KELOMPOK VIII B :
UNIVERSITAS JAMBI
2019
SKENARIO
Ny. Meneer, 33 tahun, datang ke klinik RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sering
berdebar-debar sejak 3 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan berat badannya cenderung
turun padahal nafsu makan dan porsi makannya baik. Selain itu, pasien sering berkeringat
berlebih karena gampang kepanasan dibanding biasanya. Pasien juga cenderung mudah lelah
dan tangannya sering gemetar. Sejak kuliah pasien sering cemas dan telapak tangan sering
berkeringat. Pasien juga merasakan lehernya bertambah besar, tetapi tidak nyeri. Pasien
pernah berbat ke dokter puskesmas, dan dicurigai keracunan gondok, lal dirujuk ke RSUD
Raden Mattaher. Pasien kemudian diberikan pengantar untuk pemeriksaan laboratorium
fungsi tiroid dan fungsi jantung.
KLARIFIKASI ISTILAH
2. Mengapa Ny. Meneer berat badannya cenderung turun padahal nafsu makannya baik?
Jawab :
Hipermetabolisme kebutuhan makanannya meningkat asupan makan normal
cadangan makanan turun massa otot turun BB turun
Pada kasus hipertiroid dapat ditemukan pembesaran kelenjar tiroid/goiter yang pada
dasarnya disebabkan oleh aktivitas kelenjar tiroid yang berlebihan dalam mensekresi
hormon tiroid. Bisa terjadi karena asupan yodium berlebihan atau karena terjadinya
peningkatan metabolisme semua zat gizi yang berdampak pada peningkatan
glomerular filtration rate (GFR), sehingga meningkatkan yodium yang keluar melalui
ginjal. Kondisi ini akan menurunkan yodium dalam plasma, yang menimbulkan
kompensasi pada kelenjar tiroid untuk mencukupi kebutuhan hormon tiroid dengan
meningkatkan aktivitasnya, sehingga timbul goiter.5
3. Pemeriksaan penunjang
Menegakkan diagnosis hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH
serum, T3 bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif.
Skema 2. Algoritma Diagnosis Hipertiroid.9
a. TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang diproduksi
oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi hormon tiroid
oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative feedback pada
pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid axis.
Apabila kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi normal, maka hipofisis
akan mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan mengembalikan
kadar hormon tiroid kembali normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid
rendah maka hipofisis akan mensekresi TSH untuk memacu produksi
hormon tiroid.
b. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan
sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan
utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang
menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya.
Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan
tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk
mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui
efektivitas terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan
hingga pasien euthyroid.
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui
etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme
akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20
karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif
dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien
painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20.
e. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid
scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4-).
Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya
harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat.
Namun kekurangannya risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan
kualitas gambar kurang baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine.
f. Ultrasound Scanning
Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk dan
ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan,
noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic
adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran nodul
secara akurat. Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada
kasus hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US
diantaranya pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan
multinodular goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid
Pada pasien dengan nodul berukuran kecil yang tidak tampak atau tidak
teraba, maka FNAC perlu dilakukan dengan bantuan ultrasonography. Selain
itu penggunaan bantuan ultrasonography juga disarankan pada kondisi
pasien dengan multinodular goiter dan obesitas.
Kelainan pada sistem kardiovaskular sangat menonjol dan penting artinya dalam
mengelola penyakit Hipertiroid dan mengevaluasi fungsi jantung. Kelainan
tersebut berdasarkan kerja hormone tiroid pada sistem tersebut seperti perubahan
pada cardiac output, kontraktilitas jantung, tekanan darah, resistensi vascular, dan
gangguan ritme. Keluhan dan gejala yang ditemukan adalah palpitasi, takikardia,
tidak mampu melakukan kegiatan fisik, dyspnea d’effort, tekanan nadi melebar,
fibrilasi atrial dan gagal jantung.10
Pemeriksaan Penunjang
e. Graves Disease
Penyakit Graves, yang disebabkan oleh suatu aktivitas yang berlebihan dari
kelenjar tiroid, adalah penyebab yang paling umum dari hipertiroid. Pada kondisi
ini, kelenjar tiroid biasanya adalah pengkhianat, yang berarti ia telah kehilangan
kemampuannya untuk merespon pada kontrol yang normal oleh kelenjar pituitari
via TSH. Penyakit Graves adalah penyakit yang disebabkan karena
turunan/diwariskan(15%) dan karena imunologi (50%). Penyakit ini lima kali
lebih umum diantara wanita-wanita daripada pria-pria. Penyakit Graves
diperkirakan adalah suatu penyakit autoimun, dan antibodi-antibodi yang adalah
karakteristik-karakteristik dari penyakit ini mungkin ditemukan dalam darah.
Antibodi-antibodi ini termasuk thyroidstimulating immunoglobulin (TSI
antibodies), thyroid peroxidase antibodies (TPO), dan antibodi-antibodi reseptor
TSH. Pencetus-pencetus untuk penyakit Grave termasuk12:
i. Stres
ii. Merokok
iii. radiasi pada leher
iv. obat-obatan dan
v. organisme-organisme yang menyebabkan infeksi seperti virus-virus.
f. Tirotoksikosis
Merupakan keadaan klinik dengan berbagai etiologi sebagai akibat tingginya
kadar hormone tiroid.12
i. Kelenjar tiroid dirangsang secara berlebihan oleh factor-faktor trofik
ii. Adanya factor otonomiyang mengaktivasi sintesis dan sekresi hormone
tiroid secara berlebihan
iii. Simpanan tiroid yang akan terbentuk secara pasif dilepaskan ke aliran
darah dalam jumlah berlebihan akibat proses autoimun, infeksi.
iv. Ekspos terhadap sumber ekstra tiroid baik secara endogen atau eksogen
g. Hipertiroid
Salah satu bentuk tirotoksikosis yang terjadi akibat peningkatan sintesis dan
sekresi hormone tiroid oleh kelenjar tiroid.12
Sebagai respons terhadap factor trofik dari hipotalamus, TSH (disebut juga tirotropin)
dikeluarkan oleh sel tirotropik di hipofisis anterior ke dalam sirkulasi. Pengikatan
TSH pada reseptornya di epitel folikel tiroid mengakibatkan aktivasi dan perubahan
konformasi reseptor, yang memungkinkannya bergabung dengan protein G yang
bersifat merangsang. Aktivasi protein G akhirnya menyebabkan peningkatan jumlah
cAMP intrasel, yang merangsang sintesis dan pelepasan hormon tiroid, yang
diperantarai oleh cAMP-dependent protein kinase. Sel epitel folikel sel tiroid
mengubah tiroglobulin menjadi tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) yang lebih
sedikit. T4 dan T3 dikeluarkan ke dalam sirkulasi sistemik, dan sebagian besar peptida
ini terikat secara reversible pada protein plasma yang bersirkulasi, seperti globulin
pengikat T4 (T4-binding globulin), untuk diangkut ke jaringan perifer. Protein
pengikat berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi T3 dan T4 bebas (yang tidak
berikatan) serum dalam batas yang sempit, sambil memastikan bahwa hormon ini
dapat tersedia dengan mudah bila dibutuhkan oleh jaringan. Di perifer, mayoritas T4
bebas terdeiodinasi menjadi T3; T3 terikat pada reseptor inti hormon tiroid pada
sasaran sel dengan afinitas 10 kali lipat lebih besar daripada T3 serta aktivitas yang
lebih besar. Interaksi hormon tiroid dengan reseptor inti hormon tiroid (TR)
menyebabkan pembentukan suatu kompleks hormon reseptor yang berikatan dengan
elemen respons hormon tiroid (ERHTi)/ (thyroid hormone response elements [TREs])
pada gen sasaran, dan mengatur transkripsinya. Hormon tiroid memiliki efek seluler
yang luas, termasuk meningkatkan katabolisme karbohidrat dan lipid serta
merangsang sintesis protein pada bermacam-macam sel. Hasil akhir dari proses ini
adalah meningkatnya laju metabolik basal (basal metabolic rate).16
Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak
langsung oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori yaitu6:
a) Efek pada laju metabolism
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara keseluruhan.
Hormon ini adalah regulator terpenting bagi tingkat konsumsi O2 dan
pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat.
b) Efek kalorigenik
Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi panas.
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang terlibat dalam
metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik
bersifat multifaset, hormon ini tidak saja mempengaruhi sintesis dan penguraian
karbohidrat, lemak dan protein, tetapi banyak sedikitnya jumlah hormon juga
dapat menginduksi efek yang bertentangan.
d) Efek simpatomimetik
Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormon pertumbuhan, tetapi juga
mendorong efek hormon pertumbuhan (somatomedin) pada sintesis protein
struktural baru dan pertumbuhan rangka.
g) Efek pada sistem saraf
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf
terutama Sistem Saraf Pusat (SSP). Hormon tiroid juga sangat penting untuk
aktivitas normal SSP pada orang dewasa.
Pada kondisi hipertiroid dan tirotoksikosis dimana terjadi peningkatan hormon tiroid
dalam darah, maka akan terjadi peningkatan metabolisme secara signifikan yang
ditandai denggan menjadi sering berkeringat meskipun tanpa melakukan aktivitas
berat, berat badan menurun, takikardia, takipnea. Kelenjar tiroid juga dapat membesar
dan terpalpaso saat dilakukan pemeriksaan fisik.1,17
Gambar 3. Patofisiologi Hipertiroid.18
Ada dua cara pemberian OAT yaitu dengan metode titrasi memberikan dosis awal
methimazole 20-30 mg sehari atau PTU 300-600 mg sehari sampai mencapai
eutiroid, kemudian dosis diturunkan bertahap dan dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan serendah mungkin, biasanya 2.5 mg methimazole atau 100 mg PTU
sehari, untuk menjaga penderita tetap dalam keadaan eutiroid. Cara kedua adalah
dengan metode block-supplement, yaitu setelah eutiroid dicapai ditambahkan l-
tiroksin (100-150 mcg setiap hari), tujuannya untuk menurunkan angka
kekambuhan dan antisipasi terjadinya hipotiroid.
Dosis awal obat antitiroid untuk pengobatan tirotoksikosis adalah PTU 3x100-200
mg sehari, atau untuk methimazole 10-30 mg sehari sebagai dosis tunggal.
Methimazole lebih kuat 20-50 kali lipat dari PTU sebagai penghambat utilisasi
iodium. Eutiroid biasanya dicapai dalam waktu 4-12 minggu tergantung pada
berat ringannya penyakit, ukuran kelenjar, dan dosis obat antitiroid yang
diberikan. Pada tahap pertama obat antitiroid diberikan selama 12-24 bulan. Bila
terjadi kekambuhan, pilihannya ulangi lagi pemberian obat antitiroid atau sebagai
alternative dapat dilakukan operasi tiroidektomi sub-total atau terapi ablasi dengan
iodium radioaktif. Obat antitiroid dapat diberikan sampai beberapa tahun dengan
catatan tidak ada efek samping/toksik. Tentu saja kepatuhan minum obat antitiroid
dengan teratur sangat penting artinya. Pasien dinyatakan mencapai remisi apabila
kadar TSH serum, T4 bebas dan T3 total normal satu tahun setelah OAT
dihentikan. Penyakit hipertiroid seringkali disebut jugasebagai "remitting and
relapsing disease", artinya penyakit ini sering sembuh dan kambuh. Hanya sekitar
40-50% kasus penyakit hipertiroid yang akan mengalami remisi sempurna.
2. Pengobatandengan Iodium Radioaktif (I-131)
Indikasi Pengobatan Iodium Radioaktif pada penyakit hipertiroid:
1) Hipertiroid Graves
2) Struma nodosatoksik/nodultiroidotonom
3) Struma multinodosatoksik
4) Rekurensi setelah tiroidektomi subtotal
5) Diperlukan pengobatan definitif seperti pada penyakit jantung tiroid
Dosis iodium radioaktif diberikan berdasarkan berat kelenjar dan nilai angka
penangkapan iodium serta keadaan klinik pasien. Dalam dosis moderat respons
klinik baru terlihat 2-4 bulan setelah minum iodium radioaktif; untuk mengurangi
keluhan selama selang waktu tersebut dapat diberikan obat antitiroid dan
penyekat beta selama beberapa minggu. Makin tinggi dosis iodium radioaktif
yang diberikan akan makin cepat terjadi remisi dan makin tinggi pula kejadian
hipotiroid. Setelah pemberian iodium radioaktif hipotiroid cepat atau lambat
akan terjadi dan merupakan akibat dari ablasi kelenjar tiroid oleh iodium
radioaktif. Setelah eutiroid tercapai, fungsi tiroid dievaluasi setiap 6 bulan untuk
mendeteksi terjadinya hipotiroid. Bila pasien menjadi hipotiroid berikan terapi
substitusi (pengganti) dengan hormone tiroid levotiroksin untuk seumur hidup.
Dosis levotirksin diberikan dengan sasaran kadar TSHs dalam kisaran normal.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan :
1. Struma besar
2. Adenoma toksik
3. Struma multinodosa toksik
4. Penyakithiper tiroid yang sering kambuh
1. Guyton A C, Hall J E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC.
2. Ertek, S. Cicero, A.F. 2013. Hyperthyroidism and cardiovascular complications: a
narrative review on the basis of pathology. Arch Med Sci. 9(5):944-952
3. American Thyroid Association. 2019. Thyroid & Weight. Diambil dari:
https://www.thyroid.org/throid-and-weight/. Diakses pada 11 Desember 2019.
4. Wiersinga, W.M. 2010. Adult Hypothyroidism. Diambil dari: www.thyroidmanager.org.
Diakses pada 11 Desember 2019.
5. Mutalazimah, dkk. 2013. Kajian Patofisiologis Gejala Klinis dan Psikososial Sebagai
Dampak Gangguan Fungsi Tiroid pada Wanita Usia Produktif. Jurnal Kesehatan. ISSN
1979-7621, 6(1): 1-14
6. Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Sistem endokrin Perifer. Edisi
ke-8. Jakarta: EGC.
7. Adham, dkk. 2018. Diagnosis dan Tatalaksana Karsinoma Tiroid yang Berdiferensiasi.
Departmen Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jakarta. ORLI, 48(2).
8. Nayak, B. dan Burman, K. 2006. Thyrotoxicosis and Thyroid Storm. Endocrinol Metab
Clin N Am 35. 663–686.
9. Ghandour, A., & Reust, C. 2011. Hyperthyroidism: a stepwise approach to management:
clinical presentation and an algorithm-guided laboratory assessment can quickly narrow
the diagnosa and help direct your choice, timing, and sequence of treatments. J. Fam.
Prac., 60(7):388-395.
10. PERKENI. 2017. Pedoman pengelolaan penyakit Hipertiroid. PB PERKENI: Jakarta.
11. Wantania FE. 2014. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Tiroid dalam Jurnal Biomedik.
6(1):114-22. Diambil dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/4158. Diakses pada 10
Desember 2019.
12. Stephanie L Lee. Hyperthyroidism and Thyrotoxicosis. {online} Diambil dari:
https://emedicine.medscape.com/article/121865-overview. Diakses pada 05 Desember
2019.
13. American Thyroid Association. 2016. American Thyroid Association Guidelines for
Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis.
Mary Ann Liebert, Inc. 26(10):1343-1421
14. Kementerian Kesehatan RI. 2015. InfoDATIN: Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid.
Jakarta.
15. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.
16. Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier.
17. Price, A. Sylvia., Lorraine Mc. Carty Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. Alih bahasa: Peter Anugrah. Jakarta: EGC.
18. Isselbacher, dkk. 2012. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa:
Asdie Ahmad H. Edisi 13. Jakarta : EGC.
19. Djokomoeljanto, R. (2009). Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme dan Hipertiroid. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
email :aaldiaa8@gmail.com