Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERAN SEKOLAH DASAR DALAM PENDIDIKAN ISLAM


MULTIKULTURAL
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam Multikultural
Dosen Pengampu: Muh Muhaimin, M.Pd.

Disusun Oleh:

Kelompok: 06
Rombel : 5PGSD/A8
Nama : 1. Harisatul Minnah 171330000127
2. Lutfiatul Chasanah 171330000193
3. Rizka Akhlis Lusyana 171330000197

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLOTUL ULAMA’(UNISNU) JEPARA
TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah yang telah
memberikan kepada kita semua ni’mat iman dan ni’mat islam, sehingga pada saat
kali ini kita masih dapat menjalankan aktivitas semata-mata untuk mengharapkan
ridho Allah.
Dan semoga sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita
nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari jurang-jurang kehancuran
dan dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang yakni agama
islam.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
dan terkhusus buat pembaca agar dapat lebih memahami peran sekolah dasar
dalam pendidikan islam multicultural. Disamping itu penulis juga menyadari
makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan, oleh karenanya segala bentuk
kritikan sangat penulis harapkan untuk selangkah lebih maju pada kesempatan
selanjutnya.

Jepara, November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. Pengertian pendidikan Islam multuikultural ...................................... 3
B. Pentingnya pendidikan multicultural dalam Islam ............................. 4
C. Peran sekolah dasar dalam pendidikan Islam multicultural ............... 7
D. Implementasi pendidikan berbasis multikulturalisme ........................ 13
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 17
A. Simpulan ............................................................................................ 17
B. Saran ................................................................................................... 17
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejatinya pendidikan multikultur menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam semua jenjang pendidikan. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai
multikultur idealnya diaplikasikan dalam setiap mata pelajaran di semua jenjang
pendidikan formal. Multikultur adalah kearifan lokal untuk melihat
keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan
bermasyarakat. Multikultur dalam praktek adalah strategi dari integrasi sosial
dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati. Pembelajaran
berbasis multikultur dan budaya di tingkat sekolah dasar (SD/MI) disesuaikan
dengan tingkat perkembangan berfikir anak SD yang masih dalam taraf konkrit.
Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan berwujud pengalaman hidup
dari berbagai lingkungan budaya. Untuk mengenalkan anak didik kita dengan
budaya tersebut maka sekolah perlu dimodelkan sebagai lembaga budaya di mana
siswa bisa dapat beradaptasi secara alamiah dan berbudaya. Idealnya bahwa
Pendidikan seyogyanya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan
menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan baik pribadi, jenis kelamin,
masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi,
berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.Pendidikan sebaiknya menumbuhkan
solidaritas dan kesamaan pada tataran nasional dan internasional, dalam perspektif
pembangunan yang seimbang dan lestari.
Hamid Hasan yang dikutip Ngainun Naim menyatakan, bahwa masyarakat
dan bangsa Indonesia memiliki tingkat keragaman yang tinggi, mulai dari dimensi
social, budaya, aspirasi poliktik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut
berpengaruh langsung terhadap keamampuan guru dalam melaksanakan
kurikulum. Kemapuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar juga
berpengaruh terhadap kemampuan anak didik untuk berproses dalam belajar serta
berpengaruh dalam mengelola informasi menjadi suatu yang dapat diterjemahkan
sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi variable bebas yang memiliki

1
konstribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan implementasi kurikulum yang
ada, baik kurikulum sebagai proses maupun kurikulum sebagai hasil. Oleh karena
itu keragaman tersebut harus menjadi faktor yang seyogyanya diperhitungkan dan
dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen,
sosialisasi, model dan pelaksanaan kurikulum. (Hamid Hasan : 2008 : 188).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendidikan Islam multuikultural ?
2. Apa pentingnya pendidikan multicultural dalam Islam ?
3. Bagaiman peran sekolah dasar dalam pendidikan Islam multicultural ?
4. Bagaimana Implementasi pendidikan berbasis multikulturalisme ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa pengertian pendidikan Islam multuikultural.
2. Untuk mengetahui pentingnya pendidikan multicultural dalam Islam.
3. Untuk mengetahui bagaiman peran sekolah dasar dalam pendidikan Islam
multicultural.
4. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi pendidikan berbasis
multikulturalisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Multikultural


Multikultural berasal dari kata multi yang artinya banyak, lebih dari satu
dan kultural artinya berhubungan dengan kebudayaan. Multikultural artinya
bersifat keberagaman budaya. (KBBI : 2008) Pendidikan multicultural adalah
adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran
dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para
siswa seperti perbedaan etnis agama, bahasa, gender, khas sosial, ras,
kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. (M.Ainul
Yaqin : 2005 : 25)
Pendidikan Islam multikultural ialah tertanamnya sikap simpati, respek,
apresiasi (menghargai), dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang
berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa kita di sisi Allah. Karena Allah tidak
melihat darimana ia berasal, seberapa tampan atau cantik, seberapa kaya, seberapa
tinggi pangkat/jabatan, seberapa kuat badannya, tapi yang dilihat Allah ialah
seberapa besar tingkat taqwanya
Pendapat Banks yang dikutip Farida Hanum, pendidikan multikultural
merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang
mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk
gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara. Pendidikan multikultural adalah ide, gerakan,
pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah
untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun
wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari
kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki
kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. (Farida
Hanum : 2015)
Tujuan pendidikan multikultural, menurut Tri Astutik Haryati membedakan
menjadi tiga macam yaitu tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan

3
pembelajaran. (attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan
kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural,
sikap responsive terhadap budaya, ketrampilan untuk menghindari dan meresoludi
konflik. Kemudian yang berkaitan dengan aspek pengetauan (cognitive goals)
adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan
kemampuan untuk menganalisis dan menterjemahkan prilaku cultural, dan
pengetahuan tentang kesadaran perspektif cultural. Sedangkan tujuan pendidikan
multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran (instructional goals) adalah
untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok
etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi
untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual
untuk komunikasi antar budaya, mengembangkan keterampilan interpersonal,
memberikan teknik-teknik evaluasi,membantu klarivikasi nilai,dan menjelaskan
dinamika kultural (Tri Astuti : 2009 : 185).
B. Pentingnya Pendidikan Mutikultural Dalam Islam
Pendidikan Multikultural dalam Islam menemukan pijakannya dalam
piagam madinah. Piagam ini menjadi rujukan suku dan agama pada waktu itu
dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Piagam ini juga menjadi rujukan
orang-orang yang ingin menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
Islam. Pijakan multikultural juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian
Rasulullah S.A.W. Ia seorang manusia multikultural. Ia sangat menghormati
hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perbedaan.Untuk mewujudkan
pendidikan multikultural Islam ditempuhlah berbagai cara, diantaranya:
Pertama, pendidikan Islam multikultural (PIM) mengakui budaya lokal
dan menghormati budaya global. Artinya, pendidikan Islam multikultural
mengakui adanya realitas budaya lokal sebagai sesuatu yang bisa mewarnai
pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga tidak menafikan budaya global yang
juga bisa menambah gairah pendidikan Islam. Ketika kedua budaya tersebut
bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan tengah untuk “mendamaikan”
keduanya.

4
Kedua, PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau
kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya
benturan-benturan ideologi, keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM
mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian
nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan
UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN.
Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut
tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan
rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi
salah satu penentu kelulusan.
Ketiga, PIM menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi sebagai
penyeimbang bagi budaya lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM sebagai jalan
tengah. Artinya posisi, PIM itu tidak mesti menjadi salah satu pendukung
globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran sebagai fasilitator bagi
globalisasi dan budaya lokal. Contohnya ketika globalisasi, di satu sisi,
mendorong penggunaan teknologi dalam semua ranah kehidupan, dan di sisi
lain, keyakinan akan bahaya teknologi bagi moralitas anak terus dipegang erat
oleh masyarakat di perkampungan misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang
dengan mempersilahkan penggunaan teknologi di masyarakat perkampungan
dan mendorong perbaikan metodologi pengajaran al-Quran dan ilmu-ilmu
agama lain di perkampungan agar pemahaman terhadap agama semakin baik
dan kesadaran tentang moralitas menjadi semakin tinggi.
Keempat, PIM mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai
pengakuan terhadap perbedaan dan kemajukan, namun dalam prakteknya
menerima perbedaan tersebut secara legowo dan melakukan perubahan dalam
cara bertindak. Artinya, pluralisme yang “proyeknya” belum final pada era
modernisme itu, didorong untuk menuntaskan proyek tersebut sehingga
menghasilkan perubahan yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya
sebatas gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh apakah
masyarakat Indonesia bisa menerima seorang presiden non-muslim, namun
bisa mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan terhadap

5
cara pandang masyarakat tersebut, sehingga ukuran utama seorang presiden
tersebut bukan didasarkan pada latar belakang agama, namun pada tingkat
kemampuan memajukan masyarakat.
Kelima, PIM “melawan” keinginan pemerintah, tokoh pendidikan, atau
siapapun yang mencoba melakukan penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa
sejalan dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua konsep ini mendorong keragaman
proses pembelajaran di setiap sekolah. Rumusan kelima ini memerlukan
keberanian dan energi yang lebih untuk “melawan” kebijakan-kebijakan
pendidikan yang tidak pro rakyat.
Keenam, PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan memberikan
pemahaman bagaimana seharusnya menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan
terakhir menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas kemanusiaan dan
bagaimana masyarakat bisa memahami realitas tersebut dan mempraktekan
pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menuju pendidikan
Islam multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan arah multikultural
dari semua elemen pendidikan; pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah,
orang tua, guru, dan siswa.
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan Islam
multikultural. Kedua hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti
bisa dikembangkan dan diturunkan menjadi langkah-langkah praktis.
Pertama, birokrat pendidikan, guru, dan siswa harus mampu mengakses
informasi tentang isu-isu multikultural, baik dari media massa maupun lewat
forum diskusi, sehingga mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural.
Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti perkembangan informasi
lewat media massa. Ketika birokrat pendidikan menjadi seorang figur
multikultural, maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum pun akan
mendukung multikultural. Begitupun guru dan siswa. Ketika mereka tumbuh
menjadi figur multikultural, maka proses pengaran dan pembelajaran pun akan
memuat nilai-nilai multikultural.

6
Kedua, kegiatan multikultural adalah bagian dari nilai spiritual. Oleh
karena itu, siswa harus diberikan penjelasan tentang nilai-nilai spiritual dari
kegiatan yang mereka lakukan tersebut. Sehingga setiap saat mereka akan
dihadapkan pada kesadaran spiritual. Sebagai contoh guru mengajak diskusi
tentang pentingnya membersihkan lingkungan, menghormati orang yang
berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton film atau acara-acara televisi
yang memuat wawasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjelaskan bahwa
ketiga hal tersebut merupakan. bagian dari nilai-nilai multikultural dan refleksi
dari ibadah kepada Tuhan. (Azra : 2011)

C. Peran Sekolah Dasar dalam Pendidikan Islam Multikultural


a. Sebagai Pengajaran Pendidikan Multikultural
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) menurut Aristolteles
adalah makhluk yang senantiasa ingin hidup berkelompok. Pendapat senada
menyatakan bahwa manusia adalah homo politicus. Manusia dalam hal ini
tidak bisa menyelesaikan segala permasalahannya sendiri, dia membutuhkan
orang lain baik untuk memenuhi kebutuhannya maupun untuk menjalankan
perannya selaku makhluk hidup. ( Moh. Roqib & Nurfuadi : 2009 : 131)
(Soekanto : 2012 : 55) Sekolah disamping sebagai tempat untuk
mengembangkan kompetensi juga untuk mengembangkan kepekaan sosial
di lingkunganya agar interaksi dilingkunganya berjalan dengan baik.
Karakter siswa bisa dilihat dan dinilai ketika seseorang tersebut berinteraksi
dengan orang lain, Salah satu sifat manusia selain sebagai makhluk
individual adalah juga sebagai makhluk sosial. Dengan demikian
kompetensi merupakan indikator yang menunjuk kepada perbuatan yang
dapat diamati, dan sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap, serta tahap-tahap
pelaksanaannya secara utuh.
Sebagaimana yang dikemukakan Buchari Alma kompetensi sosial
adalah kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. (Wibowo

7
dan Hamrin : 2012 : 124). Iwan Supardi menyebutkan enam asumsi dasar
mengapa pendidikan multikultural perlu dikembangkan disekolah, yaitu:
1. Perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai
2. Sekolah harus menjadi model penyampaian HAM dan penghormatan
terhadap perbedaan-perbedaan budaya.
3. Keadilan dan kesetaraan bagi semua di sekolah harus menjadi perhatian
penting dalam rancangan dan pelaksanaan kurikulum.
4. Perilaku dan nilai yang perlu untuk kelangsungan masyarakat demokratis
dapat dipromosikan di sekolah.
5. Lembaga sekolah dapat sebagai tempat untuk pengembangan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap nilai, perilaku, dan komitmen
untuk membantu siswa dari berbagai kelompok yang beragam.
6. Kerjasama guru dengan pihak keluarga dan masyarakat dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung multikulturalisme. (Iwan
Supardi : 2014 : 119).
Konsep multikulturalisme menekankan pentingnya memandang
dunia dari bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenal serta
manghargai kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam
komunitas global. Multikulturakisme menegaskan perlunya menciptakan
perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual,
keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang
sebagai sumber yang berharga untuk memperkaya proses belajar
mengajar.(A. Hidayatulloh Al Arifin : 2012).
b. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial
Sistem sosial adalah proses bertingkah laku (dalam masyarakat) yang
saling memengaruhi dan terdapat kegiatan berulang tetap secara teratur.
Sekolah sebagai system social pada hakikatnya merupakan susunan dari
peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut
terkonsentrasi pada satu kekuatan legal structural yang menggerakkan daya
orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Variabel dan faktor sekolah sebagai
sistem sosial itu antara lain :

8
1. Kebijakan dan politik sekolah
Kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak
didik akan dikembangkan potensinya. Kebijakan dan politik sekolah
yang bernuansa khas dan unggul dapat dikembangkan oleh sekolah itu
secara terencana dan berkelanjutan.
2. Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi
sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan
sekolah. Misalnya di Sekolah Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap
hari guru atau kepala sekolah menyambut kedatangan siswa di depan
pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk mengajarkan nilai
keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang.
3. Gaya belajar dan sekolah
Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam
pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah itu
dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan
kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala
fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan.
4. Bahasa dan dialek sekolah
Bahasa dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek
yang digunakan di sekolah di mana sekolah itu berada. SD di Jawa,
khususnya Jawa Tengah atau sebagian Jawa Timur yang banyak
menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat membuat program mingguan
misalnya. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan kesantunan
pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan
di sekolah.
5. Partisipasi dan input masyarakat
Bila kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah
dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka
sekolah itu akan banyak mendapat bantuan dari masyarakat, baik dana
maupun pemantauan ke arah pengembangan sekolah ke depan. Untuk itu

9
Komite Sekolah perlu dipimpin oleh orang yang bukan saja dikenal,
disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi juga orang yang memiliki
komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan putra-putrinya.
6. Program penyuluhan/konseling
Program bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan dalam
membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang
mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki bakat
khusus. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam mata pelajaran
tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan
menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.
7. Prosedur asesmen dan pengujian
Asesmen dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan
mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat
holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak. Anak
akan dinilai secara beda dalam arti dikurangi skornya bila dia terlibat
dalam tindakan yang kurang bermoral atau sebaliknya, siswa yang
menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat skor
tambahan.
8. Materi pembelajaran
Materi pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok
dapat memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu ada
bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk
lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana, terorganisir dan
matang, bukan sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi
yang lain.
9. Gaya dan strategi mengajar
Tentunya guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat
dengan nilai budaya. Dia memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang
diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya
dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.

10
10. Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah
Seluruh staf yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu
menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga
sebaliknya. Staf sekolah bukan sekedar berurusan dengan benda mati
seperti kertas, penggaris, alat tulis atau tanaman yang ada di sekolah,
namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah. Sikap sinis dan tidak
peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja sekolah.
Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi
itu.(Sutarno : 2010)
c. Peranan Sekolah Dasar Sebagai Lembaga Pengembangan Budaya
Tujuan Pendidikan Multikultural tidak akan pernah tercapai secara
penuh, kita harus bekerja terencana dan berkelanjutan untuk meningkatkan
persamaan pendidikan bagi semua siswa. Pendidikan Multikultural harus
dipandang sebagai suatu proses pelibatan (an ongoing process), dan bukan
sebagai sesuatu yang kita “lakukan dengan segera”. Oleh karena itu
memecahkan masalah ini menjadi target reformasi Pendidikan
Multikultural.
Multikultural itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru
dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan sekolah dalam memberikan
pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam proses belajar serta
mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil
belajar. Artinya, multikultural itu menjadi penentu yang memiliki
sumbangan terhadap keberhasilan pembelajaran baik sebagai proses maupun
sebagai hasil. Oleh karena itu, multikultural tersebut harus menjadi faktor
yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan
pembelajaran pendidikan, termasuk di dalamnya Pendidikan Multikultural.
d. Pendidikan Multikultural Sebagai Landasan Pembelajaran Di Sekolah
Dasar
Kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan dalam
kurikulum (Taba, 1962) karena menurut Ki Hajar Dewantara akar
pendidikan suatu bangsa adalah kebudayaan. Hal senada dikemukakan oleh

11
Print (1993:15) yang mengatakan bahwa kurikulum merupakan konstruk
dari kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara
manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak
saja menjadi landasan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses pembelajaran sangat
penting tetapi dalam realita proses pengembangan sering hanya ditentukan
oleh pandangan pengembang tentang perkembangan ilmu dan teknologi.
Pendidikan Multikultural digunakan oleh pendidik untuk menggambarkan
kegiatan dengan siswa yang berbeda karena ras, gender, kelas, atau
ketidakmampuan.
Tujuan kemasyarakatan pendekatan ini adalah untuk mengurangi
prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok yang tertindas (oppressed
groups), bekerja atas dasar kesempatan yang sama dan adanya keadilan
sosial pada semua kelompok, serta distribusi kekuasaan yang adil di antara
anggota kelompok budaya yang berbeda. Misalnya, pembelajaran
diorganisir seputar konsep disiplin namun materi rincian dari konsep itu
disajikan dari pengalaman dan perspektif dari berbagai kelompok berbeda.
Pembelajaran tidak memakai lagi pengelompokan berdasarkan kekuatan
siswa dan tidak ada lagi praktek yang membeda-bedakan siswa. Siswa
didorong untuk menganalisa isu lewat sudut pandang yang berbeda.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya seperti dinyatakan
dalam motto nasional "Bhinneka Tunggal Ika (Bhina = berbeda; Tunggal =
Satu; Ika = itu). Oleh karena itu, apabila kebudayaan adalah salah satu
landasan kuat dalam pengembangan pembelajaran di Indonesia maka
pembelajaran harus pula memperhatikan multikultural yang ada.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan pendekatan
multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman
yang mendalam tentang pendekatan multikultural.
Andersen dan Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural
adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Posisi kebudayaan

12
menjadi sesuatu yang dipelajari; jadi berstatus sebagai obyek studi. Dengan
perkataan lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus
diperhatikan para pengembang pembelajaran. Ini disebut belajar tentang
budaya.
Pengertian pendidikan multikultural seperti di atas tentu terbatas dan
hanya berguna bagi para pengembang pembelajaran dalam satu aspek saja
yaitu dalam proses mengembangkan konten pembelajaran. Artinya,
pengertian pendekatan multikultural harus dapat mengakomodasi perbedaan
kultural peserta didik, memanfaatkan kebudayaan itu bukan saja sebagai
sumber konten, melainkan juga sebagai titik berangkat untuk pengembangan
kebudayaan itu sendiri, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain,
toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan siswa yang berdasarkan
bhinneka tunggal ika, mengembangkan perilaku yang etis, dan yang juga tak
kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa
sebagai bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan
"kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi" (Boyd, 1989: 49-50).
Vasquez dan Wainstein (1990: 608) menyatakan hanya ada sedikit
literatur yang memberi "strategi praktis untuk pembelajaran siswa minoritas.
Banyak siswa minoritas gagal di sekolah bukan karena berbeda secara
kultural namun karena anggota pengajar tidak disiapkan untuk mengenal
perbedaan budaya sebagai kekuatan". Pada ahli teori kritis seperti Giroux,
Freire, and Anyon yang menekankan kebutuhan akan pedagogi humanisasi
dengan "menciptakan lingkungan yang memungkinkan adanya tindakan dan
refleksi " (Bartolome,1994: 177). Bartolome (1994: 177) mengusulkan dua
model pembelajaran yang memungkinkan “siswa yang tersubordinasi
berubah dari posisi obyek menjadi subyek”:
D. Implementasi Pendidikan Berbasis Multikulturalisme
Mengingat bahwa keragaman adalah sebuah fakta sosial, maka pendidikan
Islam sebagai wahana pengembangan diri manusia yang sempurna, harus mampu
memahami keragaman-keragaman tersebut. Hal ini dimaksudkan agar keteraturan
sosial yang menjadi tujuan pendidikan Islam akan mampu tercapai. Mengacu pada

13
beberapa aspek multikultural yang telah disebut di atas, maka penulis akan
mengupas strategi memahami keragaman dalam cara pandang multikultural di
atas.
a. Memahami Keragaman Agama.
Berbagai macam benturan dan konflik antar agama yang akhir-akhir ini
muncul ke permukaan, disinyalir karena faktor eksklusifisme beragama.
Paradigma ekslusif memandang bahwa hanya agamanya lah yang paling benar,
sehingga menganggap agama lain salah dan sesat. Biasanya, cara pemahaman
terhadap ajaran agama paradigma ini, lebih bersifat tekstual dan normatif.
Paradigma keberagamaan inklusif-pluralis berarti dapat menerima
pendapat dan pemahaman agama lain yang memiliki basis ketuhanan dan
kemanusiaan. Penerimaan pendapat ini tentu saja tidak harus diiringi dengan
melaksanakan ajaran agama lain tersebut. Pemahaman keberagaman yang
multikultural adalah menerima adanya keragaman ekspresi budaya dan
keragaman keberagaman masyarakat agama yang lain. Pemahaman humanis
mengindikasikan adanya pengakuan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam
beragama.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah membangun paradigma
keberagamaan inklusif kepada peserta didik di lembaga Pendidikan Islam atau
sekolah. Sekolah sebagai wahana pembelajaran mempunyai peran penting
dalam membangun keberagaman inklusif ini. Karena sekolah diyakini sebagai
proses pembentukan jati diri peserta didik dan cara pandang dalam
kehidupannnya. Dalam hal ini, beberapa langkah-langkah untuk membangun
lingkungan sekolah yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama,
yaitu:

b. Sekolah membuat dan menerapkan aturan-aturan lokal,


yakni aturan yang hanya khusus diterapkan di sekolah tersebut. Poin utama
yang harus dicantumkan dalam aturan tesebut adalah pelarangan segala bentuk
diskriminasi agama di sekolah tersebut. Harapannya adalah, supaya semua

14
unsur yang ada di sekolah tersebut dapat menghargai orang lain yang berbeda
agama.
c. Berperan aktif menggalakkan dialog antar agama.
Hal ini dimungkinkan untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini
antara siswa–siswa yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Yang pada
akhirnya akan terjadi dialog dan komunikasi antar mereka yang berbeda
agama.
d. Menyediakan dan menerapkan buku-buku yang heterogen, yang mampu
mengakomodir semua kebutuhan siswa yang berbeda agama.
Berikutnya, dalam proses pembelajaran, hal yang tidak bisa dilupakan adalah
guru. Guru dalam hal ini mempunyai peran yang besar dalam rangka
membangun keberagaman inklusif pada siswa (peserta didik). Guru harus
berupaya membangun cara beragama inklusif kepada peserta didik. Beberapa
hal yang harus diperhatikan seorang pendidik dalam konteks ini antara lain.
1. Guru harus mampu untuk bersikap demokratis. Artinya dalam segala
tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataan, tidak melakukan
diskriminasi terhadap peserta didik yng berbeda agamanya.
2. Guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi tehadap kejadian-
kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Sebagai contoh,
ketika terjadi pengeboman terhadap salah satu kafe di Bali (Bom Bali I,
2003), maka guru harus mampu menjelaskan bahwa kejadian tersebut bukan
merupakan prilaku agama. Guru harus mengungkapkan keprihatinannya,
dan berharap kejadian itu jangan sampai terulang lagi.
e. Memahami Keragaman Bahasa.
Diskriminasi bahasa, seringkali terjadi dalam masyarakat. Masyarakat menilai
bahwa ada semacam “stratifikasi“ bahasa di masyarakat. Sebagai contoh ada
yang menganggap bahwa bahasa Jawa (khususnya Banyumasan) itu terkesan
kasar dan rendah. Dan yang hasus dipahami bahwa setiap masyarakat
pengguna bahasa akan selalu menilai bahwa bahasanyalah yang paling baik
dan tinggi. Pendidikan Islam dalam hal ini harus mampu membangun
kesadaran multilingual di tengah masyarakat, khususnya kepada peserta didik.

15
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan membangun kesadaran kepada peserta
didik agar bersikap positif terhadap keragaman bahasa. Dengan demikian,
diharapkan bahwa kelak mereka akan menjadi generasi yang mampu
melestarikan keragaman bahasa, yang merupakan warisan budaya.
f. Memahami Keragaman Status Sosial.
Keragaman status sosial di masyarakat, biasanya diiringi dengan perilaku yang
tidak adil. Di satu sisi, masyarakat menghormati dan memberikan tempat yang
lebih kepada seseorang yang mempunyai jabatan tinggi. Sebaliknya, orang
yang miskin sering kali dipandang sebelah mata. Demikian juga di lingkungan
sekolah, guru sering kali berlaku tidak adil kepada peserta didik, karena status
sosial yang dimiliki orang tua peserta didik tersebut.
g. Memahami Keragaman Etnise.
Keragaman etnis yang sangat majemuk di Indonesia, adalah tantangan
kerukunan masyarakat. Terbukti, akhir-akhir ini konflik dan kerusuhan yang
bertemakan etnis muncul kembali. Sehingga perlu dibangun pemahaman
bersama tentang keragaman etnis. Pendidikan Islam juga tidak bisa menutup
mata atas hal ini. Pendidikan Islam harus memberikan kontribusi terhadap
pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat akan keberagaman etnis.
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian lembaga pendidikan Islam,
kaitannya dengan pembangunan kesadaran multietnis adalah:
1. Membuat dan memberlakukan peraturan sekolah tentang pelarangan
diskriminasi dan saling merendahkan antar etnis. Sekolah tidak boleh
membeda-bedakan latar belakang etnis peserta didik.
2. Berperan aktif dalam membangun pemahaman dan kesadaran peserta didik
akan keragaman etnis. Misalnya, dengan mengadakan kajian dan dialog
antar etnis, yang diharapkan akan mampu menjalin hubungan yang
harmonis antar siswa yang berbeda etnis
3. Memberikan pelatihan, untuk memahami keragaman etnis, dan bersikap
adil, anti diskriminasi terhadap suatu etnis tertentu.

16
PENUTUP

A. Simpulan
Sebagai masyarakat yang multi etnis, di Indonesia terdapat ratusan
kelompok etnis beserta substansinya masing-masing. Walaupun Indonesia
merupakan Negara berpenduduk sangat majemuk, tetapi secara moril
dipersatukan dalam Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) dengan semboyannya
“Bhehineka Tunggal Ika” (Berbeda Namun Satu Juga). Kemajemukan tersebut
tidak hanya karena jumlah etnis yang banyak, tetapi juga karena terdiri dari
berbagai perbedaan khas budaya yang melekat pada setiap etnis, baik yang
bersifat horizontal maupun vertical.
Pendidikan merupakan media yang tepat untuk mengenalkan
multicultural. Inti dari keberhasilan multicultural adalah keinginan untuk
menerima budaya kelompok lain, etnik, gender, bahasa dan keberanekaan
agama sebagai suatu bentuk keseimbangan dan membentuk satu kesatuan.
Pendidikan multicultural harus didekati dengan strategi pembelajaran dan
kurikulum yang mengarahkan kepada proses pembelajarannya. Hal penting
yang dibutuhkan adalah mendesain beberapa isi materi kurikulum pendidikan
bagi para siswa agar dapat menerima orang lain secara sama dan menghormati
agama mereka, budaya, dan perbedaan etnik. Oleh karenanya model kurikulum
dengan beraneka ragam tema adalah suatu model kurikulum yang sangat
dianjurkan.

B. Saran
Diakhir pembuatan makalah ini penulis menyarankan kepada pembaca
khususnya dan kepada semua pada umumnya untuk mulai dari diri sendiri
dapat menghargai adanya perbedaan yang ada, agar tidak terjadi konflik yang
berkaitan intoleransi. Penulis juga menyarankan kepada pendidik untuk dapat
memahami dan berwawasan luas tentang pendidikan multicultural supaya tidak
ada mispersepsi untuk menjelaskan permasalah atau isu yang terjadi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Andersen dan Crusher. 1994. “Multicultural and Intercultural Studies”. Dalam


Teaching Studies OfSociety andEnvironment. Sidney : Prentice-Hall.

Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.


Jogjakarta: Rihlah Group, 2012.

Banks, J.A. (1993). Multicultural Education: Issues and Perspectives. Needham


Height, Massachusetts : Allyn and Bacon

Bintang. Baidhawy, Zakiyuddin. 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal.


Universitas Muhamadiyah Surakarta. Departemen Pendidikan Naional.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo, 2005.

Hamzah B. Uno. 2008. Profesi Kependidikan, Problema, Solusi dan Reformasi


Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Ikhwanuddin Syarif & Dodo Murtadlo (eds), Pendidikan untuk Masyarakat


Indonesia Baru: 70 tahun HAR Tilaar, Jakarta: Grassindo.

Mahasin. “Efektifitas Pendidikan Multikultural dalam Mewujudkan Harmonisasi


Umat Beragama” dalam Jurnal Episteme, Vol. V.Nomor II (Desember,
2010).

Mulyasa, E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik, Dan


Implementas, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nasution. 1995. Azas-
Azas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Nur Kholik. 2017. Peranan Sekolah Sebagai Lembaga Pengembangan


Pendidikan Multikultural. Jurnal Tawadhu Vol. 1 no. 2, 2017

Sunarto, Kamanto dkk. (2004). Multicultural Education in Indonesia and


Southeast Asia Stepping into the Unfamiliar. Jakarta: UI Banks,

18

Anda mungkin juga menyukai