Anda di halaman 1dari 24

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produk pasca panen yang dipanen pada umumnya adalah produk-produk


yang sangat mudah sekali mengalami kerusakan, terutama produk-produk
hortikultura sehingga membutuhkan penanganan khusus. Penanganan-penanganan
khusus pada produk-produk pasca panen ini disebut juga dengan teknologi pasca
panen. Pengaruh kegiatan pasca panen sangat besar pengaruhnya karena dapat
mengurangi dan mempertahankan mutu produk baik secara kualitas maupun
kuantitasnya.
Penanganan-penanganan produk pasca panen hortikultura bisanya melalui
serangkaian proses yang runtut yang harus dilalui agar kualitas produk selalu
dapat terjaga dengan baik. Penanganan produk pasca panen meliputi kegiatan
pembersihan produk, sortasi, grading, penyimpanan, dan lain sebagainya yang
masing-masing perlakukan tersebut mempunyai fungsi untuk mempertahankan
mutu produk pasca panen. Produk pasca panen yang melewati serangkaian proses
tersebut secara baik biasanya laju kemundurang produknya lebih kecil
dibandingkan dengan yang tidak mengalami perlakuan tersebut.
Penanganan produk pasca panen sangat besar peranannya dalam dunia
pertanian krena akan mempengaruhi mutu produk sehingga akan meningkatkan
nilai jual produk. Masing-masing jenis penanganan produk pasca panen memiliki
fungsinya masing-masing yang umumnya sama yaitu bertujuan untuk
mempertahankan mutu produk pasca panen. Hal tersebut yang melatarbelakangi
dilakukannya praktikum kali ini yaitu dengan melakukan percobaan yang terkait
pada pasca panen dan pengaruhnya terhadap daya simpan.

131
B. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya praktikum kali ini adalah untuk:


1. Mengetahui perubahan kualitas awal komoditas setelah panen
2. Menentukan dan membuat grade kualitas awal komoditas setelah panen
3. Mengidentifikasi kualitas komoditas pasca panen.
4. Mengetahui perlakuan pasca panen yang mampu mempertahankan kualitas.

132
II. TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan pasca panen hortikultura di Indonesia belum mendapat


perhatianyang cukup. Hal ini terlihat dari kerusakan-kerusakan pasca panen
sebesar 25%hingga 28%. Oleh sebab itu agar produk hortikultura terutama buah-
buahan dansayuran dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi baik perlu
penangananpasca panen yang benar dan sesuai. Bila penanganan produk pasca
panen dilakukandengan baik, kerusakan-kerusakan yang timbul dapat diperkecil
bahkan dihindari,sehingga kerugian di tingkat konsumen dapat ditekan (Samad,
2006)
Pasca panen merupakan kelanjutan dari proses panen terhadap tanaman
budidaya atau hasil dari penambangan alam yang fungsinya membuat bahan hasil
panen tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik serta mudah disimpan
untuk diproses selanjutnya. Sayuran dan buah dipanen ketika tanaman segar
dengan kelembaban tinggi sehingga dibedakan dari tanaman lapangan, yang
dipanen pada tahap matang untuk biji-bijian, kacang-kacangan, biji minyak atau
serat. Kadar air yang tinggi pada sayuran dan buah membuat penanganan,
transportasi dan pemasaran masalah khusus terutama di daerah tropis. Di negara-
negara berkembang penyimpanan, pengemasan, transportasi dan penanganan
teknik yang praktis tidak ada dengan tanaman yang mudah rusak, ini
memungkinkan kerugian yang cukup besar dari produk (Babalola, 2010).
Produk pascapanen hortikultura merupakan produk yang mudah rusak. Hasil
pasca panen merupakan bagian tanaman yang masih hidup yang mengandung
sekitar 65-95% air. Kegiatan fotosintesis pada produk yang telah dipanen masih
terjadi. Komoditas pasca panen mengalami proses kemunduran fisiologi yang
disebabkan oleh suhu, kelembaban dan kerusakan fisik. Apabila suatu komoditas
pasca panen diletakkan pada suhu kamar akan menyebabkan perubahan warna dan
ketegaran buah. Oleh karena itu, kualitas komoditas hortikultura harus disimpan
pada kondisi yang dapat memperpanjang umur simpan komoditas (Soesanto,
2006).

133
Produk hortikultura sebaiknya dipanen sesuai dengan kebutuhannya agar
tetapdiperoleh kualitas yang tinggi. Pada saat pematangan yang tepat kandungan
gizinyadalam kondisi yang optimal. Disamping itu warna serta baunya sangat
menentukanharga pada saat penjualan. Melakukan panen yang perlu diperhatikan
adalah jangansampai ada bagian yang rusak karena cacat fisik yang dapat
mengakibatkanpembusukan pada produk tersebut dan mutu serta kualitas akan
berkurang(Longdong. 2009).
Penanganan kualitas produk pasca panen merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang dimulai dari proses pemanenan sampai dengan proses
menghasilkan produk setengah masak (intermediate). Produk ini merupakan suatu
produk yang secara fisik maupun kandungan kimianya belum mengalami
perubahan. Penanganan pasca panen bertujuan agar hasil tanaman tersebut dalam
kondisi baik dan sesuai/tepat untuk dapat segera dikonsumsi atau untuk bahan
baku pengolahan (Pantastico, 1989). Penanganan pascapanen hortikultura secara
umum bertujuan untuk memperpanjang kesegaran dan menekan tingkat
kehilangan hasil yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sarana dan teknologi
yang baik. Penanganan pasca panen hortikultura juga mencegah perubahan-
perubahan yang tidak dikehendaki selama penyimpanan, seperti pertumbuhan
tunas, pertumbuhan akar, batang bengkok, buah keriput, polong alot, ubi berwarna
hijau (greening), terlalu matang, dll (BTPT Riau, 2017).
Penanganan atau teknik pengelolaan teknologi pascapanen diarahkan kepada
pengelolaan atau pengaturan unsur iklim atau faktor-faktor yang secara langsung
mempengaruhi laju kerusakan (deteriorasi) komoditi. Hal ini diperlukan tentunya
dikarenakan komoditi hortikultura panenan bersifat mudah rusak. Upaya
penangananannya diarahkan kepada memperlambat laju deteriorasi sehingga
komoditi tersebut bila sampai pada konsumen masih dalam keadaan baik
(berkualitas). Pengelolaan unsur-unsur iklim tersebut dapat secara sendiri-sendiri
ataupun secara bersamaan dua atau lebih unsur iklim. Terkait dengan upaya
mempertahankan kesegaran komoditi panenen, maka perlu adanya pemahaman
aspek fisiologi maupun teknologi yang dipadukan agar supaya memberikan

134
kondisi yang menguntungkan bagi terjaganya kesegaran komoditi panenan
tersebut (Santoso, 2013).
Perbaikan mutu dari hasil pertanian merupakan masalah penting
karenapermintaan akan hasil pertanian dan bahan olahannya terus mengalami
kenaikansedangkan jumlah lahan pertanian semakin berkurang. Oleh karena itu
setelahmelakukan pemanenan hasil terlebih dahulu dilakukan tindakan-tindakan
tertentuagar hasil yang dipanen mempunyai mutu yang baik. Tindakan tersebut
dikatakansebagai penanganan pasca panen (Kays, 1991).
Perlakuan penanganan pasca panen tidak mengubah bentuk penampilan atau
penampakan kedalamnya termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi.
Pengolahan merupakan tindakan yang mengubah hasil tanaman ke kondisi lain
atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama (pengawetan), mencegah
perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan lain, kedalamnya
termasuk pengolahan pangan dan pengolahan industri. Komoditas hortikultura
bersifat volumunios atau (membutuhkan tempat yang besar) dan perishable
(mudah rusak) sehingga dibutuhkan penanganan pasca panen yang cepat dan
tepat. Penanganan yang kurang tepat dan cepat yaitu tingginya kehilangan atau
kerusakan hasil (Herudiyanto, 2008). Penanganan pasca panen hortikultura secara
umum bertujuan untuk memperpanjang kesegaran dan menekan tingkat
kehilangan hasil yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sarana dan teknologi
yang baik, oleh karena itu, untuk mengurangi dampak teknologis,ekologis dan
ekonomis diperlukan road map (peta perjalanan) penanganan pasca panen
hortikultura sebagai landasan dalam penyusunan program kegiatan, rencana aksi
serta kebijakan (Mutiarawati, 2007).

135
III. METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan praktikum adalah tempat


dan waktu. Waktu pelaksanaan praktikum kali ini adalah pada hari Rabu tanggal
13 November 2019 pukul 16:00-18.00 WIB. Praktikum kali ini bertempat di
Laboratorium Agrohorti 5 Fakultas Pertanian Unsoed.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang
berjalannya suatu praktikum. Alat yang digunakan meliputi seeler atau alat
pengepres, pisau, gunting . Bahan yang digunakan antara lain tomat, pakchoy, dan
pengemas.

C. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah:


1. Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan.
2. Beberapa komoditas sayur yang akan diidentifikasi dan diperlakukan dari
kelompok segar dan tidak segar.
3. Identifikasi awal dilakukan berdasarkan cara visual, cara fisik, cara mekanis, dan
cara kimia, serta dimasukkan ke dalam kelas tertentu.
4. Kelas atau grade awal komoditas tersebut dibuat.
5. Komoditas tersebut diperlakukan dalam ruang terbuka, dalam kemasan, dan pada
suhu dingin, serta diamati perkembangan kualitasnya.

136
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Terlampir.

B. Pembahasan

Penanganan pasca panen merupakan tindakan atau perlakuan yang diberikan


pada hasil pertanian setelah panen sampai komoditas berada di tangan konsumen.
Istilah tersebut secara keilmuan lebih tepat disebut pasca produksi yang dapat
dibagi dalam 2 tahapan, yaitu pasca panen dan pengolahan. Penanganan pasca
panen sering disebut sebagai pengolahan primer merupakan istilah yang
digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampai komoditas dapat
dikonsumsi segar atau untuk persiapan pengolahan berikutnya(Winarno, 2010).
Penanganan pasca panen adalah tindakan yang disiapkan atau dilakukan
pada tahapan pascapanen agar hasil pertanian siap dan aman digunakan oleh
konsumen dan atau diolah lebih lanjut oleh industri. Penanganan pascapanen hasil
pertanian meliputi semua kegiatan perlakuan dan pengolahan langsung terhadap
hasil pertanian yang karena sifatnya harus segera ditangani untuk meningkatkan
mutu hasil pertanian agar mempunyai daya simpan dan daya guna lebih tinggi
(Kader,2007). Perlakuan penanganan pasca panen tidak mengubah bentuk
penampilan atau penampakan kedalamnya termasuk berbagai aspek dari
pemasaran dan distribusi. Pengolahan merupakan tindakan yang mengubah hasil
tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama
(pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk
penggunaan lain, kedalamnya termasuk pengolahan pangan
dan pengolahan industri. Komoditas hortikultura bersifat volumunios atau
(membutuhkan tempat yang besar) dan perishable (mudah rusak) sehingga
dibutuhkan penanganan pasca panen yang cepat dan tepat. Penanganan yang

137
kurang tepat dan cepat yaitu tingginya kehilangan atau kerusakan hasil
(Herudiyanto, 2008).
Kualitas didefinisikan sebagai keseluruhan ciri serta sifat barang dan jasa
yang berpengaruh pada kemampuan memenuhi kebutuhan yang dinyatakan
maupun yang tersirat (Kotler dan Keller, 2009). Kualitas produk adalah suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2006). Menurut
Purnama (2006), kualitas produk adalah kesesuaian antara kebutuhan dan
keinginan atas produk ke dalam spesifikasi produk yang dihasilkan. Kualitas
komoditi hortikultura segar merupakan kombinasi dari ciri-ciri, sifat, dan nilai
harga yang mencerminkan nilai total komoditi tersebut baik untuk bahan pangan
(buah dan sayuran) maupun sebagai bahan kesenangan (tanaman hias bunga
potong).
Kegiatan pasca panen bertujuan mempertahankan mutu produk segar agar
tetap prima sampai ke tangan konsumen, menekan kehilangan hasil karena
penyusutan dan kerusakan, memperpanjang daya simpan dan meningkatkan nilai
ekonomis hasil pertanian. Kegiatan penanganan produk pasca panen adalah
sebagai berikut:
1. Pemanenan
Penentuan waktu panen yang tepat diperlukan petunjuk untuk
mengetahui waktu pemanenan komoditi hasil pertanian. Penentuan waktu
panen hasil pertanian yang siap di panen dapat dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu:
a. Visual: melihat warna kulit, ukuran, masih adanya sisa tangkai putik,
adanya dedaunan tua di bagian luar yang kering dan penuhnya buah.
b. Fisik: mudahnya buah terlepas dari tangkai atau adanya tanda merekah,
ketegaran dan berat jenis.
c. Analisis Kimia: mengukur kandungan zat padat, asam, perbanding zat
padat dengan asam dan kandungan zat pati.
d. Perhitungan jumlah hari setelah bunga mekar dalam hubungannya
dengan tanggal berbunga dan unit panas.

138
e. Metode Fisiologis: pengukuran pola respirasi (perbandingan antara CO₂
dan O₂).
Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat pemanenan adalah jangan
sampai hasil pertanian hasil panen terjatuh, gunakan alat panen (gunting,
pisau yang tajam), wadah atau keranjang penampung hasil panen harus kuat,
permukaan bagian dalamnya halus dan mudah dibersihkan (Effendi, 2010).
2. Pengumpulan
Lokasi pengumpulan atau penampungan harus didekatkan dengan
tempat pemanenan agar tidak terjadi penyusutan atau penurunan kualitas
akibat pengangkutan dari dan ke tempat penampungan yang teralu lama atau
jauh. Perlakuan atau tindakan penanganan dan spesifikasi wadah yang
digunakan harus disesuaikan dengan sifat dan karakteristik komoditi yang
ditangani (Kitinoja, 2003).
3. Sortasi
Hasil pertanian setelah dipanen perlu dilakukan sortasi dan
pembersihan, dengan cara memisahkan hasil pertanian yang berkualitas
kurang baik (cacat, luka, busuk dan bentuknya tidak normal) dari hasil
pertanian yang berkualitas baik. Proses sortasi ini dapat sekaligus dilakukan
proses pembersihan (membuang bagian bagian yang tidak diperlukan).
Selama sortasi harus diusahakan agar terhindar dari kontak sinar matahari
langsung karena akan menurunkan bobot atau terjadi pelayuan dan
meningkatkan aktivitas metabolisme yang dapat mempercepat proses
pematangan atau respirasi (Kitinoja, 2003)..
4. Pembersihan atau pencucian
Kerusakan yang tinggi pada hasil pertanian agar dapat dihindrai
sebaiknya segera dilakukan pencucian agar hasil pertanian terbebas dari
kotoran, hama dan penyakit. Pencucian menggunakan air bersih yang
mengalir untuk menghindari kontaminasi. Pencucian dengan air juga
berfungsi sebagai pre-cooling untuk mengatasi kelebihan panas yang
dikeluarkan produk saat proses pemanenan. Hasil pertanian yang telah dicuci

139
selanjutnya ditiriskan agar terbebas dari sisa air yang mungkin masih melekat
dan ditempatkan pada tempat tertentu (Pantastico, 1989).
5. Grading
Setelah sortasi dan pembersihan selesai, selanjutnya dilakukan
penggolongan atau pengkelasan (grading). Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan hasil pertanian yang bermutu baik dan seragam dalam satu
golongan atau kelas yang sama sesuai standar mutu yang telah ditetapkan atau
atas permintaan konsumen. Penggolongan atau pengkelasan dilakukan
berdasarkan berat, besar, bentuk atau rupa, warna dan bebas dari penyakit dan
cacat lainnya. Selama grading harus diusahakan terhindar dari kontak sinar
matahari langsung karena akan menurunkan bobot atau terjadi pelayuan dan
meningkatkan aktivitas metabolisme yang dapat mempercepat proses
pematangan atau respirasi (Pantastico, 1989).
6. Pengemasan
Pengemasan berfungsi untuk melindungi atau mencegah komoditi dari
kerusakan mekanis, menciptakan daya tarik bagi konsumen dan memberikan
nilai tambah produk serta memperpanjang daya simpan produk, sehingga
dalam pengemasan harus dilakukan dengan hati-hati agar tehindar dari suhu
dan kelembaban yang ekstrim, goncangan, getran, gesekan dan tekanan yang
tinggi terhadap kemasan hasil pertanian tersebut (Iflah, 2012)
7. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan untuk mempertahankan daya simpan komoditi
dan melindungi produk dari kerusakan serta terkait erat dengan kebijakan
distribusi dan pemasaran seperti pengankutan, pengeringan, penjualan dan
pengolahan. Ruang penyimpanan umumnya tidak mampu untuk
mendinginkan hasil pertanian secara cepat, sehingga perlu dilakukan
prapendinginan. Tujuan prapendinginan untuk menghilangkan dengan cepat
panas dari lapang sebelum penyimpanan atau pengangkutan, terutama penting
bagi hasil pertanian yang mudah rusak (Kays, 1991).
8. Pengangkutan

140
Pengangkutan hasil pertanian menuntut penanganan yang cepat dan
dapat dilakukan dengan tiga cara: pengangkutan melalui jalan darat (dipikul,
sepeda, pedati, kendaraan bermotor, kereta api), pengangkutan melalui laut
(perahu dan kapal laut) dan pengangkutan melalui udara (pesawat udara).
Hasil pertanian akan tetap dalam kondisi prima, segar dan baik dikonsumsi
oleh masyarakat bila penanganan pasca panen dilaksanakan secara baik,
benar dan tepat tanpa harus melupakan peranan proses sebelum panen yang
juga sangat mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan (Kays, 1991).
Menurut Samad (2006) penanganan pasca panen meliputi pencucian,
perbaikan bentuk kulit permukaan (curing), sortasi, penghilangan warna hijau
(degreening), pengemasan, dan pendinginan.
1. Pencucian
Hampir semua komoditas sayuran yang telah dipanen mengalami
kontaminasi fisik terutama debu atau tanah sehingga perlu dilakukan
pencucian. Pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran
serta residu pestisida (insektisida atau fungisida). Namun demikian,
pencucian tersebut tidak dilakukan terhadap sayuran yang teksturnya lunak
dan mudah lecet/rusak. Secara tradisional pencucian ini menggunakan air
namun untuk mendapatkan hasil yang lebih baik disarankan penambahan
klorin ke dalam air pencucian agar mikroba dapat dihilangkan dengan lebih
efektif. Setelah pencucian biasanya bahan dikeringkan dengan cara
meniriskannya dialam terbuka atau dengan cara mengalirkan udara panas.
2. Curing
Kegiatan ini dilakukan terhdap komoditas sayuran yang mengalami
kerusakan kulit. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara membiarkan bahan
untuk beberapa hari pada suhu ruang. Untuk bawang merah atau bawang
putih, curing dapat juga dilakukan dengan cara menjemurnya dengan sinar
matahari. Proses curing dapat diaktifkan dengan suhu rata-rata dibawah suhu
ruangan dan kelembaban yang tinggi. Sebagai contoh, ubi jalar dilakukan
pada suhu 32,8°C dengan humaditas relatif berkisar 95-97% sedangkan untuk
kentang dapat dilakukan dalam 2 tahap yakni pada suhu 18°C selama 2 hari

141
kemudian pada suhu 7-10°C selama 1 minggu dengan RH berkisar 90-95%.
Selain hal tersebut, proses curing memberikan keuntungan lain yakni yakni
menurungkan kadar air yang dapat mencegah pertumbuhan kapang. Hal
tersebut dapat dilihat pad beberapa komoditas terutama pada bawang merah
atau bawang putih.
3. Sortasi
Nilai ekonomi berbagai jenis hortikultura tergantung pada mutu
komoditas tersebut. Oleh karena itu proses pemisahan antar komoditas
(sortasi) yang mutunya rendah dengan yang mutunya tinggi perlu dilakukan.
Pemisahan tersebut berdasarkan ukuran, tingkat kematangan, rusak, lecet,
memar,busuk, warna dan sebagainya. Perlakuan sortasi tergantung juga
kepada peruntukannya atau tempat pemasarannya (misalnya pasar swalayan,
restoran, atau hotel).
4. Pelilinan
Tingkat kesukaan konsumen terhadap hortikultura juga dipengaruhi
warna komoditas. Berbagai upaya telah dilakukan agar kenampakan
komoditas tersebut dapat semakin menarik. Salah satu cara yang dilakukan
adalah pemberian lapisan lilin atau pelilinan (waxing). Beberapa jenis
sayuran terutama sayuran buah kadang-kadang diberi perlakuan pelilinan
dengan tujuan untuk meningkatkan kilap, sehingga penampakannya akan
lebih disukai oleh konsumen. Selain itu, luka atau goresan pada permukaan
buah dapat ditutupi oleh lilin. Namun demikian pelilinan harus dilakukan
sedemikian rupa agar pori-pori buah tidak tertutupi sama sekali agar tidak
terjadi proses anareobik dalam sayuran. Proses anaerobik dapat
mengakibatkan terjadinya fermentasi yang dapat mempercepat terjadinya
pembusukan. Bahan yang dipakai dalam pelilinan adalah yang bersifat
pengemulsi (emulsifier) yang berasal dari campuran tidak larut lilin-air dan
yang lainnya adalah larutan lilin-air (solvent wax). Bahan yang bersifat
pengemulsi ini lebih banyak digunakan kerena lebih tahan terhadap
perubahan suhu dibandingkan dengan larutannya yang mudah terbakar. Selain
itu, penggunaan emulsi lilin-air tidak mengharuskan dilakukannya

142
pengeringan buah terlebih dahulu setelah proses pencucian. Untuk menjaga
buah dari serangan mikroba maka kedalam emulsi lilin-air dapat ditambahkan
bakterisida atau fungisida. Jenis-jenis emulsi lilin- air yang biasa digunakan
antara lain adalah lilin tebu (sugarcane wax), lilin karnauba (carnauba wax),
terpen resin termoplastik, shellac, sedangkan emulsifier yang banyak
digunakan adalah tri-etanolamin dan asam oleat. Ada beberapa cara pelilinan
dengan memakai emusi lilin-air pada sayuran buah adalah dengan cara
pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), pencelupan (dipping), atau
dengan cara disikat (brushing). Cara yang paling banyak digunakan adalah
dengan cara pembusaan dan penyikatan karena pengerjaannya lebih mudah
dan praktis.
5. Grading
Grading hampir sama dengan sortasi. Kalau sortasi adalah
pemisahan/pengelompokan berdasarkan mutu yang erat kaitannya dengan
kondisi fisik (busuk, lecet, memar) bahan sedangkan grading lebih kearah
nilai estetikanya (warna, dimensi). Dalam hal tertentu misalnya tingkat
kematangan maka grading dan sortasi memiliki kriteria yang sama.
Kombinasi keduanya menghasilkan standar mutu sayuran dimana ada jenis
sayuran memiliki 1 atau lebih standar mutu. Pada Tabel 3 diperlihatkan
contoh standar mutu beberapa jenis sayuran.
6. Penghilangan Warna Hijau
Proses penghilangan warna hijau (degreening) hanya berlaku untuk
sayuran buah seperti tomat yang bertujuan agar warnanya lebih khas dan
seragam. Proses ini dapat dilakukan dengan penggunaan gas etilen atau
asetilen. Tingkat kematangan buah dan kecepatan dekomposisi klorofil
menentukan lamanya proses penghilangan warna hijau tersebut. Biasanya
buah yang berwarna hijau terang dan umur cukup tua mempunyai proses yang
lebih pendek. Kondisi terbaik untuk proses ini adalah pada suhu 80oC dengan
kelembaban udara sekitar 85-92%. Kondisi ini harus dipertahankan karena
kelembaban yang terlalu tinggi menimbulkan kondensasi yang memperlambat
proses dan meningkatkan pembusukan buah, sedangkan pada kelembaban

143
rendah yang meskipun menghambat pembusukan buah tetapi terjadi
pengkerutan dan keretakan/pecahnya kulit buah. Proses degreening tersebut
dilakukan dalam ruangan dengan suhu dan kelembaban terkontrol dimana gas
etilen murni yang digunakan berkonsentrasi rendah 1:50.000. Secara
tradisional proses ini umumnya menggunakan gas karbit atau asap dari
pembakaran minyak tanah (kerosin).
Kegiatan penanganan yang mempengaruhi kemunduran kualitas pada
produk pasca panen adalah (Pantastico, 1989):
1. Tidak adanya tingkat sinar untuk aktivitas fotosintesis.
Produk dikemas dalam suatu kemasan, kemudian ditempatkan dalam
ruang pendingin atau kendaraan transfortasi yang gelap atau mempunyai
intensitas cahaya yang rendah. Kondisi ini mencegah proses fotosintesis yang
merupakan mekanisme tanaman mutu untuk memperoleh makanan.
2. Penempatan pada regim suhu di luar normal suhu lingkungannya.
Ketika produk masih melekat pada tanaman induknya, dia dihadapkan
pada pola perubahan suhu yang normal. Suhu dimana produk diekspos
sebelum panen sangat berbeda dengan regim suhu selama periode pasca
panennya. Suhu selama pasca panennya menyebabkan percepatan
kemunduran. Pemanenan menyebabkan kerusakan mekanis sehingga produk
stress dan perubahan metabolisme. Produk secara alami akan menghasilkan
produksi etilen sebagai respon adanya kerusakan. Peningkatan etilen
mengakibatkan peningkatan laju kemunduran atau kelayuan.
3. Meningkatnya kepekaan dari serangan mikroorganisme pembusuk mulai
panen dan selama penanganan pasca panen.
Kondisi alami produk buah dan sayur saat panen yaitu pada
permukaannya dilabuhi oleh spesie mikroorganisme. Kebanyakan patogen
akan menyerang produk segar untuk menginvasi dan melakukan infeksi.
Semakin banak kerusakan maka semakin tinggi kepekaannya terhadap infeksi
mikroorganisme.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran kualitas pada produk pasca
panen adalah (Mutiarawati, 2007):

144
1. Faktor internal
a. Respirasi, makna dari terjadinya respirasi pada organ panenan adalah
kehilangan nilai gizi bagi konsumen dan berkurangnya mutu rasa,
khususnya rasa manis, dan juga Kehilangan berat kering ekonomis.
b. Transpirasi atau hilangnya air, kehilangan air dapat merupakan penyebab
utama deteriorasi karena tidak saja berpengaruh langsung pada kehilangan
kuantitatif (bobot) tetapi juga menyebabkan kehilangan kualitas dalam
penampilannya (dikarenakan layu dan pengkerutan), kualitas penampilan
(lunak, mudah patah) dan kualitas nutri Perubahan komposisi.
c. Perubahan komposisi, tidak saja perubahan fisik yang terjadi selama
proses pemasakan setelah panen. Perubahan kimiawi yang sekaligus
merupakan komposisi dari komoditi panenan juga mengalami perubahan.
Keduanya terjadi secara simultan, artinya apabila terjadi perubahan fisik
pasti disertai terjadinya perubahan kimiawi.Perubahan-perubahan tersebut
meliputi :
1) Kehilangan kloropil (warna hijau) dikehendaki pada buah tetapi tidak
pada sayuran
2) Perubahan asam organik, protein, asam amino dan lipid dapat
mempengaruhi kualitas rasa pada kebanyakan komoditi
3) Kehilangan asam askorbat (vitamin C) merugikan kualitas nutrisi.
2. Faktor eksternal
a. Suhu
b. Kelembapan
c. Atmosfer
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas produk hortikultura yaitu :
1. Faktor Biologi
a. Respirasi
Respirasi merupakan suatu proses pemecahan unsur organik
(karbohidrat, protein dan lemak) menjadi energi. Pemecahan substrat dasar
ini menggunakan oksigen dan menghasilkan karbondioksida. Semakin
tinggi laju respirasi maka semakin cepat pula perombakan-perombakan

145
tersebut yang mengarah pada kemunduran dari produk tersebut. Air yang
dihasilkan ditranspirasikan dan jika tidak dikendalikan produk akan cepat
menjadi layu. Sehingga laju respirasi sering digunakan sebagai index yang
baik untuk menentukan masa simpan pascapanen produk segar (Ryal dan
Lipton, 1972). Menurut Argo (2008), dalam proses respirasi ini dilakukan
pemecahan substrat dari yang lebih kompleks (makro molekul) yang terdpt
dalam. Menurut Winangsih et al (2013), kualitas produk sangat ditentukan
oleh proses transpirasi dan respirasi produk tersebut.
b. Produksi Etilen
Etilen merupakan hormon tanaman berbentuk gas yang
mempengaruhi proses fisiologis tanaman, dihasilkan secara alami dari
metabolisme tanaman, serta oleh jaringan dalam tanaman dan
mikroorganisme. Untuk mencegah pematangan yang begitu cepat maka
hindari penyimpanan dengan produk yang mempunyai produksi etilen
tinggi. Etilen adalah senyawa organic hidrokarbon paling sederhana
(C2H4) berupa gas berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen
dikategorikan sebagai hormon alami untuk penuaan dan pemasakan dan
secara fisiologis sangat aktif dalam konsentarsi sangat rendah (<0.005
uL/L) (Wills et al., 1988).
c. Perubahan Komposisi Kimia
Perubahan komposisi kimia terjadi pada saat perkembangan dan
masa kematangan, dimana perubahan komposisi ini masih terus
berlangsung setelah panen. Perubahan komposisi yang terjadi antara lain
pada klorofil, karotenoid, antosianin, karbohidrat, lemak, protein dan asam
amino, dimana perubahan ini dapat mempengaruhi mutu hasil pertanian.
d. Transpirasi
Transpirasi yang berlebihan selama penanganan pasca panen tomat
akan mengakibatkan pengkerutan dan warna kusam, gagal matang, bau
yang kurang sedap. Laju transpirasi buah tergantung dari jenis dan derajat
kematangan, hal ini ada hubungannya dengan ketebalan, struktur dari
kulit, sel epidermis dan lapisan lilin. Pengaruh dari dari penurunan

146
transpirasi selama penyimpanan pada suhu rendah akan lebih kecil
dibandingkan dengan suhu tinggi. Laju transpirasi akan dipengaruhi oleh
faktor komoditi seperti morfologi, anatomi, rasio permukaan, luka dan
derajat kematangan dan lingkungan sekitarnya seperti suhu, kelembaban,
pergerakan udara dan tekanan atmosfer.Kehilangan air akibat transpirasi
dapat merupakan salah satu sebab utama kemunduran kualitas, karena
mengakibatkan kehilangan berat juga menurunkan kenampakan (layu dan
pengkerutan), kualitas teksturnya (pelunakan dan hilangnya kerenyahan)
dan kualitas gizinya (Surhaini dan Indriyani, 2009).
2. Faktor Lingkungan
a. Suhu
Suhu merupakan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi laju
penurunan mutu hasil pertanian sebab berpengaruh terhadap reaksi
biologi. Pengontrolan suhu dalam rangka pengendalian laju respirasi dari
produk sangat penting sehubungan dengan usaha memperpanjang umur
simpan dari komoditas yang disimpan.
b. Kelembaban
Laju kehilangan air dari hasil pertanian sangat tergantung dari defisit
tekanan uap yang dihasilkan antara komoditi dan udara sekeliling yang
dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.
c. Komposisi Atmosfir
Secara umum, efek komposisi atmosfir tergantung dari jenis
komoditi, kultivar, umur fisiologis, tingkatan O2 dan CO2, suhu dan
lamanya penyimpanan.
Hubungan suhu rendah terhadap produk pasca panen yaitu penggunaan suhu
rendah (kulkas) dan kelembaban relatif tinggi dapat menghambat semua reaksi
yang berjalan sampai batas waktu tertentu. Penyimpanan buah pada suhu dingin
biasa dilakukan untuk memperpanjang kesegarannya. Pada suhu dingin respirasi
menjadi terhambat sehingga proses kematangannya dapat diperlambat. Dengan
dihambatnya proses kemasakan maka proses kebusukan pun ikut menjadi lambat.
Hal penting yang harus diperhatikan pada penyimpanan dengan suhu dingin

147
adalah penggunaan suhu yang tepat. Suhu penyimpanan yang digunakan tidak
boleh terlalu rendah karena dapat menyebabkan terjadinya kerusakan buah akibat
suhu dingin (chilling injury). Secara visual, kerusakan akibat suhu dingin dapat
dilihat dari penampakannya. Buah pisang yang disimpan pada suhu di bawah 10
ºC warna kulit buahnya menjadi cokelat kehitaman dan buahnya tidak dapat
menjadi matang normal. Penyimpanan suhu dingin merupakan proses pengawetan
bahan dengan cara pendinginan pada suhu di atas suhu bekunya. Secara umum
pendinginan dilakukan pada suhu 2.2-15.5ºC tergantung pada masing-masing
bahan yang disimpannya. Pendinginan menuntut adanya pengontrolan terhadap
kondisi lingkungan antara lain suhu yang rendah, komposisi udara, kelembaban
dan sirkulasi udara. Sumber kerusakan seperti aktifitas fisiologis, aktivitas
mikroba, transpirasi dan evaporasi, semuanya mempunyai faktor pembatas suhu
dan kelembaban (Tambunan, 1997).
Suhu rendah akan mampu mempertahankan mutu buah yang mempunyai
kaitan secara erat dengan laju respirasi pada suatu produk. Batas kritis
penyimpanan dingin yaitu pada suhu 10 °C, sedangkan penyimpanan pada suhu
yang lebih rendah dapat mempercepat terjadinya cilling injury. Hasil penelitian
Teixeira dan Durigan (2010) menyatakan bahwa suhu 12,5 °C dapat
meningkatkan masa simpan pada buah jambu biji ‘Pedro Sato’. Suhu Simpan 15
°C dapat memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas buah
manggis sampai 30 HSP (Sumiasih, 2011).
Berdasarkan hasil praktikum, pada perlakuaan sterilisasi dengan bayclin +
mama lime pada ruangan terbuka, terjadi perubahan variabel warna, bentuk,
kelayuan, dan berat yang cukup terlihat pada komoditas yang diamati yaitu tomat
dan pakchoy. Perubahan warna, bentuk, kelayuan, dan berat pada komoditas
tomat dan pakchoy di ruangan AC tidak terlalu terlihat. Perlakuan yang
menghasilkan komoditas dengan kualitas akhir lebih baik di antara perlakuan
kemas dan tanpa kemas yaitu pada perlakuan kemas. Berdasarkan pada hal
tersebut, perlakuan yang menghasilkan kualitas akhir yang lebih baik yaitu pada
perlakuan suhu AC dan kemas.

148
Berdasarkan Berdasarkan hasil praktikum, pada perlakuaan sterilisasi
dengan CaCl2 + Klorin pada ruangan terbuka, terjadi perubahan variabel warna,
bentuk, kelayuan, dan berat yang cukup terlihat pada komoditas yang diamati
yaitu tomat dan pakchoy. Perubahan warna, bentuk, kelayuan, dan berat pada
komoditas tomat dan pakchoy di ruangan AC tidak terlalu terlihat. Perlakuan yang
menghasilkan komoditas dengan kualitas akhir lebih baik di antara perlakuan
kemas dan tanpa kemas yaitu pada perlakuan kemas. Berdasarkan pada hal
tersebut, perlakuan yang menghasilkan kualitas akhir yang lebih baik yaitu pada
perlakuan suhu AC dan kemas.
Suhu dingin mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin
rendah suhu penyimpanan semakin lambat penurunan nilai kekerasan buah. Salah
satu bentuk penilaian bahwa suatu produk pertanian masih layak simpan untuk
dikonsumsi adalah ketika tekstur buah masih cukup keras. Pada penyimpanan
dengan suhu ruang, buah cepat menjadi lunak. Penurunan tingkat kekerasan ini
terjadi akibat proses pematangan sehingga komposisi dinding sel berubah
menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun.
Perubahan kekerasan ini dapat dijadikan indikator tingkat kematangan buah
(Mareta, 2011). Menurut Adirahmanto et al(2014), bahwa perlakuan pembekuan
atau penyimpanan dalam suhu dingin merupakan salah satu cara menyimpan
produk pasca panen dalam jangka waktu tertentu. Perlakuan tanpa kemas ruang
terbuka, pembusukan terjadi akibat produk tidak terlindungi dengan baik sehingga
mudah terkena kontaminan dan akhirnya membusuk. Secara umum, penyusutan
bahan hasil pertanian dibedakan atas penyusutan kuantitatif dan penyusutan
kualitatif. Penyusutan kuantitatif dinyatakan dalam susut jumlah atau susut bobot.
Penyusutan kualitatif berupa penyimpangan mutu bahan seperti adanya
penyimpangan rasa, warna, bau, nilai gizi (Syarief dan Irawaty, 1988).

149
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum, dapat diambil kesimpulan bahwa:


1. Terjadi perubahan kualitas pada komoditas pasca panen yang mengalami
perubahan-perubahan secara fisik dan kimia. Secara fisik dapat diamati
seperti perubahan warna, tekstur, dan aroma (bau). Secara kimia diamati
dengan kandungan kadar air.
2. Grade kualitas komoditas pasca panen dapat dinilai berdasarkan warna tetap,
warna berubah, bentuk segar, bentuk tidak segar/keriput, bentuk busuk,
kelayuan segar, kelayuan tidak segar/keriput dan layu, dan bobot produk.
3. Mengidentifikasi kualitas komoditas pasca panen digunakan cara menilai
warna, bentuk, kelayuan dan susut berat suatu produk.
4. Perlakuan pasca panen yang mampu mempertahankan kualitas menggunakan
perendaman dengan bahan kimia (bayclin, mama lime, CaCI2, dan klorin),
pengemasan, dan penyimpanan suhu rendah.

B. Saran

Komoditas yang diamati sebaiknya lebih banyak sehingga praktikan dapat


lebih banyak membandingkan penurunan kualitas yang terjadi pada berbagai
komoditas. Praktikan dalam pengamatan sebaiknya lebih teliti dalam
menginterpretasikan penurunan kualitas produk secara visual.

150
DAFTAR PUSTAKA

Adirahmanto, K. A., R. Hartanto dan D. D. Novita. 2014. Chemical changes and


shelf life fruit salak pondoh (Salacca edulis reinw) dynamic storage in
the air-CO2. J. Teknik Pertanian. Vol 1(3): 87-93.

Argo. 2008. Sistem monitoring gas oksigen dan karbondioksida pada ruang
penyimpanan sistem udara terkontrol. J. Teknologi Pertanian
9(3):150-156.

Babalola. 2010. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.

BTPT Riau. 2017. Pasca Panen Hortikultura. Balai Pengkaji Teknologi Pertanian
Riau. Riau

Effendi, M. 2010. Penanganan Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian.


Universitas Brawijaya. Malang.

Herudiyanto, Marleen S., Ir., MS. 2008. Teknologi Pengemasan Pangan. Widya
Padjadjaran, Bandung.

Iflah, T., Sutrisno, dan T.C. Sunarti. 2012. Pengaruh kemasan starch-based
plastics (bioplastik) terhadap mutu tomat dan paprika selama
penyimpanan dingin. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol 22 (3):
189-197.

Kader. 2007. Penanganan Pasca Panen Sayur. Indar Press, Jakarta.

Kays, S. J. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. Van


Nostrand Reinhold. New York.

Kitinoja, L dan Kader. 2003. Praktik-praktik Penanganan Pascapanen Skala


Kecil: Manual untuk Produk Hortikultura. Edisi ke-4. Davis:
Postharvest Technology Research and Information Center.

Kotler dan Keller. 2009. Manajemen Pemasaran. Jilid I. Edisi ke 13. Erlangga,
Jakarta.

Longdong. 2009. Pengaruh Kemasan dan Suhu Dingin Terhadap Konsumsi O2


Bunga Lily Trompet (Lilium longiflorum Thunb). Journal of Soil
Environment. 7(1) : 45 – 51

151
Mareta, D.T, Shofia, N.A. 2011. Pengemasan produk sayuran dengan bahan
kemas plastik pada penyimpanan suhu ruang dan suhu dingin.
Mediagro. Vol 5(1): 26-40.

Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Makalah


disampaikan pada Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) SL-PPHP,
Departemen Pertanian, Jakarta.

Pantastico, E.R. 1989. Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan


Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropik dan Subtropik. Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.

Purnama, N. 2006. Manajemen Kualitas. Perspektif, Yogyakarta.

Ryall, A.L Dan Lipton, W.J. 1972. Handling, Transportation And Storage Of
Fruit And Vegetables. Vol. I: Vegetables And Melons. AVI Pub.,
Westport Connecticut.

Samad, M. Y. 2006. Pengaruh penanganan pasca panen terhadap mutu komoditas


hortikultura. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 8: 31-36.

Soesanto, L. 2006. Penyakit Pasca Panen: Sebuah Pengantar. Kanisius,


Yogyakarta.

Surhaini dan Indriyani. 2009. Pengaruh Jenis Plastik dan Cara Kemas Terhadap
Mutu Tomat Selama dalam Pemasaran. Jurnal Agronomi 13(2).

Sumiasih, I. H., Roedhy, P., Dan Darda, E. 2011. Studi Perubahan Kualitas
Pascapanen Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Pada Beberapa
Stadia Kematangan Dan Suhu Simpan. Tesis. Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Syarief, R. dan A. Irawaty. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.


Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Tambunan, A. 1997 Penerapan sistem Pendinginan Evaporatif untuk penanganan


Pascapanen Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Teixeira, G. H. A. Dan J. F. Durigan. 2010. Effect of controlled atmospheres with


low oxygen levels on extended storage of guava fruit (Psidium guajava
L. ‘Pedro Sato’). Hortscience. 45(6): 918-924.

Tjiptono, Fandy. 2006 , Manajemen Jasa, Edisi Pertama. Andi, Yogyakarta.


Wills, R.B.H., Mcglasson, B., Graham, D., And Joice, D. 1998. Postharvest, An
Introduction To The Physiology And Handling Of Fruit, Vegetables
And Ornamentals. 4th Ed. The Univ. Of New South Wales, Sydney.

152
Winangsih, W., E. Prihastanti dan S. Parman. 2013. Pengaruh metode
pengeringan terhadap kualitas simplisia lempuyang wangi (Zingiber
aromaticum L.). J. Anatomi. Vol. 21(1): 19-25.
Winarno, F.G. 2010.Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen.
Kanisius,Yogyakarta.

153
LAMPIRAN

Lampiran 4. Foto kegiatan praktikum

Gambar 27. Kontrol jeruk

Gambar 28. Etilen jeruk

Gambar 29. Asitilen jeruk

154

Anda mungkin juga menyukai