Anda di halaman 1dari 61

Senin, 16 Desember 2013

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK "ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEMAM


THYPOID"

MAKALAH
( KEPERAWATAN ANAK )
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEMAM THYPOID

DISUSUN OLEH :
1.

JULIS MUHARAM

2.

ZUMRATUL AINI

3.

YUPITA DAMAYANTI

4.

YUNI DARTIANA

5.

TATI

6.

ANGGI JULIUS

7.

ADARIATNO MEIQI

DOSEN : Ns. FENY MARLENA, S. Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BHAKTI HUSADA BENGKULU


TAHUN AJARAN 2012 /2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah. SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya serta memberikan perlindungandan kesehatan sehingga penulis
dapat menyusun makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Demam
Typoid .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini masih
banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan referensi dan keterbatasan
penulis sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki penulis
maka penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah dengan
sebaik-baiknya.
Sebagai manusia penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik dimasa yang akan
datang.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya, Amin.

Bengkulu, 21 Juni 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.

Latar Belakang............................................................................................ 1

2.

Rumusan Masalah........................................................................................ 1

3.

Tujuan ......................................................................................................... 2

4.

Manfaat penulisan ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3


I
A.

KONSEP MEDIK...................................................................................... 3

Definisi ................................................................................................ 3

B.

Etiologi ................................................................................................ 3

C.

Patofisiologi ......................................................................................... 3

D.

Manifestasi klinik ................................................................................ 4

E.

Pemeriksaan diagnostik ....................................................................... 5

F.

Penatalaksanaan ................................................................................... 5

G.

Komplikasi ........................................................................................... 6

II ASUHAN KEPERAWATAN ................................................................. 6


A.

Pengkajian ........................................................................................... 6

B.

Diagnosa Keperawatan dan Intervesi .................................................. 8

C.

Implementasi ....................................................................................... 12

D.

Evaluasi ............................................................................................... 12

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 13


A.
B.

Kesimpulan ................................................................................................... 13
Saran.............................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 14

BAB I
PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Demam thypoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemis di Asia, Afrika,
Amerika latin, Karibia, Oceania dan jarang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.
Menurut data WHO, terdapat 16 juta hingga 30 juta kasus thypoid di seluruh dunia
dan diperkirakan sekitar 500,000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit
ini. Asia menempati urutan tertinggi pada kasus thypoid ini, dan terdapat 13 juta
kasus dengan 400,000 kematian setiap tahunnya.
Kasus thypoid diderita oleh anak-anak sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan
angka kematian 20.000 per tahunnya. Di Indonesia, 14% demam enteris
disebabkan oleh Salmonella Parathypii A. Demam tifoid pada masyarakat dengan
standar hidup dan kebersihan rendah,cenderung meningkat dan terjadi secara
endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah
berhawa dingin. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak, namun tidak menutup
kemungkinan untuk orang dewasa. Penyebabnya adalah kuman sallmonela thypi
atau sallmonela paratypi A, B dan C.
Penyakit typhus abdominallis sangat cepat penularanya yaitu melalui kontak
dengan seseorang yang menderita penyakit typhus, kurangnya kebersihan pada
minuman dan makanan, susu dan tempat susu yang kurang kebersihannya menjadi
tempat untuk pembiakan bakteri salmonella, pembuangan kotoran yang tak
memenuhi syarat dan kondisi saniter yang tidak sehat menjadi faktor terbesar
dalam penyebaran penyakit typhus.
Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal dengan nama thypus, tetapi didalam dunia
kedokteran disebut dengan Tyfoid fever atau thypus abdominalis, karena pada

umumnya kuman menyerang usus, maka usus bisa jadi luka dan menyebabkan
pendarahan serta bisa mengakibatkan kebocoran usus.

2.

Rumusan Masalah

Apa konsep medik dan asuhan keperawatan pada penyakit demam thypoid ?

3.
a.

Tujuan
Tujuan umum :

Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya Demam Thypiod serta


mengimplementasikan asuhan keperawatan demam thypoid di lapangan
b.

Tujuan khusus :

Mengetahui konsep medik dan asuhan keperawatan pada penyakit Demam Thypoid

4.
a.

Manfaat Penulisan
Mendapatkan pengetahuan tentang penyakit Demam Thypoid

b.
Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Demam Thypoid

BAB II

PEMBAHASAN

I.

A.

KONSEP MEDIK

DEFINISI

Demam Tifoid (entric fever) adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella Enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Thypii, parathypii A, B,
C pada saluran pencernaan. (Suratum, 2010)
Penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna, dengan gejala demam
kurang lebih dari 1 minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Penyakit infeksi dari Salmonella (Salmonellosis) ialah segolongan penyakit infeksi
yang disebabkan oleh sejumlah besar spesies yang tergolong dalam genus
Salmonella, biasanya mengenai saluran pencernaan (Hasan dan Atlas, 1991).
Pertimbangkan demam tifoid pada anak yang demam dengan dan memiliki salah
satu tanda seperti diare (konstipasi), muntah, nyeri perut, dan sakit kepala (batuk).
Hal ini terutama bila demam telah berlangsung selama 7 hari atau lebih dan
penyakit lain sudah disisihkan (WHO,2005).

B.

ETIOLOGI

Bakteri Salmonella Typhi


Wujud dari bakteri tersebut adalah berupa basil gram negatif, bergerak dengan
rambut getar, tidak berspora, dan mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O
(somatik yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flegella), dan
antigen VI. Dalam serum penderita, terdapat zat (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada
suhu 15-41C (optimum 37C) dan pH pertumbuhan 6-8. Faktor pencetus lainnya
adalah lingkungan, sistem imun yang rendah, feses, urin, makanan/minuman yang
terkontaminasi, fomitus, etc.

C.

PATOFISIOLOGI

1.
Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar
oleh Salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat
dimusnahkan oleh asam HCL lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka basil Salmonella
akan menembus sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya menuju lamina propia dan

berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelejar getah
bening mesenterika.
2.
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening mesenterika mengalami
hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui ductus
thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotalial tubuh, terutama hati,
sumsum tulang, dan limfa melalui sirkulasi portar dari usus.
3.
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltrasi limfosit, zat plasma, dan sel
mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan pembesaran limfa (splenomegali). Di
organ ini, kuman S. Thypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi,
sehingga mengakibatkan bakterimia kedua yang disertai tanda dan gejala infeksi
sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
dan gangguan mental koagulasi).
4.
Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat
berlangsung hinga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi usus.
Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan dapat
mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya
penyakit, terjadi jyperplasia (pembesaran sel-sel) plak peyeri. Disusul kemudian,
terjadi nekrosis pada minggu kedua dan ulserasi plak peyeri pada minggu ketiga.
Selanjutnya, dalam minggu ke empat akan terjadi proses penyembuhan ulkus
dengan meninggalkan sikatriks (jaringan parut).

D.

MANIFESTASI KLINIK

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Masa tunas tersingkat
adalah empat hari, jika infeksi terjadi melalui makanan. Sedangkan, masa tunas
terlama berlangsung 30 hari, jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi,
mungkin ditemukan gejala prodomal, yaitu perasaan tidak enak badan, nyeri
kepala, lesu, pusing, dan tidak bersemangat, yang kemudian disusul dengan gejalagejala klinis seperti demam, gangguan pada saluran pencernaan seperti napas
berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih kotor (coated tongue)
ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati dan limpa membesar, disertai nyeri
pada perabaan dan terjadi gangguan kesadaran seperti apatis sampai somnolen.

E.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1.
Tubex TF, spesifik mendeteksi Ig M antibody S thypiii 09 LPS antigen Sthypii
dan salmonella sero group D bakteri

2.

Uji Widal : untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella Thypi

3.
Pemeriksaan darah tepi : untuk melihat tingkat leukosit dalam darah, adanya
leukopenia, etc
4.
Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya bakteri Salmonella Thypi dan
leukosit
5.
Pemeriksaan feses : untuk melihat adanya lendir dan darah yang dicurigai
akan bahaya perdarahan usus dan perforasi
6.

Pemeriksaan sumsum tulang : untuk mendeteksi adanya makrofag

7.
Serologis : untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin)
8.

Radiologi : untuk mengetahui adanya komplikasi dari Demam Thypoid

9.

Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.

F.

PENATALAKSANAAN

1.

Perawatan

a)

Bedrest kurang lebih 14 hari : mencegah komplikasi perdarahan usus

b)

Mobilisasi sesuai dengan kondisi

c)

Posisi tubuh harus diubah setiap 2 jam sekali untuk mencegah decubitus

2.

Diet

Dimasa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan
penderita. Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai
dengan keadaan penderita. Makanan disesuaikan baik kebutuhan kalori, protein,
elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas
selulose, menghindari makanan yang iritatif. Pada penderita gangguan kesadaran
maka pemasukan makanan harus lebih di perhatikan

3.

Obat-obatan

Obat pilihan adalah kloramfenikol, hati-hati karena mendepresi sum-sum tulang,


dosis 50-100 mg/kgBB dibagi 4 dosis, efek sampingnya adalah Anaplastik anemia
Obat lain : - Kotrimoksazol ( TMP 8-10 mg/kgBB dibagi 2 dosis)
a)

Ampisilin

b)

Amoxicillin

G.

KOMPLIKASI

1.

Perdarahan usus

2.

Miokarditis

3.
Peritonitis biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang.
4.

Meningitis ensefalopati

5.

Bronkopneumonia

6.

Anemia

II.

ASUHAN KEPERAWATAN

A.

Pengkajian

1.

Identitas

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. registrasi, status
perkawinan, agama, pekerjaan, TB, BB, dan tanggal masuk RS.
2.
a.

Riwayat Keperawatan
Keluhan utama

Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apati sampai somnolen, dan
gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada
perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa
lendir, anoreksia dan muntah.
b.

Riwayat penyakit sekarang.

Ingesti makanan yang tidak dimasak misalnya daging, telur, atau terkontaminasi
dengan minuman.
c.

Riwayat penyakit dahulu.

Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.

d.

Riwayat kesehatan keluarga.

Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita demam tifoid
dan menularkan kepada janin melalui darah. Umumnya bersifat fatal.
e.

Riwayat kesehatan lingkungan.

f.
Demam tifoid saat ini terutama ditemukan di negara sedang berkembang
dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Pengaruh cuaca terutama pada musim hujan
sedangkan dari kepustakaan barat dilaporkan terutama pada musim panas.
3.
a.

Pola-pola Fungsi Keperawatan


Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan

Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam


kesehatannya.
b.

Pola nutrisi dan metabolism

Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan
rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
c.

Pola aktifitas dan latihan

Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan
mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
d.

Pola eliminasi

Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi karena panas yang
meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
e.

Pola reproduksi dan sexual

Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan
terjadi perubahan.
f.

Pola persepsi dan pengetahuan

Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan


dan kemampuan dalam merawat diri.
g.

Pola persepsi dan konsep diri

Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah


penyakitnya.
4.

Pemeriksaan Fisik

a.

Keadaan umum

Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut
tidak enak, anorexia.
b.

Kepala dan leher

Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva
anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor, ditepi dan
ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
c.

Dada dan abdomen

Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan
nyeri tekan.
d.

Sistem respirasi

Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping
hidung.
e.

Sistem kardiovaskuler

Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami
peningkatan suhu tubuh.
f.

Sistem integument

Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
g.

Sistem eliminasi

Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien bisa
mengalami penurunan (kurang dari normal). N -1 cc/kg BB/jam.
h.

Sistem muskuloskolesal

Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.

i.

Sistem endokrin

Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil.
j.

Sistem persyarafan

Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita
penyakit thypoid.

B.

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1.

Hipertermi sehubungan dengan infeksi Salmonella Typhii

Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.


Kriteria hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal, turgor kulit kembali membaik.

Intervensi :
a.

Observasi suhu tubuh

b.

Berikan pakaian yang tipis

c.

Anjurkan klien untuk istirahat mutlak sampai suhu tubuhnya menurun.

d.

Atur ruangan agar cukup ventilasi.

e.

Berikan kompres dingin.

f.
Anjurkan pasien untuk banyak minum (sirup, teh manis, atau apa yang disukai
anak).
g.

Anjurkan klien untuk istirahat mutlak sampai suhu tubuhnya menurun.

h.

Kolaborasi dengan team medis untuk pemberian obat secara mencukupi.

2.
Perubahan nutrisi atau cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh
sehubungan dengan mual muntah.
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Nafsu makan meningkat, Pasien mampu menghabiskan makanan
sesuai dengan porsi yang diberikan

Intervensi :
a.

Observasi intake output.

b.
Berikan makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi
protein, dan tidak menimbulkan gas.
c.
Jika kesadaran klien masih membaik Berikan makanan lunak dengan lauk
pauk yang dicincang (hati dan daging), dan sayuran labu siam/wortel yang dimasak
lunak sekali. Boleh juga diberikan tahu, telur setengah matang atau matang yang
direbus. Susu diberikan 2 x 1 gelas/lebih, jika makanan tidak habis berikan susu
extra.
d.
Jika kesadaran klien menurun, berikan makanan cair per sonde dan berikan
kalori sesuai dengan kebutuhannya. Pemberiannya diatur setiap 3 jam termasuk
makanan ekstra seperti sari buah atau bubur kacang hijau yang dihaluskan. Jika
kesadaran membaik, makanan dialihkan secara bertahap dari cair ke lunak.
e.
Pasang infus dengan cairan glukosa dan NaCl jika kondisi pasien payah
(memburuk), seperti menderita delirium. Jika keadaan sudah tenang berikan
makanan per sonde, disamping infus masih diteruskan. Makanan per sonde
biasanya merupakan setengah dari jumlah kalori, sementara setengahnya lagi
masih perinfus. Secara bertahap dengan melihat kemajuan pasien, bentuk makanan
beralih ke makanan biasa.
f.

3.

Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kalori/kebutuhan nutrisi .

Intoleransi Aktivitas sehubungan dengan tirah baring.

Hasil yang diharapkan :


a.
Menyatakan pemahaman situasi/faktor resiko dan program pengobatan
individu.
b.

Penghematan energy : Tingkat pengelolaan energy aktif.

Intervensi :
a.

Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.

b.

Pantau/dokumentasikan pola istirahat pasien dan lamanya.

c.
Bantu pasien dalam melakukan aktivitas fisik , kognitif, social dan spiritual
yang spesifik.
d.

Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.

e.

Lakukan tindakan dengan cepat dan sesuai toleransi.

f.
Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton tv, radio dan
membaca.
g.

Ajarkan keluarga atau orang terdekat pasien tentang tehnik perawatan diri.

h.
Dapatkan bantuan dari keluarga dalam usaha mendukung dan mendorong
pasien dalam menyelesaikan aktivitas.
i.

Kolaborasi dengan ahli gizi berdasar program diet yang dicanangkan.

j.

Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.

4.
Kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakitnya sehubungan dengan
kurang informasi.
Tujuan : pengetahuan klien dan orang tua klien bertambah dengan adanya
informasi.
Kriteria hasil : klien akan menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan,
mengidentifikasi situasi stres dan tindakan khusus untuk menerimanya dan
berpartisipasi dalam program pengobatan serta melakukan perubahan pola hidup
tertentu.
Intervensi :
a.

Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.

b.
Dorong penggunaan tehnik relaksasi dan manajemen stress lain, mis.
Visualisasi, bimbingan imajinasi, umpan balik biologi.
c.
Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang hah-hal sebagai berikut :
pasien tidak boleh tidur dengan anak-anak lain, pasien harus istirahat mutlak,
pemberian obat dan pengukuran suhu dilakukan seperti dirumah sakit, feses dan
urin harus dibuang kedalam lubang WC dan di siram air sebanyak-banyaknya.

5.

Nyeri sehubungan dengan proses peradangan

Kriteria hasil :

- Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.


- tampak rileks dan mampu tidur dan istirahat dengan tepat.

Intervensi :
a.

Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien.

R/: Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan
otot-otot.
b.

Ajarkan tehnik nafas

dalam

R/: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri
c.
Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik relaksasi misalnya
visualisasi, aktivitas hiburan yang tepat
R/: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian
d.

Kolaborasi obat-obatan analgetik

R/: Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri

6.

Resti infeksi sekunder sehubungan dengan tindakan invasive

Tujuan : Infeksi tidak terjadi


Kriteria hasil : Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari
sekresi purulen/drainase serta febris.
Intervensi :
a.
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan
infus, monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan
infuse.
b.

Awasi batas pengunjung sesuai indikasi.

c.

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.

d.

Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.

C.

IMPLEMENTASI

Pelaksanaan tindakan atau implementasi adalah pemberian tindakan keperawatan


yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan rencan tindakan yang telah disusun
setiap tindakan keperawatan yang dilakukan dan dicatat dalam pencatatan
keperawatan agar tindakan keperawatan terhadap klien berlanjut. Prinsip dalam
melaksanakan tindakan keperawatan yaitu cara pendekatan kepada klien efektif,

teknik komunikasi terapi serta penjelasan untuk setiap tindakan yang diberikan
kepada klien.
Dalam melakukan tindakan keperawatan menggunakan tiga tahap yaitu
independen, dependen, interdependen. Tindakan keperawatan secara independen
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah
dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dependen adalah tindakan yang sehubungan
dengan tindakan pelaksanaan rencana tindakan medis dan interdependen adalah
tindakan keperwatan yang menjelaskan suatu kegiatan yang memerlukan suatu
kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli gizi dan
dokter, keterampilan yang harus perawat punya dalam melaksanakan tindakan
keperawatan yaitu kongnitif dan sifat psikomotor.

D.

EVALUASI

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang


menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai kemungkinan terjadi pada tahap evaluasi
adalah masalah dapat diatasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi
atau timbul masalah yang baru. Evaluasi dilakukan yaituevaluasi proses dan
evaluasi hasil.
Evaluasi proses adalah yang dilaksanakan untuk membantu keefektifan terhadap
tindakan. Sedangkan, evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir
tindakan keperawatan secara keseluruhan sesuai dengan waktu yang ada pada
tujuan.
BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak
diperkirakan 800/100.000 penduduk per tahun, tersebar dimana-mana, dan
ditemukan hampir sepanjang tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada
anak besar, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting melakukan
pengenalan dini demam tifoid, yaitu adanya 3 komponen utama : Demam yang
berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat / kesadaran.

B.

Saran

Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan saran untuk
selalu menjaga kebersih lingkungan , makanan yang dikonsumsi harus higiene dan
perlunya penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA

1.
Prince and Willson.2005.Patofisiologi Vol. 2.Penerbit Buku Kedokteran
ECG:Jakarta
2.

Muhammad Ardiansyah.2012.Medikal Bedah.Penerbit Diva Press:Jogjakarta

3.
Arif Muttaqin dan Kumala Sari.2011.Gangguan Gastrointestinal.Penerbit
Salemba Medika:Jakarta

4.
Suddarth & Brunner.2002. Keperawatan Medikal Bedah.Edisi 8 Vol. 2.Suzanne
C. Smeltzer.Penerbit Buku Kedokteran ECG:Jakarta
5.
Sodikin.2011.Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Gastrointestinal &
Hepatobilier.Penerbit Salemba Medika.Jakarta
6.
Doenges Marylin E.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Penerbit Buku
Kedokteran
EGC:Jakarta.
7.
DEMAM TIFOID http://easthomas.blogspot.com/2010/05/demamtifoid.html#ixzz2DmHaeKW8
8.
Judith M. Wilkinson .2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi Nic dan Kriteria Hasil Noc. EGC : Jakarta.
9.

Sylvia & Lorraine. 2005. Patofisiologi . EGC. Jakarta

10. Suratun.2010. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Gastrointestinal.CV. Trans Info Media.Jakarta
http://julismuharram.blogspot.co.id/
ASKEP THYPOID

Sabtu, 19 November 2011


ASKEP THYPOID
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella
Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. (
Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah
Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid
fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).

Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik
yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi
secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer
Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid
adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B
dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang
terkontaminasi.
2. Etiologi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua
sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien
dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih
terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1
tahun.
3. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah),
Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella
thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat,
dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang
sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke
tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung,
sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan
limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai selsel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke
dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk
limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
4. Manifestasi Klinik

Masa tunas typhoid 10 14 hari


a. Minggu I
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari.
Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual,
batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.
b. Minggu II
pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas
(putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan
kesadaran.
5. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis
perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.
1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.

2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada
komplikasi perdarahan.
b. Diet.
1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
c. Obat-obatan.
1) Klorampenikol
2) Tiampenikol
3) Kotrimoxazol
4) Amoxilin dan ampicillin
7. Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah
dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari
minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus
air sampai mendidih dan hindari makanan pedas
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.

c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).

3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5
atau ke-6.
3. Penyakit penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai
demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa
atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahanlahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini
dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang
rendah.
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap
salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada
seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan
reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.

3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.
9. Tumbuh kembang pada anak usia 6 12 tahun
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik
berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi
tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah
mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.
Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi
termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar
1) Loncat tali
2) Badminton
3) Memukul
4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap
meningkatkan irama dan keleluasaan.
b. Motorik halus
1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat
musik.
c. Kognitif
1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah
3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal
4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa
1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata
penghubung dan kata depan
3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan


10. Dampak hospitalisasi
Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan
menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung
pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.
Penyebab anak stress meliputi ;
a. Psikososial
Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran
b. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri
c. Lingkungan asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
d. Pemberian obat kimia
Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)
a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya
b. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri
c. Selalu ingin tahu alasan tindakan
d. Berusaha independen dan produktif
Reaksi orang tua
a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan
dan dampaknya terhadap masa depan anak
b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak
familiernya peraturan Rumah sakit
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang
tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang
ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat

bila klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah,
makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :
a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.
b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
yang tidak adekuat.
c. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.
d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan
kelemahan fisik.
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang
informasi atau informasi yang tidak adekuat.
3. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan
keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1
Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah.
Tujuan
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil
Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas
normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada
Intervensi
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan
peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB
tiap hari pada waktu dan jam yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual,
muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan klien minum banyak kira-kira 20002500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui parenteral
sesuai indikasi.

Diagnosa. 2
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat
Tujuan
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil
Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising
usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal,
konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.
Intervensi
Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan
tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari.
Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual,
muntah, nyeri dan distensi lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian
diet, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik seperti (ranitidine).
Diagnosa 3
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi
Tujuan
Hipertermi teratasi
Kriteria hasil
Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak
terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi
Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri
kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila
terjadi panas, anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap
keringat seperti katun, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
Diagnosa 4
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan
kelemahan fisik

Tujuan
Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
Kriteria hasil
Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan
otot.
Intervensi
Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan
sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara
bertahap, dekatkan barang-barang yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai indikasi.
Diagnosa 5
Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan
Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil
Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi
purulen/drainase serta febris.
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus,
monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.
Diagnosa 6
Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau
informasi yang tidak adekuat
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil
Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan
ikut serta dalam pengobatan.
Intervensinya

Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya,
Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan
keluaga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif
jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai strategi belajar seperti teknik
ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak di ketahui
klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
4. Evaluasi
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk
klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil,
kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia,
klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi
dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.

TYPHOID ABDOMINALIS

A. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah
Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna,
gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 13 tahun
( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 1213 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif 1999).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan
dan gangguan kesadaran (FKUI. 1999).

B. Etiologi
a) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak
bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
antigen H(flagella)

antigen V1 dan protein membrane hialin.


b) Salmonella parathypi A
c) salmonella parathypi B
d) Salmonella parathypi C
e) Faces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996).

C. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly
(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella
thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat,
dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang
sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke
tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung,
sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan
limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai selsel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke
dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk
limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.

D. Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala
prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :

Perasaan tidak enak badan


Lesu
Nyeri kepala
Pusing
Diare
Anoreksia
Batuk
Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain
1. DEMAM
Demam berlangsung 3 minggu
Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada
sore dan malam hari
Minggu II : Demam terus
Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur
2. GANGGUAN PADA SALURAN PENCERNAAN
Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan,
jarang disertai tremor
Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
Terdapat konstipasi, diare
3. GANGGUAN KESADARAN
Kesadaran yaitu apatis somnolen
Gejala lain ROSEOLA (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler
kulit) (Rahmad Juwono, 1996).

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,limfositosis relatif,


aneosinofilia, trombositopenia, anemia
Biakan empedu : basil salmonella typhii ditemukan dalam darah penderita
biasanya dalam minggu pertama sakit
Pemeriksaan WIDAL - Bila terjadi aglutinasi
1/200- Diperlukan titer anti bodi terhadap antigeno yang bernilai 4 kali antara
masa akut dan konvalesene mengarahatau peningkatan kepada demam typhoid
(Rahmad Juwono, 1996).

F. Penatalaksanaan
Terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1) Perawatan
Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari.
2 jam untuk mencegah dekubitus. Posisi tubuh harus diubah setiap
Mobilisasi sesuai kondisi.
2) Diet
Makanan diberikan secara bertahap sesuai dengan keadaan penyakitnya (mulamula air-lunak-makanan biasa)
Makanan mengandung cukup cairan, TKTP.
Makanan harus menagndung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh
mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas.
3) Obat
Antimikroba
Kloramfenikol
Tiamfenikol
Co-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulkametoksazol)
Obat Symptomatik
Antipiretik

Kartikosteroid, diberikan pada pasien yang toksik.


Supportif : vitamin-vitamin.
Penenang : diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikiatri (Rahmad Juwono,
1996).

G. Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi dalam :
1. Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstra intestinal.


Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis,
trombosis, dan tromboflebitie.
Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik
Paru : pneumoni, empiema, pleuritis.
Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.
Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer, sindrom
Guillan-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum,
terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Rahmad Juwono, 1996).

H. Pencegahan
1. Usaha terhadap lingkungan hidup :

a. Penyediaan air minum yang memenuhi


b. Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c. Pemberantasan lalat.
d. Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2. Usaha terhadap manusia.
a. Imunisasi
b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene.
(Mansjoer, Arif 1999).

MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no.
Registerasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan,
tanggal MR.
2. Keluhan Utama
pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu
makan menurun, panas dan demam.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah,
apakah menderita penyakit lainnya.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual,
muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing,
nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit
yang lainnya.
4. Riwayat Psikososial

Psiko sosial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul
gejala-gejala yang dalami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang
dideritanya.
5. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam
kesehatannya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan
rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
3) Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan
mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
4) Pola tidur dan aktifitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat,
sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
5) Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi karena panas yang
meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
6) Pola reproduksi dan sexual
Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan
terjadi perubahan.
7) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan
dan kemampuan dalam merawat diri.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.
9) Pola penanggulangan stress
Stres timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya.

10) Pola hubungan interpersonil


Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan
peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas
dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.

6. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut
tidak enak, anorexia.
2) Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva
anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor, ditepi dan
ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
3) Dada dan abdomen
Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan
nyeri tekan.
4) Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping
hidung.
5) Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang
meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami
peningkatan suhu tubuh.
6) Sistem integumen
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
7) Sistem eliminasi
Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien bisa
mengalami penurunan (kurang dari normal). N -1 cc/kg BB/jam.

8) Sistem muskuloskolesal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.
9) Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil.
10) Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita
penyakit thypoid.

B. Diagnosa keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah).

C. Intervensi dan Implementasi


1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhsi
Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil : Pasien melaporkan peningkatan suhu tubuh
Mencari pertolongan untuk pencegahan peningkatan suhu tubuh.
Turgor kulit membaik
Intervensi :
Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh
R/ agar klien dan keluarga mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan membantu
mengurangi kecemasan yang timbul.
Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat

R/ untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu
mengurangi penguapan tubuh.
Batasi pengunjung
R/ agar klien merasa tenang dan udara di dalam ruangan tidak terasa panas.
Observasi TTV tiap 4 jam sekali
R/ tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
2,5 liter / 24 jam Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum
R/ peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga
perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
Memberikan kompres dingin
R/ untuk membantu menurunkan suhu tubuh
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tx antibiotik dan antipiretik
R/ antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik untuk menurangi panas.

2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan anoreksia
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil : - Nafsu makan meningkat
- Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan
Intervensi
Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
R/ untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk
makan meningkat.
Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
R/ untuk mengetahui peningkatan dan penurunan berat badan.
Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak
merangsang, maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih
hangat.
R/ untuk meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.

Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.


R/ untuk menghindari mual dan muntah.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
R/ antasida mengurangi rasa mual dan muntah.
Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangat
kurang.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest


Tujuan : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Kriteria hasil : Kebutuhan personal terpenuhi
Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat bagi tubuh.
memenuhi AKS dengan teknik penghematan energi.
Intervensi :
Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas
kemampuan (missal. Miring kanan, miring kiri).
R/ agar pasien dan keluarga mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien yang
bedrest.

Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).


R/ untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.
Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.
R/ untuk mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas.
Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.
R/ untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah adanya dekubitus.

4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan


cairan yang berlebihan (diare/muntah)
Tujuan : tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan

Kriteria hasil : Turgor kulit meningkat


Wajah tidak nampak pucat
Intervensi :
Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan
keluarga.
R/ untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada pasien.
Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan.
2,5 liter / 24 jam. Anjurkan pasien untuk banyak minum
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
Observasi kelancaran tetesan infuse.
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan mencegah adanya odem.
Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi (secara parenteral).

D. Evaluasi
Dari hasil intervensi yang telah tertulis, evaluasi yang diharapkan :
Dx : peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhii
Evaluasi : suhu tubuh normal (36 o C) atau terkontrol.
Dx : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia.
Evaluasi : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.

Dx : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest


Evaluasi : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Dx : gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan
dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah)

Evaluasi : kebutuhan cairan terpenuhi

DAFTAR PUSTAKA
Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis, Jakarta.
Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta.
Sjaifoellah Noer, 1998, Standar Perawatan Pasien, Monica Ester, Jakarta.

A. Tinjauan Teoritis Demam Typoid

1. Pengertian
Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna
dengan gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan
gangguan kesadaran. (Mansjoer, 2000: 432).

Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakteremia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,
pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum. Disebabkan
salmonella thypi, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran. (Soegijanto, 2002: 1).

Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di selaput lendir
usus, dan jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu jaringan di seluruh
tubuh. (Tambayong, 2000: 143).

Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi
salmonella typhi. ( Ovedoff, 2002: 514).

2. Etiologi
Menurut Lewis, Et al (2000: 192) Penyakit demam typoid disebabkan oleh infeksi
kuman Salmonella typhi.

Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari demam typoid
adalah Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid disebabkan oleh organisme
yang termasuk dalam spesies salmonella enteretidis bioseratife para typhi B,
salmonella enteretidis bioseratife C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama
salmonella paratyphi A, salmonella schottmueller dan salmonella hirscfeldii.

Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang penyebab dari
demam typoid adalah bakteri Salmonella typhi.

3. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah berada di
dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak
peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan
nekrosis setempat kuman lewat pembuluh darah limfe masuk ke darah (bakterimia
primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di
tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit
berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke
darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman
masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman
tersebut di keluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimia
nya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga
bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam typoid. (Suriadi,
2001: 281).

Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya yang


merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjut zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulasi di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.

4. Tanda dan Gejala


Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda dan gejala
demam typoid adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan muntah.

Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
peningkatan suhu badan.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relatif, lidah typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen
koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. (Mansjoer,
1999: 422).

Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya lebih ringan
daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul
gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:

a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten dan
suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap
hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.

b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan
limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.

c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi
supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan
pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan, pada punggung dan anggota
gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil
dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama demam, kadang-kadang
ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.

d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan tetapi
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi
karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik
oleh obat maupun oleh zat anti.

5. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat terjadi pada
usus halus, umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal diantaranya adalah:

a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat
disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma. Pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.

c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus
halus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.

Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis


(bakterimia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain, terjadi karena
infeksi sekunder yaitu Bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat
masukan makanan yang kurang dan respirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang diperiksa adalah:
a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).
b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.
c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.
d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.
e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A) meningkat
selama minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang negatif semua bisa
mungkin terjadi pada tes widal).

Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif memastikan demam
typoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan
uji titer widal empat lipat selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam typoid.

Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan Laboratorium melalui:


1. Pemeriksaan leukosit
Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit ini tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya
demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan
pengobatan.

3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan demam typoid.

4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pasien
demam typoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella typhi dan juga
para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typoid.

Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai > 1/200
atau peningkatan > 4 kali antara masa akut dan konvalensens mengarah kepada
demam typoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya
reaksi silang antara spesies salmonella. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
menemukan kuman salmonella typhi pada biakan empedu yang diambil dari darah
klien. (Mansjoer, 2000: 433).

Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi (aglutinin),
yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman).

c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal


Faktor yang berhubungan dengan klien:
a. Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah
setelah klien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau
ke-6.

b. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam


typoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia,
leukemia dan karsinoma lanjut.

c. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti mikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.

d. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat


menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.

e. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa
atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahanlahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

f. Infeksi klien dengan klinis/ subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan ini
dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang
rendah.

g. Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap


salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typoid pada
seseorang yang pernah tertular salmonella dimasa lalu.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Copstead, et al (2000: 170) Pilihan pengobatan mengatasi kuman
Salmonella typhi yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif
lain yaitu trimetroprin, sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol.

Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian, yaitu:


1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
perdarahan usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien.

2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar
dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu di istirahatkan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan

lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat diberikan
dengan aman pada pasien demam typoid.

3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:

a. Kloramfenikol, dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg,
diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis
diturunkan menjadi 4 kali 250 mg selama 5 hari kemudian.

b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol.
Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada
kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah ratarata 5-6 hari.

c. Ampicilin dan Amoxilin, efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan


kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaannya adalah klien demam typoid dengan
leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan, digunakan sampai 7 hari bebas
demam.

d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol), efektifitas nya


kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet
sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.

e. Sepalosporin generasi ketiga, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa


sepalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif
untuk demam typoid.

f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang
optimal belum diketahui dengan pasti.

Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoi d juga diberikan obatobat simtomatik antara lain:
a. Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena
tidak berguna.

b. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam
pengobatan selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien
menjadi baik, suhu badan cepat turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak
boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal
dan relaps. (Sjaifoellah, 1996: 440).

8. Prognosis
Prognosis demam typoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7
%. (Sjaifoellah, 1996: 441).

Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 236), umunya prognosis demam typoid pada
anak baik, asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat adalah
6%. Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti:
a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris continue.
b. Kesadaran sangat menurun (supor, koma atau delirium).
c. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis perforasi.

B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Demam Typoid

1. Pengkajian Keperawatan Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:

a. Aktivitas dan Istirahat.


Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas, pembatasan
aktivitas/ kerja sehubungan dengan proses penyakit.

b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi relatif,
hipotensi termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk, kering, lidah
kotor.

c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak ada
harapan.
Tanda: Menolak, perhatian menyempit.

d. Eliminasi
Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada
konstipasi/adanya peristaltik.

e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.
Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk,
membran mukosa pucat.

f. Hygiene
Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.

g. Nyeri/ kenyamanan

Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.


Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.

h. Keamanan
C, penglihatan kabur, gangguan mental delirium/ psikosis.C-40Gejala:
Peningkatan suhu tubuh 38

i. Interaksi Sosial
Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan kondisi
yang di alami.

j. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2001-2002) yaitu:

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat ditempat tidur/


tirah baring.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual,
muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat
diare.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan


prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

3. Perencanaan Keperawatan

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

Intervensi:
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses
inflamasi.

2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam
melaksanakan upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada
daerah frontal, lipat paha dan aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dengan perbanyak minum.
Rasional: Membantu mengurangi demam.

3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3
jam.
Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.

4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.

Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih


lanjut.

6) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.


Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.

5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.
Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi
basil salmonella typhi.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/


tirah baring.

Intervensi:
1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa makanan,
minuman, ganti baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut, genetalia dan kuku.
Rasional: Pemberian bantuan pada klien dapat menghindari timbulnya komplikasi
yang berhubungan dengan pergerakan yang melanggar program tirah baring.

2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.


Rasional: Partisipasi keluarga sangat penting untuk mempermudah proses
keperawatan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan mempercepat


proses penyembuhan
Rasional: Istirahat menurunkan mobilitas usus juga menurunkan laju metabolisme
dan infeksi.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual,
muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

Intervensi:
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.
Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan
berat ringannya kekurangan cairan.

2) Monitor tanda-tanda vital


Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.

3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.


Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.

4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.


Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.

5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.


Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat
diare.

Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat
menentukan intervensi yang sesuai dan efektif.

2) Monitor adanya penurunan berat badan.


Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500
gr/minggu.

3) Monitor lingkungan selama makan.


Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif
untuk makan.

4) Monitor mual dan muntah.


Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.

5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.


Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk
mempercepat proses penyembuhan.

6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.


Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.

7) Berikan makanan yang terpilih.


Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.

8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.

Intervensi:

1) Monitor tanda dan gejala diare.


Rasional: Untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan.

2) Identifikasi faktor penyebab diare.


Rasional: Mengetahui penyebab diare sehingga dapat menentukan intervensi
selanjutnya.

3) Observasi turgor kulit secara rutin.


Rasional: Turgor kulit jelek dapat menggambarkan keadaan klien.

4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.


Rasional: Untuk membantu dalam proses penyembuhan.

5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi
kalori jika memungkinkan.
Rasional: Makanan rendah serat dan tinggi protein dapat membantu mengatasi
diare.

6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.


Rasional: Untuk melanjutkan intervensi dan pemberian obat berikutnya.

7) Evaluasi intake makanan yang masuk.


Rasional: Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien.

8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.


Rasional: Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.

Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.
Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran
penyakit/ terjadi komplikasi.

2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.


Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor yang
memperberat (seperti stress, tidak toleran terhadap makanan) atau
mengidentifikasi terjadinya komplikasi, serta membantu dalam membuat diagnosis
dan kebutuhan terapi.

3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.


Rasional: Untuk menghilang nyeri.

4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.


Rasional: Analgetik dapat membantu menurunkan nyeri.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan


prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.
Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.

2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.


Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab,
tanda dan gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.

3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.
Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.

4. Evaluasi
Evaluasi adalah usaha untuk menilai keefektifan asuhan keperawatan yang telah
diberikan kepada klien dengan demam typoid.

Hasil evaluasi yang diharapkan adalah:


a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Evaluasi:
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36,6-37,5 C).
2) Klien tidak demam lagi.
3) Klien tidak gelisah.
4) Turgor kulit baik.
5) Kesadaran compos mentis.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/


tirah baring.
Evaluasi:
1) Kebutuhan mandi, makan, minum, eleminasi, ganti pakaian, kebersihan mulut,
rambut, kuku dan genetalia terpenuhi.
2) Klien berpartisipasi dalam tirah baring.
3) Klien mobilisasi secara bertahap.

c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual,
muntah/ pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Evaluasi:

1) Masukan dan haluaran cairan seimbang.


2) Turgor kulit baik, membran mukosa lembab.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal.

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat
diare.
Evaluasi:
1) Klien dapat menghabiskan makanan yang disediakan.
2) Klien tidak lagi mual, dan muntah.
3) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai saran
dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada usus halus.


Evaluasi:
1) Tidak mengalami diare.
2) Turgor kulit baik.

f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.


Evaluasi:
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat secara adekuat.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan


prognosis berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Evaluasi:
Keluarga klien mengerti tentang penyakit anaknya.
http://askepthypoid.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai