaan mukosa. Penyebaran mikroorganisme paling banyak ditemukan
melalui kolonisasi. Adanya kolonisasi mikroorganisme pada saluran nafas atas
kemudian aspirasi ke saluran nafas bagian bawah dan terjadi inokulasi, maka
hal ini adalah tahap awal terjadinya infeksi dari sebagian besar terjadinya
infeksi paru. Kolonisasi pada nasofaring bisa menjadi sarang bakteri patogen
respiratori. Sekresi nasofaring mengandung konsetrasi bakteri yang tinggi yaitu
108-10 /ml sehingga aspirasi sebagian kecil sekret dapat menimbulkan
2.6 Penyakit yang ditimbulkan Klebsiella sp.

Klebsiella sp. menyebabkan berbagai infeksi pada manusia seperti


pneumonia, infeksi saluran kemih, bakterimia. Klebsiella sp. berperan dalam
penyebab pneumonia pada komunitas masyarakat atau yang disebut Community
Acquired Pneumonia (CAP), juga mengakibatkan infeksi nosokomial yang
dikenal dengan Hospital Acquired Pneumonia (HAP). Infeksi nosokomial adalah
infeksi yang terjadi di rumah sakit dan menyerang pasien yang sedang dalam
proses perawatan. Terjadi transmisi bakteri patogen bersumber dari lingkungan
rumah sakit dan peralatan rumah sakit. Infeksi nosokomial terjadi setelah
pasien dalam proses rawat lebih dari 42 jam. Contoh infeksi nosokomial adalah
kasus infeksi pada pemakaian pipa nasogastrik, pipa nasotrokeal yang lama
sehingga terganggunya aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan
bakteri patogen.
K. pneumoniae menimbulkan konsolidasi luas yang disertai nekrosis
hemoragik pada paru. Organisme ini terkadang menyebabkan infeksi saluran
kemih dan bakteremia yang disertai dengan infeksi fokal pada pasien yang sangat
lemah. K. pneumoniae dan Klebsiella oxytoca menyebabkan infeksi nosokomial.
Klebsiella ozaenae yang pernah diisolasi dari mukosa nasal ozena menyebabkan
atrofi membran mukosa dan berbau busuk. Klebsiella rhinoscleromatis
menyebabkan granuloma dekstruktif pada hidung dan faring.

2.7 Faktor yang mempengaruhi resistensi Klebsiella sp.

Faktor - faktor yang diduga mempengaruhi resistensi Klebsiella sp seperti


status gizi, riwayat penggunaan antibioik, dan lokasi tempat tinggal balita. Status
gizi yang baik akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit, namun
status gizi yang buruk akan mengakibatkatkan tubuh rentan terhadap penyakit.
Gizi buruk menjadikan sistem imun seseorang berkurang sehingga mudah
terserang infeksi. Riwayat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai,
misalkan pemakaian antibiotik yang terlalu sering, irasional, dosis tinggi dan
intensitas yang berlebihan dalam jangka waktu lama dapat memudahkan
berkembangnya resistensi di klinik.
Lokasi tempat tinggal balita diduga mempengaruhi resistensi antibiotik.
Penelitian yang dilakukan Klugman (2007) menyebutkan bahwa anak yang
tinggal di perkotaan dan mudah mandapatkan pelayanan kesehatan cenderung
lebih resisten terhadap antibiotik dibandingkan dengan anak yang tinggal di
pedesaan dan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan.

2.8 Resistensi terhadap antimikroba pada Klebsiella sp.

Terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba dapat melalui tiga


mekanisme yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel
mikroba, inaktivasi obat, mikroba mengubah binding site antimikroba. Obat tidak
dapat mencapai di dalam sel mikroba dapat terjadi pada Bakteri Gram Negatif.
Molekul antimikroba yang kecil dan polar dapat masuk menembus dinding luar
dan masuk ke dalam sel bakteri melalui porin. Bila porin menghilang atau
mengalami mutasi maka akan menghambat kerja antimikroba. Mekanisme lain
Gram negatif dengan melakukan pengurangan transpor aktif dan
memasukkan antimikroba ke dalam sel. Adanya mekanisme mikroba ini
mengaktifkan pompa efluks untuk membuang antimikroba yang ada dalam sel.

2.9 Multi Drug Resistant (MDR)

MDR merupakan kondisi suatu organisme penyebab penyakit


mampu melawan atau resisten lebih dari dua golongan bahan kimia atau obat
yang digunakan dalam terapi. Resistensi simultan untuk beberapa obat oleh
Klebsiella sp. dimungkinkan adanya penyebaran strain Klebsiella sp.
mampu memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) dan K.
pneumoniae Carbapenemase (KPC).
Klebsiella sp. mampu memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamase
yang dapat melumpuhkan kerja berbagai jenis antibiotik. Infeksi akibat bakteri
penghasil ESBL dapat ditemukan dibeberapa negara maju dan berkembang
seperti di Amerika Serikat sebesar 0,25%, sedangkan di Eropa kecuali Belanda
didapatkan kurang dari 1%. Negara bagian Asia didapatkan kejadian
ESBL yang diproduksi oleh yip[uEscherichia coli dan K. pneumoniae
sebesar 4,8% di Korea, 8,5% di Taiwan, dan 12% di Hongkong. Penelitian
Antimicrobial Resistance in Indonesia (AMRIN Study) menemukan kejadian
ESBL di Indonesia cukup tinggi yakni 29% pada E. coli dan 36% pada K.
pneumonia.
β-laktamase adalah enzim yang dihasilkan beberapa bakteri untuk
melawan antibiotik golongan β-lactam. β-lactam merupakan antibiotik yang
berasal dari penicillin dan cephalosporin, cephamycin, carbapenem. Tipe β-
laktamase yang diperkirakan sulit ditangani Extended Spectrum Beta Lactamase
(ESBL), AmpC yang keduanya menghidrolisis cephalosporin generasi tiga.
AmpC mengnonaktifkan cephamycin dan tidak dihambat oleh inhibitor β-
laktamase seperti clavulanic acid. Mekanisme kerja β-laktamase dengan
menyerang ikatan cincin β-laktam penicillin dan cephalosporin serta
menghasilkan penicillinic acid dan chepalosporic acid sehingga senyawa
antibakteri tidak aktif. ESBL terjadi substitusi asam amino dan mengakibatkan
perubahan konfigurasi enzim.
Carbapenem merupakan antibiotik pilihan untuk terapi infeksi serius
akibat bakteri yang memproduksi ESBL namun baru – baru ini ditemukan
carbapenem resistant isolat. Carbapenemase memiliki spektrum luas dan
mampu mengenali hampir semua enzim yang menghidrolisa β-laktam.
Antibiotik carbapenem diharapkan mampu menurunkan β-laktamase yang
diproduksi organisme. Saat ini kromosom carbapenemase pada
mikroorganisme dimafatkan sebagai perlindungan diri dinding sel dari ancaman
eksternal.
Aktifitas antimikroba sefalosporin dengan menghambat sintesis dinding
sel mikroba. Hambatan sefalosporin terjadi disaat reaksi transpeptidase tahap
ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin
berdasarkan aktivitas mikrobanya dibagi mejadi 4 generasi. Sefalosporin generasi
ketiga kinerjanya lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae daripada Bakteri
Gram Positif. Sefalosporin generasi keempat memiliki spektrum aktivitas yang
lebih luas dari generasi ketiga, lebih stabil terhadap hidrolisis oleh
betalaktamase dan berguna untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten
terhadap generasi ketiga.
Kloramfenikol bekerja dengan sintesis protein kuman. Antimikroba ini
terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Resistensi terhadap Klebsiella sp. terjadi dikarenakan peruahan permeabilitas
membran yang mengurangi masuknya obat kedalam sel bakteri. Aminoglikosida
adalah golongan senyawa yang terdiri dari dua atau lebih gugus gula amino
yang terikat melalui glikosidik pada ikatan heksosa. Aktivitas aminoglikosid
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama perubahan pH, keadaan aerobik –
anaerobik. Aktivitas antibakteri gentamisin tertuju pada basil Gram Negatif yang
aerobik. Resistensi terhadap aminoglikosid dapat dikarenakan kegagalan
penetrasi kedalam kuman, rendahnya afinitas obat pada ribosom atau inaktivitas
obat oleh enzim kuman.
Fluorokuinolon memiliki struktur atom flour pada enam posisi
struktur molekulnya. Mekanisme kerja fluorokuinolon dengan menghambat
topoisomerase II dan IV pada kuman. Topoisomerase II berfungsi menimbulkan
relaksasi pada DNA pada waku transkripsi dalam proses replikasi DNA.
Topoisomer IV berfungsi pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses
replikasi DNA kuman selesai. Resistensi terhadap kuinolon tidak dijumpai
mekanisme resistensi melalui plasmid, melainkan melalui mekanisme| perubahan
pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke dalam sel
dan dapat terjadi karena peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel.
Kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol atau yang lebih dikenal
dengan nama kotrimoksazol memiliki dua tahap aktivitas antibakteri yang
berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat.
Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam
folat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat
menjadi tetrahidrofolat. Trimetropim menghambat enzim dihidrofolat reduktase
mikroba secara selektif. Resistensi mikroba terhadap trimetoprim dapat terjadi
karena mutasi. Pada Bakteri Gram Negatif memiliki plasmid yang dapat
menghambat kinerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase
BAB III
KESIMPULAN

1. Klebsiella oxytoca ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia


2. Patogenitas tergantung pada faktor host, virulensi, resistensi antibiotik
3. Standar emas diagnostik untuk K. oxytoca didefinisikan sebagai koloni
yang dicurigai pada agar SCITB yang positif dengan uji indole spot atau
koloni yang dicurigai pada agar MacConkey, dengan koloni yang
dicurigai dari agar-agar tersebut selanjutnya dikonfirmasi dengan metode
biokimia konvensional dan sistem identifikasi Vitek II otomatis.
4. Klebsiella oxytoca berhubungan dengan kejadian AAHC
5. Tata laksana infeksi klebsiella oxytoca berdasarkan dengan hasil kultur
dan sensitivitas
DAFTAR PUSTAKA

1. Singh L, et al. Klebsiella oxytoca: An emerging pathogen?, Med J Armed


Forces India. (2016), http://dx.doi.org/ 10.1016/j.mjafi.2016.05.002
2. Bartlett JG. Clinical practice: antibiotic-associated diarrhea. N Engl J Med
2002; 346:334–9.
3. Kelly CP, Pothoulakis C, LaMont JT. Clostridium difficile colitis. N Engl
JMed1994; 330:257–62.
4. Hogenauer C, Langner C, Beubler E, et al. Klebsiella oxytoca as a
causative organism of antibiotic-associated hemorrhagic colitis. N Engl J
Med 2006; 355:2418–26.
5. Chen J, Cachay ER, Hunt GC. Klebsiella oxytoca: a rare cause of severe
infectious colitis: first North American case report. Gastrointest Endosc
2004; 60:142–5.
6. Soussi F, Tchirikhtchian K, Ramaholimihaso F, et al. Diclofenac-induced
colitis complicated by Klebsiella oxytoca infection [in French].
Gastroenterol Clin Biol 2001; 25:814–6.
7. Plessier A, Cosnes J, Gendre JP, Beaugerie L. Intercurrent Klebsiella
oxytoca colitis in a patient with Crohn’s disease [in French]. Gastroenterol
Clin Biol 2002; 26:799–800.
8. Krause R, Schwab E, Bachhiesl D, et al. Role of Candida in
antibioticassociated diarrhea. J Infect Dis 2001; 184:1065–9.
9. Fekety R. Guidelines for the diagnosis and management of Clostridium
difficile–associated diarrhea and colitis: American College of
Gastroenterology, Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol
1997; 92:739–50.
10. Mosmann T. Rapid colorimetric assay for cellular growth and survival:
application to proliferation and cytotoxicity assays. J Immunol Methods
1983; 65:55–63.
11. Minami J, Okabe A, Shiode J, Hayashi H. Production of a unique
cytotoxin by Klebsiella oxytoca. Microb Pathog 1989; 7:203–11.
12. Degener JE, Smit AC, Michel MF, Valkenburg HA, Muller L. Faecal
carriage of aerobic gram-negative bacilli and drug resistance of
Escherichia coli in different age-groups in Dutch urban communities. J
Med Microbiol 1983; 16:139–45.
13. Torres A, Garau J, Arvis P, et al. Moxifloxacin monotherapy is effective
in hospitalized patients with community-acquired pneumonia: the MOTIV
study—a randomized clinical trial. Clin Infect Dis 2008;46:1499–509

Anda mungkin juga menyukai