Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... iii


BAB I .................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................................. 3
BAB II ................................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 5
A. Konsep Pendidikan Rabbaniyah .......................................................................................... 5
B. Pendidikan Rabbaniyah Di Masa Rasulullah ‫ﷻ‬.................................................................. 13
1. Kompetensi Nama ......................................................................................................... 14
2. Kompetensi Nasab ......................................................................................................... 15
3. Kompetensi Khalq ......................................................................................................... 16
4. Kompetensi Khuluq ....................................................................................................... 16
5. Kompetensi Adab .......................................................................................................... 16
BAB III .............................................................................................................................................. 23
PENUTUP ......................................................................................................................................... 23
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 23
B. Saran .................................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 25

i
ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, berkat rahmat Allah ‫ﷻ‬, Tuhan


Yang Maha Esa, makalah yang berjudul Kajian Teori dalam Penelitian ini dapat
diselesaikan sebagaimana yang ditugaskan dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan
Islam II Program Studi Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi
Agama Islam Alhidayah Bogor. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasalam.

Makalah ini berisi penjelasan tentang pengertian konsep pendidikan


rabbāniyah di Masa Rasulullah ‫ ﷻ‬serta bagaimana materi, metode dan evaluasi
pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah ‫ ﷻ‬.

Penyusun menyadari penjelasan dalam makalah ini terdapat banyak


kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu adanya kritik dan masukan dari
berbagai pihak untuk penyempurnaan makalah ini sangat penyusun nantikan.
Demikian pengantar dari penyusun, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.

Bogor, 29 September 2019

Penyusun

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan pendidikan yang menurut Ahmad Tafsir telah difahami oleh


para pemikir sejak 600 tahun SM ini1, pada tataran kebijakan dan aplikasinya
di dunia pendidikan di Indonesia –menggunakan istilah Ibn Taimiyah-2 masih
bersifat `ilm al-yaqīn (informasi ilmiyah yang diyakini), belum sampai kepada
`ain al-yaqīn (realita yang diyakini) apalagi sampai kepada haq al-yaqīn
(perwujudan hakiki keyakinan).

Pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan Nasional sudah


mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat
pendidikan, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas,
Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini.
Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan
mudah untuk mengubah karakter seseorang. Pendidikan karakter dapat
membangun kepribadian bangsa.3

Ahmad Tafsir memaparkan bahwa pendidikan Indonesia dewasa ini


memiliki 7 persoalan yang amat menonjol, yaitu:

1
http://www.knowledge-leader.net/2011/12/pendidikan-agama-islam-sebagai-basis pendidikan-
karakter/
2
Khālid Abū Syādī, Rihlah al-Bahts `An al-Yaqīn, Thanthā: Dār al-Basyīr, 2006, Cet ke-1, hlm.13
3
Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab , Depok:
Komunitas Nuun, 2011, hlm. 37

1
2

Pertama, sistem pendidikan yang masih kaku. Suatu sistem yang


terperangkap dalam kekuasaan otoriter pasti akan kaku sifatnya. Ciri-cirinya
yang dapat dilihat dengan mudah, yaitu sentralisme dan birokrasi yang ketat.4
Kedua, Sistem pendidikan nasional telah diracuni oleh praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Mengapa hal itu mudah masuk? Karena sistem kita
tertutup. Manipulasi dana masyarakat banyak terjadi, baik untuk kepentingan
organisasi politik atau kelompok atau kepentingan pribadi.
Ketiga, sistem pendidikan tidak berorientasi pada pemberdasyaan
masyarakat. Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan rakyat telah berganti
dengan praktik-praktik yang memberatkan rakyat untuk memperoleh
pendidikan yang berkualitas baik. Rakyat tidak diperdayakan melainkan
diperas. Mutu lulusan rendah.5
Keempat, Sistem pendidikan belum mengantisipasi abad ke-21.
Kelima, biaya pendidikan terlalu kecil.
Keenam, pendidikan masih gagal menghasilkan lulusan yang tidak
sanggup korupsi.
Ketujuh, daya saing lulusan memang belum tinggi.6

Menurut penyusun ada problem dasar pendidikan yang lebih utama


dilihat dari perspektif Islam, yaitu sekularisme dalam dunia pendidikan.

Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


(Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

4
Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, Dalam Buku “Mereka Bicara Pendidikan Islam
Sebuah Bunga Rampai”, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009, Cet ke-1, hlm. 35
5
Ibid, 36
6
Ibid, 37-39
3

serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa


pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan
hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan
peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun
arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan
agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh.

Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan


pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah bukan nilai-
nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.

Sehingga realita masyarakat Indonesia masih berada dalam kondisi


keterpurukan, setidaknya menurut kacamata Islamic worldview, yang ditandai
oleh:
1. Masih maraknya kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal kesyirikan.
2. Masih cukup dominannya kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal
bid`ah
3. Kemaksiatan kolektif atau terbuka yang terbiarkan
4. Kezaliman-kezaliman sesama yang sulit dicegah dan dihentikan.

B. Rumusan Masalah

Kembali kepada sistem pendidikan Islami yang syamil (paripurna) dan


kamil (sempurna) merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban
Bangsa yang sesungguhnya. Dan pendidikan Islami yang yang syamil dan
kamil itu telah diwujudkan oleh seorang pendidik besar dan agung, yaitu
Rasulullah ‫ ﷻ‬dalam satu sistem pendidikan rabbaniyah. Lalu,
1. Bagaimana konsep pendidikan rabbāniyah di Masa Rasulullah ‫? ﷻ‬
2. Apa tujuan serta bagaimana materi, metode dan evaluasi pendidikan
rabbāniyah di masa Rasulullah ‫? ﷻ‬

C. Tujuan Penelitian
4

1. Untuk mengetahui konsep pendidikan rabbāniyah di Masa Rasulullah ‫ ﷻ‬.


2. Untuk mengetahui tujuan serta bagaimana materi, metode dan evaluasi
pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah ‫ ﷻ‬.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Rabbaniyah

Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa Alquran, sehingga


untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara
tentang rabbānī. Kata rabbānī terulang sebanyak 3 kali dalam Alquran, dua
kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar sālim marfû`
(‫)نوينابرال‬, yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat
jama` mudzakkar sālim manshûb (‫)نيينابرال‬, yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Salah satu ayat yang terkait dengan hal tersebut adalah:
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah ‫ﷻ‬ berikan kepadanya Al-
Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah ‫" ﷻ‬. Akan
tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya. (QS. Ali `Imrān [3]:79)

al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas,


menurutnya:
“al-Rab menurut etimologinya adalah al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam
bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan rabbabahu. Kata al-rab adalah
mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku. Sedangkan kata al-rabbānī
dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah ‫ ﷻ‬Ta`ala yang merupakan mashdar
(sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.7

7
Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt, hal: 189

5
6

Rabbāniyah dalam bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah ‫ﷻ‬


. Oleh karena itu, sebagaimana orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau
marganya, seperti Mishrī `berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam
dan sebagainya, ada juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn,
yakni mereka yang telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan
dirinya kepada Allah ‫ﷻ‬.8

Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah sebenarnya
memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena, di
antara sifat karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah (mendidik).

Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah memiliki lima makna,


yaitu:
Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti pertambahan dan
pertumbuhan.
Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang berarti perkembangan dan
pembesaran.
Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti pemeliharaan dan
perbaikan.
Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang berarti kesucian dan
ketinggian.
Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung,
menjaga dan mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya.9

Sedangkan menurut Salmān al-`Audah, karakter rabbāniyah memiliki


10 sifat, yaitu: 1) Ilmu, 2) Ittibā` (Pengikut setia Rasulullah ‫) ﷻ‬, 3) Ikhlās
(murni tujuan baktinya), 4) Berakhlak dan beradab keilmuan, 5) Bergaul

8
Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān , Mesir: Dār al-Tauzī` wa al-
Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
9
Muhammad Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197 serta dikutip pula
oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-
Rabbāniyah Lī al-Nabi Muhammad saw, cet-1, hal. 38
7

dengan orang lain dengan baik, 6) Memiliki kebanggaan terhadap ilmu, 7)


Hikmah (bijaksana), 8) Mengetahui derajat diri, 9) Beramal bakti, dan 10)
Belajar.10

Jika ke-rabbāniyah-an berarti tegak lurusnya akal, kalbu dan anggota


tubuh dalam tatanan dan tuntunan Ilahi, maka pembentukannya harus
terorientasi dalam metode pendidikan sebagai berikut:
1) Afkār (Pemikiran).
Memberi bekal akal dengan wawasan paripurna tentang Allah ‫ﷻ‬ ,
manusia, alam dan kehidupan yang diasaskan pada wahyu, ayat-ayat alam
semesta dan jiwa manusia. Inilah langkah pertama dalam pembentukan yang
bertolak dari didahulukannya wahyu “iqra” sebagai asas pendidikan pemikiran
orisinil yang dapat memberikan keyakinan tentang pemahaman valid serta
menjauhkan akal dari keruwetan filsafat dan prasangka.
2) `Āthifah (Perasaan)
Mensucikan jiwa dari berbagai penyakit yang dideritanya, meninggikan
cita-cita kalbu, mengikatnya dengan Allah ‫ ﷻ‬serta memberinya gizi dengan
berbagai hakekat azaliah. Dengan demikian, seluruh perasaannya,
kerinduannya dan gejolak jiwanya penuh dengan kelembutan, kasih sayang,
kekuatan, kemuliaan, pengabdian dan seluruh kehormatan, tidak menampik
hal-hal yang baik serta tidak bergelimang di dalamnya. Dia akan selalu
memperlakukan alam dan makhluk lainnya secara positif, sehingga semuanya
menjadi bekal kekal yang tidak akan lenyap saat dia menempuh perjalanan
hidup dan fase-fase dakwah.
3) Sulûk (sikap perilaku)
Memenuhi sikap perilakunya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai
Tuhan-nya, melakukan kebaikan, mempropagandakan reformasi kebenaran
dan meluruskan penyimpangan dalam tatanan hukum alam kehidupan. Dengan
demikian, kekuatan tangannya terbiasa membangun dan memberi, kedua

10
Salmān al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet ke-1,hal. 3-17
8

matanya memandang nikmat-nikmat Allah ‫ ﷻ‬dengan pandangan syukur serta


memandang aibnya dengan pandangan mengobati, telinganya biasa mendengar
suara orang-orang yang dizalimi, lisannya biasa memberikan nasehat, serta
kakinya biasa melangkah ke arah produktif.11

Dengan ini semua, pendidikan pemikiran, ruhani dan sikap perilaku


akan membentuk para pewaris Nabi yang selalu menapaki jalan keimanan
Rasulullah ‫ ﷻ‬yang ma`sûm:
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang
mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi. (Qs.
Shad [38]: 45) .

Mereka mata rantai pengikut para Nabi yang mulia, di mana Allah ‫ﷻ‬
memuji mereka dengan dua ciri dasar, yaitu ûli al-aydī12 (pemilik anggota
tubuh yang bersemangat tinggi dan melahirkan perbuatan-perbuatan besar
yang produktif) serta ûli al-abshār13(pemilik kalbu dan akal, karena inilah
tempat penangkapan ilmu, walaupun tidak terbatas hanya memiliki keduanya
seperti alat-alat mekanik saja, tetapi alat-alat yang hidup bergerak dengan
penuh vitalitas).”14

Materi dasar dan inti dalam pendidikan rabbāniyah adalah Alquran


yang merupakan Kalāmullāh (kata-kata Allah ‫ﷻ‬ ) yang diturunkan kepada
Rasulullah, Muhamamd saw dengan seluruh kandungan mu`jizatnya serta
bernilai ibadah dengan membacanya.15 Muhammad `Abduh berkata tentang
kandungan Qs. Ali `Imran [3] ayat 79 :

11
http://www.odabasham.net/show.php?sid=21751
12
Ûli al-aydi menurut Ibn `Abbās adalah “kuat dalam ibadah”, menurut Sa`īd bin Jubair adalah
“kuat dalam beramal”, dan menurut Mujāhid adalah “kuat dalam melaksanakan perintah Allah”.
Baca: Jalāl al-Dīn al-Suyûthī, al-Dur al-Mantsûr , Juz VIII, 419
13
Ûli al-abshar menurut Ibn `Abbās adalah “berilmu tentang perintah -perintah Allah”, menurut Sa`īd
Ibn Jubair adalah “berilmu tentang urusan agama mereka”, dan menurut Mujāhid adalah “akal”. Baca:
Ibid
14
http://www.odabasham.net/show.php?sid=21751
15
Mannā` al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004, cet ke-4,
hal.17
9

“Ayat tersebut memberi pengertian bahwa manusia bisa menjadi rabbāni


dengan mengetahui dan mempelajari al-Kitāb serta mengajarkan dan
menyebarkannya kepada umat manusia”. 16

Sebagai sebuah materi dasar dan inti, Alquran dalam perspektif


pendidikan rabbāniyah memiliki banyak keistimewaan yang begitu tinggi dan
mulia, di antaranya:
1. Menghidupkan hati. (Qs. Asy-Syura [42]: 52)
2. Menyinari mata hati. (Qs. Al-Maidah [5]: 15-16)
3. Obat Hati. (Qs. Yunus [10]: 57)
4. Membahagiakan Pemiliknya. (Qs. Al Hijr [15]: 87-88)
5. Menambah Keimanan (Qs. Al Anfal [8]: 2)
6. Memperjelas Pandangan. (Qs. Az- Zumar [39]: 27)
7. Penyampai Kabar Gembira dan Ancaman. (Qs. Al-Kahfi [18]: 1-2)
8. Sumber Ilmu yang Paling Penting. (Qs. An-Nahl [16]: 89)

Beberapa kandungan materi Alquran banyak dijabarkan oleh para


ulama dan pakar sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tetapi
penyusun membaginya ke dalam beberapa kelompok sudut pandang, di
antaranya:
1. Sudut pandang dari tujuan hakiki kehidupan manusia sebagai peserta
didik, yaitu tauhid, mengesakan Allah ‫ ﷻ‬dalam semua pengabdian. Ibn
Qayyim adalah tokoh yang dapat kita jadikan salah satu pelopor sudut
pandang ini.
2. Sudut pandang dari berbagai sisi keagamaan dan sosial kehidupan
manusia yang sedang manjalani kehidupannya.

16
Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār, Beirut:
Dār al-Ma`rifah, 1993, Juz III, hal. 348. Dikutip pula oleh Muhammad Adīb al-Shālih dalam kitab
“Al-Rabbāniyyūn; Qudwah wa `Amal, Qirāat fī al-Tarbiyah wa al-Sulūk ”, Riyād: Dār al-Wathan,
2000, Cet-1, hal:27.
10

3. Sudut pandang dari berbagai hubungan manusia dengan Pencipta, dirinya


sendiri dan alam sekelilingnya.

Salīm bin `īd al-Hilālī menjelaskan bahwa metode utama dalam


Pendidikan rabbāniyah adalah metode hikmah yang digambarkan dalam
aktualisasi pengajaran ber-tadarruj (yang bersifat gradual atau bertahap).17
Bukhāri rhm berkata:
“Ibn `Abbās berkata (jadilah kalian rabbānī) yaitu para ahli fiqih yang amat
penyabar. Dikatakan bahwa rabbānī adalah orang yang mendidik manusia
dengan ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik”. 18

Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung empat pengertian, antara


lain:
1. Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal
(ilmu yang disertai amal kebajikan)
2. Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3. Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan kedunguan.
4. Tercegah dari kerusakan.

Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus bahasa,


Ibn Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata hikmah
Sebagai “Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat
menghantarkan terwujud dan tercapainya sesuatu secara akurat”.19

Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian


hikmah dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1. Dari segi teoritis ilmiah.

17
www.al-manhaj.com 22 Januari 2011 M
18
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār al-Kitāb al-
`Arabi, 2007 M, hal. 30
19
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār al-Kitāb al-
`Arabi, 2007 M, hal. 30
11

Dari segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang
berada di balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat,
baik yang berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan,
atau yang bersifat qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum
syariah.
2. Dari segi amal praktis.
Dari segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di
tempatnya yang tepat.20 Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad
al-Shallābī, hikmah memiliki tiga tingkatan, yaitu:
a. Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui batas,
tidak tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan
watunya. Segala hal memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya,
memiliki batas dan target yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui,
memiliki waktu yang tidak boleh didahului atau ditunda. Di sinilah
hikmah berarti menjaga tiga segi hal tersebut.
b. Mengenal keadilan Allah ‫ﷻ‬ dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah ‫ﷻ‬
dalam janji-Nya serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah ‫ ﷻ‬,
baik yang bersifat syar`i maupun hukum alam yang berlaku kepada
makhluk-makhluk-Nya, karena di dalamnya tak ada kezaliman dan
penyelewengan. Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
Sesungguhnya Allah ‫ﷻ‬ tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah
‫ﷻ‬ akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala
yang besar. (Qs. An-Nisa [4]: 40)
c.
Bashīrah (kemampuan mumpuni), yaitu kekuatan daya tangkap,
kecerdasan, ilmu dan keahlian.21

20
Sa`īd Ibn `Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-Kitāb wa al-
Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq , Riyād: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, 1994,
cet ke-1, hal. 42
21
Ali Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm, Kairo: Dār Ibn al-
Jauzī, 2007, cet ke-1, hal. 152
12

Dalam pendidikan rabbāniyah, evaluasi dikenal dengan hisab. Kata


hisab dalam prakteknya dapat dibagi menjadi dua bagian, muhāsabah (evaluasi
ke dalam) dan hisbah (evaluasi ke luar).22 Menurut Muhammad Shālih al-
Munajjid, muhāsabah berarti meneliti amal-amal jiwa, memperbaiki berbagai
kesalahannya dan menunaikan berbagai kesalehannya.23 Dalam kajiannya
tentang muhāsabah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi muhāsabah kepada
dua bagian24, yaitu:
1. Muhāsabah (mengadakan evaluasi) sebelum beraktifitas, yaitu dengan
pertama kali menganalisa tekad dan niat jiwanya, serta tidak bersegera
melakukannya sampai jelas urgensi melaksanakannya dibandingkan
meninggalkannya.
2. Muhāsabah (mengadakan evaluasi) setelah beraktifitas. Bagian ini terdiri
dari tiga macam:
a. Mengevaluasi tentang berbagai keteledoran dalam bidang keta`atan
pada hak Allah ‫ ﷻ‬, dimana tidak dijalankan sesuai keharusannya.
b. Mengevaluasi diri tentang setiap aktifitas yang meninggalkannya jauh
lebih baik daripada mengerjakannya.
c. Mengevaluasi diri tentang urusan-urusan yang mubah atau biasa,
mengapa harus dilakukan, apakah untuk tujuan keridhaan Allah ‫ ﷻ‬dan
hari akhirat atau sekedar mencari kesenangan dunia.

Sedangkan hisbah dapat diartikan sebagai suatu upaya memerintahkan


segala yang ma`ruf saat ditinggalkan secara nyata serta melarang yang munkar
saat dilakukan dengan terang-terangan.25
Bagi al-Munajjid, ada 5 pokok masalah yang harus dijadikan sasaran evaluasi,
yaitu:

22
Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London: al-
Muntadā al-Islāmī, 1995, Cet ke-1, hlm. 32-33
23
Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād, 2009, Cet ke- 1,
hlm. 8
24
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān, Juz. I, hlm. 134-135
25
Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, hlm. 33
13

1. Perkara-perkara yang fardhu


2. Hal-hal yang diharamkan dan dilarang
3. Kelalaian dari tujuan penciptaan
4. Evaluasi anggota tubuh
5. Evaluasi tekad dan niat.26

B. Pendidikan Rabbaniyah Di Masa Rasulullah ‫ﷻ‬

Rasulullah ‫ ﷻ‬adalah guru dan pendidik seluruh manusia, bahkan guru


dan pendidik terbaik seumur zaman. Rasulullah ‫ ﷻ‬mendeklarasikan dirinya
sebagai seorang mu`allim atau seorang guru yang merupakan tugas yang
diembannya dari Allah ‫ ﷻ‬.27 Rasulullah ‫ ﷻ‬bersabda:

`Abdullāh Ibn 'Amr ia berkata; Pada suatu hari Rasulullah shallAllah ‫ ﷻ‬u
'alaihi wasallam keluar dari salah satu kamarnya dan masuk ke dalam masjid.
Lalu beliau menjumpai dua halaqah, salah satunya sedang membaca Al
Qur`an dan berdo'a kepada Allah ‫ ﷻ‬, sedang yang lainnya melakukan proses
belajar mengajar. Maka Nabi shallAllah ‫ ﷻ‬u 'alaihi wasallam pun bersabda:
\"Masing-masing berada di atas kebaikan, mereka membaca Al Qur`an dan
berdo`a kepada Allah ‫ ﷻ‬, jika Allah ‫ ﷻ‬menghendaki maka akan memberinya
dan jika tidak menghendakinya maka tidak akan memberinya. Dan mereka
sedang belajar, sementara diriku diutus sebagai pengajar, \" lalu beliau duduk
bersama mereka. (Hr. Ibn Majah)28

Sebagai seorang murabbī bagi manusia, Rasulullah ‫ ﷻ‬dibekali Allah ‫ﷻ‬


dengan beberapa kompetensi, yang merupakan keharusan untuk dimiliki agar

26
Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, hlm. 44-45
27
Muhammad Ibn `Abdullāh al-Duwesy, al-Mudarris wa Mahārāt al-Taujīh, Riyād: Dār al-
Wathan, 2000, Cet ke-4, hlm. 22
28
Muhammad Ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah, Bāb Fadhl al-`Ulamā wa al-Hats `alā
Thalab al-`Ilm, Juz. I, hlm. 88, Nomor: 229
14

berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi-kompetensi ini dapat


dibagi menjadi 5 jenis29:

1. Kompetensi Nama
Rasulullah ‫ ﷻ‬memiliki beberapa nama yang bukan hanya berfungsi
sebagai tanda pengenal, tetapi di dalamnya terkandung sifat-sifat yang
menunjukkan terpuji dan sempurnanya Rasulullah ‫ ﷻ‬.30 Rasulullah ‫ﷻ‬
bersabda:
"Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad,
Ahmad, al-Māhi yang maknanya dengankulah Allah ‫ﷻ‬ menghilangkan
kekafiran. Aku juga adalah al-Hāsyir, yang maknanya manusia
dibangkitkan di atas telapak kakiku. Dan aku juga al 'Āqib.\" (Hr.
Bukhari).31
Dalam sebuah hadis disebutkan:
"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.., \" (Al Fath: 8). Sama
dengan ayat yang ada di dalam Taurat berbunyi: \"Hai Nabi,
sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan dan pelindung bagi orang-orang `Arab,
kamu adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku, dan Aku menamaimu Al
Mutawakkil (orang yang bertawakkal tinggi). Engkau bukan orang yang
berperangai buruk, juga bukan berwatak keras dan bukan sakhkhob
(orang yang cerewet, berteriak keras-keras) di pasar.\" Dan beliau tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan serupa akan tetapi beliau
mema'afkan dan mengampuninya, dan Allah ‫ﷻ‬ tidak akan mewafatkan
beliau sampai beliau meluruskan Millah (dien) Nya yang bengkok, hingga

29
Rasyīd Mans hûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-
Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw, Iskandariah: Dār al-Imān, 2008,
Cet ke-1, hlm. 63-78
30
Muhammad Ibn Abû Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma`ād Fī Hadyi Khair al-`Ibād,
Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994, Cet ke-27, Juz. I, hlm. 86
31
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Ya`tī Min
Ba`dī Ismuhu Ahmad, hlm. 1023, Nomor: 4896
15

manusia mengucapkan Lā Ilāha IllAllāh, sehingga dengannya beliau


dapat membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai.\"

(Hr. Bukhari)32.

Nama lainnya adalah Ahmad, seperti diceritakan oleh Nabi `Isa


as kepada kaumnya. Dia juga bernama al-`Āqib (yang datang
belakangan), al-Hāsyir (yang menumpulkan) dan al-Māhi (yang
menghapus). Nama al-Māhi, al-Hāsyir, al-Muqaffī, dan al-`Āqib telah
ditafsirkan di dalam hadis Jubair Ibn Muth`īm.33

2. Kompetensi Nasab
Kehormatan dan kebersihan nasab atau garis keturunan Rasulullah
‫ﷻ‬ yang dilahirkan dari kabilah terhormat di Bangsa Arab dijelaskan
langsung oleh Rasulullah ‫ ﷻ‬dalam sabdanya:
“Sesungguhnya Allah ‫ ﷻ‬memilih Kinānah dari keturunan Ismail, memilih
Quraisy dari keturunan Kinānah, memilih Banī Quraisy dari keturunan

Quraisy dan memilihku dari keturunan Banī Hāsyim”. (Hr. Muslim)34.

Nama Rasulullah ‫ﷻ‬ secara lengkap keturunannya adalah


Muhammad Ibn `Abdullāh Ibn `Abd al-Muththalib Ibn Hāsyim Ibn `Abd
al-Manāf Ibn al-Qushai Ibn Kilāb Ibn Murrah Ibn Ka`ab Ibn Luay Ibn
Ghālib Ibn Fihr Ibn Mālik Ibn al-Nadhar Ibn Kinānah Ibn Khuzaimah Ibn
Mudrikah Ibn Ilyās Ibn Mudhar Ibn Nizār Ibn Ma`ād Ibn `Adnān.35

Abû Sufyān mengakui di hadapan Heraklius tentang ketinggian


dan kemuliaan nasab Rasulullah ‫ ﷻ‬, ketika ditanya: “Bagaimana nasabnya
di kalangan kalian?”, Abû Sufyān menjawab: “Dia di kalangan

32
Ibid, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Inna Arsalnāka Syāhidan wa Mubasysyiran wa Nadzīran, hlm. 1008,
Nomor: 4838
33
Ibid
34
Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābûrī, Shahīh Muslim, Beirut: Dār Ibn Hazm, 1998, cet ke-
1, hal. 1249 Nomor Hadis: 2276
35
Muhammad Ibn Ismāīl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabi, 2007,
Kitab Manāqib al-Anshār; Bāb Mab`ats al-Nabi saw, hal. 777
16

kami memiliki nasab (yang baik)”, Heraklius berkata: “Begitulah para


Rasul diutus pada nasab kaumnya”.36

3. Kompetensi Khalq
Maksud dari arti khalqiyah adalah bentuk lahir atau fisik yang
Allah ‫ ﷻ‬ciptakan dalam diri Rasulullah ‫ ﷻ‬37. Dalam bentuk fisik dan lahir
ini, kepribadian Rasulullah ‫ﷻ‬ memiliki dua kesempurnaan dan
kematangan, yaitu:
a. Panca indera yang baik, anggota tubuh yang sempurna dan akal yang
cerdas.
b. Bahasa yang lugas dan tegas serta wajah yang memikat.38

4. Kompetensi Khuluq

Kata al-Khalqu, al-Khulqu dan al-Khuluqu pada dasarnya satu arti,


akan tetapi kata al-khalqu lebih spesial pada gaya, bentuk dan gambar yang
dapat terlihat oleh mata kepala, sedangkan al-Khuluq lebih spesial pada
kekuatan dan karakter yang terlihat oleh mata hati.39

5. Kompetensi Adab
Rasulullah ‫ ﷻ‬diberikan anugerah besar oleh Allah ‫ﷻ‬ dengan
adab-adab yang amat tinggi. Semua kehidupan beliau dipenuhi dengan
adab, yaitu menggunakan semua perkataan dan perbuatan yang terpuji
serta memelihara diri dari semua jenis kesalahan.40

Rasulullah ‫ ﷻ‬amat beradab kepada Allah ‫ ﷻ‬, Pencipta, Pemilik


dan Pengatur urusan semua alam semesta, juga dengan kalam-Nya atau
kalimat-kalimat wahyu yang disampaikan kepada nya. Rasulullah ‫ﷻ‬

36
Yahyā bin Ibrāhim al-Yahyā, Madkhal Li Fahm al-Sīrah, Madinah: Dār al-Khudairī, 1420, cet
ke-1, hal. 71
37
`Iyādh Ibn Mûsā Ibn `Iyādh al-Yahshabi, al-Syifā Bi Ta`rīf Huqūq al-Mushthafā, Beirut: Dār al-
Kitāb al-`Arabi, 1984, Juz. I, hal. 81
38
Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Li
al-Nabi Muhammad saw, Iskandaria, Dār al-Imān, 2008, cet ke-1, hal. 65
39
Ahmad al-Thûkhī dan Ahmad Mushthafā, al-Silsilah al-Dzahabiah Fī al-Akhlāq al-Islāmiyah,
Kairo: Maktabah al-Sunnah, 2000, Cet ke-1, Juz I, hal. 19

40
Ahmad al-Thukhi dan Ahmad Mushthafa, al-Silsilah al-Dzahabiah Fi al-Akhlak al-
Islamiyyah,hlm. 114
17

amat beradab terhadap dirinya sendiri sebagai utusan Allah ‫ﷻ‬ .


Rasulullah ‫ ﷻ‬pun amat beradab kepada semua manusia dan seluruh alam
semesta.41 Sehingga, dalam semua perkataan dan perilaku Rasulullah ‫ﷻ‬
ditemukan semua adab dan tata-krama.

Seluruh ilmuwan (al-`ulamā) bersepakat bahwa materi


pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah ‫ ﷻ‬berasal dari wahyu yang
berbentuk Kalāmullāh (kata-kata Allah ‫) ﷻ‬, yaitu Alquran serta tafsir
dan penerapan Rasulullah ‫ ﷻ‬terhadapnya yang dikenal dengan sunnah.42

Seluruh materi rabbāniyah ini diajarkan oleh Rasulullah ‫ ﷻ‬dalam


dua periode kehidupannya, yaitu periode Mekah (selama kurang lebih 13
tahun) dan periode Madinah (selama kurang lebih 10 tahun). 43

Jika dilihat dari tugas kenabian dan kerasulan yang tercantum


dalam ayat-ayat Alquran 44, materi-materi pendidikan di masa Rasulullah
‫ﷻ‬ terbagi dalam tiga rumpun berdasarkan tujuan materi masing-masing:

1. Materi membaca ayat-ayat Allah ‫( ﷻ‬tilāwah al-ayāt)


Pengajaran Alquran al-Karīm dalam sejarah telah dimulai
sangat awal sekali, yaitu setelah Bai`at al-`Aqabah pertama saat
Mush`ab Ibn `Umair rda diutus oleh Rasulullah ‫ ﷻ‬sebagai seorang
duta guru ngaji Alquran untuk masyarakat Madinah serta
mengajarkan pula hukum-hukum syari`ah. Karena itu pula, Mush`ab
Ibn`Umair dikenal dengan julukan “al-Muqrī”.45

Ibn Syaibah dan al-Wāqidī meriwayatkan dalam hadits-hadis


yang dikumpulkan oleh keduanya tentang hijrah Ibn Ummi Maktûm

41
Ibid, h. 115-116
42
Ahmad Salam, Mā Anā `Alaihi wa Ashhābī; Dirāsat Fī Asbāb Iftirāq al -Ummah wa Muqawwimāt
Wihdatiha al-Syar`iyyah wa al-Kauniyyah Min Khilāl Hadīts al-Iftirāq, Beirut: Dār Ibn Hazm,
1995, cet ke-1, hal. 84
43
Muhammad Ibn Husen Ibn Hasan al-Jīzāni, Ma`ālim Ushûl al-Fiqh `Inda Ahl al-
Lihat: Akram Dhiyā al-`Umurī, al-Sīrah al-Nabawiyyah Muhāwalah Li Tathbīq Qawā`id al -
Muhadditsīn Fi Naqd al-Riwāyat al-Sīrah al-Nabawiyyah, Juz. I hal. 129
44
Lihat: Qs. Al-Jumua`ah [62]:2
`Abd al-Malik Ibn Hisyām al-Mu`āfirī, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Saudi Arabia: Dār al-Bayān al-
45

Hadītsah, 2001, cet ke-1, Juz II, hal. 52


18

bahwa saat dia menuju Madinah untuk berhijrah setelah perang Badar,
dia sempat singgah di sebuah rumah yang dikenal dengan nama “Dār
al-Qurra”, yaitu rumahnya Makhramah Ibn Naufal.46
Sejarah jejak pengajaran Alquran di masa Rasulullah ‫ﷻ‬ dapat
ditunjukkan dalam dua bukti:
Pertama, para ahli membaca Alquran –sejak mula sejarah- telah
menjadi sekte sosial yang cukup dikenal.
Kedua, para ahli membaca Alquran ini memiliki rumah-rumah khusus
tempat mereka mempelajarinya.47
Bahkan, dengan bahasa yang sangat jelas, Rasulullah ‫ﷻ‬

memerintahkan umatnya untuk mengambil ilmu membaca Alquran


dari empat orang sahabat yang dikenal, yaitu:
“Ambillah oleh kalian Alquran dari empat orang: `Abdullāh Ibn
Mas`ûd, Sālim, Mu`ādz dan Ubay Ibn Ka`ab”. (Hr. Bukhāri)48

2. Materi penyucian hati (tazkiyah al-nafs)


Sedangkan artikulasi al-tazkiyah dari dimensi istilah syar`i
(terminologis agama), menurut Ahmad Farīd (seorang ulama
kontemporer yang sangat konsern dengan pendidikan jiwa) adalah:
“Maksud tazkiyah al-nufûs adalah mensucikan dan
mengharumkannya, sehingga jiwa selalu siap memperkenankan
Tuhannya serta beruntung di dunia dan akhiratnya, sebagaimana
Allah ‫ﷻ‬ berfirman [Sungguh beruntung orang yang mensucikan
(mentazkiyah) jiwanya dan sungguh merugi orang yang
mengotorinya] (Qs. Al-Syams [91]: 9-10)”.49

46
Yûsuf Ibn Umar al-Numairī Ibn `Abd al-Bar al-Qurthubī, al-Istī`āb Fī Ma`rifah al-Ashhāb,
Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabī, 2000, cet ke-2, Juz II, hal. 250-251
47
Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah,
Mesir:
Dār al-Salām, 2002, cet ke-1, hal. 181
48
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Hal. 1055, No Hadis: 4999

49
Ahmad Farīd, Tazkiyah al-Nufûs, Iskandaria: al-Maktabah al-`Ashriyah, 2005, cet ke-1, hal. 4
19

Materi-materi yang diajarkan Rasulullah ‫ ﷻ‬untuk mentazkiyah


jiwa-jiwa sahabatnya menurut hasil kajian para ulama adalah:
a. Materi Tauhid dan Akidah Keimanan
Seluruh ulama sīrah nabawiyyah –berdasarkan hasil
penelitian Muhammad Amhazûn- bersepakat bahwa sejak di
Makkah, Rasulullah ‫ ﷻ‬menanamkan materi-materi tauhid dan
akidah keimanan kepada manusia. Materi-materi tersebut
meliputi: Men-tauhid-kan Allah ‫ ﷻ‬dalam rubûbiyah-Nya, Men-
tauhid-kan Allah ‫ﷻ‬ dalam ulûhiyah-Nya, Dua pondasi dasar
dibangunnya keta`atan pengabdian kepada Allah ‫ﷻ‬ , yaitu: a)
tidak beribadah kecuali kepada Allah ‫ ﷻ‬, dan b) tidak beribadah
kecuali dengan syari`atNya yang disampaikan melalui lisan
rasulNya. Tauhid mencakup perkataan dan perbuatan, Men-
tauhid-kan Allah ‫ ﷻ‬dalam nama-nama dan sifat-sifatNya.. serta
Beriman kepada al-yaum al-akhīr (hari akhirat).50
b. Materi Ibadah
Rasulullah ‫ ﷻ‬mengajarkan kepada para sahabatnya semua
hal yang terkait dengan masalah shalat. Bahkan shalat menjadi

pencegah perbuatan keji dan munkar. (Hr. Al-Nasāi).58

Rasulullah ‫ ﷻ‬mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal


yang berkaitan dengan masalah shaum. (Hr. Muslim).51
Rasulullah ‫ ﷻ‬mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal
yang berkaitan dengan masalah zakat. (Hr. Muslim).52 Rasulullah
‫ﷻ‬ mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan
dengan masalah haji. (Hr. Muslim).53
c. Materi Akhlak dan Adab

50
Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah,
hal.21-34
51
Ahmad bin Syu`aib al-Nasāī al-Khurāsānī, Sunan al-Nasāī, Kitāb al-Shalāt, Bāb al-Muhāsabah
`ala al-Shalāt, Beirut: Maktabah al-Mathbû`at al-Islāmiyyah, 1986, Juz. I, hal. 250, No Hadis: 461
52
Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisāburī, Shahīh Muslim, Kitāb al-Shiyām, Bāb Fadhl al-
Shiyām, hal. 580, No Hadis: 1151
53
Ibid, Kitāb al-Zakāt, Bāb Qabûl al-Shadaqah Min al-Kasb al-Tahyyib wa Tarbiyyatuhā, hal. 506,
No Hadis: 1014
20

Materi akhlak di masa Rasulullah ‫ﷻ‬ berisi pada dua


bahasan utama yaitu:
1) menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji (al-akhlāq al-
mahmûdah), dan
2) membuang akhlak-akhlak tercela (al-akhlāq al-madzmûmah).

Pada akhlak-akhlak terpuji, Rasulullah ‫ ﷻ‬mengajarkan


akhlak-akhlak sebagai berikut54: Sabar, Tawakkal, Adil, Kasih
sayang, Malu, Jujur, Derma, Rendah hati,

Pada akhlak-akhlak tercela Rasulullah ‫ﷻ‬ melarang


akhlak-akhlak sebagai berikut:Dzalim, Hasad, Menipu, Ujub dan
Tertipu, Lemah dan Malas.

d. Materi Doa dan Zikir


Dalam Pendidikan rabbaniyah di masa Rasulullah ‫ ﷻ‬,
materi-materi dalam rumpun tazkiyah adalah materi-materi yang
tidak terpisah satu dengan lainnya, karena di rumpun inilah
materi-materi pembentukan karakter rabbāniyah berpusat dan
berputar. Rasulullah ‫ ﷻ‬mengajarkan aqidah keimanan melalui
ibadah, akhlak atau adab dan do`a, mengajarkan ibadah melalui
aqidah keimanan, akhlak atau adab dan doa, mengajarkan akhlak
atau adab melalui aqidah keimanan, ibadah dan doa, serta
mengajarkan doa melalui aqidah keimanan, ibadah, akhlak atau
adab.55
Rasulullah ‫ﷻ‬ mengajarkan bahwa salah satu syarat
diterimanya doa seorang hamba adalah memakan makanan yang
halal, karena Allah ‫ﷻ‬ adalah Zat Yang Maha Thayyib (baik),
sehingga tidak menerima satu doa yang dipanjatkan kepada-Nya

54
Ibid, Kitāb al-Haj, Bāb Fī Fadl al-Haj wa al-`Umrah wa Yaum `Arafah, hal. 704, No Hadis:
1350
55
Ahmad Mu`ādz Haqqī, al-Arba`ûn Hadītsan Fī al-Akhlāk Ma`a Syarhihā, Riyād: Dār Thuwaiq,
1993, hal. 14-104
21

kecuali dari orang yang thayyib dan yang memiliki perilaku yang
thayyib.56

3. Materi ta`līm al-Kitāb dan al-hikmah


Rasulullah ‫ ﷻ‬mengaitkan semua peristiwa sejarah, alam dan
sosial kemasyarakatan dengan dasar-dasar keimanan kepada yang gaib,
ibadah dan akhlak yang mulia. Rasulullah ‫ﷻ‬ mengajarkan bahwa
peristiwa kusuf (gerhana matahari) dan khusuf (gerhana bulan) terkait
dengan keagungan dan kekuasaan Allah ‫ﷻ‬ , bukan karena takhayyul
kematian seseorang atau mistik karena ada peristiwa bencana dan lain-
lain.57"

Metode Rasulullah ‫ﷻ‬ dalam mendidik umatnya diajarkan


langsung oleh Allah ‫ ﷻ‬dalam firman-Nya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125).

1. Pendekatan Hikmah (Kebijaksanaan).


Dalam pendekatan hikmah, Rasulullah ‫ ﷻ‬menerapkan metode
pendidikan yang sangat memperhatikan unsur-unsur dasar antara
lain:
a. Memperhatikan tadarruj (tahapan) pembelajaran.58
b. Menjaga etika berkomunikasi dan mengajak berbicara setiap
orang sesuai dengan kadar pemikiran mereka..59

56
Sayyid Sa`īd `Abd al-Ghanī, Haqīqat al-Walā wa al-Barā Fi Mu`taqad Ahl al-Sunnah wa al-
Jamā`ah, Iskandaria: Dār al-Īmān, 2006, hlm. 136
57
Rāsyid Ibn Husain al-`Abd al-Karīm, Al-Durūs al-Yaumiyah Min al-Sunan wa al-Ahkām al-
Syar`iyyah, Riyād: Dār al-Shumay`ī, 2002, Cet ke-2, hlm. 7
58
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Kusūf, Bāb al-Shalāt Fī Kusūf
al-Syams, hlm. 212, Nomor: 1042
59
`Ali Ibn Nafī` al-`Ulyāni, Ahammiyah al-Jihād Fī Nasyr al-Da`wah al-Islāmiyyah Wa al-Rad
`Alā al-Thawāif al-Dhāllah Fīh, Riyād: Dār Thayyibah, 2003, Cet ke-4, hlm. 136-144
22

c. Menjaga maslahat dan menolak mudarat..60


d. Menjaga Aulawiyāt (prioritas).61
e. Menjaga waktu. Rasulullah ‫ ﷻ‬sangat memperhatikan waktu
mengajar dan belajar agar tidak membosankan para
sahabatnya.62
f. Menjaga Perencanaan dan Manajemen pendidikan.63

2. Pendekatan Mau`idzah Hasanah (Nasehat yang Baik)


a. Metode Kisah
b. Metode Dharb al-Amtsāl
c. Metode Targhīb dan Tarhīb
d. Metode Uswah atau Qudwah
e. Metode Tafakkur dan Tadabbur atau Tadzakkur.

60
Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-`Ilm Bāb Man Hakshsha Bi al-
`Ilm Qauman Duna Qaumin Karāhiyah an Lā Yafhamû, Hal : 42
61
Ibid, Bāb Man Taraka Ba`dha al-Ikhtiyār Makhāfah An Yaqshur Fahm Ba`dhi al-Nās `Anhu
Fayaqa`û Fī Asyad Minhu, Nomor: 126
62
Ibid, Kitāb al-Zakāt, Bab Wujûb al-Zakāt, hlm. 283, Nomor: 1395
63
Ibid, Kitab al-`Ilm, Bab Ma Kana al-Nabi saw Yatakhawwaluhum Bi al-Mau`idzah wa al-`Ilm
Kay La Yanfiru, hlm. 30,Nomor: 68
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa Alquran, sehingga


untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara
tentang rabbānī. Kata rabbānī terulang sebanyak 3 kali dalam Alquran, dua
kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar sālim marfû`
(‫)نوينابرال‬, yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat
jama` mudzakkar sālim manshûb (‫)نيينابرال‬, yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Rabbāniyah dalam bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah ‫ ﷻ‬. Oleh
karena itu, sebagaimana orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau
marganya, seperti Mishrī `berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan
Syam dan sebagainya, ada juga sekelompok orang yang disebut dengan
rabbāniyyūn, yakni mereka yang telah merealisasikan syarat-syarat untuk
menisbatkan dirinya kepada Allah ‫ ﷻ‬.64

Sebagai seorang murabbī bagi manusia, Rasulullah ‫ ﷻ‬dibekali Allah ‫ﷻ‬


dengan beberapa kompetensi, yang merupakan keharusan untuk dimiliki agar
berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi-kompetensi ini dapat
dibagi menjadi 5 jenis65 yaitu: kompetensi nama, kompetensi nasab,
kompetensi khalq, kompetensi Khuluq, kompetensi adab.

B. Saran

Penyusun telah menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.


Akan tetapi, penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih

64
Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān , Mesir: Dār al-Tauzī` wa
al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
65
Rasyīd Mans hûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-
Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw, Iskandariah: Dār al-Imān, 2008,
Cet ke-1, hlm. 63-78

23
24

banyak terdapat kekurangan. Maka, penyusun sangat mengharapkan saran


dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan ke masa
yang akan dating.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.knowledge-leader.net/2011/12/pendidikan-agama-islam-sebagai-
basis pendidikan-karakter/

Khālid Abū Syādī, Rihlah al-Bahts `An al-Yaqīn, Thanthā: Dār al-Basyīr, 2006, Cet
ke-1

Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab ,


Depok: Komunitas Nuun, 2011

Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan, Dalam Buku “Mereka Bicara
Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009, Cet
ke-1

Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt,
Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān , Mesir: Dār al-
Tauzī` wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1

Muhammad Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197 serta
dikutip pula oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-
Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Lī al-Nabi Muhammad saw

Salmān al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet
ke-1

http://www.odabasham.net/show.php?sid=21751

Mannā` al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah,


2004

25
26

Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār,


Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1993

www.al-manhaj.com 22 Januari 2011 M

Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār
al-Kitāb al-`Arabi, 2007 M

Sa`īd Ibn `Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-
Kitāb wa al-Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq , Riyād: Maktabah al-Malik
Fahd al-Wathaniyah, 1994, cet ke-1

Ali Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm,


Kairo: Dār Ibn al-Jauzī, 2007, cet ke-1

Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London:
al-Muntadā al-Islāmī, 1995, Cet ke-1

Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād,


2009, Cet ke- 1

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān

Khālid Ibn `Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar

Muhammad Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah

Muhammad Ibn `Abdullāh al-Duwesy, al-Mudarris wa Mahārāt al-Taujīh, Riyād:


Dār al-Wathan, 2000

Muhammad Ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah, Bāb Fadhl al-`Ulamā wa al-
Hats `alā Thalab al-`Ilm
27

Rasyīd Mans hûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-
Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw, Iskandariah: Dār al-Imān, 2008, Cet ke-1
Muhammad Ibn Abû Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma`ād Fī Hadyi Khair al-
`Ibād, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994, Cet ke-27

Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Ya`tī
Min Ba`dī Ismuhu Ahmad

Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābûrī, Shahīh Muslim, Beirut: Dār Ibn Hazm,
1998, cet ke-1

Muhammad Ibn Ismāīl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabi,
2007, Kitab Manāqib al-Anshār; Bāb Mab`ats al-Nabi saw

Yahyā bin Ibrāhim al-Yahyā, Madkhal Li Fahm al-Sīrah, Madinah: Dār al-Khudairī,
1420, cet ke-1

`Iyādh Ibn Mûsā Ibn `Iyādh al-Yahshabi, al-Syifā Bi Ta`rīf Huqūq al-Mushthafā,
Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabi, 1984

Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-


Rabbāniyah Li al-Nabi Muhammad saw, Iskandaria, Dār al-Imān, 2008, cet ke-1,
Ahmad al-Thûkhī dan Ahmad Mushthafā, al-Silsilah al-Dzahabiah Fī al-Akhlāq al-
Islāmiyah, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 2000, Cet ke-1

Ahmad al-Thukhi dan Ahmad Mushthafa, al-Silsilah al-Dzahabiah Fi al-Akhlak al-


Islamiyyah

Ahmad Salam, Mā Anā `Alaihi wa Ashhābī; Dirāsat Fī Asbāb Iftirāq al -Ummah wa


Muqawwimāt Wihdatiha al-Syar`iyyah wa al-Kauniyyah Min Khilāl Hadīts al-Iftirāq,
Beirut: Dār Ibn Hazm, 1995, cet ke-1
28

`Abd al-Malik Ibn Hisyām al-Mu`āfirī, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Saudi Arabia: Dār al-
Bayān al-Hadītsah, 2001, cet ke-1

Yûsuf Ibn Umar al-Numairī Ibn `Abd al-Bar al-Qurthubī, al-Istī`āb Fī Ma`rifah al-
Ashhāb, Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabī, 2000, cet ke-2

Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-
Shahīhah, Mesir: Dār al-Salām, 2002, cet ke-1

Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī

Ahmad Farīd, Tazkiyah al-Nufûs, Iskandaria: al-Maktabah al-`Ashriyah, 2005, cet


ke-1

Muhammad Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-
Shahīhah

Ahmad bin Syu`aib al-Nasāī al-Khurāsānī, Sunan al-Nasāī, Kitāb al-Shalāt, Bāb al-
Muhāsabah `ala al-Shalāt, Beirut: Maktabah al-Mathbû`at al-Islāmiyyah, 1986

Muslim Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisāburī, Shahīh Muslim, Kitāb al-Shiyām, Bāb
Fadhl al-Shiyām

Ahmad Mu`ādz Haqqī, al-Arba`ûn Hadītsan Fī al-Akhlāk Ma`a Syarhihā, Riyād: Dār
Thuwaiq,1993

Sayyid Sa`īd `Abd al-Ghanī, Haqīqat al-Walā wa al-Barā Fi Mu`taqad Ahl al-Sunnah
wa al-Jamā`ah, Iskandaria: Dār al-Īmān, 2006

Rāsyid Ibn Husain al-`Abd al-Karīm, Al-Durūs al-Yaumiyah Min al-Sunan wa al-
Ahkām al-Syar`iyyah, Riyād: Dār al-Shumay`ī, 2002, Cet ke-2
29

Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Kusūf, Bāb al-Shalāt
Fī Kusūf al-Syams

`Ali Ibn Nafī` al-`Ulyāni, Ahammiyah al-Jihād Fī Nasyr al-Da`wah al-Islāmiyyah Wa


al-Rad `Alā al-Thawāif al-Dhāllah Fīh, Riyād: Dār Thayyibah, 2003, Cet ke-4

Muhammad Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-`Ilm Bāb Man
Hakshsha Bi al-`Ilm Qauman Duna Qaumin Karāhiyah an Lā Yafhamû

Majdī al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān , Mesir: Dār al-
Tauzī` wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1

Rasyīd Mans hûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-
Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw, Iskandariah: Dār al-Imān, 2008, Cet ke-1

Anda mungkin juga menyukai