Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN TYPHOID

OLEH :

1. LUH MADE SRI ARISTAWATI


2. MADE DIAN KUMARAWATI
3. LUH GEDE WIDYA PUTRI LESTARI
4. LUH PUTU ARTHA SUCI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang hyang Widhi Wasa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata ajar
Sistem Penceraan ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas makalah mata ajar sistem Pencernaan.
Dalam penyusunan makalah ini, kelompok mengalami beberapa kesulitan, namun
berkat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kelompok berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi profesi keperawatan.

Denpasar, 2018

Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Demam Thypoid merupakan salah satu jenis penyakit gangguan pada system
pencernaan yang dapat mengganggu mekanisme system pencernaan. Demam Thypoid dapat
disebabkan oleh bakteri salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu
Salmonella paratyphi. Demam typhoid ditularkan atau ditransmisikan kebanyakan melalui
jalur fecal-oral. Penyebaran demam typhoid dari orang ke orang sering terjadi pada
lingkungan yang tidak higienis dan pada lingkungan dengan jumlah penduduk yang padat, hal
ini dikarenakan pola penyebaran kuman S.typhi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi biasanya melalui feses penderita.
Demam thypoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemis di Asia, Afrika,
Amerika latin, Karibia, Oceania dan jarang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut
data WHO, terdapat 16 juta hingga 30 juta kasus thypoid di seluruh dunia dan diperkirakan
sekitar 500,000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. Asia menempati urutan
tertinggi pada kasus thypoid ini, dan terdapat 13 juta kasus dengan 400,000 kematian setiap
tahunnya.
Kasus thypoid diderita oleh anak-anak sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan angka
kematian 20.000 per tahunnya. Di Indonesia, 14% demam enteris disebabkan oleh Salmonella
Parathypi A. Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah,
cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah
tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak,
namun tidak menutup kemungkinan untuk orang dewasa. Penyebabnya adalah kuman
sallmonela thypi atau sallmonela paratypi A, B dan C.
Penyakit typhus abdominallis sangat cepat penularanya yaitu melalui kontak dengan
seseorang yang menderita penyakit typhus, kurangnya kebersihan pada minuman dan
makanan, susu dan tempat susu yang kurang kebersihannya menjadi tempat untuk pembiakan
bakteri salmonella, pembuangan kotoran yang tak memenuhi syarat dan kondisi saniter yang
tidak sehat menjadi faktor terbesar dalam penyebaran penyakit typhus
Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal dengan nama thypus, tetapi didalam dunia
kedokteran disebut dengan Tyfoid fever atau thypus abdominalis, karena pada umumnya
kuman menyerang usus, maka usus bisa jadi luka dan menyebabkan pendarahan serta bisa
mengakibatkan kebocoran usus.
Untuk itu kami menyusun makalah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan pada
Anak dengan Demam Tifoid” dengan tujuan agar mahasiswa memahami dan mengetahui
asuhan keperawatan pada klien dengan demam tifoid.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah
yang penulis angkat adalah :
1. Bagaimanakah konsep penyakit dari demam thypoid ?
2. Bagaimanakah proses asuhan keperawatan pada pasien dengan demam thypoid ?

C. TUJUAN PENULISAN
a. Tujuan Umum
Agar penulis mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan demam thypoid,
sehingga mampu mencapai hasil yang terbaik dalam mengatasi masalah pada pasien
dengan demam thypoid.
b. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian demam thypoid
b. Untuk mengetahui etiologi demam thypoid
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis demam thypoid
d. Untuk mengetahui patofisiologi demam thypoid
e. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang demam thypoid
f.Untuk mengetahui penatalaksanaan demam thypoid
g. Untuk mengetahui komplikasi demam thypoid
h. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien demam thypoid

D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengambil
makna dari konsep penyakit demam thypoid sehingga dapat dijadikan referensi dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas pada pasien dengan demam thypoid.

BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. PENGERTIAN
Demam thypoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum (Soegijanto, 2002).
Thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan
gangguan kesadaran ( Nursalam dkk, 2005).
Thypoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi
oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare.
2002).Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009).

2. ETIOLOGI
a. 96 % disebabkan oleh salmonella typhi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam antigen, yaitu :
1) Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
2) Antigen (flagella)
3) Antigen VI dan protein membran hialin
b. Salmonella paratyphi A
c. Salmonella paratyphi B
d. Salmonella paratyphi C
e. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus
Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37˚C dan mati
pada suhu 54,4˚C (Simanjuntak, C. H, 2009).

3. MANIFESTASI KLINIS
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan
dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan
kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi dan suhu badan meningkat (39-41˚C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas
berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi
selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan
bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama
atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung
kuman salmonella.
Berikut gejala Klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus–kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
1) Minggu I
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
pada umumnya , yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
2) Minggu II
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia
relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
3) Minggu III
Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur – angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah. Lidah
ditutupi selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang
ditemui tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan
limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi akan
tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis
sampai samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah. Disamping gejala–gejala yang
biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan bintik – bintik kemerahan karena emboli basil dalam
kapiler kulit.Biasanya dtemukan alam minggu pertama demam kadang – kadang
ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari
penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites
dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering
dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama
terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan
pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi, 2006).
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasiantara 3-60 hari)
bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selamamasa inkubasi penderita tetap
dalam keadaan asimtomatis (Soegijanto. S, 2002).

4. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri
yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan
antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar,
akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di
usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang
melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai
folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella
typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe,
kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan
oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang
disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik
secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran
endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel
limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk, 2012).

5. PATHWAY
Kuman Salmonela typhi Lolos dari asam lambung
yang masuk ke saluran Malaise, perasaan tidak enak
gastrointestinal Bakteri masuk usus halus badan, nyeri abdomen

Pembuluh limfe Inflamasi Komplikasi intestinal : perdarahan


Perdarahan usus, perforasi usus
Peredaran darah Masuk retikulo endothelial (bag.distal ileum), peritonutis
(bakteremia primer) (RES) terutama hati dan limfa

Inflamasi pada hati dan Empedu Masuk ke aliran darah


limfa (bakteremia sekunder)
Rongga usus pada kel.
Pembesaran limfa Limfoid halus Endotoksin

Splenomegali Terjadi kerusakan sel

Merangsang melepas zat


Epirogen oleh leukosit

Penurunan mobilitas usus Mempengaruhi pusat


thermoregulator di hipotalamus
Lase plak peyer Penurunan peristaltik usus
Ketidakefektifan
termoregulasi
Erosi

Konstipasi Peningkatan asam lambung

Nyeri akut
Anoreksia mual muntah

Ketidakseimbangan
Resiko kekurangan
volume cairan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

(Nanda NIC NOC, 2015).


6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Di dalam beberapa
literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif
tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus
demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa
demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan
darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella
thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
a) Faktor yang berhubungan dengan klien :
(1)Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
(2)Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5
atau ke-6.
(3)Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam
typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia,
leukemia dan karsinoma lanjut.
(4)Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.
(5)Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
(6)Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau
tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-
lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
(7)Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini
dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang
rendah.
(8)Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap
salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada
seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
b) Faktor-faktor Teknis
(1)Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan
H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan
reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
(2)Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
(3)Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain (Widodo. D, 2007).

7. PENATALAKSAAN
a. Medis
1) Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
a) Klorampenicol
b) Amoxicilin
c) Kotrimoxasol
d) Ceftriaxon
e) Cefixim
2) Antipiretik (Menurunkan panas) :
a) Paracetamol
b. Perawatan
1) Observasi dan pengobatan
2) Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih
dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perforasi usus.
3) Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien
4) Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubahss pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
5) Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
c. Diet
1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
4) Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
(Smeltzer & Bare, 2002).
8. KOMPLIKASI
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi ekstra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
3) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
4) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
5) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
6) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer.
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam
tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya
didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut
jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali
sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis,
endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes
normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita
hemoglobinopati (Widodo. D, 2007).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata Klien dan penanggung jawab
Berisikan nama, usia, jenis kelamin, agama, alamat
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Biasanya klien dirawat di rumah sakit dengan keluhan sakit kepala, demam, nyeri dan
pusing
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengeluh kepala terasa sakit, demam,nyeri dan pusing, berat badan
berkurang, klien mengalami mual, muntah dan anoreksia, klien merasa sakit diperut
dan diare, klien mengeluh nyeri otot.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit lain/pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama (penularan).
c. Pemeriksaan Fisik
1) Pengkajian umum
a) Tingkat kesadaran : composmentis, apatis, somnolen,supor, dan koma
b) Keadaan umum : sakit ringan, sedang, berat
c) Tanda-tanda vital, normalnya:
Tekanan darah : 95 mmHg
Nadi : 60-120 x/menit
Suhu : 34,7 - 37,3 0C
Pernapasan : 15-26 x/menit
2) Pengkajian sistem tubuh
a) Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
b) Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji
kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada indera.
c) Pemeriksaan dada
(1)Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor, timpani)
(2)Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
d) Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
e) Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu.
d. Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan ( bila anak-anak)
1) Riwayat prenatal : ibu terinfeksi TORCH selama hamil, preeklamsi, BB ibu tidak
naik, pemantauan kehamilan secara berkala. Kehamilan dengan resiko yang tidak
dipantau secara berkala dapat mengganggu tumbang anak
2) Riwayat kelahiran : cara melahirkan anak, keadaan anak saat lahir, partus lamadan
anak yang lahir dengan bantuan alat/ forcep dapat mengganggu tumbang anak
3) Pertumbuhan fisik : BB (1,8-2,7kg), TB (BB/TB, BB/U, TB/U), lingkar kepala (49-
50cm), LILA, lingkar dada, lingkar dada > dari lingkar kepala,
4) Pemeriksaan fisik : bentuk tubuh, keadaan jaringan otot (cubitan tebal untuk pada
lengan atas, pantat dan paha mengetahui lemak subkutan), keadaan lemak (cubitan
tipis pada kulit dibawah tricep dan subskapular), tebal/ tipis dan mudah / tidak
akarnya dicabut, gigi (14- 16 biji), ada tidaknya udem, anemia dan gangguan lainnya.
5) Perkembangan : melakukan aktivitas secara mandiri (berpakaian) , kemampuan anak
berlari dengan seimbang, menangkap benda tanpa jatuh, memanjat, melompat,
menaiki tangga, menendang bola dengan seimbang, egosentris dan menggunakan
kata ” Saya”, menggambar lingkaran, mengerti dengan kata kata, bertanya,
mengungkapkan kebutuhan dan keinginan, menyusun jembatan dengan kotak –
kotak.
6) Riwayat imunisasi
e. Riwayat sosial: bagaimana klien berhubungan dengan orang lain.
f. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
Yang perlu dikaji adalah bagaimana pola sehat – sejahtera yang dirasakan,
pengetahuan tentang gaya hidup dan berhubungan dengan sehat, pengetahuan
tentang praktik kesehatan preventif, ketaatan pada ketentuan media dan keperawatan.
Biasanya anak-anak belum mengerti tentang manajemen kesehatan, sehingga perlu
perhatian dari orang tuanya.
2) Pola nutrisi metabolik
Yang perlu dikaji adalah pola makan biasa dan masukan cairan klien, tipe makanan
dan cairan, peningkatan / penurunan berat badan, nafsu makan, pilihan makan.
3) Pola eliminasi
Yang perlu dikaji adalah pola defekasi klien, berkemih, penggunaan alat bantu,
penggunaan obat-obatan.
4) Pola aktivas latihan
Yang perlu dikaji adalah pola aktivitas klien, latihan dan rekreasi, kemampuan untuk
mengusahakan aktivitas sehari-hari (merawat diri, bekerja), dan respon
kardiovaskuler serta pernapasan saat melakukan aktivitas.
5) Pola istirahat tidur
Yang perlu dikaji adalah bagaimana pola tidur klien selama 24 jam, bagaimana
kualitas dan kuantitas tidur klien, apa ada gangguan tidur dan penggunaan obat-
obatan untuk mengatasi gangguan tidur.
6) Pola kognitif persepsi
Yang perlu dikaji adalah fungsi indra klien dan kemampuan persepsi klien.
7) Pola persepsi diri dan konsep diri
Yang perlu dikaji adalah bagaimana sikap klien mengenai dirinya, persepsi klien
tentang kemampuannya, pola emosional, citra diri, identitas diri, ideal diri, harga diri
dan peran diri. Biasanya anak akan mengalami gangguan emosional seperti takut,
cemas karena dirawat di RS.
8) Pola peran hubungan
Kaji kemampuan klien dalam berhubungan dengan orang lain. Bagaimana
kemampuan dalam menjalankan perannya.
9) Pola reproduksi dan seksualitas
Kaji adakah efek penyakit terhadap seksualitas anak.

10) Pola koping dan toleransi stress


Yang perlu dikaji adalah bagaimana kemampuan klien dalam manghadapai stress dan
adanya sumber pendukung. Anak belum mampu untuk mengatasi stress, sehingga
sangat dibutuhkan peran dari keluarga terutama orang tua untuk selalu mendukung
anak.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana kepercayaan klien. Biasanya anak-anak belum terlalu mengerti
tentang kepercayaan yang dianut. Anak-anak hanya mengikuti dari orang tua.

2. Diagnosa Keperawatan (Nanda Internasional)


a. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu lingkungan, proses
penyakit.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan intake yang tidak
adekuat
d. Ketidakefektifan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake tidak
adekuat
e. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinal (penurunan
motilitas usus)

3. Intervensi Keperawatan (Nanda NIC NOC)


No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan NOC NIC
termoregulasi a. Hidration 1. Monitor suhu minimal tiap
b. Risk control 2 jam
2. Monitor warna dan suhu
c. Risk detektion
kulit
Kriteria Hasil:
3. Monitor tanda – tanda
a. Keseimbangan antara
hipertermia dan
produksi panas, panas
hypotermia
yang diterima, dan 4. Tingkatkan intake cairan
kehilangan panas dan nutrisi
b. Temperatur stabil : 36, 5. Selimuti pasien untuk
5 – 37, 5˚C mencegah hulangnya
c. Pengendalian resiko
kehangatan tubuh
hipertermia 6. Ajarkan indikasi dari
d. Pengendalian resiko
hipotermia dan penanganan
hypotermia
yang diperlukan
7. Berikan antipiretik bila
perlu
2. Nyeri akut NOC NIC
a. Pain level 1. Lakukan pengkajian nyeri
b. Pain control secara komprehensif
c. Comfort level termasuk lokasi,
Kriteria Hasil: karakteristik, durasi,
a. Mampu mengontrol frekuensi, kualitas, dan
nyeri (tahu penyebab faktor predisposisi
2. Observasi reaksi
nyeri, mampu
nonverbal dari
menggunakan teknik
ketidaknyamanan
nonfarmakologi untuk
3. Kontrol lingkungan yang
mengurangi nyeri,
dapat mempengaruhi nyeri
mencari bantuan).
seperti suhu ruangan,
b. Melaporkan bahwa nyeri
pencahayaan dan
berkurang dengan
kebisingan
menggunakan
4. Kurangi faktor presipitasi
manajemen nyeri
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
5. Berikan analgetik untuk
(skala, intensitas,
mengurangi nyeri
frekuensi dan tanda 6. Tingkatkan istirahat
7. Monitor penerimaan
nyeri)
d. Menyatakan rasa pasien tentang manajemen
nyaman setelah nyeri nyeri
berkurang
3. Resiko kekurangan NOC NIC
volume cairan a. Fluid balance 1. Pertahankan catatan intake
b. Hydration
dan output yang akurat
c. Intake
2. Monitor vital sign
Kriteria Hasil: 3. Monitor status hidrasi
a. Tekanan darah, nadi, (kelembaban membran
suhu tubuh dalam batas mukosa, nadi adekuat,
normal tekanan darah ortostatik)
b. Tidak ada tanda – tanda 4. Kolaborasi pemberian
dehidrasi cairan IV
c. Elastisitas turgor kulit 5. Dorong masukan oral
6. Monitor status cairan
baik, membran mukosa
termasuk intake dan
lembab, tidak ada haus
output cairan
yang berkelebihan
7. Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan
8. Dorong pasien untuk
menambah intake oral
4. Ketidakefektifan NOC NIC
nutrisi kurang dari a. Nutritional status : 1. Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh food and fluid intake makanan
2. Yakinkan diet yang
b. Nutritional status :
dimakan mengandung
nutrien intake
tinggi serat untuk
Kriteria hasil :
mencegah konstipasi
a. Mampu
3. Berikan informasi tentang
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
kebutuhan nutrisi 4. Kaji kemampuan pasien
b. Tidak ada tanda – untuk mendapatkan nutrisi
tanda malnutrisi yang dibutuhkan
5. Monitor adanya
c. Menunjukkan
penurunan berat badan
peningkatan fungsi
6. Monitor mual dan muntah
pengecapan dari 7. Monitor kalori dan intake
menelan nutrisi
8. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
5. Konstipasi NOC NIC
a. Bowel elimination 1. Monitor tanda gejala
b. Hydration konstipasi
Kreteria hasil: 2. Monitor bising usus
a. Mempertahankan 3. Monitor feses : frekuensi,
bentuk feses lunak konsistensi dan volume
setiap 1 – 3 hari 4. Identifikasi faktor
b. Bebas dari
penyebab dan kontribusi
ketidaknyamanan dan
konstipasi
konstipasi
5. Dukung intake cairan
c. Mengidentifikasi
6. Pantau tanda – tanda dan
indikator untuk
gejala konstipasi
mencegah konstipasi
d. Feses lunak dan 7. Pantau bising usus
berbentuk 8. Anjurkan pasien / keluarga
pasien untuk mencatat
warna, volume, frekuensi,
dan konsistensi tinja
9. Anjurkan pasien / keluarga
untuk diet tinggi serat
10. Timbang pasien secara
teratur

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. Kasus thypoid diderita oleh anak-anak
sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan angka kematian 20.000 per tahunnya. Biasanya angka
kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Penyakit ini banyak
diderita oleh anak-anak, namun tidak menutup kemungkinan untuk orang dewasa. Sehingga
pada penanganan perawatannya harus dilakukan asuhan keperawatan dan keperawatan harus
baik dan benar sehingga dapat menekan jumlah kematian pada penyakit demam thypoid dan
pembangun kesehatan dapat terwujud.

B. SARAN

Dengan selesainya makalah ini disarankan kepada para pembaca agar dapat lebih
memperdalam lagi pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan demam
thypoid di Rumah Sakit serta dapat mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC NOC. Jilid 1. Jakarta : MediAction

Herdman, T. Heater. 2012-2014. NANDA Internasional : Diagnosa Keperawatan : Definisi


dan Klasifikasi. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Nursalam dkk, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Simanjuntak, C. H. 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.


Cermin Dunia Kedokteran No. 83.

Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta:
IDAI

Soegijianto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak. Jakarta: Salemba Medika


Widodo, D. 2007. Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai