Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sering kita mendengar orang mengatakan seperti, “Pemilihan umum langsung

di Indonesia merupakan wacana yang menarik saat ini.” Pada kesempatan lain, ada

orang yang secara lantang menyatakan, “Ah, itu kan sekadar wacana.” Meskipun tidak

ada konteks yang menyertai dua kalimat tersebut, terasa jelas bagi kita bahwa makna

wacana dalam kedua kalimat tersebut bernuansa. Wacana yang disebutkan dalam

kalimat pertama cenderung bebas dari nilai rasa (konotasi), sedangkan yang kedua

bernilai rasa (berkonotasi) negatif. Jika dinyatakan secara pasti, wacana dalam

pemakaian pertama bermakna ‘topik atau bahasan ringan, yang sepele, yang tidak

penting, yang sambil lalu’. Lalu, mengapa dapat demikian? Apakah kata wacana

memiliki banyak makna?

Setiap bidang dalam linguistic mempunyai satuan analisis. Fonologi, misalnya,

mempunyai fonem sebagai objek telaah. Meneliti morfologi mengkaji morf, morfem,

dan alomorf. Ahli sintaksis meneliti kata, frasa, klausa, dan kalimat sebagai satuan

analisisnya. Wacana merupakan satuan yang ditelaah dalam bidang analisis wacana.

Lalu apa itu wacana? Makalah ini menjelaskan batasan, ciri-ciri, jenis, struktur, dan

kepaduan wacana sebagai topik yang umumnya dikaji dalam analisis wacana.

B. Rumusan Masalah

1. Apa hubungan wacana dan konteks?

2. Apa saja jenis wacana?

3. Apa saja struktur wacana?


4. Bagaimana kaitannya kohesi dengan wacana?

5. Bagaimana kaitannya koherensi dengan wacana?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Wacana dan Konteks

Wacana merupakan bangun semantik yang terbentuk dari hubungan semantic

antarsatuan bahasa secara padu dan terikat pada konteks. Sebagai kesatuan yang

abstrak, wacana dibedakan dari teks, tulisan, bacaan, tuturan, atau inskripsi, yang

mengacu pada makna yang sama, yaitu ‘wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau

terdengar’. Terikat pada konteks mendapat penekanan disini, yang membedakan

wacana sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan pemakaian bahasa bukan

untuk tujuan komunikasi. (Yuwono, 2005: 92).

Ada bermacam-macam konteks di dalam wacana. Wacana lisan merupakan

kesatuan bahasa yang terikat dengan konteks situasi penuturannya. Di pihak lain,

wacana tulis merupakan kesatuan bahasa yang dituliskan, Adapun konteks bagi bahasa

(kalimat) dalam wacana tulis adalah kalimat lain yang sebelum atau sesudahnya, yang

sering disebut ko-teks. (Yuwono, 2005: 93).

B. Jenis Wacana

Sebagai satuan bahasa dalam komunikasi, wacana dapat diklarifikasikan

berdasarkan beberapa segi.

Wacana dapat diklarifikasikan berdasarkan fungsi bahasa, wacana dapat

diklarifikasikan atas :

• Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau

penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;


• Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk

memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta;

• Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau

informasi, seperti wacana berita dalam media massa;

• Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan

keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;

• Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada ditindakan atau reaksi

dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.

(Yuwono, 2005: 94)

Berdasarkan saluran komunikasi, wacana dibedakan atas:

• Wacana lisan, memiliki ciri antara lain adanya penutur dan mitra tutur,

bahasa yang dituturkan, dan alih tutur (turn taking) yang menandai

pergantian giliran bicara.

• Wacana tulis, ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang

dituliskan, dan penerapan sistem ejaan.

(Yuwono, 2005: 94)

Berdasarkan tanggapan mitra tutur atau pembaca, wacana dikelompokkan atas :

• Wacana Transaksional, bercirikan adanya pemenuhan oleh mitra tutur/

pembaca atas harapan atau keinginan penutur/penulis, sperti dalam perintah

atau surat permohonan.

• Wacana Interaksional, bercirikan adanya tanggapan timbal-balik dari

penutur dan mitra tutur, seperti dalam jual-beli.

(Yuwono, 2005: 94)


Berdasarkan pemaparan, secara umum wacana dikelompokkan atas :

• Wacana naratif, dicirikan oleh adanya alur, peristiwa, dan tokoh, seperti pada

narasi faktual (berita, contohnya) dan narasi fiktif (cerpen, contohnya).

• Wacana deskriptif, dicirikan oleh adanya detail suatu hal, seperti pada profil.

• Wacana ekspositoris, dicirikan oleh kuatnya paparan informasi, seperti pada

karangan khas (feature).

• Wacana argumentatif, dicirikan oleh kuatnya argumentasi karena didukung

oleh eksplorasi bukti dan prosedur metodologis, seperti pada tesis dan

disertasi.

• Wacana persuasif, dicirikan oleh menonjolnya rangsangan dan bujukan dari

penutur atau penulis agar mitra tutur atay pembaca mengikuti apa yang

diharapkan penutur atau penulis, seperti pada iklan.

• Wacana hortatoris, dicirikan oleh kuatnya amanat yang dikandung dalam

bahasa, seperti pada khotbah keagamaan.

• Wacana prosedural, dicirikan oleh menonjolnya proses, langkah, atau tahap,

seperti dalam rapat dan konferensi.

(Yuwono, 2005: 94-95)

Berdasarkan banyaknya peserta komunikasi, wacana diklasifikasikan atas :

• Wacana monolog, dicirikan oleh adanya satu orang saja yang terlibat dalam

peristiwa komunikasi, seperti siaran berita di televisi dan radio.

• Wacana dialog, dicirikan oleh adanya dua orang yang terlibat dalam

peristiwa komunikasi, seperti dalam komunikasi melalui telepon dan surat-

menyurat di antara dua orang.


• Wacana polilog, melibatkan banyak peserta komunikasi, seperti dalam rapat

dan konferensi.

(Yuwono, 2005: 94)

C. Struktur Wacana

Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu sendiri

dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi

kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah

organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya.

Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi

(semantis) ketimbang sebagai kesatuan bentuk (sintaksis) (lihat Halliday dan Hassan,

1976:2). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bila didalamnya

terdapat ubungan emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian

lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana

apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak

berkaitan secara semantis (Mulyana, 2005:25)

Satuan bahasa secara linguistik mempunyai urutan dari yang terkecil sampai

yang terbesar, urutan tersebut adalah sebagai berikut :

WACANA
a) Fonem;

b) Morfem; Kalimat

c) Kata; Klausa

d) Frase; Frase

e) Klausa;
Kata

Morfem

Fonem
f) Kalimat;

g) Wacana.

(Tarigan, 1987:26)

D. Kohesi

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara

struktural membentuk ikatan sintaktikal. Anton M. Moeliono (1988:34) menyatakan

bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi

wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

Kohesi gramatikal antara lain adalah referensi , substitusi, elipsis, konjungsi,

sedangkan, yang termasuk yang termasuk kohesi leksikal adalah sinonim, repetisi,

kolokasi (Halliday, 1976:21).

Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya,

unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu

wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk

dalam aspek internal struktur wacana. Sehubungan dengan hal tersebut, H. G. Tarigan

(1987:96) mengemukakan bahwa penelitian terhadap unsur kohesi menjadi bagian dari

kajian aspek formal bahasa. Oleh karenanya, organisasi dan strukturan kewacanaannya

juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik-gramatikal.

Menurut Anton. M. Moeliono, dkk (1988:34), untuk memperoleh wacana yang

baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya harus kohesif. Hanya dengan hubungan

kohesif seperti itulah suatu unsur dalamwacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan

ketergantungannya dengan unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif dalam wacana


sering ditandai oleh kehadiran pemarkah (penanda) khusus yang bersifat lingual-

formal. Selanjutnya, Halliday dan Hassan (1976:4) mengemukakan bahwa unsur-

unsur kohesi wacana dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal dan

kohesi leksikal. (Mulyana, 2005:26-27)

a. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi alat

gramatikal-alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa’. Kohesi

gramatikal dapat berwujud referensi atau pengacuan, substitusi atau penyulihan,

elipsis atau pelesapan, dan konjungsi atau penghubungan.

Referensi adalah ‘hubungan antara kata dan objeknya’. Dari sudut analisis

wacana, objek yang diacu oleh sebuah kata dapat di luar bahasa dan di dalam bahasa.

Referensi dengan objek acuan di luar teks disebut referensi eksoforis, sedangkan

referensi dengan objek acuan di dalam teks disebut referensi endoforis. Contoh

referensi eksoforis adalah saya dalam Saya belum sarapan pagi ini. Yang mengacu

pada diri penutur. Contoh referensi endoforis adalah mereka dalam Bapak dan Ibu

sudah berangkat. Mereka naik taksi. Berdasarkan tipe objeknya, referensi digolongkan

menjadi atas referensi personal, referensi demonstratif, dan referensi komparatif.

(Yuwono, 2005:96)

• Referensi personal, ditandai dengan pemakaian pronomina persona, seperti

saya dan Anda.

• Referensi demonstratif, ditandai dengan penggunaan demonstrativa itu, situ,

sana, dan sini.


• Referensi komparatif, ditandai dengan pemakaian kata yang digunakan untuk

membandingkan, seperti sama, serupa, dan berbeda.

(Yuwono, 2005:96-97)

Suatu kata dapat digantikan oleh kata lain untuk tujuan tertentu, misalnya untuk

menghindari penyebutan berulang. Secara definitif, substitusi adalah hubungan antara

kata (-kata) dan kata (-kata) lain yang digantikannya’. Contoh alat gramatikal yang

digunakan untuk menciptakan substitusi adalah :

(Yuwono, 2005:97)

• Demonstrativa ini, begini, di bawah ini, dan berikut ini untuk menggantikan

kata yang akan disebut.

• Demonstrativa itu, begitu, demikian, tersebut, dan di atas untuk menggantikan

kata yang sudah disebut.

• Pronomina persona untuk menggantikan nomina persona yang sudah disebut.

(Yuwono, 2005:97)

Adapun hubungan substitusi itu dapat terjadi secara nominal (substitusi

nominal), verbal (substitusi verbal), dan klausal (substitusi klausal). (Yuwono,

2005:97)

• Contoh substitusi nominal, Arloji yang saya beli kemarin rusak, tapi,

untungnya itu bisa cepat diiganti. Dalam kalimat tersebut terdapat itu yang

menggantikan frasa nominal arloji.


• Contoh substitusi verbal, mereka bekerja keras. Kami juga begitu. Dalam

kalimat tersebut terdapat begitu yang menggantikan frasa verbal bekerja

keras.

• Contoh substitusi klausal, Indonesia kalah di final. Ya saya dengar demikian.

Dalam kalimat tersebut terdapat demikian yang menggantikan klausa

Indonesia kalah di final.

(Yuwono, 2005:97)

Kata yang disebutkan atau dituliskan secara berulang mungkin dapat

menganggu pemahaman. Dalam hal itu, elipsis atau pelesapan dapat dilakukan untuk

menciptakan kepaduan wacana. Yang dimaksud elipsis adalah penghilangan kata (-

kata) yang dapat dimunculkan kembali dalam pemahamannya. Berikut ini adalah

contoh elipsis. (Yuwono, 2005:98)

• Yuna mengikuti kuliah Analisis Wacana. Agung juga [mengikuti Analisis

Wacana]. Dalam kalimat tersebut, yang datang dari bahasa lisan, mengikuti

kuliah Analisis Wacana dilesapkan (dalam kurung siku), namun tetap

terpahami apa yang dilesapkan.

• Karena [Widya] sakit, Widya tidak dapat mengikuti kuliah hari ini. Demikian

pula dalam kalimat tersebut yang datang dari bahasa tulis, Widya dilesapkan

dalam anak kalimat karena telah dimunculkan dalam induk kalimat.

(Yuwono, 2005:98)

Pelesapan dengan cara yang demikian lebih memadukan dan mewajarkan

kalimat. (Yuwono, 2005:98)


Konjungsi atau perhubungan dengan bantuan kata sambung atau konjungsi

besar pula peranannya dalam mewujudkan kohesi gramatikal- perhatikan bahwa disini

kata konjungsi digunakan sebagai salah satu jenis kohesi gramatikal skaligus alat

gramatikalnya. Konjungsi terbagi menjadi dua yaitu konjungsi intrakalimat dan

konjungsi antarkalimat. (Yuwono, 2005:98)

• Konjungsi intrakalimat, adalah konjungsi yang digunakan untuk

menghubungkan satu gagasan dengan gagasan di dalam sebuah kalimat.

Contoh : Saya ingin memperdalam bidang saya di universitas luar negeri,

tetapi kesempatan itu belum ada. Dalam kalimat tersebut Tetapi disini sebagai

konjungsi intrakalimat.

• Konjungsi antarkalimat, adalah konjungsi yang dipakai untuk menghubungkan

satu gagasan dengan gagasan lain di dalam kalimat yang berbeda. Contoh :

Pemerintah berencana memperluas jaringan telepon tanpa kabel. Oleh karena

itu, Pemerintah membuka kesempatan bagi perusahaan swasta yang berminat

dan mampu mewujudkan rencana tersebut. Dalam kalimat tersebut oleh

karena itu disini sebagai konjungsi antarkalimat.

(Yuwono, 2005:98)

b. Kohesi Leksikal

Mulyana (2005:134) menyatakan bahwa kohesi leksikal atau perpaduan

leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan

keserasian struktur secara kohesif. Unsur kohesi leksikal terdiri atas sinonim

(persamaan), antonym (lawan kata), hiponim (hubungan bagian atau isi), repetisi

(pengulangan), kolokasi (sanding kata), dan ekuivalensi. Tujuan digunakannya aspek-


aspek leksikal itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa,

kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya.

Menurut Yuwono (2005:98-99) kohesi leksikal dapat diwujudkan dengan

reiterasi dan kolokasi. Reiterasi adalah pengulangan kata-kata pada kalimat berikutnya

untuk memberikan penekanan bahwa kata-kata tersebut merupakan fokus

pembicaraan’. Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonimi, hiponimi, metonimi, dan

antonimi.

• Repetisi, adalah pengulangan kata yang sama. Repetisi dilakukan untuk

menandai kata yang dipentingkan.

• Sinonimi, adalah hubungan antarkata yang memiliki sama makna. Dengan

sinonimi, penggunaan kata dalam wacana lebih bervariasi dan menarik.

• Hiponimi, adalah hubungan antara kata yang bermakna spesifik dan kata yang

bermakna generik. Penggunaan hiponimi membuat wacana menjadi efisien.

• Metonimi, adalah hubungan antara nama untuk benda lain yang berasosiasi

atau yang menjadi atributnya. Metonimi membuat wacana lebih menarik dan

efisien.

• Antonimi, adalah hubungan antarkata yang beroposisi makna. Kata-kata yang

beroposisidengan selaras membuat pemahaman mitra tutur atau pembaca lebih

cepat memahami wacana.

Sementara itu, yang dimaksud dengan kolokasi adalah hubungan antarkata

yang berada pada lingkungan atau bidang yang sama.


E. Koherensi

Istilah ‘koherensi’ mengandung makna ‘pertalian’. Dalam konsep kewcanaan,

berarti pertalian makna atau isi kalimat (HG Tarigan, 1987:32). Koherensi juga berarti

hubungan timbal balik yang serasi antarunsur dalam kalimat (Gorys Keraf, 1984:38).

Sejalan dengan pendapat itu, HS Wahyudi (1989:6) berpendapat bahwa hubungan

koherensi ialah keterkaitqan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya sehingga

suatu kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Wacana yang koheren memiliki

ciri-ciri: susunannya teratur dan amanatnya terjalin rapi sehingga mudah

diinterpretasikan (Samiati, 1989:5).

Brown dan Yule (1983:224) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan

dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam struktur wacana,

aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara

proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang

koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang tejadi

antarunsur (bagian) secara semantis. Hubungan tersebut kadang kala terjadi dengan

alat bantu kohesi, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi.

Secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari

organisasi semantis.

Lebih lanjut Halliday dan Hassan (1976:2) menegaskan bahwa pada dasarnya

struktur wacana bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik, yakni

semantik kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Beberapa

kalimat akan menjadi wacana karena adanya hubungan makna (arti) antarkalimat itu

sendiri. Jadi karena adanya hubungan koherensi tersebut, seperangkat kalimat


kemudian dapat diterima sebagai suatu keseluruhan yang relatif lengkap. Uraian itu

mengisyaratkan bahwa koherensi adalah salah satu aspek wacana paling penting,

mendasar, dan sangat menentukan(Gunawan Budi Santoswa, 1998:39).

Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks saja (secara

formal), melainkan pada kemampuan pembaca/pendengar dalam menghubung-

hubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya.

Jadi kebermaknaan unsur koherensi terletak pada kelengkapannya yang serasi antara

teks (wacana) dengan pemaahaman penutur pembaca (Brown dan Yule, 1986:224).

Lebih jelas Labov (dalam Soeseno Kartomihardjo, 1996:41) menyatakan bahwa suatu

wacana dapat dikatakan bersifat koheren, bukan hanya karena hubungan antarbagian

melainkan juga karena adanya reaksi tindak ujar yang signifikan dari pembaca atau

oendengar. Jadi koherensi pada dasarnya adalah memberi ukuran tentang seberapa

jauh kebermaknaan suatu teks.

Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan

yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit

(terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi.

Hubungan koherensi dapat dipahami dengan menyimpulkan hubungan antarproposisi

dalam tubuh wacana itu (Mulyana, 2005:136).

Beberapa bentuk atau jenis hubungan koherensi dalam wacana telah

dideskripsikan oleh para ahli. D’Angelo (dalam HG Tarigan, 1987:105), misalnya,

menyatakan bahwa unsur-unsur dari koheensi wacana di antaranya adalah : unsur

penambahan, repetisi, pronomina, sinonim, totalitas-bagian, komparasi, penekanan,

kontras, simpulan, contoh, paralelisme, lokasi-anggota, dan waktu.


M. Ramlan (1993) merinci berbagai hubungan antarbagian dalam wacana yang

bersifat koheren, yakni : hubungan penjumlahan, hubungan pertuturan, hubungan

perlawanan, hubungan lebih, hubungan sebab-akibat, hubungan waktu, hubungan

syarat, hubungan cara, hubungan kegunaan, dan hubungan penjelasan. Sementara itu,

Harimurti Kridalaksana (1984:69; 1978:38-40) mengemukakan bahwa hubungan

koherensi wacana sebenarnya adalah ‘hubungan makna (maksud)’.

Sementara koherensi adalah kepaduan antarbagian secara batiniah. Bagian-

bagian yang disebut sebagai proposisi-proposisi tersebut membentuk jalinan semantik

sehingga tersusun kesatuan makna yang utuh. Berangkat dari konsep ini, koherensi

umumnya dimaknai sebagai hubungan makna antarkalimat atau antarparagraf

(Harimurti Kridalaksana, 1978:38-40). Hubungan tersebut antara lain berupa:

hubungan kausalitas, hubungan syarat-hasil, perumpamaan, temporal, amplikatif, dan

sebagainya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Wacana adalah

salah satu bidang dalam linguistik seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Seperti

bidang-bidang linguistik yang lain, wacana juga memiliki satuan analisis. Wacana

dibedakan dari teks, tulisan, bacaan, tuturan, atau, inskripsi, yang mengacu pada

makna yang sama, yaitu ‘wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar’. Dengan

adanya satuan makna antarbagian, yaitu antarkata, antarkalimat, antarparagraf, antara

judul dan isi, antara teras teks (lead) dan tubuh teks (body), pembaca teks itu tentu

dapat memahami teks dengan lebih mudah.

B. Saran

Dengan membaca makalah ini, pemakalah berharap pembaca dapat memahami

bab analisis wacana ini sehingga pembaca dapat meningkatkan kualitasnya dalam

membaca maupun menulis suatu teks.


PUSTAKA ACUAN

Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: ANGKASA

Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RmT Lauder. 2009. Pesona Bahasa.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai