Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PEMICU 1

MODUL PENYAKIT ENDEMIK

DISUSUN OLEH:
DISKUSI KELOMPOK 2

Ghina Tsamara I1011161011


Rosy Yohana I1011161017
Hesty Ratna Pratiwi I1011161023
Edi Kurniadi I1011161036
Ajeng Trinanda I1011161041
Saskya Maulidya Astari I1011161052
Dede Apreli I1011161062
Anggini Putri I1011161064
Solideo Gloria Tering I1011161068
Vivi Yanthi I1011161069

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang perempuan, umur 35 tahun dating ke puskemas dengan keluhan
utama demam. Demam terjadi terutama pada malam hari dan pada saat demam
dirasakan ada bengkak di daerah lipatan paha dan ketiaknya. Pasien sering
mengalami demam dan demam sering dirasakan setelah bekerja berat di sawah.
Demam dan bengkak disertai rasa nyeri yang dirasakan selama 3-5 hari. Pada saat
serangan sering pasien tidak dapat bekerja selama beberapa hari. Menurut pasien
serangannya hilang timbul dan terjadi beberapa kali dalam setahun. Pasien sering
minum obat demam dan penghilang rasa nyeri, sembuh tetapi sering berulang.
Pasien juga pernah batuk dan sesak nafas di malam hari dengan mengeluarkan
dahak kental. Pasien adalah seorang petani yang tinggal di desa Selat Remis
Kabupaten Kubu Raya.
1.2 Klarifikasi dan definisi
 -
1.3 Kata kunci
 Perempuan 35 tahun
 Demam
 Bengkak pada ketiak dan lipatan paha
 Seorang petani
 Tinggal di Kab.Kubu Raya
 Bengkak dan nyeri
 Pasien tidak dapat bekerja
 Serangan hilang timbul salaam 1 tahun
 Riwayat batuk dan sesak nafas di malam hari
 Riwayat konsumsi obat demam dan penghilang rasa nyeri
1.4 Rumusah Masalah
Perempuan 35 tahun seorang petani yang tinggal di Kab. Kubu Raya mengeluh
bengkak pada lipatan paha dan ketiak, demam disrtai nyeri serta ada riwayat
batuk dan sesak napas di malam hari dan mengeluarkan sesak napas

2
1.5 Analisis masalah
Riwayat penyakit : - Petani
batuk, sesak nafas dan - Tinggal di Kab.
Perempuan 35 tahun
keluar dahak kental
Kubu Raya
pada malam hari

- Terjadi pada malam hari


- Hilang timbul
- Dirasakan selama 3-5 hari Demam Diperberat saat
- Terjadi beberapa kali kerja
dalam setahun
Bengkak di lipatan
paha dan ketiak

DD : - Filariasis
- Limfadenitis TB

Penyakit endemic
Kalbar

Penanganan dan
tatalaksana

1.6 Hipotesis
Perempuan 35 tahun mengalami filariasis.
1.7 Pertanyaan Diskusi
2.1.Jelaskan mengenai :
a. Wabah
b. Epedemi
c. Pandemi
d. Endemi
2.2.Penyakit endemi di Kalbar
2.3.filariasis
a. Definisi
b. Epidemiologi di kalbar
c. Etiologi
d. Patofisiologi

3
e. Manifestasi klinis
f. Diagnosis
g. Tatalaksana
h. Pencegahan
i. Edukasi
j. Prognosis
k. Faktor risiko
l. Cara penularan
2.4.Limfadenitis TB
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Manifestasi klinis
f. Diagnosis
g. Tatalaksana
h. Prognosis
i. Cara penularan
2.5.Hubungan pekerjaan dengan kasus!
2.6.Mengapa demam, batuk dan sesak nafas serta mengeluarkan dahak kental
terjadi pada malam hari?
2.7.Mengapa serangan demam dan bengkak terjadi hilang timbul ?
2.8.Pengaruh letak geografis Kubu Raya dengan kasus?

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Jelaskan mengenai :
a. Wabah
Wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan
malapetaka.1
b. Epedemi
Epidemi merupakan suatu keadaan berjangkitnya suatu penyakit menular
dalam populasi pada suatu tempat yang melebihi perkiraan yang normal dalam
periode yang singkat. Bila penyakit tersebut selalu terdapat dalam suatu tempat
begitupun dengan faktor penyebabnya maka dikatakan endemik, kemudian bila
penyakit tersebut mempunyai ruang lingkup penyebaran yang sangat luas maka
disebut pandemik.2
c. Pandemi
Suatu pandemi (dari bahasa Yunani, pan - semua dan demos = rakyat) atau
epidemi/wabah global merupakan terjangkitnya penyakit menular pada banyak
orang dalam daerah geografi yang luas.3
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), suatu pandemi dikatakan terjadi
bila ketiga syarat berikut telah terpenuhi:3
a. Timbulnya penyakit yang merupakan hal baru pada suatu populasi
b. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit serius
c. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada
manusia.
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemi hanya
karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh, kelas penyakit yang dikenal
sebagai kanker menimbulkan angka kematian yang tinggi namun tidak digolongkan
sebagai pandemi karena tidak ditularkan.3
d. Endemi
Endemi (awalan en- berarti "dalam atau di dalam") adalah berlangsungnya
suatu penyakit pada tingkatan yang sama atau keberadaan suatu penyakit yang

5
terus-menerus di dalam populasi atau wilayah tertentu - prevalensi suatu penyakit
yang biasa berlangsung di satu wilayah atau kelompok tertentu.4
2.2. Penyakit endemi di Kalbar
a. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk. Penyebaran DBD secara pesat dikarenakan virus dengue
semakin mudah dan banyak menulari manusia. Selain itu juga didukung oleh : 1)
meningkatnya jumlah penduduk di dalam kota. 2) sikap dan pengetahuan
masyarakat tentang pencegahan penyakit yang masih kurang Pada tahun 2009
Kalimantan Barat ditetapkan sebagai daerah yang beresiko tinggi untuk kejadian
DBD. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kalimantan Barat pada tahun 2014
tercatat 2089 kasus DBD dengan korban meninggal 32 orang.5
b. Malaria
Kasus malaria di Kalimantan Barat dari tahun ketahun cenderung meningkat
dan pernah terjadi KLB malaria di Kecamatan Wajuk Kabupaten Pontianak pada
tahun 2009. Di Kabupaten Landak Kalimantan Barat malaria masih menjadi
permasalahan kesehatan masyarakat khususnya yang tinggal di daerah rawa-rawa
dan kawasan hutan. Tahun 2007 terdapat kasus malaria klinis 4.192 dan 641 malaria
positif, tahun 2008 malaria klinis 4.443 dan 670 malaria positif, tahun 2009 malaria
klinis 4.656 dan 698 malaria positif. Terjadinya penularan malaria sangat
dipengaruhi faktor manusia (individu) dan lingkungan. Faktor individu meliputi
pengetahuan, sikap, tingkat pendidikan, perilaku, pekerjaan dan kebiasan-
kebiasaan, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan sosial, fisik, dan
biologi (perilaku vektor malaria). Vektor malaria di Kalimantan Barat dilaporkan
An.,balabacensis, An.campestris, An.maculatus, dan An.nigerrimus.6
c. Filariasis
Penyakit menular ini bersifat menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing
filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfatik) dan dapat
menyebabkan gejala klinis akut maupun kronis yang penularannya melalui gigitan
berbagai jenis nyamuk. Salah satu gejala klinis yang paling jelas terlihat di

6
masyarakat adanya (limfedema stadium 1-7) yang dapat dipakai sebagai petunjuk
adanya penularan filariasis, karena pada stadium lanjut (kronis) dapat menimbulkan
cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki (seperti kaki gajah) dan
pembesaran bagian-bagian tubuh lain seperti lengan, kantong buah zakar, payudara
dan alat kelamin wanita. Penderita yang sudah cacat biasanya akan merasa rendah
diri dan mengasingkan diri dari masyarakat, selain itu mereka tidak dapat bekerja
dengan baik sehingga hidupnya sehari-hari tergantung kepada orang lain.7
Kalimantan Barat termasuk dalam sepuluh propinsi yang menjadi target
eliminasi filariasis tahun 2003/2004. Endemisitas filariasis (Elefantiasis) di
Kalimantan Barat dapat dilihat dari jumlah kasus 163, dan Mf-rate 4,5%. Dengan
hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun
2003 di 11 kabupaten/kota, terdapat 4 kabupaten yang dinyatakan mempunyai
penderita filariasis yaitu: Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sintang, Kabupaten
Ketapang dan Kabupaten Sambas.8
2.3. filariasis
a. Definisi
Penyakit filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta mengakibatkan
gejala akut, kronis dan ditularkanoleh berbagai jenis nyamuk.9
b. Epidemiologi di kalbar
Penderita filariasis yang ditangani di Kalbar pada tahun 2017 sebanyak 255
dengan kasus tertinggi di temukan pada kabupaten sambas sebanyak 62 kasus.10
Sebaran kasus filariasis yang ditangani berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada tebel 2.1.

