Anda di halaman 1dari 11

Kajian Kritis

Etika Penyiaran di Indonesia

Mata Kuliah
Filsafat dan Etika Komunikasi
F-Kom-3

Dosen Pengampu
Dr. Antoni, S.Sos., M.Si

Disusun Oleh
Farikha Rachmawati 135120200111068

ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
Kajian Kritis
Etika Penyiaran di Indonesia

1. Kajian Etika
Dalam melakukan kegiatan sehari-hari diantara kita selalu mendengar istilah etika. Sejak
awal hingga saat ini, tentu saja kita telah memahami bagaimana etika tersebut. Menjadi
kajian yang aka sangat menarik jika etika dilihat dari berbagai sisi.
a. Pengertian Etika
Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia dilihat
dari segi baik dan buruknya tingkah laku tersebut.
b. Sifat dasar etika
Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma-
norma itu, mempersoalkan hak dari setiap lembaga, seperti orang tua, sekolah, negara
dan agama untuk memberi perintah atau larangan yang harus ditaati.
c. Etika normatif
Didalam etika normatif terdapat beberapa teori yaitu : teori deontologis yaitu teori
yang mengatakan bahwa betul atau salahnya sesuatu tindakan tidak dapat ditentukan
dari akibat-akibat tindakan itu, melainkan adanya cara yang bertindak begitu saja
terlarang, atau begitu saja wajib. Jadi, untuk mengetahui apakah kita boleh mengambil
dari pohon tetangga tanpa bertanya terlebih dahulu kepadanya, kita tidak perlu
bagaimana akibat dari perbuatan itu, melainkan mengambil barang orang lain tanpa
izinnya begitu saja tidak boleh. ; teori teleologis mengatakan bahwa betul atau
tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya. Jika akibat-akibat dari
tindakan itu baik, maka boleh dilakukan, bahkan wajib untuk dilakukan dan
sebaliknya.
Menurut teori ini berbuat bohong demi melindungi keselamatan seseorang yang akan
dianiaya itu tidak akan dilarang selagi akibatnya pun baik.; dan teori egoisme etis
yaitu teori yang merupakan kelanjutan dari teori teleologis. Teori ini banyak
menyoroti tentang akibat dari perbuatan untuk kepentingan Teori-teori tersebut dalam
filsafat islam dikenal dengan teori al-husn wa al-qubh yaitu teori yang membahas
mengenai penilaian baik maupun buruk.
2. Kajian Penyiaran
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 menjelaskan bahwa penyiaran merupakan
kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan atau sarana transmisi
di darat, di laut, atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio
melalui udara, kabel, dan atau media lainnya untuk dapat diterima serentak dan
bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Selain itu, penyiaran dibedakan menjadi dua jenis yaitu penyiaran radio dan penyiaran
televisi. Kedua jenis bentuk penyiaran tersebut menjadi hal yang tidak asing. Secara
sederhana, penyiaran radio merupakan media massa dengar sedangkan penyiaran
televisi merupakan media komunikasi massa dengar pandang.

3. Kajian Etika Penyiaran


Dalam berbagai penerapan segala bidang kajian atau terapan, tidak dapat terpisahkan
dengan adanya etika ataupun kode etik yang berlaku untuk dijadikan pedoman.
Berikut merupakan etika penyiaran yang berlaku di Indonesia (JRKI, 2014) :
a. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat
untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa,
menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan
budaya Indonesia.
b. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak
khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada
waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
c. Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu.
d. Isi siaran dilarang :
- bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
- menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan
narkotika dan obat terlarang; atau
- mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
e. Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak
hubungan internasional.
f. Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa
Indonesia yang baik dan benar
g. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk
mendukung mata acara tertentu.
h. Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan
keperluan suatu mata acara siaran.

4. Studi dan Analisis Problematika Etika Penyiaran


a. Peristiwa Peliputan Bencana
Kerap sekali terjadinya suatu pemberitaan “ Good news is bad news ”
menjadi dalil dalam media pertelevisian di Indonesia dalam memberikan
sebuah informasi kepada khalayak luas. Yang membuat khalayak mencari
kepastian tentang suatu pemberitaan misalnya seperti bencana. Dimana
bencana ini sering membuat masyarakat ingin tahu mengenai permasalahan
serta pasti akan mencari suatu informasi baru yang memiliki keterkaitan
dengan bencana tersebut. Pentingnya informasi yang terkait dengan bencana
ini membuat semua media berlomba-lomba untuk mendapatkan suatu
informasi yang kemudian akan diberikan kepada masyarakat. Media sendiri
menganggap bahwa peristiwa bencana ini memiliki nilai kejadian yang tinggi
sehingga menjadi sebuah intensitas tinggi yang diminati oleh banyak
masyarakat. Bahkan media pun dapat memberikan sebuah laporan bencana
yang memberikan kesalahpahaman terhadap masyarakat mengenai hal yang
sebenarnya terjadi dalam kejadian atau peristiwa bencana tersebut.
Setiap adanya pemberitaan mengenai bencana, khalayak sering kali
diberikan tayangan seperti isak tangis, darah korban, jenazah korban bencana,
hingga kepanikan saat mengalami bencana, dsb. Pemberitaan yang tidak
mencakup kesedihan, isak tangis, dsb.ini tidak dapat dikatakan sebagai berita
yang baik bagi jurnalis. Menurut para jurnalis, justru berita yang
menggambarkan kesedihan korban bencana justru memiliki nilai berita yang
baik karena hal demikianlah yang dicari dan menjadi laris dalam media
penyiaran televisi. Maka tak jarang pula tiap media penyiaran televisi yang
memperkeruh keadaan bahkan hingga menambah memperparah psikologi
korban bencana banjir.
Dalam hal demikian, jurnalisme empati inilah yang dibutuhkan dalam
meliput peristiwa bencana agar suatu pemberitaan yang ditayangkan tidak
merugikan orang lain terutama korban bencana tersebut.
Salah satu tv swasta yaitu TV One yang menayangkan bencana gempa
di daerah Sumatra Barat pada tahun 2009, dimana salah satu wartawan
melontarkan sebuah pertanyaan yang menanyakan bagaimana perasaan orang
tua korban ketika melihat anaknya tewas dalam kejadian tersebut. Hal tersebut
sangat melanggar P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program
Siaran) dimana dalam P3SPS harus adanya jurnalisme empati. Sedangkan
dalam peristiwa tersebut, jurnalis tidak memiliki empati dengan memberikan
pertanyaan tersebut akan semakin mengintimidasi korban.
Kemudian sama seperti peristiwa bencana banjir yang terjadi di daerah
Jakarta tepatnya pada bulan Januari hingga Februari 2013 menarik perhatian
khalayak sehingga pemberitaan tersebut sering kali dilihat dan memiliki
intensitas tinggi terhadap penonton. Jurnalis Metro TV menayangkan gambar
kepanikan, lokasi banjir, luapan sungai, ekspos jumlah, tempat tinggal serta
lingkungan korban, agar penonton nampak iba dan mencekam. Metro TV ini
salah satu televisi yang pertama memberitakan peristiwa bencana alam yang
melalui penerapan P3SPS.
Ketika diteliti Metro TV ini belum sepenuhnya menggunakan P3SPS
karena jurnalis Metro TV ini melakukan pemaksaan dalam pengambilan
gambar serta ketika mewawancarai korban dalam bencana banjir tersebut.
Seringkali jurnalis melontarkan pertanyaan mengenai kronologis dalam
peristiwa bencana banjir terhadap korban tanpa memperdulikan psikologis
korban. Jadi jurnalis tidak dapat dikatakan berempati. Namun, dalam hal luka,
darah korban serta wajah korban, Metro TV sudah menerapkan pasal-pasal
dalam P3SPS serta jurnalisme empati untuk tidak menayangkan gambar secara
detail atau close-up.
Dari contoh mengenai penyiaran tersebut, empati dalam peliputan
peristiwa bencana dapat dilihat dalam P3SPS(Pedoman Perilaku Penyiaran
dan Standart Program Siaran) tentang peliputan bencana. Dan ketika stasiun
televisi menayangkan secara detail bagaimana lukanya, darahnya bahkan
wajah korban, maka hal tersebut melanggar adanya P3SPS.
Dalam Undang-undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, kedua
contoh tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mana pasal 5, yakni penyiaran
diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang dan
bertanggung jawab. Memang memberikan suatu informasi yang benar akan
tetapi tidak memikirkan psikologis korban karna menanyakan permasalahan
kepada korban akan membuat korban semakin tertekan. Kemudian KPI wajib
menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada
Lembaga Penyiaran serta masyarakat umum. Dimana isi dalam pedoman
perilaku penyiarannya dalam Bab V Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 48
ayat 4, yaitu salah satunya dengan adanya rasa hormat terhadap hal pribadi,
kesopanan dan kesusilaan.
Serta dalam pasal 8 tentang KPI memiliki wewenang dalam
mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standart program siaran. Etika penyiaran yang benar pun mampu mencari
narasumber yang tepat sehingga tidak ada yang dirugikan dalam penayangan
peristiwa bencana tersebut. Kemudian juga dalam pengambilan gambar –
gambar mengenai peristiwa tidak dengan detail.
b. Program Acara “Pojok Kampung” di JTV
Televisi telah menjadi alat pemberdaya masyarakat dengan berbagai
informasi yang ada di dalamnya. Tak heran jika televisi telah menjadi teman
dalam keseharian masyarakat terutama ibu rumah tangga. Namun, bagaimana
televisi dapat menjadi elemen yang penting dalam kehidupan tentunya, tidak
sembarang informasi dapat ditayangkan melalui televisi. Ada beberapa etika
yang harus diterapkan dalam penyiaran program acara yang harus sesuai
dengan UU no 32 tahun 2002 tentang penyiaran, Pedoman Perilaku penyiaran
(P3) dan Standar Program Siaran (SPS), UU etika penyiaran, dan tidak
terlepas dari pengawasan KPI.
Surabaya merupakan kota yang memiliki banyak budaya salah satunya
adalah bahasa suroboyoan yang terkesan kasar yang berbeda dengan bahasa di
jawa tengah yang terkesan lebih halus. Surabaya memiliki televisi lokal yaitu
JTV dengan program siaran yang mengedepankan budaya lokal yaitu budaya
suroboyoan.
Salah satu yang menjadi ciri khas JTV adalah penggunaan bahasa
suroboyoan sebagai bahasa pengantar. Salah satu program acara yang
menggunakan bahasa Suroboyoan sebagai bahasa pengantar adalah program
acara “Pojok Kampung”.
Pojok Kampung merupakan program acara yang menyajikan siaran
berita. Yang menjadi kontroversi dalam program acara ini adalah penggunaan
bahasa suroboyoan sebagai bahasa pengantar dalam menyampaikan isi berita.
Hal ini tidak buruk karena dengan menggunakan bahasa lokal bisa menjadikan
salah satu bentuk keunikan dari acara ini. Namun, Bagi beberapa orang yang
berasal dari luar surabaya bahasa ini terkesan kasar, terkesan jauh dari
intelektual, dan kurang mendidik.
Dalam UU no 32 tahun 2002 tentang penyiaran dalam pasal 38
mengenai bahasa yang digunakan dalam penyiaran harus menggunakan bahasa
indonesai sebagai bahasa pengantar. Namun untuk televisi local diperbolehkan
untuk menggunakan bahasa daerahnya. Jika dikaitkan dengan pasal ini tidak
ada pelanggaran bagi program acara pojok kampung . Karena bahasa
Suroboyoan merupakan bahasa local bagi orang surabaya yang notabene
merupakan tempat penyiaran JTV.
Bahasa Suroboyoan yang terkesan kasar bagi orang surabaya merupakan
bahasa yang biasa mereka dengar bahkan biasa mereka gunakan. Jadi bahasa
ini akan menjadi biasa saja bagi orang local surabaya untuk menjadi bahasa
pengantar. Hal ini akan menjadi pelanggaran ketika Program acara pojok
kampung disiarkan di daerah luar surabaya. Ketika sudah berada di area local
program acara ini harus menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa
pengantar.
Misalnya saja ketika program acara ini di siarkan di daerah malang yang
memiliki karakteristik bahasa yang berbeda dengan di surabaya. Mereka
menganggap program acara ini bukanlah program yang seharusnya di
tayangkan. Karena bagaimanapun juga isi pesan yang ada dalam siaran televisi
akan mempengaruhi setiap audiensnya baik secara langsung atau tidak
langsung.
Apakah hal ini tidak terlepas dari peran KPI (Komisi Penyiaran
Indonesia) sebagai lembaga yang mengawasi jalannya penyiaran di indonesia?
Tentunya KPI memiliki andal dalam mengesahkan suatu program acara. Suatu
program acara dapat siarkan ketika memiliki izin dari KPI yang dalam
menjalankan tugasnya diawasi langsung oleh DPR RI (Dewan perwakilan
Rakyat Republik Indonesia) di tingkat pusat dan DPRD (Dewan Perwakilan
daerah) di tingkat daerah yang tertulis dalam UU no 32 tahun 2002 pasal 7.
c. Etika Penyiaran dan P3SPS yang dibuat KPI
Berdasarkan BAB IV Etika penyiaran yang membahas Penghormatan
terhadap suku, agama, ras dan antar golonga, jelas disebutkan dalam pasal 6
bahwa :
1. Lembaga penyiaran harus menyajikan program dan isi siaran yang
menghormati perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan.
2. Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program dan isi siaran yang
merendahkan, mempertentangkan, dan/atau melecehkan perbedaan
Suku, Agama, Ras, dan antargolongan.
Dewasa ini yang terjadi adalah penyiaran di Indonesia seringkali
bersikap deskriminatif tanpa disadari. Hal ini berkaitan dengan adanya
dominasi kesan wanita cantik, masyarakat modern, dan gaya hidup dalam
dunia penyiaran lebih mengedepankan ras kulit putih. Jika kita amati di
televisi, iklan wanita cantik digambarkan putih dan bersinar. Masarakat
modern digambarkan dengan keragaman stylish dan kegemerlapan. Hal ini
merupakan salah satu bentuk modernisme yang berlebihan. Secara tidak
langsung kejadian berikut telah melanggar etika penyiaran karena bersikap
deskriminatif. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan saudara kita di papua
yang tidak pernah digambarkan kecantikannya dengan memiliki kulit gelap
eksotis dalam dunia penyiaran.
Berdasarkan BAB V Etika penyiaran yang membahas penghormatan
terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang jelas disebutkan di pasal 7
bahwa :
1. Lembaga penyiaran harus senantiasa berhati-hati agar isi siaran yang
dipancarkannya tidak merugikan dan menimbulkan efek negatif
terhadap keberagaman khalayak baik dalam Agama, suku, budaya,
usia, dan latar belakang ekonomi.
Era penyiaran kini mengalami degradasi moral yang cukup tinggi.
Banyaknya etika penyiaran yang dilanggar oleh pemilik media siar. Banyak
sekali tayangan siar khususnya televisi yang menampilkan hal-hal yang
akhirnya menimbulkan efek negatif . Contohnya banyak tayangan sinetron
seperti Ganteng-ganteng serigala yang disukai anak usia muda dan akhirnya
menimbulkan dampak imajinatif berlebihan dengan pengemasan kata-kata
yang tidak pantas ditiru anak belia.
Berdasarkan BAB VI Etika penyiaran yang membahasa pelarangan dan
pembatasan adegan seksual yang jelas disebutkan dalam Pasal 9 bahwa :
1. Lembaga penyiaran televisi dilarang menampilkan adegan yang
secara jelas didasarkan atas hasrat seksual.
2. Lembaga penyiaran televisi dibatasi menyajikan adegan dalam
konteks kasih sayang dalam keluarga dan persahabatan, termasuk di
dalamnya: mencium rambut, mencium pipi, mencium kening/dahi,
mencium tangan, dan sungkem.
Pasal 9 Etika penyiaran pada nomor 2 jelas menjelaskan adanya konten
kasih sayang berlebihan dalam dunia siar. Radio dan televisi adalah salah satu
media siar yang di dalamnya terdapat program-program. Radio dan Televisi
masa kini seringkali menampilkan iklan yang menggugah hasrat seksual
seperti menggunakan kata ‘aaah aaah’ atau sintron FTV yang menampilkan
kemesraan luar biasa.
FTV merupakan salah satu program andalan stasiun TV yang sering
ditampilkan berulang saat siang hari. Ragam judul FTV dan adegan yang
mengandung konteks kasih sayang seringkali ditampilkan tanpa sensor.
Adegan cium kening dan berpelukan sepertinya jadi adegan klimaks dari FTV
dan sudah dianggap biasa. Padahal jika dikaitkan dengan pasal etika penyiaran
sebelumnya makan adegan ini memiliki dampak buruk bagi anak-anak yang
menonton TV. Tidak heran lagi jika sudah ada anak-anak yang mengerti arti
pacaran mulai dari TK, SD. SMP. Jelas merupakan awal dari seks bebas yang
semakin marak sesuai dengan perkembangan dunia siar dan teknogi. Miris.
Peran KPI
Berbagai pelanggaran terhadap Etika penyiaran masih belum bisa
dihadapi KPI dengan baik. Kasus-kasus yang terjadi belum memiliki
penanganan yang jelas. Contoh kasus empat mata yang ditangani KPI tidak
mengubah konten acara hanya mengganti judul program menjadi bukan empat
mata.
Daftar Pustaka
Afwan, Muhammad (2010) Bahasa Siaran Berita Pojok Kampung di JTV dalam Tinjauan Undang-
undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 (Analisis Isi Atas Penggunaan Bahasa Suroboyoan
Dalam Siaran Berita Pojok Kampung di JTV). Thesis. University of Muhammadiyah Malang.
Diakses dari http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/1548
Djamal, Hidajanto dan Fachruddin, Andi. 2011. Dasar-Dasar Penyiaran. Kencana : Jakarta
JRKI Jawa Timur (2014). Kode Etik dan Tata Tertib Radio Komunitasi. Diakses pada 20 November
2014, dari http://web.jrkijatim.com/?page_id=466
Petriella, Yanita. 2013. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dalam Pemberitaan
Bencana Banjir di Televisi. (Studi Analisis Isi Evaluatif Pemberitaan Bencana Banjir DKI
Jakarta dan Sekitarnya Periode 10 Januari hingga 6 Februari 2013 di Metro TV)
Praja, S. Juhaya. 2003. Aliran-aliran filsafat dan etika. Prenada media : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai