Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepemimpinan tanpa etika adalah malapetaka karena dapat menimbulkan
ketidakstabilan dan kehancuran. Seorang pemimpin wajib untuk
memimpin dengan berpondasikan etika yang kuat dan santun. Sebab,
tanpa etika kepemimpinan, maka pemimpin tidak akan pernah mampu
menyentuh hati terdalam dari para pengikut. Dan dia juga akan mnejadi
yang gampang untuk di olok-olok oleh lawan dan kawan. Bila lawan,
kawan, dan bawahan sudah suka meperolok-olokkan pemimpin, maka
malapetaka akan menjadi sahabat kepemimpinan tersebut.
Seorang pemimpin yang memiliki etika akan mampu membawa organisasi
yang dipimpinnya sampai ke puncak keberhasilan dengan memanfaatkan
semua potensi yang ada pada semua anggota organisasi yang dipimpin.
Seorang pemimpin menjadikan etika sebagai dasar mengoptimalkan semua
bakat dan potensi sumber daya manusia, dan meningkatkan nilai dari
semua sumber daya yang dimiliki oleh organisasi serta menghargai semua
kualitas dan kompetensi sumber daya manusia. Dan bukan seorang
pemimpin yang menciptakan jarak antara mimpi dan realitas. Tetapi dia
seorang pemimpin beretika yang membantu semua mimpi pengikutnya
menjadi kenyataan dalam kebahagiaan.
Pemimpin yang beretika tidak akan pernah punya niat untuk
menyingkirkan bakat-bakat hebat yang menjanjikan masa depan cerah. Dia
akan mengilhami semua orang dengan motivasi dan keteladanan untuk
mampu mencapai keunggulan, dan merangsang semua orang untuk
berfikir positif dan bekerja efektif.
Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari yang meliputi orang-
orang dan tindakan mereka. Maka etika bisnis termasuk semua manajer
dan hubungan bisnis mereka dan juga tindakan-tindakan mereka.
Tindakan-tindakan manajerial mereka selalu mempunyai dimensi etika.
Yang pertama adalah, manajer tidak dapat bekerja dengan ekonomi murni

1
tanpa menyentuh kehidupan manusia. Artinya adalah bahwa seorang
manajer tidak dapat bekerja sendiri tanpa bantuan dari anak buahnya.
Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah kepemimpinan yang
beretika. Etika adalah ilmu normative penuntun manusia, yang memberi
perintah bagi kita apa yang harus kita kerjakan dalam batas-batas sebagai
manusia. Itu menunjukkan kita dengan siapa dan apa yang sebaiknya
dilakukan. Maka etika diarahkan menuju perkembangan manusida dan
mengarahkan kita menuju aktualisasi kapasitas terbaik bagi kita.
Kita terikat dalam etika bisnis setiap kali memanggil seseorang atau
pemimpin manusia secara moral baik atau buruk, benar atau salah, adil
atau tidak adil. Filosofi hidup dan gaya kepemimpinan manajerial
berdasarkan pada pandangan yang pesimis atau optimis terhadap orang
lain. Melihat kembali ke manajer aktualisasi diri, yang memandang orang
lain secara optimis.Manajer mempengaruhi orang lain dalam hal bekerja
mencapai tujuan perusahaan. Cara-cara mereka mendominasi dan
mempengaruhi aktivitas orang lain secara langsung. Gaya kepemimpinan
manajer dan aplikasinya adalah ekspresi eksternal dari karakter dan jenis
moral pribadinya.
Formula kepemimpinan yang baik adalah memiliki integritas, kemitraan
dan penegasan. Integritas diperoleh dari dari respek dan kepercayaan.
Kemitraan adalah mengumpulkan potensi-potensi yang ada dari anggota
tim. Penegasan berarti menjadikan orang lain mengerti dan mengetahui
apa yang dilakukannya adalah penting dan orang-orang itu juga merasa
dihargai.
Sebuah tim yang berkinerja tinggi tidak boleh menjadi lambat hanya
karena ada yang gagal dalam menjalankan komitmennya. Anggota tim
yang tidak memiliki komitmen berarti tidak respek pada tim dan anggota
lainnya. Kepemimpinan menjadi efektif apabila semuanya dimulai dari
self-leadership setiap anggotanya. Dalam artian, tim itu menjadi kuat, bila
masing-masing pribadi dari anggotanya memang berkomitmen untuk
selalu respek dan loyalitas terhadap kemajuan timnya.
Kepimpinan bersifat dua arah. Di mana kepimpinan bukanlah merupakan

2
apa yang anda lakukan terhadap orang lain, melainkan apa yang anda
lakukan bersama orang lain. Dalam tim, kita tidak bekerja sendiri. Masing-
masing anggota mengemban tugas masing-masing dan mereka bekerja
mandiri namun masih bergantung dan berkesinambungan satu sama
lainnya. Dalam tim dibutuhkan kerjasama dan kekompakan yang akan
menjadikan tim tersebut kuat dan solid.
Dalam sebuah tim, sangat dibutuhkan kepercayaan. Kepercayaan berarti
membiarkan orang lain melakukan apa yang menjadi tugas dan
wewenangnya serta bertindak secara sama tetapi masih di dalam batas
kewajaran. Misalnya anggota diberi kepercayaan memiliki hak dan
kewajiban bekerja memakai computer, bukan berarti bila sang pemimpin
tim tidak berada di tempat, lalu anggota tim itu bisa dengan leluasa
bermain game atau internet. Begitu juga dengan pemimpin, pemimpin
bukan berarti bebas lepas melakukan apapun jua yang Ia sukai. Pemimpin
juga harus selalu menghormati peraturan yang telah ditetapkan bersama.
Kepercayaan terjadi apabila nilai dan tingkah laku bertemu. Orang-orang
akan semakin menaruh respek dan kepercayaan kepada pemimpin, apabila
apa yang diucapkan sang pemimpin sama dengan apa yang dilakukannya,
KONSISTEN atau tidak NATO (No Action, Talk Only).
Kunci kepemimpinan yang efektif terletak pada hubungan yang dibentuk
bersama anggota tim lainnya. Kepimpinan dimulai dari diadakannya rapat
pembentukan. Apa yang hendak dicapai? Dengan siapa pemimpin akan
bekerja? Pemimpin juga harus selalu melakukan dialog bersama
anggotanya, meminta saran dan masukan dan juga tak segan-segan
menegur bila anggotanya ada yang melakukan kesalahan. Pemimpin pun
harus mampu legawa menerima kritikan dari bawahan sebagai cambukan
agar bekerja lebih baik di kemudian hari. Formula rahasia yang kedua ini
berakar dari berbagai informasi. Membagikan gambaran besar akan
menjadikan setiap orang berada di halaman yang sama. Selain itu, waktu
untuk berdiskusi secara satu per satu akan menambah kualitas kemitraan
itusendiri.
Selain itu, pemimpin juga diharapkan memberikan pujian, bila hasil kerja

3
anggota timnya memang bagus. Pemimpin jangan terlalu gengsi atau
menjaga jarak. Karena pujian juga merupakan hal yang sangat penting
dalam kepemimpinan. Pujian yang efektif apabila diberikan secara
spesifik, tulus dan dengan cepat setelah kejadian yang layak beroleh pujian
terjadi. Pujian merupakan jalan terbaik bagi seseorang untuk mengetahui
kalau karyanya diakui, sehingga Ia akan semakin berkeinginan untuk lebih
maju lagi dalam berkarya. Setiap orang memiliki tenaga untuk
memberikan pujian. Ada kalanya kita menjumpai pekerja yang kinerjanya
kurang baik. namun kita juga harus mengakui kalau si pekerja masih
memiliki kemampuan dan kesempatan untuk bekerja lebih baik lagi di
masa datang. Orang-orang akan berpikir untuk dirinya sendiri apabila
seorang pemimpin berhenti berpikir untuk mereka. Kepemimpinan pada
dasarnya adalah bagaimana membawa orang-orang menuju ke tempat
yang seharusnya.
Pemimpin yang baik juga harus dapat menilai, mengembangkan dan
mempertahankan kemampuan kepemimpinan pribadi sepanjang waktu.
Dapat menginspirasi dan memotivasi orang lain (atau bawahannya).
Aspek yang sangat penting daripada seorang pemimpin adalah Emotional
Intelligence nya. Di mana peran kecerdasan emosi sangat penting dalam
kepemimpinan. Emosi pemimpin itu dapat menular ke seluruh organisasi.
Bila seorang pemimpin selalu memancarkan energi dan antusiasme dalam
bekerja, maka kinerja organisasi atau perusahaan pun akan meningkat.
Tidak pernah pantang menyerah, maka semua anggota tim akan begitu.
Pemimpin yang baik juga harus menyiratkan bahwa Ia adalah seorang
pembimbing, demokratis dan penentu kecepatan dalam bekerja. Dalam
membuat suatu keputusan, pemimpin sekiranya jangan plin-plan atau tidak
pasti. Karena hal ini dapat memberikan dampak buruk bagi emosi
bawahannya.
Pemimpin yang baik adalah seorang cakap dalam bernegosiasi dalam
perundingan, dan piawai saat berhadapan dengan siasat lawan. Pemimpin
yang baik juga harus selalu dapat menjadi teladan dan contoh tertinggi
bagi anggotanya dalam hal keberanian, pengorbanan dan pengendalian

4
diri. Serta seseorang yang cerdas dalam menyusun strategi. Mengingat
bahwa kepimpinan sangat berhubungan erat dengan strategi. Seperti dalam
berperang, tentu maju dengan strategi perang yang mantap dulu barulah
berangkat. Begitu pula dengan para pemimpin dalam bisnis atau manajer.
Strategi dapat ditentukan dari berbagai sudut pandang. Strategi yang baik
juga mengandung nilai-nilai yang dapat membawa tim menuju
keberhasilan, strategi yang baik juga dapat mengembangan hasil dari
kinerja tim. Namun seorang pemimpin jangan hanya bisa membuat
strategi, namun Ia harus berani melaksanakan strategi itu, walaupun untuk
pencapaiannya harus melewati berbagai risiko. Namun perlu diingat pula
bahwa seorang pemimpin yang baik tidak akan menempatkan anggotanya
pada risiko yang sangat fatal. Karena sebagai seorang pemimpin, Ia harus
selalu menjaga keutuhan dari timnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Kepemimpinan?
2. Apa itu pemimpin dan Kepemimpinan?
3. Bagaimana Pemimpin dan Etika Bisnis?
4. Bagaimana Pemimpin dengan konsep The Right Man and The Right
Place?
5. Bagaimana Mengembangkan Kepemimpinan Beretika?

5
BAB II
STUDI KASUS
Dewasa ini banyak diperbincangkan pentingnya etika bisnis dalam konteks
perdagangan bebas di level global, termasuk di kawasan Asia dan ASEAN
(ASEAN Economic Community). Berbagai kasus bisnis global telah
memberikan banyak pelajaran berharga bagi praktisi dan akademisi bisnis
akan pentingnya aspek etika dalam berbisnis, seperti kasus Enron,
Worldcom, Firestone, dan Indomie di Taiwan. Di dalam negeri, kita juga
pernah mendengar kasus terkait etika bisnis, seperti kasus iklan Talkmania
- Telkomsel dan obat nyamuk merek HIT. Kasus mie instan merek
Indomie merupakan salah satu kasus etika bisnis yang ramai
diperbincangkan beberapa waktu lalu. Mengingat kasus ini melibatkan
aspek etika bisnis perusahaan Indonesia di level global, sangat menarik
untuk menelaah kembali secara kritis kasus ini dan menjadikannya sebagai
bahan pembelajaran berharga, baik bagi praktisi bisnis maupun kalangan
akademisi (peneliti). Oleh karena itu, studi ini akan menelaah secara kritis
salah satu isu etika bisnis global, yaitu pelarangan peredaran mie instan
merek Indomie di Taiwan dan Hong Kong. Seperti diketahui, Indomie
merupakan merek mie instan yang dimiliki oleh perusahaan mie instan
terkemuka di Indonesia, yaitu Indofood. Secara spesifik, telaah akan lebih
banyak dilihat dari perspektif kepemimpinan beretika (ethical leadership).
Kepemimpinan beretika digunakan sebagai landasan analisis mengingat
konsep ini relatif banyak dikaji dan menjadi pusat perhatian banyak
peneliti etika bisnis di dunia.
Perumusan Masalah
Secara khusus, studi ini mengkaji 4 (empat) permasalahan utama yaitu: (1)
apakah pemerintah (otoritas) di Indonesia dan pemimpin perusahaan
Indofood telah menunjukkan kepemimpinan beretika atau tidak dalam
kasus penjualan mie instan merek Indomie di Taiwan dan Hong Kong?;
(2) apa saja faktor yang kemungkinan mempengaruhi tumbuhnya
kepemimpinan beretika dalam kasus penjualan mie instan merek Indomie
di Taiwan dan Hong Kong?; (3) apa saja dampak yang kemungkinan

6
ditimbulkan dari kurangnya (lemahnya) kepemimpinan beretika dalam
kasus penjualan mie instan merek Indomie di Taiwan dan Hong Kong?;
dan (4) bagaimana dampak kepemimpinan beretika terhadap kinerja
organisasional dalam kasus penjualan mie instan merek Indomie di Taiwan
dan Hong Kong?

7
BAB III
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
Kasus Penarikan Peredaran Indomie di Taiwan dan Hong Kong Dalam
makalah ini, kasus mie instan Indomie digunakan sebagai materi atau
bahan analisis. Secara keseluruhan, materi kasus Indomie ini diperoleh
dari http://pelangianggita.blogspot.co.id. Secara ringkas, kasus ini bermula
dari adanya penarikan peredaran atau larangan beredarnya mie instan
merek Indomie di Taiwan oleh pemerintah Taiwan. Pemerintah Taiwan
menyebutkan bahwa kebijakan penarikan atau pelarangan ini disebabkan
oleh adanya kandungan bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia
dalam mie instan merek Indomie. Disebutkan bahwa zat yang terkandung
dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid
(asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk
membuat kosmetik. Pada Jumat (8 Oktober 2010), pihak Taiwan telah
memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran.
Demikian pula, di Hong Kong, dua supermarket terkenal juga untuk
sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie. Praktisi
kosmetik menjelaskan bahwa kedua zat yang terkandung dalam Indomie
ini merupakan bahan pengawet yang mampu membuat produk tidak cepat
membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan
nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik, pemakaian
nipagin dibatasi maksimal 0,15 persen. Ketua Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi
manusia dalam kasus Indomie ini. Dijelaskan bahwa Indomie mengandung
nipagin, yang ternyata juga terkandung dalam kecap yang ada di dalam
kemasan Indomie. Namun, Ketua BPOM menjelaskan bahwa kadar kimia
yang terkandung dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk
dikonsumsi. Diungkapkan juga bahwa batas ketetapan aman untuk
mengkonsumsi nipagin yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan.
Melebihi batas tersebut akan berbahaya bagi tubuh, yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit
kanker. Ketua BPOM menyampaikan juga bahwa Indonesia merupakan

8
anggota Codex Alimentarius Commision. Menurutnya, sebenarnya produk
mie instan Indomie sudah mengacu pada persyaratan internasional tentang
regulasi mutu, gizi, dan keamanan produk pangan. Masalahnya, Taiwan
bukanlah anggota Codex Alimentarius Commision, sehingga produk
Indomie ditolak beredar di Taiwan dan Hong Kong. Ketua BPOM
menyampaikan bahwa produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan
seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Mengingat standar di antara
Indonesia dan Taiwan berbeda, muncullah kasus Indomie ini. Banyak
pihak memberikan berbagai analisis tentang kasus Indomie ini. Ada yang
berpendapat bahwa kasus ini tidak lebih dari persaingan bisnis semata.
Disebutkan bahwa produsen mie instan lokal asal Taiwan mengalami
kerugian karena tidak mampu bersaing dengan Indomie akibat harga
Indomie di pasar Taiwan dijual dengan harga lebih murah (Rp1.500 per
bungkus) dibandingkan harga mie instan produk Taiwan sendiri (Rp5.000
per bungkus). Selain itu, Indomie juga dianggap memiliki keunggulan lain,
seperti menawarkan berbagai varian rasa kepada konsumen. Demikian
pula, banyak TKI Indonesia di Taiwan menjadi konsumen favorit Indomie
karena harganya murah dan sudah familiar dengan merek Indomie. Analis
lain mempertanyakan alasan pemerintah Taiwan tidak membahas produk
Indomie dan tidak melarang produk ini masuk pasar Taiwan sedari awal.
Sikap pemerintah Taiwan dipertanyakan karena mengklaim produk
Indomie berbahaya untuk dikonsumsi pada saat produk ini sudah banyak
diminati konsumen di Taiwan. Pemerintah Taiwan dianggap melakukan
pelanggaran etika dalam persaingan bisnis. Kebijakan pemerintah Taiwan
ini dianggap sebagai cara yang bisa berdampak buruk bagi perdagangan
global. Oleh karena itu, analis menyarankan agar pihak perindustrian
Taiwan tidak serta merta menyatakan bahwa produk Indomie berbahaya
untuk dikonsumsi. Jika ingin melindungi produsen mie instan lokal
Taiwan, maka pemerintah Taiwan sebenarnya bisa membuat perjanjian
dan kesepakatan yang lebih ketat sebelum proses ekspor-impor dilakukan.
Merespon tudingan pemerintah Taiwan, pihak PT Indofood selaku
produsen Indomie menyatakan bahwa produk mereka telah lolos uji

9
laboratorium dengan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Indofood
juga menyatakan bahwa produk Indomie telah diterima dengan baik oleh
konsumen Indonesia selama berpuluhpuluh tahun. Menurutnya, Indomie
dinyatakan lulus uji kelayakan untuk dikonsumsi setelah melalui
serangkaian tes, baik yang diselenggarakan oleh badan kesehatan nasional
maupun internasional yang sudah memiliki standardisasi tersendiri
terhadap penggunaan bahan kimia dalam makanan.
2.1 Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan suatu ilmu yang mengkaji secara komprehensif
tentang bagaimana mengarahkan, mempengaruhi, dan mengawasi orang
lain untuk mengerjakan tugas sesuai dengan perintah yang direncanakan.
Ilmu kepemimpinan telah semakin berkembang seiring dinamika
perkembangan hidup manusia. Untuk memahami definisi kepemimpinan
secara lebih dalam, ada beberapa definisi kepemimpinan yang
dikemukakan oleh para ahli, yaitu :
a. Stephen P. Robbins mengatakan, kepemimpinan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan.
b. Richard L. Daft mengatakan, kepemimpinan (Leadhership) adalah
kemampuan mempengaruhi orang yang mengarah kepada pencapaian
tujuan.
c. G. R. Terry memberikan definisi : Leadhership is the activity of
influencing people to strive willingly mutual objectives
d. Ricky W. Griffin mengatakan, pemimpin adalah individu yang mampu
mempengaruhi perilaku orang lain tanpa harus mengandalkan
kekerasan; pemimpin adalah individu yang diterima oleh orang lain
sebagai pemimpin.
2.2 Pemimpin dan Kepemimpinan
Pemimpin dan kepemimpinan adalah ibarat sekeping mata uang logam
yang tidak bisa dipisahkan, dalam artian bisa dikaji secara terpisah namun
harus dilihat sebagai satu kesatuan. Seorang pemimpin harus memiliki
jiwa kepemimpinan, dan jiwa kepemimpinan yang termiliki dari seorang
pemimpin adalah tidak bisa diperoleh dengan cepat dan segera namun

10
sebuah proses yang terbentuk dari waktu ke waktu hingga akhirnya
mengkristal dalam sebuah karateristik. Dalam artian ada sebagian orang
yang memiliki sifat kepemimpinan namun dengan usahanya yang gigih
mampu membantu lahirnya penegasan sikap kepemimpinan pada dirinya
tersebut.
Para ahli dengan berbagai latar belakang keilmuan (science) dan
pengamalaman (experience) yang dimiliki berusaha untuk memberikan
penafsiran perbedaan antara pemimpin dan kepemimpinan. Gary Yulk
(1998) dalam Brantas (2009) membantu kita dengan melakukan kalsifikasi
definisi pemimpin dan kepemimpinan, yaitu :
 Pendekatan berdasarkan ciri. Pendekatan ini menekankan kepada
atribut-atribut pribadi para pemimpin. Dasar dari pendekatan ini
adalah asumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin dengan
beberapa cirri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Teori-teori
kepemimpinan ini tahap awal (1930-1940) gagal menemukan
garansi mengenai cirri-ciri kepemimpinan yang berhasil, karena
hanya mengacu kepada unsure-unsur yang alamiah. Teori-teori
selanjutnya menekankan kepada upaya mencari korelasi yang
signifikan tentang atribut pemimpin dan kriteria keberhasilan
seorang pemimpin. Dalam kelompok ini antara lain terdapat teori
kepemimpianan karismatik dan transformasional.
 Pendekatan berdasarkan perilaku. Pendekatan ini merupakan kritisi
terhadap generasi pertama pendekatan berdasarkan ciri.
Sebagaimana namanya, pendekatan ini sangat diwarnai oleh
psikologi dengan focus menemukan dan mengklarifikasikan
perilaku-perilaku yang membantu pengertian kita tentang
kepemimpinan. Didalam pendekatan ini terdapat antara lain teori-
teori tentang kepemimpinan kelompok. Pendekatan pengaruh
kekuasaan. Pendekatan ini mencoba memperoleh pengertian
tentang kepemimpinan dengan mempelajari proses mempengaruhi
antara para pemimpin dan para pengikutnya. Para teoritikus dalam
lingkungan pendekatan ini mencoba menjelaskan efektivitas

11
kepemimpinan dalam kaitannya dengan jumlah dan jenis
kekuasaan yang dipunyauseorang pemimpin dan cara kekuasaan
tersebut. Dalam kelompok ini terdapat antara lain teori-teori
kepemimpinan otoriter-demokratik-bebas (leizes faire).
 Pendekatan situasional. Pendekatan ini menekankan pada
pentingnya factor-faktor konstektual seperti sifat pekerjaan yang
dilaksanakan oleh unit pemimpin, sifat lingkungan eksternal, dan
karateristik para pengikut. Teori-teori dalam kelompok ini sering
diidentifikasi kedalam “teori kontijensi” yang dapat dikontraskan
dengan “teori universal” tentang kualitas umum kepemimpinan
yang efektif.
 Salah satu contoh yang baik disampaikan oleh Pak Willy, CEO,
dan sekaligus pemegang saham dari “Wismilak”, salah satu
industry rokok terbesar di Indonesia. Ia menceritakan bahwa dalam
masa krisis yang berat ia mengibaratkan perusahaan seperti perahu
layar yang sedang diterpa badai. Pemimpin sebgai nahkoda harus
memilih tempat yang paling stabil di mana dari sana ia dapat
memimpin seluruh kapal. Tempat itu tidak di buritan atau haluan,
tetapi ditengah-tengah perahu, di dekat tiang kapal. Apa artinya?
Dari pendapat diatas kita pahami bahwa seorang pemimpin dnegan
kualitas kepemimpinan yang dimilikinya bukan hanya sekedar
berusaha untuk melaksanakan tugas dan berbagai rutinitas pekerjaan
saja, namun lebih dari ituia merupakan symbol dari organisasinya. Dan
bagi banyak pihak symbol tersebut telah berubah secara lebih jauh
menjadi kekuatan positif yang menggerakkan sebagimana dikatakan
oleh Aan Komariah bahwa, “kepemimpinan merupakan satu aspek
penting dalam organisasi yang merupakan factor penggerak organisasi
melalui penanganan perubahan dan manajemen yang dilakukannya,
sehingga keberadaan pemimpin bukan hanya sebagi symbol yang ada
atau tidaknya tidak menjadi masalah, tetapi keberadaannya member
dampak positif bagi perkembangan organisasi.

12
Dorongan dan semangat kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang
pemimpin mampu menggerakkan suatu organisasi kearah yang
diinginkan, namun begitu pula sebaliknya jika kualitas dan kompetensi
seorang pemimpin adalah belum mencukupi untuk mebantu
mendorong kearah kemajuan maka artinya pemimpin tersebut hanya
memimpin dengan tujuan untuk pribadinya dan bukan untuk tujuan
keinginan organisasi. Karena tujuan organisasi artinya pemimpin
memimpin dengan menerapkan serta mewujudkan visi dan misi yang
dimiliki oleh organisasi tersebut, dan menempatkan kepentingan
pribadi bukan sebagai kepentingan utama.
2.3 Pemimpin dan Etika Bisnis
Dalam membangun dan mengelola sebuah organisasi seorang
pemimpin dituntut untuk bisa membawa organisasi tersebut kearah
terwujudnya visi dan misi yang dicita-citakan. Langkah untuk
mewujudkan visi dan misi tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk
dilaksanakan, tentunya ada banyak batu snadungan yang kan dilewati
termasuk persoalan internal dan eksternal organisasi yang harus
dibenahi.
Visi dan misi organisasi juga sebenarnya bagian visi dan misi
pemimpin. Sehingga sering orang menyebut jika kesuksesan sebuah
organisasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemimpin dan ketika
pemimpin mampu membawa organisasi tersebut kearah terwujudnya
visi dan misi maka tentunya public akan melihat bahwa pemimpin
tersebut adalah pemimpin sukses, dan begitu pula sebaliknya.
Dalam perspektif ilmu etika bisnis sering seorang pemimpin
melakukan tindakan pelanggran etika bisnis demi mewujudkan
tercapainya visi dan misi organisasi. Misalnya salah satu target misi
organisasi adalah mewujudkan kesejahteraan bagi para pemegang
saham atau pemilik perusahaan. Salah satu perwujudan tersebut
dengan mampu member kenaikan keuntungan yang tinggi yang
terangkum dalam meningkatnya penerimaan deviden bagi pemegang
saham.

13
Disisi lain para pemegang saham jika melihat penerimaan peningkatan
deviden terjadi maka mereka menganggap pemimpin atau manajer
tersebut telah berhasil dan sebaliknya jika penerimaan deviden
menurun maka manajer dianggap tidak berhasil. Dan bahkan jika
penerimaan cenderung semakin menurun setiap waktunya maka
memungkinkan ia untuk dpecat dari posisinya.
Persoalan menjadi komplek saat kondisi pasar berada dalam keadaan
yang kurang menguntungkan namun para pemegang saham atau
komisaris menuntut agar target keuntungan tetap tercapai. Kondisi
realita ini menyebabkan posisi pemimpin atau para manajer menjadi
terjepit, sehingga para manjer harus berpikir dan bekerja ekstra untuk
mewujudkan target tersebut. Dalam konteks seperti ini pelanggaran
etika sering terjadi.
Salah satu kasus yang sering terjadi ketika pemalsuan barang hasil
produksi yang biasanya berkualitas sangat baik sekali berubah menjadi
sangat baik saja. Misalnya perusahaan membuat cat tembokrumah
yang daya tahan cat tersebut bisa sampai 3 s.d 4 tahun dirubah hanya
memiliki daya tahan 2 s.d 3 tahun saja, produksi semen yang daya
tahannya sangat baik sekali dirubah menjadi hanya sangat baik saja
yaitu dengan mengurangi campuran pada jenis zat tertentu dan lain
sebaginya.
Kondisi realita lain juga dilakukan yaitu pada bagian sumber daya
manusia. Misalnya mengganti posisi bebrapa supervisor dan para
middle management yang dianggap sangat kritis dan bisa menghalangi
aplikasi tidakan kecurangan para top management tersebut dalam
melaksanakan kegiatan tersebut. Yaitu dengan menempatkan orang-
orang yang dianggap bisa bekerja sama dan mau melaksanakan tidakan
tersebut.
Aplikasi tindakan lain juga tergambarkan dalam bentuk perubahan
laporan keuangan dalam bentuk pelaporan angka keuntungan yang
kecil atau rendah untuk dilaporkan kepada petugas pajak. Sehingga
pembayaran pajak semakin kecil. Karena konsep pajak bersifat

14
proporsional yaitu semakin tinggi keuntungan maka semakin tinggi
pajak. Artinya keuntungan akan tetap akan tinggi karena pajak yang
dibayar kecil.
Tindakan seperti ini dapat dianggap sebagai kesalahan dan pelanggarn
etika bisnis yang dilakukan oleh pihak pemimpin perusahaan dengan
alasan atau sebab-sebab yang telah disebutkan diatas. Dan jika
pemimpin sebuah organisasi bisnis bisa memahami aturan etik bisnis
dengan baik serta mampu meyakinkan para pemegang saham bahwa
kondisi realita dilapangan sangat berbeda maka tentunya berbagai
pelanggaran etika bisnis tidak perlu dilakukan.
Secara karakter kita boleh menganggap bahwa pemimpin seperti ini
tidak memiliki penguatan pemahaman yang kuat atas nilai-nilai
kehidupan, dan cenderung mengedepankan berfikir pragtisme atau
bersifat jangka pendek saja. Bisa jadi ia menganggap bahwa
pelanggaran etika dalam jumlah seperti ini dianggap masih bisa
ditutupi atau dibolehkan, padahal kita semua mengetahui jiak sebuah
kesalahan diketahui oleh public dan itu dilakukan secara sengaja maka
ini bisa menyebabkan kefatalan. Misalnya kasus penyedap rasa yang
ketika diselidiki kandungannya mengandung lemak babi telah
menyebabkan terjadi penurunan penjualan karena itu dianggap haram
oleh umat islam.
Oleh karena itu meilih pemimpin dalam mengelola sebuah organisasi
bisnis juga tidak hanya harus melihat kompetensi akademik yang
dimiliki saja namun juga melihat karateristik dan sifat yang dimiliki
oleh seorang pemimpin. Sehingga wajar jika fit and proper test
menjadi sangat layak untuk dilakukan terutama melihat hasil test
psikologi. Termasuk lebih jauh melihat track record dari pemimpin
tersbut.
2.4 Pemimpin dan Konsep The Right Man and The Right Place
Salah satu kesuksesan seorang pemimpin pada saat ia mampu
menafsirkan konsep The Right Man and The Right Place secara benar,
serta salah satu kegagalan seorang pemimpin ketika ia mendudukkan

15
atau menempatkan seseorang bukan dalam konsep The Right Man and
The Right Place.
Penafsiran konsep The Right Man and The Right Place menjadi
menarik pada saat seseorang pemimpin melakukan terobosan
penempatan posisi jabatan seorang karyawan dalam bentuk promosi
tidak sesuai dengan latar belakang keilmuannya, misalnya background
pendidikan yang dimiliki. Secara otonomi keputusan ini adalah
wewenang seorang pemimpin namun dalam konteks ilmu manajemen
ini tidak tepat.
Organisasi profit dan nonprofit serta lembaga pemerintahan ini sering
terjadi. Seorang pemimpin berusaha melihat jauh ke depan, dan
pemimpin yang baik adalah yang mampu memahami suatu persoalan
sebelum persoalan itu timbul, serta pemimpin yang bijaksana adalah
yang mengerti secara dalam tentang capacity dan kompetensi yang
dimiliki oleh seorang bawahan secara keseluruhan.
Atas dua sisi secara umum seperti ini telah menyebabkan seseorang
yang menduduki posisi sebagai pemimpin berusaha menempatkan
setiap keputusan secara tepat dan arif. Kualitas keputusan
kepemimpinan akan menjadi lebih baik jika ia memiliki pemahaman
manajerial dan non manajerial. Dan pemahaman ilmu manajerial
seorang pemimpin akan selalu berbeda berdasarkan kepada setiap
tingkatannya, serta kepemilikan keterampilan manajerial tersebut juga
akan berbeda penerapannya pada setiap tingkatan manajer dalam
organisasi. Ini sebagaimana dikatakan oleh Wahyudi bahwa
“keterampilan- keterampilan manajerial diperlukan untuk
melaksanakan tugas manajerial secara efektif akan tetapi jenis
keterampilan berbeda menurut tingkatan manajer dalam organisasi”.
Sebenarnya penafsiran konsep The Right Man and The Right Place
bukan hanya harus dilihat bagaimana menempatkan seorang karyawan
sesuai dengan tempat dan kemampuannya, namun juga harus dilihat
sebaliknya bagaimana seorang pemimpin menempatkan kepemilikan
ilmu yang dimilikinya sesuai dengan kepemilikan keputusan yang

16
dilakukannya. Misalnya para manajer lini dianggap memiliki kapasitas
kemampuan yang tinggi dalam bidang teknikal. Ini terjadi disebabkan
para manajer lini memiliki hubungan kuat dengan setiap keputusan
yang bersifat teknikal, seperti pemrograman, pengolahan data,
penyusunan file, dan berbagai aturan dasar lainnya dalam bidang
administrasi.
Semakin tinggi posisi manajer seseorang maka akan semakin sedikit
penggunaan ilmu teknikalnya, dan lebih jauh ia semakin bergerak ke
penggunaan ilmu hubungan antar manusia. Pendekatan hubungan ilmu
antar manusia inilah yang telah menempatkan ilmu manajemen
kepemimpinan semakin terasa diperlukan, dan kesuksesan seorang
pemimpin salah satunya ketika ia mampu mengarahkan orang untuk
bekerja sesuai dengan yang diinginkan atau diinstruksikan.
2.5 Kepemimpinan Beretika
Banyak studi yang telah membuktikan peran penting etika dalam
bisnis. Konsep etika banyak memperoleh perhatian kalangan
akademisi maupun praktisi bisnis, terutama konsep kepemimpinan
beretika (ethical leadership). Secara khusus, konsep kepemimpinan
beretika banyak mendapat sorotan mengingat perannya yang signifikan
dalam pengelolaan sebuah organisasi bisnis. Beberapa peneliti yang
telah mengkaji konsep kepemimpinan beretika dalam beragam
organisasi bisnis di antaranya: Avey et al. (2011), Chughtai et al.
(2015), Chugtai (2015), de Lara (2014), Engelbrecht et al. (2014),
Engelbrecht et al. (2015), Kim et al. (2011), Lu et al. (2014), Mahsud
et al. (2010), Palanski et al. (2014), Ruiz-Palomino et al. (2013), Ruiz-
Palomino et al. (2014), Tumasjan et al. (2011), Walumbwa et al.
(2012), Weng (2014), Yang (2014), dan Zheng et al. (2011). Beberapa
penelitian, misalnya, berhasil menemukan bahwa perilaku
kepemimpinan beretika dapat mendorong peningkatan kepuasan kerja
dan komitmen karyawan terhadap organisasi (Toor dan Ofori, 2009),
kemauan untuk melaporkan permasalahan kepada atasan (Chughtai et
al., 2014), dan mendorong peningkatan kinerja (Piccolo et al., 2010;

17
Walumbwa et al., 2011; dalam Chughtai, 2015: 93). Kepemimpinan
beretika dianggap penting bagi kinerja karena mampu mendorong
interaksi efektif di antara pimpinan dan bawahan dengan menekankan
pada perilaku beretika di tempat kerja (Engelbrecht et al., 2015: 2-3).
Kepemimpinan seperti ini melibatkan karyawan dalam prosedur
pengambilan keputusan, serta mendukung kesejahteraan dan
pengembangan karyawan (Zhu, May, dan Avolio, 2004; dalam
Engelbrecht et al., 2015: 3). Pemimpin seperti ini cenderung pemimpin
yang bisa dipercaya karena perilaku kredibilitas yang dimiliki.
Pemimpin beretika dipersepsikan sebagai individu yang jujur, peduli,
dan berprinsip (Brown dan Trevino, 2006; dalam Engelbrecht et al.,
2015: 3). Pemimpin beretika juga memiliki keberanian untuk
mengubah intensi moral mereka ke dalam perilaku beretika (Zhu et al.,
2004; dalam Engelbrecht et al., 2015: 3). Secara spesifik,
kepemimpinan beretika melibatkan adanya partisipasi dalam
pengambilan keputusan, yang memperlihatkan perhatian pada
kesejahteraan bawahan, serta membangun hubungan berbasis
kepercayaan dengan para bawahannya (Brown et al, 2006; dalam
Chughtai, 2015: 92). Kepemimpinan beretika (ethical leadership)
didefinisikan sebagai: ‘‘the demonstration of normatively appropriate
conduct through personal actions and interpersonal relationships, and
the promotion of such conduct to followers through two-way
communication, reinforcement and decision making’’ (Brown et al.,
2005; dalam Chughtai 2015: 93); “the behavior of appropriate conduct
through personal actions and interpersonal relationships” (Yang, 2014:
514).
Dimensi moral merupakan ciri-ciri kepribadian pemimpin beretika.
Pemimpin beretika adalah seorang yang adil, jujur, dan terpercaya.
Pemimpin seperti ini membuat keputusan secara seimbang dan adil,
serta peduli dengan keadaan dan kesejahteraan bawahannya dan
berperilaku etis, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional
mereka. Secara spesifik, mereka proaktif mencoba mengubah pengikut

18
mereka dengan memodelkan perilaku beretika, merancang standar
etika yang jelas, dan menggunakan rewards and punishment untuk
meyakinkan bahwa standar-standar tersebut diikuti (Chughtai 2015:
93).
Anteseden Kepemimpinan Beretika Kontribusi penting konstruk
kepemimpinan beretika (ethical leadership) bisa dipahami secara lebih
jelas dan sistematis jika kita bisa mengidentifikasi anteseden
(penyebab) dan konsekuensi (akibat) yang ditimbulkan oleh konstruk
ini. Pemahaman semakin lengkap jika kita bisa mengidentifikasi
peranan faktor organisasional (praktik-praktik manajemen sumberdaya
manusia) dan kaitannya dengan kinerja organisasional. Berdasarkan
telaah atas beberapa studi sebelumnya, setidaknya ada tiga dimensi
atau konstruk yang bisa mempengaruhi tumbuhnya kepemimpinan
beretika dari seorang pimpinan puncak atau supervisor di sebuah
organisasi bisnis. Ketiga konstruk tersebut yaitu integritas perilaku
(Engelbrecht et al., 2015), alasan moral (Tumasjan et al., 2011), dan
jarak sosial (Tumasjan et al., 2011). Artinya, semakin berintegritas
pemimpin organisasi, semakin berkembang juga kepemimpinan
beretika di dalam organisasi tersebut. Demikian pula, semakin tinggi
moralitas pemimpin organisasi, semakin bertumbuh pula
kepemimpinan beretika di dalam organisasi tadi.
Konsekuensi Kepemimpinan Beretika Berbagai studi sebelumnya
berhasil menemukan adanya pengaruh signifikan kepemimpinan
beretika terhadap setidaknya 17 konstruk lain. Ketujuh belas konstruk
tersebut adalah: perilaku etis (Avey et al., 2011; Lu et al., 2014; de
Lara et al., 2014), intensi berperilaku etis (Ajzen et al., 1980; dalam
Choo et al., 2004), iklim etis (Lu et al., 2014), self-efficacy (Chughtai,
2015), otonomi pekerjaan (Chughtai, 2015), sifat kehati-hatian
(Walumbwa et al., 2012), perilaku yang berorientasi hubungan
(Mahsud et al., 2010), kualitas pertukaran pemimpin-anggota (Mahsud
et al., 2010; Tumasjan et al., 2011), hubungan pelanggan atau Guanxi
(Zheng et al., 2011; Weng, 2014), intensi untuk keluar/tinggal (Ruiz-

19
Palomino et al., 2013), kepuasan kerja (Palanski et al, 2014; Yang,
2014; Ruiz-Palomino et al., 2013; Kim et al., 2011), kesejahteraan
karyawan (Yang, 2014), kemauan untuk melaporkan permasalahan
(Kim et al., 2011), kemauan untuk merekomendasikan organisasi
(Ruiz-Palomino et al., 2013), kepercayaan terhadap organisasi
(Chughtai et al., 2015; Engelbrecht et al., 2015; Engelbrecht et al.,
2014), komitmen afektif (Ruiz-Palomino et al., 2013; Kim et al.,
2011), dan keterlibatan karyawan dalam pekerjaan (Engelbrecht et al.,
2015).
2.6 Mengembangkan Kepemimpinan Beretika
Mengembangkan Etika Kepemimpinan Sebagaimana dikatakan
Amundsen and de Andrade (2009),etika kepemimpinan berkaitan
denganinteraksi dan tanggung jawab pemimpin publik terhadap
masyarakat luas, sektor bisnis, luar negeri, atau terhadap instansi
publik itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin
perlu menjalin hubungan baik dengan siapa saja berdasarkan standar
etika tertentu yang dianggap baik, khususnya dalam konteks Indonesia.
1. Membangun kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional tdk
dapat berjalan dalam ruang kosong, tetapi memerlukan suatu
sistemmanajemen nasional (Sismennas) untuk menjalankan
mekanisme kepemimpinan dan siklus penyelenggaraan negara.
Kepemimpinan nasional diharapkan dapat mengawal Sismennas dan
menggerakkan seluruh tatanan untuk mengantisipasi globalisasi,
perubahan dan mendukung keberlangsungan kehidupan nasional.
Kepemimpinan nasional menghadapi dua isyu yang juga menjadi
tantangan bisnis global, yakni cross-cultural management danchange
management. Menurut CBI (2009), cross-cultural management
diperlukan dalam upaya memberikan pemahaman menjembatani
hambatan organisasi dan berbagai implikasi budaya. Change
management memberikan konsep untuk memahami dinamika dan
berbagai manuver dalam budaya organisasi untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan.

20
2. Kepemimpinan super (dalam iptek)
Dunia modern saat ini sedang membutuhkan konsep dan praktek
kepemimpinan kontemporer. Kepemimpinan ini dicirikan oleh super
leader yang mahir dalam penguasaan ilmu pengetahuan, komunikasi
IT, hubungan sosial dan kolegial, atau situasional. Kepemimpinan juga
disebut serba bisa (serba tahu), pemimpin entrepreneur, atau
komunikatif; yang mampu mentransformasikan info dan sumberdaya
menjadi benefit untuk organisasi (kenali Marissa Meyer, CEO Yahoo).
Pagon et al. (2008) menyatakan kepemimpinan membutuhkan
kompetensi, yakni individu (antecendent), kognitif (cognitive),
fungsional (fuctional) dan sosial (personal and social). Kompetensi
individu merupakan atribut yang melekat kepada diri seseorang
pemimpin. Kompetensi individu misalnya pendidikan, memberikan
pengaruh yang kuat kepada misalnya kompetensi kognitif. Kompetensi
kognitif memberikan landasan penguasaan pengetahuan umum,
hukum, teori dan konsep.Kompetensi fungsional merupakan
penguasaan ketrampilan untuk problem solvingdalam kegiatan sehari-
hari. Sementara kompetensi sosial merupakan kebutuhan untuk
pembinaan hubungan dengan individu atau sosial. Seluruh kompetensi
tersebut harus dipadukan dengan karakter organisasi antara lain visi,
misi, value, dan tujuan. Perpaduan kompetensi kepemimpinan dan
karakter organisasi akan menghasilkan keberhasilan dalam perubahan
(change management).
3. Kepemimpinan inklusif
Siapa saja atau pemimpin hendaknya tidak membatasi hubungan
pertemanan kepada hanya beberapa orang (eksklusif). Bergaulah
seluas mungkin, dengan bawahan, atasan, laki-laki atau perempuan,
sejawat atau lintas sektoral. Jangan pula mengkultuskan seseorang. Di
organisasi budaya/tradisionil, kultus individu terjadi seiring
tumbuhnya budaya feodal. Di organisasi pemerintah, kampus atau
corporate seyogyanya tidak ada kultus individu. Khususnya kampus,
adalah tempatberkembangnya kebebasan budaya akademik dan

21
pemikiran keilmuan. Mengkultuskan rektor, guru besar atau dosen
adalah wujud penyimpangan, atau suatu pengkerdilan pemikiran.
Kultus berlawanan dengan kodrat berpikir. Menghindari hubungan
eksklusif atau kults bertujuan untuk menggali nilai-nilai kebenaran dan
idealisme, serta untuk menempatkan harkat kemanusiaan.
4. Kepemimpinan kolegial .
Lahirnya gagasan pemikiran yang jernih atau idealism berasal dari
kompetensi atau modal keilmuan/ketrampilan. Hubungan atas dasar
keilmuan ini menghasilkan produktivitas tinggi dan kemajuan
organisasi. Pemimpin atau siapa saja dalam organisasi saling
melengkapi dan membantu demi terbangunnya kemajuan. Ada rasa
keikhlasan, kepuasan dan kepercayaan menyumbangkan kompetensi
untuk organisasi. Mereka ini bukan sekumpulan orang-orang yang
menunggu dibayar untuk bekerja. Orang-orang yang transaksional ini
senantiasa mengecewakan dan membebani organisasi. Kasus-kasus
korupsi adalah diakibatkan oleh orang-orang transaksional. Adarasa
tidak nyaman bekerja dengan orang-orang yang transaksional. Betapa
bahayanya bila pemimpin, atasan, atau bos berkarakter transaksional.
5.Kepemimpinan berdasar kebenaran Illahi. Teladan Rasulullah adalah
kepemimpinan terbaik yang mendasari kehidupan manusia. Rasul
menunjukkan pedoman hidup (Quran dan hadist), sikap hidup (akhlak)
dan jalan hidup (syariat) agar supaya manusia menempati derajad yang
tinggi, dan senantiasa memberi manfaat bagi sesamanya. Hubungan
antar manusia senantiasa terpelihara sebagai bagian untuk
mendapatkan ridho Allah SWT. Tidak ada lagi hubungan saling
mematikan, merugikan atau mengeksploitasi satu sama lain.
Sebaliknya tercipta suasana mementingkan mendahulukan umat (itsar).
Kita dapat meneladani kehidupan para sahabat yang penuh kasih dan
sayang, serta bersemangat tinggi ketika berjuang dan berdakwah.
Dalam hubungan kemasyarakatan, lingkungan kerja, atau komunikasi
sosial, semua orang perlu menciptakan rasa nyaman, saling
membutuhkan, dan berpikir positif untuk saling memahami. Hubungan

22
ini biasanya ditandai oleh adanya inisiatif untuk memberi,
mengkontribusidan melayani.
Menempati posisi puncak di perusahaan memang menjanjikan
kenyamanan, beragam fasilitas dan gaji besar. Tetapi, menjadi
eksekutif tidak selalu nyaman dan menyenangkan. Dengan posisi
tertinggi, sang Kepala Eksekutif dituntut memberikan contoh yang
baik kepada bawahan, serta berhati-hati dalam menjaga etika
perusahaan, termasuk hubungan pribadi dengan bawahan. Jika tidak,
sanksi dan hukuman siap mengancam.
Bukan hanya nama baiknya yang tercoreng, tetapi mereka harus
melepaskan dan meninggalkan jabatan penting yang disandangnya.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk
melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang
merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu
kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan
etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang
seimbang, selaras, dan serasi.Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu
kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan
anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang
harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah
tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok
bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.

Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha


dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan
internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam
berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik
pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan
hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain
berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak
terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan
etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan
pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika

23
didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak
dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang
mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu


diperhatikan, antara lain ialah:

1. Self Control (Pengendalian diri)

2. Social Responsibility (Tanggung jawab sosial)

3. Jati Diri

4. Persaingan yang sehat

5. Pembangunan Berkelanjutan .

6. Mandiri

7. Obyektif

8. Mutual Trust (Sikap Saling Percaya)

9. Konsekuen dan Konsisten

10. Sense Of Being

Kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati harus
dikembangkan, jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, maka
jelas masing-masing akan mendapatkan suatu ketentraman dan
kenyamanan dalam berbisnis.

Saat ini etika bisnis belum dituangkan dalam suatu hukum positif yang
berupa peraturan perundang-undangan hal ini mejadi kendala untuk
memberikan kepastian hukum dalam berbisnis terutama dalam
memberikan "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga
dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin

24
pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya
moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk
melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat
keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan
membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan
ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak
memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri
dan negara.

25
BAB IV
PEMBAHASAN DAN BEDAH STUDI KASUS

ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN


Seperti telah diuraikan sebelumnya, berbagai studi telah membuktikan
secara empiris peran penting etika dalam sebuah organisasi. Secara
khusus, makalah ini juga akan mengkaji secara kritis kasus penarikan
peredaran mie instan Indomie di Taiwan dan Hong Kong dari perspektif
etika bisnis, khususnya kepemimpinan beretika (ethical leadership).
Seperti diuraikan dalam bagian sebelumnya, ada 4 (empat) pihak atau
organisasi yang terkait dengan kasus Indomie ini, yaitu: (i) Indofood; (ii)
otoritas (pemerintah) Indonesia diwakili BPOM; (iii) perusahaan penjual
Indomie di Taiwan dan Hong Kong; dan (iv) otoritas (pemerintah) Taiwan.
Untuk itu, analisis menyeluruh atas kasus ini semestinya mencakup
keempat organisasi di atas. Namun, studi ini hanya akan menelaah kasus
ini secara mendalam terhadap satu organisasi saja, yakni Indofood, selaku
produsen mie instan merek Indomie. Kebijakan otoritas (pemerintah)
Taiwan dan perusahaan di Taiwan dan Hong Kong yang secara sepihak
menarik peredaran semua jenis produk Indomie (tidak hanya mie instan
semata) pada tanggal 8 Oktober 2010 tentu berdampak langsung pada
penurunan kinerja Indofood. Kinerja keuangan Indofood pasti mengalami
penurunan akibat menurunnya penjualan dan profit perusahaan, serta nilai
perusahaan akibat citra buruk perusahaan lewat kasus ini. Jika ditelaah
menggunakan AEL Model, maka kita bisa mengidentifikasi beberapa
kemungkinan penyebab menurunnya kinerja tadi, yaitu: (i) perilaku tidak
etis yang dilakukan oleh Indofood; (ii) lemahnya self-efficacy Indofood;
(iii) ketidakhati-hatian Indofood; (iv) lemahnya hubungan Indofood
dengan pelanggan (Guanxi) di Taiwan dan Hong Kong; (v) lemahnya
komitmen afektif karyawan Indofood terhadap perusahaan; dan (vi) belum
tumbuhnya iklim beretika (etis) di dalam perusahaan Indofood. Secara
sistematis, kasus Indomie ini akan dianalisis dengan menelaah dan
menelusuri satu per satu dari lima penyebab potensial penurunan kinerja

26
Indofood seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam kasus ini, perilaku
tidak etis bisa menjadi salah satu penyebab potensial menurunnya kinerja
Indofood. Seperti telah dipaparkan di bagian awal, dalam kasus ini
Indofood dinilai telah melakukan tindakan tidak beretika oleh otoritas
(pemerintah) Taiwan dan perusahaan di Taiwan dan Hong Kong. Pihak
Taiwan dan Hong Kong berargumen bahwa ada kandungan bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dalam Indomie, yaitu methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoate). Implikasinya,
otoritas (pemerintah) Taiwan dan perusahaan di Taiwan dan Hong Kong
meresponnya dengan mengeluarkan kebijakan menarik atau melarang
peredaran merek Indomie di pasar Taiwan dan Hong Kong. Jika memang
benar demikian, perilaku tidak etis yang dilakukan oleh Indofood ini
kemungkinan bisa disebabkan oleh: lemahnya iklim etis dalam organisasi
Indofood (misal, tumbuhnya iklim egoistis); adanya intensi (niat) yang
kuat untuk berperilaku tidak etis; atau lemahnya kepemimpinan beretika di
dalam organisasi Indofood. Meskipun lemahnya self-efficacy bisa menjadi
penyebab menurunnya kinerja organisasi, tetapi Indofood diduga tidak
mengalami permasalahan dengan self-efficacy. Sebagai perusahaan mie
instan terbesar dan terkemuka di Indonesia, Indofood tentu memiliki
kemampuan, kekuatan, dan potensi diri yang tidak diragukan. Namun
demikian, permasalahan bisa muncul saat keyakinan atas kemampuan,
kekuatan, dan potensi diri ini menjadi berlebihan, sehingga menimbulkan
sikap ketidakhati-hatian (conscientiousness). Dalam kasus ini, bisa jadi
faktor ketidakhati-hatian Indofood menjadi salah satu penyebab potensial
menurunnya kinerja Indofood terkait kasus ini. Ketidakhati-hatian ini
terlihat dari sikap Indofood yang terkesan mengabaikan dan meremehkan
kebijakan kandungan kimia makanan yang berlaku di Taiwan dan Hong
Kong. Sikap yang terkesan mengabaikan atau meremehkan kebijakan
kadar kimia makanan yang berlaku di Taiwan dan Hong Kong bisa dilihat
dari pernyataan pembelaan diri pihak Indofood. Indofood menyebutkan
bahwa produk Indomie telah lolos uji laboratorium dan telah diterima
dengan baik oleh konsumen Indonesia selama berpuluh-puluh tahun.

27
Pernyataan ini sebenarnya menegaskan bahwa Indofood seolah-olah
melupakan signifikansi bahwa produk Indomie ini akan dipasarkan di
negara lain yang memiliki kebijakan berbeda. Sikap yang terkesan
mengabaikan ini juga terlihat dari penjelasan BPOM bahwa kadar kimia
dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi dan
sudah sesuai persyaratan internasional (Codex Alimentarius Commision).
Pernyataan ini mengesankan bahwa kekeliruan dilakukan oleh otoritas
(pemerintah) Taiwan yang tidak menjadi anggota Codex Alimentarius
Commision. Artinya, argumentasi BPOM ini sebenarnya semakin
mengaburkan proses pencarian solusi atas kasus ini karena argumentasi
tersebut melebar ke mana-mana dengan melibatkan lembaga lain dengan
tidak melibatkan dan menghormati (bahkan terkesan
menyalahkan/memojokkan) kebijakan dan pihak Taiwan dan Hong Kong.
Jika uraian di atas benar demikian, maka bisa jadi sikap ketidakhati-hatian
Indofood ini disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan beretika di dalam
organisasi Indofood. Selain faktor ketidakhati-hatian, lemahnya hubungan
antara Indofood dengan pemerintah dan mitra bisnis (perusahaan) di
Taiwan dan Hong Kong diduga menjadi penyebab potensial menurunnya
kinerja Indofood terkait kasus ini. Lemahnya hubungan bisa dilihat dari
kualitas hubungan yang tidak kuat, seperti kurang atau tidak adanya
kepercayaan, komitmen, dan kepuasan dalam hubungan. Ikatan hubungan
yang tidak kuat memperbesar peluang terjadinya miskomunikasi dan
kesalahpahaman. Diduga lemahnya kualitas hubungan ini menyebabkan
otoritas (pemerintah) Taiwan dan perusahaan di Taiwan dan Hong Kong
menarik peredaran semua produk Indomie secara sepihak dan tiba-tiba.
Jika argumentasi di atas benar demikian, maka bisa jadi lemahnya
hubungan tadi disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan beretika di dalam
organisasi Indofood. Pernyataan pengakuan Ketua Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM) selaku lembaga resmi pemerintah Indonesia
yang membenarkan adanya zat berbahaya nipagin dalam Indomie,
termasuk dalam kecap Indomie, sebenarnya telah memperlihatkan tingkah
laku dan cara hubungan antar-institusi yang tepat. Namun demikian, pihak

28
pemerintah melalui BPOM dan juga Indofood sebaiknya menindaklanjuti
dengan melakukan komunikasi, penguatan, dan pengambilan keputusan
yang berlangsung dua arah dengan pihak otoritas pemerintah Taiwan dan
perusahaan di Taiwan dan Hong Kong. Meskipun terkesan berat dan sia-
sia, tindakan ini penting dilakukan untuk membuka peluang terciptanya
hubungan yang lebih baik dan saling menguntungkan antar-pebisnis dan
antar-pemerintah di masa datang atau dalam jangka panjang. Lemahnya
komitmen afektif karyawan Indofood terhadap perusahaan bisa menjadi
penyebab menurunnya kinerja organisasi, tetapi Indofood diduga tidak
mengalami permasalahan dengan komitmen karyawan terhadap
perusahaan. Sebagai perusahaan mie instan terbesar dan terkemuka di
Indonesia, Indofood semestinya memiliki karyawan dan pimpinan yang
memiliki komitmen tinggi terhadap perusahaan. Namun, jika memang ada
masalah dengan komitmen karyawan, maka bisa jadi masalah ini
disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan beretika di dalam organisasi
Indofood. Akhirnya, iklim atau lingkungan yang beretika (etis) yang
belum berkembang di dalam organisasi bisa menyebabkan menurunnya
kinerja organisasi. Iklim yang bersifat egoistis, misalnya, bisa menjadi
penyebab menurunnya kinerja Indofood terkait kasus ini. Sebaliknya, jika
iklim yang penuh kebaikan tumbuh di dalam perusahaan, maka kinerja
Indofood juga akan meningkat karena mungkin bisa terhindar dari kasus
ini. Namun demikian, adanya perbedaan kebijakan mengenai kadar atau
kandungan zat kimia yang bisa ditoleransi di Indonesia dan Taiwan atau
Hong Kong sebenarnya memunculkan pertanyaan kritis lanjutan: Apakah
bisa diartikan bahwa pemerintah dan perusahaan di Taiwan dan Hong
Kong lebih memperlihatkan kepemimpinan beretika dalam konteks
melindungi konsumen di Taiwan dan Hong Kong?; Apakah pemerintah
dan perusahaan di Taiwan dan Hong Kong memiliki rasa tanggung jawab
moral dan integritas yang lebih tinggi karena tidak mau mengambil risiko
membiarkan konsumen terkena penyakit kanker?; Lalu, apa gunanya
menjadi anggota Codex Alimentarius Commision jika standar kadar kimia
makanan yang dikenakan bersifat minimalis, yang terkesan mengabaikan

29
risiko konsumen terkena kanker? Bukankan lebih baik tidak menjadi
anggota Codex Alimentarius Commision, tetapi menerapkan standar tinggi
atas kadar kimia makanan demi melindungi konsumen dari risiko kanker?
Untuk itu, semua pihak terkait (otoritas pemerintah Taiwan dan
perusahaan di Taiwan dan Hong Kong, serta otoritas pemerintah
Indonesia/BPOM dan Indofood) perlu membangun dan menumbuhkan
kepemimpinan beretika untuk menyelesaikan kasus ini. Setiap pihak
semestinya memperlihatkan dimensi moral dalam kepribadian mereka
sebagai pemimpin beretika. Mereka semua mesti bersikap adil, jujur, bisa
dipercaya, dan berperilaku etis, baik dalam kehidupan pribadi maupun
profesional. Semua pihak terkait sebenarnya bisa bekerja sama secara
proaktif untuk merancang standar etika bisnis yang jelas, dan
menggunakan rewards and punishment untuk meyakinkan bahwa standar-
standar tersebut diikuti. Sebagai sebuah perusahaan atau produsen mie
instan terkemuka, Indofood perlu menumbuhkan model kepemimpinan
beretika di dalam perusahaan. Model kepemimpinan seperti ini bisa
dipercaya karena berperilaku kredibel, jujur, peduli, dan berprinsip, serta
memiliki keberanian untuk mengubah intensi moral karyawan ke dalam
perilaku beretika. Secara spesifik, kepemimpinan beretika melibatkan
adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan, yang memperlihatkan
perhatian pada kesejahteraan bawahan, serta membangun hubungan
berbasis kepercayaan dengan bawahan. Model kepemimpinan ini
diharapkan mampu meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen karyawan
terhadap perusahaan, serta kemauan karyawan tersebut untuk melaporkan
permasalahan mereka kepada atasan. Melalui cara ini, diharapkan sebagian
besar permasalahan krusial di dalam perusahaan bisa dicarikan
penyelesaiannya. Melalui kepemimpinan beretika, diharapkan mampu
mendorong interaksi efektif di antara pimpinan dan bawahan dengan
menekankan pada perilaku etis di tempat kerja. Untuk itu, karyawan
Indofood perlu dilibatkan dalam prosedur pengambilan keputusan serta
ada dukungan atasan terhadap kesejahteraan dan pengembangan
karyawan. Untuk mendorong tumbuhnya kepemimpinan beretika,

30
diperlukan pimpinan puncak atau supervisor di Indofood yang memiliki
perilaku berintegritas dan moral yang baik, serta memiliki jarak sosial
yang dekat dengan bawahan. Selanjutnya, tumbuhnya kepemimpinan
beretika di Indofood diharapkan bisa meningkatkan banyak hal, seperti:
perilaku etis, intensi berperilaku etis, iklim etis, self-efficacy, otonomi
pekerjaan, sifat kehati-hatian, perilaku yang berorientasi hubungan,
hubungan pelanggan (Guanxi), intensi karyawan untuk tidak keluar
(pindah), kepuasan kerja, kesejahteraan karyawan, kemauan karyawan
untuk melaporkan permasalahan, kemauan untuk merekomendasikan
perusahaan, kepercayaan dan komitmen afektif terhadap organisasi, dan
keterlibatan karyawan dalam pekerjaan.

31
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Kasus penarikan peredaran mie instan Indomie di Taiwan dan Hong Kong
menegaskan pentingnya setiap pemimpin organisasi untuk memperlihatkan
kepemimpinan beretika dalam berbisnis. Semua pihak yang terlibat dalam kasus
Indomie, baik otoritas terkait (pemerintah) dan perusahaan di Taiwan dan Hong
Kong, serta otoritas terkait (pemerintah) Indonesia dan Indofood, belum
mempertontonkan tingkah laku atau tindakan dan hubungan antar-
individu/institusi yang tepat. Semua pihak belum mendorong perilaku positif
melalui komunikasi, penguatan, dan pengambilan keputusan yang berlangsung
dua arah, bukan sepihak. Untuk itu, diperlukan pemimpin yang memiliki
integritas dan moral tinggi untuk menumbuhkan kepemimpinan beretika di dalam
sebuah organisasi.

Saran

Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini


tetapi kenyataanya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang kami miliki, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan kedepannya.

32
DAFTAR PUSTAKA

FahmiIrham.2013.EtikaBisnis.Bandung.Alfabeta

Alexander Joseph Ibnu Wibowo.2016.Kepemimpinan Beretika dan Kinerja


Organisasi.Jurnal Manajemen Marantha.16(01).43-55.

https://arozieleroy.wordpress.com/2010/02/05/kepemimpinan-dan-etika-bisnis/

https://www.kompasiana.com/azharmind/550e2b82a33311b12dba8045/10-etika-
pemimpin-perusahaan-ceo

33

Anda mungkin juga menyukai