Disusun oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pemeriksaan Fisik Kualitatif dan Kuantitatif”. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi besar alam, Muhammad SAW.
Adapun tujuan makalah ini disusun untuk melengkapi salah satu tugas mata
kuliah Kegawatdaruratan.
Dengan harapan makalah “Pemeriksaan Fisik Kualitatif dan Kuantitatif” ini
bisa menambah pengetuahuan, menambah wawasan dan mendatangkan manfaat.
Kami menyadari bahwasanya dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh
sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,
khususnya dari dosen mata kuliah yang bersangkutan guna menjadi acuan dalam
bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Aamiin.
Penyusun,
Sukabumi, Desember 2019
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalaha ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pemeriksaan Tingkat Kesadaran
2. Untuk mengetahui Mekanisme Penurunan Kesadaran
3. Untuk mengetahui Pengakhiran Resusitasi
4. Untuk mengetahui Cara memberikan tindakan lanjut apabila terjadi
kegagalan pada penanganan awal
5. Untuk mengetahui Cara pemakaian obat-obat darurat sesuai dengan
penyebab penurunan kesadaran
6. Untuk mengetahui Cara melakukan tindakan khusus pada pasien
dengan penurunan kesadaran, baik trauma maupun nontrauma
7. Untuk mengetahui Syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan
pada penderita dengan penurunan kesadaran
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang
baik.
f) SEMI-KOMA (koma ringan)
Yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi
refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri
tidak adekuat.
g) KOMA
Yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidakada respons terhadap rangsang nyeri.
Berdasarkan skenario, interpretasi tingkat kesadaran pasien
secara kualitatif yaitu masuk dalam kategori Sopor (Stupor).
3
Respon Verbal
1. Dapat berbicara dan memiliki orientasi baik 5
2. Dapat berbicara, namun disorientasi 4
3. Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas 3
4. Mengeluarkan suara tidak jelas 2
5. Tidak bersuara 1
Keterangan:
a. Skor 14-15 : Compos mentis
b. Skor 12-13 : Apatis
c. Skor 10-11 : Somnolent
d. Skor 8-9 : Stupor
e. Skor 6-7 : Semi koma
f. Skor ≤ 5 : Koma
3. Mekanisme Kesadaran
Etiologi Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi,
baik yang bersifat intracranial maupun ekstrakranial / sistemik.
Penjelasan singkat tentang factor etiologi gangguan kesadaran adalah
sebagai berikut:
a) Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang
otak). Perdarahan, thrombosis maupun emboli. Mengingat insidensi
stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap
kejadian gangguan kesadaran perlu digaris bawahi.
b) Infeksi: ensefalo meningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/absesotak)
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang
sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran
yang disertai suhu tubuh meninggi p Gangguan metabolisme. Di
Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes mellitus sering
dijumpai.
c) Neoplasma. Neoplasmaotak, baik primer maupun metastatik, sering di
jumpai di Indonesia. Neoplasma lebih sering dijumpai pada
4
golongan usia dewasa dan lanjut. Kesadaran menurun umumnya timbul
berangsur-angsur namun progresif/ tidak akut.
d) Perlu dicurigai adanya ensefalo meningitis.
e) Trauma kepala. Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan
lalu- lintas.
f) Epilepsi. Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsy umum dan
status epileptikus
g) Intoksikasi. Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan
bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h) Gangguan elektrolit dan endokrin. Gangguan in isering kali tidak
menunjukkan “identitas” nya secara jelas; dengan demikian
memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap
pencarian penyebab gangguan kesadaran.
5
Hipertensi menyebabkan baik batas bawah maupun batas atas
autoregulasidari aliran darah otak bergeser kearah tekanan yang lebih
tinggi, yang merupakan predisposisi penderita hipertensi untuk hipoperfusi
serebral dan mungkin iskemia Peningkatan tonus miogenik, remodeling dan
hipertrofi yang terjadi pada hipertensi berkontribusi pada pergeseran dalam
auto regulasi dengan mengurangi lumen pembuluh darah dan
meningkatkan resistensi serebro vascular.
a. Stroke Hemoragik
Diakibatkan karena pecahnya suatu mikro aneurisma dari
Charcot atau etatcrible diotak. Stroke hemoragik terjadi akibat adanya
perdarahan. Perdarahan dapat terjadi bila arteri di otak pecah, darah
tumpah ke otak atau rongga antara permukaan luar otak dan
tengkorak.
Perdarahan langsung ke jaringan otak atau disebut perdarahan
parenkim otak. Perdarahan intraparenkim spontan (nontraumatic)
paling sering pada usia pertengahan dan lanjut, dengan insiden
puncak pada usia sekitar 60 tahun. Sebagian besar disebabkan oleh
ruptur sebuah pembuluh intraparenkim kecil. Penyebab mendasar
yang paling sering menyebabkan perdarahan parenkim otak primer
adalah hipertensi yang menyebabkan lebih dari 50% kasus perdarahan
dan secara klinis bermakna.
Sebaliknya, perdarahan otak merupakan penyebab sekitar 15%
kematian pada pasien dengan hipertensi kronis. Pada perdarahan jenis
ini arteri yang berfungsi memvaskularisasi otak rupture atau pecah,
sehingga akan menyebabkan kebocoran darah ke otak, dan radang
menyebabkan otak tertekan karena adanya penambahan volume cairan.
Pada orang dengan hipertensi kronis terjadi proses degenerative pada otot
dan unsure elastic dari dinding arteri. Perubahan degenerative ini dan
ditambah dengan beban tekanan darah tinggi, dapat membentuk
penggembungan penggembungan keci lsetempat yang disebut
6
aneurisma Charcot- Bourchard. Aneurisma ini merupakan suatu locus
minorus resisten (LMR).
Pada lonjakan tekanan darah sistemik, misalnya sewaktu marah,
saat aktivitas yang mengeluarkan tenaga banyak, mengejan dan
sebagainya, dapat menyebabkan pecahnya LMR ini. Oleh karena itu
stroke hemoragik dikenal juga sebagai"Stress Stroke".
Ancaman utrama pendarahan intraserebral adalah hipertensi
intracranial akibat efek masa hematom. Tidak seperti infark, yang
meningkatkan tekanan intra cranial secara perlahan ketika edema
sitotoksik yang menyertainya bertambah berat perdarahan intracranial
meningkatkan tekanan intracranial dengan sangat cepat.
Peningkatan TIK ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran
karena dapat menekan medulla oblongata dan mengganggu RAS,
penurunan kesadaran bergantung pada kualitas perdarahan yang dapat
menyebabkan kerusakan structural maupun penekanan pada medulla
oblongata. Gejala yang muncul adalah:
a) Muntah
Mekanisme muntah pada saat terjadi peningkatan tekanan
Intrakranial karena adanya edema akibat cedera kepala, selanjutnya
akan merangsang reseptor tekanan intrakranial. Ketika reseptor
tekanan intrakranial terangsang akan mengakibatkan pusat muntah di
dorsolateral formatio retkularis terangsang. Selanjutnya formatio
retikularis akan menyalurkan rangsang motorik melalui nervus
vagus. Selanjutnya nervus vagus akan menyebabkan kontraksi
duodenum dan antrum lambung dan terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen, selain itu nervus vagus juga membuat sphincter
esofagus membuka, oleh karena itu terjadilah muntah.
b) Nyeri kepala
Perdarahan menyebabkan rembesan komponen komponen darah
termasuk zat pro inflamasi yang dapat merangsang terjadinya
7
nyeri kepala begitu juga dengan Peningkatn TIK yang disebabkan
oleh perdarahan akan merangsang struktur peka nyeri intracranial.
4. Penanganan awal pada kesadaran menurun
a. Primary Survey
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi didasarkan jenis
perlukaan, tanda- tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada pasien yang
terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital pasien
harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan pasien berupa primary
survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey, dan akhirnya
terapi definitif.
Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma, dan berusaha mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada
urutan berikut:
1. Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine
control)
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
3. Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)
4. Disability: status neurologis
a. Exposure/environmental control: buka baju pasien, tetapi cegah
hipotermia Airway Penilaian
Beberapa tanda objektif sumbatan airway dapat diketahui
dengan langkah- langkah berikut:
1) Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadaran
menurun, agitasi member kesan adanya hipoksia, dan
penurunan kesadaran member kesan adanya hiperkarbia.
Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kurangya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada
kuku da sekitar mulut. Retraksi dan penggunaan otot-otot
napas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan
adanya gangguan airway.
8
2) Dengar (listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang
berbunyi (suara, napas bisik) adalah pernapasan yang
tersumbat. Suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling),
dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan
dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara
parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada
laring. Pasien yang melawan ddan berkata-kata kasar (gaduh,
gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan/mabuk.
3) Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan arah trakea
berada di tengah.
9
dicapai dengan menarik dagu ke depan. Bila ada kecurigaan terjadi
fraktur tulang leher, tindakan membebaskan jalan napas dilakukan tanpa
ekstensi berlebihan kepala dan posisi leher harus diimobilisasi.
Umumya jalan napas harus terlebih dahulu dibuka, dibebaskan, dan
dibersihkan.
Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah
mungkin jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Bentuk
sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin lift maneuver) atau dengan mendorong rahang bawah kea rah
depan (jaw-thrust maneuver), airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway. Tindakan-
tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan
atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan
prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (inline
immobilization).
Head tilt/chin lift maneuver
Berdasarkan AHA, head tilt/chin lift maneuver adalah teknik paling
efektif untuk membuka jalan napas korban yang tidak sadar. Teknik ini
adalah satu-satunya maneuver yang direkomendasikan untuk penolong
awam dan penolong yang berpengalaman ketika ada trauma kepala atau
leher. Head tilt/chin lift maneuver dilakukan dengan meletakkan satu
tangan pada dahi pasien dan kepala dimiringkan kebelakang. Jari pada
tangan lain diletakkan dengan kuat di bawah bagian tulang yang
menonjol pada dagu, angkat dagu ke atas.
10
Jaw Trhust Manuever
Cara ini dilakukan pada korban dengan riwayat trauma servikal.
Tindakan jaw- thrust dilakukan dengan cara memegang sudut
rahang bawah (angulus mandibula) kiri dan kanan serta mendorong
rahang bawah ke depan. Hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk
mencegah ekstensi kepala.
Heimlich Maneuver
Obstruksi jalan napas dapat disebabkan oleh corpus alienum
misalnya karena tersedak. Tersedak adalah respon fisiologis terhadap
obstruksi saluran napas mendadak. Benda asing obstruksi jalan napas
menyebabkan asfiksia dan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan,
yang terjadi sangat akut, pasien sering tidak dapat menjelaskan apa yang
terjadi kepada mereka. Jika parah, dapat menyebabkan hilangnya
cepat kesadaran dan kematian jika pertolongan pertama tidak
dilakukan dengan cepat dan berhasil. Jika benda asing tidak tampak di
mulut dan tidak dapat ditangkap dengan jari atau alat harus dilakukan
Heimlich. Pasien dipegang dari belakang setinggi ulu hati dengan
kedua tangan : tangan yang satu memegang tangan yang lain dengan
cukup kuat, tangan ditekan sehingga diafragma naik dan terjadi tekanan
tinggi di rongga dada. Posisi tangan yang lebih dominan mengepal
dan tangan yang lain diletakkan di atasnya. Gerakan ini dapat
mengeluarkan benda asing.
11
Back Blows
Back blows adalah pukulan atau tepukan pada punggung pasien
sebanyak lima kali yang dapat dilakukan pada siapapun.
Finger sweep
Teknik untuk membersihkan obstruksi mekanik dari saluran napas
bagian atas pada pasien yang tidak sadar. Penyelamat membuka mulut
korban dengan memegang rahang bawah dan lidah antara ibu jari dan
jari-jari. Penyelamat kemudian mencoba untuk menyapu benda asing
keluar dari mulut korban dengan jari.
12
menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Pasien yang dapat
mentoleransi airway orofaringeal kemungkinan besar membutuhkan
intubasi.
Nasopharyngeal Airways
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior dengan
menggunakan jelly. Alat tersebut sebaiknya dilumasi baik-baik
kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tertutup.
Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan
coba melalui lubang hidung yang lainnya.
Breathing
Menjamin terbukanya airway merupakan langkah penting
pertama untuk pemberian oksigen pada pasien, tapi itu baru merupakan
langkah awal. Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien
terkecuali pasien juga mempunyai adekuat ventilasi dan mencari tanda-
tanda objektif dari ventilasi yang tidak adekuat.
a. Penilaian
Beberapa tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat dapat
diketahui dengan mengambil langka-langkah berikut:
1) Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
udara dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan
pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang
13
dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap ventilasi pasien.
2) Dengar (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi
dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu
atau kedua hemitoraks merupakan adanya cedera dada. Hati-
hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat, takipneu
mungkin menunjukkan adanya kekurangan oksigen (respiratory
distress).
3) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan
informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer pasien,
tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
b. Permasalahan
Ventilasi mungkin terganggu oleh sumbatan airway tetapi juga
oleh gangguan pergerakan napas (ventilatory mechanics) atau
depresi susunan saraf pusat. Apabila pernapasan tidak membaik
dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Trauma
langsung pada dada, khususnya yang disertai trauma tulang iga,
menyebabkan rasa sakit setiap kali bernapas dan menyebabkan
pernapasan yang cepat, dangkal, dan hipoksemia. Pasien lanjut usia
yang mengalami trauma toraks dan menderita gangguan paru
mempunyai resiko bermakna untuk mengalami gagal napas pada
keadaan ini.
Cedera intrakranial dapat menyebabkan pola pernapasan yang
abnormal dan mengganggu ventilasi. Cedera servikal dapat
menyebabkan pernapasan diafragmatik sehingga kemampuan
penyesuaian untuk kebutuhan oksigen yang meningkat menjadi
terganggu. Transeksi total servikal, yang masih menyisakan nervus
frenikus
menimbulkan pernapasan abdominal dan kelumpuhan otot-otot
intercostal. Bantuan ventilasi mungkin dibutuhkan.
14
Cedera dinding dada, rongga toraks, atau paru menyebabkan
gagal napas. Pada trauma majemuk, gagal napas dapat pula terjadi
bila trauma mengenai abdomen atas. Cadangan napas dapat
menurun bila penderita telah menderita gangguan napas sebelum
terjadi trauma sehingga pertukaran gas tidak cukup. Sindrom
gagal napas pada orang dewasa (Adult respiratory distress
syndrome, ARDS) adalah kegagalan paru karena trauma, syok,
sepsis.
c. Penanganan
Cara menanganinya adalah dengan melakukan ventilasi buatan
dan oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten
dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut,
mulut ke hidung atau mulut ke alat (S- tube masker atau bag valve
mask). Ventilasi buatan dengan tekanan positif jangka panjang
sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa endotrakeal
atau dengan trakeostomi.
Mouth to Mouth
15
setiap napas lebih dari 2 detik, pastikan ada pengembangan dada korban.
Bersiaplah untuk memberikan sekitar 10 sampai 12 napas per menit (1
nafas setiap 4 sampai 5 detik).
Mouth to Nose
Memberikan napas dari mulut ke hidung direkomendasikan jika
pemberian napas buatan melalui mulut korban tidak dapat dilakukan
misalnya terdapat luka yang berat pada mulut korban, mulut tidak dapat
dibuka, korban di dalam air atau mulut penolong tidak dapat mencakup
mulut korban.
Mouth to Mask
Sebuah masker transparan dengan atau tanpa katup yang digunakan
dari mulut ke masker pernapasan. Ventilasi mulut ke masker sangat efektif
karena memungkinkan penyelamat untuk menggunakan dua tangan
untuk membuat masker terpasang erat di daerah mulut pasien.Ada 2
teknik yang mungkin untuk menggunakan masker mulut. Teknik
pertama posisi penyelamat di atas kepala korban (cephalic technique).
Pada teknik kedua (lateral technique), penyelamat adalah diposisikan di
samping korban dan menggunakan head tilt– chin lift.
16
Bag Valve Mask
Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat dapat meggunakan
Bag Valve Mask (ambu bag). Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi
untuk memompa O2 bebas, valve atau pipa berkatup dan masker yang
menutup mulut dan hidung
penderita. Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang
penolong yang berpengalaman. Salah seorang penolong mebuka jalan
napas dan menempelkan sungkup di wajah korban dan penolong lain
memegang bagging. Teknik ventilasi bag valve mask membutuhkan
instruksidan praktek. Penyelamat harus dapat menggunakanperalatan
secara efektif dalam berbagai situasi.
Pada Skenario :
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada, dan diagfragma. Setiap komponen ini harus selalu dievaluasi secara
cepat. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding
dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Jika terdapat gangguan ventilasi kita bisa tangani denganCara
melakukan
ventilasi buatan dan oksigenasi dengan inflasi tekanan positif
secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi dari mouthto
mouth, mouth to nose, bag valve mask. Ventilasi buatan dengan tekanan
positif jangka panjang sebainya dilakukan melalui intubasi dengan pipa
endotrakeal atau dengan trakeostomi.
Circulation
Istilah henti jantung adalah istilah umum yang meliputi
konsekuensi hemodinamik pada asistol, fibrilasi ventrikel, dan
17
disosiasi elektrodinamik. Berhentinya kontraksi jantung tidak benar-
benar terjadi pada dua dari tiga keadaan ini. Bila curah jantung sangat
rendah sehingga semua tanda-tanda henti jantung muncul.
a. Penilaian
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta,
perdarahan.
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang
akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik: pasien
yang sadar belum tentu normo-volemik).
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien
trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya,
wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat,
merupakan tanda hipovolemia.
Periksalah nadi yang besar seperti A. femoralis atau A.
karotis (kiri-kanan), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi
yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normovolemia (bila pasien tidak minum obat beta- blocker). Nadi
yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan
jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi segera
untuk memperbaiki volume dan cardiac output.
b. Permasalahan
Kegagalan sirkulasi yang paling sering terjadi pada korban trauma
adalah syok dan henti jantung yang antara lain terjadi karena
perdarahan yang terlalu banyak atau karena cedera jantungnya
sendiri.
Tanda-tanda henti jantung adalah: tidak teraba nadi yang
sebelumnya teraba atau tidak ada denyut pembuluh darah besar
18
karotis atau femoralis. Salah satu atau kedua tanda utama ini berlaku
pada semua situasi.
Perlu dibuat diagnosis dengan cepat dalam hitungan detik akan
kejadian ini. Dilatasi pupil terjadi pada henti sirkulasi dan
merupakan tanda hipoksia. Hipoksia dapat juga mendahului henti
jantung sehingga sianosis serta midriasis telah ada walaupun curah
jantung tidak berkurang.
Tidak ada cadangan nyata oksigen di dalam tubuh tetapi pada
setiap saat tersedia kurang lebih 1000 ml oksigen. Jelas bahwa tidak
semua oksigen ini tersedia sepenuhnya untuk keperluan metabolik.
Jadi jika penggunaan oksigen terus tidak
berkurang, “cadangan” akan habis terpakai (paling lama 3 menit).
Secara umum, bila sirkulasi tidak mulai kembali secara spontan,
atau tidak ditambah secara buatan, dalam 3 menit sejak saat
berhenti, mungkin tidak ada gunanya kita memulai resusitasi.
Oleh karena itu, henti jantung klinis harus ditangani segera.
c. Penanganan
Syok
Perdarahan merupakan penyebab syok paling umum pada
trauma dan hampir semua pasien-pasien dengan trauma multipel
terjadi hipovolemia. Sebagai tambahan, kebanyakan pasien dengan
syok nonhemoragik memberikan respon yang singkat terhadap
resusitasi cairan. Walaupun tidak lengkap (parsial).
Klasifikasi perdarahan (kehilangan darah) dibagi menjadi empat
kelas
berdasarkan tanda-tanda klinis, merupakan perangkat yang
penting untuk memperkirakan presentasi hilangnya darah secara
akut. Perubahan-perubahan ini dapat menunjukkan adanya
perdarahan yang sedang terjadidan sebagai pedoman terapi awal.
Penggantian volume darah hendaknya didasarkan atas respon pasien
terhadap terapi awal dan bukan klasifikasi kehilangan darah. Sistem
19
klasifikasi perdarahan ini berguna untuk menetukan tanda-tanda
klinis awal patofisiologi kodisi syok.
Upaya diagnostik dan penangan syok harus dilaksanakan secara
simultan. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop perdarahan dan
penggantian volume darah/cairan yang hilang.
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas
cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE.
Pencatatan data-data awal penting untuk memonitor respon pasien
terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran merupakan faktor penting. Bila kondisi
memungkinkan, pemeriksaan yang lebih detil perlu dilaksanakan.
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen
tambahan untuk mempertahankan saturasi lebih dari 95%.
Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang
jekas terlihat, memperoleh akses intarvena yang cukup dan
menilai perfusi jaringan. Pendarahan dari luka-luka luar umumnya
dapat dikontrol dengan bebat tekan langsung pada perdarahan.
Terapi awal cairan larutan elektrolit istonik hangat, misalnya
Ringer laktat, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini
mengisi volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan
cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang itertisial dan
intraseluler.
Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan pada
respon pasien. Tujuan utama transfuse darah adalah untuk
mengembalikan kapasitas angkut oksigen di dalam volume
intravaskuler.
Chest Compression
Jika korban juga bernapas tidak normal (terengah-engah), penolong
harus mengasumsikan korban mengalami henti jantung. Penyelamat
awam harus melakukan panggilan darurat saat penyelamat menemukan
20
bahwa korban dalam keadaan tidak responsif, operator harus mampu
membimbing penolong awam untuk memeriksa pernapasan pasien serta
langkah-langkah CPR (cardiopulmonary resuscitation), jika diperlukan.
Setelah melakukan panggilan darurat, semua tim penolong harus
segera memulai CPR (lihat langkah-langkah di bawah ini) untuk korban
dewasa yang tidak responsif dengan tidak bernapas atau tidak bernapas
normal (terengah-engah).
Kompresi terdiri dari aplikasi irama dan tekanan yang kuat di
pertengahan sternum. Kompresi mengembalikan aliran darah dengan
meningkatkan tekanan intrathoracic dan langsung menekan jantung. ini
menghasilkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke miokardium dan
otak.
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mengembalikan
aliran darah selama CPR. Untuk alasan ini semua pasien dalam. serangan
jantung harus menerima kompresi dada.
Tim penyelamat harus berusaha untuk meminimalkan frekuensi
dan durasi gangguan dalam kompresi untuk memaksimalkan jumlah
kompresi per menit. Rasio kompresi-ventilasi 30:2 direkomendasikan
dengan kedalaman kompresi 5 cm.
Pedoman AHA 2010 untuk CPR dan ECC merekomendasikan inisiasi
kompresi sebelum ventilasi. Sementara tidak ada bukti manusia atau
hewan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa CPR dimulai dengan 30
kompresi lebih dari 2 ventilasi mengarah ke hasil yang lebih baik, jelas
bahwa aliran darah bergantung pada penekanan dada.
Untuk memaksimalkan kompresi dada, tempatkan korban pada
permukaan keras bila memungkinkan, dalam terlentang posisi dengan
penyelamat berlutut di samping dada korban atau berdiri di samping
tempat tidur. Karena tempat tidur rumah sakit biasanya tidak keras. Kita
merekomendasikan penggunaan papan meski tidak cukup bukti terhadap
penggunaan papan selama CPR.
21
Penyelamat harus menempatkan satu tangan di tengah (tengah) dari
dada korban dan tangan lainnya di atas tangan pertama sehingga tangan
dapat tumpang tindih dan paralel.
Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, mendorong keras
(push hard) dan mendorong cepat (push fast). Hal ini wajar untuk orang
awam dan kesehatan penyedia untuk kompres dada dewasa pada tingkat
minimal 100 kompresi per menit dengan kedalaman kompresi minimal 2
inci / 5 cm). Tim penyelamat harus mengusahakan dada mengembang
kembali ke posisi semula (recoil) disetiap pemberian sati kali
kompresi, untuk memungkinkan jantung untuk mengisi sepenuhnya
sebelum kompresi berikutnya.
22
2.3 Pengakhiran Resusitasi
Indikasi
a. Tanda- tanda Keberhasilan Resusitasi
Suatu resusitasi yang baik dinilai atas 3 dasar, yaitu:
1. Fungsi otak, pernapasan dan jantung dapat dipertahankan. Bila O2 yang
dibutuhkan oleh jaringan otak dapat mencegah terjadinya kerusakan
cerebral, maka ini dapat dinilai dari beberapa reaksi, antara lain:
2. Berdasarkan diameter pupil. Bila miosis, menunjukkan hasil yang
baik dan bila midriasis menetap, menunjukkan hasil buruk.
3. Refleks pupil
4. Reflex air mata
5. Struggling (meronta-ronta)
6. Tonus otot meningkat
Bila hal di atas positif, maka hal tersebut menunjukkan indikasi ke
arah perbaikan.
1. Terjadi spontanitas respirasi
Penilaian terhadap respirasi dapat dibagi menjadi:
a. Pernapasan menjadi normal atau apneu, gasping (megap-megap)
atau pernapasan cheyne-stokes
b. Frekuensi pernapasan berkisar antara 16-20 kali/menit
c. Amplitudo pernapasan yang meninggi
2. Fungsi kardiovaskuler
Fungsi kardiovaskuler dapat diketahui dari denyut nadi yang
teratur dan kuat dan juga dari tekanan darah. Bila fungsi kardiovaskuler
telah kembali normal, maka dilakukan penilaian:
23
a. Monitoring dari organ-organ vital dalam, antara lain
kardiovaskuler, ginjal, dan keseimbangan asam dan basa.
b. Apakah terdapat fibrilasi ventrikuler dan takikardi ventrikuler yang
berulang.
b. Tanda-tanda Kegagalan Resusitasi
Tanda- tanda dari kegagalan resusitasi dapat dibagi menjadi beberapa
hal, yakni :
1. Interval waktu yang terlalu lama antara fase cardiopulmonary arrest
dengan tindakan resusitasi yang dilakukan. Bila jarak ini lebih dari 3
menit, maka kemungkinan besar kerusakan yang cerebral yang
irreversible telah terjadi, sehingga tindakan resusitasi tidak akan
berhasil.
2. Progresivitas yang pasti dari keadaan ini dapat diketahui, akan tetapi
secara klinis terdapat perburukan dari fungsi respirasi atau fungsi
kardiovaskular yang dimanifestasikan pada perburukan fungsi serebral.
3. Teknik resusitasi yang salah.
a. Tekni resusitasi pernapasan yang salah disebabkan oleh karena
hambatan pada saluran napas, sehingga rasio perfusi ventilasi tidak
dapat mengatasi kebutuhan O2 pada titik kritis dari serebral.
b. Restorasi kardiovaskular yang kurang tepat. Baik lokasi penekanan
yang keliru tidak akan menghasilkan cardiac output yang adekuat
untuk memenuhi titik kritis dari kebutuhan daerah serebral.
1) Kerusakan mekanikal
Bila terjadi kerusakan pada paru, kardiovaskuler, atau rongga
thorax maka tindakan resusitasi kardiopulmonal dapat mengalami
kegagalan.
2) Resusitasi yang tidak memadai
Tindakan serta hasil restorasi pernapasan dan restorasi jantung
tidak akan dapat memenuhi titik kritis akan kebutuhan O2 dari
serebral.
24
3) Tergantung kepada etiologi atau penyebab dari cardio pulmonary
arres t.
c. Penghentian Tindakan resusitasi
1. Kematian klinis
Secara klinis tindakan resusitasi dapat dihentikan apabila setelah 1-1,5
jam jantung berhenti dan pasien tetap tidak dapat menunjukkan
kesadaran.
2. Kematian jantung
Dapat dimulai dengan tandanya monitoring EKG dalam waktu paling
sedikit 30 menit setelah tindakan resusitasi selama pemberian obat-
obatan.
3. Kematian otak
Secara total bila tidak terdapat aktivitas elektroensepalografi dan
secara klinis terjadi pelebaran pupil paling sedikit selama 1-2 jam maka
dapat dianggap sebagai indikasi untuk menghentikan resusitasi.
4. Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
1) Upaya resusitasi telah diambil alih orang yang bertanggung jawab.
2) Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
Setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa
pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat
disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral
akan pulih.
Pada Skenario:
- Nadi radialis 90X/menit
- Tekanan darah 160/90 mmHg
Menjaga agar tekanan darah tetap cukup tinggi untuk mengalirkan
darah (perfusi) ke otak dan menjaga komposisi darah (O2, Hb,
Glukosa) tetap optimal untuk metabolism otak
25
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/AVPU
2) Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya dan awasi tanda –
tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi dan circulation7
pada skenario:
4) E1M3V2 (Semi coma)
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap
keadaan oksigenasi, ventilasi, dan perfusi .
e. Exposure
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia: beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat7
26
Secondery Survei
Dimulai setelah primary survey selesai. Pada secondary survey dievaluasi dari
kepala sampai kaki pasien, yaitu riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, termasuk
penilaian kembali tanda-tanda vital.
RIWAYAT PASIEN
- Alergi
- Obat-obatan yang saat ini digunakan
- Penyakit masa lalu/kehamilan
- Makanan terakhir
- Peristiwa/Lingkungan yang terkait dengan cedera
PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala,
- tulangbelakang,
- leher,
- dada,
- Perut,
- panggul,
1) Kepala
- perineum,
- rectum,
- vagina,
- system musculoskeletal,
- system neurologis
Secondery survaice dimulai dengan evaluasi kepala untuk
mengidentifikasi ada tidaknya trauma neurologis dan trauma lainnya yang
signifikan. Pada kepala diperiksa ada tidaknya trauma laserasi, kontusio,
dan fractur.
Jika edema disekitar mata lakukan pemeriksaan lebih dalam, seperti:
o Ketajaman penglihatan
o Ukuran pupil
o Pendarahan konjungtiva atau fundus
27
o Luka tusuk
o Kontaklensa (dilepas sebelum edema terjadi)
o Dislokasilensa
o Okular yang terperangkap
28
Reevaluation
Pasien harus dievaluiasi secara berkala, memastikan tidak ada kelainan
yang terlewatkan, ataupun adanya kelainan baru.8
Pemantauan terus-menerus tanda vital, saturasi oksigen, dan
pengeluaran urin sangat penting. Untuk pasien dewasa normalnya urin
keluar 0,5 mL/kg/jam dan pada pasien anak yang lebih dari tahun normalnya
1 mL/kg/jam.
29
2.6 Cara melakukan tindakan khusus pada pasien dengan penurunan
kesadaran, baik trauma maupun nontrauma
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan penurunan kesadaran:10
Mempertahankan fungsi vital dan mencukupi kebutuhan akan O2 cairan dan
kalori
• Pelihara jalan napas
• Pemberian cairan dan kalori
Jumlah maintenance kira-kira 2000 ml/hari
Bila koma lebih dari 2-3 hari, berikan makanan personde agar intake
dapat lebuh banyak.
Pemeliharaan kebersihan tubuh
• Mata: ditetesi borwater/larutan garam faal
• Mulut: boraks-gliserin, alkohol tiap pagi
• Klisma: larutan gliserin 2-3x sehari
• Mandi dengan air dan sabun min 2x1
Mencegah infeksi sekunder dan dekubitus
• Untuk mengurangi kemungkinan pneumonia dan dekubitus posis
berbaring harus diubah-ubah tiap 2 jam.
• Mengeluarkan secret dengan ditepuk-tepuk dada dan punggung tiap
pagi hari
Pengobatan simtomatik
• Bila kejang atau gelisah berikan sedatif yang efek depresifnya minimal
(mis: diazepam)
• Untuk menurunkan tek.intrakranial gunakan kortikosteroid dan larutan
hipertonik.
2.7 Syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada penderita dengan
penurunan kesadaran
Menentukan perlunya rujukan.
Hasil tindakan pada pasien berhubungan langsung dengan waktu yang
dibutuhkan dari saat kejadian sampai diberikannya terapi definitive. Dalam
rumah sakit yang tidak ada dokter emergensi purna-waktu, dianjurkan agar ada
30
system komunikasi, sehingga dokter akan siap pada saat penderita tiba di ruang
emergensi tetap (Full Time). Saat merujuk pasien tergantung dari banyak factor
antara lain jarak rumah sakit yang akan dirujuk, keberadaan tenaga terampil yang
akan mendampingi pasien, dan intervensi yang perlu dilakukan. Penanganan
pasien ini mungkin membutuhkan intervensi bedah sehingga diusahakan pasien
dalam keadaan yang optimal sebelum dirujuk. Intervensi sebelum merujuk adalah
keputusan bedah.
Faktor yang berhubungan dengan rujukan
Faktor-faktor yang dapat dijadikan pegangan untuk merujuk penderita antara
lain adalah criteria fisiologis, pola perlukaan, biomekanika trauma dan beberapa
masalah khusus. Faktor-faktor tersebut dapat membantu dalam keputusan untuk
merujuk.
Ada criteria fisiologis yang dapat bermanfaat dalam menentukan
perlunya rujukan. Sebagai contoh adalah penderita dalam syok yang sulit
teratasi, atau penurunan keadaan neurologis.
31
Cara Rujukan
1) Dokter yang merujuk
Dokter yang mengirim bertanggung jawab untuk memulai rujukan,
pemilihan cara transport serta tingkat perawatan sepanjang perjalanan.
Dokter yang merujuk harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan dokter
penerima rujukan, mengetahui seluk-beluk cara transportasi yang dipilih,
dan mengatur pelayanan pasien salama transportasi.
Dokter yang akan merujuk bertanggung jawab bahwa pasien dalam
keadaan stabil saat akan berangkat. Proses merujuknya sendiri mungkin
sudah dimulai saat resusitasi masih berlangsung. Persetujuan untuk
rujukan pasien harus disiapkan, karena akan memperlancar proses rujukan.
2) Dokter penerima rujukan
Dokter penerima rujukan harus meyakini bahwa rumah sakitnya mampu
menerima pasien, dan memang bersedia menerima. Dokter penerima rujukan
harus membantu dokter yang merujuk dalam pemilihan cara transportasi, cara
perawatan selama dalam perjalanan. Bila dokter penerima rujukan
menyatakan menolak rujukan, maka tetap harus membantu mencari
alternative rujukan.
Cara Transportasi
Dalam memilih cara transportasi, prinsip “Do no further harm” harus menjadi
pertimbangan utama. Perjalanan antar rumah sakit dapat berbahaya, keculi
apabila terhadap pasien telah dilakukan stabilisasi, tenaga yang mendampingi
cukup terlatih, dan telah diperhitungkan kemungkinan yang terjadi selama
transportasi.
Protokol Rujukan
Apabila belum ada prosedur tetap, maka dianjurkan prosedur dibawah ini:
1) Dokter yang merujuk
Dokter yang akan merujuk harus berbicara dengan dokter penerima rujukan,
dan memberikan informasi dibawah ini:
Identitaspasien
32
Anamnesis singkat kejadiannya, termasuk data pra-rumah sakit yang
penting
Penemuan awal pada pemeriksaan pasien
Responter hadap terapi
2) Informasi untuk petugas yang akan mendampingi Petugas pendamping
harus paling sedikit diberitahukan:
Pengelolaan jalan nafas pasien
Cairan yang telah / akan diberikan
Prosedur khsus yang mungkin akan diperlukan
Revised Trauma Score, prosedur resusitasi dan perubahan-
perubahan yang mungkin akan terjadi selama dalam perjalanan
3) Dokumentasi
Yang disertakan dengan pasien adalah dokumentasi mengenai
permasalahan pasien, terapi yang telah diberikan, keadaan pasien saat akan
dirujuk.
4) Pengobatan sebelum merujuk
Pasien harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat pasien dalam
keadaan sestabil mungkin, seperti dianjurkan dibawah ini
a) Airway
Pasang airway atau intubasi bila perlu
Suction dimana perlu
Pasang NGT untuk mencegah aspirasi
b) Breathing
Tentukan laju pernafasan, berikan oksigen
Ventilasi mekanik bila diperlukan
Pasang pipa toraks (chest tube) dimana perlu
c) Circulation
Kontrol perdarahan luar
Pasang 2 jalur infus, mulai pemberian kristaloid
33
Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau darah, dan
teruskan pemberian selama transportasi
Pasang kateter uretra untuk monitor keluar urin
Monitor kecepatan dan irama jantung
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemeriksaan fisik dalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau
hanya bagian tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang
sistematif dan komprehensif, memastikan/membuktikan hasil anamnesa,
menentukan masalah dan merencanakan tindakan keperawatan yang tepat
bagi klien.
Pemeriksaan fisik Mutlak dilakukan pada setiap klien, tertama pada klien
yang baru masuk ke tempat pelayanan kesehatan untuk di rawat, secara rutin
pada klien yang sedang di rawat, sewaktu-waktu sesuai kebutuhan klien. Jadi
pemeriksaan fisik ini sangat penting dan harus di lakukan pada kondisi
tersebut, baik klien dalam keadaan sadar maupun tidak sadar.
Pemeriksaan fisik menjadi sangat penting karena sangat bermanfaat, baik
untuk untuk menegakkan diagnosa keperawatan . memilih intervensi yang
tepat untuk proses keperawatan, maupun untuk mengevaluasi hasil dari
asuhan keperawatan.
3.2 Saran
Agar pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan baik, maka perawat
harus memahami ilmu pemeriksaan fisik dengan sempurna dan pemeriksaan
fisik ini harus dilakukan secara berurutan, sistematis, dan dilakukan dengan
prosedur yang benar
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar,P. & Clark,M. 2006 Clinical Medicine, 6th ed. Elsevier Saunders,
Edinburgh London
2. Wijdicks EF, Varelas PN, Gronseth GS, Greer DM, American Academy of N.
Evidence- based guideline update: Determining brain death in adults:
Report of the quality standards subcommittee of the American Academy
of Neurology. Neurology 2010; 74: 1911-8.
4. Huff JS, Stevens RD, Weingart SD, Smith WS. Emergency neurological life
support: Approach to the patient with coma. Neurocritical Care 2012; 17(S1):
54-9.
5. Yeo SS, Chang PH, Jang SH. The ascending reticular activating system from
pontine reticular formation to the thalamus in the human brain. Frontiers
in Human Neuroscience [Internet]. 2013 [cited 2015 May 25];
7. Henry Sharon, MD, Karen Brasel, MD, Ronald M. Stewart, MD, FACS.
2018. “ATLS : Advanced Trauma Life Support Tenth Edition” The
Committee on Trauma: American College of Surgeons.
8. Stewart RM. Advanced Trauma Life Support ®. 10th ed. American College
of Surgeons; 2018.
11. Henry, Sharon; dkk. 2008. Advanced Trauma Life Support 8thEdition.
Chicago: American Collage of Surgeons Committee on Trauma
36