Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mengenai ini, kita perlu mengetahui bahwa argentometri dan komplesometri merupakan

salah satu metode yang termasuk ke dalam metode volumentri. Volumentri merupakan metode

analisis kuantitatif yang didasarkan atas pengukuran volume titran yang dibutuhkan untuk

bereaksi secara sempurna dengan zat yang dititrasi (titrat).

Argentometri merupakan salah satu metode dari titrasi penetapan. Salah satu jenis titrasi

pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi pengendapan antara ion halida

( Cl-, I-, Br- ) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut sebagai argentometri, yaitu

titrasi penentuan analit yang berupa ion halida dengan menggunakan larutan standar perak nitrat

AgNO3. Metode pengendapan digunakan karena metode ini lebih mudah dilakukan dengan

memisahkan suatu sampel menjadi komponen-komponennya dan saat ini pengendapannya

merupakan teknik pemisahan yang luas penggunaannya. Khusus dalam penetapan kadar

senyawa yang sukar larut diterapkan metode tertentu sebab sifat dari senyawa yang sukar larut

memiliki sifat tertentu yang tidak dimiliki oleh senyawa yang larut. Salah satu metode tersebut

adalah argentometri. Metode ini hanya ditekankan bagi senyawa yang diketahui sukar larut.

Titrasi kompleksometri adalah suatu titrasi pembentukan senyawa kompleks yang dimana

menggunakan indikator logam dan larutan baku kompleks yang dimana untuk menentukan

kemurnian atau kadar suatu logam. Dalam kimia farmasi kuantitatif untuk zat – zat anorganik

yang mengandung ion – ion logam seperti aluminium, bismut, magnesium dan zink dengan cara

kompleksometri. Dimana kita akan menentukan kemurnian atau kadar daripada salah satu

logam tersebut yang dilakukan dengan cara titrasi kompleksometri.

Dalam penentuan ion – ion logam secara titrasi kompleksometri umumnya digunakan III

(EDTA) sebagai zat pembentuk kompleks khelat dimana EDTA bereaksi dengan ion logam

yang polivalen seperti Al3+, Bi2+, Ca2+, Cu2+ membentuk senyawa atau kompleks khelat yang

stabil dan larut dalam air.

1
Adapun yang melatar belakangi dibuatnya makalah ini karena didalam bidang farmasi

jika kita ingin menentukan suatu senyawa obat maka kita harus mengetahui senyawa-senyawa

yang ada salah satunya senyawa kompleks yang dimana kita harus mengetahui kelarutannya,

factor – factor yang mempengaruhi dan lain-lain sebagainya.

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Teori Umum

2.1.1 Argentometri

Istilah argentometri diturunkan dari bahasa latin argentum, yang berarti perak. Jadi,

argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutan yang

dilakukan dengan titrasi berdasarkan pembentukan endapan dengan ion Ag+. Salah satu cara

untuk menentukan asam basa dalam suatu larutan adalah dengan volimetri (Day & Underwood,

2011).

Ada tiga tipe titik akhir yang digunakan untuk titrasi dengan AgNO3, yaitu:

1. Indikator

2. Amperometri

3. Indikator kimia

Argentometri merupakan titrasi yang melibatkan pembentukan endapan dari garam yang

tidak mudah larut antara titran dan analit. Hal dasar yang diperlukan dari titrasi jenis ini adalah

pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat setiap kali titran ditambahkan analit,tidak

adanya interferensi yang mengganggu titrasi,dan titik akhir yang mudah diamati

(Mulyono,2005).

Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak muda larut antara titran

dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl dimana ion

Ag+ dari titran akan bereaksi dengan ion Cl+ dari analit membentuk garam yang tidak muda larut

AgCl (Kisman, 1998).

Setelah semua ion klorida dalam analit habis maka kelebihan ion perak akan bereaksi

dengan indikator. Indikator yang dipakai biasanyaadalah ion kromat CrO42- dimana dengan

indikator ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik

akhir titrasi dapat diamati. Indikator lain yang bisa dipakai adalah tiosianida dan indikator

adsorbsi. Berdasar jenis indikator dan tekhik pitrasi yng dipakai maka pitrasi argentometri dapat

dibedakan atas argentometri dengan metode mohr, volhrad, atau fajans.selain menggunakan

3
jenis indikator diatas maka kita juga dapat menggunakan metode potensiometri untuk

menentukan titik ekuivalen ( kisman, 1998 ).

Ketajaman titik ekuivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi

antara analit dan titran. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva titrasi

ergentrometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga ekuinvalen mudah ditentukan

akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi yang landai

sehingga titik ekuinvalen sehingga titik ekuinvalen agak sulit ditentukan. Hal analog dengan

kurva titrasi antara asam kuat dengan basa kuat dan antara asam lemah dengan basa kuat

(Harjadi, 1993).

Metode-metode dalam titrasi argentometri; (Estie, 2010)

1. Metode Fajans

Menurut cara ini, suatu ion halogenida dengan AgNO3 membentuk endapan perak

halogenida yang pada titik ekuinvalen dapat menabsorpsi berbagai zat warna sehingga menjadi

perubahan warna.

2. Metode Mohr

Menurut cara ini biasanya dipakai terutama dalam penentuan klorida dan bromida. Bisa

suatu larutan klorida dititrasi dengan larutan AgNO3 maka akan terjadi reaksi:

Ag+ + Cl- → AgCl

Titik akhir titrasi dapat dinyatakan dengan indikator larutan K2CrO4 yang dengan ion perak

berlebih menghasilkan endapan yang berwarna kemerah-merahan. Titrasi ini harus dilakukan

dalam suasana netral atau basa lemah.

3. Metode Volhard

Titrasi ini dilakukan secara langsung ,dimana ion halogen lebih dahulu dengan ion perak

yang berlebih. Kelebihan ion perak dititrasi dengan larutan KCNS dan NH4CNS. Titik akhir

titrasi dapat dinyatakan dengan indikator ion Fe3+ yang dengan ion CNS berlebih menghasilkan

larutan berwarna merah. Titrasi harus dilakukan dalam suasana asam yang berlebih.

4
2.1.2 Kompleksometri

Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan persenyawaan kompleks

(ion kompleks atau garam yang sukar mengion), Kompleksometri merupakan jenis titrasi

dimana titran dan titrat saling mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksi–

reaksi pembentukan kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan

penerapannya juga banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup

luas tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi. Contoh

reaksi titrasi kompleksometri :

Ag+ + 2 CN– Ag(CN)2

Hg2+ + 2Cl– HgCl2

(Khopkar, 2002).

Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan titrimetrik melibatkan

pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang larut namun sedikit terdisosiasi.

Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui reaksi ion logam,

sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral (Basset, 1994).

Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi pembentukan

ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang terdisosiasi dalam larutan.

Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian adalah tingkat kelarutan tinggi. Selain

titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal pula kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi

kelatometri, seperti yang menyangkut penggunaan EDTA. Gugus-yang terikat pada ion pusat,

disebut ligan, dan dalam larutan air, reaksi dapat dinyatakan oleh persamaan :

M(H2O)n + L = M(H2O)(n-1) L + H2O

(Khopkar, 2002).

Asam etilen diamin tetra asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA, merupakan salah

satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah ligan seksidentat yang dapat

berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya

atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul,

misalnya asam 1,2-diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina tetraasetat, EDTA) yang

mempunyai dua atom nitrogen – penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam

molekul (Rival, 1995).


5
Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah besar ion

logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif. Dalam larutan yang agak asam,

dapat terjadi protonasi parsial EDTA tanpa pematahan sempurna kompleks logam, yang

menghasilkan spesies seperti CuHY–. Ternyata bila beberapa ion logam yang ada dalam larutan

tersebut maka titrasi dengan EDTA akan menunjukkan jumlah semua ion logam yang ada dalam

larutan tersebut (Harjadi, 1993).

Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg, Ca, Cr, dan Ba

dapat dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi kompleksometri mempergunakan

indikator yang juga bertindak sebagai pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya

mempunyai warna yang berbeda dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut

indikator metalokromat. Indikator jenis ini contohnya adalah Eriochrome black T; pyrocatechol

violet; xylenol orange; calmagit; 1-(2-piridil-azonaftol), PAN, zincon, asam salisilat, metafalein

dan calcein blue (Khopkar, 2002).

Satu-satunya ligan yang lazim dipakai pada masa lalu dalam pemeriksaan kimia adala ion

sianida, CN–, karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks yang mantap dengan ion perak

dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida membentuk senyawa kompleks perak-sianida,

sedagkan dengan ion nilkel membentuk nikel-sianida. Kendala yang membatasi pemakaian-

pemakaian ion sianoida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk kompleks secara

bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan ligan bergigi satu (Rival, 1995).

Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang berguna sebagai tanda

tercapai titik akhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator ion logam dapat digunakan pada

pendeteksian visual dari titik-titik akhir yaitu reaksi warna harus sedemikian sehingga sebelum

titik akhir, bila hampir semua ion logam telah berkompleks dengan EDTA, larutan akan

berwarna kuat. Kedua, reaksi warna itu haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif.

Ketiga, kompleks-indikator logam itu harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena

disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun, kompleks-indikator logam

itu harus kurang stabil dibanding kompleks logam-EDTA untuk menjamin agar pada titik akhir,

EDTA memindahkan ion-ion logam dari kompleks-indikator logam ke kompleks logam-EDTA

harus tajam dan cepat. Kelima, kontras warna antara indikator bebas dan kompleks-indikator

logam harus sedemikian sehingga mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap ion
6
logam (yaitu, terhadap pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik

ekuivalen. Terakhir, penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan dengan titrasi EDTA, pH untuk

titrasi adalah 10 dengan indikator eriochrome black T. Pada pH tinggi, 12, Mg(OH)2 akan

mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+ dengan indikator murexide

(Basset, 1994).

Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari dengan

penggunaan bahan pengkelat sebagai titran. Bahan pengkelat yang mengandung baik oksigen

maupun nitrogen secara umum efektif dalam membentuk kompleks-kompleks yang stabil

dengan berbagai macam logam. Keunggulan EDTA adalah mudah larut dalam air, dapat

diperoleh dalam keadaan murni, sehingga EDTA banyak dipakai dalam melakukan percobaan

kompleksometri. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya EDTA

distandarisasikan dahulu misalnya dengan menggunakan larutan kadmium (Harjadi, 1993).

7
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kompleksometri

3.1.1 Data
KELOMPOK Volume titran
1 8,6 mL
2 8,4 mL
3 29,5 mL
4 20,2 mL

3.1.2 Reaksi

O CH2

C CH2

O N

CO CH2 CH OH

CH2 + O3S N N N

O N

C CH2 NO2

O O CH2
Gambar 1.1
C

8
3.1.3 Perhitungan
Kelompok 1

𝑉𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎


% Kadar = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 x 100 %

8,6 𝑚𝐿 𝑥 0,0867𝑁 𝑥 8,072 𝑚𝑔


= x 100 %
100 𝑚𝑔 𝑥 0,08 𝑁

6,018
= x 100%
8

= 75,225 %

Kelompok 2

𝑉𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎


% Kadar = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 x 100%

8,4 𝑚𝐿 𝑥 0,0867𝑁 𝑥 8,072 𝑚𝑔


= x 100%
100,2 𝑚𝑔 𝑥 0,08 𝑁

5,878
= x 100%
8

= 73,475%

Kelompok 3

𝑉𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎


% Kadar = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 x 100%

29,5 𝑚𝐿 𝑥 0,0867 𝑁 𝑥 8,072 𝑚𝑔


= x 100%
100 𝑚𝑔 𝑥 0,08 𝑁

20,645
= x 100%
8

= 258,062 %

Kelompok 4

𝑉𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑥 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑎𝑟𝑎


% Kadar = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 x 100%

20,2 𝑚𝐿 𝑥 0,0867 𝑁 𝑥 8,072 𝑚𝑔


= x 100%
100 𝑚𝑔 𝑥 0,08 𝑁

14,136
= x 100%
8

= 176,7 %

9
3.1.4 Pembahasan
Metode kerja dari pada percobaan ini adalah pada larutan sampel ditambahkan larutan dapar pH
10. maksud dari penambahan larutan dapar ini adalah untuk menjaga pH larutan agar pembentukan
kompleks magnesium dan seng sulfat stabil dan tidak terganggu oleh ion logam lain. Selain itu,
ditambahkan larutan NaOH untuk memberi suasana basa pada larutan.
Titrasi kompleksometri digunakan indikator EBT. Indikator ini diberikan sebelum titrasi, agar
terjadi reaksi antara logam dengan indikator terlebih dahulu untuk membentuk kompleks.
Penambahan indikator ini tidak boleh berlebih, karena indikator EBT dalam keadaan bebas warnanya
berbeda tergantung dari pH larutan. Pada saat titrasi dengan larutan baku Na2EDTA , terjadi
persaingan antara kompleks logam-indikator dengan EDTA dimana pada akhirnya indikator terlepas
dalam keadaan bebasnya kembali dan terbentuk kompleks EDTA dengan logam. Warna biru yang
nampak pada titik akhir titrasi adalah arna dari indikator EBT bebas dan merupakan titik akhir titrasi.
Indikator EBT yang digunakan termasuk dalam indikator logam. Kompleks dari indikator logam
ini dan ion logam yang bila bereaksi dengan ion logam akan berubah warna, selain itu persyaratan
lain yaitu kompleks indikator dan ion logam tidak boleh sama, stabil dengan kompleks pembentuk
khelat yang ada dalam larutan pengukuran ion logam atau dengan kata lainlogam harus bereaksi
terlebih dahulu dengan ion logam pada waktu larutan pengukur yang ditambahkan atau sebaliknya ion
logam harus dibebaskan kembali, jika larutan pengukur ditambahkan.
Dimana 1 ml EDTA 0,05 N setara dengan 14,38 mg ZnSO4.H2O Sehingga diperoleh untuk
kelompok 1 kadar ZnSO4 100 mg yaitu sebesar 75,225 %, kelompok 2 kadar ZnSO4 100,2 mg yaitu
sebesar 73,475 %, kelompok 3 kadar ZnSO4 100 mg yaitu sebesar 258,062 %, dan kelompok 4
kadar ZnSO4 100 mg yaitu sebesar 176,7 %. Sedangkan dalam Farmakope Indonesia kadar Zink
Sulfat tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 108,7 %.
Adapun ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dari praktikum mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya ketidaksterilan bahan dan alat yang digunakan, kesalahan dalam menentukan titik
akhir titrasi, dan bahan yang digunakan sudah tersimpan cukup lama.

3.2 Argentometri
3.2.1 Tabel Pengamatan

Sampel Indikator Volume Titrasi Keterangan

AgNO3 K2CrO4 12,2 ml Warna berubah menjadi

merah bata

Tabel 1.1

Reaksi yang terjadi:

2AgNO3 + K2CrO4 → Ag2CrO4- + 2KNO3

10
3.2.2 Pembahasan
Argentometri merupakan analisis volimetri berdasarkan atau reaksi pengendapan dengan
menggunakan larutan standar argentum. Atau dapat diartikan sebagai cara pengendapan kadar ion
halida atau kadar Ag+ itu sendiri dari reaksi terbentuknya endapan dan zat uji dengan titran AgNO3.
Tujuan dari percobaan ini yaitu membuat larutan AgNO3 dengan NaCl,dan penetapan klorida
dalam sampel garam dapur. Latutan perak nitrat harus dilindungi dari cahaya matahari, dan paling
baik disimpan dalam botol coklat. Hal ini dikarenakan perak nitrat mudah terurai atau terdekomposisi
oleh cahaya.
AgNO3(aq) → Ag2O(s) + HNO3(aq)
Sebelum menentukan kadar NaCl,terlebih dahulu dilakukan standarisasi larutan AgNO3 dengan
HaCl, untuk memastikan keakuratan normalitas dari AgNO3. Metode yang digunakan pada
standarisasi AgNO3 dengan HaCl adalah metode mohr dengan indikator K2CrO4. Penambahan
indikator ini akan menjadikan warna larutan menjadi kuning. Titrasi dilakukan hingga mencapai titik
ekuivalen. Titik ekuivalen ditandai dengan berubahnya warna larutan menjadi merah bata dan
munculnya endapan putih secara permanen. AgNo3 dan NaCl pada awalnya masing masing
merupakan larutan yang jernih dan tidak berwarna. Tetapi pada saat NaCl di tambahkan indikator
K2CrO4 warnanya berubah menjadi kuning mengikuti, warna K2CrO4 yang merupakan indikator
(Day,1998).
Reaksi yang terjadi:
NaCl+K2CrO4 → KcL+NaCrO4
Ketika NaCl sudah bereaksi dengan AgNo3 sementara jumlah AgNo3 Masih ada maka AgNo3 dengan
indikator K2CrO4 membentuk endapan AgCrO4 yang berwarna merah bata. Ketika endapan merah
bata membentuk menunjukkan bahwa titik akhir titrasi telah tercapai (Khopkar SM,2007).
Reaksi yang terjadi :
AgNo3+K2CrO4 → Ag2CrO4+2KNo3
Hal tersebut sesuai dengan percobaan yang telah di lakukan karena setelah melakukan titrasi
larutan menjadi merah bata dan terdapat endapan putih.di saat inilah AgNo3 tepat habis bereaksi
dangan NaCl keadaan tersebut dinamakan titik ekuivalen (Polling Cc, 1982).

11
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Argentometri

4.1.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Larutan standar yang digunakan yaitu AgNo3

2. Metode yang di gunakan untuk menitrasi ion halida seperti NaCl sebagai titran dan

K2CrO4 sebagai indikator.

3. 33. Ketika endapan merah berbentuk berarti menunjukkan titik akhir titrasi telah tercapai.

4.1.2 Saran

1. Berhati-hati dalam mengukur volume zat,sangat diperlukan ketelitian.

2. Teliti dengan titrasi dan mengamati perubahan warna yang terjadi.

4.2 Kompleksometri

4.2.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah persen kadar yang

diperoleh dengan menggunakan sampel Zink sulfat yang dititrasi menggunakan EDTA yaitu

75,225 %, 73,475 %, 258,062 %, dan 176,7 % sedangkan berdasarkan literatur Zink Sulfat

mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 108,7 %.

4.2.2 Saran

Sebaiknya bahan-bahan yang sudah tersimpan lama tidak usah digunakan lagi agar tidak

terjadi kesalah pada saat praktikum.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/19160857/Laporan_Praktikum_Kimia_Analisis_Kompleksometri
https://www.academia.edu/19160857/Laporan_Praktikum_Kimia_Analisis_Kompleksometri
http://dedeaeoksk.blogspot.com/2015/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
https://ikhameidyta21.blogspot.com/2017/06/laporan-titrasi-argentometri.html?m=1

13

Anda mungkin juga menyukai