7
Tabel 2.1 Penderita filariasis ditangani menurut jenis kelamin provinsi
Kalbar tahun 2017.

c. Etiologi
1. Hospes
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi
orang lain yang rentan. Biasanya pendatang ke daerah endemis lebih rentan
terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada
umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak
kesempatan untuk mendapat infeksi {exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata
pada laki-laki,karena pekerjaan fisik yang lebih berat.11
2. Hospes Reservoar
Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk
manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan
kera terutamajenis Presbytis ,meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.11
3. Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vector filariasis, tergantung
pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan di
tularkan oleh Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya air kotor dan

8
tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan dapat ditularkan oleh bermacam spesies
nyamuk di Irian Jaya W.bancrofti ditularkan terutama oleh An.farauti yang dapat
menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu
ditemukan juga sebagai vektor : An.Koliensis, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan
Ae.Kochi, W.bancrofti didaerah lain dapat dituiarkan oleh spesies lain, seperti
An.subpictus di daerah pantai NTT. Selain nyamuk Culex, Aides pernah juga
ditemukan sebagai vektor. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya
dituiarkan oleh berbagai spesies mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae,
Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra,
Kalimantan, Maluku dan lain-lain. B.malayi yang periodik dituiarkan oleh
An.Barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di
daerah Sulawesi. B.timori, spesies yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga
sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, ditularkan oleh
An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai
maupun di darah pedalaman.11
4. Agent
Filariasis disebabkan oleh cacing filarial pada manusia, yaitu (1) W.bancrofti;
(2) B.malayi; (3) B.timori', (4) Loa loa\ (5) Onchocerca volvulus', (6)
Acanthocheilonema perstants; (7) Mansonella azzardi. Yang terpenting ada tiga
spesies, yaitu W.bancrofti,B.malayi,dan B timori." Cacing ini habitatnya dalam
sistern peredaran darah, limpha, otot, jaringan ikat atau rongga serosa. Cacing
dewasa mempakan cacing yang langsing seperti benang berwarna putih
kekuningan, panjangnya 2 - 70 cm, cacing betma panjangnya lebihkurang dua kali
cacing jantan. Biasanya tidak mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana,
rongga mulut tidak nyata. Esofagus berbentuk seperti tabung, tanpa bulbus
esofagus, biasanya bagian anterior berotot sedangkan bagian posterior berkelenjar.
Filaria membutuhkan insekta sebagai vektor. Nyarnuk culex adalah vektor dari
penyakit filariasis Wbancrofti dan B.malayi. Jumlah spesies Anopheles, Aedes,
Culex, dan Mansonia cukup banyak, tetapi kebanyakan dari spesies tersebut tidak
penting sebagai vektor alami.11

9
d. Patofisiologi
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif
yang masuk ke dalam tubuh adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara
urnum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.
11

Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-
sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan
saluran dan kerusakan kelenjar, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan
saluran limfe kecil yang terdapat dikulit. Pada dasarnya perkembangan klinis
filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam
saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi
sistem limfatik:11
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan
hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan
edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan keretanan kulit
terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun
besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran
limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis)
oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak
dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
3. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent
acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut :
a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-
sama dengan bakteri Yaitu :
1) Limfangitis : peradangan di saluran limfe
2) Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe
3) Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe
4) Abses (lanjutan ADL)
5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat
kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis

10
b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah.
4. Kerusakan sistem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di
kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe
dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
Pada penderita limfedema serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan
menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi
peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang
timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap.11
e. Manifestasi klinis
Gejala klinis akut penyakit filariasis antara lain peradangan dan pembengkakan
pada saluran getah bening yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah, dan
timbulnya abses/bisul. Adapun gejala klinis kronis adalah terjadinya pembesaran
yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, dan alat kelamin
perempuan maupun laki-laki. Perbesaran organ tersebut dapat mencapai beberapa
kali dari ukuran biasa. Penderita filariasis akan menderita radang pada kulit dan
daerah pangkal paha. Selain itu, penderita filariasis dapat mengalami kliuria yaitu
pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal oleh cacing filarial dewasa
sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Pada kondisi ini
air kencing akan tampak seperti susu karena mengandung lemak dan terkadang
disertai darah.9
f. Diagnosis
Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan: 12
1. Diagnosis Parasitologi
a. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi
Knott, membran filtrasi.Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari
(setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya
nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing
dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang
dicurigai sebagai tumor.

11
b. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui
DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase
Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga
dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection.
2. Radiodiagnosis
a. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang
bergerakgerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh W.bancrofti.
b. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin
yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem
limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
3. Diagnosis Imunologi
Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang
menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen
W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi
aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi dengan
menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi
subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita
mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan
infeksi aktif. Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam
darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam
cairan hidrokel atau cairan kiluria.
g. Tatalaksana
1. Pengobatan
Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat (DEC). DEC
bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka
panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya obat yang efektif, aman,
dan relatif murah. Untuk filariasis bancrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg
berat badan per hari selam 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang
dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan per hari selam 10 hari. Efek samping dari
DEC ini adalah demam, mengigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah.

12
Pada pengobatan filariasis brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat.
Sehingga untuk pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu
pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama.23 Obat lain yang juga dipakai
adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan
makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat
ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan
dibanding DEC.13
2. Perawatan
Perawatan terhadap penderita filariasis dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut : 13
1. Istirahat di tempat, pindah ke daerah yang dingin akan mengurangi derajat
serangan akut.
2. Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan asbes.
3. 3.Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema
h. Pencegahan
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan cara yaitu:11
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara
penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
2. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam
nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan
ternpat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya.
3. Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan perubahan
konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian
lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine
citrate (DEC).
i. Edukasi
Edukasi dan promosi kesehatan pasien filariasis diatur dalam Program
Eliminasi Filariasis oleh WHO. Hal ini mencakup keikutsertaan setiap penduduk
kabupaten/kota endemis serentak minum obat untuk pencegahan, meskipun tidak
ada gejala/keluhan apapun. Pasien yang sudah menderita filariasis harus mengerti
pentingnya minum obat hingga tuntas dan pemeriksaan ulang setelah minum

13
anthelmintik menyatakan sudah tidak ada filariasis guna mencegah perkembangan
menjadi filariasis kronis.14
Apabila sudah terjadi limfedema hingga elephantiasis, pasien harus
mengetahui bagaimana merawat dan menjaga kebersihan kaki gajah tersebut.
Pasien dengan elephantiasis akan mengalami penurunan fungsi hidup,
kemungkinan dikucilkan, dan gangguan sosio-ekonomi. Edukasi juga perlu
dilakukan untuk keluarga/kerabat pasien untuk selalu memberikan dukungan
psikologis kepada pasien.14
j. Prognosis
Prognosis pada filariasis baik jika infeksi dikenali dan diobati sejak dini.
Penyakit filariasis jarang berakibat fatal, tetapi konsekuensi dari infeksi dapat
menyebabkan kesulitan dalam beraktivitas dan sosial ekonomi yang signifikan bagi
penderita.15
k. Faktor risiko
1. Faktor yang berperan dalam kejadian filariasis
Infeksi filariasis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dimasyarakat
merupakan interaksi dinamis antara faktor host (manusia), agent (virus) dan
environtment (lingkungan). Hubungan dari ketiga faktor diatas mempengaruhi
persebaran kasus filariasis dalam satu wilayah tertentu. Vektor penyebab filariasis
sangat bergantung pada iklim dan dari kondisi lokal, terutama suhu dan curah hujan
rendah.11
2. Faktor yang berperan terhadap endemisitas filariasis
a) Kepadatan vektor
Filariasis merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Oleh karena itu,
kepadatan nyamuk vektor filariasis merupakan faktor risiko tingginya penularan
filariasis.11
b) Perilaku nyamuk dan kebiasaan masyarakat
Vektor penyebab filariasis yaitu beberapa jenis nyamuk antara lain ada yang
senang berada di dalam rumah dan ada yang diluar rumah. Seperti nyamuk Cx.
quinquefasciatus beristirahat didalam rumah dan memilih tempat-tempat yang
gelap seperti perabotan rumah tangga yang berwarna gelap dan pakaian yang
digantung. Nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Aedes mempunyai kesenangan

14
berada di dalam rumah dan juga diluar rumah yang artinya setiap orang
(penduduk/anggota masyarakat)punya peluang yang sama untuk digigit nyamuk,
jika seandainya tidak dilakukan pengontrolan nyamuk di dalam rumah.11
Faktor risiko selanjutnya adalah faktor perilaku, sebagian masyarakat di
wilayahendemis biasa keluar rumah pada malam hari hanya untuk berkumpul
makan di luar ataupun memang berkegiatan mencari belalang di kebun atau kodok
disawah, dan juga sebagian penduduk lainnya menjaga tambak, tidak semua
masyarakat menggunakan repelen atau alat pelindung tubuh dan juga kebiasaan
tidak menggunkan kelambu saat tidur malam hari.11
Pada umumnya nyamuk vektor filariasis senang menggigit pada malam hari,
seperti nyamuk Anopheles, Culex dan Mansonia insiden filariasis pada laki-laki
lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan, umumnya laki-laki lebih
sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya dan kebiasaan untuk berada
diluar rumah sampai larut malam, seperti berbincang dengan tetangga dan nonton
tv bareng dengan tetangga hal tersebut menambah keterpaparan dengan vektor yang
bersifat eksofilik dan eksofagik akan mempermudah nyamuk melakukan gigitan.11
c) Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu yang mempengaruhi kepadatan vektor
filariasis. Lingkungan ideal bagi nyamuk dapat dijadikan tempat potensial untuk
perkembangbiakan dan peristirahatan nyamuk sehingga kepadatan nyamuk akan
meningkat. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan vektor filariasis
adalah lingkungan fisik,lingkungan biologik serta lingkungan sosial dan ekonomi.
Faktor lingkungan biologik meliputi tanaman air dan semak-semak, keberadaan
lingkungan biologik maupun fisik erat kaitannya denganbionomik vektor filariasis.
Faktor lingkungan yang mendukung keberadaan vektor filariasis menjadi faktor
risiko.11
d) Mobilitas penduduk
Mobilitas penduduk yang bepergian ke daerah endemis merupakan salah satu
faktor risiko filariasis.11

15
l. Cara penularan
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu adanya sumber
penular seperti manusia atau reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam
darahnya, adanya vektor penularan filariasis, dan manusia yang rentan filariasis.16
Seseorang dapat tertular filariasis apabila telah mendapatkan gigitan nyamuk
infektif yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 – L3). Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan
bergerak menuju ke sistem limfe. Penularan filaria tidak mudah dari satu orang ke
orang lain pada suatu wilayah tertentu, bahwa orang yang menderita filaria telah
digigit nyamuk ribuan kali.16
Larva L3 B.malayi dan B.timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun
waktu lebih dari 3,5 bulan, sedangkan W.bancrofti memerlukan waktu kurang lebih
9 bulan. Selain sulitnya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya
kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
microfilaria terlalu banyak dapat menyebabkan kematian, tapi jika mikrofilaria
yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah stadium larva L3 yang akan
ditularkan. 16
Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,
sehingga microfilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktu untuk
tumbuh menjadi larva infektif L3. Masa inkubasi ekstrinsik untuk W.bancrofti
antara 10-14 hari, sedangkan B.malayi dan B.timori antara 8-10 hari.16

16
Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis. 17
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya ketika
menggigit penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang
kemudian bergerak menembus perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot dada
nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I (L1).L1 kemudian berkembang hingga
menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12–14 hari.L3 kemudian bergerak menuju
probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut menggigit
manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah
tertular L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki
pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan
berkembangbiak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak.
Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh
limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk di suatu
lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki,
lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi
dan bakteri karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami
pembengkakan tersebut. 17

17
2.4.Limfadenitis TB
a. Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening.
Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis.18
b. Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency. Jumlah kasus terbanyak di Asia Tenggara (35%),
Afrika (30%) dan Pasifik Barat (20%). Meskipun TB pulmoner adalah yang paling
banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu masalah klinis yang penting.
Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi di luar paru-
paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15–20% dari
semua kasus TB, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari
semua TB).19
c. Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5.
M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan
perbedaan epidemiologi.20
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M.tuberculosis mudah mengikat pewarna
ZiehlNeelsen atau karbol fuksin.20

18
d. Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi
pada anakanak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-
primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada
orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang
dewasa.20
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil
tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
meningens, peritoneum, dan perikardium.20
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis.20 Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil
TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil
TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan
hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar
limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4
minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam
makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon
bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan
kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting.
Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler
yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat
bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit.21

19
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler
akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai
dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil
TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju
kelenjar limfe lalu ke semua organ.21 Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim
paru.22
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di
leher.21
e. Manifestasi klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis
banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan.22
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis. Berdasarkan
penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu:
63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada
kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada
lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif
maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena,
diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.22

20
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang
secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di
regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular.22
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih
dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik. Terdapat riwayat kontak
terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1%
pasien.22
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2009) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:22
1. Stadium 1 pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar
oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar
limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri,
(ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV.22
f. Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi,
dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak klinisi
meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum
halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan
sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat
dibuat berdasarkan biopsi dan kultur. Juga penting untuk membedakan infeksi
mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB:23
a. Pemeriksaan mikrobiologi

21
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen
untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen,
diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif. Kultur juga
dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya
10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif
hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani,
Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk
mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah
penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis.23
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan
adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada
seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD).
Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif
apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm,
negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm.23
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi
aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan
biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99%.
CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar
limfe intratoraks dan intraabdominal. Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat
Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan
dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau
Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Lubis, bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat
digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid
dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak
gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis
apabila dikultur. 23

22
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten
dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus. USG kelenjar dapat
menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik
yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan
untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan
oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan
internal echoes (Khanna, 2011). Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi
dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta
nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi
inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens.
Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan
sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya
dengan kelenjar metastatis.23
g. Tatalaksana
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan
limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah
2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
dan Etambutol (table 2.2).24

23
Tabel 1. Golongan Obat Anti Tuberkulosis

h. Prognosis
Prognosis tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup
sehat serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini
maka prognosis baik.22
i. Cara penularan
Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet nuclei
dengan diameter 3-5 µm (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga (jarang)
melalui kontak langsung kulit/ luka/ lecet, dan kongenital, minum susu
terkontaminasi basil (M. bovis). Basil tetap hidup dan virulen dalam keadaan kering
beberapa minggu, mati dalam cairan dengan suhu 60oC selama 15-20 menit. Basil
tidak membentuk toksin. Penularan pada umumnya berasal dari TB dewasa dengan
BTA (+). Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB yaitu:23,25
- Dosis/ jumlah paparan
- Konsentrasi kuman di udara
- Virulensi kuman
- Durasi/ lama pajanan
- Keadaan imunitas host
2.5. Hubungan pekerjaan dengan kasus!
Jenis pekerjaan mempunyai hubungan terhadap kejadian filariasis seperti
sebagai petani, nelayan dan buruh sering melakukan aktivitas diluar rumah pada
malam hari sehingga membuka kemungkinan untuk mendapatkan kontak secara
langsung dengan nyamuk sebagai vektor penular filariasis. Hal ini berkaitan dengan
seseorang yang bermalam dikebun yang menyebabkan sering digigit oleh nyamuk,

24
mengingat mereka yang bermalam dikebun hanya menggunakan peralatan
seadanya. Hal ini diyakini dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kontak antara
responden dengan nyamuk vektor penular filariasis.26
2.6. Mengapa demam, batuk dan sesak nafas serta mengeluarkan dahak
kental terjadi pada malam hari?
Karena pada penyakit filariasis, cacing betina akan mengeluarkan mikrofilaria
yang bersarung. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah
tepi pada waktu tertentu saja yang mempunyai periodisitas. Pada umumnya,
Microfilaria Wucheria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria
hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari,
mikrofilaria terdapat di kapiler dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya.
Sehingga gejala seperti demam, sesak dan batuk hingga mengeluarkan dahak
sering timbul pada malam hari.27
2.7. Mengapa serangan demam dan bengkak terjadi hilang timbul ?
Demam, nyeri, dan bengkak merupakan manifestasi peradangan yang terjadi
dikarenakan invasi parasit yang memasuki sirkulasi darah. Antigen parasit cacing
dewasa dapat mengaktifkan sel T, sehingga sel T dapat melepaskan sitokinin yang
selanjutnya menstimuli sumsum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang dapat
meningkatkan mediator proinflamatori. Sitokinin juga akan merangsang
meningkatkan produksi Immunoglobulin E (Ig E). Ig E yang terbentuk berikatan
dengan parasit dan melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam dan
nyeri.28
Invasi parasit yang memasuki sirkulasi, lalu menuju pembuluh limfa dan nodus
limfa. Kerusakan pada pembuluh limfa dapat disebabkan oleh cacing dewasa
ataupun oleh respons imun terhadap cacing dewasa yang hidup didalamnya,
kemudian menginduksi terjadinya proliferasi sel endotel dan dilatasi limfatik.
Respons imun terhadap cacing dewasa dapat menyebabkan granuloma
inflamatorik. Kedua respons ini menyebabkan terjadinya obstruksi limfatik dan
pada akhirnya terjadilah bengkak atau kaki gajah.28
Gejala fisik nyeri, demam dan bengkak banyak diungkapkan oleh para ahli dan
peneliti, diantaranya yang diungkapkan oleh Widoyono28 bahwa gejala timbul
akibat manifestasi kronik penyakit. Pada fase akut bersifat tidak khas, yaitu demam

25
berulang-ulang, kemudian gejala lebih sering apabila partisipan bekerja terlalu
berat, dapat timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipat paha atau ketiak dengan
tidak ada luka di badan. Selanjutnya menurut Marty29 lymphedema biasanya terjadi
setelah serangan akut berulang kali. Keterbatasan aktivitas dapat diakibatkan
karena adanya perasaan nyeri yang tidak dapat ditolelir dan karena ektremitas yang
membesar sehingga menimbulkan perasan berat, susah menggerakkan anggota
tubuh yang akan mengurangi kemampuan untuk melakukan aktivitas.
Serangan berulang pada partisipan terjadi karena kecapekan atau setelah
bekerja berat. Terjadi karena dengan kecapean atau kerja berat dapat meningkatkan
respons imun, yang dapat meningkatkan pelepasan mediator inflamasi sehingga
gejala nyeri dan demam sering terjadi berulang kali. Faktor pencetus kambuhnya
gejala filariasis sesuai dengan yang dikemukakan oleh Widoyono28 bahwa gejala
lebih sering bila penderita bekerja terlalu berat.
2.8. Pengaruh letak geografis Kubu Raya dengan kasus?
Hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kalimantan Barat,
menunjukan Kabupaten Kubu Raya menduduki pringkat ke 2 dari 7 Kabupaten
yang ada yakni 45 kasus dengan Mf Rate 11,7%. Berdasarkan survei darah jari yang
dilakukan oleh Dinkes Kabupaten Kubu Raya tahun 2011 ditemukan 1 kasus
penderita filariasis di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Kerawang. Kemudian
terjadi peningkatan kasus yang cukup signifikan pada tahun 2013 yaitu sebesar 24
kasus dengan Mf Rate 9,6%. Mf >1% merupakan indikator suatu kabupaten/kota
menjadi daerah endemis filariasis.30
Lingkungan dapat diklarifikasikan dalam empat komponen yaitu : 1)
lingkungan fisik meliputi kondisi rumahan, udara, musim, cuaca, dan kondisi
geografis serta geologinya, 2) lingkungan biologi dapat berperan sebagai hewan,
tumbuh-tumbuhan, dan mikroorganisme sapropit sebagai agent, reservoir, maupun
vektor dari suatu penyakit, 3 dan 4) lingkungan sosial budaya sangat mempengaruhi
status kesehatan fisik dan mental baik secara individu maupun kelompok
dikarenakan nilai-nilai sosial yang berlaku di daerah setempat. Pengaruh
lingkungan terhadap kesehatan manusia sangat besar pengaruhnya salah satunya
adalah Penyakit filariasis.30

26
Kondisi fisik rumah berkaitan dengan dinding, langit-langit, ventilasi rumah
yang menjadi tempat keluar masuk dan peristirahatan nyamuk. Rumah atau tempat
tinggal yang buruk/kumuh dapat mendukung terjadinya penularan penyakit atau
gangguan kesehatan salah satu diantaranya ditularkan oleh arthropoda contohnya
penyakit filariasis. Lingkungan sosial besar sekali pengaruhnya dibandingkan
dengan faktor lingkungan yang lain. Kebiasaan tidak menggunakan kelambu, anti
nyamuk dan kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam dimana
vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah gigitan
nyamuk.31

27
BAB III
KESIMPULAN
Perempuan 36 tahun suspect filariasis dan dibutuhkan pemeriksaan penunjang.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah


Penyakit Menular.
2. Sumber: Sinuhaji F. Model Epidemi SIRS dengan Time Delay. Jurnal
Curere. Oktober 2018;2(2):166.
3. Kirch W. Encyclopedia of public health 2 Vol, Volume 1. New York:
Springer Science Bussiness Media, LLC; 2008
4. Nangi G.M. Yanti F. Lestari S.A. Dasar Epidemiologi. Jogjakarta:
Deepublish, 2019
5. Kemenkes RI. Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968-2009.
Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Agustus 2010.
6. Dinas Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010, Data P2-PL Malaria, Dinas
kesehatan Provinsi Kalimantan barat, Pontianak.
7. Dinkes Propinsi Kalimantan Barat. Laporan Tahunan tahun 2010.
Pontianak: Dinkes Prop Kalbar; 2010
8. Depkes RI. Desaku Bebas Penyakit Kaki Gajah (filariasis). Jakarta: Ditjen
PPM dan PLP; 2002
9. Arsin, AA. Epidemiologi filariasis di Indonesia. Makassar :Masagena Press
Makassar.2016
10. Profil kesehatan provinsi Kalimantan Barat tahun 2017. Dinkes Kalbar,
2018.
11. Masrizal. Penyakit Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012;7(1):32-
38
12. Pulungan, ES. Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku
Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat
Kabupaten Labuhan Batu Selatan tahun 2012. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2012
13. Filariasis. 2011. [online]. Dari www.itokindo.org [26 November 2019]
14. World Health Organization. Morbidity management and disability
prevention in lymphatic filariasis. WHO SEARO. 2013.

29
15. Kadir SMU, Jahan F, Quadir, Rahman MT. Filariasis of the eyelid
subcutaneous manifestation in Bangladesh. Indian Journal of Clinical and
Experimental Ophtalmology. 2015.
16. Kemenkes RI Nomor 1582. MENKES/SK/IX/2005: Pedoman
Penanggulangan Filariasis (Penyakit Kaki Gajah). 2014.
17. Depkes RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. Jakarta:
Ditjen PP dan PL Depkes RI. 2009.
18. Ioachim ML, Medeiros L J. Ioachim’s Lymph Node Pathology. 4th Edition.
Philadelphia: Lip pincott Williams & Wilkins. 2009: 130-134.
19. Sari, IY, Kusmiati T. TB MDR dengan limfadenitis TB pada wanita
SLE.Jurnal Respirasi.2015 ; 1(3) : 81-87
20. Raviglione, Mario.C., & O’Brien, Richard.J. Tuberculosis. In: Loscalzo,
Joseph, et al., ed Harisson’s Pulmonary and Critical Medicine. New York:
Mc Graw Hill Medical, 2010; 115-138
21. Datta, BN. Textbook of Pathology. 2 th Edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers Ltd; 2004. 239-246.
22. Mohapatra PR, Janmeja AK. Tuberculous Lymphadenitis. JAPI; 2009. 57:
585-90.
23. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam
Physician. 2012;66:2103-10.
24. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Geneva : World
Health Organization. 2013.
25. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam
Physician. 2013;58:1315.
26. Salim MF, dkk. Zona Kerentanan Filariasis berdasarkan Faktor Risiko
dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis. Journal of Information
Systems for Public Health. 2016;1(1):16-24.
27. INFODATIN. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Filariasis. 2018.
28. Widoyono. Penyakit tropis: Epidemiologi, penularan, pencegahan &
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga; 2008.

30
29. Marty AM. Dermatologic manifestations of filariasis. 2011. [Internet]
Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article
30. Saepudin, Malik. Epidemiologi kesehatan lingkungan, pontianak: STAIN
Pontianak Press; 2004.
31. Ardias, Setiani O, Hanani Y. Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku
Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten
Sambas. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol 11 (2). 2012.

31

Anda mungkin juga menyukai