Anda di halaman 1dari 9

Sistem Akuntabilitas Birokrasi dan Hukum Pendidikan, Sudah Baik

atau Belum?

Mohamad Sadikin
mohamadsadikin40@gmail.com
Manajemen Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Desi Rahmawati, M.Pd

Mengawali tulisan ini, penulis ingin terlebih dahulu mengeksplanasi


konsep akuntabilitas. Konsep akuntabilitas pendidikan berkembang dari
pendapat bahwa siapa pun yang diserahi tugas mendidik harus dapat
mempertanggungjawabkan tugasnya itu (Depdikbud 1983:776). Sementara
Neave G (1987) merumuskan bahwa:
“Accountability is a process which involves the duty both of individual and the
organization of which they are part to render periodically accounts for taks performed, to
a body having both the power and authority to modify that performed subsequently,
perhaps by use of sanction or reward.”
Hal tersebut dapat dipahami bahwa baik individu atau organisasi harus
mempertanggungjawabkan tugas-tugas pekerjaannya kepada atasannya dan
implikasi tersebut diberi sanksi atau penghargaan. Pendapat senada
dikemukakan oleh Felix M. Lopez (2015), president of a large corporation bahwa:
“Accountability as a process whereby each member of an organization is expected to
answer to someone for doing specific things according to specific plans in accordance with
specific timetables, thus accomplishing tangible performance results”.
Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan
akuntabilitas sekolah semua pihak yang terlibat dalam kegiatan di sekolah perlu
senantiasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kinerja atau prestasi
siswanya. (Gerald Reagan & Mary Anne Raywid, 2014) Akuntabilitas ditafsirkan
dalam kerangka kerja telah menyebabkan praktik yang mendistorsi perusahaan
pendidikan dengan mengabaikan beberapa elemen terpenting dari proses
pendidikan dan dengan mengangkat aspek lainnya ke posisi yang tidak pantas
mereka dapatkan.
Selama ini telah banyak dibahas dan dikembangkan mengenai sistem
akuntabilitas di tingkat pusat, dalam hal ini di Kementrian Pendidikan Nasional.
Berbagai riset pun telah banyak mengulas tentang pentingnya aspek kesesuaian
sistem standar yang mencakup standar isi, standar proses dan standar penilaian
serta standar lainnya dalam memacu pencapaian kualitas belajar peserta didik
(Grissmer et al., 2000 dikutip Yahya&Tatang). Di Amerika, 2 beberapa riset
terhadap beberapa negara bagian yang menerapkan sistem akuntabilitas standar
pendidikan dengan baik memperlihatkan pengaruh positif terhadap
peningkatan skor tes peserta didik (McAdam et al., 2003 dikutip Yahya&Tatang)
Menurut Depdikbud (1983), pelaksanaan konsep akuntabilitas dalam
pendidikan tidaklah mudah dan akan menghadapi kendala yang berasal dari
pihak internal maupun eksternal sekolah. Masing-masing pihak mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri yang tidak mungkin sejalan dan banyak kesulitan
terkait dengan pihak yang berkepentingan.
Salah satu akuntabilitas yang paling penting dalam pendidikan adalah
akuntabilitas birokrasi dan akuntabilitas hukum. Hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa kebijakan menetapkan aturan dan struktur atau penambahan
kelembagaan baru yang sudah ada. Aturan-aturan ini menentukan kondisi
dimana kebijakan memberikan manfaat kepada beberapa individu dan
kelompok dan membebankan biaya pada orang lain. Untuk kelompok
kepentingan dan aktor politik lainnya, biaya dan manfaat ini tercipta insentif
untuk mobilisasi untuk melindungi manfaat mereka atau meminimalkan biaya
mereka. Di tingkat publik massa, kebijakan menghasilkan efek interpretatif
sebagai individu masyarakat mulai memahami bagaimana biaya dan manfaat
memengaruhi mereka secara pribadi, dan menyimpulkan apa yang menandakan
status mereka sebagai warga negara (Lorraine M. McDonnell, 2012).
Efek sikap ini menangkap dampak kebijakan terhadap akal individu dari
kemanjuran politik, persepsi tentang betapa layaknya manfaat pendidikan, dan
kepercayaan mereka pada pemerintah. Insentif positif dan negatif menciptakan
dinamika yang membentuk umpan balik dan bentuk kebijakan masa depan.
Umpan balik ini dapat memperkuat kebijakan yang ada atau mengubahnya
secara signifikan di dalam pendidikan.
Sebagai contoh dalam bidang pendidikan, akuntabilitas birokrasi
dilakukan oleh departemen pendidikan negara dan kabupaten/kota dengan
aturan dan regulasinya agar sekolah berjalan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Standar tersebut, seperti pemilihan buku teks, ruang lingkup dan
urutan kurikulum, serta tugas-tugas belajar siswa. Dalam sistem birokrasi,
sekolah merupakan bagian dari organisasi besar, yang diatur secara hierarkis
dan bertujuan mendidik peserta didik melalui program-program yang standar.
Seperti halnya birokrasi, akuntabilitas hukum meyangkut penguatan
aturan-aturan dan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap sekolah.
Pengawasan dalam konteks hukum ini berasal dari lembaga di luar sekolah, di
mana sekolah harus mempertanggungjawabkan pekerjaan-pekerjaannya.
Harapannya adalah bahwa individu dan sekolah melaksanakan tugas kewajiban
seuai dengan perjanjian. Dalam hal ini , legislatif di tingkat provinsi menetapkan
peraturan-peraturan dan mengawasi pelaksanaannya di tingkat dinas
pendidikan kabupaten/kota. Meskipun memiliki otonomi, secara hukum
sekolah wajib melaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan agar dapat
memenuhi standar yang ditetapkan.
Dan mengapa birokrasi dan hukum pendidikan layak untuk diperhatikan
dengan memperbaiki kualitas layanannya, yakni dengan memperbaikinya? Ada
2 alasan yang melatarbelakanginya, yaitu:
Pertama, pendidikan merupakan instrumen kebijakan politik pemerintah.
Terdapat keterkaitan antara politik dengan pendidikan. (M. Sirozi, Ph.D dikutip
Wawan Edi, 2010) menunjukkan keterkaitan itu dengan menyebutkan bahwa
pendidikan dan politik merupakan dua elemen penting dalam system social
politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang.
Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian terpisah, yang satu sama lain
tidak memiliki hubungan apaapa, padahal, keduanya bahu-membahu dalam
proses pembentukan karakteristik masyarakat4. Di Negara-negara Barat, kajian
antara politik dan pendidikan dimulai oleh (Plato dalam bukunya Republic
dikutip Wawan Edi), yang membahas hubungan antara ideology dan institusi
Negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Berikut ini kesan Allan Bloom
tentang Republic:
“For me, (Republic is) the book on education, because it really explain to me what
I experience as a man and teacher, and I have almost always used it to point out what we
should not hope for, as a teaching of moderation and resignation”(dikutip Wawan
Edi,2010).
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua
dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya, filsafat
pendidikan di suatu Negara seringkali merupakan refleksi prinsip ideologis
yang diadopsi oleh Negara tersebut. Pada gilirannya, implementasi dari suatu
kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Abernethy dan
Coombe (1965:287) mencatat empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah,
yaitu lapangan kerja, mobilitas social, ide-ide dan sikap (dikutip Wawan Edi,
2010).
Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam
suatu masyarakat terus meningkat seiring dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat tersebut. Di Negara-negara berkembang, dinamika
tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan tersebut terjadi
lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam proses yang
menghantarkan Negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy dan
Coombe (1965:287) mengamati hal-hal berikut ini:
“In general, the political significance of education in contemporary societies
increases with the degree of change a society in undergoing. The massive changes which
developing countries have already experienced and those, whether included of not, which
are in process, render all the more conspicuous the reciprocal relationship between
politics and education in these areas” (dikutip Wawan Edi, 2010).
Kutipan di atas paling tidak menggambarkan dua hal. Pertama, eratnya
hubungan antara politik dan pendidikan. Kedua, besarnya pengaruh hubungan
tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat. Di Indonesia,
kebijakan pendidikan diarahkan untuk menciptakan manusia yang merdeka dan
demokratis dengan memiliki kekuatan pada aspek-aspek keimanan menurut
agama yang dianutnya. Karena itu urusan pendidikan tidak sekadar merupakan
hak dan kebutuhan masyarakat, tetapi juga merupakan kewajiban negara
kepada warga negaranya. Warganegara berhak memperoleh pendidikan, sedang
negara wajib memfasilitasinya. Hubungan pendidikan dan negara menjadi
begitu penting, karena pengaturan umum perihal pendidikan harus diadakan
dan itu berarti peran negara dan pemerintah mutlak diperlukan. Dalam kaitan
itulah maka penyusunan kebijakan yang dikembangkan pemerintah dalam
bidang pendidikan menjadi sangat penting. Indonesia termasuk negara yang
memasukkan urusan pendidikan ke dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar).
Karena itu, pengaturan lebih lanjut tentang pendidikan menjadi tanggung jawab
pemerintah sebagai pemegang amanat konstitusi tersebut. Dalam kaitan ini,
maka pendidikan bisa dipandang sebagai tujuan. Tetapi, dalam konteks yang
lebih makro, pendidikan dijadikan sebagai instrumen negara untuk merealisasi
tujuan negara yang lebih besar. Dengan cara pandang seperti itu, maka
pendidikan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mencapai tujuan.
Dalam tataran kebijakan, telah diputuskan bahwa sistem penyelenggaraan dan
kewenangan pengembangan pendidikan diserahkan kepada masing-masing
daerah (desentralisasi). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari reformasi
pemerintahan yang sudah dijalankan.
Kedua, birokrasi pendidikan sebagaimana yang ditampilkan
(performance) sampai sekarang ini, menyebabkan kelambanan pelayanan publik
di bidang pendidikan dan kelambanan praktik penyelenggaraan pendidikan
sampai pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Ace Suryadi, Ph.D. (dikutip
Wawan Edi, 2010) , sejak menjabat Staf Ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi
Pendidikan, mencatat hal ini dengan baik. Dalam sebuah makalahnya yang
disampaikan pada forum Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah pada tahun 2003, ia membuat pernyataan yang menarik.
Menurutnya, “Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik
dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan
dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian? Karena sistem
birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan
dalam proses pengambilan keputusan.”
Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang
“menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan
semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-
guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada
tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan
sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari
yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada
dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk
juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-
masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak
pernah terhenti dari keterpurukan. Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi
faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Karenanya, berawal dari arti penting
dan urgensi birokrasi pemerintahan pada sektor pendidikan ini, tulisan ini
hendak menyajikan upaya reformasi birokrasi pemerintah daerah, pada sektor
pendidikan. Yang bertujuan, disamping mengikis jeratan kekuasaan birokrasi
yang melilit dan menghambat praktik penyelenggaraan pendidikan, terutama di
tingkat satuan pendidikan (sekolah), yang lebih penting adalah
mengoperasionalkan otonomi sekolah dalam arti sesungguhnya, sekaligus
mengembalikan fungsi dan kepemilikan sekolah kepada pemiliknya, yakni
masyarakat.
Untuk meletakkan reformasi birokrasi (pendidikan) pada konteks
birokrasi dan politik di Indonesia, perlu memahami pula birokrasi dan politik di
Indonesia. Kedudukan, posisi dan keterkaitan antara keduanya penting untuk
dipahami terlebih dahulu sebelum melakukan pembahasan upaya reformasi
birokrasi, yang didasarkan pada kepentingan masyarakat, yakni untuk
memenuhi citizen satisfaction, kepuasan warga masyarakat. Pada umumnya
birokrasi pada penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, menampakkan
performance kinerja yang kurang bagus. Seorang pemerhati pemerintahan dan
mantan Sekkota Surabaya, Dr. Ir Alisjahbana, MA menyatakan pendapatnya
tentang birokrasi pemerintahan, sebagai lembaga yang menampakkan
inefesiensi dalam pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan, yang kemudian
berkembang menjadi stigma negatif pada birokrasi pemerintahan. Stigma inilah
yang menampilkan performa birokrasi yang kurang bertanggungjawab: jadual
kerjanya tidak terukur dan tanpa kontrol. Gerakan disiplin pegawai yang sering
dikumandangkan para birokrat, dengan misalnya merazia pegawai yang tidak
disiplin, sepintas menampakkan “kegalakan birokrasi”, namun sesungguhnya
upaya tersebut hanya sesaat. Setelah razia, para aparat birokrasi tersebut kembali
santai dan kurang peduli pada tugas-tugasnya. Lebih lanjut Alisjahbana
menyatakan bahwa aparat birokrasi (pegawai negeri pemerintahan), di tengah-
tengah keburukan birokrasi tersebut, senantiasa tampak “digdaya”. Alisjahbana,
mengutip Yayan Sakti Suryandaru, peneliti dari Pusat Kajian Komunikasi
Surabaya, melihat kecenderungan ini lantaran para pegawai negeri lebih
berperan sebagai “penguasa” ketimbang abdi negara. Sebagai penguasa,
pegawai negeri diilhami peran-peran “ambtenaar” di jaman Belanda. Mereka
dengan bebas bisa memerintah masyarakat dan merasa memiliki hak istimewa
(previlege) yang membedakannya dari orang kebanyakan. Pandangan dan
pengamatan (pengakuan?) dari seorang (mantan) praktisi birokrasi ini menarik
untuk dicermati walaupun pengamatan Alisjahbana dilakukan setelah ia purna
tugas, namun tetap (sekaligus) bertindak selaku “responden” atau “informan”
yang sangat baik karena ia adalah (leader) pelaku birokrasi. Inilah hal yang
dicemaskan Weber bahwa birokrasi menciptakan kelas baru para pejabat yang
memegang kekuasaan luar biasa di wilayah administrasi, menjadi bersifat
menguasai, dan memaksakan agenda-agendanya sendiri. Yang paling
menakutkan, ini dapat melahirkan kediktatoran para pejabat, bukannya para
pekerja. Melengkapi pencermatan (tepatnya: pengakuan) Alisjahbana tentang
wajah birokrasi di atas, Fadillah Putra, seorang kritikus birokrasi dan kebijakan
publik dari Yayasan Averroes, mencatat beberapa kelemahan birokrasi
pemerintahan, yang berawal dari kebiasan birokrasi dan aturan kepegawaian,
yang berimplikasi kepada output layanan birokrasi itu sendiri; yaitu: rahasia
jabatan, netralitas pegawai, dan monoloyalitas pegawai birokrasi pemerintah.
Rahasia jabatan, membuat aparat birokrasi cenderung menyembunyikan
informasi yang layak diketahui publik14. Memang ada beberapa jenis informasi
yang boleh dikomunikasikan dengan publik dan ada beberapa yang tidak boleh
karena bersangkut paut dengan data pribadi, proses hukum seseorang, dsb.,
namun aparat pada umumnya cenderung untuk enggan bersinggungan dengan
publik berkaitan dengan informasi yang seharusnya tidak perlu disembunyikan.
Hal kedua menurut Fadillah Putra, adalah netralitas pegawai dan monoloyalitas
pegawai. Dalam prinsip netralitas, pegawai tidak ikut membuat kebijakan
kecuali hanya menawarkan masukan-masukan secara internal. Mereka tidak
boleh mempublikasikan pendapatnya itu. Hal ini sering membuat pegawai
merasa dihalangi hak-hak sipil dan moralnya untuk bebas berpendapat di muka
umum. Para pendukung prinsip ini membandingkan dengan pegawai
perusahaan swasta yang tetap setia kepada pemimpinnya, meskipun mereka
tidak menerima kebijakan pemimpin, serta mereka tidak pernah
menyebarluaskan pendapatnya kepada masyarakat luas. Persoalannya,
meskipun secara teoretis prinsip netralitas ini bisa diterima, namun bagaimana
penerapannya sehingga tetap dapat menjamin monoloyalitas pegawai, yaitu
mengabdi kepada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara secara umum
tanpa memihak golongan atau pribadi anggota masyarakat tertentu. Bahkan
menurut Spiegelman, netralitas pegawai negeri tidak lebih dari sebuah mitos.
Sedangkan Corbett menulis bahwa jika pegawai bersedia untuk menerima
kekuatan untuk mengambil keputusan, mereka juga harus menerima
konsekuensinya, termasuk hak publik untuk mengetahui apa yang sedang
dikerjakan oleh pejabat, apa yang ia pikir. Hiruk pikuk kekecewaan atas praktik
penyelenggaraan pemerintahan adalah gejala yang terjadi di semua tempat dan
di semua waktu. Kenyataan ini dibuktikan terhitung sejak adagium Lord Acton,
power tends to corrupt, absolutely power tend to corrupt absolutely, sampai
pada teknologi mutakhir yang dipakai Kruger sebagai rent-seeking society.
Meskipun begitu, keinginan untuk lari dari kenyataan ini pun bukannya tidak
pernah ada. Seperti hukuman regulasi post power accountability yang menimpa
Tjun Doo Hwan di Korea Selatan. Abstraksi semacam inilah yang rupanya
mengilhami Gerald E. Caiden. Ia memiliki kegalauan yaitu bahwa proses
akuntabilitas atas amanat yang ditimpakan pada para pejabat publik, seringkali
tidak dapat berjalan dengan mulus.
Kenyataan bahwa birokrasi di Indonesia lebih melayani kepentingan
birokrat sendiri (atasan) daripada melayani rakyat, dan mereka lebih “takut”
kepada atasan ketimbang kepada “pemberi amanat” untuk bertugas-fungsi di
birokrasi, yakni rakyat (publik), masih tampak hingga saat ini, di tengah-tengah
terjadinya transisi paragdigmatik dan derasnya arus kampanye good
governance. Penampakan birokrasi yang berorientasi pada “penyelamatan diri
di hadapan atasan”, berujung pada kecenderungan program instansi-instansi
pemerintah yang juga berorientasi proyek, dan memenuhi rutinitas dan ritual
birokrasi yang kurang berorientasi pada hasil. Para pegawai pemerintah
(birokrat) bekerja atas dasar tuntutan kesesuaian RASK (Rencana Anggaran
Satuan Kerja) dengan format pertanggungjawaban tatkala diperiksa oleh instansi
pemeriksa keuangan. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa mereka sebenarnya
bekerja bukan untuk (memajukan) masyarakatnya, namun demi kebutuhan
birokrasi mereka sendiri.
Penulis memberikan solusi atas permasalahan akuntabilitas tersebut yaitu
pertama dengan menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai
alternatif manajemen sekolah sebagai bentuk desentralisasi pendidikan dengan
memberikan otonomi yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya
dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap
kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih
memahami pendidikan, membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan.
Oleh karena itu, sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik
kepada orang tua, masyarakat, maupun pemerintah. Dengan adanya otonomi
sekolah, sekolah dapat lebih diberdayakan. Menurut (Mulyasa, 2012),
pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar di
samping menunjukan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat.
MBS seagai sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Sementara itu, (Fattah, 2003) menyatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah
secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja
sekolah dalam hal mutu, efesiensi manajemen keuangan, pemerataan
kesempatan, dan pencapaian tujuan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui
keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan
penyederhanaan birokrasi. Kedua, dilakukan penyesuaian antara sistem
akuntabiltas daerah dengan sistem akuntabilitas pusat. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara, misalnya, menggunakan tes, waktu dan struktur yang biasa
dilakukan untuk mereduksi kebingungan di sekolah. Ketiga, melakukan
perencaan dengan baik dan bertahap agar tidak terjadi penumpukan dan
kebingungan. Sebagaimana praktik terbaik menunjukkan bahwa sistem
akuntabilitas yang baik berlangsung secara bertahap. Mulailah dengan hal-hal
yang mendasar, kemudian memperluas dan memperbaikinya terus menerus.
Jika penilaian tambahan diperlukan maka dapat menggunakan tes diagnostik
selama satu atau dua tahun. Mulailah dengan konsekuensi positif terlebih
dahulu agar tidak memengaruhi kinerja unit fungsional; agar mereka belajar
agar kinerjanya tetap akuntabel. Selain itu juga perlu diperhatikan ketika sistem
akuntabilitas berjalan beserta konsekuensi kelembagan dan individualnya maka
perlu kiranya untuk mengendalikan budget, personel, jadwal dan operasional
sekolah lainnya. Ketiga, perlu untuk segera melakukan reformasi birokrasi
pendidikan pada pemerintah daerah. Reformasi birokrasi tersebut diarahkan
untuk memberi ruang yang memadai bagi bekerjanya sistem pengelolaan
sekolah berikut pertanggungjawabannya yang didasarkan pada konsepsi MBS
di atas, yakni meletakkan pertanggungjawaban manajemen sekolah pada sistem
pertanggungjawaban publik. ‘Reformasi birokrasi’ yang dimaksudkan, adalah
memberi ruang yang luas bagi bekerjanya sistem birokrasi yang melibatkan
publik secara aktif dan legal dalam birokrasi dan penyelenggaraan pendidikan,
sejak perencanaan sampai pertanggungjawaban. Sistem ini bekerja hanya bila
memfungsikan sekolah sebagai daerah otonom pendidikan, dan kepala sekolah
sebagai jabatan publik. Upaya ini sekaligus untuk melakukan kontrol birokrasi
untuk memenuhi akuntabilitas demokratik.

Kesimpulan
Melihat urgensi pendidikan sebagai salah satu layanan public yang amat
strategis bagi pemerintah dan amat bermanfaat bagi masyarakat, sedangkan
praktik birokrasi yang melingkupinya menyebabkan kemerosotan dan
kemandekan penyelenggaraan pendidikan. Maka, agenda reformasi birokrasi
pendidikan tidak dapat ditawar lagi. Hanya saja persoalannya, reformasi yang
bagaimana. Tulisan di atas, menawarkan suatu model transformasi “birokrasi”
publik, yaitu dengan mereformasi jabatan tertinggi pada level satuan pendidikan
(sekolah) yakni kepala sekolah sebagai jabatan publik. Logika pemikirannya
adalah kekakuan dan kemandekan birokrasi pendidikan, termasuk
persekolahan yang menjadi ujung tombak layanan pendidikan, terjadi karena
kungkungan birokrasi yang melingkupinya. Kepala sekolah, selaku seorang
birokrat karir, bertanggungjawab dan berdedikasi kepada (aparat) birokrasi di
atasnya. Kinerja birokrasinya pun diabdikan untuk memenuhi hasrat penilaian
birokratis yang mengesampingkan kepentingan masyarakat. Paradigma ini
diubah dengan menjadikan pertanggungjawaban “birokrasi” persekolahan tidak
lagi kepada birokrasi diatasnya, melainkan kepada masyarakat (publik) selaku
pengguna jasa pendidikan, atau konsumen jasa pendidikan. Model ini hanya
dipenuhi dengan menjadikan kepala sekolah sebagai jabatan publik, yang dipilih
oleh dan bertanggungjawab kepada para konsumen pengguna jasa pendidikan
(masyarakat, publik). Atau, dengan kata lain, mengembalikan kepemilikan
sekolah kepada publik (masyarakat) sekaligus memperkuat (kembali) peran
masyarakat.

Daftar Pustaka
Kuswandoro, W. E. (2010). Reformasi Birokrasi Pendidikan Perspektif Politik.
Researchgate, 19.
McDonnell, L. M. (2012). Educational Accountability and Policy Feedback. Sage
Pub Journals, 21.
Prof. Akdon, D. A. (2015). Manajemen Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Rosda.
Raywid, G. R. (2014). This Isue: Accountability. Taylor & Francis Group, 4.
Turkett, K. (2015). Accountability: A Controversial Issue in Education. Kappa
Delta Pi Record, 3.
Winch, C. (2001). Accountability and Relevance in Education Research. Journal
of Philosophy of Education, 17.
Yahya Sudarya, T. S. (2017). Prinsip-prinsip Akuntabilitas Sekolah:
Pengembangan Sistem Akuntabilitas di Dinas Pendidikan . Indonesia
Dokumen, 12.

Anda mungkin juga menyukai