KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-
Nya. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul : Landasan Filosofis
Kurikulum 2013.
Rahmat dan salam sejahtera tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai syuri tauladan
manusia menuju jalan kebenaran. Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat Dr.Saefudin Zuhri,M.Ag selaku dosen pengampu Mata
Kuliah Kajian Kurikulum PAI.
Menyadari akan kekurangan dan kealpaan pada diri penulis, sehingga kemungkinan terdapat
kekurangan dan kesalahan pada makalah ini, dengan demikian penulis mengharapkan saran dan
kritik yang konstruktif dari semua pihak.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlunya perubahan kurikulum menurut mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh
bahwa ditengah perubahan zaman, sistem pendidikan di Indonesia juga harus ikut menyesuaikan.
Pengembangan kurikulum 2013 diharapkan mampu menjadi jawaban untuk meningkatkan
kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan dunia.
Dengan segala konsekuensinya, perubahan kurikulum yang dimulai pada tahun ajaran 2013/2014
ini harus dilakukan jika tidak menginginkan kualitas SDM Indonesia tertinggal. Pemerintah akan
merubah kurikulum Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Serta
Sekolah Menengah Kejuruan dengan menekankan aspek kognitif, afektif,psikomotorik melalui
penilaian berbasis tes dan portofolio yang saling melengkapi. Basis perubahan kurikulum 2013
terdiri dari dua komponen besar, yakni pendidikan dan kebudayaan. Kedua elemen tersebut harus
menjadi landasan agar generasi muda dapat menjadi bangsa yang cerdas tetapi berpengetahuan
dan berbudaya serta mampu berkolaborasi dan berkompetisi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum 2013
Selain itu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengamanatkan bahwa
pembentukan Pemerintah Negara Indonesia yaitu antara lain untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (3)
memerintahkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.1[1] Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi
kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.2[2]
Disini Kurikulum 2013 juga merupakan lanjutan dari Pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu3[3].
B. Landasan Filosofis
Landasan Filosofis, yaitu asumsi asumsi tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat
pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
Asumsi-asumsi filosofis tersebut berimplikasi pada rumusan tujuan pendidikan, pengembangan
isi atau materi pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan peranan
pendidikan
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ialah pentingnya rumusan yang didapatkan
dari hasil berpikir secara mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan,
melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum baik dalam bentuk kurikulum sebagai
rencana (tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan di sekolah.
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam
Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme,
essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan
kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran–aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai
terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada
pemikiran Ella Yulaelawati, di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran
filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari
pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan
kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan
pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran
ini lebih berorientasi ke masa lalu.
1[1] Nana Karyana, Implikasi Kurikulum 2013 bagi Guru PPKN SD,
http://annisaauliya.wordpress.com/2012/05/11/prinsip-prinsip-pengembangan-kurikulum/ , diakses 4 Oktober 2013
2[2] Muhammad Nuh, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, 05.B. Salinan
Lampiran Permendikbud No. 67 th 2013 ttg Kurikulum SD, hal: 1
3[3] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Bahan Uji Publik, 29 Nopember 2012, hal: 5
2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum
yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga
lebih berorientasi pada masa lalu.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitu metafisika yang membahas segala dalam alam ini,
epistemologi yang membahas kebenaran, akseologi yang membahas nilai. Aliran-aliran filsafat
yang kita kenal bertolak belakang dari pandangan yang berbeda kedalam tiga hal ini.
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah
pendidikan yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan hanya
merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan
yang sangat erat.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena
itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan
secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan
yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan
khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan
kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan
dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik,
penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di
sekitarnya.
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi
pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas yang
tercantum dalam tujuan pendidikan nasional.
Pada dasarnya tidak ada satupun filosofi pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk
pengembangan kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas.4[4]
Berdasarkan hal tersebut di atas Kurikulum 2013 dikembangkan menggunakan filosofi sebagai
berikut.
Mengembangkan potensi peserta didik untuk berfikir rasional dan kecemerlangan akademik
dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar dan dibaca
1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan
masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan
budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan masa kini, dan
untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan
peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum, hal ini
mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk mempersiapkan
kehidupan generasi muda bangsa. Dengan demikian, tugas mempersiapkan generasi muda
bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum. Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan
masa depan peserta didik, Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang
memberikan kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan
bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap mengembangkan
2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan filosofi ini,
prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat
dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah suatu proses yang
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi
kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap
apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna yang
ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta
kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan
cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut
dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan
pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa
kini.
4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari
masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial,
kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih
baik (experimentalism and social reconstructivism). Dengan filosofi ini, Kurikulum 2013
bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan dalam berpikir
reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan untuk membangun kehidupan
masyarakat demokratis yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlunya perubahan kurikulum menurut mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh
bahwa ditengah perubahan zaman, sistem pendidikan di Indonesia juga harus ikut menyesuaikan.
Pengembangan kurikulum 2013 diharapkan mampu menjadi jawaban untuk meningkatkan
kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan dunia. Disini Kurikulum 2013
juga merupakan lanjutan dari Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis
pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
terpadu
Adapun landasan penyempurna kurikulum 2013 antara lain : (1) Landasan Yuridis, (2) Landasan
Filosofis, (3) Landasan Teoritis.
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Kurikulum PAI. Semoga
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi penulis sendiri pada khususnya. Didalam
penyusunan ini penulis sadar akan segala kekurangannya yang mungkin terselip, untuk itu kritik
dan saran pembaca senantiasa kami perlukan sebagai bentuk pembenahan pada makalah
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muzamiroh, Mida Latifatul. 2013. Kupas Tuntas Kurikulum 2013 Kelebihan dan Kekurangan
Kurikulum 2013. Kata Pena. T.t
Nuh, Muhammad. Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah, 05.B. Salinan Lampiran Permendikbud No. 67 th 2013 ttg Kurikulum SD
Pendekatan scientific
Pada penerapan (implementasi Kurikulum 2013) di lapangan (baca: sekolah), guru salah satunya
harus menggunakan pendekatan ilmiah (scientific), karena pendekatan ini lebih efektif hasilnya
dibandingkan pendekatan tradisional.
Lalu bagaimanakah kriteria sebuah pendekatan pembelajaran sehingga dapat dikatakan sebagai
pendekatan ilmiah atau pendekatan scientific? Berikut ini tujuah (7) kriteria sebuah pendekatan
pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu:
1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan
logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng
semata.
2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka
yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir
logis.
3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem
penyajiannya.
Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu
mengapa.”
Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik
“tahu bagaimana”.
Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik
“tahu apa.”
Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi
manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan
untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran,
yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.
Pada hakikatnya, sebuah proses pembelajaran yang dilakukan di kelas-kelas bisa kita
dipadankan sebagai sebuah proses ilmiah. Oleh sebab itulah, dalam Kurikulum 2013
diamanatkan tentang apa sebenarnya esensi dari pendekatan saintifik pada kegiatan
pembelajaran. Ada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ilmiah merupakan sebentuk
titian emas perkembangan dan pengembangan sikap (ranah afektif), keterampilan (ranah
psikomotorik), dan pengetahuan (ranah kognitif) siswa.
Penalaran induktif dan penalaran deduktif
Metode ilmiah adalah sebuah metode yang merujuk pada teknik-teknik penyelidikan terhadap
suatu atau beberapa fenomena atau
gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan
sebelumnya. Agar dapat dikatakan sebagai metode yang bersifat ilmiah, maka sebuah
metode penyelidikan/inkuiri/pencarian (method of inquiry) haruslah didasarkan pada bukti-
bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip
penalaran yang spesifik. Oleh sebab itulah metode ilmiah umumnya memuat serangkaian
aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data,
menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Untuk lebih jelas mengenai
Metode Ilmiah dan Langkah-Langkah Metode Ilmiah silakan di baca di sini. Dan untuk
Langkah-Langkah Penelitian Ilmiah, di sini.
Kriteria-Kriteria Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran
Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah mempunyai hasil yang
lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan pembelajaran dengan
pendekatan tradidional. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pada pembelajaran tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15
menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis
pendekatan ilmiah, retensi informasi
dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontek
stual sebesar 50-70 persen.
Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaidah-
kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan,
penalaran,
penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses
pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-
prinsip, atau kriteria ilmiah.
Sebuah proses pembelajaran yang digenjot oleh seorang guru di kelasnya akan dapat disebut
ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria berikut ini.
1. Substansi atau materi pembelajaran benar-benar berdasarkan fakta atau fenomena yang
dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-
kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik
harus terbebas dari prasangka yang serta-
merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepa
t dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi
atau materi pembelajaran.
Kemudian, sebuah proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah
yang meliputi intuisi, penggunaan akal sehat yang keliru, prasangka, penemuan melalui coba-
coba, dan asal berpikir kritis.
1. Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan
individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas
dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian
terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya.
Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa
disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
2. Akal sehat.
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena
memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar.
Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat
dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3. Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat
(comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan
sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan
pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas.
Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau
pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik.
Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh
kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4. Penemuan coba-coba.
Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna.
Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba
selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu
saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena
itu, kalau memang tindakan coba-
coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai
dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba
tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta
didik pun melihat lambang
tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya,
hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa
memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala. Baca juga tentang trial and error
(penemuan coba-coba) di artikel ini.
5. Berpikir kritis.
Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang
normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu
umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini
biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil
pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil
esperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang
logis semata. Baca tentang 10 Definisi Berpikir Kritis di sini. Contoh-Contoh Berpikir Kritis
dapat dibacadi sini. Baca juga 10 Keterampilan Berpikir Kritis Menurut Beyer.
Demikian tulisan tentang esensi dan karakteristik pendekatan scientific (pendekatan ilmiah)
yang ditonjolkan penggunaannya dalam proses pembelajaran di kelas pada implementasi
Kurikulum 2013 dari blog PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dan Model-Model
Pembelajaran.
http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2013/07/karakteristik-pendekatan-ilmiah-scientific-
dalam-kurikulum-2013.html
PENILAIAN OTENTIK
Penilaian Otentik
Sesuai dengan karakteristiknya penerapan kurikulum 2004 diiringi oleh sistem penilaian
sebenarnya, yaitu penilaian berbasis kelas. Pendekatan penilaian itu disebut penilaian yang
sebenarnya atau penilaian otentik (authentic assesment) (Nurhadi, 2004: 168).
Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan
pencapaian pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik melalui berbagai teknik yang
mampu mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan
pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai (Nurhadi, 2004: 172).
Hakikat penilaian pendidikan menurut konsep authentic assesment adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran
perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru
mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru segara bisa mengambil
tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang
proses pembelajaran, asesmen tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran
seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi dilakukan
bersama dan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran (Nurhadi, 2004:
168).
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assesment) bukanlah untuk mencari
informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya
membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada
diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran (Nurhadi, 2004: 168).
d. penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan
pembelajaran.
(Santoso, 2004).
e. berkesinambungan
f. terintegrasi
Tujuan penilaian otentik itu sendiri adalah untuk: 1) menilai kemampuan individu melalui tugas
tertentu, 2) menentukan kebutuhan pembelajaran, 3) membantu dan mendorong siswa, 4)
membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik, 5) menentukan strategi
pembelajaran, 6) akuntabilitas lembaga, dan 7) meningkatkan kualitas pendidikan (Santoso,
2004).
a. Keeping track, yaitu harus mampu menelusuri dan melacak kemajuan siswa sesuai dengan
rencana pembelajaran yang telah ditetapkan.
b. Checking up, yaitu harus mampu mengecek ketercapaian kemampuan peserta didik dalam
proses pembelajaran.
c. Finding out, yaitu penilaian harus mampu mencari dan menemukan serta mendeteksi
kesalahan-kesalahan yang menyebabkan terjadinya kelemahan dalam proses pembelajaran.
d. Summing up, yaitu penilaian harus mampu menyimpulkan apakah peserta didik telah
mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.
(Santoso, 2004).
Pada pelaksanaannya penilaian otentik ini dapat menggunakan berbagai jenis penilaian
diantaranya adalah: 1) tes standar prestasi, 2) tes buatan guru, 3) catatan kegiatan, 4) catatan
anekdot, 5) skala sikap, 6) catatan tindakan, 7) konsep pekerjaan, 8) tugas individu, 9) tugas
kelompok atau kelas, 10) diskusi, 11) wawancara, 12) catatan pengamatan, 13) peta perilaku, 14)
portofolio, 15) kuesioner, dan 16) pengukuran sosiometri (Santoso, 2004).
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar penilaian prestasi siswa menurut Nurhadi (2004: 174)
adalah sebagai berikut:
a. proyek/kegiatan dan laporannya
b. hasil tes tulis (ulangan harian, semester, atau akhir jenjang pendidikan)
c. portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun)
d. pekerjaan rumah
e. kuis
f. karya siswa
h. demonstrasi
i. laporan
j. jurnal
k. karya tulis
l. kelompok diskusi
m. wawancara
Seperti yang dikemukakan di berbagai media masa, bahwa melalui pengembangan kurikulum
2013 kita akan menghasilkan insan Indonesia yang produktif, inovatif, kreatif, afektif, melalui
penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintgrasi. Dalam hal ini, pengembangan
kurikulum difokuskan pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa panduan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud
pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual. Kurikulum 2013
memungkinkan para guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian sarana
belajar, yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari. Oleh
karena itu, peserta didik perlu mengetahui kreteria pneguasaan kompetensi dan karakter yang
akan dijadikan standar penilaian hasil belajar, sehingga para peserta didik dapat mempersiapkan
dirinya melalui penguasaan terhadap sejumlah kompetensi dan karakter tertentu, sebagai
persyaratan untuk melanjutkan ke tingkat penguasaan kompetensi dan karakter berikutnya.
Mengaju pada penjelasan UU No. 20 Tahun 2003, bagian umum dikatakan, bahwa: “strategi
pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi”...,2.pengembangan dan
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi...,” dan penjelasan pada pasal 35, bahwa “
kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan dan keterempilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.” Maka
diadakan perubahan kurikulum dengan tujuan untuk “melanjutkan pengembangan Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu”.
Untuk mencapai tujuan tersebut menuntut perubahan pada berbagai aspek lain, terutama dalam
implementasinya di lapangan. Pada proses pembelejaran, dari siswa diberi tahu menjadi siswa
mencari tahu, sedangkan pada proses penilaian, dari berfokus pada penilaian output menjadi
berbasis kemampuan melalui penilaian proses, portofolio dan penilaian output secara utuh dan
menyeluruh, sehingga memerlukan penembahan jam perlajaran.