Menurut Hafni (2005) kurikulum dapat diartikan sebagai program pendidikan yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu.Sedangkan
menurut undang-undang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 pasal 1 dijelaskan bahwa
kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 disebutkan bahwa
kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal ini menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang
menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama,
ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global.Artinya, kurikulum haruslah
memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan
menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang
pendidikan.
Jadi kurikulum adalah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan
pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas
dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi
tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri
Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu
yang jelas dan mantap.Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, 2004, 2006 dan 2013.Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan
bernegara.Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum
nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.Adapun perkembangan Kurikulum di Indonesia
a. 1947 : Rencana Pelajaran → Dirinci dalam Rencana Pelajaran Terurai
b. 1964 :Rencana Pendidikan Sekolah Dasar
c. 1968 :Kurikulum Sekolah Dasar
d. 1973 :Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
e. 1975 :Kurikulum Sekolah Dasar
f. 1984 :Kurikulum 1984
g. 1994 :Kurikulum 1994
h. 1997 ;Revisi Kurikulum 1994
i. 2004 :Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
j. 2006 :Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
k. 2013 :Kurikulum 2013 tahap uji publik dan sosialisasi serta uji coba pada sekolah sampel.
(a) Tahun 2014 sekolah sampel melakukan pendampingan pada setiap sekolah,
(b) Pemberlakuan kurikulum 2013 secara umum tiap tingkatan sekolah dan kelas di Tahun 2015
Landasan Pengembangan Kurikulum.
Landasan pengembangan kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki
pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalm
pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara
sembarangan.Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam (Amri, 2010).
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (1997), secara umum ada empat landasan yang
digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis,
landasan sosial-budaya dan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1. Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam
Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme,
essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan
kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran–aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai
terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada
pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing
aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari
pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan
kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan
pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran
ini lebih berorientasi ke masa lalu.
c. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
2. Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2)
psikologi belajar.Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu berkenaan dengan perkembangannya.Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang
hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan
kurikulum.Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam
konteks belajar.Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta
berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya
manusia atau pendidikan.Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada
permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan
lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang.Kompetensi permukaan
(pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan.Pelatihan merupakan hal tepat
untuk menjamin kemampuan ini.Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk
dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek
perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima
perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan
cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3. Landasan Sosial-Budaya
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun
informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat
pula.Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi
landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan
muncul manusia-manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru
melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan
masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan
kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan
dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.Israel
Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia
mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban
masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan,
merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik
dalam konteks lokal, nasional maupun global.
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif
sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai
penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan
terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu
yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau
manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di
Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa
terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia
sebelumnya.Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang
memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang
berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang
berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat
pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih,
sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan metakognisi dan kompetensi
untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan
menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap
ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang
transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia.Oleh karena itu,
kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup
manusia.
1. Komponen tujuan.
Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam
skala makro rumusan tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat
atau sistem nilai yang dianut masyarakat. Bahkan, rumusan tujuan menggambarkan suatu
masyarakat yang dicita-citakan.
Tujuan pendidikan memiliki klasifikasi, dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan
khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur,yang kemudian dinamakan kompetensi. Tujuan
pendidikan diklasifikasikan menjadi 4, yaitu :
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan yang bersifat paling umum dan
merupakan sasaran yang harus dijadikan pedoman oleh setiap usaha pendidikan. Tujuan
pendidikan umum biasanya dirumuskan dalam bentuk
perilaku yang ideal sesuai dengan pandangan hidup dan filsafat suatu
bangsa yang dirumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undan-undang.
Secara jelas tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari sistem nilai
pancasila dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3, bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan bentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehudupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
b. Tujuan institusional ( TI ).
Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh setip lembaga
pendidikan. Tujuan institusional merupan tujuan antara untuk mencapai
tujuan umum yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi lulusan setiap
jenjang pendidikan, misalnya standar kompetensi pendidikan dasar, menengah, kejuruan, dan
jenjang pendidikan tinggi.
c. Tujuan kurikuler ( TK ).
Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap bidang
studi atau mata pelajaran. Tujuan kurikuler juga pada dasarnya
merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan.
Dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dpat mendukung dan diarahkan untuk
mencapai tujuan institusional.
3. Komponen metode/Strategi.
Strategi dan metode merupakan komponen ketiga dalam
pengembangan kurikulum. Komponen ini merupakan komponen yang
memiliki peran yang sangat penting, sebab berhubungan dengan
implementasi kurikulum. Strategi pembelajaran sebagai pola dan urutan umum perbuatan
guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
4. Komponen evaluasi.
Tujuan evaluasi yang komprehensif dapat ditinjau dari tiga dimensi, yakni diemensi I
(formatif-sumatif), dimensi II (proses-produk) dan dimensi III (operasi keseluruhan
proses kurikulum atau hasil belajar siswa). Dengan adanya tiga dimensi itu, maka dapat
digambarkan sebagai kubus. Selain itu dapat lagi kurikulum ditinjau dari segi historis,
yakni bagaimanakah kurikulum sebelumnya yang dipandang oleh anteseden.
Oleh sebab ketiga dimensi itu masing-masing mempunyai dua komponen, maka
keseluruhan evaluasi terdiri dari enam komponen yang bertkaitan satu sama lainnya.
a. Dimensi I.
1) Formatif : evaluasi dilakukan sepanjang pelaksanaan kurikulum. Data dikumpulkan dan
dianalisis untuk menemukan masalah serta mengadakan perbaikan sedini mungkin.
2) Sumatif: proses evaluasi dilakukan pada akhir jangka waktu tertentu,
misalnya pada akhir semester , tahun pelajaran atau setelah lima tahun untuk mengetahui
evektifitas kurikulum dengan menggunakan semua data
yang dikumpulkan selama pelaksanaan dan akhir proses implementasi kurikulum.
b. Dimensi II.
1) Proses: yang dievaluasi ialah metode dan proses dalam pelaksanaan
kurikulum. Tujuannya ialah untuk mengetahui metode dan proses yang
digunakan dalam implementasi kurikulum. Metode apakah yang
digunakan? Apakah tepat penggunaannya? Apakah berhasil baik atau tidak? Kesulitan apa
yang dihadapi?
2) Produk : yang dievaluasi ialah hasil-hasil yang nyata, yang dapat dilihat dari silabus, satuan
pelajaran dan alat-alat pelajaran yang dihasilkan olehguru dan hasil-
hasil siswaberupa hasil test, karangan, termasuk tesis, makalah, dan sebagainya.
c. Dimensi III.
1) Operasi: disini dievaluasi keseluruhan proses pengembangan kurikulum termasuk
perencanaan, desain, implementasi, administrasi, pengawasan,
pemantauan dan penilaiannya. Juga biaya, staf pengajar, penerimaan siswa,singkatnya
seluruh operasi lembaga pendidikan itu.
2) Hasil belajar siswa: disini yang dievaluasi ialah hasil belajar siswa
berkenaan dengan kurikulum yang harus dicapai, dinilai berdasarkan standar yang telah
ditentukan dengan mempertimbangkan determinan
kurikulum, misi lembaga pendidikan serta tuntutan dari pihak konsumen luar.
4. Prinsip fleksibilitas.
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi
berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, jadi tidak statis atau
kaku. Misalnya dalam suatu kurikulum disediakan program pendidikan ketrampilan industri dan
pertanian. Pelaksanaaan di kota, karena tidak tersedianya
lahan pertanian., maka yang dialaksanakan program ketrampilan pendidikn
industri. Sebaliknya, pelaksanaan di desa ditekankan pada program ketrampilan
pertanian. Dalam hal ini lingkungan sekitar, keadaaan masyarakat, dan
ketersediaan tenaga dan peralatan menjadi faktor pertimbangan dalam rangka pelaksanaan
kurikulum.
5. Prinsip kontiunitas.
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-spek,
materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan
satu sama lain memilik hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang
pendidikan, struktur dalam satuan pendidikn, tingkat perkembangan siswa.
Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan keterkaitan didalam kurikulum tersebut
sehingga mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
6. Prinsip keseimbangan.
Penyusunan kurikulum meperhatikan keseimbangan secara proposional dan
fungsional antara berbagai program dan sub-
program, antara semua mata pelajaran,dan antara aspek-
aspek perilaku yang ingin dikembangkan. Keseimbangan juga perlu diadakan antara teori dan
praktik, antara unsur-unsur keilmuan sains, sosial,
humaniora, dan keilmuan perilaku. Dengan keseimbangan tersebut diaharapkan
terjalin perpaduan yang lengkap dan menyeluruh, yang satu sama lainnya saling
memberikan sumbangan terhadap pengembangan pribadi.
7. Prinsip keterpaduan.
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan,
perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-
unsusrnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik di
lingkungan sekolah maupun pada tingkat inter sektoral. Dengan keterpaduan ini
diharapkan terbentuk pribadi yang bulat dan utuh. Disamping itu juga
dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembalajaran, baik dalam interaksi antar siswa dan
guru maupun antara teori dan praktek.
8. Prinsip mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu, yang berarti bahwa
pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar
mengajar, peralatan,/media yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan
kriteria tujuan pendidikan nasional yang diharapkan.
Menurut Taba ada lima langkah pengembangan kurikulum model terbalik dari Taba, yaitu :
Adapun yang melatar belakangi perubahan dan pengembangan kurikulum 2013 adalah
banyaknya permasalahan dari peserta didikdan tantangan dimasa yang akan datang.
Permasalahannya adalah terkait mutu pendidikan yang ditandai dengan rendahnya kualitas dan
merosotnya akhlak (tingkah laku) peserta didik.Sedangkan tantangan dimasa yang akan datang
salah satunya terkait kemajuandibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Berdasarkan hasil studi PISA (program for international student assessment) tahun 2012
yang hasilnya baru keluar 4 Desember 2013 lalu menunjukkan bahwa peringkat capaian sains
untuk Indonesia berada pada urutan 64 dari 65 negara yang mengikuti studi PISA tahun 2012,
dengan rincian sebagai berikut: literasi membaca berada pada peringkat 61, literasi matematika
berada pada peringkat 64, dan literasi sains berada pada peringkat 64. Hal ini sangat
memperhatinkan, karena pada tahun 2009, Indonesia dapat menempati urutan 60 dari 65 negara
yang mengikuti PISA.
Selain itu, kita juga dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan pelajar dan
mahasiswa, seperti perkelahian pelajar, perjudian, penyalah gunaan obat terlarang, narkoba,
korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), plagiarisme, kebocoran dan berbagai kecurangan dalam
ujian (Mulyasa 2013).
Sedangkan tantangan dimasa depan menurut Mulyasa (2014) antara lain berkaitan dengan
globalisasi dan pasar bebas, masalah lingkungan hidup, pesatnya kemajuan teknologi informasi,
konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan
budaya, pergesaran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, mutu, investasi
dan transformasi pada sektor pendidikan, serta materi TIMS dan PISA yang harus dimiliki oleh
peserta didik.