Anda di halaman 1dari 20

AQIQAH

Makalah disusun guna memenuhi tugas


Mata Kuliah Fiqih

Oleh :
FAISAL RIZKAN
NIM :18650077
Kelas Non Reguler Banjarmasin

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARY
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
dan mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam, dan mengajarkan manusia apa belum di
ketahuinya. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpah atas junjungan dan teladan kita
Raslullahb Saw. keluarga, sahabat, dengan segenap umat beliau hingga hari kiamat.
Menyembelih hewan untuk anak yang baru lahir (aqiqah) telah disyariatkan oleh Rasulullah
Saw. Dengan syarat-syarat yang sudah di tentukan, namun pada prakteknya khususnya zaman
sekarang ini, ada sebagian umat islam yang melaksanakan aqiqah tidak sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Makalah ini di buat selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih, juga se-
bagai rujukan pembaca agar bisa memahami konsep aqiqah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah
Saw.
Penyusun menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar bisa lebih baik kedepannya. Selan-
jutnya penyusun mengucapkan jazakallahu khoir kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pembuatan makalah ini. Semoga Allah meridhoi usaha kita semua amin.

Banjarmasin, 12 Oktober 2018

Penyusun
i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Tujuan Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN 2

2.1 Definisi Aqiqah 2

2.2 Disyari’atkannya Aqiqah 2

2.3 Tujuan Aqiqah 6

2.4 Subjek Yang Dituntut 7

2.5 Kadar Sah Untuk Aqiqah 8

2.6 Tentang Hukum-Hukum Aqiqah 8


2.7 Tatacara menyembelih hewan aqiqah
BAB III PENUTUP 13

3.1 kesimpulan 13

3.2 Saran 13

Daftar Pustaka 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Aqiqah merupakan salah satu ajaran islam yang di contohkan rasulullah SAW. Aqiqah mengandung
hikmah dan manfaat positif yang bisa kita petik di dalamnya. Di laksanakan pada hari ke tujuh dalam
kelahiran seorang bayi. Dan Aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati wajib), bahkan sebagian
ulama menyatakan wajib. Setiap orang tua mendambahkan anak yang shaleh, berbakti dan mengalir-
kan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah satu acara penting untuk menanamkan
nilai-nilai ruhaniah kepada anak yang masih suci. Dengan aqiqah di harapkan sang bayi memperoleh
kekuatan, kesehatan lahir dan batin. Di tumbuhkan dan di kembangkan lahir dan batinnya dengan
nilai-nilai ilahiyah.
Aqiqah juga salah satu upaya kita untuk menebus anak kita yang tergadai. Aqiqah juga merupakan
realisasi rasa syukur kita atas anugerah, sekaligus amanah yang di berikan allah SWT terhadap kita.
Aqiqah juga sebagai upaya kita menghidupkan sunnah rasul SAW, yang merupakan perbuatan yang
terpuji, mengingat saat ini sunnah tersebut mulai jarang di laksanakan oleh kaum muslimin.

1.2 Tujuan penulisan


Makalah ini disusun dengan tujuan yang pertama untuk memenuhi salah satu tugas Fiqih , yang
kedua agar para pembaca dapat menambah wawasan tentang aqiqah yang syar’i.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Aqiqah

Aqiqah berasal dari kata aqiq yang berarti rambut bayi yang baru lahir. Karena itu aqiqah selalu
diartikan mengadakan, selamatan lahirnya seorang bayi dengan menyembelih hewan (sekurangnya
seekor kambing).[1] Menurut istilah syara’ artinya menyembelih ternak pada hari ketujuh dari ke-
lahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong.[2]
Sebenarnya banyak sekali pengertian aqiqah, namun dari kesemuanya dapat diambil titik ten-
gah sebagai berikut:
1. Aqiqah merupakan upacara ritual yang dilaksanakan pada saat lahirnya keluarga baru atau ke-
lahiran baru.
2. Upacara ritual aqiqah terdiri dari beberapa bagian anatara lain menyembelih hewan, memotong
rambut, sedekah, pemberian nama, serta acara lainnya.
3. Inti aqiqah adalah ungkapan rasa syukur yang dituangkan dalam kurban, sedekah, emas atau perak
ataupun berupa makanan.[3]

2.2 Dasar Hukum Aqiqah

Hukum Aqiqah adalah sunnah muakkad, sekalipun orang tua dalam keadaan sulit, “Aqiqah
dilakukan Rasulullah dan Sahabat”. Seperti diketahui kelahiran seorang bayi merupakan berita yang
sangat menggembirakan bagi orang tua karena itu sudah sepantasnya dirayakan dengan diselamati
sebagai tanda syukur pada Allah swt. Tetapi kemiskinan dan kekayaan diantara umat islam menjadi-
kan aqiqah sulit dilaksanakan apabila hukumnya wajib bagi orang miskin. Perintah Nabi berkenaan
dengan penyembelihan aqiqah ini sudah disepakati oleh seluruh madzhab sebagai anjuran (amar-lin-
nadab) bukan (amar-liwujub) atau perintah wajib. Ini berarti apabila ada keluarga yang sama sekali
tidak menyembelih aqiqah untuk anak-anaknya, maka tidak ada dosa atau hutang baginya untuk
membayarnya dimasa tua atau setelah kaya nanti. Akan tetapi dalam pandangan lain terdapat di dalam
hadis Rasulullah yang berbunyi:

ُ ْ‫ـق َرأ‬
ُ ‫سـه‬ ُ َ‫سـ َّمى فِيْـ ِه َويُـحْ ل‬ َ ‫غالَ ٍم َر ِهيْـنَـةٌ بِـعَـ ِقـ ْيقَتِ ِه تُذْبَ ُح َعـ ْنـهُ يَ ْـو َم‬
َ ‫سابِـ ِعـ ِه َويُـ‬ ُ ‫ُك ُّل‬
“Setiap anak yang lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu ia
diberi nama dan digunduli rambutnya.” (Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I,
Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim).[4]

Menurut hadis diatas ada yang menyatakan bahwa menyembelih hewan aqiqah itu wajib dan
bila dimasa kecilnya belum di aqiqahkan maka setelah tua dia sendiri wajib mengeluarkan aqiqahnya.
Menurut madzhab Hanafi, aqiqah hukumnya mubah dan tidak sampai mustahab (dianjurkan).
Hal itu dikarenakan pensyariatan qurban telah menghapus seluruh syariat sebelumnya yang berupa
penumpahan darah hewan seperti aqiqah, rajabiyah dan ‘atirah.
Dengan demikian, siapa yang mau mengerjakan ketiga hal ini tetap diperbolehkan, se-
bagaimana juga dibolehkan tidak mengerjakannya. Penghapusan seluruh hal ini berlandaskan pada
ucapan Aisyah, “Syariat kurban telah menghapus seluruh syariat berkenaan dengan penyembelihan
hewan yang dilakukan sebelumnya”.[5]

2.3 Ketentuan Hewan Aqiqah

Banyak ulama berpendapat bahwa semua hewan yang dijadikan hewan kurban, yaitu: unta,
sapi, kerbau, kambing, domba, dapat dijadikan hewan aqiqah.[6] Sedangkan syarat-syarat hewan
yang dapat disunahkan untuk aqiqah itu sama dengan syarat yang ada pada hewan kurban, baik dari
segi jenisnya, ketidak cacatannya, kejelasannya.
Syarat-syarat hewan yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah itu sama dengan syarat-syarat hewan
untuk kurban, yaitu:
1. Tidak cacat.
2. Tidak berpenyakit.
3. Cukup umur, yaitu kira-kira berumur satu tahun.
4. Warna bulu sebaiknya memilih yang berwarna putih.[7]

Jenis hewan yang disembelih Rasulullah saw dalam aqiqah saat itu bukanlah inti dari aqiqah
itu sendiri, sehingga andaikan diubah dengan seekor burung kecil bahkan tidak menyembelih hewan
melainkan sekedar nasi dan lauk pauk pun selama berniat mensyukuri nikmat lahirnya putra sah dise-
but aqiqah.[8]

2.4 Pelaksanaan Aqiqah

Ada dua hadist yang menerangkan tentang jumlah binatang aqiqah yang disembelih untuk
seorang anak. Hadist yang pertama, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahkan cucu laki-
laki beliau, masing-masing dengan seekor kambing.

ً ‫شا َكب‬
(‫ْش‬ َ ‫س ِن َو ْال ُح‬
ً ‫سي ِْن َك ْب‬ َ ‫سلَّ َم َع َّق َع ْن ْال َح‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫َّاس أ َ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ٍ ‫ا )رواه أبو داود َع ْن اب ِْن َعب‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW mengaqiqahi untuk hasan dan Hu-
sain dengan masing-masing satu kambing (HR Abu Daud dengan riwayat yang shahih).”[9]

Sedangkan hadis yang kedua menerangkan bahwa seorang anak laki-laki diaqiqahkan dengan
dua ekor kambing, sedang anak perempuan diaqiqahkan dengan seekor kambing.[10] Sabda
Rasulullah SAW:
‫سكَ عَن‬ َّ ‫ َم ْن اَح‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫َب ِم ْن ُك ْم ا َ ْن يُ ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫ َقا َ َل َر‬: ‫شعَيْب قَا َ َل‬
‫س ْو ُل ه‬ ُ ‫ع َْن ع َْم ِرو ب ِْن‬
ٌ َ َ َ َ
ِِ)‫ (رواه احمد وابو داود والنسائى‬. ‫َولَ ِد ِه فَ ْليَ ْفعَ ْل ع َِن ا ْلغال ِم شاتا ِن ُمكافأ َتا ِن َوع َِن الجا ِريَ ِة شاة‬
ْ َ َ َ َ َ ُ
Artinya : ” Telah berkata Rasulullah SAW : Barang siapa diantara kamu ingin beribadat ten-
tang anaknya hendaklah dilakukannya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya
dan untuk anak perempuan seekor kambing “. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai.)

Sunnah untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor kambing ini hanya berlaku untuk
orang yang mampu melaksanakannya, karena tidak semua orang untuk mengaqiqahi bayi laki-laki
dengan dua kambing. Ini termasuk pendapat yang wasath (tengah-tengah) yang menghimpun
berbagai dalil.[11]
Menurut banyak ulama’ aqiqah itu hanya berlaku bagi anak kecil, namun sebagian ulama lain
menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan setelah seseorang itu dewasa.[12] Penyembelihan hewan
aqiqah sebaiknya dilaksanakan pada hari ke-7 atau hari ke-14 dan jika tidak bisa maka kapan saja.
Dari kedua pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa penyembelihan aqiqah yang paling
baik ialah dilakukan pada hari ke-7 dari hari kelahiran seorang anak, sedang bagi orang yang be-
lum diaqiqahkan, maka aqiqah itu dapat dilakukan setelah umur dewasa.

Perbuatan-perbuatan yang baik dilakukan pada waktu anak baru lahir, antara lain:
1. Mengadzankan dan mengiqamatkan
Disunatkan mengazankan anak laki-laki dan mengiqomatkan anak perempuan yang baru
lahir, sehingga kata-kata yang pertama kali dienegar oleh seorang anak yang baru lahir itu
adalah perkataan yang baik.

2. Memberi nama
Rasulullah menganjurkan agar orang tua segera memberi nama anaknya yang baru lahir.
Para ulama sepakat bahwa perkataan yang dijadikan nama anak yang baru lahir itu adalah
perkataan yang mempunyai arti yang baik seperti Abdullah. Dan haram hukumnya mem-
beri nama anak dengan perkataan yang mengandung unsur atau arti syirik, seperti abdul
uzza, abdul ka’bah dan sebagainya.

3. Mencukur rambut
Sunat hukumnya mencukur rambut anak yang baru lahir, sekurang-kurangnya
menggunting tiga helai rambut. Biasanya dilakukan waktu mengaqiqahkannya dan waktu
memberi nama. Menurut imam malik, disamping mencukur rambut rambut sunat pula
hukumnya besedekah, sekurang-kurangnya seharga perak seberat rambut yang dipotong
itu.[13]

Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut bayi, yaitu:
1. Diawali dengan membaca basmallah.
2. Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri.
3. Dicukur secara keseluruhan (gundul) sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
4. Rambut hasil cukuran ditimbang dan jumlah timbangan dinilai dengan nilai emas
atau perak kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.[14]

2.5 Tata cara pembagian daging aqiqah.

Dalam pembagian daging aqiqah sama dengan pembagian daging qurban namun ada beberapa
perbedaan dalam aqiqah diantaranya:
1. Disunnahkan memasak daging sembelihan aqiqah dan tidak memberikannya dalam
keadaan mentah. Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, yang berbunyi:
“ memasak daging aqiqah termasuk sunnah.” [15]
2. Disunahkan untuk memakan sebagian daging aqiqah serta menghadiahkan dan menyedek-
ahkan masing-masing sebanyak sepertiga dari daging seperti hewan qurban.
2.1 Definisi Aqiqah
Asal kata al-‘aqq adalah asy-syaq wa al-qath’ (memotong). Ada yang mengatakan sembelihan
itu disebut aqiqah karena di potong kerongkongannya. Dan kalimat al’uququl waalidain (durhaka
kepada orangtua), maksudnya memutuskan silaturahmi terhadap orangtua. Dikatakan pula untuk ram-
but yang tumbuh dikepala bayi yang baru melahirkan dari rahim ibunya, baik manusia maupun bi-
natang ternak. Namun definisi Aqiqah menurut istilah Syar’i, adalah hewan yang disembelih karena
kelahiran anak sebagai rasa syukur kepada Allah Swt. Dengan niat dan syarat-syarat tertentu. [Al-
mughni (IX/362), Subul Assalam(VII/1426), dan Al mausu’ah al fiqhiyah(XXX/276)]

2.2 Di Syari’atannya Aqiqah


Sebenarnya menyembelih untuk anak yang yang baru lahir, sudah menjadi tradisi orang-orang
jahiliyah, namun tradisi tersebut tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Setelah di utusnya
Rasulullah, maka beliau mengubah tradisi-tradisi jahiliyah tersebut, misalnya ketika menyembelih,
mereka mengoleskan kepala anak dengan darahnya. Khususnya pada hari ketujuh, mereka mengam-
bil darah hewan aqiqah dan mengoleskan ke dinding dan pintu untuk mencegah kedengkian pada
anak sesuai persangkaan mereka.
Mereka juga menaruh sejenis ukir-ukiran yang diharamkan di kopiahnya dan menaruh bulu
ayam, sehingga seperti ayam jantan. Mereka juga membuat hishan maulid atau urusatul maulid nab-
awi (nama kue) setiap tahun untuk ulang tahun anak. Mereka melarang memecahkan dan me-
makannya sebelum lewat satu tahun, karena di khawatirkan akan terjadi kematian atau sakit pada
anak. Dan setelah lewat satu tahun mereka pun memakan kue hishanul maulud, setelah membeli kue
kuda-kudaan yang lain.
Aqiqah disyari’atkan, menurut pendapat umum ulama. Diantaranya, Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Aisyah R.a, para ahli fiqih dari kalangan Tabi’in, dan para Imam kota-kota besar. Dasar hukumnya
adalah hadits-hadits sebagai berikut :
1stHadits sulaiman bin Amir R.a, ia berkata. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : “seorang
anak yang lahir harus di aqiqahkan, maka sembelihlah hewan karena kelahirannya dan singkirkan
kotoran darinya.[shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq dengan sighah jazm
no.5472]
2nd Hadits Abu Hurairah R.a, Nabi Sallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : “ seorang anak yang
lahir harus diaqiqahkan, maka sembelihlah hewan karena kelahirannya, dan singkirkanlah kotoran
darinya.[shahih diriwayatkan oleh Al-Bazar(1236-zawa’id) dan Al-Hakim(IV/238)]
3rd Dari Samurah bin Jundab R.a Nabi Sallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : ” setiap anak terga-
dai dengan aqiqahnya, maka disembelihlah untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan
diberi nama.[shahih diriwayatkan oleh Abu Daud no 2838, an-Nasai(VII/166), At-Tirmidzi no.
1522, Ibnu Majah no. 3165. Dan selain mereka].
4th Dari Aisyah R.a Nabi Sallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : “ unutuk anak laki-laki dua ekor
kambing yang setara dan untuk anak perempuan seekor kambing.[shahih, diriwayatkan oleh Ah-
mad(VI/31), at-Tirmidzi (1513), Ibnu majah (3163). Hadits ini banyak riwayat pendukungnya ].
5th Dari Ibnu Abbas R.a, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam mengaqiqahkan Hasan dan Hu-
sain radliallahu ‘anhuma masing-masing seekor kambing kibas.[shahih, diriwayatkan oleh abu
Daud (2841), an-Nasai (VII/166), at-Tirmidzi (1522), dan selainnya. Hadits ini memiliki sejumlah
riwayat pendukung].
Al-Hasan dan Daud azh-zhahiri berpendapat, aqiqah adalah wajib, berdasarkan dalil-dalil diatas yang
memerintahkannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah, berdasarkan hadits beri-
kut : “siapa yang telah dilahirkan untuknya seorang anak, lalu ia suka untuk menyembelih....” mereka
menjadikan hadits ini untuk memalingkan makna wajib dari perintah-perintah aqiqah diatas.
Sementara Abu Hanifah dan Ahli Ra’yi memakruhkannya. Mereka beralasan dengan hadits yang me-
nyebutkan, Rasullullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam ditanya tentang aqiqah, beliau menjawab, “ Allah
tidak menyukai ‘uquq (kedurhakaan).” Seolah-olah Nabi membenci penyebutan itu. Lalu beliau
bersabda :” barangsiapa yang kelahiran seorang anak, lalu ia ingin menyembelih hewan karena ke-
lahirannya, maka silahkan menembelihnya. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang setara dan
untuk perempuan sekor.[Hasan, diriwayatkan oleh Abu Daud no.2842].
Hadits ini dlaif. Andai kata hadits ini shahih, maka sesunggguhnya Al Hafizh Ibnu Hajar telah
mengatakan dalam fath al bari, “tidak ada hujjah didalamnya karena menafikan pensyari’atannya,
padahal hadits yang lain menetapkannya. Akan tetapi maksimal yang bisa dipetik dari hadits tersebut,
yang lebih baik ialah penyembelihan tersebut disebut nasikah atau dzabihah, dan tidak disebut dengan
aqiqah.
Abu malik kamal bin As-sayyid Salim(penulis shahih fiqih sunnah) berkata : nabi Saw. Me-
nyebutkan dalam sebuah hadits dengan sebutan aqiqah. Mereka juga beralasan seperti itu, berdasar-
kan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’, ketika al Hasan bin Ali R.a di lahirkan, maka ibunya
Fatimah R.a ingin menyembelih dua ekor kambing kibas. Namun Rasulullah bersabda : “janganlah
engkau aqiqahkan dia, tetapi cukurlah rambut kepalanya, kemudian sedekahkan perak seberat tim-
bangannya di jalan Allah. Setelah itu lahir pula al husain, lalu Fatimah melakukan hal yang
sama.”[dla’if, diriwayatkan oleh Abu Ahmad (VI/392), at-Thabrani dalam al kabir (I/917), dan Al
Baihaqi (IX/304)].

2.3 Tujuan Aqiqah


Al munawi dalam kitab “syarah fadhlul qadir” menyebutkan perkataan Ibnul Qayyim, “tujuan
dari Aqiqah adalah untuk menyelamatkan anak yang baru lahir dari syetan dan mencegahnya dari
godaan syetan demi kemaslahatan akhiratnya.’hilangnya penyakit’, maksudnya mencukur rambutnya
dan kotoran dikepalanya, baik ia suci atau najis. Agar rambutnya juga bisa tumbuh lebih kuat dari
sebelumnya. Ini juga bermanfaat bagi kepala, karena akan membuka pori-pori di kepala dan menge-
luarkan uap dengan mudah, juga bisa menguatkan inderanya.”[fadlul Qadir 4/416]
Diantara manfaat aqiqah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim Rahimahullah da-
lam kitabnya “tuhfatul Maudud” adalah :
1) Merupakan ibadah kepada Allah Swt.
2) Merupakan sifat mulia untuk menghilangkan kekikiran
3) Memberikan makan kepada orang lain dan ini termasuk ibadah
4) Melepaskan gadaian si anak, agar ia bisa memberikan atau mendapatkan syafaat bagi
orangtuanya
5) Menanamkan sunnah-sunnah yang disyari’atkan dan memberantas khurafat kejahili-
yahan.
6) Memperkenalkan nasab anak dan lainnya.
Ibnul Qayyim juga berkata : “menyembelih (aqiqah) untuk anak, mengandung makna taqarrub
(mendekatkan diri) dan bersyukur kepada Allah. Menebus, bershadaqah, dan memberikan makan
ketika mendapat kebahagiaan yang besar sebagai wujud syukur kepada Allah dan menampakkan Nik-
mat-Nya (anak) yang merupakan tujuan dan maksud dari pernikahan. Apabila disyari’atkan memberi
makan ketika menikah yang merupakan sarana untuk mendapat nikmat ini (anak), maka ketika
mendapatkannya akan lebih dianjurkan. Tidak ada yang lebih baik dan lebih indah di hati dari ajaran
ini terhadap anaka. Ia merupakan ungkann kebahagiaan dan pelaksanaan syari’at islam. Ia adalah
lahirnya orang-orang yang Rasulullah Saw akan berbangga kepada mereka pada hari kiamat. Orang-
orang yang akan beribadah kepada Allah dan menghancurkan musuh-musuh-Nya.”[Tuhfatul Maudud
fi ahkamil Maulud, hal. 69]

2.4 Subjek Yang Dituntut Melaksanakan Aqiqah


Orang yang dituntut untuk melaksanakan aqiqah adalah ayah atau orang menanggung nafkah
anak yang dilahirkan tersebut. Oleh karena itu, ia menunaikannya dari harta pribadinya, dan bukan
dari harta anak yang dilahirkan. Disamping itu orang lain tidak dapat melakukannya tanpa seizinnya.
Dalam hal ini aqiqah Nabi SAW. Terhadap Hasan dan Husain tidak dapat dijadikan alasan. Karena
ada kemungkinan nafkah keduanya adalah tanggungan Nabi, bukan tanggungan orangtuanya. Alasan
lainnya, karena Nabi lebih utama mengurus kaum mukminin dari pada diri mereka sendiri.
Telah diriwayatkan secara marfu’ dari Nabi Saw. : “setiap anak di nishbatkan kepada sanak
familinya, kecuali anak keturunan Fatimah R.a, sesungguhnya akulah wali dan akulah ‘ashabah
mereka.”dalam satu redaksi, “akulah ayahnya”. Akan tetapi hadits ini dlai’if.[dla’if, diriwayatkan
oleh Abu Ya’la (6741), at-Thabrani (III/44), dan lainnya lihat Al majma’ (IX/173)]
Asy-syafi’iyah mensyaratkan terhadap orang yang yang dituntut untuk melaksanakan aqiqah
adalah orang yang memiliki kelapangan. Yaitu ia mampu melaksanakannya, dan memiliki kelebihan
dari dari nafkahnya dan nafkah orang yang berada dalam tanggungannya. Sedangkan ulama-ulam
Hanabilah menegaskan bahwa aqiqah di sunnahkan atas ayahnya, sekalipun ia berada dalam kesem-
pitan. Ia mencari pinjaman, jika mampu untk melunasinya. Imam Ahmad Rahimahullah berkata :
“jika ia tidak memilki sesuatu yang dapat digunakan untuk biaya aqiqah, maka ia berutang. Aku ber-
harap semoga Allah mengganti utangnya, karena ia telah menghidupkan sunnah Rasulullah Saw.

2.5 Kadar Sah Untuk Aqiqah


Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :” untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak
perempuan satu ekor kambing.” [shahih, diriwayatkan oleh Ahmad(VI/31), at-Tirmidzi (1513), Ibnu
majah (3163). Hadits ini banyak riwayat pendukungnya ]. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama,
diantaranya adalah Ibnu Abbas , Aisyah R.a, Asy-syafi’i, Ahmad, Ishaq,dan Abu Tsaur.[Al mughni
(IX/363), dan Al mausu’ah (XXX/279)].
Sebagian Ulama berpendapat sudah sah seekor kambing untuk satu anak laki-laki dan satu
ekor kambing untuk anak perempuan. Demikianlah pendapat yang diutarakan oleh Ibnu Umar R.a.
hadits yang dijadikan sebagai argumen adalah hadits riwayat Ibnu Abbas R.a, Rasulullah Saw. Me-
nyembelih aqiqah untuk Al Hasan dan Al Husain masing-masing seekor kambing kibas. [shahih, diri-
wayatkan oleh abu Daud (2841), an-Nasai (VII/166), at-Tirmidzi (1522), dan selainnya. Hadits ini
memiliki sejumlah riwayat pendukung].

2.6 Tentang Hukum-Hukum Aqiqah


Di dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah cetakan dzulhijjah 1432 Hijriah (November
2011) dalam bab “al’aqiqatu wasunnatul aulad” telah disebutkan bahwa :
1. Apabila bayimu lahir, lalu usaplah langit-langit mulutnya dengan buah kurma atau sem-
isal dengannya dan doakanlah semoga mendapat barokah.
Karena hadits Abu Musa R.a yang berkata : “telah lahir anakku, lalu aku bawa kepada Nabi Saw,
maka diberinya nama ibrahim, lalu di usap langit-langit mulutnya dengan kurma dan di doakan
dengan barokah...”seterusnya hadits. [H.R Bukhari]
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa Rasulullah mentahnik-kan bayi yang baru lahir dan
mendo’akan keberkahan untuknya. Tahnik adalah mengunyah sesuatu dan menaruhnya di mulut bayi
dan mengolesnya, agar melatih anak untuk makan dan menguatkan gusinya.[Fathul Bari, Ibnul Hajar
Al-Asqolani,6/588]. Adapun maksud dari apa yang disyari’atkan oleh Allah lewat Rasul-Nya berupa
tahnik anak ketika lahir dengan kurma setelah di lembutkan dan di basahi, adalah disamping sebagai
sebuah sunnah, juga menenangkannya dan menjadikan bayi merasa aman dalam kelanjutan maka-
nannya. Khususnya dengan kurma yang kadar manisnya tinggi, sehingga disukai si bayi.
2. Mohonkanlah perlindungan seraya mengucapkan a’udzu bikalimaatihi taamati min
kulli syaithaani wa haamatin, wa min kulli ‘ainin laamatin.
Karena hadits Ibnu Abbas R.a yang berkata : adalah Rasulullah Saw. Memohon perlindungan bagi
Hasan dan Husain dan bersabda : sesungghnya nabi Ibrahim memohon perlindungan bagi Isma’il dan
ishaq, aku berlindung dengan Firman Allah dari segala syetan, gangguan dan penggoda yang ja-
hat.[H.R Bukhari]
Dari Mu’awiyah bin Qurrah ia berkata, : ketika saya melahirkan putraku Iyyas, saya me-
manggil beberapa orang dari sahabat Rasulullah Saw.dan menjamu mereka makan kemudian mereka
berdo’a. Saya berkata : sesungguhnya anda semua telah mendo’akannya. Semoga Allah memberkati
anda dengan apa yang anda do’akan.kalau saya berdo’a dengan sebuah do’a, mohon anda aminkan.
Maka saya mendo’akannya dengan do’a yang banyak untuk agamanya, akalnya, dan lainnya.[shahih
al-adabul mufrad, syaikh Al Bani, no 485, dan berkata : sanadnya baik dan maqthu’] kemudian saya
mendapat pengaruh doa pada anak tersebut setelahnya.
Tidak diragukan lagi, bahwa doa bisa mendatangkan kebaikan dan termasuk bentuk syukur
kepada Allah yang karenanya Allah akan menambahkan nikmat-nikmat-Nya. Allah berfirman :”dan
ingatlah juga, tatkala Rabbmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan
menambah (nikmat) kepadamu [QS.Ibrahim : 7]
3. Atau semisal dengan itu
Maksudnya sama dengan point ke dua, yaitu jika seorang ank lahir maka harus di tahnik dan di mo-
honkan perlindungan atasnya. Karena firman Allah dalam QS. Ali Imron ayat 36 :” dan aku
menamakan Maryam dan aku memohonkan perlindungan dari syetan yang terkutuk”.
4. Berilah nama yang bagus
Karena hadits Abu Darda yang berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :”kamu akan dipanggil kelak
di hari kiamat, nama-namamu dan nama orangtuamu, maka baguskanlah nama-namamu.[disebutkan
oleh Abu Daud dan oleh Ahmad Darimi dan berkata Ibnul Qayyim bahwa sanadnya bagus]
Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Termasuk keindahan adalah mem-
berikan nama yang baik kepada putra dan putri, serta menjauhkan mereka dari nama yang jelek. Islam
adalah agama yang mudah. Allah berfirman :” Allah menghendaki kemudahan bagimu”.[QS.Al-
baqarah :185]
Imam Malik dalam kitabnya “Almuwaththa” 2/973 menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
Bersabda kepada tukang perah, “siapa yang mau memerah kambing ini?” seorang berdiri dan berkata
“saya”. Rasulullah bertanya “siapa namamu?” dia menjawab “Murrah (pahit)”. Rasulullah bersabda
kepadanya “duduklah”.kemudian bersabda lagi “siapa yang mau memerah kambing ini ?”seorang
berdiri dan berkata “saya” Rasulullah bertanya “siapa namamu” dia menjawab “”harb (perang).
Rasulullah bersabda kepadanya “duduklah !”. kemudian bersabda lagi “siapa yang mau memerah
kambing ini ?” seorang yang lain berdiri dan menjawab “saya”, Rasulullah bertanya “siapa
namamu ?” dia menjawab “Ya’isy (hidup). Rasulullah bersabda kepadanya : “perahlah”. Rasulullah
Saw. Membenci seseorang yang mempunyai nama yang tidak disukai untuk memerah kambing.
5. Pada hari ketujuhnya
Disunnahkan menyembelih aqiqah untuk anak yang dilahirkan pada hari ketujuhnya. Ber-
dasrkan hadits Samurah bin jundab, Rasulullah bersabda :” seorang anak tergadai dengan
Aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan di beri
nama”. .[shahih diriwayatkan oleh Abu Daud no 2838, an-Nasai(VII/166), At-Tirmidzi no. 1522,
Ibnu Majah no. 3165. Dan selain mereka]. Jika telah berlalu hari yang keujuh, maka pada hari yang
keempat belas. Jika berlalu maka pada hari yang kedua puluh satu. Demikian menurut pendapat Han-
abilah, dan ini pendapat yang lemah dikalangan Malikiyah. Dan demikian juga Ishaq.
Asy-syafi’i menegaskan bahwa aqiqah tidak gugur dengaan menundanya, tapi di sunnahkan
untuk tidak ditunda hingga usia baligh. Jika diunda lewat usia baligh, maka gugurlah hukum aqiqah
tersebut pada selain anak yang dilahirkan itu. Sementara ia diberi kebebasan untuk melaksanakan
aqiqah untuk dirinya sendiri. [Al mughni (IX/364), cet. Al-fikr dan Al mausu’ah (XXX/278).
6. Dan cukurlah seluruh rambutnya
Qaza’ adalah mencukur rambut anak dan membiarkannya disebagian yang lain, sehingga
mirip qaza’ sahab (gumpalan awan) [An-Nihayah, Ibnu Atsir, hal 134].
Dari Ibnu umar Ra., Rasulullah melarang qaza’. Saya bertanya kepada nafi’ “apa itu qaza?”
dia menjawab “sebaian kepala anak dicukur dan membiarkan sebagian yang lainnya.[HR. Albukhari,
kitabul libas, no.5465] yang diperintahkan adalah mencukur seluruh bagian kepala, bukan mencukur
sebagian dan membiarkan sebagian yang lain. Hal itu bertentangan dengan karakteristik islam yang
membedakan seorang muslim dengan agama dan keyakinan-keyakinan yang lain, juga dari semua
ahli maksiat dan kemungkaran. Bisa juga qaza’ akan menyerupai orang kafir.
7. Dua ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan
Sejumlah ulama berpendapat bahwa kemutlakkan yang terdapat didalam sabda Nabi
Saw.”sembelihlah hewan untuknya”, dibatasi dengan sabdanya “untuk anak laki-laki seekor kambing
dan untuk anak perempuan satu ekor”. Berdasarkan hal ini, mereka mengatakan tidak sah aqiqah
dengan selain kambing.
Seyogianya hewan aqiqah ini terhindar dari cacat. Yakni cacat yang tidak sah dijadikan qurban
dan sembelian lainnya. Ibnu Hazm berkata dalam “al muhalla” boleh disembelih hewan yang mem-
iliki cacat, baik cacat itu diperbolehkan untuk dijadikan hewan qurban maupun tidak. Namun yang
paling baik adalah terhindar dari kecacatan [shahih fiqih sunnah jilid 3 hal 549]
Kemudian hukum-hukum aqiqah selanjutnya terdapat dalam shahih fiqih sunnah jilid 3, yaitu :
1. Tidak sah berkongsi dalam aqiqah. Oleh karena itu tidak sah seekor kambing kecuali untuk
seoarng anak. Berdasarkan sabda Rasulullah saw. ” setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka
disembelihlah untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.[shahih diriwayat-
kan oleh Abu Daud no 2838, an-Nasai(VII/166), At-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165. Dan
selain mereka].
2. Tidak ada satu hadits sahih pun dari Nabi Saw. Yang melarang memecahkan tulang hewan
aqiqah, atau memakruhkan hal itu. Demikian pula tidak sah adanya perintah untuk mengirim ka-
kinya kepada penerimanya.
3. Menyedekahkan aqiqah lebih utama dari pada meneyedekahkan harganya. Sebab substansi
penyembelihan dan menumpahkan darah adalah yang menjadi tujuan. Hal itu merupakan ibadah
yang diiringkan dengan perintah shalat.[Al-kautsar :2]
4. Anak yang dilahirkan tidak dilumuri dengan darah aqiqah. Sebab ini merupkan kebiasaan
jahiliyah yang dilarang oleh Nabi Saw.[lihat kitab penulis, 250 akhtha’ min akhtha an nisa, hal
11]
5. Disunnahkan untuk memasaknya. Tidak memberikan dagingnya dalam keadaan mentah.
Sehingga orang-orang miskin dan tetangga tidak repot memasaknya. Ini merupakan nilai dalam
perbuatan baik dalam rangka mensyukuri nikmat Allah, dan sebagai bukti kemuliaan dan
kedermawanan.

2.7 Tatacara Menyembelih Hewan Aqiqah :


a Menajamkan pisau
b Menjauh dari kambing ketika menajamkan pisau
c Menggiring kambing ketempat penyembelihan dengan cara yang baik
d Merebahkan hewan sembelihan
e Menghadapkan hewan sembelihan kearah kiblat
f Tidak boleh menggunakan tulang atau kuku sebagai alat sembelihan
Membaca bismillahi wallahu akbar
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Definisi Aqiqah menurut istilah Syar’i, adalah hewan yang disembelih karena kelahiran anak sebagai
rasa syukur kepada Allah Swt. Dengan niat dan syarat-syarat tertentu.
v Ketentuan-ketentuan Aqiqah :
1. disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuhnya 2. disunnahkan mentahniknya dengan makanan
yang manis-manis dan dimohonkan perlindungan.3. mencukur seluruh rambutnya 4. memberi nama
yang bagus 4. disunnahkan bagi laki-laki 2 ekor kambing, dan bagi perempuan seekor kambing. 5.
Tidak boleh berkongsi dalam aqiqah, artinya satu ekor kambing untuk seorang anak. 6 Disunnahkan
memasaknya, agar orang yang menerimanya tidak kerepotan. 7. Anak yang dilahirkan tidak boleh
dilumuri oleh darah aqiqah.
v Tatacara menyembelih hewan aqiqah :
1stMenajamkan pisau
2nd Menjauh dari kambing ketika menajamkan pisau
3rd Menggiring kambing ketempat penyembelihan dengan cara yang baik
4th Merebahkan hewan sembelihan
5th Menghadapkan hewan sembelihan kearah kiblat
6th Tidak boleh menggunakan tulang atau kuku sebagai alat sembelihan
7th Membaca bismillahi wallahu akbar
3.2 Saran
Segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah bersifat tauqifi, artinya sudah menjadi keteta-
pan, tidak bisa dirubah, dikurangi, ataupun ditambahkan. Akan tetapi boleh purifikasi, artinya pem-
urnian terhadap ibadah menuju ibadah yang sesuai ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
 Sahih Fiqih Sunnah,
 Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, cet. 2011
 Cara Nabi Saw Menyiapkan Generasi, Jamal Abdurrahman, 2006. La Raiba Bima Amanta(Elba):
Surabaya
 Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali
 Kitab Zadul Ma’ad
 Kitab Tuhfatul Maudud, Ibnul Qayyim
 Kitab An-Nihayah, Ibnu Atsir.
 Dan banyak lainnya di innote.

I. PENDAHULUAN
Aqiqah adalah suatu tradisi islam yang mana telah ada sejak zaman Nabi saw. Yakni selamatan atas
kelahiran seorang bayi ke dunia. Kelahiran bayi dirayakan merupakan sebagai rasa syukur terhadap
Allah swt yang mana terlahirnya anak didunia. Tradisi ini bertujuan untuk menjamu dengan me-
masak daging yang mana mempunyai tujuan yang baik yakni bentuk sosial yang mana adanya in-
teraksi sosial masyarakat.
Bila ‘aqiqah’ diakui sebagai “Sunnah” Rasulullah saw., apakah esensi “sunnah”nya terletak pada
hari pelaksanaannya, ataukah pada hewan yang disembelih, ataukah jumlah hewan yang disembelih
untuk bayi laki-laki dua ekor kambing dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan, ataukah ter-
letak pada aspek lainnya, misalnya nilai syukur atas kelahiran sang bayi.
Dikalangan masyarakat memandang membuat aqiqah anak-anak itu memang benar-benar perintah
agama. Dalam pelaksanaan aqiqah ini mempunyai tata cara tentang bagaimana pelaksanaan, syarat-
syarat binatang dan hukum tentang aqiqah, lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
1stApa Pengertian Aqiqah?
2nd Apa Dasar Hukum Aqiqah?
3rd Seperti apakah ketentuan hewan Aqiqah?
4th Bagaimanakah pelaksanaan Aqiqah?
5th Bagaimana tata cara pembagian daging Aqiqah?
III. PEMBAHASAN
1stPengertian Aqiqah
Aqiqah berasal dari kata aqiq yang berarti rambut bayi yang baru lahir. Karena itu aqiqah selalu di-
artikan mengadakan, selamatan lahirnya seorang bayi dengan menyembelih hewan (sekurangnya
seekor kambing).[1] Menurut istilah syara’ artinya menyembelih ternak pada hari ketujuh dari ke-
lahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong.[2]
Sebenarnya banyak sekali pengertian aqiqah, namun dari kesemuanya dapat diambil titik tengah se-
bagai berikut:
1stAqiqah merupakan upacara ritual yang dilaksanakan pada saat lahirnya keluarga baru atau ke-
lahiran baru.
2nd Upacara ritual aqiqah terdiri dari beberapa bagian anatara lain menyembelih hewan, memo-
tong rambut, sedekah, pemberian nama, serta acara lainnya.
3rd Inti aqiqah adalah ungkapan rasa syukur yang dituangkan dalam kurban, sedekah, emas atau
perak ataupun berupa makanan.[3]
4th Dasar Hukum Aqiqah
Hukum Aqiqah adalah sunnah muakkad, sekalipun orang tua dalam keadaan sulit, “Aqiqah dil-
akukan Rasulullah dan Sahabat”. Seperti diketahui kelahiran seorang bayi merupakan berita yang
sangat menggembirakan bagi orang tua karena itu sudah sepantasnya dirayakan dengan diselamati
sebagai tanda syukur pada Allah swt. Tetapi kemiskinan dan kekayaan diantara umat islam menjadi-
kan aqiqah sulit dilaksanakan apibila hukumnya wajib bagi orang miskin. Perintah Nabi berkenaan
dengan penyembelihan aqiqah ini sudah disepakati oleh seluruh madzhab sebagai anjuran (amar-
linnadab) bukan (amar-liwujub) atau perintah wajib. Ini berarti apabila ada keluarga yang sama
sekali tidak menyembelih aqiqah untuk anak-anaknya, maka tidak ada dosa atau hutang baginya un-
tuk membayarnya dimasa tua atau setelah kaya nanti. Akan tetapi dalam pandangan lain terdapat di
dalam hadis Rasulullah yang berbunyi:
ُ ْ‫ـق َرأ‬
ُ‫سـه‬ ُ َ‫سـ َّمى فِيْـ ِه َويُـحْ ل‬ َ ‫غالَ ٍم َر ِهيْـنَـةٌ ِبـ َعـ ِقـ ْيقَتِ ِه تُذْ َب ُح َعـ ْنـهُ َي ْـو َم‬
َ ‫سا ِبـ ِعـ ِه َويُـ‬ ُ ‫ُك ُّل‬
“Setiap anak yang lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu
ia diberi nama dan digunduli rambutnya.” (Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi,
Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim).[4]
Menurut hadis diatas ada yang menyatakan bahwa menyembelih hewan aqiqah itu wajib dan bila
dimasa kecilnya belum di aqiqahkan maka setelah tua dia sendiri wajib mengeluarkan aqiqahnya.
Menurut madzhab Hanafi, aqiqah hukumnya mubah dan tidak sampai mustahab (dianjurkan). Hal
itu dikarenakan pensyariatan qurban telah menghapus seluruh syariat sebelumnya yang berupa
penumpahan darah hewan seperti aqiqah, rajabiyah dan ‘atirah.
Dengan demikian, siapa yang mau mengerjakan ketiga hal ini tetap diperbolehkan, sebagaimana
juga dibolehkan tidak mengerjakannya. Penghapusan seluruh hal ini berlandaskan pada ucapan
Aisyah, “Syariat kurban telah menghapus seluruh syariat berkenaan dengan penyembelihan hewan
yang dilakukan sebelumnya”.[5]
1stKetentuan Hewan Aqiqah
Banyak ulama berpendapat bahwa semua hewan yang dijadikan hewan kurban, yaitu: unta, sapi,
kerbau, kambing, domba, dapat dijadikan hewan aqiqah.[6] Sedangkan syarat-syarat hewan yang
dapat disunahkan untuk aqiqah itu sama dengan syarat yang ada pada hewan kurban, baik dari segi
jenisnya, ketidak cacatannya, kejelasannya.
Syarat-syarat hewan yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah itu sama dengan syarat-syarat hewan
untuk kurban, yaitu:
1st Tidak cacat.
2nd Tidak berpenyakit.
3rd Cukup umur, yaitu kira-kira berumur satu tahun.
4th Warna bulu sebaiknya memilih yang berwarna putih.[7]
Jenis hewan yang disembelih Rasulullah saw dalam aqiah saat itu bukanlah inti drii aqiqah itu
sendiri, sehingga andaikan diubah dengan seekor burung kecil bahkan tidak menyembelih hewan
melainkan sekedar nasi dan lauk pauk pun selama berniat mensyukuri nikmat lahirnya putra sah
disebut aqiqah.[8]
1stPelaksanaan Aqiqah
Ada dua hadis yang menerangkan tentang jumlah binatang aqiqah yang disembelih untuk seorang
anak. Hadist yang pertama, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahkan cucu laki-laki be-
liau, masing-masing dengan seekor kambing.
ً ‫شا َكب‬
(‫ْش‬ ً ‫سي ِْن َك ْب‬ َ ‫س ِن َو ْال ُح‬َ ‫سلَّ َم َع َّق َع ْن ْال َح‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّاس أ َ َّن َر‬
َّ ‫سو َل‬ ٍ ‫ا )رواه أبو داود َع ْن اب ِْن َعب‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW mengaqiqahi untuk hasan dan Husain
dengan masing-masing satu kambing (HR Abu Daud dengan riwayat yang shahih).”[9]
Sedangkan hadis yang kedua menerangkan bahwa seorang anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua
ekor kambing, sedang anak perempuan diaqiqahkan dengan seekor kambing.[10] Sabda Rasulullah
SAW:
َ ‫ َم ْن اَ َحبَّ ِم ْن ُك ْم اَ ْن يُ ْن‬: ‫سلَّ َم‬
‫سكَ َع ِن‬ ‫صلَّى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ‫س ْو ُل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َ َل َر‬: ‫ب قَا َ َل‬
ٍ ‫شعَ ْي‬ ُ ‫َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬
(‫ )رواه احمد وابو داود والنسائى‬. ٌ ‫َولَ ِد ِه فَ ْل َي ْف َع ْل َع ِن ْالغُالَ ِم شاَتَا َ ِن ُمكاَفأ َ َتا َ ِن َو َع ِن ْالجا َ ِريَ ِة شاَة‬
Artinya : ” Telah berkata Rasulullah SAW : Barang siapa diantara kamu ingin beribadat tentang
anaknya hendaklah dilakukannya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan
untuk anak perempuan seekor kambing “.
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai.)

Sunnah untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor kambing ini hanya berlaku untuk orang
yang mampu melaksanakannya, karena tidak semua orang untuk mengaqiqahi bayi laki-laki dengan
dua kambing. Ini termasuk pendapat yang wasath (tengah-tengah) yang menghimpun berbagai da-
lil.[11]
Menurut banyak ulama’ aqiqah itu hanya berlaku bagi anak kecil, namun sebagian ulama lain
menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan setelah seseorang itu dewasa.[12] Penyembelihan he-
wan aqiqah sebaiknya dilaksanakan pada hari ke-7 atau hari ke-14 dan jika tidak bisa maka kapan
saja.
Dari kedua pendapat ini dapat diambil kesimpulan bahwa penyembelihan aqiqah yang paling baik
ialah dilakukan pada hari ke-7 dari hari kelahiran seorang anak, sedang bagi orang yang belum dia-
qiqahkan, maka aqiqah itu dapat dilakukan setelah umur dewasa.
Perbuatan-perbuatan yang baik dilakukan pada waktu anak baru lahir, antara lain:
1stMengadzankan dan mengiqamatkan
Disunatkan mengazankan anak laki-laki dan mengiqomatkan anak perempuan yang baru lahir, se-
hingga kata-kata yang pertama kali dienegar oleh seorang anak yang baru lahir itu adalah perkataan
yang baik.
1stMemberi nama
Rasulullah menganjurkan agar orang tua segera memberi nama anaknya yang baru lahir. Para ulama
sepakat bahwa perkataan yang dijadikan nama anak yang baru lahir itu adalah perkataan yang
mempunyai arti yang baik seperti Abdullah. Dan haram hukumnya memberi nama anak dengan per-
kataan yang mengandung unsur atau arti syirik, seperti abdul uzza, abdul ka’bah dan sebagainya.
1stMencukur rambut
Sunat hukumnya mencukur rambut anak yang baru lahir, sekurang-kurangnya menggunting tiga
helai rambut. Biasanya dilakukan waktu mengaqiqahkannya dan waktu memberi nama. Menurut
imam malik, disamping mencukur rambut rambut sunat pula hukumnya besedekah, sekurang-ku-
rangnya seharga perak seberat rambut yang dipotong itu.[13]
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut bayi, yaitu:
1. Diawali dengan membaca basmallah.
2. Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri.
3. Dicukur secara keseluruhan (gundul) sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
4. Rambut hasil cukuran ditimbang dan jumlah timbangan dinilai dengan nilai emas atau perak
kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.[14]
1stTata cara pembagian daging aqiqah.
Dalam pembagian daging aqiqah sama dengan pembagian daging qurban namun ada beberapa
perbedaan dalam aqiqah diantaranya:
1stDisunnahkan memasak daging sembelihan aqiqah dan tidak memberikannya dalam keadaan
mentah. Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, yang berbunyi: “ memasak dag-
ing aqiqah termasuk sunnah.” [15]
2nd Disunahkan untuk memakan sebagian daging aqiqah serta menghadiahkan dan menyedeka-
hkan masing-masing sebanyak sepertiga dari daging seperti hewan qurban.
IV. KESIMPULAN
Aqiqah diartikan mengadakan, selamatan lahirnya seorang bayi dengan menyembelih hewan pada
hari ketujuh dari kelahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong atas
rasa syuker kepada Allah SWT.
Hukum Aqiqah adalah sunnah muakkad. Perintah Nabi berkenaan dengan penyembelihan aqiqah ini
sudah disepakati oleh seluruh madzhab sebagai anjuran (amar-linnadab) bukan (amar-liwujub) atau
perintah wajib.
Ulama berpendapat bahwa semua hewan yang dijadikan hewan kurban, yaitu: unta, sapi, kerbau,
kambing, domba, dapat dijadikan hewan aqiqah. Jenis hewan yang disembelih Rasulullah saw da-
lam aqiqah saat itu bukanlah inti drii aqiqah itu sendiri, sehingg andaikan diubah dengan seekor bu-
rung kecil bahkan tidak menyembelih hewan melainkan sekedar nasi dan lauk pauk pun selama ber-
niat mensyukuri nikmat lahirnya putra sah disebut aqiqah.
Ada dua hadis yang menerangkan tentang jumlah binatang aqiqah yang disembelih untuk seorang
anak. Hadist yang pertama, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahkan cucu laki-laki be-
liau, masing-masing dengan seekor kambing Sedangkan hadis yang kedua menerangkan bahwa
seorang anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing, sedang anak perempuan diaqiqahkan
dengan seekor kambing.
Dalam pembagian daging aqiqah sama dengan pembagian daging qurban namun ada beberapa
perbedaan yaitu disunahkan memasak daging aqiqah dalam pembagiannya. Disunahkan untuk me-
makan sebagian daging aqiqah serta menghadiahkan dan menyedekahkan masing-masing sebanyak
sepertiga dari daging seperti hewan qurban.

V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga apa yanag terdapat dalam pembahasan ma-
kalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya, dan kususnya bagi para pembaca. Apa-
bila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun pemaparannya, kami
selaku pemakalah mohon maaf. Tidak lupa kami mengharapka kritik dan saran yang membangun,
sehingga dapat dijadikan bahan perbaikan makalah yang akan datang.
VI. DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, (Beirut: Maktabah Tajariyatil Kubro)


Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2011).
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1988).
Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Fiqih, (Jakarta: Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam, 1983).
Idris, Abdul Fatah, Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, Abu, Aqiqah (Perayaan Aqiqah Menurut Islam), (Yogyakarta: Litera
Sunny, 1997).
Saleh, Hasan, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).
Ulama’I, A. Hasan Asy’ari, Aqiqah dengan Burung pipit, (Semarang: Syar Media Publishing,
2010).
http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil pada
tanggal 26 November 2013.

[1] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),
1988), hlm. 263
[2]Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 317
[3]A. Hasan Asy’ari Ulama’I, Aqiqah dengan Burung pipit, (Semarang: Syar Media Publishing,
2010), hlm. 19
[4] http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil
pada tanggal 26 November 2013.
[5]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2011), hlm. 295
[6] Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008), hlm. 259.
[7] http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil
pada tanggal 276 November 2013.
[8]A. Hasan Asy’ari Ulama’I, Aqiqah dengan Burung pipit, (Semarang: Syar Media Publishing,
2010), hlm. 109
[9]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Maktabah Tajariyatil Kubro), hlm. 309
[10]Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Fiqih, (Jakarta: Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, 1983), hlm. 500-501
[11]Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, Aqiqah (Perayaan Aqiqah Menurut Islam), (Yogyakarta:
Litera Sunny, 1997), hlm. 31
[12] Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008), hlm. 260-261
[13] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Fiqih, hlm. 502
[14] http://a2dcollection.blogspot.com/2012/01/pengertian-dan-sejarah-aqiqah-aqiqah.html diambil
pada tanggal 276 November 2013.
[15] Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, Aqiqah (Perayaan Aqiqah Menurut Islam), hlm.47

Anda mungkin juga menyukai