Anda di halaman 1dari 98

BAB I

Muqaddimah

Untuk melengkapi pemahaman dan membentuk persepsi yang


akurat (teliti dan seksama) dalam mengkaji lebih lanjut mengenai tafsîr
surat al-Ikhlâs dan segala persoalan yang tercakup di dalamnya; pada
bagian ini penulis akan memaparkan beberapa pembahasan pokok
yang mendasar yang meliputi, yaitu:
 urutan penyusunan surat al-Ikhlâs
 tempat turunnya (mauthin al-Nuzûl)
 sebab turunnya (sabab al-Nuzûl)
 jumlah ayat (`adad al-Ayat)
 nama-nama lain bagi Surat al-Ikhlâs

Urutan Penyusunan Surat al-Ikhlâs


Surat al-Ikhlâs merupakan salah satu surat yang terdapat dalam
al-Qur’ân yang ditilik dari segi penyusunannya (tartîb al-sûrah) berada
dan menempati pada urutan keseratus dua belas, dan sebagai surat
yang terakhir sebelum surat al-Mu`awwidzatain (al-Falaq dan al-Nâs);
hal ini sebagaimana termuat dalam al-Qur’ân mush-haf `Utsmânî (atau
disebut pula mush-haf al-Imâm) yang berkembang hingga saat
sekarang. Akan tetapi ditilik dari segi tartîb al-Nuzûl (urutan turunnya)
surat al-Ikhlâs diturunkan sesudah surat al-Nâs.1
Meskipun terdapat perbedaan antara urutan penyusunan dan
urutan turunnya, surat al-Ikhlâs bagaimanapun posisinya harus
menempati lebih awal daripada surat al-Nâs sesuai dengan posisi
urutan dari penyusunan surat yang terdapat dalam mush-haf. Dengan
alasan karena penyusunan surat dalam mush-haf al-Qur’ân menurut
para mufassirîn (ahli tafsîr) dipandang sebagai atau bersifat tauqîfî (hal
yang baku) yang telah ditentukan oleh Rasûlullâh saw.2
Sebagai contoh lain, bahwa penyusunan urutan surat dalam al-
Qur’ân bersifat tauqîfî, misalnya, surat al-`Alaq ayat 1-5. Meskipun dari
segi tartîb al-Nuzûl diturunkan paling pertama, akan tetapi penyusunan
dalam mush-haf al-Qur’ân berada dan menempati pada urutan
kesembilan puluh enam. Demikian pula halnya surat al-Muddatsir,
meskipun dari segi tartîb al-Nuzûl diturunkan kedua setelah surat al-

1
al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid X, hal. 264.
2
al-Zarqânî, Manâhil al-`Irfân fî `Ulûm al-Qur’ân, `Îsâ al-Bâb al-Halabî wa Syarîkah, t.tp.,
1973, Jilid I, hal. 354.
1
`Alaq akan tetapi penyusunan dalam mush-haf berada dan menempati
pada urutan ketujuh puluh empat.
Atas dasar tauqîfî tersebut, selanjutnya para ahli
mengkategorikan surat al-Ikhlâs sebagai salah satu jenis surat di
antara surat-surat al-Mufash-shal; terutama tergolong pada bagian
qishâr al-Mufash-shal.3

Tempat Turunnya (Mauthin al-Nuzûl) Surat al-Ikhlâs


Dalam teori ilmu tafsîr atau yang dikenal dengan mush-thalah al-
Tafsîr atau `ulûm al-Qur’ân, penetapan atau penentuan untuk
mengetahui tempat turunnya (mauthin al-Nuzûl) suatu surat/ayat
dapat diperoleh dengan berpedoman melalui dua cara, yaitu: (1)
simâ`î naqlî; dan (2) qiyâsî ijtihâdî.4
3
al-Qath-thân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, Mansyûrat al-`Ashr al-Hadîts, t.tp.,1973, hal.
145. Dalam teori ilmu tafsîr, para ahli telah membagi dan menggolongkan surat-surat yang
terdapat di dalam al-Qur’ân menjadi empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat Sab`
al-Thiwâl, yaitu kelompok tujuh surat yang panjang yang terdiri dari: (1) al-Baqarah, (2) Ali
`Imrân, (3) al-Nisâ’, (4) al-Mâ’idah, (5) al-An`âm, (6) al-A`râf, dan (7) al-Anfâl plus al-Taubah
(al-Barâ’ah). Kedua, kelompok surat al-Mi’ûn, yaitu kelompok surat-surat yang terdapat di
dalam al-Qur’ân yang ayat-ayatnya terdiri dari seratus ayat lebih atau mendekati seratus
ayat, yakni: (1) Yûnus, (2) Hûd, (3) Yûsuf, (4) al-Nahl, (5) al-Isrâ’, (6) al-Kahfi, (7) Thâhâ, (8)
al-Anbiyâ’, (9) al-Mu’minûn, (10) al-Syu`arâ’, dan (11) al-Shâffât. Ketiga, kelompok surat al-
Matsânî, yaitu menurut al-Farrâ` merupakan kelompok surat-surat yang terdapat di dalam
al-Qur’ân yang ayat-ayatnya kurang dari seratus ayat, yakni: (1) al-Ra`d, (2) Ibrâhîm, (3)
al-Hijr, (4) Maryam, (5) al-Hajj, (6) al-Nûr, (7) al-Furqân, (8) al-Naml, (9) al-Qashash, (10) al-
`Ankabût, (11) al-Rûm, (12) Luqmân, (13) al-Sajdah, (14) al-Ahzâb, (15) al-Saba’, (16)
Fâthir, (17) Yâsîn, (18) Shâd, (19) al-Zumar, (20) al-Mu’min, (21) Fush-shilat, (22) al-Syûrâ,
(23) al-Zukhruf, (24) al-Dukhân, (25) al-Jâtsiyah, (26) al-Ahqâf, (27) Muhamad, dan (28) al-
Fath. Keempat, kelompok surat al-Mufash-shal, yaitu menurut al-Zarqânî merupakan
kelompok surat-surat yang berada di akhir al-Qur’ân. (lihat al-Zarqânî, op.cit., Jilid I, hal.
354). Sedangkan al-Mufash-shal menurut al-Suyûthî dirumuskan sebagai kelompok surat-
surat pendek yang mendekati kelompok surat al-Matsânî. (lihat al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm
al-Qur’ân, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, Beirut-Libanon, 1996, Jilid I, hal.
174).Kelompok surat ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, thiwâl al-Mufash-shal, dan
terdiri dari: (1) al-Hujurât, (2) Qâf, (3) al-Dzâriyât, (4) al-Thûr, (5) al-Najm, (6) al-Qamar, (7)
al-Rahmân, (8) al-Wâqi`ah, (9) al-Hadîd, (10) al-Mujâdilah, (11) al-Hasyr, (12) al-
Mumtahanah, (13) al-Shaff, (14) al-Jumu`ah, (15) al-Munâfiqûn, (16) al-Taghâbun, (17) al-
Thalâq, (18) al-Tahrîm, (19) al-Mulk, (20) al-Qalam, (21) al-Hâqqah, (22) al-Ma`ârij, (23)
Nûh, (24) al-Jinn, (25) al-Muzammil, (26) al-Muddatsir, (27) al-Qiyâmah, (28) al-Insân, (29)
al-Mursalât, (30) al-Nabâ’, (31) al-Nâzi`ât, (32) `Abasa, (33) al-Takwîr, (34) al-Infithâr, (35)
al-Muthaffifîn, (36) al-Insyiqâq, dan (37) al-Burûj. Kedua, ausâth al-Mufash-shal, dan terdiri
dari: (1) al-Thâriq, (2) al-A`lâ, (3) al-Ghâsyiyah, (4) al-Fajr, (5) al-Balad, (6) al-Syams, (7) al-
Lail, (8) al-Dhuhâ, (9) al-Insyirâh, (10) al-Tîn, (11) al-`Alaq, (12) al-Qadr, dan (13) al-
Bayyinah. Ketiga, qishâr al-Mufash-shal, dan terdiri dari: (1) al-Zalzalah, (2) al-`Âdiyât, (3)
al-Qâri`ah, (4) al-Takâtsur, (5) al-`Ashr, (6) al-Humazah, (7) al-Fîl, (8) al-Quraisy, (9) al-
Mâ`ûn, (10) al-Kautsar, (11) al-Kâfirûn, (12) al-Nashr, (13) al-Lahab, (14) al-Ikhlâs, (15) al-
Falaq, dan (16) al-Nâs.
4
Subhî al-Shâlih, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, Beirut-Libanon,
1988, hal. 181. Selanjutnya, simâ`î naqlî dirumuskan sebagai metode dalam menetapkan
tempat turunnya suatu surat/ ayat (baik di Makkah maupun di Madînah) berdasarkan pada
periwayâtan yang shahîh dari para shahâbat yang mereka telah menyaksikan secara
langsung turunnya wahyu, atau melalui periwayâtan yang diperoleh oleh para tâbi`în yang
mereka telah mendengar secara langsung dari para shahâbat tentang tempat turunnya
suatu surat atau ayat. Sedangkan qiyâsî ijtihâdî dirumuskan sebagai cara dalam
menetapkan tempat turunnya suatu surat atau ayat (baik di Makkah maupun di Madînah)
berdasarkan hasil penelitian para ahli dengan berpedoman pada ciri-ciri atau kaidah-kaidah
2
Menurut al-Suyûthî (849-911 H), bahwa surat al-Ikhlâs
merupakan salah satu surat yang tergolong diperselisihkan tempat
turunnya.5
Ditilik dari segi simâ`î naqlî mengenai tempat turunnya surat al-
Ikhlâs, para mufassirîn memiliki beragam pandangan tentangnya yang
berkembang sampai berkisar dua pendapat, yaitu:
Pertama, menurut `Abdullâh Ibn Mas`ûd (w. 32 H), Jâbir Ibn
`Abdullâh (w. 78 H), al-Hasan (21-110 H),`Athâ’ (w. 114 H), `Ikrimah (w.
105 H),6 Mujâhid (21-104 H), dan Qatâdah (w. 118 H)7 berpendirian,
bahwa surat al-Ikhlâs diturunkan di Makkah. Dasar argumentasi yang
mereka kemukakan, bahwa substansi (isi) dari sabab al-Nuzûl (sebab
turunnya) surat al-Ikhlâs merupakan jawaban terhadap pertanyaan
kaum musyrikîn yang berada di Makkah. Dari sini dapat dipahami
bahwa surat al-Ikhlâs telah diturunkan di Makkah.8 Ini sebagaimana
terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Ubay Ibn Ka`ab (w. 32
H) yang ditakhrîj oleh Ibn Jarîr 215-310 H), al-Wâhidî (w. 468 H), Ahmad
(w. 266 H), dan Tirmidzî (209-279 H),9 yaitu:
‫ن قعععاَألوُا ن‬ ‫م ن‬ ‫ن ال ن‬ ‫ع‬ ‫ن ك ععنعع‬ ‫ن أ أب ععع‬
‫ع‬ ‫شععرنك ني ن‬ ‫أ‬ ‫ أ ن‬:‫ب رضععي اللععه عنععه‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ي ب نعع‬
‫ي‬ ‫ع ععع ن‬
‫ل‬ ‫ع‬
‫ فعععأن نعز ع‬،َ‫ك؟‬ ‫ع‬
‫ب لن عععاَ عرب نعع ع‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫س ن‬‫ل اللهن صلىّ الله عليععه وسععلمّ ان ن أ‬ ‫سوُن ن‬ ‫ل نعر أ‬
0{َ‫ إلىّ أخرها‬000 ‫حد د‬ ‫ع‬ ‫ }قأ ن‬: ّ‫ه ت عععاَعلى‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫الل أ‬
“Dari Ubay Ibn Ka`ab (r.a), bahwa orang-orang Musyrik mereka
telah bertanya kepada Rasûlullâh saw: jelaskanlah kepada kami
tentang (asal-usul keberadaan) Rabbmu?. Maka Allah Ta`âla
menurunkan: (qul huwallâhu ahad … sampai akhir ayat)”.

Kedua, menurut Ibn `Abbâs (w. 68 H), al-Dhahâk (w. 105 H), 10 al-
Sudî,11 Muhamad Ibn Ka`ab dan Abû al-`Âliyah (w. 90 H) 12
berpandangan, bahwa surat al-Ikhlâs diturunkan di Madînah. Dasar
argumentasi yang mereka kemukakan, bahwa substansi dari sabab al-
Nuzûl surat al-Ikhlâs merupakan jawaban terhadap pertanyaan Ahl al-
Kitâb (Yahûdi) yang berada di Madînah, di antaranya Ka`ab Ibn al-
Asyraf dan Hayyu Ibn Akh-thab. Ini berarti menunjukkan bahwa surat
al-Ikhlâs diturunkan di Madînah.13 Hal ini sebagaimana terungkap

tertentu. (lihat al-Qath-thân, op.cit., hal. 60-61).


5
al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid I, hal. 47.
6
al-Qurthubî, al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid XX, hal.
244. Lihat pula Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
7
al-Alûsî, Rûh al-Ma`ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm wa al-Sab` al-Matsânî, Dâr Ihyâ` al-
Turâts al-`Arabî, t.tp., t.t., Jilid XXIX, hal. 285.
8
al-Mahallî dan al-Suyûthî, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm (Tafsîr al-Jallâlain), Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1991, hal. 448 di dalam al-Hâmisy (al-Hâsyiyah).
9
Ibn Jarîr, Jâmi` al-Bayân `an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 2001, Jilid
XIV, hal. 387; al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994, hal. 260; Ahmad
(V/133) dan Tirmidzî (V/239) dengan transmisi (sanad/jalan periwayâtan) Ubay Ibn Ka`ab,
Abû al-`Âliyah, al-Rabî` Ibn Anas dan Abû Ja`far al-Râzî.
10
al-Qurthubî, loc.cit. Periksa pula antara lain al-Alûsî, loc.cit.; dan Ibn al-Jauzî, Zâd al-
Masîr dalam Maktabah Alfiyyah.
11
idem.
12
al-Alûsî, loc.cit.
13
al-Mahallî dan al-Suyûthî, loc.cit.
3
dalam riwâyat yang bersumber dari Ibn `Abbâs yang ditakhrîj oleh Ibn
Abû Hâtim (w. 327 H), Ibn `Addî (w. 365 H) dan Baihaqî (381-458 H),14
yaitu:
‫النبنععيي‬
‫اَءتن نإ علععىّ ن‬ ‫ن النعيأهوُنعد جععع ع‬‫ عأ ن‬،‫اَس رضي اللععه عنععه‬ ‫ب‬ ‫عنب‬‫ن ع‬ ‫ن ابن ن‬ ‫ع ن‬‫ع‬
‫ي بنععن‬ ّ ‫ف عوحععع‬‫ر ع‬ ‫لشععن ع‬ ‫ن نا ع‬‫ب بنعع أ‬
‫مّ كععنعع أ‬ ‫ل‬
‫صععلىّ اللععه عليععه وسععلمّ منننأه ن‬ ‫ل‬
‫ز ع‬
‫ل‬ ‫ عفعأنن ع‬،َ‫ذي عبعععثكع؟‬ ‫ك الن ن‬‫صفن علنعاَ رعنب ع‬‫مدأ! ن‬ ‫ح ن‬‫ عياَ مأ ع‬: ‫اَلوُنا‬
‫ق أ‬ ‫ب عف ع‬‫ط ع‬ ‫خ ع‬ ‫عأ ن‬
0{َ‫ إلىّ أخرها‬000 ‫حد د‬ ‫ع‬ ‫} قأ ن‬: ‫اللهأ‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a), bahwasanya orang Yahûdi telah datang
kepada Nabi saw di antaranya Ka`ab Ibn al-Asyraf dan Hayyu
Ibn Akh-thab mereka bertanya: wahai Muhamad gambarkanlah
kepada kami tentang (keberadaan) Rabb yang telah
mengutusmu?. Maka Allah menurunkan: (qul huwallâhu ahad
… sampai akhir ayat)”.

Dalam mencairkan perbedaan tersebut, al-Suyûthî lebih


cenderung mengkompromikan keduanya dengan mengemukakan,
bahwa surat al-Ikhlâs telah diturunkan secara berulang-ulang—pada
satu waktu diturunkan di Makkah dan pada waktu yang lain diturunkan
pula di Madînah. Menurutnya, ini terbukti dengan beragamnya
substansi dari sabab al-Nuzûl surat al-Ikhlâs itu sendiri, yakni pada satu
sisi diturunkan di Makkah sebagai jawaban dari pertanyaan kaum
musyrikîn dan di sisi lain telah diturunkan pula di Madînah sebagai
jawaban dari pertanyaan Ahl al-Kitâb (Yahûdi). Tegasnya, bahwa surat
al-Ikhlâs memiliki dua mauthin al-Nuzûl, yakni di Makkah dan di
Madînah. Selanjutnya, ia pun mengemukakan, bahwa apabila mentarjîh
(memilih yang kuat) dari kedua pendapat di atas, maka secara tegas
surat al-Ikhlâs diturunkan di Madînah.15
Berbeda halnya dengan al-Nasafî (w. 701 H), ia lebih cenderung
menguatkan pandangannya bahwa surat al-Ikhlâs diturunkan di
Makkah. Karena menurutnya, pandangan tersebut didukung dan
diperkuat oleh sebagian besar para ulama. Sedangkan pandangan
yang menguatkan bahwa surat al-Ikhlâs telah diturunkan di Madînah
hanya didukung oleh sebagian besar ulama Bashrah saja. 16 Pandangan
al-Nasafî ini sejalan dengan al-Dawânî sebagaimana yang dilaporkan
oleh al-Alûsî (1207-1270 H) dengan mengemukakan, bahwa secara
ittifâq (sepakat) surat al-Ikhlâs telah diturunkan di Makkah. Ini terbukti
dengan sedikitnya di kalangan para ulama yang memperselisihkan
tentang keberadaan hal tersebut.17
Berdasarkan kedua penilaian di atas, penulis lebih cenderung
menguatkan pandangan yang mengemukakan, bahwa surat al-Ikhlâs
diturunkan secara berulang-ulang. Karena hal ini sejalan dengan salah
satu teori ilmu tafsîr yang menyatakan, bahwa “sejumlah ulama baik
14
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma`tsûr, Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, t.t., Jilid VIII, hal. 668.
15
al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid I, hal. 64.
16
al-Nasafî, Tafsîr al-Nasafî al-Musamma bi Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Dâr al-
Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid VI, hal. 383.
17
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 286.
4
mutaqaddimîn maupun muta’akhirîn berpandangan bahwa sangat
dimungkinkan suatu surat/ayat diturunkan secara berulang-ulang
dengan maksud untuk menguatkan suatu peringatan dan nasihat, serta
untuk menunjukkan tentang agungnya kandungan dari surat/ayat yang
diturunkan”. Demikian pula halnya dengan surat al-Ikhlâs merupakan
salah satu surat yang termuat dalam al-Qur’ân yang diturunkan secara
berulang-ulang.18
Adapun pandangan sebagian besar para ulama yang
menguatkan bahwa surat al-Ikhlâs telah diturunkan di Makkah—ini
dimaksudkan Makkah sebagai tempat yang pertama kalinya diturunkan
surat al-Ikhlâs. Sedangkan pandangan yang dikuatkan oleh sebagian
besar ulama Bashrah bahwa surat al-Ikhlâs diturunkan di Madînah—ini
dimaksudkan Madînah sebagai tempat yang kedua kalinya diturunkan
surat al-Ikhlâs.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa mauthin al-Nuzûl surat
al-Ikhlâs diturunkan pada dua tempat, yakni di Makkah sebagai tempat
turun yang pertama kalinya dan di Madînah sebagai tempat turun yang
kedua kalinya.

Latar Historis (Sabab al-Nuzûl) Surat al-Ikhlâs


Sebagai penegasan awal perlu dipahami, berdasarkan teori ilmu
tafsîr sebagaimana yang dikemukakan oleh Abû Ishâq al-Ja`barî
memberikan suatu rumusan, bahwa setiap al-Qur’ân yang diturunkan
kepada Nabi saw pada dasarnya tidak terlepas dari dua hal, yaitu:
pertama, adakalanya al-Qur’ân yang diturunkan bersifat ibtidâ’—yakni
bahwa al-Qur’ân yang diturunkan kepada Nabi saw tidak terikat
dengan suatu sebab tertentu, dan kandungan dari isi al-Qur’ân yang
diturunkan tersebut bersifat murni sebagai petunjuk Khâliq terhadap
makhluk-Nya; dan kedua, adakalanya al-Qur’ân yang diwahyukan
kepada Nabi saw sangat terkait dengan suatu sebab tertentu, baik
berupa kejadian atau berupa pertanyaan yang ditujukan atau
disodorkan kepadanya. Kandungan dari isi al-Qur’ân yang diturunkan
merupakan penjelasan dari kejadian yang muncul pada saat itu, atau
merupakan jawaban dari pertanyaan yang telah ditujukan kepadanya. 19
Dalam hal ini, surat al-Ikhlâs merupakan salah satu surat yang termuat
dalam al-Qur’ân yang terikat dengan sebab tertentu berupa
pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi saw. Tegasnya, surat al-Ikhlâs
memiliki sabab al-Nuzûl tertentu.
Dalam memahami dan meneliti lebih lanjut mengenai sabab al-
Nuzûl suatu surat/ayat yang terdapat dalam al-Qur’ân—(khususnya
yang berkaitan dengan surat al-Ikhlâs), al-Wâhidî telah memberikan
suatu patokan, bahwa “keterangan tentang sabab al-Nuzûl yang
terdapat dalam al-Qur’ân tidak halâl melainkan melalui periwayâtan
18
`Alawî, Zubdah al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Syurûq-Jeddah, 1986, hal. 24.
19
Periksa antara lain: al-Zarqânî, op.cit., Jilid I, hal. 156; al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid
I, hal. 82; dan al-Qath-thân, op.cit., hal. 78.
5
yang didengar secara langsung oleh orang-orang (para shahâbat),
yang mereka telah menyaksikan turunnya al-Qur’ân, dan mereka
memahami dan meneliti apa yang menjadi sebabnya”.20
Dengan merujuk pada uraian dan pembahasan yang sebelumnya
telah dikemukakan, bahwa mauthin al-Nuzûl surat al-Ikhlâs diturunkan
pada dua tempat, yakni di Makkah dan di Madînah. Atas dasar tersebut
secara tegas dapat memberikan pengertian, bahwa sabab al-Nuzûl
surat al-Ikhlâs sangat berkaitan erat dengan pertanyaan yang ditujukan
kepada Nabi saw dari kaum musyrikîn yang berada di Makkah, dan juga
pertanyaan dari Ahl al-Kitâb (Yahûdî) yang berada di Madînah.
Adapun substansi dari pertanyaan kaum musyrikîn yang berada
di Makkah yang ditujukan kepada Nabi saw sebagai sabab al-Nuzûl
surat al-Ikhlâs—yakni berkenaan dengan sifat Allah. Ini sebagaimana
terungkap dalam beberapa riwâyat berikut:
(1) bersumber dari Ubay Ibn Ka`ab yang dirawikan oleh Ibn Jarîr, al-
Wâhidî, Ahmad dan Tirmidzî,21 yaitu:
‫ع‬ ‫ن أ أب ععع‬
‫ععاَل أ ن‬
‫وُا‬
‫ع‬
‫ن قع‬
‫ع‬ ‫شععرنك ني ن‬ ‫م ن‬ ‫أ‬ ‫ن ال ن‬ ‫ أ ن‬: ‫ب رضععي اللععه عنععه‬ ‫ب‬ ‫ن ك ععنعع‬
‫ن‬ ‫ي ب نعع‬
‫ي‬ ‫عع ن‬
‫ فعععأن نعز ع‬،َ‫ك؟‬
‫ل‬ ‫ب ل عن عععاَ عرب نعع ع‬‫س ن‬‫ل اللهن صللىّ الله عليه وسععللمّ ان ن أ‬ ‫سوُ ن‬ ‫ل نعر أ‬
0{ َ‫ إلىّ أخرها‬000 ‫حد د‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫} قأ ن‬: ّ‫ه ت عععاَلى‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫الل أ‬
“Dari Ubay Ibn Ka`ab (r.a), bahwa orang-orang Musyrik
mereka telah bertanya kepada Rasûlullâh saw: jelaskanlah
kepada kami tentang (asal-usul keberadaan) Rabbmu?.
Maka Allah Ta`âla menurunkan: (qul huwallâhu ahad … …
sampai akhir ayat)”.

(2) bersumber dari Jâbir Ibn `Abdullâh yang ditakhrîj oleh Ibn Jarîr,22
yaitu:
َ‫ععب علنعععا‬
‫س ن‬
‫ اأنن أ‬: ‫ن‬
‫وُ ع‬
‫ركأ ن‬
‫عع ن‬
‫مش ن‬‫اَل الن أ‬
‫ قع ع‬: ‫اَل‬‫ر رضي الله عنه عق ع‬ ‫جاَبن ب‬
‫ن ع‬‫عع ن‬
.{‫حد د‬‫ه عأ ع‬
‫ل هأوُع الل أ‬‫ } قأ ن‬: ‫الله‬
‫أ‬ ‫ز ع‬
‫ل‬ ‫ عفعأنن ع‬،َ‫ك ؟‬ ‫رعنب ع‬
“Dari Jâbir (r.a) berkata: orang-orang Musyrik telah bertanya:
jelaskanlah kepada kami tentang (asal-usul keberadaan)
Rabbmu?. Maka Allah menurunkan: (qul huwallâhu ahad)”.

20
al-Wâhidî, loc.cit.
21
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XIV, hal. 387; al-Wâhidî, op.cit., hal. 260; Ahmad (V/133) dan
Tirmidzî (V/239) dengan transmisi Ubay Ibn Ka`ab, Abû al-`Âliyah, al-Rabî` Ibn Anas, dan
Abû Ja`far al-Râzî. Dan juga telah diriwâyatkan pula oleh Bukhârî dalam Târîkh al-Kabîr, Ibn
Khuzaimah dalam Shahîh Ibn Khuzaimah, Ibn Abû Hâtim dalam al-Sunnah, al-Baghawî
dalam al-Mu`jam, Ibn al-Mundzîr dalam al-`Azhamah, Hâkim dalam al-Mustadrak dan
Baihaqî dalam al-Asmâ’ wa al-Shifât. (Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII,
hal. 667).
22
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XIV, hal. 387-388 dengan transmisi Jâbir Ibn `Abdullâh, al-Sya`bî,
Mujâlid, Ismâ`îl Ibn Mujâlid, Suraij dan Muhamad Ibn `Auf. Juga telah ditakhrîj pula oleh al-
Wâhidî, loc.cit., dengan transmisi Jâbir Ibn `Abdullâh, al-Sya`bî, Mukhâlid, Ismâ`îl Ibn
Mukhâlid, Syuraij Ibn Yûnûs, Muhamad Ibn `Abdullâh al-Hadhramî, Abû al-Hasan al-Sirâj,
dan Abû Manshûr al-Baghdâdî. Dan juga telah diriwâyatkan oleh Ibn al-Mundzîr dalam al-
`Azhamah, Thabrânî dalam Mu`jam al-Ausâth, Abû Nu`aim dalam al-Hilyah dan Baihaqî
dalam al-Asmâ’ wa al-Shifât. (Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … loc.cit.)
6
Hadîts pada point (1) yang bersumber dari Ubay Ibn Ka`ab dinilai
shahîh oleh Tirmidzî23 dan al-Hâkim (321-405 H). Sedangkan hadîts
pada point (2) dari Jâbir Ibn `Abdullâh dinilai hasan oleh al-Suyûthî.24
Kedua riwâyat tersebut—lebih lanjut didukung dan diperkuat pula
oleh beberapa atsar dari tâbi`în sebagai berikut:
(1) atsar qaulî yang bersumber dari `Ikrimah yang ditakhrîj oleh Ibn
Jarîr,25 yaitu:
‫ل اللهن صللىّ اللععه‬
‫وُ ع‬
‫س ن‬
‫ يعاَ عر أ‬: ‫اَلوُنا‬
‫ن عق أ‬
‫رنكين ع‬
‫ش ن‬
‫م ن‬ ‫ن الن أ‬‫ عأ ن‬،‫مةع‬‫ر ع‬
‫ك ن‬‫ع ن‬
‫ن ن‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫ع ن‬
‫ن‬‫رعناَ ع‬
‫خبن ن‬ ‫ل‬
‫ عأ ن‬: ّ‫عليه وسلم‬
‫ل اللهأ‬
‫ز ع‬
‫ عفعأنن ع‬،َ‫وُ ؟‬
‫ه ع‬
‫يبء أ‬
‫ش ن‬
‫ن عأيي ع‬
‫هوُع عومن ن‬
‫صفن علنعاَ رعنبكع معاَ أ‬‫ ن‬،‫ك‬ ‫رعيب ع‬
0{َ‫ إلىّ أخرها‬000 ‫حد د‬ ‫ع‬ ‫ } قأ ن‬:
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari `Ikrimah berkata: bahwasanya orang-orang musyrik telah
bertanya: wahai Rasûlullâh saw! khabarkanlah kepada kami
tentang (sifat) Rabbmu (dan) gambarkanlah kepada kami
tentang (sifat) Rabbmu—siapakah sebenarnya Dia itu?, dan
dari sesuatu apakah Dia itu (diciptakan)?. Maka Allah
menurunkan: (qul huwallâhu ahad … sampai akhir)”.

(2) atsar qaulî yang bersumber dari Abû al-`Âliyah yang ditakhrîj oleh
Ibn al-Dhurais (w. 290 H)26 dan Ibn Jarîr,27 yaitu:
‫رينععل‬ ‫جبن ن‬
‫ عفعأتعععاَهأ ن‬،‫سبن علعناَ رعبنععكع‬ ‫ اأنن أ‬: ‫وُا‬ ‫ عقاَلأ ن‬: ‫اَل‬
‫ن عأنبي النععاَلنعيةن عق ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫ وع فنععي‬0{َ‫ إلععىّ أخرهععا‬000 ‫حععد د‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫ة‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫السوُنعر ن‬
ّ ‫ذ ن‬
‫ه‬ ‫نبعه ن‬
‫ي صللىّ اللععه عليععه وسععللمّ ذ عك ععر‬ ‫ع‬ ‫رنعواي عةب للترمذي ب نل ع ن‬
‫ع‬ ‫ن الن نب ن ن‬ ‫أ ن‬:‫ظ‬ ‫ف ب‬
‫ل ب نهعععذ نهن‬ ‫ فعأت عععاَه أ ن‬: ‫ل‬
‫جب نرني نعع أ‬ ‫ قعععاَ ع‬،َ‫ك ؟‬ ‫ب ل ععناَ عرب ن ع‬ ‫س ن‬ ‫ ا أن ن أ‬: ‫قاَألوُا‬‫ فع ع‬،ّ‫م‬
‫آل نهعت عهأ ن‬
0 { ‫حد د‬ ‫ع‬ ‫ } قأ ن‬: ‫سوُعرةن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ّ ‫ال‬
“Dari Abû al-`Âliyah berkata: mereka (orang-orang musyrik)
telah bertanya: jelaskanlah kepada kami tentang (asal-usul
keberadaan) Rabbmu?. Maka Jibrîl datang kepadanya dengan
(menurunkan) surat ini: (qul huwallâhu ahad)”. Dalam riwâyat
[Tirmidzî]28 dengan redaksi: “bahwasanya Nabi saw telah
menerangkan tentang ilâh-ilâh mereka (orang-orang musyrik).
Maka mereka (orang-orang musyrik) bertanya: jelaskanlah
kepada kami tentang (asal-usul keberadaan) Rabbmu?. Maka
Jibrîl as. datang kepadanya dengan (menurunkan) surat ini:
(qul huwallâhu ahad)”.

Demikian pula dengan Ahl al-Kitâb (Yahûdî) yang berada di


Madînah—pertanyaan yang mereka ajukan kepada Nabi saw berkenaan

23
Tirmidzî (V/240).
24
idem.
25
Ibn Jarîr, loc.cit., dengan transmisi `Ikrimah, Yazîd, al-Husain, Yahyâ Ibn Wâdhih, dan Ibn
Humaid.
26
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … loc.cit.
27
Ibn Jarîr, loc.cit., dengan melalui transmisi Abû al-`Âliyah, al-Rabî` Ibn Anas dan Abû
Ja`far al-Râzî.
28
Tirmidzî (V/240) dengan transmisi …, Abû Ja`far al-Râzî, `Ubaidullâh Ibn Mûsâ, dan Ibn
Humaid.
7
dengan sifat Allah. Hal ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat
berikut:
(1)bersumber dari Ibn `Abbâs yang diriwâyatkan oleh Ibn Abû Hâtim,
Ibn `Addî dan Baihaqî,29 yaitu:
‫ت نإعلىّ الننبنععي‬ ‫اَء ن‬
‫ج ع‬ ‫وُعد ع‬
‫اليعأه ن‬
‫ن ن‬‫ عأ ن‬، ‫اَس رضي الله عنه‬ ‫ب‬ ‫عنب‬ ‫ن ع‬ ‫ن ابن ن‬‫ع ن‬ ‫ع‬
‫ي بنععن‬ّ ‫ح‬ ‫ف وع ع‬ ‫ر ع‬ ‫ش ع‬‫ل ن‬
‫ن نا ع‬‫مّ كعنعبأ نب أ‬ ‫صللىّ الله عليه وسللمّ منننأه ن‬
،َ‫ذي عبععثعععكع؟‬ ‫العع ن‬
‫ععفن علنعععاَ رعبنععكع ن‬ ‫حمنععدأ! ص ن‬ ‫م ع‬‫ عيععاَ أ‬: ‫وُا‬
‫قاَلأ ن‬ ‫ب عف ع‬‫ط ع‬ ‫خ ع‬ ‫عأ ن‬
0{َ‫ إلىّ أخرها‬000 ‫حد د‬ ‫ع‬ ‫} قأ ن‬: ‫الله‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫أ‬ ‫ز ع‬
‫ل‬ ‫عفعأنن ع‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a), bahwasanya orang Yahûdi telah datang
kepada Nabi saw di antaranya Ka`ab Ibn al-Asyraf dan Hayyu
Ibn Akh-thab mereka bertanya: wahai Muhamad gambarkanlah
kepada kami tentang (sifat) Rabb yang telah mengutusmu?.
Maka Allah menurunkan: (qul huwallâhu ahad … sampai
akhir)”.

(2)bersumber dari Anas Ibn Mâlik (w. 95 H) yang diriwâyatkan oleh Abû
al-Syaikh dan Abû Bakr al-Samarqandî,30 yaitu:
‫ر نإلععىّ الننبنعيي‬ ‫خينبعع ع‬
‫ت عيهأععوُنأد ع‬ ‫اَء ن‬ ‫ جعع ع‬: ‫س رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ن عأعن ب‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫كة‬ ‫ل نئ ع‬ ‫م ع‬ ‫الله الن ع‬
‫أ‬ ‫خعل ع‬
‫ق‬ ‫مّ ع‬ ‫اَس ن‬
‫ق ن‬ ‫ عياَ عأعباَ الن ع‬:‫اَلوُنا‬ ‫ق أ‬‫صللىّ الله عليه وسللمّ عف ع‬
‫ن علهعععبن‬ ‫ وعنإنبنلنيسع منعع ن‬،‫وُنب‬ ‫سنأ ن‬‫م ن‬ ‫مبأ ع‬ ‫ح ع‬‫ن ع‬ ‫م ن‬ ‫م ن‬ ‫آد ع‬ ‫ وع ع‬،‫جاَبن‬ ‫ح ع‬ ‫ال ن‬‫ن أنوُننر ن‬ ‫من ن‬
َ‫رنعععا‬
‫خنب ن‬ ‫ عفأأ ن‬،‫اَء‬
‫المععع ب‬
‫د ن‬ ‫ن زعبععع ن‬
‫ض منعع ن‬ ‫لرن ع‬ ‫ عونا ع‬،‫اَن‬‫خ ب‬ ‫ن أد ع‬ ‫م ن‬ ‫اَء ن‬
‫م ع‬ ‫الس ع‬
‫ عو ن‬،‫اَر‬ ‫النن ن‬
‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ عفعأتعععاَهأ‬ ّ ‫النبنعع‬ ‫مّ ن‬ ‫جنبهأعع أ‬ ‫مّ أي ن‬‫عف علعع ن‬0َ‫ك؟‬ ‫ن رعبيعع ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
0{‫حد د‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫ة‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫السوُنعر ن‬
ّ ‫ذ ن‬
‫ه‬ ‫ل نبعه ن‬
‫رني أ‬ ‫جبن ن‬‫ن‬
“Dari Anas (r.a) telah berkata: sekelompok Yahûdi dari Khaibar
telah datang kepada Nabi saw, lalu mereka berkata: wahai Abû
al-Qâsim (sebutan bagi Muhamad)! Allah telah menciptakan
malâikat dari cahaya yang tertutup (tidak dapat dilihat), Âdam
dari Lumpur hitam yang diberi bentuk, Iblîs dari kobaran api,
langit dari gumpalan asap, dan tanah dari buih air; maka
khabarkanlah kepada kami tentang Rabbmu?. Maka Nabi tidak
menjawab pertanyaan mereka. Maka Jibrîl pun datang
kepadanya dan menurunkan surat ini: (qul huwallâhu ahad)”.

(3)bersumber dari Qatâdah yang ditakhrîj oleh Ibn Jarîr31 yaitu:


ّ‫اليعهأععوُنند نإ علععى‬
‫ن ن‬ ‫اَء نعععاَسد منعع ع‬ ‫ جععع ع‬: ‫ة رضي الله عنععه عقاَلع‬ ‫ن عقعتاَدع ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫زلعععت‬ ‫ عفأن ن‬،‫ك‬ ‫ب علعناَ رعنب ع‬‫س ن‬ ‫ اأنن أ‬: ‫اَلوُنا‬
‫ق أ‬ ‫ي صللىّ الله عليه وسللمّ عف ع‬ ‫النننب لن‬
.‫ة‬‫وُرع ع‬
‫الس ن‬
ّ ‫ختع ع‬
ّ‫م‬ ‫حد د { حعتنىّ ع‬ ‫ع‬ ‫ } قأ ن‬:
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari Qatâdah (r.a) berkata: orang-orang Yahûdi telah datang
kepada Nabi saw, maka mereka bertanya: terangkanlah
kepada kami tentang (asal-usul keberadaan) sifat Rabbmu?.
Maka diturunkanlah: (qul huwallâhu ahad) sampai akhir surat”.
29
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 668.
30
idem.
31
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XIV, hal. 388 dengan transmisi Qatâdah, Sa`îd Ibn Abû `Arûbah,
Mahrân, dan Ibn Humaid. Dan juga ditakhrîj pula oleh `Abdur-Razâq dalam Mushannif dan
Ibn al-Mundzir dalam al-`Azhamah. (Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal.
669)
8
Di samping itu, periwayâtan mengenai sabab al-Nuzûl surat al-
Ikhlâs telah diriwâyatkan pula antara lain oleh al-Wâhidî 32 yang
bersumber dari Qatâdah, Muqâtil Ibn Hayyân (w. 150 H) dan al-Dhahâk,
yaitu:
: ‫وُا‬‫قاَل أ ن‬
‫ي صللىّ الله عليه وسللمّ فع ع‬ ‫ن ال ني عهأوُند ن إ نعلىّ الن نب ن ي‬ ‫م ع‬‫س ن‬ ‫جاَعء عناَ د‬ ‫ع‬
‫ه‬
‫ن الل ع‬ ‫ع‬
‫ فعإ ن ن‬،‫ف لعناَ عرب نك‬ ‫ع‬ ‫ص ن‬ ‫ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫أ عن نعز ع‬
‫ن أيي‬ ‫م ن‬ ‫ وع ن‬،َ‫وُ؟‬ ‫ع‬ ‫ئ هأ‬
‫ب‬ ‫شي ن‬ ‫ن أيي ع‬ ‫ن‬ ‫م‬
‫خب ننرعناَ ن‬ ‫ فعأ ن‬،‫ة‬ ‫ه نفي الت نوُنعرا ن‬ ‫أ‬ ‫ل ن ععنت ع‬
‫ل وع‬ ‫كع أ‬ ‫ل ي عأ ن أ‬
‫هع ن‬ ‫ وع ع‬،َ‫ة ؟‬ ‫ضع د‬ ‫م فن ن‬ ‫سأ ن‬
‫ع‬
‫د‬ َ‫حعا‬‫م نأ ع‬
‫ع‬
‫ب هأوُع أ ن‬
‫ع‬
‫ أ ذ عهع د‬،َ‫وُ؟‬ ‫س هأ ع‬ ‫جن ن ب‬ ‫ن‬
‫ه‬ ‫ع‬
‫فعععأن نعز ع‬0َ‫ن ي أوُنعرث أهعععاَ؟‬ ‫يع ن‬
‫ل اللعع أ‬ ‫معع ن‬ ‫ث الععد ّن نعياَ وع ع‬ ‫ن وععر ع‬ ‫معع ن‬
‫م ن‬ ‫ وع ن‬،َ‫ب؟‬ ‫شعر أ‬
0‫سوُنعرة ع‬ ‫ع‬
ّ ‫ت ععباَعركَ ع وع ت عععاَلىّ هعذ نهن ال‬
“Orang-orang Yahûdi telah datang kepada Nabi saw, lalu
mereka bertanya: gambarkanlah kepada kami tentang
Rabbmu, karena sesungguhnya Allah telah menjelaskan
sifatnya dalam Taurat; maka khabarkanlah kepada kami dari
apakah Dia itu (diciptakan)?, dan dari jenis apakah Dia itu?,
apakah Dia itu dari emas, ataukah dari tembaga, ataukah dari
perak?, dan dari siapakah Dia mewarisi dunia ini dan siapakah
yang mewariskannya?. Maka Allah yang Maha Berkah dan
Maha Tinggi menurunkan surat ini”.

Dalam riwâyat lain dijelaskan pula, bahwa sabab al-Nuzûl surat


al-Ikhlâs sangat berkaitan erat dengan pertanyaan yang diajukan oleh
`Âmir Ibn al-Thufail dan Arbad Ibn Rabî`ah kepada Nabi saw; terutama
berkenaan dengan sifat Allah. Ini sebagaimana terungkap dalam
riwâyat yang bersumber dari Ibn `Abbâs yang dilaporkan oleh Abû
Dhibyân dan Abû Shâlih,33 yaitu:
‫د نبنع‬‫ل عوعأنرعب ع‬ ‫فني ن‬ ‫ن الطّ ع‬ ‫ر نب ع‬
‫اَم ع‬
‫ع ن‬ ‫ن ع‬‫ عأ ن‬،‫اَس رضي الله عنه‬ ‫ب‬ ‫عنب‬
‫ن ع‬‫اب ن‬
‫ن ن‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫لمع‬ ‫ إن ع‬: ‫ر‬ ‫اَم د‬‫ععع ن‬ ‫اَل ع‬‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ عفقععع ع‬ ‫النبنعع ن‬
‫ة عأعتيعععاَ ن‬ ‫رعنبنيعع ع‬
‫ه علنعععاَ عأمنعع ن‬
‫ن‬ ‫ف أ‬‫صعع ن‬‫ ن‬: ‫ قعععاَلع‬0‫ إنلعععىّ اللععهن‬: ‫ عقاَلع‬0َ‫د؟‬ ‫م أ‬ ‫ح ن‬ ‫وُعناَ عياَ مأ ع‬
‫ع ن‬
‫د أ‬ ‫عت ن‬
،َ‫ب؟‬ ‫خشععع ب‬ ‫ن ع‬ ‫م منعع ن‬‫ عأ ن‬،َ‫د؟‬‫دني ب‬
‫ح ن‬‫ن ع‬‫م من ن‬
‫ عأ ن‬،َ‫ضةب؟‬‫ن نف ن‬ ‫م ن‬ ‫م ن‬ ‫هوُع؟َ عأ ن‬ ‫هبب أ‬ ‫عذ ع‬
.‫ة‬
‫وُرع أ‬
‫الس ن‬
ّ ‫ذ ن‬
‫ه‬ ‫ه ن‬ ‫ت ع‬ ‫زعل ن‬ ‫عفأن ن‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a), sesungguhnya `Âmir Ibn al-Thufail dan
Arbad Ibn Rabî`ah keduanya telah datang kepada Nabi saw.
Maka `Âmir berkata: kepada siapakah engkau berdoa untuk
kami wahai Muhamad?. Beliau menjawab: kepada Allah. Dia
(`Âmir) berkata: gambarkanlah tentang Dia kepada kami,
apakah Dia itu dari emas?, ataukah dari perak?, ataukah dari
besi?, ataukah dari kayu?. Maka diturunkanlah surat ini”.

Dalam riwâyat lain dikemukakan pula, bahwa sabab al-Nuzûl


surat al-Ikhlâs berkaitan erat dengan ungkapan pengakuan kaum
Yahûdi, Nasrânî, Majûsi, dan musyrikîn mengenai sembahan yang

32
al-Wâhidî, loc.cit.
33
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî) dalam Maktabah Alfiyyah; dan juga Ibn
al-Jauzî, Zâd al-Masîr dalam Maktabah Alfiyyah.
9
mereka jadikan sebagai ilâh. Ini sebagaimana terungkap dalam sebuah
atsar yang bersumber dari `Ikrimah yang dilaporkan oleh Ibn Katsîr (w.
774 H),34 yaitu:
،‫ه‬‫ن اللعع ن‬ ‫ن ن ععنب أععد أ ع أعزي نعععر ب نعع ع‬
‫حعع أ‬ ‫ل ال ني عهأععوُن أ‬
‫ ن ع ن‬:‫د‬ ‫ماَ قعععاَ ع‬ ‫ لع ن‬: ‫ة‬ ‫عك نرن ع‬
‫م أ‬ ‫ل ن‬ ‫عفاَ ع‬
‫ن ن ععنب أد أ‬ ‫ح أ‬
‫ ن ع ن‬: َ‫صاَعرى‬ ‫ت الن ن ع‬ ‫ع‬
‫وععقاَل ن‬
‫س‬‫م ع‬ ‫شعع ن‬‫ن ن ععنب أععد أ ال ن‬ ‫حعع أ‬ ‫ نع ن‬: ‫س‬ ‫جععوُن أ‬ ‫م أ‬ ‫ل ال ن ع‬ ‫ وعقعععاَ ع‬،‫ه‬ ‫ن اللعع ن‬ ‫ح بن ع‬ ‫سي ن ع‬
‫م ن‬ ‫ال ن ع‬
‫ع‬ ‫ع‬
‫ه‬
‫ل اللعع أ‬ ‫أن نعععز ع‬0‫ن‬ ‫ن ن ععنب أععد أ ا نلونث عععاَ ع‬‫حعع أ‬ ‫ نع ن‬: ‫ن‬ ‫شرنك أوُن ع‬ ‫م ن‬ ‫ل ال ن أ‬
‫ وععقاَ ع‬،‫معر‬ ‫ق ع‬ ‫عوال ن ع‬
‫ل هأوُ الل ع‬
0{‫حد د‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫} قأ ن ع‬: ّ‫سوُنل نهن صللىّ الله عليه وسللم‬ ‫ع ععلىّ عر أ‬
“`Ikrimah berkata: ketika (pada suatu saat) kaum Yahûdi
berkata: kami menyembah `Uzair putra Allah; kaum Nasrânî
berkata: kami menyembah al-Masîh putra Allah; kaum Majûsi
berkata: kami menyembah matahari dan bulan; dan kaum
musyrikîn berkata: kami menyembah berhala. Maka Allah
menurunkan kepada Rasûl saw: (qul huwallâhu ahad)”.

Dengan mengamati uraian-uraian di atas, meskipun secara


nampak sabab al-Nuzûl surat al-Ikhlâs terdapat keberagaman dalam
redaksi periwayâtannya, akan tetapi esensinya (hakikat)—baik kaum
musyrikîn, Ahl al-Kitâb (Yahûdi), maupun `Âmir Ibn al-Thufail dan Arbad
Ibn Rabî`ah mereka mengajukan pertanyaan kepada Nabi saw yang
keseluruhannya mengandung isi yang sama—yakni berkaitan erat
dengan asal-usul, sifat dan keberadaan Allah sebagai Rabb yang
diyakini oleh Muhamad saw dan umatnya.
Pertanyaan tentang bagaimana asal-usul, sifat keberadaan Allah,
dan siapakah yang telah menciptakan-Nya—sebagai sabab al-Nuzûl
dari surat al-Ikhlâs—ini tidak hanya terbatas muncul dan berkembang
pada zaman Nabi saw saja, akan tetapi juga pertanyaan tersebut pun
akan senantiasa muncul dalam setiap diri manusia dan pada setiap
saat tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Ini sebagaimana telah
disinyalir oleh Nabi saw dalam riwâyat berikut:
(1)bersumber dari Abû Hurairah (w. 57 H) yang ditakhrîj oleh Muslim
(204-261 H),35 yaitu:
‫ل اللععهن‬‫سععوُ أ‬
‫ل عر أ‬‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫قوُن أ‬ ‫ن أ عنبي هأعري نعرة ع رضععي اللععه عنععه ي ع أ‬ ‫عع ن‬
‫ن ك أعع ي‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
ّ‫حت نععى‬
‫يبء ع‬
‫شعع ن‬ ‫ل ع‬ ‫س عع ن‬ ‫مّ النناَ أ‬ ‫سألن نك أ أ‬ ‫صللىّ الله عليه وسلمّ لي ع ن‬
‫ل‬
0‫ه‬‫ق أ‬‫خل ع ع‬
‫ن ع‬ ‫يبء فع ع‬
‫م ن‬ ‫ش ن‬ ‫ل ع‬ ‫خل عقع ك أ ن‬
‫ه ع‬ ‫قوُنل أ ن‬
‫ الل أ‬: ‫وُا‬ ‫يع أ‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
sesungguhnya akan ada di antara manusia yang menanyakan
tentang setiap sesuatu; hingga akhirnya mereka mengatakan:
“Allah yang telah menciptakan sesuatu, lalu siapakah yang
telah menciptakan Allah?”.

(2)bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang dirawikan oleh Ahmad, Bukhârî
(194-256 H), Muslim, dan Abû Ya`lâ (210-307 H),36 yaitu:

34
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid IV, hal. 570.
35
Muslim (I/85) dengan transmisi Abû Hurairah, Yazîd Ibn al-Asham, Ja`far Ibn Burqân,
Katsîr Ibn Hisyâm dan Muhamad Ibn Hâtim.
10
‫ل اللهن صععللىّ اللععه‬ ‫عع ع‬
‫سوُ ن‬
‫ن عر أ‬
‫ ع ع ن‬،‫ك رضي الله عنه‬ ‫ماَل ن ب‬‫ن ع‬ ‫س بن ن‬
‫ن أن ع ن‬
‫ن‬
‫ه ع عنز‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ قاَل الل أ‬: ‫عليه وسلمّ قاَل‬ ‫ل‬
‫ إ أ‬:‫ل‬
ّ‫حت نععى‬ ‫مععاَ ك ععع ع‬
‫ذا ع‬ ‫ذا ع‬‫ماَ ك ع ع‬
‫ ع‬:‫ن‬‫قوُألوُ ع‬ ‫ك ل ع ي ععزال أوُن ع‬
‫ن يع أ‬ ‫مت ع ع‬
‫نأ ن‬‫ن ن‬ ‫ج ن‬‫وع ع‬
0‫ه‬ ‫خل عقع الل ع‬ ‫ن ع‬ ‫خل نقع فع ع‬
‫م ن‬ ‫خل عقع ال ن ع‬ ‫ه ع‬ ‫ذا الل أ‬‫ هع ع‬: ‫قوُألوُا‬
‫يع أ‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a), dari Rasûlullâh saw bersabda: Allah
`Azza wa Jalla telah berfirman: sesungguhnya umatmu
(Muhamad) tidak akan henti-hentinya mereka mengatakan:
“siapakah yang menciptakan ini dan itu”, hingga akhirnya
mereka mengatakan: “Allah yang telah menciptakan ciptaan-
Nya, lalu siapakah yang telah menciptakan Allah?”.

Dan apabila pertanyaan tersebut muncul dalam hati setiap orang


mu’min, maka hendaklah bersegera memohon perlindungan kepada
Allah (isti`âdah) dan katakanlah “âmantu billâh” (artinya: “aku berimân
kepada Allah”). Karena hal tersebut merupakan bisikan syaithân untuk
mengganggu umat manusia agar menyimpang dan ragu dalam
keimânannya kepada Allah. Hal ini sebagaimana dalam sabdanya yang
bersumber dari Abû Hurairah yang ditakhrîj oleh Bukhârî dan Muslim, 37
yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬‫سوُ أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬
‫ل عر أ‬ ‫ن أ عنبي هأعري نعرة ع رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫عع ن‬
‫خل عقع ع‬ ‫ع‬ ‫شي ن ع‬ ‫ن‬
‫كعع ع‬
‫ذا‬ ‫ن ع‬‫م ن‬‫ ع‬:‫ل‬ ‫قوُ أ‬ ‫حد عك أ ن‬
‫مّ فعي ع أ‬ ‫نأ ع‬‫طاَ أ‬ ‫الله عليه وسللمّ ي عأنتي ال ن‬
‫ذا ب عل عغععع أ‬
‫ه‬ ‫فعععإ ن ع‬0َ‫ك ؟‬ ‫خل عععقع عرب نعع ع‬
‫ن ع‬
‫معع ن‬ ‫ ع‬:‫ل‬ ‫قععوُ ع‬
‫حت نععىّ ي ع أ‬ ‫ذا ع‬ ‫خل عععقع ك ععع ع‬
‫ن ع‬ ‫م ن‬ ‫ع‬
‫ن‬ ‫ فع ع‬: ‫ظ‬
‫م ن‬ ‫ف ب‬ ‫ع‬ ‫ن‬
‫ وعنفي رنعواي عةب لبي داود ب نل ن‬0‫ست ععنذ ن نباَلله ن وعلي عن نت عهن‬ ‫ن‬
‫فعلي ع ن‬
0‫ت نباَللهن‬‫من ن أ‬
‫آ ع‬:‫ل‬ ‫شي نئئاَ فعل ني ع أ‬
‫ق ن‬ ‫ك ع‬ ‫ذال ن ع‬
‫جد ع ع‬‫وع ع‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
syaithân akan datang kepada kamu sekalian. Lalu ia
(membisikan hati) dengan pertanyaan: “siapakah yang
menciptakan segala sesuatu hal?”, “siapakah yang
menciptakan segala sesuatu hal?”, hingga akhirnya ia
bertanya: “maka siapakah yang menciptakan Rabbmu”?.
apabila ia membisikan seperti itu, maka hendaklah meminta
perlindungan kepada Allah dan tolaklah pertanyaan itu”. Dalam
riwâyat [Abû Dâwud (202-275 H)] 38 dengan redaksi: maka
siapa saja yang mendapatkan bisikan seperti itu, maka
katakanlah: aku berimân kepada Allah”.

`Ibrah (pelajaran) yang terkandung dalam sabab al-Nuzûl surat


al-Ikhlâs—ini memberikan petunjuk, bahwa manusia tidak
diperbolehkan untuk bertanya dan memikirkan tentang keberadaan

36
Bukhârî (IV/302) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, `Abdullâh Ibn `Abdur-Rahmân,
Waraqâ’, Syabâbah, al-Hasan Ibn al-Shabâh; Ahmad (III/102) dan Muslim (I/85) dengan
transmisi Anas Ibn Mâlik, Mukhtâr Ibn Fulfulin, dan Muhamad Ibn Fudhail; Abû Ya`lâ (III/283)
dengan melalui dua transmisi: (1) …, Mukhtâr Ibn Fulfulin, Zâidah, Husain Ibn `Alî, dan Abû
Bakr; dan (2) …, Mukhtâr Ibn Fulfulin, Jarîr, dan Abû Khaitsamah.
37
Bukhârî (II/254) dan Muslim (I/84) dengan transmisi Abû Hurairah, `Urwah Ibn al-Zubair,
dan al-Zuhrî.
38
Abû Dâwud (II/422) dengan transmisi Abu Hurairah, `Urwah, Hisyâm, Sufyân dan Hârûn
Ibn Ma`rûf.
11
Dzat Allah, akan tetapi manusia diperbolehkan untuk memikirkan
segala ciptaan-Nya. Karena hal tersebut merupakan keterbatasan akal
manusia untuk menjangkaunya. Ini sebagaimana dalam sabda Nabi
saw yang bersumber dari Ibn `Abbâs yang diriwâyatkan Abû Nu`aim
(w. 463 H) dalam karyannya “al-Hilyah”39 yaitu:
0‫قد نأرنوا قعد نعره أ‬ ‫كمّ ل ع ن‬
‫ن تـع ن‬ ‫ فعإ نننع أ‬،‫ه‬
‫فك نأرنوا نفي الل ن‬
‫ق اللهن وعل ع ت ع ع‬ ‫فك نأرنوا نفي ع ن‬
‫خل ن‬ ‫تـ ع‬
“Hendaklah kamu sekalian berpikir tentang ciptaan Allah, dan
janganlah kamu sekalian memikirkan tentang (Dzat) Allah;
maka sesungguhnya kamu sekalian tidak akan mampu untuk
mengetahuinya”.

Jumlah Ayat Surat al-Ikhlâs


Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa
penyusunan surat dalam al-Qur’ân dipandang bersifat tauqîfî dari Nabi
saw. Begitu pula halnya susunan dan jumlah ayat dalam surat, di
samping bersifat tauqîfî juga dikuatkan pula berdasarkan kesepakatan
dikalangan kaum muslimîn tanpa diperselisihkan tentang
keberadaannya.40 Tegasnya, tidak ada cara lain untuk dapat
mengetahui penetapan mengenai susunan dan jumlah ayat dalam
suatu surat melainkan atas dasar petunjuk dan penjelasan Rasûlullâh
saw.
Sehubungan dengan jumlah ayat surat al-Ikhlâs, sebagian para
ahli berselisih pendapat tentangnya yang berkembang berkisar sampai
dua kelompok, yaitu:
Pertama, menurut sebagian para ulama Makkah, bahwa surat al-
Ikhlâs terdiri dari lima ayat. Mereka menghitung lima ayat tersebut—
yakni empat ayat dalam surat al-Ikhlâs itu sendiri yang disambungkan
maknanya dengan surat al-Kâfirûn ayat (1): “qul yâ ayyuhâ’l kâfirûn”. 41
Dengan kata lain, lima ayat yang mereka maksudkan ditilik dari segi
keterkaitan kandungan maknanya dan bukan dari segi lafadznya.
Artinya, jumlah ayat dalam surat al-Ikhlâs dan surat al-Kâfirûn ayat (1)
dari segi lafadz pada dasarnya masing-masing berdiri sendiri.
Hanyasanya secara makna surat al-Kâfirûn ayat (1) memiliki
keterkaitan dengan surat al-Ikhlâs, dan atas dasar itu mereka
menganggapnya surat al-Kâfirûn ayat (1) sebagai ayat kelima dari
surat al-Ikhlâs.
Dasar argumentasi yang mereka kemukakan, yakni: (1) karena
keduanya, baik surat al-Ikhlâs maupun surat al-Kâfirûn secara makna
memiliki kedudukan yang sama sebagai ayat yang mengandung

39
Dikutip dalam Sayyid Sâbiq, al-`Aqâ’id al-Islâmiyyah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1992,
hal. 21. Hadîts di atas meskipun sanadnya dinilai lemah (dha`îf), tetapi maknanya shahîh.
Karena sejalan dengan Firman-Nya, antara lain sebagaimana tertuang dalam Q.S. al-
Baqarah (2): 219-220: “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada kamu
sekalian agar bertafakkur tentang dunia dan akhirat”.
40
Periksa antara lain al-Zarqânî, op.cit., Jilid I, hal. 340; al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid
I, hal. 181; al-Qath-thân, op.cit., hal. 139; dan Subhî al-Shâlih, op.cit., hal. 71.
41
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 288.
12
ketauhîdan—dalam hal menolak ilâh yang lain selain Allah dan
menetapkan Allah sebagai ilâh. Oleh sebab itu, surat al-Ikhlâs dan surat
al-Kâfirûn disebut dua serangkai yang memiliki nama “al-Muqasy-
qasyatain”, yaitu dua surat yang dapat membebaskan atau
menyelamatkan dari noda-noda kesyirikan dan kenifâqkan; dan (2)
karena keduanya, baik surat al-Ikhlâs maupun surat al-Kâfirûn selalu
beriringan digunakan sebagai bacaan surat dalam shalat, misalnya
dalam shalat qabla shubuh, shalat dhuhûr, shalat sunnah maghrib,
shalat shubuh ketika dalam perjalanan dan shalat maghrib pada malam
Jum`at.42 Atas dasar argumentasi serupa ini, mereka para ulama
Makkah menetapkan dan menghitung jumlah ayat dalam surat al-Ikhlâs
terdiri dari lima ayat.
Pendapat ini oleh al-Alûsî dinilai kurang dapat dipedomani
keberadaannya, karena menurutnya, antara surat al-Ikhlâs dan surat
al-Kâfirûn terhalang oleh dua surat—yakni surat al-Nashr dan al-Masad
yang dikenal dengan surat al-Lahab.43
Kedua, menurut sebagian para ulama Syâm, bahwa surat al-
Ikhlâs jumlahnya terdiri dari empat ayat sebagaimana halnya termuat
dalam al-Qur’ân mush-haf `Utsmânî yang berkembang hingga saat
sekarang. Mereka menetapkan empat ayat tersebut dengan
berpedoman pada dua patokan, yaitu: (1) secara lafadz di antara ayat-
ayat dalam surat al-Ikhlâs tidak terdapat adanya ciri-ciri pemisah
antara satu lafadz dengan lafadz yang lain untuk dijadikan sebagai
ayat kelima; dan (2) surat al-Ikhlâs terpenggal oleh surat yang
sebelumnya dan sesudahnya, yakni oleh surat al-Lahab dan surat al-
Falaq.44
Pendapat kedua ini dikuatkan dan didukung pula oleh sebagian
besar para ulama. Sehingga tidak heran apabila dalam kitâb-kitâb
tafsîr, seperti Ibn Jarîr al-Thabarî dalam karyanya Jâmi` al-Bayân, Ibn
Katsîr dalam karyanya Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm dan juga yang lainnya;
mereka para mufassirîn lebih cenderung menguatkan pendiriannya
bahwa surat al-Ikhlâs terdiri dari empat ayat tanpa adanya
penambahan dan pengurangan—baik secara lafadzî maupun maknawi.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa sesuai dengan
pandangan sebagian besar para ulama, surat al-Ikhlâs terdiri dari
empat ayat sebagaimana halnya tertuang dalam al-Qur’ân mush-haf
`Utsmânî yang berkembang hingga saat sekarang—karena hal tersebut
bersifat tauqîfî.

Nama-Nama Bagi Surat al-Ikhlâs

Sebagai salah satu surat di antara surat-surat yang terdapat


dalam al-Qur’ân, al-Ikhlâs memiliki beberapa nama. Dengan banyaknya

42
idem.
43
idem.
44
idem.
13
penamaan ini, menurut al-Darwîsyî menunjukkan agungnya surat
tersebut.45 Agungnya surat al-Ikhlâs yang ditandai dengan banyaknya
nama—secara hakikat menunjukkan agungnya makna yang
terkandung dalam surat tersebut. Karena di dalamnya termuat
sepertiga makna al-Qur’ân, terutama berkenaan dengan ke-Esaan-Nya
(ketauhîda).46 (lebih lanjut akan dibahas dalam keutamaan surat al-Ikhlâs).
Pedoman untuk mengetahui penamaan bagi suatu surat; hal ini
dapat mengacu dengan melalui periwayâtan yang berdasarkan tauqîfî
(ketentuan) dari Nabi saw dan atau bersumber dari produk ijtihâd para
shahâbat.47
Secara akumulatif nama-nama lain bagi surat al-Ikhlâs memiliki
sampai berkisar dua puluh dua nama—dengan perincian sebagai
berikut:
(1) Surat al-Ikhlâs.48 Dinamai demikian, karena dalam subtansinya
terkandung berita dari Khâliq terhadap makhluknya—untuk
memurnikan, membersihkan sifat Allah, dan menyelamatkan orang
yang membacanya dari sifat syirik i`tiqâdî. 49 Dan juga di dalamnya
tercakup mengenai sifat-sifat Allah yang agung untuk menetapkan
dan mensucikan akan ke-Esaan-Nya.50
(2) Surat al-Tanzîl. Dinamai demikan, karena surat al-Ikhlâs diturunkan
untuk menyampaikan pesan-pesan dan tujuan-tujuan yang paling
sempurna— terutama untuk memurnikan sifat Allah dan
membebaskan `aqîdah manusia dari penyekutuan terhadap-Nya. 51
(3) Surat al-Tajrîd (baca: At-Tajrîd). Dinamai demikan, karena dalam
surat al-Ikhlâs mengandung tujuan untuk melepaskan atau
membebaskan bagi orang yang membacanya dari belenggu
penyekutuan terhadap-Nya dan mendorong untuk menolaknya
serta menjauhinya dari segala yang terkait dengan kesyirikan
terhadap-Nya.52
(4) Surat al-Tauhîd.53 Dinamai demikan, karena dalam surat al-Ikhlâs
tercakup sifat-sifat Allah, kesempurnaan dan ke-Esaan-Nya yang
menempati keagungan yang sangat tinggi lagi mulia yang tidak
ada sekutu bagi-Nya. Dan juga di dalamnya terkandung akan ke-
Esaan-Nya dalam ke-Ulûhiyyahan dan kesucian-Nya untuk menolak
ilâh yang lain selain Allah.54
45
al-Darwîsyî, I`râb al-Qur’ân al-Karîm wa Bayânuh, Dâr al-Irsyâd li al-Syu’ûn al-
Jâmi`iyyah, Himsh-Sûriyah, 1988, Jilid X, hal. 619. Periksa pula al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit.,
Jilid I, hal. 148.
46
Ibn Hajar, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, [Tahqîq: al-Syaikh `Abdu’l `Azîz Ibn
`Abdullâh Ibn Bâz], Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 2002, Jilid X, hal. 74.
47
al-Shâbûnî, Rawâ’i` al-Bayân Tafsîr `Âyât al-Ahkâm, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Beirut-
Libanon, 2001, Jilid I, hal. 12.
48
al-Darwîsyî, op.cit., Jilid X, hal. 620. Periksa pula al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 285.
49
idem. Periksa pula Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 75.
50
al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid IV, hal. 425.
51
al-Darwîsyî, loc.cit.
52
idem.
53
idem. Periksa antara lain al-Alûsî, loc.cit.; dan Ibn `Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, t.t., Jilid IV, hal. 468.
54
al-Suyûthî, al-Itqân … loc.cit.
14
(5) Surat al-Asâs. Dinamai demikan, karena dalam surat al-Ikhlâs
tercakup ketauhîdan kepada Allah sebagai dasar pokok dalam
Dînu’l Islâm sekaligus sebagai tiang penyangganya. 55 al-Asâs ini
tidak hanya diberikan sebagai nama lain bagi surat al-Ikhlâs saja,
tetapi juga merupakan salah satu nama lain bagi surat al-Fâtihah.
Dan surat al-Fâtihah dinamai dengan al-Asâs dimaksudkan, bahwa
surat al-Fâtihah merupakan surat yang paling pokok sebagai induk
dari surat-surat yang terdapat dalam al-Qur’ân, dan juga
merupakan surat yang paling pertama dari segi penyusunannya.56
(6) Surat al-Najât. Dinamai demikan, karena orang yang membaca
surat al-Ikhlâs mengharapkan untuk diselamatkan dari siksa
neraka.57
(7) Surat al-Wilâyah atau al-Walâyah. Dinamai demikan, karena orang
yang memahami makna yang terkandung dalam surat al-Ikhlâs—
Allah akan memberikan kedekatan baginya terhadap-Nya.58
(8) Surat al-Ma`rifat. Dinamai demikan, karena bagi orang yang
memahami kandungan makna surat al-Ikhlâs secara kritis
(mendalam), Allah akan memberikan kema`rifatan baginya. 59 Hal
ini sebagaimana dipahami dalam sebuah atsar yang dilaporkan
oleh al-Alûsî,60 yaitu:
‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ إ ن ن‬
‫ن هععع ع‬
‫ذا ع عب نععد د‬ ‫قععاَ ع‬
ّ ‫ل الن نب نعع‬ ‫قعرأ ع ع‬
‫فع ع‬0 َ‫ها‬ ‫جل ئ ف ع ع‬ ‫ن عر أ‬
‫أ ن‬
‫ع‬
0‫ه‬ ‫ف عرب ن أ‬ ‫ع ععر ع‬
“Bahwa seseorang telah membacanya (surat al-Ikhlâs). Maka
Nabi saw telah bersabda: seseorang ini adalah hamba yang
tahu tentang Rabbnya”.

(9) Surat al-Tafrîd. Dinamai demikan, karena dalam surat al-Ikhlâs


terkandung makna yang berisi tentang ketunggalan Allah dengan
Dzat-Nya sendiri tanpa ada yang menyertai keberadaan-Nya.61
(10) Surat al-Jamâl. Dinamai demikan, karena dalam surat al-Ikhlâs
terkandung petunjuk mengenai sifat Jamâl Allah—yakni segala
sifat kesempurnaan dan bersih dari sifat-sifat kekurangan.62 Ini
sebagaimana telah diriwâyatkan dari Rasûlullâh saw yang
dilaporkan oleh al-Alûsî,63 yaitu:
‫ب‬ ‫مي نعع د‬ ‫ه صللىّ اللععه عليععه وسععللمّ عقاَ ع‬ ‫ع‬
ّ ‫حعع‬ ‫ل يأ ن‬ ‫ج ن‬‫ه ع‬‫ن اللعع ع‬ ‫ إن ن‬: ‫ل‬ ‫أرونيع أن ن أ‬
‫ع‬ ‫ال نجماَل فع ع‬
‫حد د‬‫} أ ع‬: ‫ل‬ ‫قاَ ع‬ ‫فع ع‬0‫ك‬ ‫ذال ن ع‬
‫ن ع‬ ‫سأل أوُنه أ صللىّ الله عليه وسللمّ ع ع ن‬ ‫ع‬ ‫ع ع ن‬
‫ع‬
0{ ‫مّ ي أوُنلد ن‬‫ع‬
‫مّ ي عل ند ن وعل ن‬ ‫ع‬
‫مد أ * ل ن‬ ‫ص ع‬ ‫* عال ن‬
55
al-Darwîsyî, loc.cit. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit., dan al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid I,
hal. 155.
56
Dikutip dalam Yusuf Faisal `Alî, Muqaddimah Tafsîr al-Fâtihah, al-Basmalah, Bandung,
2003, hal. 31.
57
idem. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
58
idem. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
59
idem.
60
al-Alûsî, loc.cit.
61
idem.
62
al-Darwîsyî, loc.cit.
63
al-Alûsî, loc.cit.
15
“Telah diriwâyatkan, bahwa Nabi saw bersabda: sesungguhnya
Allah itu Maha indah yang mencintai keindahan. Maka mereka
bertanya kepada Nabi saw tentang hal tersebut. Beliau
bersabda: (“ahadun—al-Shamad—l lam yalid wa lam yûlad”)”.

(11) Surat al-Nisbah. Dinamai demikan, karena surat al-Ikhlâs


diturunkan dengan sebab munculnya pertanyaan yang berisi
“unsub lanâ Rabbaka” (artinya: terangkanlah kepada kami tentang
asal mulanya Rabbmu).64 (periksa riwâyat-riwâyat di atas yang
berkaitan dengan Sabab al-Nuzûl surat al-Ikhlâs).
(12) Surat al-Muqasy-qasyah. Dinamai demikan karena orang yang
membacanya mengharapkan terpelihara dari noda-noda syirik dan
nifâq.65 Nama ini pun tidak hanya diberikan sebagai nama lain bagi
surat al-Ikhlâs saja, tetapi menurut Zurârah Ibn Abû Aufâ (w. 93 H)
yang diriwâyatkan oleh Ibn Abû Hâtim—telah diberikan pula bagi
nama lain surat al-Kâfirûn.66 Dan keduannya disebut juga dengan
surat yang memiliki nama “al-Muqasy-qasyatain”. Karena
keduanya secara makna memiliki kedudukan yang sama sebagai
surat yang mengandung ketauhîdan dan juga terkandung makna
untuk menolak ilâh yang lain selain Allah dan menetapkan Allah
sebagai ilâh.67
(13) Surat al-Nûr. Dinamai demikan, karena surat al-Ikhlâs dapat
memberikan cahaya (penerangan) dan petunjuk kepada
makhluknya tentang ke-Esaan Allah.68 Ini sebagaimana telah
diriwâyatkan dari Rasûlullâh saw yang dilaporkan oleh al-Alûsî, 69
yaitu:
‫ئ ن أوُنئرا وعأنععوُنعر‬
‫شي ن ب‬ ‫ن ل نك أ ي‬
‫ل ع‬ ‫ن قعوُنل نهن صللىّ الله عليه وسللمّ إ ن ن‬
‫م ن‬
‫أرونيع ن‬
0{‫د‬ ‫ع‬ ‫} قأ ن‬: ‫ن‬ ‫ال ن أ‬
‫ح أ‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫قنرآ ن‬
“Telah diriwâyatkan dari sabda Rasûlullâh saw: sesungguhnya
setiap sesuatu memiliki nûr. Dan nûrnya al-Qur’ân adalah:
(“Qul huwallâhu ahad”)”.

(14) Surat al-Îmân. Dinamai demikan, karena dalam surat al-Ikhlâs


terkandung makna ketauhîdan yang dapat menyempurnakan
keimânan.70
(15) Surat al-Insân. Dinamai demikan, karena kandungan makna yang
terdapat dalam surat al-Ikhlâs merupakan kekayaan yang paling
berharga bagi manusia dalam upaya untuk meningkatkan
keyakinan ber`aqîdah.71

64
idem. Periksa pula al-Darwîsyî, loc.cit.
65
idem. Periksa pula al-Darwîsyî, loc.cit.
66
al-Suyûthî, al-Itqân … loc.cit.
67
ibid., Jilid IV, hal. 425. Lihat pula al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 288.
68
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 286. Lihat pula al-Darwîsyî, op.cit., Jilid X, hal. 621.
69
Dikutip dalam idem.
70
idem.
71
al-Darwîsyî, loc.cit.
16
(16) Surat al-Madzkûrah. Dinamai demikan karena dalam surat al-Ikhlâs
terkandung peringatan bagi hambanya agar senantiasa
memurnikan ketauhîdan dan mengarahkan `aqîdah yang lurus.72
(17) Surat al-Mu`awwidzat.73 Dinamai demikian, karena surat al-Ikhlâs
bersama-sama dengan surat al-Falaq dan surat al-Nâs merupakan
surat-surat yang di dalamnya terkandung makna “memohon
perlindungan” (al-Ta`wîdz) kepada Allah. Meskipun dalam surat al-
Ikhlâs itu sendiri tidak secara tegas dan jelas menggunakan lafadz
al-Ta`wîdz, akan tetapi secara maknawi, baik surat al-Ikhlâs, surat
al-Falaq maupun surat al-Nâs di dalamnya terkandung makna yang
sama yang berisi tentang sifat Rabb. Atas dasar serupa itu, surat
al-Ikhlâs lazim dinamai dengan surat al-Mu`awwidzat. 74 al-Darwîsyî
memberikan suatu komentar, bahwa surat al-Ikhlâs dinamai al-
Mu`awwidzat—karena orang yang membacanya mengharapkan
perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah (kejahatan) baik di
dunia maupun di akhirat kelak.75 Sebagai dasar dalil, bahwa surat
al-Ikhlâs dinamai dengan surat al-Mu`awwidzat—ini sebagaimana
dalam sabdanya yang bersumber dari `Uqbah Ibn `Âmir al-Juhanî
(w. 58 H) yang ditakhrîj Nasâ’î (214-303 H)76 yaitu:
‫ل ل نععي‬ ‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ي رضي اللععه عنععه عقاَ ع‬ ‫جهعن ن ي‬‫مر ب ال ن أ‬
‫عاَ ن‬‫ن ع‬ ‫ة بن ن‬‫قب ع ع‬
‫ن عأ ن‬ ‫عع ن‬
‫ع‬
‫ماَ أأقوُ أ‬ ‫ن‬
:‫ل‬ ‫ وع ع‬: ‫ت‬ ‫ قأل أ‬0!(‫ل‬ ‫ل الله ن صلىّ الله عليه وسلمّ )قأ ن‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫سوُ أ‬ ‫عر أ‬
‫ق * قأعع ن‬ ‫ب ال ن ع ع‬ ‫ع‬ ‫حععد د * قأعع ن‬ ‫ع‬ ‫} قأ ن‬: ‫ل‬ ‫عقاَ ع‬
‫ل‬ ‫فلعع ن‬ ‫ل أع أععوُذ أ ب نعععر ي‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬
‫ل اللععهن صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫سوُ أ‬ ‫ع‬ ‫فع ع‬0{ ‫س‬ ‫أع أ‬
‫ن عر أ‬ ‫قعرأهأ ن‬ ‫ن‬ َ‫ب الننا‬ ‫عوُذ أ ب نعر ي‬
‫ ل عمّ يتعوُذ الناَس بمث نل نهعع ع‬: ‫ل‬
‫ن أون ل ع ي عت عععععوُنذ أ الن نععاَ أ‬
‫س‬ ‫ن ععع ن ن ن أ ن ن ن ن‬ ‫مّ عقاَ ع‬‫وسللمّ ث أ ن‬
0‫ن‬ ‫مث نل نهن ن‬‫بن ن‬
“Dari `Uqbah Ibn `Âmir al-Juhanî (r.a) berkata: Rasûlullâh saw
bersabda: katakanlah!. Aku (`Uqbah) berkata: apa yang harus
aku katakan?. Beliau bersabda: “qul huwallâhu ahad” —“qul
`aûdzu birabbi’l Falaq”—“qul `aûdzu birabbinnâs”. Maka
Rasûlullâh saw membacanya (ketiga surat tersebut), kemudian
bersabda: tidaklah manusia berlindung dengan sepertinya
(ketiga surat tersebut)”.

(18) Surat al-Mâni`ah.77 Dinamai demikian karena surat al-Ikhlâs


merupakan salah satu simpanan dari mutiara-mutiara `Arasy yang
dapat menolak fitnah (siksa) kubur dan adzab neraka. Ini
sebagaimana terungkap dalam hadîts marfû` yang bersumber dari
Ibn `Abbâs dan Abû Umâmah al-Bâhilî (w. 81 H) yang ditakhrîj oleh

72
idem. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
73
ibid., Jilid X, hal. 620. Dan periksa al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 285.
74
Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 76.
75
al-Darwîsyî, loc.cit.
76
Nasâ’î (VIII/264) dengan transmisi `Uqbah Ibn `Âmir al-Juhanî, Mu`âdz Ibn `Abdullâh
Ibn Khubaib, `Abdullâh Ibn Sulaimân al-Aslamî, Khâlid dan Makhlad, dan Ahmad Ibn
`Utsmân Ibn Hakîm.
77
al-Darwîsyî, loc.cit. Periksa pula al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 286.
17
Ibn Hibbân (w. 354 H) dan al-Dailamî yang dilaporkan oleh al-
Alûsî78 yaitu:
ّ‫اَل نلعنبنييهن صععللىّ اللععه عليععه وسععللم‬
‫ه عتععاَلعىّ عق ع‬
‫ عأنن أ‬،‫عنباَسب‬
‫ن ع‬
‫رععوىَ ابن أ‬
‫وُز‬
‫ر كأنأعع ن‬‫خاَئن ن‬
‫ن عذ ع‬
‫ي من ن‬
‫ه ع‬ ‫خلصن وع ن‬ ‫ل ع‬‫ة نا ن‬
‫وُرع ع‬
‫س ن‬‫طينأتكع أ‬‫ع ع‬ ‫ج نبهن عأ ن‬‫ر ع‬‫ع ن‬‫ن أ‬‫حين ع‬
‫ن‬
0‫ان‬‫ر ن‬ ‫اَت النيني ع‬
‫ح ن‬ ‫ر عونفع ع‬‫قنب ن‬
‫اَت الن ع‬
‫رعب ن‬‫ع كع ع‬ ‫معن أ‬
‫ماَننععةأ عت ن‬
‫ال ع‬
‫ي ن‬ ‫ه ع‬ ‫ي عو ن‬ ّ ‫ش‬‫ر ن‬‫ع ن‬ ‫ع‬
“Ibn `Abbâs telah meriwâyatkan, bahwa Allah Ta`âlâ telah
berfirman kepada Nabi saw pada saat dimi`râjkan oleh-Nya:
Aku telah memberimu surat al-Ikhlâs yang dia itu merupakan
simpanan di antara mutiara-mutiara `Arasy, dan juga
merupakan al-Mâni`ah—yakni yang menolak sempitnya kubur
dan tersebarnya bau api neraka”.

Nama al-Mâni`ah ini tidak hanya digunakan sebagai nama lain


bagi surat al-Ikhlâs saja, tetapi dipakai pula bagi nama lain surat
“Tabâraka” atau lebih dikenal dengan surat al-Mulk. Hal ini
sebagaimana terungkap dalam beberapa riwâyat yang bersumber
dari Ibn Mas`ûd yang ditakhrij oleh al-Hâkim dan al-Thabrânî (w.
360 H);79 Anas Ibn Mâlik dalam Târîkh Ibn `Asâkir; 80 dan Ibn `Abbâs
yang ditakhrîj oleh Tirmidzî. 81 Surat al-Ikhlâs dan surat al-Mulk
keduanya dinamai dengan al-Mâni`ah—karena di dalamnya
terkandung makna untuk menolak adzab kubur.
(19) Surat al-Muhdhar atau disebut pula dengan ungkapan al-
Muhtadhar. Dinamai demikian, karena apabila surat al-Ikhlâs
dibacakan mereka para malâikat hadir untuk mendengarkan.82
(20) Surat al-Munfarah. Dinamai demikian, karena apabila surat al-
Ikhlâs dibacakan syaithân-syaithân akan bergegas-gegas pergi
atau berpaling.83
(21) Surat al-Barâ’ah. Dinamai demikian, karena dalam surat al-Ikhlâs
mengandung makna untuk dapat membebaskan, menyelamatkan
dari sikap penyekutuan terhadap-Nya.84
(22) Surat al-Shamad.85 Dinamai demikian, karena dalam surat al-Ikhlâs
terkandung makna tentang sifat Dzat yang Maha Suci lagi Maha
sempurna dengan segala sifat-sifat-Nya yang tidak terdapat
kekurangan atau kelemahan sedikit pun bagi-Nya.86

Dengan mencermati uraian mengenai perincian nama-nama lain


bagi surat al-Ikhlâs di atas, secara substansial dapat dipahami dan
diperoleh suatu penegasan, bahwa banyaknya penamaan tersebut
78
idem.
79
al-Alûsî, op.cit.,
80
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid I, hal. 155. Dan lihat pula Ibn Katsîr,
op.cit., Jilid IV, hal. 395.
81
Tirmidzî (IV/407) dengan transmisi Ibn `Abbâs, Abû al-Jauzî, `Amr Ibn Mâlik al-Nukarî,
Yahyâ `Amr Ibn Mâlik al-Nukarî, dan Muhamad Ibn `Abdu’l Mâlik Ibn Abû al-Syawârib.
82
al-Darwîsyî, loc.cit. Periksa al-Alûsî, loc.cit.
83
ibid., Jilid X, hal. 621. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
84
idem. Periksa al-Alûsî, loc.cit.
85
al-Darwîsyî, op.cit., Jilid X, hal. 620. Periksa pula al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 285.
86
Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 76.
18
hakikatnya merujuk pada keistimewaan surat al-Ikhlâs itu sendiri, baik
keistimewaan yang ditilik dari segi kandungan dilâlah maknanya
maupun dari segi keutamaan dalam membacanya.
Adapun nama-nama yang merujuk pada keistimewaan ditilik dari
segi kandungan dilâlah maknanya, yaitu: al-Ikhlâs, al-Tanzîl, al-Tauhîd,
al-Asâs, al-Wilâyah atau al-Walâyah, al-Ma`rifat, al-Tafrîd, al-Jamâl, al-
Nisbah, al-Insân, al-Îmân, al-Madzkûrah, dan al-Shamad. Sedangkan
nama-nama yang merujuk pada keutamaan yang ditilik dari segi
membacanya, yaitu: al-Tajrîd, al-Najât, al-Muqasy-qasyah, al-
Mu`awwidzat, al-Mâni`ah, al-Muhdhar atau al-Muhtadhar, al-Munfarah,
dan al-Barâ’ah. Dari sekian banyak penamaan tersebut, al-Ikhlâs
merupakan nama yang populer digunakan di dalam penyebutannya. []

BAB II
Keistimewaan Surat al-Ikhlâs

Di samping memiliki banyak nama, surat al-Ikhlâs pun


mempunyai keistimewaan atau keutamaan tersendiri dibandingkan
surat-surat lain yang terdapat dalam al-Qur’ân. Mengistimewakan
suatu surat/ayat, berdasarkan pandangan yang cermat dan akurat, ini
bukan berarti membeda-bedakan atau membanding-bandingkan sifat
Kalâm ilâhi yang satu dengan lainnya, tetapi ini dimaksudkan
19
mengistimewakan dari segi pahala bagi yang membacanya, dan dilâlah
(petunjuk) makna yang terkandung di dalamnya.87
Antara lain, secara umum keistimewaan surat al-Ikhlâs bersama-
sama dengan surat al-Mu`awwidzatain (al-Falaq dan al-Nâs) tergolong
ke dalam surat-surat yang terbaik yang diturunkan oleh Allah yang
termuat dalam kitab Taurât, Injîl, Zabûr dan al-Qur’ân. Dengan
keutamaan tersebut surat al-Ikhlâs bersama-sama dengan surat al-
Mu`awwidzatain dijuluki dengan sebutan “khair tsalats suwar” atau
“tiga serangkai surat yang terbaik”. Ini secara tegas sebagaimana
dalam sabdanya yang bersumber dari `Uqbah Ibn `Âmir yang ditakhrîj
oleh Ahmad,88 yaitu:
‫ل اللععهن‬ ‫سععوُ ع‬ ‫ت عر أ‬ ‫قي نعع أ‬ ‫ لع ن‬: ‫ل‬ ‫مرب رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫عاَ ن‬
‫ن ع‬ ‫ة اب ن ن‬‫قب ع ع‬‫ن عأ ن‬ ‫عع ن‬
‫ن‬ ‫ فع أ‬: ‫ل‬ ‫ عقاَ ع‬0‫ت ب ني عد نهن‬ ‫ع‬ ‫ن‬
َ‫ عيععا‬: ‫ت‬ ‫قل أ‬ ‫خذ ن أ‬ ‫ه فعأ ع‬ ‫صللىّ الله عليه وسلمّ عفاَب نت عد عأت أ أ‬
‫ل‬
َ‫ عيععا‬: ‫ل‬ ‫عقععاَ ع‬0َ‫ن؟‬ ‫م ن‬ ‫مؤ ن ن‬‫جاَة أ ال ن أ‬ ‫ماَ ن ع ع‬ ‫ل اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ ع‬ ‫سوُ ع‬ ‫عر أ‬
‫ل‬ ‫ عقععاَ ع‬0‫طيئ عت نهن‬ ‫خ ن‬ ‫ك ع علىّ ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫سعنك ب عي نت أك عواب ن ن‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ساَن عك وعلي ع ع‬ ‫س لن ع‬ ‫حأر ن‬ ‫أ‬
‫ةا ن‬ ‫قب ع أ‬ ‫عأ ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫خععذ ع‬ ‫ل اللععهن صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ عفاَب نت عععد عأنني فعأ ع‬ ‫سوُ أ‬ ‫قي عنني عر أ‬ ‫مّ ل ن‬ ‫ثأ ن‬
‫أ‬ ‫ع‬
‫سعوُعرب‬ ‫ث أ‬ ‫خي نعععر ث عل ع ن‬ ‫ك ع‬ ‫مع ع‬ ‫مرب أل ع أع عل ي أ‬ ‫ن ع ع اَ ن‬ ‫ة نبع أ‬ ‫قب ععع أ‬‫ عياَ ع أ ن‬: ‫ل‬ ‫ فع ع‬،‫دي‬
‫قاَ ع‬ ‫ب ني ع ن‬
‫قعععاَ ع‬0‫ظيمّ ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫أ‬
‫ل‬ ‫ن العع ن‬ ‫فنر ععقاَ ن‬ ‫ل عوالنزب أوُنرن عوال أ‬ ‫جي ن ن‬ ‫ت نفي الت نوُنعراةن وع ال نن ن ن‬ ‫أن نزنل ن‬
‫ل هأععوُع‬ ‫} قأعع ن‬: ‫ فعععأقنعرأ عنني‬: ‫ل‬ ‫قعععاَ ع‬0َ‫ك‬ ‫دا ع‬ ‫ه فنعع ع‬ ‫جععل عنني الل أ‬ ‫ ب ععلىّ ع‬: ‫ت‬ ‫ قأل ن أ‬:
‫ع‬ ‫ق وعقأ ن‬ ‫ب ال ن ع ع‬ ‫ع‬ ‫حد د وعقأ ن‬ ‫الل ع‬
000{ ‫س‬ ‫ب الن نععاَ ن‬ ‫عوُذ أ ب نعععر ي‬ ‫لأ أ‬ ‫فل ن‬ ‫عوُذ أ ب نعر ي‬ ‫لأ أ‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬
0 ‫الحديث‬
“Dari `Uqbah Ibn `Âmir (r.a): aku telah bertemu dengan
Rasûlullâh saw, maka aku memulai menyapanya dan
memegang tangannya. Dia (`Uqbah) berkata: aku bertanya:
wahai Rasûlullâh saw bagaimanakah seorang mu’min dapat
selamat?. Beliau bersabda: peliharalah lisanmu, berusahalah
mencari nafkah untuk orang yang berada dirumahmu
(keluarga), dan menangislah dari kesalahan yang telah
diperbuat. Dia (`Uqbah) berkata: kemudian aku bertemu
kembali dengan Rasûlullâh saw, maka beliau memulai
menyapaku dan memegang tanganku; dan beliau bersabda:
wahai `Uqbah Ibn `Âmir maukah aku beritahukan kepadamu
tentang tiga surat yang paling baik yang telah diturunkan (oleh
Allah) yang termuat dalam Taurât, Injîl, Zabûr dan al-Furqân al-
`Azhîm. Dia (`Uqbah) berkata: aku menjawab: ya! Allah telah
menjadikan untukku tentang hal itu. Maka beliau membacakan
untukku: “qul huwallâhu ahad”—“qul a`ûdzu birabbi’l
falaq”—“qul a`ûdzu birabbinnâs … al-Hadîts”.

Selain memiliki keistimewaan sebagai bagian dari khair tsalats


suwar, surat al-Ikhlâs memiliki beberapa keistimewaan lain, baik ditilik

87
Untuk rincian lebih lanjut dapat dilihat Yusuf Faisal `Alî, op.cit., hal. 42-44.
88
Ahmad (IV/148) dengan transmisi `Uqbah Ibn `Âmir, Abû Umâmah al-Bâhilî, al-Qâsim,
`Alî Ibn Yazîd, Mu`âdz Ibn Rifâ`ah dan Abû al-Mughîrah. Ditakhrîj pula oleh Ahmad (IV/158)
dengan transmisi `Uqbah Ibn `Âmir, Farwah Ibn Mujâhid al-Lahmî, Usaid Ibn `Abdur-
Rahmân al-Khats`amî, Ibn`Ayyâs dan Husain Ibn Muhamad.
20
dari segi kandungan dilâlah maknanya maupun dari segi keutamaan
membacanya. Untuk rincian lebih lanjut sebagai berikut.

Keistimewaan Pertama
Di samping memiliki keistimewaan dari segi kandungan dilâlah
maknanya, surat al-Ikhlâs mempunyai keutamaan tersendiri bagi
mereka yang menyenanginya dan membacanya dalam shalat.
Keutamaan yang diberikan bagi mereka yang menyenangi untuk
membacanya dalam shalat—tiada lain Allah akan mencintai kepadanya
dan memasukkannya ke dalam surga selama didasari dengan tujuan
mahabbah kepada Allah untuk mengingat sifat Maha Rahmân atau sifat
Rabb yang tertuang dalam surat al-Ikhlâs tersebut.
Kecintaan untuk menyebut dan mengingat sifat Maha Rahmân
yang terkandung dalam surat al-Ikhlâs harus dibarengi pula dengan
katauhîdan yang sangat mendalam tanpa terkotori dengan sifat syirik
terhadap-Nya. Karena dalam surat tersebut terkandung makna tentang
ke-Esaan Allah, baik Dzat maupun sifat-Nya. Sebaliknya, bentuk
kecintaan Allah yang diberikan terhadap hamba-Nya yang menyenangi
untuk membaca surat al-Ikhlâs tersebut, menurut al-Mâzirî dan para
pengikutnya, yakni Allah akan memberikan ganjaran dan kenikmatan
kepadanya.
Menurut al-Qurthubî (w. 642 H), kecintaan Allah yang diberikan
kepada hambanya, yakni Allah akan lebih mendekatkan dia terhadap-
Nya, dan juga Allah akan memberikan kemuliaan bagi dirinya dengan
sifat-sifat dan prilaku yang baik atas dasar bimbingan dan petunjuk-
Nya.89
Sebagai dasar dalil mengenai keistimewaan yang diberikan Allah
kepada orang yang menyenangi surat al-Ikhlâs dan membacanya
dalam shalat, ini sebagaimana ditegaskan dalam riwâyat berikut, yaitu:
(1)bersumber dari `Âisyah (w. 58 H) yang ditakhrîj oleh Bukhârî,
Muslim, Nasâ’î, dan Baihaqî,90 yaitu:
ّ‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللم‬ ‫ع‬ ‫عاَئ ن ع‬
‫ن الن نب ن ن‬
‫ أ ن‬،َ‫رضي الله عنها‬ ‫ة‬
‫ش ع‬ ‫ن ع‬ ‫عع ن‬
‫سرني نةب‬ ‫جل ع علىّ ع‬ ‫ع‬ ‫ئ‬ ‫ث عر أ‬ ‫ب ععع ع‬
‫ع‬ ‫أ‬ ‫وع ع‬
‫ه‬
‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫مّ نبعععع}قأ ن‬ ‫خت ن أ‬ ‫مّ فعي ع ن‬ ‫صل عت نهن ن‬ ‫حاَب نهن نفي ع‬ ‫ص ع‬ ‫قعرأ نل ن‬ ‫ن يع ن‬ ‫كاَ ع‬
ّ‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللم‬ ‫ك نللن نب‬ ‫وُا ذ عك عأرنوا ذ عل ن ع‬ ‫ فعل ع‬0{‫د‬ ‫ع‬
‫ي‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫جعأ‬‫ماَ عر ع‬‫ن‬ ‫ح د‬‫أ ع‬
:‫ل‬ ‫قعاَ ع‬ ‫ فع ع‬0‫سعأ عألوُه أ‬
‫ فع ع‬0َ‫ك؟‬ ‫صععن ععأ ذ عنلع ع‬ ‫يبء ي ع ن‬‫شع ن‬ ‫سعألوُه أ نل عيي ع‬ ‫ ع‬:‫ل‬ ‫قاَ ع‬‫فع ع‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬
‫ي‬ّ ‫ل الن نب نعع‬ ‫ فع ع‬0 َ‫ن أقنعععرأ ب نهعععا‬
‫قععاَ ع‬ ‫بأ ن‬ ّ ‫حعع‬ ‫ن وعأن عععاَ أ ن‬ ‫ن‬ ‫م‬
‫ح ع‬‫ة النر ن‬ ‫ف أ‬ ‫ص ع‬‫نل عن نعهاَ ن‬
0‫ه‬ ‫ع‬ ‫صللىّ الله عليه وسللمّ أ ع ن‬
‫حب ّ أ‬
‫ه يأ ن‬ ‫ن الل ع‬ ‫خب نأروه أ أ ن‬
“Dari `Âisyah (r.a), bahwasanya Nabi saw telah mengutus
seseorang untuk menjadi komando sebuah unit pasukan dalam
peperangan. Maka ia (seseorang tersebut) membaca bagi
89
Ibn Hajar, op.cit., Jilid XV, hal. 306-307.
90
Bukhârî (IV/318), Muslim (I/200), Nasâ’î (II/182-183) dan Baihaqî (I/272) dengan
transmisi `Âisyah, `Amrah Binti `Abdur-Rahmân, Muhamad Ibn `Abdur-Rahmân, Sa`îd Ibn
Abû Hilâl, `Amr Ibn al-Hârits, dan `Abdullâh Ibn Wahb.
21
shahâbat-shahâbatnya (yang menjadi ma’mûm) dalam shalat
mereka dengan mengakhiri bacaannya “qul huwallâhu ahad”.
Ketika kembali dari peperangan, mereka melaporkan tentang
hal tersebut kepada Rasûlullâh saw—dan beliau bersabda:
tanyakanlah oleh kamu sekalian kepadanya dari apa yang ia
telah lakukan?. Maka mereka bertanya kepadanya, dan ia pun
menjawab: sesungguhnya (dalam surat tersebut) terkandung
makna tentang sifat (kualitas) yang Maha Rahmân `Azza wa
Jalla, dan (oleh sebab itu) aku merasa senang membacanya
(dalam shalatku). Rasûlullâh saw bersabda: beritahukanlah
oleh kalian kepadanya, bahwasanya Allah `Azza wa Jalla
mencintainya”.

(2)bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh Bukhârî, Tirmidzî,
dan Abû Ya`lâ,91 yaitu:
‫عع ع‬
‫ن‬‫معع ع‬ ‫ل ن‬ ‫جعع د‬ ‫ن عر أ‬ ‫ ك عععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ك رضععي اللععه عنععه قعععاَ ع‬ ‫ماَل نعع ب‬ ‫ن ع‬ ‫س ب نعع ن‬ ‫ن أن ععع ن‬ ‫ن‬
‫ن‬ ‫ع‬
‫سعوُعرة ئ‬ ‫ح أ‬ ‫ن‬
‫معاَ افت ععتع ع‬ ‫ن كل ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ فك اَ ع‬،‫جد ن قعبعاَعء‬ ‫أ‬ ‫سع ن‬ ‫م ن‬ ‫مّ نفي ع‬ ‫مهأ ن‬ ‫أ‬
ّ ‫صاَرن ي عؤ‬ ‫ا نلن ن ع‬
‫ل هأوُ الل ع‬ ‫قرأ أ ل عهمّ في الصل عة فع ع ع‬
{‫د‬ ‫حعع د‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ح نبعععع}قأ ن ع‬ ‫قعرأ ب نعهاَ افنت عت ع ع‬ ‫ن ن‬ ‫أ ن ن‬ ‫يع ن ع‬
‫صن ععأ ذ عل ن ع‬ ‫معععهاَ وع ع‬ ‫أ‬ ‫أ‬
‫ك‬ ‫ن يع ن‬ ‫كاَ ع‬ ‫خعرىَ ع‬ ‫سوُعرةب أ ن‬ ‫قعرأ ب ن أ‬ ‫مّ ي ع ن‬ ‫من نعهاَ ث أ ن‬ ‫فأرغ ع ن‬ ‫حنتىّ ي ع ن‬ ‫ع‬
‫أ‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫أ‬
‫قعععرأ ب نهعععذ نهن‬ ‫ إ نن نععك ت ع ن‬: ‫قععاَلوُا‬ ‫هف ع‬ ‫حاَب أ أ‬ ‫صعع ع‬ ‫هأ ن‬ ‫معع أ‬ ‫ فكل ع‬0‫نفي كععل عركععععةب‬
‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
،َ‫خعععرى‬ ‫سععوُنعرةب أ ن‬ ‫قعععرأ ب ن أ‬ ‫حت نععىّ ت ع ن‬ ‫جزنئ أععك ع‬ ‫مّ ل ع ت ععرىَ أن نعهاَ ت أ ن‬ ‫سوُنعرةن ث أ ن‬ ّ ‫ال‬
‫ عقاَ ع‬0 َ‫خعرى‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
:‫ل‬ ‫سوُعرةب أ ن‬ ‫قعرأ ب ن أ‬ ‫ن ت عد عع ععهاَ وعت ع ن‬ ‫ماَ أ ن‬ ‫قعرأ ب نعهاَ وعإ ن ن‬ ‫ن تع ن‬ ‫ماَ أ ن‬ ‫فعإ ن ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
ّ‫م‬ ‫ن ك عرنهنت أعع ن‬ ‫ وعإ ن ن‬،‫ت‬ ‫مّ ب نهعععاَ فعععل نعع أ‬ ‫مك أعع ن‬ ‫ن أؤ أ ن‬ ‫مّ أ ن‬ ‫حب عب نت أ ن‬ ‫نأ ن‬ ‫ماَ أعناَ ب نعتاَرنك نعهاَ إ ن ن‬ ‫ع‬
0‫مّ غ عي نععأره أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ن‬
‫مه أ ن‬ ‫ن ي عععؤ أ ن‬ ‫مّ وعكرنهأععوُا أ ن‬ ‫ضععلهأ ن‬ ‫ه أف ن ع‬ ‫ وعكاَأنوُا ي ععرونن ع أ‬0ّ‫م‬ ‫ت ععركت أك ن‬
‫خب عأروه أ ال ن ع‬ ‫ع‬ ‫ماَ أ ععتاَهأ‬
:‫ل‬ ‫قععاَ ع‬ ‫خب ععععر فع ع‬ ‫ي صللىّ الله عليه وسللمّ أ ن‬ ّ ‫ن‬ ‫مّ الن نب‬ ‫أ‬ ‫فعل ع ن‬
‫قععرأ ع‬ ‫ع‬ ‫مل أ ع‬ ‫حاَب أ ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫من ععأ ع‬
‫ن تع ن ع‬ ‫كأ ن‬ ‫ح ن‬ ‫ماَ ي ع ن‬ ‫ك وع ع‬ ‫ص ع‬ ‫مأر ب نهن أ ن‬ ‫ماَ ي عأ أ‬ ‫م ن‬ ‫ك ن‬ ‫ماَ ي ع ن‬ ‫ن ع‬ ‫عياَ فأل ع أ‬
‫ل اللععهن إ نن يععي‬ ‫سععوُ ع‬ ‫ ي عععاَ عر أ‬: ‫ل‬ ‫قععاَ ع‬ ‫ فع ع‬0‫ل عرك نععععةب‬ ‫سوُعرة ع نفي ك أ ي‬ ّ ‫هعذ نهن ال‬
َ‫حب نعهعا‬ ‫ن أ‬ ‫ إ ن ن‬:ّ‫ل اللعهن صععللىّ اللععه عليععه وسععللم‬ ‫سعوُ أ‬ ‫ل عر أ‬ ‫قاَ ع‬ ‫ فع ع‬0 َ‫حب ّعها‬ ‫أأ ن‬
0‫ة‬ ‫جن ن ع‬ ‫ك ال ن ع‬ ‫خل ع ع‬ ‫أ عد ن ع‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a), adalah seseorang dari kaum Anshâr
telah mengimâmi mereka di mesjid Qubâ’.92 Dan setiap
membuka surat yang dibacanya, dia memulainya dengan “qul
huwallâhu ahad” sehingga selesai, kemudian ia pun membaca
surat yang lain yang menyertainya (surat al-Ikhlâs). 93 Dan dia
melakukan hal itu dalam setiap rakaat (yakni dua rakaat
pertama). Maka para shahâbatnya memprotes, dan mereka
berkata: sesungguhnya kamu telah memulai bacaan dengan
surat ini (al-Ikhlâs), dan kamu pun terlihat tidak merasa cukup
dengan membaca satu surat, sehingga kamu menambah

91
Bukhârî (I/173-174),Tirmidzî (IV/412-413) dan Abû Ya`lâ (III/118) dengan transmisi Anas
Ibn Mâlik, Tsâbit al-Bunâniyyi, dan `Ubaidullâh Ibn `Umar.
92
Seseorang dari kaum Anshâr dalam matan hadîts di atas bernama Kultsûm Ibn al-Hidm,
dan menurut sebagian qaul bernama Kurz Ibn Zahdam, dan menurut sebagian qaul yang
lain bernama Kultsûm Ibn Zahdam; dan seseorang tersebut menjadi imâm shalat bagi Banî
`Amr Ibn `Auf sebagai penduduk Qubâ’. (Ibn Hajar, op.cit., Jilid II, hal. 507.)
93
Maksudnya, seseorang tersebut membaca dalam setiap rakaatnya dua surat, dan surat
pertama yang dibaca dari setiap rakaat tersebut dimulai dengan surat al-Ikhlâs.
22
dengan membaca surat yang lain (dalam setiap rakaatnya).
Maka dia berkata: jika kamu sekalian merasa senang untuk aku
mengimâmi kalian dengan cara seperti itu, maka aku akan
melakukannya; dan jika kamu sekalian tidak merasa senang,
maka tinggalkanlah aku. Dan mereka memandang,
bahwasanya dia adalah orang yang paling utama di antara
mereka, akan tetapi mereka merasa tidak senang untuk
diimâmi oleh orang lain selain dia. Maka tatkala Nabi saw
mendatangi mereka, mereka pun mengkhabarkan berita
tersebut. Maka beliau bersabda: wahai fulân! Apa yang
menjadi alasan kamu untuk menolak apa yang menjadi
keinginan shahâbat-shahâbatmu, dan mengapa kamu
menetapkan surat (al-Ikhlâs) untuk dibaca dalam setiap
rakaat?. Maka dia (seseorang tersebut) menjawab: aku merasa
senang untuk membacanya. Maka beliaupun bersabda: rasa
senangmu untuk (membaca surat tersebut), Allah akan
memasukanmu ke dalam surga”.

(3)bersumber dari Abû Hurairah yang ditakhrîj oleh Mâlik (93-179 H),
Ahmad, Tirmidzî dan Nasâ’î,94 yaitu:
‫ع عن أ عبي هأريرة ع رضي الله عنه قع اَ ع ع‬
ّ‫ي صععللى‬ ‫مععع الن ننبع ي‬ ‫ت ع‬ ‫ أقنب عنلع أ‬: ‫ل‬ ‫ع نع‬ ‫ن ن‬
‫ فع ع‬0{‫حد د‬
‫قاَ ع‬
‫ل‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ُ‫و‬‫أ‬ ‫ه‬ ‫ن‬
‫ل‬ ‫أ‬ ‫ق‬ } ‫أ‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫ق‬‫ي‬ ‫ئ‬ ‫ل‬‫ج‬ ‫ر‬ ‫ع‬‫م‬ ‫س‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ‫ل‬
‫أ ع‬ ‫ع‬ ‫ع ع‬ ‫ع ن ع ع أ‬ ّ‫لم‬ ‫وس‬ ‫عليه‬ ‫الله‬
َ‫ت؟‬‫جب ع ن‬
‫ماَ وع ع‬
‫ وع ع‬: ‫ت‬ ‫ قأل ن أ‬0‫ت‬ ‫جب ع ن‬ ‫ل اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ وع ع‬ ‫سوُ أ‬‫عر أ‬
0‫ة‬ ‫ ال ن ع‬: ‫ل‬
‫جن ن أ‬ ‫عقاَ ع‬0
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: aku telah mendatangi (suatu
tempat) bersama Nabi saw, maka beliau mendengar seseorang
yang sedang membaca: “qul huwallâhu ahad”. Maka Rasûlullâh
saw bersabda: telah ditetapkan. Aku (Abû Hurairah) bertanya:
apakah yang telah ditetapkan itu?. Beliau menjawab: surga”.

(4)bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh Ahmad, Tirmidzî,
Dârimî (181-255 H), dan Baihaqî,95 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬‫سوُ ع‬ ‫جل ئ عقاَ ع‬ ‫ع‬ ‫عع ع‬
‫ عياَ عر أ‬: ‫ل‬ ‫ن عر أ‬ ‫ أ ن‬،‫س رضي الله عنه‬ ‫ب‬ ‫ن أن ع‬
‫ن‬
0{‫حعد د‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫سوُنعرة ع‬ ‫أ‬ ‫ل‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ّ ‫ب هعذ نهن ال‬ّ ‫ح‬
‫الله عليه وسلمّ إ نيني أ ن‬
0‫ة‬ ‫ك ال ن ع‬
‫جن ن ع‬ ‫خل أ ع‬
‫هاَ ي أد ن ن‬ ‫حب ن ع‬
‫ك إ ننياَ ع‬ ‫ن أ‬
‫ إن ن‬: ‫ل‬ ‫فع ع‬
‫قاَ ع‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a), bahwasanya seseorang telah
berkata: wahai Rasûlullâh saw aku menyenangi surat ini: “qul
huwallâhu ahad”. Maka beliau bersabda: sesungguhnya rasa
senangmu terhadapnya (surat al-Ikhlâs), Allah akan
memasukanmu ke dalam surga”.

94
Mâlik (128), Ahmad (II/302), Tirmidzî (IV/411) dan Nasâ’î (II/183) dengan transmisi Abû
Hurairah, `Ubaid Ibn Hunain Maulâ `Alî Zaid Ibn al-Khath-thâb, Ubaidullâh Ibn `Abdur-
Rahmân, dan Mâlik.
95
Ahmad (IV/148), Tirmidzî (IV/413) dan Dârimî (II/460) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik,
Tsâbit al-Bunânî, al-Mubârak Ibn Fadhâlah dan Abû al-Nadhr; Baihaqî (I/272) dengan
transmisi …,Tsâbit al-Bunânî, Akhî, Ibn Abû `Urwah al-Husain Ibn `Alî Ibn Ziyâd, Abû Bakr
Ahmad Ibn Ishâq, dan Muhamad Ibn `Abdullâh.
23
Hadîts yang bersumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh Bukhârî,
Muslim dan Nasâ’î yang terdapat pada point (1) dinilai shahîh, dan
menempati posisi derajat yang paling tinggi. Selanjutnya hadîts yang
bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang terdapat pada point (2) yang
ditakhrîj oleh Bukhârî dinilai oleh al-Syaukânî (1173-1255 H) sebagai
hadîts “mu`allaq” (terputus di awal sanad).96 Namun demikian
kemu`allaqkan hadîts tersebut dinilai oleh Ibn Katsîr bersifat majzûm. 97
Artinya mu`allaq yang dapat diterima sebagai hadîts yang sah. Ini
terbukti dengan adanya sanad lain yang dimaushûlkn oleh Tirmidzî dan
al-Bazzâr (w. 292 H).98 Dan Tirmidzî menilainya sebagai hadîts yang
berkualitas hasan shahîh.
Penilaian berikutnya hadîts yang bersumber dari Abû Hurairah
yang terdapat pada point (3), dan juga yang bersumber dari Anas Ibn
Mâlik pada point (4), keduanya dinilai oleh Tirmidzî sebagai hadîts yang
berkualitas hasan shahîh.99
Bertolak dari uraian hadîts-hadîts di atas dan berbagai
penilaiannya, secara singkat dapat dikemukakan, bahwa keistimewaan
surat al-Ikhlâs dalam konteks ini dinilai dapat dipertanggungjawabkan
kesahan periwayâtannya, dan juga dapat dipedomani keberadaannya
sebagai hujjah yang maqbûl untuk dapat diamalkan.

Keistimewaan Kedua
Keistimewaan lain yang dimiliki surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya ketika akan masuk rumah, maka seluruh pengisi rumah
tersebut, dan tetangga yang berada disekitarnya akan terhindar dari
kefaqîran. Ini sebagaimana dalam sabdanya yang bersumber dari Jarîr
Ibn `Abdullâh al-Bajalî yang ditakhrîj oleh Thabrânî,100 yaitu:
‫اَل‬
‫ قععع ع‬: ‫اَل‬ ‫ي رضععي اللععه عنععه قععع ع‬ ‫د اللععهن ال نب ع ع‬
‫جل نعع ي‬ ‫عبنعع ن‬ ‫ن ع‬ ‫ر نب ن‬‫رني ن‬
‫ج ن‬‫ن ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫ه‬ ‫ل هأععوُع اللعع أ‬‫}قأعع ن‬: ‫رعأ‬ ‫ن قععع ع‬ ‫ل‬
‫ل اللهن صلىّ الله عليععه وسععلمّ مع ن‬ ‫ل‬ ‫سوُن أ‬‫رع أ‬
‫ز ن‬
‫ل‬ ‫مننعع ن‬
‫ال ع‬
‫ك ن‬ ‫ل عذ نلعع ع‬
‫ن عأهنعع ن‬‫ر عععع ن‬
‫ق أ‬
‫ف ن‬
‫فتن الن ع‬ ‫زعلهأ عن ع‬
‫منن ن‬
‫ل ع‬‫خ أ‬ ‫د أ‬
‫ن عي ن‬
‫حد د{ حنني ع‬ ‫ع‬
‫أ ع‬
0‫ان‬‫ر ن‬ ‫جين ع‬
‫ال ن‬‫وع ن‬
“Dari Jarîr Ibn `Abdullâh al-Bajalî (r.a) berkata: Rasûlullâh saw
bersabda: siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad”
ketika akan masuk rumah, niscaya pengisi rumah tersebut dan
tetangga yang berada disekitarnya terhindar dari kefaqîran”.

96
al-Syaukânî, Nail al-Authâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min Sayyid Ahâdîts al-Akhyâr, Dâr
al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid I, hal. 227.
97
Ibn Katsîr, op.cit., Jilid IV, hal. 566.
98
Ibn Hajar, loc.cit.
99
Tirmidzî (IV/411, 413).
100
Dikutip antara lain dalam Ibn Katsîr, op.cit., Jilid IV, hal. 569 dan al-Suyûthî, al-Dar …
op.cit., Jilid VIII, hal. 671 dengan transmisi Jarîr Ibn `Abdullâh al-Bajalî, `Amr Ibn Jarîr, Abû
Zur`ah, Marwân Ibn Sâlim, Muhamad al-Zabarqân, Muhamad Ibn al-Farj, dan Muhamad Ibn
`Abdullâh Ibn Bakr al-Sirâj al-`Askarî.
24
Hadîts di atas dinilai oleh Ibn Katsîr isnâdnya lemah101 karena
terdapat seorang perâwî yang bernama `Amr Ibn Jarîr yang dinilai oleh
al-Râzî sebagai seorang pendusta. Dâruquthnî (w. 385 H) menilainya
sebagai perâwî “matrûku’l hadîts”.102 Artinya bahwa dia diduga kuat
sebagai seorang pendusta.103
Berdasarkan alasan tersebut secara tegas dapat dikemukakan,
bahwa keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini dinilai tidak
dapat dipertanggung jawabkan kesahan periwayâtannya dan juga tidak
dapat dijadikan hujjah yang kuat untuk diamalkan.

Keistimewaan Ketiga
Di antara keistimewaan lain dari surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
memperbanyak membacanya dalam setiap saat; baik pada waktu
siang maupun malam; baik dalam keadaan duduk, berdiri maupun
berjalan, maka Allah akan mengutus tujuh puluh ribu malâikat untuk
menshalatkannya ketika ia wafat. Ini sebagaimana terungkap dalam
riwâyat yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh Abû
Ya`lâ,104 Ibn Sa`ad (w. 175 H), Ibn al-Dhurais dan Baihaqî,105 yaitu:
‫ل اللععهن‬ ‫ععوُن ن‬ ‫ع ر عس أ‬ ‫ كأننععاَ مععع ع‬: ‫ل‬ ‫قوُن أ‬ ‫اَلكب رضي الله عنه عي أ‬ ‫ن مع ن‬‫س نب ن‬ ‫ن عأعن ن‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫اَء عوشععنععاَعب‬ ‫س نبضععنعي ب‬ ‫م أ‬ ‫ت الشععن ن‬ ‫طعلعع ن‬ ‫كَ عف ع‬
‫وُ ع‬ ‫صللىّ الله عليه وسللمّ نبعتبأ ن‬
ّ‫ل نإلعععى‬ ‫رينعع أ‬ ‫جبن ن‬ ‫ عفعععأعتىّ ن‬،‫مثن نلععهن‬ ‫طعلععتن نفنيمعععاَ معضعععىّ نب ن‬ ‫هاَ ع‬ ‫ر ع‬ ‫مّ عن ع‬ ‫ عل ن‬،‫وُرب‬ ‫وعأن ن‬
َ‫اَلي عأرعى‬ ‫ل مععع ن‬ ‫رينعع أ‬ ‫جنب ن‬‫ يعععاَ ن‬: ‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ عفقعععاَلع‬ ‫الننبنعع ي‬
‫طعلعععع ن‬
‫ت‬ ‫مّ عأعرهعععاَ ع‬ ‫اَع وعنأععوُنبر علعع ن‬‫اَء عوشععنعع ب‬ ‫ضعي ب‬
‫م نب ن‬ ‫وُ ع‬‫اليع ن‬
‫ت ن‬ ‫مسع طععلعع ن‬ ‫الش ن‬
‫ن‬
‫اللنيثنعع ن‬
‫ي‬ ‫ة ن‬ ‫اَويععع ع‬‫ن مأعع ن‬ ‫اَوعيةع بنعع ن‬
‫ن عذنلكع مأعع ن‬ ‫ إن ن‬: ‫عقاَلع‬0َ‫ضىّ؟‬ ‫ماَ مع ع‬ ‫مثننلهن نفني ع‬ ‫نب ن‬
‫ملنععكب‬
‫ف ع‬ ‫ن عأ نلعع ع‬ ‫ث اللععهأ نإعلينععهن سعععبننعين ع‬ ‫ عفبععععع ع‬0‫م‬ ‫وُ ع‬‫دنينعععةن النيععع ن‬‫م ن‬‫اَل ع‬ ‫اَت نب ن‬
‫مععع ع‬
‫ل‬‫ة }ق أ ن‬ ‫اء ع‬
‫ر ع‬ ‫ر نق ع‬ ‫كثأ أ‬‫اَن عي ن‬
‫ كع ع‬: ‫اَل‬ ‫عق ع‬0َ‫ك؟‬ ‫مّ عذنل ع‬‫ وعنفني ع‬: ‫اَل‬ ‫ قع ع‬.‫ه‬ ‫ععلين ن‬ ‫ن ع‬ ‫وُ ع‬‫صّل ن‬ ‫أي ع‬
‫اَم ن‬
‫ه‬ ‫مشعععاَهأ وعنقيععع ن‬ ‫م ن‬ ‫اَر وع نفععي ع‬ ‫ل عوفنععي الننهععع ن‬ ‫اللينعع ن‬‫حد د{ فني ن‬ ‫ع‬
‫هأ ع‬ ‫هأوُع الل أ‬
0 ‫ الحديث‬000 ‫ه‬ ‫وُند ن‬ ‫وعأقعأ ن‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a) berkata: Kami bersama Rasûlullâh
saw di Tabûk, maka pada hari itu matahari terbit tanpa
memancarkan sinarnya; dan kami tidak melihat matahari yang
terbit pada waktu sebelumnya seperti hari itu. Maka Jibrîl
datang kepada Nabi saw dan beliau bertanya: wahai Jibrîl apa
yang terjadi!, aku melihat matahari terbit pada hari ini tidak
101
Dikutip dalam idem.
102
al-Dzahabî, Mîzân al-I`tidal fî Naqd al-Rijâl, [Tahqîq: `Alî Muhamad al-Bajâwî], Dâr al-
Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid III, hal. 250. Periksa pula Abû Hâtim al-Râzî, al-Jarh wa al-
Ta`dîl, Dâr al-Fikr, t.tp., t.t., Jilid VI, hal. 224.
103
Periksa antara lain dalam al-`Irâqî, Fath al-Mughîts Syarh Alfiyyah al-Hadîts, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1995, hal. 176; al-Shan`ânî, Taudhîh al-Afkâr li Ma`ânî Tanqîh al-Anzhâr,
Dâr al-Fikr, t.tp., t.t., Jilid II, hal. 269; dan al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mush-
thalahuh, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1989, hal. 276.
104
Abû Ya`lâ (III/368) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, al-Alâ, Ibn Muhamad al-Tsaqafî,
Yazîd Ibn Hârûn, dan Muhamad Ibn Ismâ`îl al-Musîbî.
105
Dikutip antara lain dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 670; Ibn Katsîr,
loc.cit., dan al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 249.
25
memancarkan sinarnya, dan aku tidak melihat matahari yang
terbit seperti ini pada hari sebelumnya?. Jibrîl menjawab:
sesungguhnya Mu`âwiyah Ibn Mu`âwiyah al-Laitsî telah
meninggal dunia di Madînah pada hari ini. Maka Allah
mengutus tujuh puluh ribu malâikat untuk menshalatkannya.
Beliau bertanya: mengapa hal itu bisa terjadi?. Jibrîl menjawab:
karena dia memperbanyak membaca: “qul huwallâhu ahad”
pada waktu siang dan malam; baik dalam keadaan berjalan,
berdiri maupun duduk … al-Hadîts”.

Dalam riwâyat lain disebutkan pula, bahwa keistimewaan surat


al-Ikhlâs bagi mereka yang memperbanyak membacanya dalam setiap
saat, maka malâikat sebanyak dua shaf yang masing-masing shafnya
terdiri dari tujuh puluh ribu akan turutserta menshalatkannya ketika
wafat. Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari
Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh Abû Ya`lâ,106 yaitu:
‫ي صللىّ الله‬ ‫النبن ي‬
‫ععلىّ ن‬ ‫ل ع‬
‫رني أ‬
‫جنب ن‬
‫ل ن‬‫ز ع‬‫ نع ع‬: ‫س رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ن عأعن ب‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫جععبأ عأن‬‫ عفتع ن‬،‫ي‬ ّ ‫اللينثنعع‬
‫اَوعيةع ن‬
‫ن مأعع ن‬‫ة نب أ‬
‫اَوعي أ‬
‫معع ن‬
‫اَت أ‬‫ مع ع‬: ‫اَل‬
‫ق ع‬ ‫عليه وسللمّ عف ع‬
‫اَن منع ع‬
‫ن‬ ‫ف ن‬ ‫عع ن‬
‫هصع‬ ‫خنلفعع أ‬‫ه عو ع‬ ‫ععلين ن‬ ‫ر ع‬ ‫كبن ع‬
‫ عف ع‬000 ّ‫م‬ ‫ نععع ن‬: ‫عقاَلع‬0َ‫ه ؟‬ ‫ععلين ن‬
‫ي ع‬ ‫صيل ع‬ ‫أت ع‬
‫ل‬
ّ‫ي صععلى‬ ّ ‫النبنعع‬
‫اَل ن‬ ‫ عفقععع ع‬،‫ملنععكب‬ ‫ف ع‬‫ن عأنل ن‬ ‫وُ ع‬
‫سنبعأ ن‬
‫صفي ع‬ ‫ل ع‬ ‫كةن نفي كأ ي‬ ‫لئ عن‬
‫م ع‬ ‫الن ع‬
‫ن اللععه‬ ‫زلعععةع منعع ع‬‫منن ن‬
‫ه الن ع‬‫ذ ن‬ ‫مّ نعععاَلع هععع ن‬ ‫ل بنعع ع‬
‫رينعع أ‬ ‫ يعاَ ن‬: ّ‫الله عليه وسععللم‬
‫جبن ن‬
َ‫اءتأععه أ نإنياَهعععا‬
‫ر ع‬
‫حععد د{ وعنق ع‬ ‫ع‬ ‫ه } قأعع ن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫حبيعع ن‬
‫ بن أ‬: ‫اَل‬
‫عق ع‬0َ‫اَلىّ؟‬ ‫عتعع ع‬
0‫حاَلب‬ ‫ل ع‬ ‫ععلىّ أك ي‬ ‫ئ‬
‫اَعدا عو ع‬ ‫ئ‬ ‫ئ‬
‫اَئياَ عقاَئنماَ وععق ن‬ ‫ج ن‬ ‫ئ‬
‫اهباَ وع ع‬ ‫عذ ن‬
“Dari Anâs Ibn Mâlik (r.a) berkata: Jibrîl datang kepada Nabi
saw dan berkata: Mu`âwiyah Ibn Mu`âwiyah al-Laitsî telah
meninggal dunia. Maka wajib bagimu untuk menshalatkannya?.
Beliau menjawab: ya! …; maka beliau shalat dan
dibelakangnya ada dua shaf di antara para Malâikat, dan setiap
shafnya terdiri dari tujuh puluh ribu Malâikat. Maka Nabi saw
bersabda: wahai Jibrîl dengan apa ia memperoleh kedudukan
(mulia) ini dari Allah?. Jibrîl menjawab: dengan sebab ia
menyenangi “qul huwallâhu ahad”; dan dia membacanya
dalam keadaan pergi dan datang; dalam keadaan berdiri dan
duduk; dan dalam berbagai keadaan”.

Hadîts di atas yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj
oleh Abû Ya`lâ, Ibn Sa`ad, Ibn al-Dhurais, dan Baihaqî dinilai oleh Ibn
Katsîr sebagai hadîts yang lemah—karena dalam sanadnya terdapat
seorang perâwî yang bernama al-`Alâ’ Ibn Muhamad al-Tsaqafî yang di
duga sangat kuat sebagai seorang pendusta. 107 Hadîts yang bersumber
dari Anas Ibn Mâlik ini, selanjutnya didukung dan diperkuat pula
melalui jalan periwayâtan yang lain yang bersumber dari Abû Umâmah
al-Bâhilî yang ditakhrîj oleh Thabrânî, dan juga yang bersumber dari

106
Abû Ya`lâ (III/369) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, `Athâ’ Ibn Abû Maimûnah, Mahbûb
Ibn Hilâl, `Utsmân Ibn al-Haitsam, dan Muhamad Ibn Ibrâhîm al-Syâmî Abû `Abdullâh.
107
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit. Untuk mengetahui lebih lanjut penilaian terhadap al-
`Alâ’ Ibn Muhamad al-Tsaqafî dapat diperiksa al-Dzahabî, op.cit., Jilid III, hal. 106-107.
26
Sa`îd Ibn al-Musayyab (w. 94 H) yang ditakhrîj oleh Ibn al-Dhurais. 108
Meskipun demikian, al-Râzî menilai keseluruhannya sebagai hadîts-
hadîts yang lemah.109
Demikian pula halnya, hadîts bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang
ditakhrîj oleh Abû Ya`lâ, menurut penganalisaan penulis dinilai lemah—
karena dalam sanadnya terdapat seorang perâwî yang bernama
`Utsmân Ibn al-Haitsam yang dinilai oleh Dâruquthnî “shadûqun
katsîru’l khathâ’”.110 Artinya bahwa perâwî yang bersangkutan di satu
sisi memiliki sifat `adâlah (kesempurnaan moral), sementara di sisi lain
kedhâbitannya (daya hapal) banyak kekeliruan. Dan hal ini tidak
memenuhi syarat seorang perâwî tsiqqah (kuat dan terpercaya) yang
dapat diterima kesahan periwayâtannya. Oleh sebab itu hadîts yang
dinukilnya tidak dapat dijadikan hujjah yang kuat.111
Berdasarkan uraian singkat di atas secara tegas dapat
dikemukakan, bahwa keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini
dinilai kurang dapat dipertanggung jawabkan kesahan periwayâtannya,
dan juga tidak dapat dijadikan hujjah yang maqbûl untuk diamalkan.

Keistimewaan Keempat
Dalam beberapa riwâyat lain dikemukakan pula, bahwa surat al-
Ikhlâs memiliki keistimewaan tersendiri bagi mereka yang
membacanya dalam shalat secara berulang-ulang pada setiap
rakaatnya. Mengenai hal ini terdapat beberapa keistimewaan, antara
lain yaitu:
Pertama, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya sebanyak dua ratus kali dalam shalat yang jumlahnya
empat rakaat, dan pada setiap rakaatnya membaca lima puluh kali—
baik fardhu maupun tathawwu`; maka Allah akan mengampuni baginya
dosa selama seratus tahun, yakni lima puluh tahun dosa yang akan
datang dan lima puluh tahun dosa yang telah lalu. Ini sebagaimana
terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Ibn `Abbâs yang
ditakhrîj oleh Ibn al-Dhurais dan Sa`îd Ibn Manshûr (w. 227 H),112 yaitu:
‫ه‬‫هععوُع اللعع أ‬ ‫ل أ‬ ‫} قأ ن‬: ‫رعأ‬ ‫ن عق ع‬
‫ مع ن‬: ‫اَس رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ب‬ ‫عنب‬
‫ن ع‬‫ن ابن ن‬ ‫ع ن‬‫ع‬
‫ععين ع‬
‫ن‬ ‫مس ن‬ ‫خ ن‬
‫ة ع‬ ‫ل عركنعععع ب‬‫اَت فنععي كأعع ي‬
‫ع رععكعع ب‬‫ة نفي عأرنعب ب‬ ‫ر ب‬‫ي مع ن‬‫ماَئتع ن‬
‫حد د{ ن‬ ‫ع‬
‫أ ع‬
‫قبنعلةئ‬‫مسععنعت ن‬ ‫ن أ‬ ‫مسععنني ع‬‫خ ن‬‫ة سععععنةب ع‬‫اَئعع ع‬
‫وُبع من ع‬
‫ر اللععهأ لعععهأ أذنأعع ن‬ ‫ة غعفععع ع‬‫ر ئ‬‫مععع ن‬
.‫ة‬
‫ر ئ‬
‫خ ع‬ ‫ستععأ ن‬
‫م ن‬‫ن أ‬ ‫سني ع‬
‫م ن‬ ‫خ ن‬‫وع ع‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a) berkata: siapa saja yang membaca: “qul
huwallâhu ahad” sebanyak dua ratus kali dalam shalat yang
jumlahnya empat rakaat; dan setiap rakaatnya lima puluh kali,
108
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 672.
109
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit.
110
al-Dzahabî, op.cit., Jilid III, hal. 59.
111
Periksa antara lain al-Khathîb, loc.cit., dan Mahmûd al-Thahhân, Taisîr Mush-thalah al-
Hadîts, t.np., t.tp., t.t., hal. 126.
112
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 678.
27
Allah akan mengampuni baginya dosa selama seratus tahun;
lima puluh tahun yang akan datang dan lima puluh tahun yang
telah lalu”.

Kedua, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang


membacanya sebanyak lima belas kali pada setiap rakaat dalam shalat
(rawâtib) ba`da `isyâ’, Allah akan membangun baginya dua istana atau
gedung di surga. Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang
bersumber dari Ibn `Abbâs yang ditakhrîj oleh Ibn al-Dhurais dan Sa`îd
Ibn Manshûr,113 yaitu:
‫ن عبعنععدع‬
‫ن صعععنلىّ عركنععتعينعع ن‬‫ مععع ن‬: ‫اَس رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ب‬ ‫عنب‬ ‫ن ع‬ ‫ن ابن ن‬
‫ع ن‬‫ع‬
‫رةع‬‫عشععن ع‬ ‫س ع‬ ‫خمنعع ن‬ ‫اَب وع ع‬
‫كتععع ن‬‫ال ن‬
‫ة ن‬
‫ح ن‬
‫فاَتن ع‬
‫ل عركنععةب نب ع‬ ‫رعأ نفي كأ ي‬ ‫ق ع‬ ‫اَء عف ع‬
‫ش ن‬‫الننع ع‬
.‫ة‬
‫جنن ن‬
‫ال ع‬
‫ن نفي ن‬ ‫رني ن‬
‫ص ع‬
‫ه عق ن‬‫حد د { عبنعىّ اللهأ عل أ‬ ‫ع‬ ‫ة } قأ ن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ر ئ‬
‫مع ن‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a) berkata: siapa saja yang shalat dua
rakaat ba`da `isyâ’, dan setiap rakaatnya membaca
fâtihatu’l kitâb dan lima belas kali “qul huwallâhu ahad”,
Allah akan membangun baginya dua istana di surga”.

Dalam riwâyat lain dengan sumber yang sama dari Ibn `Abbâs
disebutkan pula, bahwa Allah akan membangun dua istana atau
gedung di surga bagi mereka yang membaca surat al-Ikhlâs sebanyak
dua puluh kali pada setiap rakaatnya dalam shalat ba`da `isyâ’. Ini
sebagaimana diriwâyatkan oleh Ibn al-Dhurais,114 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫وُ أ‬
‫ قعععاَلع رعسععأ ن‬: ‫اَل‬
‫عنباَسب رضي الله عنععه عق ع‬ ‫ن ع‬
‫ن ابن ن‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫رأأ‬
‫ة عيقنعع ع‬
‫ر ن‬
‫لخعع ع‬
‫اَء نا ن‬
‫عشععع ن‬‫د ن‬‫ن عبعنعع ع‬
‫صنلىّ رعنكعععتينعع ن‬ ‫ مع ن‬: ّ‫الله عليه وسللم‬
‫ن ع‬
‫ه‬ ‫ة }قأعع ن‬
‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫ر ئ‬
‫رنينع مععع ن‬
‫ش ن‬
‫ع ن‬ ‫اَب وع ن‬
‫كتع ن‬
‫ال ن‬
‫ة ن‬‫ح ن‬‫فاَتن ع‬
‫ل عركنععةب نب ع‬‫نفي كأ ي‬
0‫جننةن‬‫ن نفي الن ع‬
‫رني ن‬
‫ص ع‬‫الله علهأ عق ن‬‫أ‬ ّ‫حد د{ بععنى‬ ‫ع‬
‫أ ع‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a) berkata: siapa saja yang shalat dua
rakaat ba`da `isyâ’, (dan) membaca setiap rakaatnya fâtihatu’l
Kitâb dan dua puluh kali “qul huwallâhu ahad”, Allah akan
membangun baginya dua istana di surga”.

Ketiga, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang


membacanya sebanyak tiga puluh kali pada setiap rakaat dalam shalat
yang jumlahnya dua rakaat—baik fardhu maupun tathawwu`; Allah
akan membangun baginya seribu istana atau gedung yang terbuat dari
emas di surga. Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang
bersumber dari Ibn `Abbâs yang ditakhrîj oleh Baihaqî,115 yaitu:
‫رأ‬
‫ن عفقععع ع‬‫ن صعنلىّ عركنععتعينعع ن‬ ‫ مع ن‬: ‫اَس رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ب‬ ‫عنب‬
‫ن ع‬ ‫ن ابن ن‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫ص ب‬
‫ر‬ ‫الله علهأ عأنلفع عق ن‬ ‫أ‬ ّ‫ة عبعنى‬ ‫ر ئ‬
‫ن مع ن‬
‫لنثين ع‬‫حد د{ ثع ع‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: َ‫ما‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫نفنينه ع‬
‫اللععه لعععه‬
‫أ‬ ّ‫ة عبعنى‬ ‫ل ب‬
‫ص ع‬
‫ر ع‬ ‫هاَ نفي غعني ن‬ ‫رعأ ع‬‫ن عق ع‬‫ عومع ن‬،‫جننةن‬‫هبب نفي الن ع‬ ‫ن عذ ع‬ ‫من ن‬
‫ل منععن‬ ‫اَن عأنفضععع ع‬
‫ة كع ع‬ ‫ل ب‬‫هاَ نفي صع ع‬ ‫رعأ ع‬
‫ن عق ع‬ ‫ عومع ن‬،‫جننةن‬‫ر نفي الن ع‬ ‫ص ب‬
‫اَئةع عق ن‬ ‫من ع‬

113
idem.
114
idem.
115
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 676.
28
‫انعع أ‬
‫ه‬ ‫ر أ‬‫جين ع‬
‫ه عو ن‬
‫ه ألعع أ‬
‫اَب عأ ن‬
‫هلنععهن عأصععع ع‬
‫ل نإلعععىّ عأ ن‬
‫هاَ نإعذا عدخععع ع‬
‫رعأ ع‬
‫منن عق ع‬‫ وع ع‬،‫ك‬
‫عذنل ع‬
.‫ر‬
‫خين د‬
‫منننعهاَ ع‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a) berkata: siapa saja yang shalat dua
rakaat dan membacanya pada keduannya: “qul huwallâhu
ahad” tiga puluh kali, Allah akan membangun baginya seribu
istana dari emas di surga. Dan siapa saja yang membacanya di
luar shalat, Allah akan membangun baginya seratus istana dari
emas di surga. Dan orang yang membacanya dalam shalat hal
itu lebih utama daripada membacanya di luar shalat. Dan siapa
saja yang membacanya pada saat akan masuk kerumahnya,
niscaya pengisi rumah dan tetangganya akan memperoleh
kebaikan”.

Keempat, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang


membacanya sebanyak seratus kali dalam shalat, Allah akan
menetapkan baginya terbebas dari neraka. Ini sebagaimana terungkap
dalam riwâyat yang bersumber dari Ibn al-Dailamî yang ditakhrîj oleh
Thabrânî,116 yaitu:
‫ه‬‫ل هأوُع اللعع أ‬‫}قأ ن‬: ‫ن قععرأ ع‬
‫م ن‬ ‫ ع‬:‫ل‬ ‫ي رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ن الد ني نل ع ن‬
‫م ي‬ ‫ن اب ن ن‬
‫عع ع ن‬
‫ع‬ ‫ع‬
‫ه ب ععععراعءة ئ‬‫ه لعع أ‬ ‫هاَ ك عت ععع ع‬
‫ب اللعع أ‬ ‫صل عةن أونغ عي نرن ع‬
‫منرةب نفي ال ن‬ ‫ة ع‬ ‫ماَئ ع ع‬
‫حد د{ ن‬ ‫أ ع‬
0‫ن النناَرن‬ ‫م ع‬ ‫ن‬
“Dari Ibn al-Dailamî (r.a) berkata: siapa saja yang membaca:
“qul huwallâhu ahad” seratus kali dalam shalat atau (seratus
kali) di luar shalat; Allah akan menetapkan baginya terbebas
dari neraka”.

Periwayâtan di atas yang bersumber dari Ibn `Abbâs—baik yang


ditakhrîj oleh Ibn al-Dhurais, Sa`îd Ibn Manshûr, maupun Baihaqî yang
terdapat pada bagian pertama dan tiga; dan juga yang bersumber dari
Ibn al-Dailamî yang ditakhrîj oleh Thabrânî yang terdapat pada bagian
keempat, menurut penganalisaan penulis seluruhnya dinilai lemah—
dengan sebab “mauqûf”. Karena ketiga periwayâtan tersebut yang
menjadi pokok pelakunya bersandar kepada seorang perâwî yang
bergenerasi shahâbat—yakni Ibn `Abbâs dan Ibn al-Dailamî, dan bukan
bersandar kepada Nabi saw.
Demikian pula halnya periwayâtan yang bersumber dari Ibn
`Abbâs yang ditakhrîj oleh Ibn al-Dhurais dan Sa`îd Ibn Manshûr yang
terdapat pada bagian kedua, menurut penganalisaan penulis dinilai
lemah pula dengan sebab “mudh-tharib” (ketidak ada pastian) dalam
sanad maupun matannya. Mudh-tharib ditilik dari segi sanad yang
menyangkut kedua periwayâtan di atas, secara nampak terlihat karena
adanya pertentangan, yakni pada satu sisi periwayâtan di atas bersifat
“mauqûf”, sementara di sisi lain bersifat “marfû`”. Tegasnya, pada satu
pihak periwayâtan di atas yang menjadi pokok pelakunya bersandar
kepada seorang shahâbat, yang dalam hal ini Ibn `Abbâs, dan di lain
pihak yang menjadi pokok pelakunya bersandar kepada Rasûlullâh saw.
116
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid IV, hal. 414.
29
Periwayâtan model seperti ini—dalam teori ilmu hadîts, menurut al-
Sha`ânî (w. 1182 H) termasuk ke dalam kategori mudh-tharib dari sisi
sanad.117
Mudh-tharib dari segi matan yang menyangkut kedua
periwayâtan di atas, secara nampak akan terlihat dengan
membandingkan, bahwa dalam satu redaksi disebutkan “membaca
surat al-Ikhlâs sebanyak lima belas kali”, sementara dalam redaksi lain
disebutkan “membaca surat al-Ikhlâs sebanyak dua puluh kali”. Dan
hal ini menunjukkan adanya kesimpangsiuran atau kekacauan dalam
redaksi kedua periwayâtan di atas.
Oleh sebab itu, dengan merujuk pada uraian periwayâtan di atas
dan berbagai penilaiannya, secara tegas dapat dikemukakan, bahwa
keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini dinilai kurang dapat
dipertanggungjawabkan kesahan periwayâtannya, dan juga tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah yang kuat untuk dapat diamalkan.

Keistimewaan Kelima
Di samping memiliki keistimewaan sebagai bagian dari “khair
tsalats suwar”, surat al-Ikhlâs mempunyai keistimewaan tersendiri
sebagai doa yang di dalamnya mengandung “ismullâh al-A`zham”
(nama Allah yang agung). Dengan membacanya sebagai doa; Allah
akan memberi segala yang diminta, dan akan mengijâbah dari segala
permohonan. Ini sebagaimana terungkap dalam sabda Rasûlullâh saw
yang bersumber dari Buraidah al-Aslamî (w. 63 H) yang ditakhrîj oleh
Ahmad, Tirmidzî, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah (207-273 H),118 yaitu:
‫سل ع ن‬ ‫ع‬
‫ي صللىّ اللععه‬ ّ ‫معع الن نب ن‬
‫س ن‬
‫ ع‬:‫ل‬ ‫ي رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ن ب أعري ند عة ع ا نل ن‬
‫عع ن‬
‫ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬
‫سععأل ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫جل ئ ي عد نع أوُن وعهأوُع ي ع أ‬
‫ك ب نععأيني‬ ‫مّ إ نن يععي أ ن‬‫} اللهأعع ن‬: ‫ل‬ ‫قوُ أ‬ ‫عليه وسللمّ عر أ‬
‫ع‬ ‫شهد أ عن ع ع‬ ‫ع‬
‫ذي علعع ن‬
‫مّ ي عنلععد ن‬ ‫مد أ ال ن ن‬ ‫ص ع‬
‫حد أ ال ن‬ ‫ت ا نل ع ع‬‫ه إ نل ن أن ن ع‬‫ه ل ع إ نل ع ع‬ ‫ت الل أ‬ ‫ك أن ن ع‬ ‫أ ن ع أ ن‬
‫ف ع‬
‫سي‬ ‫ف ن‬ ‫ذي ن ع ن‬‫ عوال ن ن‬: ‫ل‬ ‫قاَ ع‬ ‫ فع ع‬: ‫ل‬‫عقاَ ع‬0{‫د‬ ‫ح د‬ ‫وُا أ ع‬‫ه كأ أ ئ‬ ‫ن لع أ‬‫مّ ي عك أ ن‬ ‫مّ ي أوُنل عد ن وعل ع ع ن‬
‫وعل ع ن‬
‫ع‬
‫ب‬‫جععاَ ع‬ ‫ي ب نععهن أ ع‬‫ععع ع‬ ‫ذا د أ ن‬ ‫ذي إ ن ع‬‫مهن ا نل عع نظ عمّ ن ال نعع ن‬ ‫س ن‬ ‫ه نباَ ن‬ ‫ل الل ع‬ ‫سأ ع‬ ‫قد ن ع‬ ‫ب ني عد نهن ل ع ع‬
0 ّ‫طى‬ ‫ع‬
‫ل ب نهن أع ن ع‬ ‫سئ ن ع‬ ‫وعإ ن ع‬
‫ذا أ‬
“Dari Buraidah al-Aslamî (r.a) berkata: Nabi saw mendengar
seseorang berdoa dengan membaca: “Allâhumma innî as’aluka
bi annî asyhadu annaka antallâh lâ ilâha illâ anta’l ahad al-
Shamad al-Ladzî lam yalid wa lam yûlad wa lam yakun lahu
kufuwân ahad”.119 Dia (Buraidah al-Aslamî) berkata: beliau
117
Periksa al-Shan`ânî, op.cit., Jilid II, hal. 38.
118
Ahmad (V/350) dan Abû Dâwud (I/347) dengan transmisi Buraidah al-Aslamî, `Abdullâh
Ibn Buraidah, Mâlik Ibn Mighwal, dan Yahyâ Ibn Sa`îd; Ahmad (V/349) dan Ibn Mâjah (II/446)
dengan transmisi …, Mâlik Ibn Mighwal, dan Wakî`; dan Tirmidzî (V/290) dengan transmisi
…, Mâlik Ibn Mighwal, dan Zaid Ibn al-Hubâb. Hadîts di atas diriwâyatkan pula oleh `Abdur-
Razâq, Abû Bakr Ibn Abû Syaibah, dan Ibn al-Dhurais. (Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar …
op.cit., Jilid VIII, hal. 675)
119
Artinya: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan aku bersaksi
bahwasanya Engkau adalah Allah, tidak Ilâh kecuali Engkau yang Maha Esa lagi tempat
bergantung segala persoalan; yang Dia tidak melahirkan dan dilahirkan; dan bagi-Nya tidak
ada seorangpun yang dapat menyetarainya”.
30
bersabda: demi diriku dalam genggaman-Nya (demi Allah),
sungguh ia telah memohon kepada Allah dengan Nama-Nya
yang Agung; apabila meminta permohonan dengannya, Allah
pasti mengijâbah; dan apabila meminta dengannya, Allah pasti
akan memberinya”.

Menurut al-Mundzir yang menukil dari gurunya, yakni Abû al-


Husain al-Maqdisî memberikan komentar, bahwa hadîts di atas dalam
sanadnya tidak terdapat kecacatan. Ini senada dengan pandangan Ibn
Hajar (773-852 H), bahwa hadîts di atas merupakan hadîts yang
sanadnya paling kuat dibandingkan sanad-sanad yang lain yang
berkenaan dengan “ismullâh al-A`zham”. Atas dasar itu, Ibn Hibbân
menilainya sebagai hadîts shahîh. Pandangan Ibn Hibbân tersebut
didukung pula oleh Hâkim dengan menilainya sebagai hadîts shahîh
yang memenuhi syarat Bukhârî dan Muslim. 120 Dan Tirmidzî menilainya
sebagai hadîts hasan.121
Dengan demikian, secara tegas dapat dikemukakan, bahwa
keistimewaan surat al-Ikhlâs sebagai doa yang mengandung “ismullâh
al-A`zham” dinilai dapat maqbûl, dan dapat dipedomani
keberadaannya sebagai hujjah untuk diamalkan.

Keistimewaan Keenam
Selain dapat mengandung doa yang berisikan “ismullâh al-
A`zham”, surat al-Ikhlâs bersama-sama dengan surat al-
Mu`awwidzatain memiliki keistimewaan sebagai bacaan untuk
meminta perlindungan pada saat akan tidur malam. Ini sebagaimana
dalam riwâyat yang bersumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh
Bukhârî, Tirmidzî, Abû Dâwud, dan Ibn Mâjah,122 yaitu:
ّ‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللم‬ ‫ع‬ ‫عاَئ ن ع‬
‫ن الن ننبع ن‬
‫ أ ن‬،َ‫ة رضي الله عنها‬
‫ش ع‬ ‫ن ع‬
‫عع ن‬
ّ‫ذا أ ععوىَ إ نعلى‬ ‫ن إن ع‬ ‫ع‬
‫كاَ ع‬
‫ع‬
:َ‫مععا‬
‫قعععرأ نفيهن ع‬ ‫ فع ع‬،َ‫مععا‬
‫ث نفيهن ع‬ ‫فعع ع‬ ‫ ث أ ن‬،‫ه‬
‫مّ ن ع ع‬ ‫في ن ن‬‫مع ع ك ع ن‬
‫ج ع‬ ‫ل ل عي نل عةب ع‬ ‫شهن ك أ ن‬ ‫فنعرا ن‬
‫ع‬
‫ل أع أععوُذ أ‬ ‫فل عق{ وع }قأ ن‬ ‫ب ال ن ع‬ ‫ع‬ ‫حد د{ وع }قأ ن‬ ‫ع‬ ‫} قأ ن‬
‫ل أع أوُنذ أ ب نعر ي‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬
‫ يبععدأ أ‬0‫طاَع ع م نن جسده‬ ‫ست ع ع‬
‫ن ن ع ع ن ن عن ع‬ ‫ماَ ا ن‬ ‫ماَ ع‬ ‫ح ب نهن ع‬ ‫س أ‬‫م ع‬ ‫ ث أ ن‬،{‫س‬
‫مّ ي ع ن‬ ‫ب النناَ ن‬ ‫ب نعر ي‬
‫ك‬‫ل ذ عل نعع ع‬‫فعععع أ‬
‫سععد نهن ي ع ن‬ ‫ع‬
‫مععاَ أقنب ععع ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ج ع‬ ‫ن ع‬ ‫معع ن‬‫ل ن‬ ‫جهنهن وع ع‬ ‫سهن وعوع ن‬ ‫ماَ ع علىّ عرأ ن‬ ‫ب نهن ع‬
0‫ت‬ ‫منرا ب‬ ‫ث ع‬‫ث عل ع ع‬
“Dari `Âisyah (r.a), bahwasanya Nabi saw apabila beliau
hendak tidur pada setiap malam hari, beliau menyatukan
kedua telapak tangannya; kemudian meniup pada keduanya;

120
al-Syaukânî, Tuhfah al-Dzâkirîn Syarh `alâ Kitâb al-Hishn al-Hishain, Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, 1988, hal. 71.
121
Tirmidzî (V/290).
122
Bukhârî (III/243), Tirmidzî (V/257) dan Abû Dâwud (I/493) dengan transmisi `Âisyah,
`Urwah, Ibn Syihâb, `Uqail dan al-Mufadh-dhal Ibn Fadhâlah; Bukhârî (IV/117) dan Ibn
Mâjah (I/453) dengan transmisi …, `Uqail, dan al-Laits Ibn Sa`ad; dan juga Bukhârî (IV/21)
dengan transmisi …, Ibn Syihâb, Yûnus Ibn Sulaimân, dan `Abdu’l `Azîz Ibn `Abdullâh al-
Uwaisî.
31
kemudian membaca pada keduanya: “qul huwallâhu ahad” dan
“qul a`ûdzu birabbi’l falaq” dan “qul a`ûdzu birabbinnâs”;
kemudian beliau mengusapkan pada tubuhnya yang dapat
dijangkau oleh keduannya. Beliau memulai dengan kedua
telapak tangannya itu pada kepala, wajah dan bagian depan
tubuhnya; beliau melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali”.

Dalam riwâyat lain dikemukakan, bahwa surat al-Ikhlâs bersama-


sama dengan surat al-Falaq dan al-Nâs, di samping memiliki
keistimewaan sebagai bacaan untuk meminta perlindungan ketika akan
tidur pada setiap malam hari; juga memiliki keistimewaan untuk dapat
dijadikan sebagai ruqyah atau doa untuk meminta kesembuhan kepada
Allah dari rasa sakit yang diderita. Ini sebagaimana terungkap dalam
riwâyat yang bersumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh Bukhârî,
Muslim, Abû Dâwud, dan Ibn Mâjah,123 yaitu:
‫ل اللععهن صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫سوُ ع‬ ‫ع‬ ‫عاَئ ن ع‬
‫ن عر أ‬ ‫ أ ن‬،‫ة رضععي اللععه عنععه‬ ‫ش ع‬ ‫ن ع‬
‫عع ن‬
‫أ‬
‫ث‬
‫فعع أ‬‫ت وعي عن ن أ‬
‫ذا ن‬ ‫سععهن ب نععاَل ن أ‬
‫مععوُي ع‬ ‫ف ن‬‫قعرأ ع ععلىّ ن ع ن‬ ‫شت ع ع‬
‫كىّ ي ع ن‬ ‫ذا ا ن‬
‫ن‬ ‫نإ ع‬ ‫وسللمّ ع‬
‫كاَ ع‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬
‫ع‬
0 َ‫جاَعء ب ععركت نعها‬
‫ح ب ني عد نهن عر ع‬
‫س أ‬
‫م ع‬ ‫ن‬
‫ت أقعرأ ع علي نهن وعأ ن‬ ‫أ‬
‫ه كن ن أ‬
‫جعأ أ‬
‫شت عد ن وع ع‬ ‫فعل ع ن‬
‫ماَ ا ن‬
“Dari `Âisyah (r.a), bahwasanya Rasûlullâh saw apabila terasa
sakit beliau membaca al-Mu`âwidzât dan meniupkannya. Maka
ketika rasa sakit beliau terasa sangat parah; aku (`Âisyah)
membaca untuknya; dan aku mengusapkan dengan tangannya
mengharap berkahnya”.

Dalam komentarnya Ibn Hajar mengemukakan, bahwa yang


dimaksud dengan al-Mu`awwidzât pada redaksi hadîts di atas—yaitu
surat al-Ikhlâs, al-Falaq dan al-Nâs. Rangkaian ketiga surat tersebut
lazim dijuluki dengan al-Mu`awwidzât, karena di dalamnya terkandung
makna tentang sifat-sifat Rabb.124
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa surat al-
Ikhlâs, al-Falaq dan al-Nâs yang lazim disebut al-Mu`awwidzât; di
samping memiliki keistimewaan sebagai doa untuk meminta
perlindungan ketika akan tidur pada malam hari; juga memiliki
keistimewaan sebagai ruqyah. Dengan demikian, keistimewaan surat
al-Ikhlâs dalam konteks ini dapat dipedomani keberadaannya, dan juga
dapat dipertanggungjawabkan keshahîhannya sebagai hujjah yang
maqbûl untuk dapat diamalkan.
Untuk melengkapi, dalam riwâyat lain disebutkan pula, bahwa
keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang membacanya seratus
kali sebelum tidur, maka pada hari kiamat Allah akan menyerunya
untuk masuk surga. Hal ini sebagaimana terungkap dalam suatu

123
Bukhârî (III/242), Muslim (IV/16), Abû Dâwud (II/233) dan Ibn Mâjah (II/356) dengan
transmisi `Âisyah, `Urwah, Ibn Syihâb, dan Mâlik; dan juga Bukhârî (IV/19-20) melalui dua
jalan periwâyatan, yaitu: (1) …, Ibn Syihâb, Yûnus, `Abdullâh Ibn Hibbân (III/91); dan (2) …,
Ibn Syihâb, Ma`mar dan Hisyâm.
124
Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 76, dan Jilid XI, hal. 351.
32
riwâyat yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh
Tirmidzî,125 yaitu:
‫ي صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫عع ع‬
‫ن الن نب نعع ي‬
‫ ع ع ن‬،‫رضي الله عنه‬ ‫ك‬
‫ماَل ن ب‬
‫ن ع‬‫ن‬ ‫س بن‬‫ن‬ ‫ن أن ع‬ ‫ن‬
،‫ه‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫مين ن ن‬
‫م ع علىّ ي ع ن‬
‫ فعناَ ع‬،‫ه‬‫ش ن‬ ‫م ع علىّ فنعرا ن‬‫ن ي ععناَ ع‬
‫ن أعراد ع أ ن‬ ‫م ن‬‫ ع‬: ‫وسلمّ قاَل‬
‫ل هأععوُ اللعع ع‬ ‫ }قأعع ن‬: ‫مّ قععرأ ع‬
‫م‬ ‫ذا ك عععاَ ع‬
‫ن ي عععوُن أ‬ ‫ فعععإ ن ع‬،‫مععنرةب‬ ‫ماَئ ععع ع‬
‫ة ع‬ ‫حععد د{ ن‬
‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ثأ ن‬
ّ‫ل ع عل عععى‬ ‫خعع ن‬ ‫ عياَ ع عب ند نيع اد ن أ‬: ّ‫كَ وعت عععاَعلى‬
‫ب ت ععباَعر ع‬ ‫ل لع أ‬
ّ ‫ه النر‬ ‫قوُ أ‬ ‫مةن ي ع أ‬ ‫ال ن ن‬
‫قعياَ ع‬
0‫ة‬ ‫جن ن ع‬‫ك ال ن ع‬‫مين ن ع‬ ‫يع ن‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a), dari Nabi saw bersabda: siapa saja
yang hendak tidur pada tempat tidurnya; maka ia tidur
berbaring kesebelah kanannya; kemudian ia membaca: “qul
huwallâhu ahad” seratus kali; nanti pada hari kiamat Rabb
yang Maha Berkah dan Maha tinggi berfirman kepadanya:
wahai hambaku masuklah pada tempatmu di surga”.

Dalam riwâyat lain dikemukakan pula, bahwa keistimewaan surat


al-Ikhlâs sebagai ruqyah bagi mereka yang membacanya dalam
keadaan sakit, dan kemudian meninggal dunia; maka baginya akan
terlepas dan terpelihara dari fitnah (siksa) kubur, dan juga pada hari
kiamat para malâikat akan membawa dia dengan telapak tangannya
sehingga melewati jalan menuju surga. Hal ini sebagaimana
terartikulasi dalam suatu riwâyat yang bersumber `Abdullâh Ibn al-
Syikh-khîr yang ditakhrîj oleh Thabrânî dan Abû Nu`aim,126 yaitu:
‫وُلأ‬ ‫اَل عرسععأ ن‬
‫ قععع ع‬: ‫ل‬ ‫ر رضععي اللععه عنععه قعاَ ع‬ ‫خين ن‬
‫الش ي‬
‫ي‬ ‫الله نب ن‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫عنب ن‬
‫د‬ ‫ن ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫حععد د{ فنععي‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫رعأ‬ ‫ مع ن‬: ّ‫اللهن صللىّ الله عليه وسللم‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ن عق ع‬
‫ن نفتننعععه‬‫ن منعع ن‬ ‫م ع‬ ‫ عوعأ ن‬،‫ه‬ ‫ر ن‬
‫ن نفي عقنب ن‬ ‫فت ع ن‬‫مّ ي ع ن‬
‫وُتأ نفنيهن عل ن‬ ‫م ن‬‫ذي عي أ‬ ‫ضهن الن ن‬ ‫ر ن‬ ‫مع ع‬
‫ز أ‬
‫ه‬ ‫جينعع ع‬
‫حتنععىّ أت ن‬ ‫فهعععاَ ع‬ ‫ة نبعأكأ ي‬‫قيعاَمععع ن‬
‫ال ن‬
‫م ن‬ ‫وُ ع‬ ‫ة يععع ن‬‫لنئكععع أ‬
‫م ع‬‫ال ع‬
‫ه ن‬ ‫معلتنعع أ‬‫ح ع‬
‫ وع ع‬،‫ر‬ ‫قبنعع ن‬‫الن ع‬
.‫جننةن‬
‫اط نإعلىّ الن ع‬ ‫ر ع‬ ‫الصي ع‬
“Dari `Abdullâh Ibn al-Syikh-khîr (r.a) berkata: Rasûlullâh saw
bersabda: siapa saja yang membaca:“qul huwallâhu ahad”
dalam keadaan sakit yang ia meninggal padanya; ia akan
terbebas dan terpelihara dari fitnah kubur, dan juga pada hari
kiamat para malâikat akan membawa dia dengan telapak
tangannya sehingga melewati jalan menuju surga”.

Hadîts di atas yang bersumber Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh
Tirmidzî dinilai dha`îf—karena dalam sanadnya terdapat seorang
perâwî yang bernama Hâtim Ibn Maimûn al-Kilâbî. Bukhârî dan yang
lainnya menilai dia sebagai perâwî yang lemah dengan sebab
banyaknya meriwâyatkan hadîts-hadîts yang “munkar” (tertolak).127 Ibn
Hibbân menilainya, bahwa periwayâtan yang dinukil olehnya tidak
dapat dijadikan hujjah.128 Selanjutnya, hadîts yang bersumber dari
125
Tirmidzî (V/257) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, Tsâbit al-Bunâniyyi, Hâtim Ibn
Maimûn Abû Sahl, dan Muhamad Ibn Marzûq al-Bashrî.
126
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 671.
127
Dikutip dalam Ibn Katsîr, op.cit., Jilid IV, hal. 568. Dan Lihat pula Tirmidzî (V/257) dalam
Hâmisynya.
128
al-Dzahabî, op.cit., Jilid I, hal. 428-429.
33
`Abdullâh Ibn al-Syikh-khîr yang ditakhrîj oleh al-Thabrânî dan Abû
Nu`aim dinilai lemah oleh al-Suyûthî dengan sebab dalam sanadnya
terdapat kecacatan.129
Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa keistimewaan surat
al-Ikhlâs, baik yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik maupun `Abdullâh
Ibn al-Syikh-khîr, keduanya dinilai kurang dapat
dipertanggungjawabkan kesahan periwayâtannya, dan juga tidak dapat
dipedomani keberadaannya untuk diamalkan.

Keistimewaan Ketujuh
Dalam beberapa riwâyat lain dijelaskan pula, bahwa surat al-
Ikhlâs memiliki keistimewaan tersendiri bagi mereka yang
membacanya secara mudâwamah (rutin, kontinyu) dalam setiap
harinya. Mengenai keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini
terdapat beberapa periwayâtan, yaitu:
Pertama, keistimewaan surat al-Ikhlâs bersama-sama dengan
surat al-Mu`awwidzatain bagi mereka yang membacanya secara
kontinyu dalam setiap harinya sebanyak tiga kali sebagai doa ketika
pada waktu pagi dan sore, maka baginya akan tertolak dari setiap
kejelekan. Ini sebagaimana terungkap dalam sabda Rasûlullâh saw
bersumber dari `Abdullâh Ibn Khubaib yang ditakhrîj oleh Ahmad,
Tirmidzî, Nasâ’î dan Abû Dâwud,130 yaitu:
‫خبيب رضععي اللععه عنععه قعععاَ ع ع‬
‫صععاَب ععناَ ط ععع ش‬
‫ش‬ ‫أ ع‬:‫ل‬ ‫ن أ عن ب‬ ‫ن ع عب ند ن اللهن ب ن ن‬ ‫عع ن‬
َ‫ي ل ععنا‬‫صل ي ع‬
‫ل اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ ل ني أ ع‬ ‫سوُ ع‬ ‫ة عفاَن نت عظ عنرعناَ عر أ‬ ‫م د‬ ‫وعظ أل ن ع‬
‫ع‬
0!‫ل‬ ‫ قأعع ن‬: ‫ل‬ ‫ قعععاَ ع‬0‫ت‬ ّ ‫سععك ع‬ ‫ فع ع‬0!‫ل‬ ‫ قأعع ن‬: ‫ل‬ ‫ فع ع‬،‫دي‬
‫قععاَ ع‬ ‫خذ ع ب ني ععع ن‬‫ج فعأ ع‬ ‫خعر ع‬ ‫فع ع‬
‫ع‬ ‫ع‬
‫حعععد د{ وع‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأعععوُع اللععع أ‬ ‫ }قأععع ن‬: ‫ل‬ ‫قععععاَ ع‬0َ‫ل ؟‬ ‫معععاَ أقأعععوُ أ‬ ‫ ع‬:‫ت‬ ‫قأل نععع أ‬
‫ل عيععوُنم ب‬ ‫ك كأ ن‬ ‫في ع‬ ‫ح ث عل عئثاَ ي عك ن ن‬‫صب ن أ‬
‫ن تأ ن‬ ‫حي ع‬ ‫سي وع ن‬ ‫م ن‬ ‫ن تأ ن‬ ‫حي ع‬ ‫ن{ ن‬ ‫مععوُيذ عت عي ن ن‬ ‫}ال ن أ‬
0‫ئ‬ ‫شي ن ب‬ ‫ل ع‬ ‫ن كأ ي‬ ‫م ن‬ ‫ك ن‬ ‫ ت عك ن ن‬: ‫ظ‬
‫في ن ع‬ ‫ف ب‬ ‫وعنفي رنوععايةب ب نل ع ن‬0‫ن‬ ‫منرت عي ن ن‬ ‫ع‬
“Dari `Abdullâh Ibn Khubaib (r.a) berkata: hujan rintik-
rintik dan kondisi yang sangat gelap telah menimpa
kepada kami. Maka kami menunggu Rasûlullâh saw untuk
shalat bersama kami (berjamaah). Maka beliau keluar dan
memegang tanganku, maka beliau bersabda: katakanlah!.
Maka akupun diam sejenak. Beliau bersabda kembali:
katakanlah!. Aku (`Abdullâh Ibn Khubaib) berkata: apa
yang mesti aku katakan?. beliau membaca: “qul
huwallâhu ahad” dan surat al-Mu`awwidzatain; ketika
pada waktu petang dan waktu pagi sebanyak tiga kali.
Cukup bagimu dalam setiap harinya dua kali (pagi dan
petang)”. Dalam riwâyat lain dengan redaksi: “cukup
bagimu untuk menolak dari setiap sesuatu (kejahatan)”.
129
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … loc.cit.
130
Ahmad (V/312), Tirmidzî (V/335), Nasâ’î (VIII/263) dan Abû Dâwud (II/501) dengan
transmisi `Abdullâh Ibn Khubaib, Asîd Ibn Abû Usaid al-Barrâd, dan Abû Dzi`bin.
34
Dengan redaksi yang semakna, hadîts di atas telah ditakhrîj oleh
al-Thabrânî dengan sanad yang shahîh. Selanjutnya, Ibn Hajar
memberikan komentar, bahwa hadîts di atas berkisar melalui jalan
periwayâtan Asîd Ibn Abû Usaid al-Barrâd dan Mu`âd ibn `Abdullâh;
dan keduanya tergolong sebagai perâwî yang tidak shahîh. Dan
Dâruquthnî menilai keduanya sebagai perâwî yang perlu diteliti kembali
tentang kesahan periwayâtannya. Namun demikian, Ibn Hajar
menilainya sebagai hadîts yang berkualitas hasan.131 Sebagai
penegasan Tirmidzî menilainya sebagai hadîts yang berkualitas hasan
shahîh.132 Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa keistimewaan
surat al-Ikhlâs bersama-sama dengan surat al-Falaq dan al-Nâs sebagai
salah satu doa pada waktu pagi dan sore dinilai dapat dipertanggung
-jawabkan kesyahannya, dan juga dapat dipedomani keberadaannya
sebagai hujjah yang dapat diamalkan.
Kedua, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya secara rutin sebanyak sepuluh kali dalam setiap harinya,
maka Allah akan menuliskan baginya empat puluh ribu kebaikan. Ini
sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Tamîm al-
Dârî (w. 40 H) yang ditakhrîj oleh Ahmad dan Tirmidzî, 133 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬‫سوُ أ‬
‫ل عر أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬‫دارنيي رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ميمّ ب ال ن‬
‫ن تع ن‬
‫عع ن‬
‫دا‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن عقاَ ع‬ ‫ل‬
‫م ئ‬
‫صعع ع‬
‫دا ع‬‫حعع ئ‬
‫دا أ ع‬
‫ح ئ‬
‫ه عوا ن‬ ‫ه إ نل الل أ‬ ‫} ل إ نل ع‬: ‫ل‬ ‫م ن‬
‫الله عليه وسلمّ ع‬
‫ع‬
‫شععر‬ ‫د{ ع ع ن‬ ‫حع د‬‫وُا أ ع‬ ‫فعع ئ‬‫ه كأ أ‬ ‫ن علع أ‬ ‫كع ن‬ ‫دا وعل ععع ن‬
‫مّ ي ع أ‬ ‫ة وعل ع وععلع ئ‬ ‫حب ع ئ‬ ‫صععاَ ن‬‫خذ ن ع‬ ‫لع ن‬
‫مّ ي عت ن ن‬
‫ع‬ ‫ع‬
‫ وعفنععي رنوععايعةب للترمعذيل‬0‫سععن عةب‬ ‫ح ع‬ ‫ف ع‬ ‫ن أل ن ع‬ ‫ه أنرب عأعوُ ع‬ ‫ت لع أ‬ ‫ت ك أت نب ع ن‬ ‫منرا ب‬ ‫ع‬
‫ري ع‬ ‫حد عه أ ل ع ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ك‬ ‫شعع ن‬ ‫ه وع ن‬ ‫ه إ نل ن الل أ‬ ‫ن ل ع إ نل ع‬ ‫شهعد أ أ ن‬ ‫}أ ن‬: ‫ل‬ ‫ن عقاَ ع‬ ‫م ن‬ ‫ ع‬:‫ظ‬ ‫ف ب‬ ‫ب نل ن‬
‫ع‬
‫ن‬‫كعع ن‬‫مّ ي ع أ‬‫دا وعل ع ن‬‫ة وعل ع وعل ع ئ‬ ‫حب ع ئ‬
‫صاَ ن‬ ‫خذ ن ع‬ ‫دا ل ع ن‬
‫مّ ي عت ن ن‬ ‫م ئ‬‫ص ع‬‫دا ع‬ ‫ح ئ‬ ‫دا أ ع‬ ‫ح ئ‬ ‫ه إ نل عئهاَ عوا ن‬ ‫لع أ‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ف‬ ‫ف أل نعع ن‬
‫ن أل نعع ع‬ ‫ه أنرب ععني نعع ع‬ ‫ه ل ععع أ‬ ‫ب الل أ‬ ‫ت ك عت ع ع‬ ‫منرا ب‬ ‫شعر ع‬ ‫د{ ع ع ن‬ ‫ح د‬ ‫وُا أ ع‬‫ف ئ‬‫ه كأ أ‬ ‫لع أ‬
0‫سن عةب‬ ‫ح ع‬ ‫ع‬
“Dari Tamîm al-Dârî (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
siapa yang membaca: “lâ ilâha illallâh wâhidân ahadân
shamadân wa lam yattakhid shâhibatan walâ wâlidân wa lam
yakun lahu kufuwân ahad”134 sebanyak sepuluh kali, dituliskan
baginya empat puluh ribu”. Dalam riwâyat [Tirmidzî] dengan
redaksi: “siapa yang membaca: “asyhadu an lâ ilâha illallâh
wahdahu lâ syarîka lahu ilâhân wâhidân ahadân shamadân wa
lam yattakhid shâhibatan walâ wâlidân wa lam yakun lahu

131
al-Shiddîqî, al-Futûhât al-Rabâniyyah `alâ al-Adzkâr al-Nawâwiyyah, Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, 1978, Jilid III, hal. 83-84.
132
Tirmidzî (V/335).
133
Ahmad (IV/103) dan Tirmidzî (V/289) dengan transmisi Tamîm al-Dârî, al-Azhar Ibn
`Abdullâh, al-Khalîl Ibn Murrah, dan al-Laits Ibn Sa`ad.
134
Artinya: “Tidak ada ilâh melainkan Allah yang wâhid lagi Ahad tempat bergantung
segala persoalan; Dia tidak memiliki teman (istri), dan juga tidak memiliki anak; dan bagi-
Nya tidak ada seorang pun yang dapat menyamai-Nya”
35
kufuwân ahad”135 sebanyak sepuluh kali, dituliskan baginya
empat puluh ribu”.

Dalam beberapa riwâyat lain dikemukakan pula, bahwa


keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang membacanya secara
rutin dalam setiap harinya sebanyak sepuluh kali, Allah akan
membuatkan baginya satu istana atau gedung di surga. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam beberapa riwâyat, yaitu:
(1)bersumber dari Mu`âdz Ibn Anas al-Juhanî yang ditakhrîj oleh
Ahmad,136 yaitu:
‫ع عن معاَذ ب ع‬
‫ي صللىّ الله‬ ‫ن الن نب ن ي‬
‫ ع ع ن‬،‫ي رضي الله عنه ع‬ ‫جهعن ن ي‬ ‫س ال ن أ‬‫ب‬ ‫ن أن ع‬ ‫ن أ ع ن ن ن‬
َ‫مهعععا‬ ‫أ‬ ‫ع‬
‫ن قعرأ }ق ن‬‫ع‬ ‫عليه وسللمّ عقاَ ع‬
‫خت ن ع‬
‫حت نععىّ ي ع ن‬‫حععد د{ ع‬‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫م ن‬‫ ع‬:‫ل‬
‫ن‬
‫مععأر اب نعع أ‬
‫ل عأ ع‬ ‫ فع ع‬0‫جن نةن‬
‫قععاَ ع‬ ‫صئرا نفي ال ن ع‬ ‫ه قع ن‬ ‫ه لع أ‬
‫ت ب ععنىّ الل أ‬‫منرا ب‬ ‫عع ن‬
‫شعر ع‬
‫ع‬ ‫خ ن‬‫ال ن ع‬
ّ‫ل اللهن صللى‬ ‫سوُ أ‬
‫ل عر أ‬ ‫ فع ع‬0‫ل اللهن‬
‫قاَ ع‬ ‫سوُ ع‬‫ست عك نث نعر عياَ عر أ‬
‫نأ ن‬‫ب إ نذ ع ن‬
‫طاَ ن‬
‫ع‬ ‫ع‬
0‫ب‬‫ الله أ أك نث عأر وعأط ني ع أ‬: ّ‫الله عليه وسللم‬
“Dari Mu`âdz Ibn Anas al-Juhanî (r.a), dari Nabi saw bersabda:
siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad” hingga
selesai sebanyak sepuluh kali; Allah akan membangun baginya
satu istana di surga. Maka `Umar Ibn al-Khath-thâb berkata:
(bagaimanakah) apabila aku memperbanyaknya wahai
Rasûlullâh. Maka Rasûlullâh saw bersabda: Allah akan lebih
memperbanyak dan memperindah (istana tersebut)”.

(2)bersumber dari Sa`îd al-Musayyab yang ditakhrîj oleh Dârimî,137


yaitu:
‫ي اللععهن صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫ن ن عب ن ن‬‫ إن ن‬: ‫ل‬‫قوُ أ‬
‫ب يع أ‬
‫سي ن ن‬ ‫ن ال ن أ‬
‫م ع‬ ‫سنعيد ن ب ن ن‬
‫ن ع‬ ‫عع ن‬
‫ي‬ ‫حد د{ ع ع ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ن قععرأ }قأ ن‬ ‫وسلمّ عقاَ ع‬
‫ل‬
‫ت ب أن نعع ع‬
‫مععنرا ب‬
‫شعععر ع‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫م ن‬ ‫ ع‬:‫ل‬
َ‫ه ب نهعععا‬ ‫ي ل ععع أ‬
‫مععنرة ئ ب أن نعع ع‬ ‫ن ع‬ ‫ري ع‬ ‫ش ن‬ ‫ع ن‬ ‫ن قععرأ ع ن‬ ‫م ن‬
‫ وع ع‬،‫ة‬ ‫صدر نفي ال ن ع‬
‫جن ن ن‬ ‫ه ب نعهاَ قع ن‬ ‫لع أ‬
‫ع‬
‫ة‬ ‫ي ل ععع أ‬
‫ه ب نهعععاَ ث عل عث ععع أ‬ ‫منرة ئ ب أن ن ع‬ ‫ن ع‬ ‫هاَ ث عل عنثي ع‬
‫ن قععرأ ع‬ ‫م ن‬
‫ وع ع‬،‫ة‬ ‫جن ن ن‬‫ن نفي ال ن ع‬ ‫صعرا ن‬ ‫قع ن‬
‫ل‬‫سععوُ ع‬ ‫ب عواللهن عيععاَ عر أ‬ ‫ن‬
‫خطاَ ن‬ ‫ن‬
‫ن ال ع‬ ‫مأر ب ن أ‬ ‫ل عأ ع‬ ‫قاَ ع‬‫ فع ع‬0‫جن نةن‬ ‫ن‬
‫صوُرب نفي ال ع‬ ‫قأ أ‬
‫ل اللهن صللىّ اللععه عليععه‬ ‫سوُ أ‬ ‫ل عر أ‬ ‫ فع ع‬0 َ‫صوُأرعنا‬
‫قاَ ع‬ ‫ن قأ أ‬ ‫ن ل عت عك نث أعر ن‬
‫اللهن إ نذ ع ن‬
‫ع‬ ‫ع‬
0‫ن ذ عل نك‬ ‫م ن‬ ‫سع أ ن‬ ‫وسللمّ أون ع‬
“Dari Sa`îd Ibn al-Musayyab berkata: sesungguhnya Nabi Allah
telah bersabda: siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu
ahad” sebanyak sepuluh kali, akan dibuatkan baginya satu
istana di surga; dan siapa saja yang membacanya sebanyak
dua puluh kali, akan dibuatkan baginya dua istana di surga;
dan siapa saja yang membacanya sebanyak tiga puluh kali,
akan dibuatkan baginya tiga istana di surga. Maka `Umar Ibn

135
Artinya: “aku bersaksi bahwa tidak ada ilâh melainkan Allah yang Maha Esa yang tidak
ada sekutu bagi-Nya ilâh yang wâhid lagi Ahad tempat bergantung segala persoalan; yang
Dia tidak memiliki teman (istri) dan juga tidak memiliki anak; dan bagi-Nya tidak ada
seorang pun yang dapat menyamai-Nya”
136
Ahmad (III/437) dengan transmisi Mu`âdz Ibn Anas al-Juhanî, Sahl Ibn Mu`âdz, Zabbân
Ibn Fâ’id, Ibn Lahî`ah, dan Hasan Abû Sa`îd.
137
Dârimî (II/459-460) dengan transmisi Sa`îd Ibn al-Musayyab, Abû `Uqail, Haiwah, dan
`Abdullah Ibn Yazîd.
36
al-Khath-thâb berkata: Demi Allah! Kalau begitu kami ingin
memperbanyak istana-istana di surga. Maka Rasûlullâh saw
bersabda: Allah akan lebih memperluas dari itu”.

(3)bersumber dari Ishâq Ibn `Abdullâh Ibn Abû Farwah (w. 144 H) yang
dilaporkan oleh al-Hâfidz Abû Muhamad al-Hasan Ibn Ahmad al-
Samarqandî,138 yaitu:
‫سوُنلع‬
‫ن رع أ‬ ‫ بععلغععناَ عأ ن‬: ‫اَل‬
‫ة عق ع‬ ‫رعو ع‬ ‫ن عأنبي عف ن‬ ‫الله نب ن‬
‫ن‬ ‫عنب ن‬
‫د‬ ‫ن ع‬‫ق نب ن‬
‫سحعاَ ن‬ ‫ن نإ ن‬‫ع ن‬ ‫ع‬
{‫حد د‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫رعأ‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ن عق ع‬ ‫ مع ن‬: ‫اللهن صلىّ الله عليه وسلمّ عقاَلع‬
‫ات عبنعععىّ اللععهأ‬
‫ر ب‬ ‫ر مععع ن‬‫ش ع‬‫ع ن‬ ‫هاَ ع‬ ‫رعأ ع‬
‫ن عق ع‬
‫ عومع ن‬،‫آن‬ ‫ر ن‬ ‫ق ن‬‫رعأ أثألثع الن أ‬
‫ماَ عق ع‬ ‫كعأنن ع‬
‫عف ع‬
‫ر يعععاَ عرسععأوُنلع‬‫كثن ع‬‫ن عنسععنعت ن‬ ‫ر نإعذ ن‬ ‫اَل عأأبوُن عبكنعع ب‬
‫ق ع‬ ‫ فع ع‬0‫جننةن‬ ‫را نفي الن ع‬ ‫ص ئ‬ ‫ه عق ن‬ ‫عل أ‬
.‫ن‬
‫رعتين ن‬‫م ن‬‫هاَ ع‬ ‫رعندعد ع‬0 ‫ب‬ ‫طيع أ‬ ‫ر عوعأ ن‬ ‫ اعللهأ عأكنعث أ‬: ‫قاَلع‬ ‫ عف ع‬،‫اللهن‬
“Dari Ishâq Ibn `Abdullâh Ibn Abû Farwah berkata: telah sampai
kepada kami (suatu khabar), bahwasanya Rasûlullâh saw
bersabda: siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad”
maka seolah-olah ia membaca sepertiga al-Qur’ân; dan siapa
saja yang membacanya sebanyak sepuluh kali; Allah akan
membangun baginya satu istana di surga. Maka Abû Bakr
berkata: kalau begitu kami akan memperbanyaknya wahai
Rasûlullâh!. Maka Rasûlullâh saw bersabda: Allah akan lebih
memperbanyak dan memperindah (istana tersebut)”. Beliau
mengulangi (perkataan tersebut) sebanyak dua kali”.

Selanjutnya, dalam riwâyat lain disebutkan pula, bahwa


keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang membacanya bersama-
sama dengan ayat Kursi yang masing-masing sebanyak sepuluh kali;
baik pada waktu malam maupun pada waktu siang, maka baginya
berhak untuk memperoleh keridhaan dari Allah yang Maha Besar, dan
ia akan ditempatkan bersama para Nabi serta terpelihara dari godaan
syaithân. Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber
dari Ka`ab al-Ahbâr yang dilaporkan oleh al-Hâfidz Abû Muhamad al-
Hasan Ibn Ahmad al-Samarqandî,139 yaitu:
‫ه‬
‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ة }ق أ ن‬‫اء ن‬
‫ر ع‬‫ععلىّ نق ع‬ ‫اظبع ع‬ ‫ن عو ع‬ ‫ مع ن‬: ‫اَر عقاَلع‬
‫حبع ن‬ ‫ل ن‬‫ب نا ع‬‫ن عكعن ن‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫جب‬ ‫وُ ع‬
‫سععتع ن‬
‫ نا ن‬،‫ل عأنو عنعهاَرب‬ ‫ن علني ب‬‫ات من ن‬ ‫ر ب‬ ‫ر مع ن‬ ‫ش ع‬‫ع ن‬
‫ي ع‬‫س ي‬ ‫ر ن‬ ‫ك ن‬‫ال أ‬
‫ة ن‬ ‫حد د{ وعآيع ن‬ ‫ع‬
‫أ ع‬
.‫اَن‬
‫ط ن‬ ‫الشني ع‬
‫ن‬ ‫م ع‬
‫ن‬ ‫مّ ن‬
‫ص ع‬‫ع ع‬ ‫ وع ع‬،‫ه‬ ‫ع عأننبنعياَئن ن‬‫م ع‬
‫اَن ع‬‫ وععك ع‬،‫ر‬‫لكنعب ن‬‫ان اللهن نا ع‬ ‫ضوُع ع‬‫رن ن‬
“Dari Ka`ab al-Ahbâr berkata: siapa saja yang merutinkan
untuk membaca: “qul huwallâhu ahad” dan ayat Kursi
sebanyak sepuluh kali, baik pada waktu malam ataupun
pada waktu siang; ia berhak untuk memperoleh keridhaan
Allah yang besar, dan ia akan ditempatkan bersama para
Nabi serta terpelihara dari godaan syaithân”.

Hadîts yang bersumber dari Tamîm al-Dârî dinilai lemah (dha`îf)


dengan sebab terdapat seorang perâwî yang bernama al-Khalîl Ibn
Murrah (w. 160 H). Yahyâ Ibn Mu`în (w. 279 H) menilainya sebagai
138
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 673.
139
ibid., Jilid VIII, hal. 674.
37
perâwî yang lemah. Dan Abû Hâtim menilainya sebagai perâwî yang
tidak kuat (laisa bi’l qawî). Sedangkan Bukhârî menilainya sebagai
perâwî yang “munkaru’l hadîts”.140 Penilaian Bukhârî tersebut, menurut
yang dilaporkan oleh Yahyâ Ibn al-Qath-thân (w. 198 H) mengandung
arti bahwa periwayâtan yang dinukil olehnya tidak halal (tidak sah). 141
Demikian pula halnya hadîts yang bersumber dari Mu`âdz Ibn al-
Juhanî dinilai lemah—karena dalam sanadnya terdapat seorang perâwî
yang bernama Zabbân Ibn Fâ’id (w. 155 H) yang nilai cacat oleh Yahyâ
Ibn Mu`în. Dan Ahmad Ibn Hanbal menilainya, bahwa hadîts-hadîts
yang diriwâyatkan olehnya banyak yang “munkar”.142
Selanjutnya, periwayâtan yang bersumber dari Ishâq Ibn
`Abdullâh Ibn Abû Farwah, menurut pengamatan penulis dinilai lemah
dengan sebab “mursal”. Karena perâwî tersebut tidak segenerasi atau
tidak sezaman dengan Rasûlullâh saw, dan juga dia tidak menyebutkan
para perâwî dari generasi sebelumnya. Di samping dinilai lemah
dengan sebab mursal, pribadi Ishâq Ibn `Abdullâh Ibn Abû Farwah
dinilai cacat oleh Yahyâ Ibn Mu`în sebagai seorang pendusta (kadz-
dzâbun).143 Bukhârî, Abû Zur`ah (w. 264 H) serta yang lainnya menilai
dia sebagai perâwî yang “matrûk”.144 Artinya bahwa perâwî tersebut
sangat diduga kuat sebagai seorang pendusta.145 Atas dasar penilaian
tersebut, Ahmad Ibn Hanbal menegaskan, bahwa periwayâtan yang
dibawa olehnya tidak halal untuk diterima.146
Periwayâtan yang bersumber dari Sa`îd Ibn al-Musayyab dinilai
“mursal jayyid” (mursal yang cukup baik) oleh Ibn Katsîr. 147 Namun
demikian, kemursalan tersebut dalam pengamatan penulis tidak dapat
dijadikan hujjah. Karena pada periwayâtan tersebut tidak terdapat
penguat yang shahîh, dan juga secara redaksional periwayâtan yang
dinukil olehnya saling bertentangan dengan periwayâtan lain. Dan
seandainya periwayâtan dari Sa`îd Ibn al-musayyab yang bersifat
“mursal jayyid” ini dianggap saah, dan menjadi penguat terhadap
periwayâtan yang bersumber dari Mu`âdz Ibn al-Juhanî dan Ishâq Ibn
`Abdullâh Ibn Abû Farwah, maka seluruhnya dinilai lemah pula dengan
sebab “mudh-tharib” (ketidak ada pastian) dalam matannya.
Berikutnya periwayâtan yang bersumber dari Ka`ab al-Ahbâr,
berdasarkan penganalisaan penulis dinilai lemah dengan sebab
“maqthû`”. Karena periwayâtan tersebut yang menjadi pokok
pelakunya bersandar kepada seorang perâwî yang bergenerasi tâbi`în.
Dalam hal ini periwayâtan tersebut di atas bersandar kepada Ka`ab al-
Ahbâr itu sendiri, dan bukan bersandar kepada Rasûlullâh saw.

140
al-Dzahabî, op.cit., Jilid I, hal. 667.
141
ibid., Jilid I, hal. 6.
142
ibid., Jilid II, hal. 65.
143
al-Râzî, op.cit., Jilid II, hal. 227-228.
144
al-Dzahabî, op.cit., Jilid I, hal. 193.
145
al-Khathîb, loc.cit.
146
al-Dzahabî, loc.cit.
147
Ibn Katsîr, op.cit.,, Jilid IV, hal. 568.
38
Ketiga, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya sebanyak lima puluh kali, Allah akan mengampuni
baginya dosa selama lima puluh tahun. Ini sebagaimana terungkap
dalam sabda Rasûlullâh saw yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang
ditakhrîj oleh Dârimî,148 yaitu:
ّ‫ل اللهن صللى‬ ‫سوُ أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ك رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫عع ع‬
‫ل عر أ‬ ‫ماَل ن ب‬
‫ن ع‬
‫ن‬ ‫س بن‬
‫ن‬ ‫ن أن ع‬
‫ن‬
‫مععنرة ئ‬ ‫ن‬ ‫ي‬‫عع‬
‫س‬ ‫م‬ ‫خ‬‫ع‬ { ‫د‬ ‫عع‬
‫ح‬ ‫ل هأوُ الله أ ع‬
‫ن‬ ‫أ‬ ‫ق‬ } : ‫الله عليه وسللمّ من قعرأ ع‬
‫ن ع ع‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫أ ع د‬ ‫ع‬ ‫ع ن ع‬
0‫ة‬
‫سن ع ئ‬
‫ن ع‬
‫سي ن ع‬
‫م ن‬
‫خ ن‬
‫ب ع‬ ‫ه لع أ‬
‫ه ذ أن أوُن ع‬ ‫غع ع‬
‫فعر الل أ‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad” sebanyak
lima puluh kali, Allah akan mengampuni baginya dosa selama
lima puluh tahun”.

Dalam riwâyat lain disebutkan pula, bahwa bagi mereka yang


membacanya sebanyak lima puluh kali dalam setiap harinya, maka
pada hari kiamat akan diseru dari kuburnya untuk masuk ke dalam
surga. Ini sebagaimana terungkap dalam sabda Nabi saw yang
bersumber dari Jâbir Ibn `Abdullâh yang ditakhrîj oleh Thabrânî, 149
yaitu:
‫ل اللععهن‬ ‫وُ أ‬
‫ قعععاَلع رعسععأ ن‬: ‫اَل‬
‫د اللهن رضي الله عنه عق ع‬ ‫عبن ن‬
‫ن ع‬ ‫ر نب ن‬
‫جاَبن ن‬
‫ن ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫وُمب‬‫ل عي ن‬
‫حد د{ فني كأ ي‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬:‫رأع‬ ‫صللىّ الله عليه وسللمّ مع ن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ن عق ع‬
،‫ح اللععهأ‬‫اَد ع‬
‫مّ مععع ع‬‫ قأ ن‬: ‫ه‬ ‫ر ن‬
‫ن عقنب ن‬
‫اَمةن من ن‬
‫قعي ع‬
‫م الن ن‬
‫وُنديع عيوُن ع‬
‫ة أن ن‬‫ر ئ‬‫ن مع ن‬‫سين ع‬‫م ن‬ ‫خ ن‬‫ع‬
.‫ة‬
‫جنن ع‬‫ال ع‬
‫ل ن‬ ‫خ ع‬ ‫عفعأند ع‬
“Dari Jâbir Ibn `Abdullâh (r.a) berkata: Rasûlullâh saw
bersabda: siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad”
sebanyak lima puluh kali dalam setiap seharinya, pada hari
kiamat akan diseru dari kuburnya: bangunlah Allah telah
memuji, maka Dia memasukannya ke dalam surga”.

Hadîts yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik dinilai oleh Ibn Katsîr
lemah isnâdnya.150 Demikian pula halnya hadîts yang bersumber dari
Jâbir Ibn `Abdullâh dinilai lemah oleh al-Suyûthî karena dalam
sanadnya terdapat seorang perâwî yang “majhûl” (tidak diketahui
pribadinya).151
Keempat, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya sebanyak seratus kali dalam keadaan suci seperti
sucinya untuk shalat, dan memulainya dengan surat al-Fâtihah, Allah
akan menuliskan baginya dari setiap hurufnya sepuluh kebaikan dan
menghapus sepuluh kejelekan; diangkat derajatnya sepuluh kali lipat;
dibuatkan seratus istana di surga; seperti halnya membaca al-Qur’ân
sebanyak tiga puluh tiga kali; terpelihara dari kesyirikan; para malâikat
148
Dârimî (II/461) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, Ummu Katsîr al-Anshâriyyah,
Muhamad al-`Athâridî al-Wathâ`, Nûh Ibn Qais, dan Nashr Ibn `Alî.
149
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit. Bandingkan al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal.
671.
150
Ibn Katsîr, loc.cit.
151
al-Suyûthî, al-Dar … loc.cit.
39
akan hadir dan syaithân pun bergegas-gegas pergi atau berpaling. Ini
sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Anas Ibn
Mâlik yang ditakhrîj oleh Ibn `Addî dan Baihaqî,152 yaitu:
: ‫ي صللىّ الله عليه وسععللمّ عقععاَلع‬ ‫ن النننب ن‬ ‫ عأ ن‬،‫س رضي الله عنه‬ ‫ن عأعن ب‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫حععد د{ ع‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫رعأ‬
‫رة‬‫ة مععع ن‬ ‫ماَئععع ع‬ ‫ة ن‬ ‫اَر ب‬
‫علعععىّ طعهععع ع‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫ن قععع ع‬ ‫مععع ن‬
‫رف‬ ‫ل حععع ن‬ ‫ك ي‬ ‫ه نب أ‬‫اَب كععتبع اللهأ عل أ‬‫كتع ن‬ ‫ال ن‬
‫ة ن‬ ‫ح ن‬ ‫فاَتن ع‬
‫دأأ نب ع‬‫ة عينب ع‬ ‫ل ن‬‫الص ع‬‫ن‬ ‫ة‬
‫اَر ن‬
‫طعه ع‬ ‫كع ع‬
‫عشععن ع‬
‫ر‬ ‫ه ع‬ ‫ع علعع أ‬ ‫ وعأرفنعع ع‬،‫اَت‬
‫ر سعععييعئ ب‬ ‫عشععن ع‬ ‫ه ع‬ ‫ عومعحعععاَ عننعع أ‬،‫اَت‬ ‫سنع ب‬ ‫ح ع‬ ‫ر ع‬ ‫ش ع‬ ‫ع ن‬ ‫ع‬
‫رآن‬ ‫القأع ن‬ ‫رعأ ن‬ ‫ة عوكععأننمععاَ قعع ع‬‫جننع ن‬‫ر فنعي الن ع‬ ‫ص ب‬ ‫ة عق ن‬ ‫ماَئع ع‬‫ه ن‬ ‫ىّ عل أ‬ ‫ عوأبنن ع‬،‫اَت‬ ‫ج ب‬ ‫عدرع ع‬
‫رة‬ ‫ضعع ع‬
‫ح ع‬ ‫ عومأ ن‬،َ‫ك‬ ‫ر ن‬‫الشعع ن‬
‫ي‬ ‫ة منعع ع‬
‫ن‬ ‫اء د‬
‫ر ع‬‫ي بععع ع‬ ‫ وعهنعع ع‬،‫ة‬ ‫ر ئ‬ ‫ن مععع ن‬ ‫لثيننعع ع‬
‫لثئععاَ وععث ع‬ ‫ععث ع‬
0 ‫ الحديث‬000 ‫ن‬ ‫اَطين ن‬ ‫شعي ن‬ ‫ة للن ن‬ ‫ر د‬ ‫ف ع‬ ‫ عومأنن ع‬،‫ئكةعن‬ ‫ل ن‬ ‫م ع‬ ‫نلنل ع‬
“Dari Anas (r.a), bahwasanya Nabi saw bersabda: siapa saja
yang membaca: “qul huwallâhu ahad” sebanyak seratus kali
dalam keadaan bersuci seperti bersucinya shalat yang ia
memulainya dengan surat al-Fâtihah, Allah akan menuliskan
baginya dari setiap huruf sepuluh kebaikan dan menghapus
sepuluh kejelekan; diangkat derajatnya sepuluh kali lipat;
dibuatkan baginya seratus istana di surga; dan seperti halnya
membaca al-Qur’ân sebanyak tiga puluh tiga kali; terpelihara
dari kesyirikan; para Malâikat akan hadir dan syaithân-syaithân
pun bergegas-gegas pergi atau berpaling… al-Hadîts”.

Hadîts yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik berdasarkan


penganalisaan penulis dinilai lemah dengan sebab “mudh-tharib”
dalam matannya. Hal ini dapat terbukti dengan membandingkan
periwayâtan-periwayâtan lain dari sumber yang sama dari Anas Ibn
Mâlik dengan materi yang semakna; maka akan tampak beragamnya
atau berubah-rubahnya isi dari periwayâtan yang dibawa olehnya.
Kelima, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya secara rutin sebanyak dua ratus kali dalam setiap
harinya, memiliki keutamaan tersendiri sebagai berikut:
(1) Allah akan menghapus dosanya selama lima puluh tahun dengan
catatan tidak memiliki hutang. Ini sebagaimana terungkap dalam
riwâyat yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh
Tirmidzî,153 yaitu:
‫ي صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫عع ع‬
‫ن الن نب ن ي‬
‫ن‬ ‫ ع ع‬،‫ك رضي الله عنه‬ ‫ماَل ن ب‬
‫ن ع‬‫ن‬ ‫س بن‬‫ن‬ ‫ن أن ع‬ ‫ن‬
{‫حد د‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫هأ ع‬‫منرةب }قل هأوُع الل أ‬ ‫ي ع‬‫ماَئت ع ن‬
‫ن قعرأ كل ي عوُنم ب ن‬ ‫م ن‬‫ ع‬: ‫وسلمّ قاَل‬
‫ع‬
‫ن ع عل عي نهن د عي ن د‬
0‫ن‬ ‫ن يع أ‬
‫كوُ ع‬ ‫ة إ نل ن أ ن‬
‫سن ع ئ‬
‫ن ع‬
‫سي ن ع‬
‫م ن‬
‫خ ن‬ ‫ه ذ أن أوُن أ‬
‫ب ع‬ ‫ي ع عن ن أ‬
‫ح ع‬
‫م ن‬
‫أ‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a), dari Nabi saw bersabda: siapa saja
yang membaca: “qul huwallâhu ahad” setiap harinya sebanyak
dua ratus kali, akan diampuni baginya dosa selama lima puluh
tahun kecuali memiliki hutang”.

152
idem.
153
Tirmidzî (V/257) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, Tsâbit al-Bunânî, Hâtim Ibn Maimûn
Abû Sahl, dan Muhamad Ibn Marzûq al-Bashrî.
40
(2) Allah akan menuliskan seribu lima ratus kebaikan dengan catatan
tidak memiliki hutang. Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat
yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh Abû Ya`lâ, 154
yaitu:
‫ل اللهن صللىّ الله عليععه‬ ‫سوُن أ‬
‫ قعاَلع رع أ‬: ‫س رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ن عأعن ب‬ ‫ع ن‬
‫ع‬
‫رة‬
‫م منععاَئععتي مععع ن‬
‫وُ ب‬
‫حععد د{ فنععي يععع ن‬ ‫ع‬ ‫ }قأ ن‬: ‫رعأ‬ ‫ل‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع اللعع أ‬ ‫ن عق ع‬
‫م ن‬‫وسلمّ ع‬
0‫ن‬
‫ععلنيهن عدني د‬
‫ن ع‬
‫وُ ع‬
‫ك ن‬
‫ن عي أ‬
‫ل عأ ن‬
‫سعنةئ نإ ن‬
‫ح ع‬
‫ة ع‬
‫ماَئع ع‬
‫س ن‬
‫م ع‬
‫خ ن‬
‫فاَ عو ن‬
‫ه عأنل ئ‬
‫كععتبع اللهأ عل أ‬
“Dari Anas (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: siapa saja
yang membaca: “qul huwallâhu ahad” setiap harinya sebanyak
dua ratus kali, Allah akan menuliskan baginya seribu lima ratus
kebaikan kecuali memiliki hutang”.

(3) Allah akan menghapus dosa selama dua ratus tahun. Ini
sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Anas
Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh al-Bazzâr,155 yaitu:
‫ل اللهن صللىّ الله عليععه‬
‫سوُن أ‬
‫ قعاَلع رع أ‬: ‫س رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ن عأعن ب‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫عنن أ‬
‫ه‬ ‫ط اللهأ ع‬
‫ح ن‬‫ة ع‬
‫ر ب‬
‫م ن‬
‫اَئتعي ع‬
‫حد د{ من ع‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫رعأ‬ ‫وسللمّ مع ن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ن عق ع‬
0‫ة‬
‫سنع ب‬
‫ماَئععتي ع‬
‫ب ن‬
‫أذأنوُن أ‬
“Dari Anas (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: siapa saja
yang membaca: “qul huwallâhu ahad” setiap harinya sebanyak
dua ratus kali, Allah akan menghapuskan baginya dosa selama
dua ratus tahun”.

(4) Allah akan mengampuni dosa selama lima puluh tahun dengan
catatan terhindar dari empat perkara, yakni: darah (baca:
membunuh), harta benda (baca: bakhil, serakah), alat kelamin
(baca: zina), dan minuman (baca: khamar). Ini sebagaimana
terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang
ditakhrîj oleh Ibn `Addî dan Baihaqî,156 yaitu:
ّ‫ل اللهن صللىّ اللعه عليععه وسعللم‬
‫سوُن ع‬
‫ن رع أ‬
‫ عأ ن‬،‫س رضي الله عنه‬
‫ن عأعن ب‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫ر لعععهأ‬‫ة غأفنعع ع‬
‫ر ب‬
‫حععد د{ منععاَئععتي مععع ن‬ ‫ل هأععوُ اللعع ع‬ ‫}قأعع ن‬: ‫رعأ‬
‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ن عق ع‬ ‫ مع ن‬: ‫اَل‬ ‫عق ع‬
‫اَء‬
‫لععدمع ن‬‫ اع ي‬: ‫صععاَلب‬‫خ ع‬ ‫ع ن‬ ‫ت عأرنبععع أ‬
‫ة نإعذا اجنعتنعبععع ن‬‫سععنع ئ‬
‫ع‬ ‫سععين ع‬
‫ن‬ ‫م ن‬ ‫خ ن‬
‫ة ع‬ ‫طينئععع ع‬‫خ ن‬ ‫ع‬
0‫ة‬
‫رعب ن‬
‫ش ن‬‫ل ن‬ ‫ج عونا ع‬‫رنو ن‬‫ف أ‬
‫ال عوالن أ‬‫موُع ن‬ ‫ل ن‬ ‫وعنا ع‬
“Dari Anas (r.a), bahwasanya Rasûlullâh saw bersabda: siapa
saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad” setiap harinya
sebanyak dua ratus kali, akan diampuni baginya dosa selama
lima puluh tahun apabila menghindari empat perkara (yaitu):
darah, harta benda, alat kelamin, dan minuman”.

(5) Allah akan memberikan ganjaran yang sama halnya dengan


beribadah selama lima ratus tahun. Ini sebagaimana terungkap

154
Abû Ya`lâ (III/125) dengan transmisi …, Hâtim Ibn Maimûn Abû Sahl, dan Abû al-Rabî`.
155
idem., dengan transmisi …, Tsâbit al-Bunânî, Aghlab Ibn Tamîm, Hibbân Ibn Aghlab, dan
Sahl Ibn Bahr.
156
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … loc.cit.
41
dalam riwâyat yang bersumber dari al-Hasan yang ditakhrîj oleh Ibn
al-Dhurais,157 yaitu:
‫ل هأوُ الل ع‬
‫رة‬
‫حد د{ منععاَئععتي مععع ن‬
‫هأ ع‬‫أ‬ ‫}قأ ن ع‬: ‫رعأ‬ ‫ن عق ع‬‫ مع ن‬: ‫اَل‬
‫ن عق ع‬ ‫س ن‬‫ح ع‬‫ن الن ع‬‫ع ن‬
‫ع‬
.‫ة‬
‫سنع ب‬‫ة ع‬
‫ماَئع ن‬
‫س ن‬
‫م ع‬
‫خ ن‬‫ة ع‬ ‫اَد ع‬
‫عبع ع‬
‫ر ن‬
‫ج ن‬
‫ل ن‬
‫ن نا ع‬‫م ع‬‫ه ن‬‫اَن عل أ‬
‫كع ع‬
“Dari al-Hasan berkata: siapa saja yang membaca: “qul
huwallâhu ahad” sebanyak dua ratus kali, baginya akan
memperoleh ganjaran (seperti) beribadah selama lima ratus
tahun”.

(6) Allah akan menempatkannya di surga sesuai yang ia kehendaki.


Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari
Ka`ab al-Ahbâr yang dilaporkan oleh al-Hâfidz Abû Muhamad al-
Hasan Ibn Ahmad al-Samarqandî,158 yaitu:
‫اَؤونا‬
‫حينععثأ شععع أ‬
‫جننةن ع‬
‫ن الن ع‬‫ن من ع‬ ‫زألوُن ع‬
‫لعثةد عينن ن‬
‫ ثع ع‬: ‫اَل‬
‫اَر عق ع‬
‫حبع ن‬
‫ل ن‬‫ن كعنعبن نا ع‬ ‫ع ن‬‫ع‬
‫اَئتعي‬
‫حد د{ منعع ع‬ ‫ع‬ ‫م }ق أ ن‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫وُ ب‬
‫ل عي ن‬‫رعأ نفي كأ ي‬‫ل عق ع‬‫ج د‬‫د عورع أ‬‫ عالشننهني أ‬:
.‫ة‬
‫ر ب‬
‫مع ن‬
“Dari Ka`ab al-Ahbâr berkata: tiga golongan yang mereka akan
menempati surga sesuai yang mereka inginkan, (yaitu): orang
yang syahîd dan seseorang yang membaca: “qul huwallâhu
ahad” dalam setiap harinya sebanyak dua raus kali.

Hadîts yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang terdapat pada
point (1) dan (2) dinilai lemah—karena dalam sanadnya terdapat
seorang perâwî yang bernama Hâtim Ibn Maimûn al-Kilâbî. Bukhârî dan
yang lainnya menilai dia sebagai perâwî yang lemah dengan sebab
banyaknya meriwâyatkan hadîts-hadîts yang “munkar” (tertolak).159 Ibn
Hibbân menilainya, bahwa periwayâtan yang dinukil olehnya tidak
dapat dijadikan hujjah.160
Demikian pula halnya, hadîts yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik
yang terdapat pada point (3) dinilai lemah—karena dalam sanadnya
terdapat seorang perâwî yang bernama Aghlab Ibn Tamîm yang dinilai
oleh Bukhârî sebagai perâwî yang “munkaru’l hadîts”.161 Ungkapan dari
penilaian yang dilontarkan oleh Bukhârî tersebut, menurut yang
dilaporkan oleh Yahyâ Ibn al-Qath-thân mengandung arti bahwa
periwayâtan yang dinukil olehnya tidak halal (tidak sah).162
Selanjutnya, hadîts yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang
terdapat pada point (4)—berdasarkan penganalisaan penulis dinilai
lemah dengan sebab “mudh-tharib” dalam matannya. Ini terbukti
dengan membandingkan periwayâtan-periwayâtan lain dengan sumber
yang sama dari Anas Ibn Mâlik dengan materi yang semakna; maka
akan tampak beragamnya atau berubah-rubahnya isi dari
periwayâtannya.
157
ibid., Jilid VIII, hal. 675.
158
ibid., Jilid VIII, hal. 674.
159
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit. Lihat pula Tirmidzî (V/257) dalam Hâmisynya.
160
al-Dzahabî, op.cit., Jilid I, hal. 428-429.
161
ibid., Jilid I, hal. 273.
162
ibid., Jilid I, hal. 6.
42
Sebagai penilaian berikutnya dari periwayâtan yang terdapat
pada point (5) dan (6), berdasarkan pengamatan penulis dinilai lemah
dengan sebab “maqthû`”. Karena kedua periwayâtan tersebut yang
menjadi pokok pelakunya bersandar kepada seorang perâwî yang
bergenerasi tâbi`în, yakni al-Hasan dan Ka`ab al-Ahbâr, dan bukan
bersandar kepada Rasûlullâh saw.
Untuk melengkapi, dalam riwâyat lain dijelaskan pula, bahwa
keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang membacanya sebanyak
satu kali, Allah akan memberikan berkah (kenikmatan, kebahagiaan,
kebaikan) bagi dirinya; dan yang membacanya sebanyak dua kali, Allah
akn memberikan berkah bagi dirinya dan keluarganya; dan yang
membacanya sebanyak tiga kali, Allah akan memberikan berkah bagi
dirinya, keluarganya, dan tetangganya; dan yang membacanya
sebanyak dua belas kali, Allah akan membangun baginya dua belas
istana atau gedung di surga; dan yang membacanya sebanyak dua
puluh kali, dia akan ditempatkan bersama para Nabi seperti
merapatnya jari tengah dan jari telunjuk; dan yang membacanya
sebanyak seratus kali, Allah akan mengampuni baginya dosa selama
dua puluh lima tahun dengan catatan tidak memiliki hutang dan tidak
membunuh; dan yang membacanya sebanyak dua ratus kali, diampuni
baginya dosa selama lima puluh tahun; dan yang membacanya
sebanyak empat ratus kali, baginya akan memperoleh ganjaran seperti
halnya empat ratus syahîd yang luka terbunuh dan tertumpah
darahnya; dan yang membacanya sebanyak seribu kali, dia tidak akan
mati sehingga diperlihatkan kepadanya surga. Ini sebagaimana
terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang
dilaporkan oleh al-Hâfidz Abû Muhamad al-Hasan Ibn Ahmad al-
Samarqandî,163 yaitu:
‫ل اللهن صللىّ الله عليععه‬ ‫سوُن أ‬‫ قعاَلع رع أ‬: ‫س رضي الله عنه عقاَلع‬ ‫ن عأعن ب‬‫ع ن‬
‫ع‬
‫ عومععع ن‬،‫ععلينععهن‬
‫ن‬ ‫كَ ع‬
‫ة أبوُننر ع‬‫ر ئ‬
‫م ن‬
‫حد د{ ع‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫رعأ‬ ‫ مع ن‬: ّ‫وسللم‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ن عق ع‬
‫لث‬ ‫رعأهعععاَ عث ع‬ ‫ن عق ع‬ ‫ وعمععع ن‬،‫ه‬ ‫ل عبنيتنعع ن‬ ‫ه ن‬ ‫ععلىّ عأ ن‬ ‫ععلنيهن وع ع‬ ‫كَ ع‬ ‫وُرن ع‬ ‫ن أب ن‬ ‫رعتني ن‬ ‫هاَ مع ن‬ ‫رعأ ع‬ ‫عق ع‬
َ‫رعأهعععا‬ ‫ن عق ع‬ ‫ عومععع ن‬،‫راننععهن‬ ‫جني ع‬ ‫ل عبنيتنععهن وع ن‬ ‫علعععىّ عأهنعع ن‬ ‫ععلينععهن وع ع‬ ‫كَ ع‬ ‫ات أبوُننر ع‬ ‫ر ب‬ ‫مع ن‬
.‫را‬ ‫صعع ئ‬
‫ر عق ن‬ ‫شعع ع‬ ‫ع ن‬ ‫اثنعي ع‬ ‫ة ن‬ ‫جنن ن‬‫ال ع‬‫ه نفي ن‬ ‫ة عبنعىّ اللهأ عل أ‬ ‫ر ئ‬‫م ن‬ ‫ة ع‬ ‫ر ع‬ ‫ش ع‬ ‫ع ن‬ ‫ي ع‬ ‫اثنعنتع ن‬
‫عع ن‬
ّ‫م‬ ‫ذا عوض ع‬ ‫هكععع ع‬ ‫ن ع‬ ‫ع النننبييينعع ع‬ ‫اَن مععع ع‬ ‫ة كععع ع‬ ‫ر ئ‬‫ن مععع ن‬ ‫رني ع‬‫عشععن ن‬ ‫رعأهعععاَ ن‬ ‫ن عق ع‬ ‫وعمععع ن‬
‫أ‬ ‫الله‬ ‫ف ع‬
‫ر‬ ‫غ ع‬ ‫ة ع‬ ‫ر ب‬
‫اَئةع مع ن‬ ‫هاَ من ع‬ ‫رعأ ع‬‫ن عق ع‬ ‫ عومع ن‬،‫لنبعهاَمأ‬ ‫التني عتنلنيعهاَ نا ن‬ ‫طىّ وع ن‬ ‫س ع‬ ‫وُ ن‬ ‫الن أ‬
َ‫رعأهعععا‬ ‫ن عق ع‬ ‫م ن‬ ‫ وع ع‬،‫م‬ ‫الد ع‬
‫ن عو ن‬ ‫الدينن ع‬‫ل ن‬ ‫ة نإ ن‬ ‫سنع ئ‬‫ن ع‬ ‫رني ع‬ ‫ش ن‬ ‫ع ن‬ ‫مسع وع ن‬ ‫خ ن‬ ‫وُبع ع‬ ‫ه أذأن ن‬ ‫عل أ‬
َ‫رعأهعععا‬ ‫ن عق ع‬ ‫ عومععع ن‬،‫ن سععععنةئ‬ ‫مسععنني ع‬ ‫خ ن‬ ‫وُبأ ع‬ ‫رتن لعععهأ أذنأعع ن‬ ‫ة غأفنعع ع‬ ‫ر ب‬ ‫اَئتعي مععع ن‬ ‫من ع‬
‫اده‬ ‫ر جعععوُع ن‬ ‫عقنعع ن‬ ‫ل ع‬ ‫د كأعع ن‬ ‫اَئةع شعععنهين ب‬ ‫م ع‬ ‫ر عأنرعبعع ن‬ ‫ج د‬
‫اَن علهأ عأ ن‬ ‫ة عك ع‬ ‫ر ب‬ ‫اَئةع مع ن‬ ‫م ع‬ ‫عأنرعبعع ن‬
َ‫رى‬ ‫حتنععىّ يععع ع‬ ‫ت ع‬ ‫مّ عيمأعع ن‬ ‫ة علعع ن‬ ‫ر ب‬ ‫ف مععع ن‬ ‫رعأهعععاَ عأ نلعع ع‬ ‫ن عق ع‬ ‫ عومععع ن‬،‫مهن‬ ‫ق عد ن‬ ‫رني ن‬ ‫ه ن‬ ‫وععأ ن‬
.‫رىَ علهأ‬ ‫جننةن عأنو أي ع‬ ‫ن الن ع‬ ‫ه من ع‬ ‫د أ‬ ‫قعع ع‬ ‫مع ن‬
“Dari Anas (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: siapa saja
yang membaca: “Qul huwallâhu ahad” sebanyak satu kali,
baginya akan diberikan berkah; dan siapa saja yang
membacanya sebanyak dua kali, bagi dirinya dan keluarganya
163
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 673-674.
43
akan diberikan berkah; dan siapa saja yang membacanya
sebanyak tiga kali, bagi dirinya, keluarganya, dan tetangganya
akan diberikan berkah; dan siapa saja yang membacanya
sebanyak dua belas kali, Allah akan membangun baginya dua
belas istana atau gedung di surga; dan siapa saja yang
membacanya sebanyak dua puluh kali, dia akan ditempatkan
bersama para Nabi seperti ini, beliau menggambarkannya
dengan merapatkan jari tengah dan jari telunjuknya; dan siapa
saja yang membacanya sebanyak seratus kali, Allah akan
mengampuni baginya dosa selama dua puluh lima tahun
dengan catatan tidak memiliki hutang dan tidak membunuh;
dan siapa saja yang membacanya sebanyak dua ratus kali,
diampuni baginya dosa selama lima puluh tahun; dan siapa
saja yang membacanya sebanyak empat ratus kali, baginya
akan memperoleh ganjaran seperti halnya empat ratus syahîd
yang luka terbunuh dan tertumpah darahnya; dan siapa saja
yang membacanya sebanyak seribu kali, dia tidak akan mati
sehingga diperlihatkan kepadanya surga”.

Hadîts di atas, berdasarkan penganalisaan penulis dinilai lemah


dengan sebab “mudh-tharib” dalam matannya. Ini dapat terbukti
dengan membandingkan periwayâtan-periwayâtan lain dari sumber
yang sama dari Anas Ibn Mâlik dengan materi yang semakna; maka
akan tampak beragamnya atau berubah-rubahnya isi dari
periwayâtannya.
Dengan merujuk pada uraian dari berbagai periwayâtan di atas
dan berbagai penilaiannya; terutama yang terdapat pada bagian kedua
sampai periwayâtan terakhir di atas dapat ditegaskan, bahwa
keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi siapa saja yang membacanya secara
rutin dalam setiap harinya, baik sebanyak satu kali, dua kali, tiga kali,
sepeuluh kali, lima puluh kali, seratus kali, dua ratus kali, empat ratus
kali, dan seribu kali serta berbagai bentuk keutamaan ganjaran yang
diberikannya—seluruhnya dinilai kurang dapat dipertanggung
jawabkan kesahan periwayâtannya, dan juga tidak dapat dipedomani
keberadaannya sebagai hujjah yang kuat untuk di amalkan.

Keistimewaan Kedelapan
Di samping memiliki keistimewaan bagi mereka yang
membacanya secara mudâwamah dalam setiap harinya, di sisi lain
surat al-Ikhlâs pun mempunyai keistimewaan tersendiri bagi mereka
yang membacanya setiap sesudah shalat. Sehubungan dengan ini
terdapat beberapa keistimewaan, yaitu:
Pertama, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang
membacanya sebanyak sepuluh kali sesudah shalat shubuh—dengan
catatan tidak terselangi berbicara sedikit pun sebelumnya, maka pada
hari itu ia akan selamat dari dosa, dan akan terlindungi dari syaithân.

44
Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari `Alî (w.
40 H) yang ditakhrîj oleh Ibn `Asâkir,164 yaitu:
‫ل اللهن صللىّ الله عليععه‬ ‫سوُن أ‬ ‫ قعاَلع رع أ‬: ‫ي رضي الله عنه عقاَلع‬ ّ ‫عنل‬
‫ن ع‬‫ع ن‬
‫ع‬
‫ }أقعع ن‬: ‫رعأ‬
‫ل‬ ‫حتنىّ عق ع‬
‫مّ ع‬
‫كنل ن‬
‫مّ عيعت ع‬
‫مّ عل ن‬
‫داةن أث ن‬
‫ة النعغ ع‬
‫ل ع‬
‫صنلىّ صع ع‬ ‫ مع ن‬: ّ‫وسللم‬
‫ن ع‬
‫جينععر‬
‫م عذننبد وععأ ن‬
‫ه عذنلكع النعيوُن ع‬
‫دنركن أ‬
‫مّ أي ن‬
‫ات عل ن‬
‫ر ب‬‫م ن‬
‫ر ع‬
‫ش ع‬
‫ع ن‬
‫حد د{ ع‬ ‫هأوُ الل ع‬
‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬
.‫اَن‬
‫ط ن‬ ‫الشين ع‬
‫ن‬ ‫من ع‬
‫ن‬
“Dari `Alî (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: siapa saja
yang shalat shubuh, kemudian ia tidak berbicara sehingga
membaca: “qul huwallâhu ahad” sebanyak sepuluh kali, pada
hari itu ia akan selamat dari dosa, dan dilindungi dari godaan
syaithân”.

Dalam riwâyat lain dengan sumber yang sama dari `Alî yang
ditakhrîj oleh Sa`îd Ibn Manshûr dan Ibn al-Dhurais,165 yaitu:
{‫حععد د‬ ‫ل هأععوُ اللعع ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫رعأ‬
‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ن عق ع‬ ‫ مع ن‬: ‫ي رضي الله عنه عقاَلع‬ ّ ‫عنل‬
‫ن ع‬ ‫ع ن‬
‫ع‬
‫مّ عينلحعععقن‬
‫اة علعع ن‬
‫د ن‬ ‫الغع ع‬
‫ر ن‬ ‫ نفي أدأب ن‬،‫ظ‬ ‫ف ب‬ ‫ر عونفي عل ن‬‫ج ن‬‫ف ن‬
‫ال ع‬
‫د ن‬
‫ارا عبنع ع‬
‫ر ئ‬ ‫ر من ع‬‫ش ع‬‫ع ن‬ ‫ع‬
.‫اَن‬
‫ط أ‬ ‫الشين ع‬
‫ن‬ ‫جعه ع‬
‫د‬ ‫ن ع‬
‫ وعنإ ن‬،‫ب‬‫م عذنن د‬ ‫وُ ع‬
‫اليع ن‬
‫ك ن‬ ‫نبهن عذنل ع‬
“Dari `Alî (r.a) berkata: siapa saja yang membaca: “qul
huwallâhu ahad” sebanyak sepuluh kali sesudah shalat fajar
(shubuh)”; dan dalam suatu redaksi:”pada akhir shalat shubuh
(maksudnya: sesudah shalat shubuh), pada hari itu ia tidak
akan terkena dosa—meskipun syaithân berupaya secara
bersungguh-sungguh (untuk menggoda)”.

Kedua, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang


membacanya sebanyak dua belas kali sesudah shalat shubuh, maka
seolah-olah ia membaca al-Qur’ân sebanyak empat kali secara
berulang-ulang, dan juga pada hari itu ia akan lebih utama di antara
penduduk bumi yang lain—dengan catatan ia memelihara dirinya. Ini
sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Abû
Hurairah yang ditakhrîj oleh Baihaqî dan Thabrânî,166 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫وُ أ‬
‫اَل عرسععأ ن‬
‫ قععع ع‬: ‫اَل‬ ‫رةع رضي الله عنه عق ع‬ ‫رني ع‬
‫ه ع‬
‫ن عأبين أ‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫لة‬
‫د صععع ع‬‫حععد د{ بععنعع ع‬ ‫ع‬ ‫ }قأعع ن‬: ‫رعأ‬ ‫ مع ن‬: ّ‫الله عليه وسللم‬
‫هأ ع‬‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫ن عق ع‬
،‫ات‬
‫ر ب‬‫ع مععع ن‬
‫آن عأرنبععع ع‬
‫ر ع‬‫القأعع ن‬
‫رعأ ن‬
‫كعأننمعععاَ قععع ع‬
‫ة عف ع‬ ‫ر ئ‬
‫ة مععع ن‬‫ر ع‬‫ش ع‬
‫ع ن‬‫اثنعي ع‬‫ح ن‬ ‫الصّنب ن‬
.ّ‫قى‬‫ذ نإعذا اتن ع‬‫وُمعنئ ب‬
‫ض عي ن‬‫لرن ن‬ ‫ل نا ع‬‫ه ن‬
‫ل عأ ن‬
‫ض ع‬
‫اَن عأنف ع‬
‫وععك ع‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad” setelah shalat
shubuh sebanyak dua belas kali, maka seolah-olah ia telah
membaca al-Qur’ân sebanyak empat kali, dan pada hari itu
keadaan dia lebih utama di antara penduduk bumi apabila ia
memelihara diri”.

Ketiga, keistimewaan surat al-Ikhlâs bagi mereka yang


membacanya sebanyak seratus kali sesudah shalat shubuh—dengan
164
ibid., Jilid VIII, hal. 676.
165
ibid., Jilid VIII, hal. 678.
166
idem.
45
catatan sebelumnya ia tidak berbicara dengan orang lain, maka pada
hari itu ia akan diangkat (derajatnya) seperti halnya ia beramal yang
dilakukan oleh lima puluh orang-orang yang benar. Ini sebagaimana
terungkap dalam riwâyat yang bersumber dari al-Barâ’ Ibn `Âzib (w. 72
H) yang ditakhrîj oleh al-Dailamî,167 yaitu:
‫}قأعع ن‬:‫رأع‬
‫ل‬ ‫ن قععع ع‬‫ مععع ن‬:َ‫عا‬
‫رأفوُن ئ‬
‫ب رضي الله عنععه مع ن‬ ‫اَز ب‬ ‫ع ن‬ ‫ن ع‬‫اء نب ن‬‫ر ن‬ ‫ن النعب ع‬
‫ع ن‬‫ع‬
‫دا رأفنععع‬
‫ح ئ‬‫مّ عأ ع‬
‫كيل ع‬
‫ن أي ع‬
‫ل عأ ن‬‫اة عقبن ع‬
‫د ن‬ ‫الغع ع‬
‫ة ن‬‫ل ن‬‫ص ع‬
‫د ع‬ ‫ة عبنع ع‬‫حد د{ مناَئع ع‬ ‫ع‬
‫هأ ع‬ ‫هأوُع الل أ‬
.َ‫قا‬
‫دني ئ‬
‫ص ي‬‫ن ن‬ ‫سني ع‬
‫م ن‬
‫خ ن‬ ‫ل ع‬ ‫م ع‬ ‫ع ع‬ ‫م ع‬‫ه عذنلكع النعيوُن ع‬ ‫عل أ‬
“Dari al-Barâ’ Ibn `Âzib (r.a) dalam keadaan marfû`(bersandar
kepada Rasûlullâh saw): siapa saja yang membaca: “qul
huwallâhu ahad” setelah shalat Shubuh sebelum ia berbicara
kepada orang lain, pada hari itu ia akan diangkat derajatnya
seperti halnya ia beramal yang dilakukan oleh lima puluh
orang-orang yang benar”.

Keempat, keistimewaan surat al-Ikhlâs bersama-sama dengan


surat al-Falaq dan al-Nâs bagi mereka yang membacanya sebanyak
tujuh kali sesudah shalat Jum`at, Allah akan menjaganya dari kejelekan
sampai Jum`at yang akan datang. Ini sebagaimana terungkap dalam
riwâyat yang bersumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh Ibn al-Sunnî, 168
yaitu:
‫ل اللهن صععللىّ اللععه‬ ‫سوُن أ‬
‫ قعاَلع رع أ‬: ‫اَلتن‬ ‫شةع رضي الله عنهاَ عق ع‬ ‫اَئ ع‬
‫ع ن‬
‫ن ع‬
‫ع ن‬
‫ع‬
‫حد د{ وع‬ ‫ع‬ ‫مععةن }قأ ن‬ ‫ ع‬: ّ‫عليه وسللم‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ج أ‬ ‫ة الن أ‬
‫ل ن‬
‫د صع ع‬ ‫رعأ عبعن ع‬
‫ن عق ع‬
‫م ن‬
‫ربي الننععاَسن{ سعععنب ع‬
‫ع‬ ‫عععوُنأذ بنعع ع‬
‫ل عأ أ‬
‫فعلقن{ عو } أقعع ن‬ ‫ربي الن ع‬
‫عوُنأذ نب ع‬
‫ل عأ أ‬
‫}أق ن‬
.َ‫رى‬
‫خ ع‬
‫ل ن‬‫ة نا أ‬
‫معع ن‬‫ج أ‬‫ال أ‬
‫وُنء نإعلىّ ن‬‫الس ن‬ّ ‫م ع‬
‫ن‬‫الله نبعهاَ ن‬
‫أ‬ ‫ه‬
‫عاَذع أ‬
‫ات عأ ع‬
‫ر ب‬ ‫مع ن‬
“Dari `Âisyah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: siapa saja
yang membaca sesudah shalat Jum`at “qul huwallâhu
ahad”,”qul a`ûdzu birrabbi’l falaq”, dan “qul a`ûdzû
birabbinnâs” sebanyak tujuh kali, maka Allah akan
melindunginya dari kejelekan sampai jum`at yang akan
datang”.

Hadîts yang bersumber dari `Alî, baik yang ditakhrîj oleh Ibn
`Asâkir maupun yang ditakhrîj oleh Sa`îd Ibn Manshûr dan Ibn al-
Dhurais yang terdapat pada bagian pertama, menurut penganalisaan
penulis dinilai lemah dengan sebab “mudh-tharib” baik dari segi sanad
maupun matannya. Mudh-tharib dari segi sanad yang menyangkut
kedua periwayâtan di atas, secara nampak terlihat karena adanya
pertentangan, yakni pada satu sisi periwayâtan di atas bersifat
“mauqûf”, sementara di sisi lain bersifat “marfû`”. Tegasnya, pada satu
pihak periwayâtan di atas yang menjadi pokok pelakunya bersandar
kepada seorang perâwî yang bergenerasi shahâbat, yakni dalam hal ini
`Alî, dan di lain pihak yang menjadi pokok pelakunya bersandar kepada

167
ibid., Jilid VIII, hal. 676.
168
ibid., Jilid VIII, hal. 673.
46
Rasûlullâh saw. Dan periwayâtan model seperti ini dinilai oleh al-
Sha`ânî tergolong ke dalam kategori mudh-tharib dalam sanad.169
Selanjutnya, mudh-tharib dari segi matan yang menyangkut
kedua periwayâtan di atas, secara nampak terlihat dengan
membandingkan, bahwa dalam satu riwâyat yang marfû` disebutkan
dengan menggunakan ungkapan “tidak berbicara sedikit pun sebelum
membacanya”, sementara itu dalam riwâyat lain yang mauqûf tidak
digunakan ungkapan tersebut. Kondisi seperti ini dinilai menunjukkan
tidak adanya kepastian dalam matan pada kedua periwayâtan di atas.
Selanjutnya, hadîts yang bersumber dari Abû Hurairah yang
ditakhrîj oleh Thabrânî dan Baihaqî yang terdapat pada bagian kedua,
dan yang bersumber dari al-Barâ’ Ibn `Âzib yang ditakhrîj oleh al-
Dailamî yang terdapat pada bagian ketiga—keduanya dinilai oleh al-
Suyûthî lemah sanadnya.170 Demikian pula halnya, hadîts yang
besumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh Ibn Sunnî yang terdapat
pada bagian empat dinilai oleh Ibn Hajar lemah sanadnya.171
Atas dasar penilaian tersebut di atas, secara tegas dapat
dikemukakan, bahwa keseluruhan mengenai periwayâtan yang
berkenaan dengan keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini
dinilai kurang dapat dipertanggungjawabkan kesahannya, dan juga
tidak dapat dipedomani sebagai hujjah yang maqbûl untuk diamalkan.

Keistimewaan Kesembilan
Di antara keistimewaan-keistimewaan lain bagi surat al-Ikhlâs
yang paling populer di kalangan para ulama, baik mufassirîn,
muhadditsîn, fuqahâ’ maupun mutakallimîn (kaum teolog)—yakni
bahwa surat al-Ikhlâs mengandung nilai yang sama dengan sepertiga
al-Qur’ân. Mengenai hal ini sebagaimana ditegaskan dalam beberapa
riwâyat berikut:
(1) bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang ditakhrîj oleh Ibn Mâjah, 172
yaitu:
ّ‫ل اللهن صللى‬
‫سوُن أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ك رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫عع ع‬
‫ل عر أ‬ ‫ماَل ن ب‬
‫ن ع‬ ‫ن‬ ‫س بن‬
‫ن‬ ‫ن أن ع‬
‫ن‬
0‫ن‬ ‫ن‬ ‫أ‬
‫ل ث أل ع‬‫حد د{ ت ععند ن أ‬ ‫ع‬ ‫الله عليه وسلمّ }قأ ن‬
‫ل‬
‫قنرآ ن‬‫ث ال أ‬ ‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
“qul huwallâhu ahad” mengandung nilai yang setara dengan
sepertiga al-Qur’ân”.

(2) bersumber dari Mu`âdz Ibn Jabal (w. 18 H) yang ditakhrîj oleh
Thabrânî,173 yaitu:

169
Periksa al-Shan`ânî, op.cit., Jilid II, hal. 38.
170
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 676 dan 678.
171
al-Shiddîqî, op.cit., Jilid IV, hal. 232.
172
Ibn Mâjah (II/426) dengan transmisi Anas Ibn Mâlik, Qatâdah, Jarîr Ibn Hâzim, Yazîd Ibn
Hârûn, dan al-Hasan Ibn `Alî.
173
Dikutip dalam al-Suyûthî, al-Dar … op.cit., Jilid VIII, hal. 677.
47
ّ‫ل اللهن صععللى‬‫سوُن أ‬ ‫ل عر أ‬‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ل رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫جب ع ب‬
‫ن ع‬
‫مععاَذ ن ب ن ن‬
‫ن أ‬
‫عع ن‬
0‫ن‬ ‫ث ال ن أ‬
‫ل ث أل أ ع‬
‫حد د{ ت ععند ن أ‬ ‫ع‬ ‫الله عليه وسللمّ }قأ ن‬
‫قنرآ ن‬ ‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari Mu`âdz Ibn Jabal (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
“qul huwallâhu ahad” mengandung nilai yang setara dengan
sepertiga al-Qur’ân”.

(3) bersumber dari Abû Hurairah yang ditakhrîj oleh Tirmidzî dan Ibn
Mâjah,174 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫سععوُن أ‬
‫ل عر أ‬‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬‫ن أ عنبي هأعري نعرة ع رضي الله عنه عقاَ ع‬
‫عع ن‬
0‫ن‬ ‫ن‬ ‫أ‬
‫ل ث أل ع‬‫حد د{ ت ععند ن أ‬ ‫ع‬ ‫الله عليه وسلمّ }قأ ن‬
‫ل‬
‫قنرآ ن‬‫ث ال أ‬ ‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: “qul
huwallâhu ahad” mengandung nilai yang setara dengan
sepertiga al-Qur’ân”.

(4) bersumber dari Abû Mas`ûd al-Anshârî yang ditakhrîj oleh Ahmad
dan Ibn Mâjah,175 yaitu:
‫ع‬ ‫عع ع‬
‫سععوُن أ‬
‫ل‬ ‫ل عر أ‬ ‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬
‫صاَرنيي رضي الله عنه قعععاَ ع‬ ‫سعأوُند ب ا نلن ن ع‬
‫م ن‬
‫ن أنبي ع‬ ‫ن‬
‫ث‬ ‫أ‬
‫ل ث ألعع ع‬
‫حعد د{ ت عنععد ن أ‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫اللهن صلىّ اللععه عليععه وسععلمّ }ق ن‬
‫هأ ع‬ ‫هعوُع اللعع أ‬
‫ل أ‬
0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ال ن أ‬
“Dari Abû Mas`ûd al-Anshârî (r.a) berkata: Rasûlullâh saw
bersabda: “qul huwallâhu ahad” mengandung nilai yang setara
dengan sepertiga al-Qur’ân”.

(5) bersumber dari Ummu Kultsûm Binti `Uqbah (w. 94 H) yang ditakhrîj
oleh Ahmad,176 yaitu:
‫عع أ‬
‫سععوُن أ‬
‫ل‬ ‫ل عر أ‬ ‫ة رضي الله عنهاَ قعععاَل ع ن‬
‫ قعععاَ ع‬: ‫ت‬ ‫قب ع ع‬ ‫م ك أل نث أوُنم ن ب نن ن ن‬
‫ت عأ ن‬ ‫نأ ي‬‫ن‬
‫ث‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬
‫حعد د{ ت عنععد نل ثلعع ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫هأ ع‬ ‫هعوُع اللعع أ‬
‫اللهن صلىّ اللععه عليععه وسععلمّ }قل أ‬
0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ال ن أ‬
“Dari Ummu Kultsûm Binti `Uqbah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw
bersabda: “qul huwallâhu ahad” mengandung nilai yang setara
dengan sepertiga al-Qur’ân”.

(6) bersumber dari Abû Ayyûb (w. 52 H) yang ditakhrîj oleh Nasâ’î, 177
yaitu:
‫ي صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫ع‬ ‫ن عأب‬
‫ن الن نب نعع ي‬ ‫ ع ع ن‬،‫عنه‬ ‫ب رضي الله‬ ‫ي أي ّوُن ن‬‫ن‬ ‫عع ن‬
0‫ن‬ ‫ث ال ن أ‬ ‫حد د{ ث أل أ أ‬ ‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫ل‬ ‫وسللمّ عقاَ ع‬
‫قنرآ ن‬ ‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬

174
Tirmidzî (IV/411-412) dan Ibn Mâjah (II/425) dengan transmisi Abû Hurairah, Bapaknya
(Abû Shâlih), Suhail Ibn Abû Shâlih, Sulaiman Ibn Bilâl, dan Khâlid Ibn Makhlad.
175
Ahmad (IV/122) dan Ibn Mâjah (II/426) dengan transmisi Abû Mas`ûd al-Anshârî, `Amr
Ibn Maimûn, Abû Qais al-Audiyyû, Sufyân, dan Wakî`;redaksi hadîts di atas menurut
Ahmad.
176
Ahmad (VI/403-404) dengan transmisi Ummu Kultsûm Binti `Uqbah, Humaid Ibn
`Abdur-Rahmân, al-Zuhrî, Muhamad Ibn Manshûr Akhî al-Zuhrî, dan Umayyah Ibn Khâlid.
177
Nasâ’î (II/184) dengan transmisi Abû Ayyûb, Imra`ah Abû Ayyûb, `Abdur-Rahmân Ibn
Abû Lailâ, `Amr Ibn Maimûn, Rabî` Ibn Khuts`am, Hilâl Ibn Yasâf, Manshûr, Zâidah Ibn
Qudâmah, dan `Abdur-Rahmân Ibn Mahdî.
48
“Dari Abû Ayyûb (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda: “qul
huwallâhu ahad” mengandung nilai yang setara dengan
sepertiga al-Qur’ân”.

Keistimewaan surat al-Ikhlâs sebagai salah satu surat yang


mengandung nilai setara dengan sepertiga al-Qur’ân, menurut
sebagian para ahli—hal ini disebabkan karena di dalamnya terdapat
ungkapan term (kata) “al-Shamad. Dan ungkapan tersebut hanya ada
dan termuat dalam surat al-Ikhlâs saja, dan tidak terdapat dalam surat-
surat yang lain.178
Sehubungan dengan pengertian bahwa surat al-Ikhlâs
merupakan salah satu surat yang mengandung nilai setara dengan
sepertiga al-Qur’ân, para ahli memiliki beragam penafsîran yang
berkembang sampai berkisar dua pendapat, yaitu:
Pertama, sebagian para ahli berpendirian, bahwa pengertian
sepertiga al-Qur’ân—ini tiada lain dimaksudkan ditilik dari sudut
ganjaran membacanya. Artinya, bagi siapapun yang membacanya akan
memperoleh ganjaran seperti halnya membaca sepertiga al-Qur’ân.179
Di antara dasar dalil yang menjadi referensi dari pendiriannya tersebut
—ini sebagaimana ditegaskan pada beberapa riwâyat berikut:
(1)bersumber dari Abû Sa`îd al-Khudrî (w. 86 H) yang ditakhrîj oleh
Ahmad, Bukhârî, Muslim, Nasâ’î, Abû Dâwud, dan Baihaqî,180 yaitu:
‫جل ئ‬ ‫ع‬ ‫سنعيد ب ال ن أ‬ ‫عع ع‬
‫معع عر أ‬ ‫س ن‬ ‫جل ئ ع‬ ‫ن عر أ‬ ‫ أ ن‬،‫خد نرنيي رضععي اللععه عنععه‬ ‫ن أنبي ع‬ ‫ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫أ‬
ّ‫جعاَعء إ نلعى‬ ‫ح ع‬ ‫صعب ع ع‬‫مععاَ أ ن‬ ‫هعاَ فعل ن‬ ‫حعد د{ ي أعرد يد أ ع‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأععوُع اللع أ‬ ‫} أقع ن‬: ‫قعرأ‬ ‫يع ن‬
‫ل‬‫جعع ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ل اللهن صلىّ الله عليه وسلمّ فعذ عكعر ذ عل ن ع‬
‫ل‬ ‫ل‬
‫ن النر أ‬ ‫ه وعكععأ ن‬ ‫ك لعع أ‬ ‫سوُ ن‬ ‫عر أ‬
‫سععي‬ ‫ف ن‬ ‫ذي ن ع ن‬ ‫ل اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ عوال ن ن‬ ‫سوُ أ‬ ‫ل عر أ‬ ‫قاَ ع‬‫فع ع‬0 َ‫قاَل ّعها‬ ‫ي عت ع ع‬
‫ وعنفي رنعواي عةب لحمد والبخععاَريل‬0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ث ال ن أ‬ ‫ل ث أل أ ع‬ ‫ب ني عد نهن إ نن نعهاَ ل عت ععند ن أ‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ظ‬ ‫ب نل ع ن‬
‫جععأز‬‫حاَب نهن أي ععن ن‬ ‫صعع ع‬ ‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ نل ن‬ ّ ‫ل الن نب ن‬ ‫ف ب‬
0ّ‫م‬‫ك ع عل عي ننهع ن‬ ‫شعقن ذ عل نعع ع‬ ‫ فع ع‬0‫ن نفي ل عي نل عةب‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ث ال ن أ‬ ‫قعرأ ع ث أل أ ع‬ ‫ن يع ن‬ ‫أ عحدك أ ع‬
‫مّ أ ن‬ ‫ع أ ن‬
‫ن‬ ‫ع‬
‫حععد أ‬ ‫وُا ن‬ ‫ه ال ع‬ ‫ل }اللعع أ‬ ‫قاَ ع‬‫ فع ع‬0‫ل اللهن‬ ‫سوُ ع‬ ‫ع‬
‫طيقأ ذ عل نك عياَ عر أ‬ ‫ أي ّعناَ ي أ ن‬:‫وُا‬ ‫وععقاَل أ ن‬
0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ث ال ن أ‬ ‫د{ ث أل أ أ‬ ‫م أ‬ ‫ص ع‬ ‫ال ن‬
“Dari Abû Sa`îd al-Khudrî (r.a), seseorang lelaki telah
mendengar seseorang membaca: “qul huwallâhu ahad” secara
berulang-ulang. Maka tatkala pada keesokan harinya ia
(seseorang lelaki yang telah mendengar tersebut) datang
kepada Rasûlullâh saw, dan melaporkan tentang hal tersebut
kepadanya, seakan-akan orang itu tidak merasa cukup
membacanya (surat al-Ikhlâs). Maka Rasûlullâh saw bersabda:
Demi Dzat yang menggenggam jiwaku (demi Allah),
sesungguhnya dia itu (surat al-Ikhlâs) setara dengan sepertiga

178
al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 247.
179
Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 75
180
Mâlik (128), Ahmad (III/23, 43), Bukhârî (III/242 dan IV/170 &173), Nasâ’î (II/183), Abû
Dâwud (II/501), dan Baihaqî (I/272) dengan transmisi Abû Sa`îd al-Khudrî, Bapaknya,
`Abdur-Rahmân Ibn `Abdullâh Ibn `Abdur-Rahmân Ibn Sha`sha`ah, dan Mâlik.
49
al-Qur’ân”. Dalam riwâyat lain bagi [Ahmad dan Bukhârî]181
dengan redaksi: “Nabi saw bersabda kepada para
shahâbatnya: apakah salah seorang di antara kalian merasa
sulit untuk membaca sepertiga al-Qur’ân dalam satu malam?.
Maka (seolah-olah) beliau menyulitkan tentang hal tersebut
kepada mereka. Dan mereka berkata: mana mampu kami
melakukan hal tersebut wahai Rasûlullâh saw. Maka beliau
bersabda: “Allâhu’l wâhid al-Shamad” merupakan sepertiga al-
Qur’ân”.

(2)bersumber dari Qatâdah Ibn al-Nu`mân (w. 23 H) yang ditakhrîj oleh


Bukhârî,182 yaitu:
‫ل عقاَمع فنععي زعمعععنن‬ ‫ج ئ‬‫ن رع أ‬‫ عأ ن‬،‫اَن رضي الله عنه‬ ‫م ع‬ ‫ن النّنع ع‬
‫ة نب ن‬ ‫ن عقعتاَدع ع‬ ‫عع ن‬
{‫حععد د‬ ‫ع‬ ‫ }قأعع ن‬: ‫رعأ‬ ‫ي صععللىّ اللععه عليععه وسععللمّ عفقععع ع‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫الننبنعع ي‬
‫وُلع‬‫س ن‬
‫ر عر أ‬ ‫خعب ع‬
‫حعناَ عأ ن‬
‫صبع ن‬
‫ماَ عأ ن‬ ‫ عفعل ن‬،َ‫ععلينعها‬
‫د ع‬‫زني أ‬
‫ل عي ن‬
‫هاَ ع‬
‫ريدأد ع‬
‫ أي ع‬،َ‫ة كأنلعها‬‫السوُنعر ع‬
ّ
.‫آن‬‫ر ن‬ ‫ق ن‬‫ل أثألثع الن أ‬ ‫د أ‬‫ إنننعهاَ علتعنع ن‬: ‫اَل‬
‫ق ع‬ ‫اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ عف ع‬
“Dari Qatâdah Ibn al-Nu`mân (r.a), bahwasanya seseorang
pada zaman Nabi saw telah membaca: “qul huwallâhu ahad
sampai akhir ayat” secara berulang-ulang, dan tidak
menambah darinya. Maka tatkala menjelang waktu pagi ia
memberitakannya kepada Rasûlullâh saw, maka beliau
bersabda: sesungguhnya dia itu (surat al-Ikhlâs) sepertiga al-
Qur’ân”.

(3)bersumber dari Abû Hurairah yang ditakhrîj oleh Muslim, Tirmidzî


dan Abû Ya`lâ,183 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫سععوُ أ‬‫ل عر أ‬ ‫ن أ عنبي هأعري نعرة ع رضي الله عنه عقاَ ع‬
‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫عع ن‬
‫ث ال ن أ‬ ‫أ‬ ‫ع‬
‫ن‬ ‫قععنرآ ن‬ ‫مّ ث أل أعع ع‬
‫سععأقنعرأ ع عل عي نك أعع ن‬ ‫دوا فعععإ نيني ع‬ ‫ش أ‬‫ح أ‬ ‫الله عليه وسللمّ ا ن‬
‫قرأ ع‬
‫ي اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ فع ع ع‬ ّ ‫ج ن عب ن‬
‫خعر ع‬ ‫شد ع ث أ ن‬
‫مّ ع‬ ‫ح ع‬
‫ن ع‬
‫م ن‬ ‫ح ع‬
‫شد ع ع‬ ‫فع ع‬
‫ فع ع‬0‫ل‬ ‫ل هأوُ الل ع‬
‫ض إ نن يععي‬ ‫ضعععناَ ل نب ععنعع ب‬ ‫ ب ععن أ‬: ‫ل‬ ‫قععاَ ع‬ ‫خع ع‬ ‫مّ د ع ع‬ ‫حد د{ ث أ ن‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ }قأ ن ع‬:
‫ع‬ ‫أ أعرىَ هع ع‬
‫ج‬‫خعععر ع‬ ‫مّ ع‬ ‫ ث أ ن‬0‫ه‬‫خل ع أ‬‫ذي أد ن ع‬ ‫كَ ال ن ن‬
‫ذا ع‬ ‫ماَنء فع ع‬ ‫س ع‬‫ن ال ن‬ ‫ع‬ ‫م‬
‫جاَعءه أ ن‬ ‫خب عدر ع‬ ‫ذا ع‬
‫كععمّ سععأ عقنرأ أ‬
‫ع‬ ‫ت لع أ ن ع‬ ‫ إ نيني قأل ن أ‬: ‫ل‬ ‫قاَ ع‬‫ي اللهن صللىّ الله عليه وسللمّ فع ع‬ ّ ‫ن عب ن‬
‫ث ال ن أ‬ ‫ل ث أل أ ع‬ ‫ع‬ ‫ث ال ن أ‬ ‫مّ ث أل أ ع‬
‫ وعنفي رنعواي عةب‬0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ن أل ع إ نن نعهاَ ت ععند ن أ‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ع عل عي نك أ ن‬
ّ‫ل اللهن صللىّ الله عليه وسععللم‬ ‫سوُ أ‬ ‫ج إ نل عي نعناَ عر أ‬ ‫خعر ع‬ ‫ ع‬:‫ظ‬ ‫ف ب‬ ‫للمسلمّ ب نل ع ن‬
‫ل هأوُ اللعع ع‬ ‫قرآن فع ع ع‬ ‫قاَ ع ع أ‬
* ‫حععد د‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫}قأ ن ع‬: ‫قعرأ‬ ‫ث ال ن أ ن ن‬ ‫مّ ث أل أ ع‬‫ أقنعرأ ع عل عي نك أ ن‬: ‫ل‬ ‫فع ع‬
0 َ‫معها‬ ‫خت ع ع‬ ‫حنتىّ ع‬ ‫د{ ع‬ ‫م أ‬ ‫ص ع‬‫ه ال ن‬ ‫الل أ‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
berkumpullah kamu sekalian, karena aku akan membacakan
untuk kalian sepertiga al-Qur’ân. Maka orang-orang
berbondong-bondong untuk berkumpul. Kemudian Nabiyullâh
181
Ahmad (III/8), Bukhârî (III/242) dan Abû Ya`lâ (I/254, 382) dengan transmisi Abû Sa`îd al-
Khudrî, al-Dhahâk al-Masyriqî, Ibrâhîm, dan al-A`masy.
182
Bukhârî (III/242) dengan transmisi Qatâdah Ibn al-Nu`mân, Abû Sa`îd al-Khudrî,
bapaknya, `Abdur-Rahmân Ibn `Abdullâh Ibn `Abdur-Rahmân Ibn Sha`sha`ah, Mâlik Ibn
Anas, dan Ismâ`îl Ibn Ja`far.
183
Muslim (I/200), Tirmidzî (IV/242) dan Abû Ya`lâ (IV/476) dengan transmisi Abû Hurairah,
Abû Hâzim, Yazîd Ibn Kaisân, dan Yahyâ Ibn Sa`îd.
50
saw keluar seraya membaca: “qul huwallâhu ahad”. Kemudian
beliaupun masuk kembali. Maka sebagian kami berkata kepada
sebagian yang lain: sesungguhnya aku diperlihatkan berita ini
telah datang dari langit, maka oleh sebab itu beliau masuk
kembali. Selanjutnya beliau keluar kembali, dan bersabda:
sesungguhnya aku ingin mengatakan kepada kamu sekalian,
(bahwa) aku akan membaca untuk kamu sekalian sepertiga al-
Qur’ân. Ingatlah sesungguhnya dia itu (surat al-Ikhlâs)
sepertiga al-Qur’ân”. Dalam riwâyat lain bagi [Muslim] 184
dengan redaksi: “Rasûlullâh saw telah keluar menemui kami,
maka beliau bersabda: aku akan membaca untuk kamu
sekalian sepertiga al-Qur’ân, maka beliau membaca: (qul
huwallâhu ahad – Allâhu al-Shamad”) hingga selesai”.

(4)bersumber dari Abû Mas`ûd al-Anshârî yang ditakhrîj oleh Ahmad,185


yaitu:
‫ع‬ ‫عع ع‬
ّ‫ي صععللى‬‫ن الن نب نعع ي‬‫ ع ع ع ن‬،‫اللععه عنععه‬ ‫صاَرنيي رضي‬ ‫سعأوُند ب ا نلن ن ع‬ ‫م ن‬
‫ن أنبي ع‬
‫ن‬
‫ن فنععي‬ ‫رآ‬‫أ‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ث‬
‫ع‬ ‫أ‬ ‫ل‬‫أ‬ ‫ث‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫ق‬‫ي‬ ‫ن‬‫ع‬ ‫أ‬ ّ‫م‬‫أ‬ ‫ك‬‫د‬‫ح‬‫ع‬ ‫أ‬ ‫ز‬ ‫ج‬ ‫ع‬‫ي‬ ‫ع‬ ‫أ‬ : ‫ع‬
‫ل‬ ‫ع‬
َ‫قا‬ ‫ل‬
‫ن ن‬ ‫عن ن أ ع أ ن ن ع ع‬ ّ‫لم‬ ‫وس‬ ‫عليه‬ ‫الله‬
0{‫د‬
‫م أ‬
‫ص ع‬
‫حد أ ال ن‬ ‫ه ال ن ع‬
‫وُا ن‬ ‫} الل أ‬: ‫ل عي نل عةب‬
“Dari Abû Mas`ûd al-Anshârî, dari Nabi saw bersabda: apakah
salah seorang di antara kalian merasa sulit untuk membaca
sepertiga al-Qur’ân dalam satu malam: (“Allâhu’l wâhid al-
Shamad”)”.

(5)bersumber dari Abû al-Dardâ’ (w. 32 H) yang ditakhrîj oleh Ahmad


dan Muslim,186 yaitu:
ّ‫ي صللىّ الله عليه وسللم‬ ‫عع ع‬
‫ن الن نب ن ي‬
‫ ع ع ن‬،‫داءن رضي الله عنه‬
‫ن أنبي الد ننر ع‬
‫ن‬
: ‫ قعععاَألوُا‬0‫ن‬ ‫قععنرآ ن‬ ‫قعرأ ع نفي ل عي نل عةب ث أل أ ع‬
‫ث ال ن أ‬ ‫ن يع ن‬ ‫ أ عيعجز أ عحدك أ ع‬: ‫ل‬
‫مّ أ ن‬
‫عن ن أ ع أ ن‬ ‫عقاَ ع‬
‫حععد د{ ت ععنععد ن أ‬
‫ل‬ ‫ع‬ ‫} قأ ن‬: ‫ل‬ ‫ عقاَ ع‬0‫ن‬ ‫ث ال ن أ‬ ‫ن‬
‫قعرأ ث أل أ ع‬ ‫وعك عي ن ع‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع اللعع أ‬ ‫قنرآ ن‬ ‫ف يع ن‬
0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬‫ث ال ن أ‬‫ث أل أ ع‬
“Dari Abû al-Dardâ’ (r.a), dari Nabi saw bersabda: apakah salah
seorang di antara kalian merasa sulit untuk membaca
sepertiga al-Qur’ân dalam satu malam. Mereka bertanya:
bagaimanakah membaca al-Qur’ân (sehingga mencapai)
sepertiga al-Qur’ân?. “qul huwallâhu ahad” sepertiga al-
Qur’ân”.
(6)bersumber dari Abû Ayyûb yang ditakhrîj oleh Ahmad dan
Tirmidzî,187 yaitu:

184
Muslim (I/200) dengan transmisi Abû Hurairah, Abû Hâzim, Basyîr Abû Ismâ`îl,
Muhamad Ibn Fudhail, dan Wâshil Ibn `Abdu’l A`lâ.
185
Ahmad (IV/122) dengan transmisi Abû Mas`ûd al-Anshârî, `Amr Ibn Maimûn, Abû Qais
al-Audî, Sufyân, dan Wakî`.
186
Ahmad (V/195) dan Muslim (I/199) dengan transmisi Abû al-Dardâ’, Ma`dân Ibn Abû
Thalhah, Sâlim Ibn Abû al-Ja`d, Qatâdah, Syu`bah, dan Yahyâ Ibn Sa`îd.
187
Ahmad (IV/419) dan Tirmidzî (IV/410) dengan transmisi Abû Ayyûb, Imra`ah Abû Ayyûb,
`Abdur-Rahmân Ibn Abû Lailâ, `Amr Ibn Maimûn, Rabî` Ibn Khuts`am, Hilâl Ibn Yasâf,
Manshûr, Zâidah Ibn Qudâmah, dan `Abdur-Rahmân Ibn Mahdî.
51
‫ل اللهن صللىّ اللععه‬ ‫سوُ أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ب رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ع‬ ‫عع ع‬
‫ل عر أ‬ ‫ن أنبي أي ّوُن ع‬
‫ن‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫معع ن‬
‫ ع‬0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬
‫ث ال أ‬‫قعرأ نفي لي نلةب ثل ع‬ ‫ن يع ن‬
‫مّ أ ن‬
‫حد أك ن‬
‫جأز أ ع‬
‫عليه وسلمّ أي ععن ن‬
0‫ن‬
‫قنرآ ن‬ ‫قد ن قععرأ ع ث أل أ ع‬
‫ث ال ن أ‬ ‫د{ فع ع‬
‫م أ‬
‫ص ع‬
‫حد أ ال ن‬ ‫ه ال ن ع‬
‫وُا ن‬ ‫ع‬
‫} الل أ‬: ‫قععرأ‬
“Dari Abû Ayyûb (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
apakah salah seorang di antara kalian merasa sulit untuk
membaca sepertiga al-Qur’ân dalam satu malam. Siapa saja
yang membaca: “Allâhu’l wâhid al-Shamad” sesungguhnya ia
telah membaca sepertiga al-Qur’ân”.

(7)bersumber dari Ubay Ibn Ka`ab yang ditakhrîj oleh Ahmad,188 yaitu:
‫عع أ‬
ّ‫ل اللهن صعععللى‬ ‫سوُ أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬
‫ل عر أ‬ ‫ب رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ب‬ ‫ي نبنن ك ععن‬
‫ي‬ ‫ن أب ع‬
‫ن‬
‫ل هأوُ الله أ عحد { فعك عأ عنماَ عقععرأ ع‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ق‬ } ‫بعععع‬ : ‫الله عليه وسللمّ من قعرأ ع‬
‫ع‬ ‫ن ع‬ ‫أ ع د‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع ن ع‬
0‫ن‬ ‫ث ال ن أ‬
‫قنرآ ن‬ ‫ث أل أ ع‬
“Dari Ubay Ibn Ka`ab (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
siapa saja yang membaca: “qul huwallâhu ahad”, maka seolah-
olah ia membaca sepertiga al-Qur’ân”.

Kedua, sebagian para ahli yang lain berpendapat, bahwa


pengertian sepertiga al-Qur’ân—ini dimaksudkan dari segi kandungan
dilâlah maknanya. Dasar dalil yang menjadi rujukan dari pandangannya
tersebut—ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang bersumber
dari Abû al-Dardâ’ yang ditakhrîj oleh Ahmad, Muslim, dan Dârimî,189
yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫سععوُ أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬ ‫داءن رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫عع ع‬
‫ل عر أ‬ ‫ن أنبي الد ننر ع‬
‫ن‬
0‫ن‬ ‫رآ‬‫أ‬ ‫ق‬‫ن‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ث‬
‫ع‬ ‫أ‬ ‫ل‬‫أ‬ ‫ث‬ ‫ة‬‫ع‬ ‫ل‬ ‫ي‬‫ع‬ ‫ل‬ ‫في‬ ‫ع‬ ‫أ‬‫ر‬ ‫ن‬ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ّ‫م‬‫أ‬ ‫ك‬‫د‬ ‫ح‬‫ع‬ ‫أ‬ ‫ز‬ ‫ج‬ ‫ع‬‫ي‬‫ع‬ ‫أ‬ ‫ل‬
‫ن ن‬ ‫ن ب‬ ‫عن ن أ ع أ ن ن ع ع ن‬ ّ‫لم‬ ‫وس‬ ‫عليه‬ ‫الله‬
‫ إن اللععه جععزأ ع‬: ‫ل‬ ‫ فع ع‬0 ‫ك‬ ‫ن ذ عل ن ع‬ ‫ع‬ ‫ نح ع‬: ‫عقاَألوُا‬
‫ع ع ن‬ ‫قععاَ ع ن ن‬ ‫م ن‬ ‫ف ن‬ ‫ضعع أ‬ ‫جأز وعأ ن‬ ‫ن أع ن ع‬ ‫ع ن أ‬
‫ن‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ل }ق أ ن‬ ‫ع‬ ‫ن ث عل عث ع ع‬ ‫ال ن أ‬
0‫ن‬ ‫قععنرآ ن‬‫ث ال أ‬‫حد د{ ث أل ع‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫جعع ع‬ ‫جعزابء فع ع‬ ‫ةأ ن‬ ‫قنرآ ع‬
‫قرآن ث عل عث ع ع ع‬ ‫ع‬
‫ل‬‫جعععع ع‬‫جعععزابء فع ع‬‫ةأ ن‬ ‫جنزأ ال ن أ ن ع‬ ‫ه ع‬ ‫ن الل ع‬ ‫ إن ن‬: ‫ظ‬‫ف ب‬ ‫وع نفي رنعواي عةب ب نل ع ن‬
‫جعزانء ال ن أ‬ ‫ع‬ ‫ل هأوُ الل ع‬
0‫ن‬ ‫قنرآ ن‬ ‫نأ ن‬ ‫م ن‬ ‫جنزئءا ن‬ ‫حد د{ أ‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫} قأ ن ع‬
“Dari Abû al-Dardâ (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
apakah salah seorang di antara kalian merasa sulit untuk
membaca sepertiga al-Qur’ân dalam satu malam. Mereka
menjawab: keadaan kami tidak merasa mampu dan lemah
untuk melakukan hal itu. Beliau bersabda: sesungguhnya Allah
telah membagi al-Qur’ân menjadi tiga bagian, maka Dia
menjadikan “qul huwallâhu ahad” sepertiga al-Qur’ân”. Dalam
riwâyat lain dengan redaksi: “sesungguhnya Allah telah
membagi al-Qur’ân menjadi tiga bagian, maka Dia menjadikan
“qul huwallâhu ahad” sebagai satu bagian di antara bagian-
bagian dari al-Qur’ân”.

Dalam komentarnya, sebagian para ulama mengemukakan,


bahwa secara garis besar al-Qur’ân ditilik dari segi kandungan dilâlah
188
Ahmad (V/141) dengan transmisi Ubay Ibn Ka`ab, `Abdur-Rahmân Ibn Abû Lailâ, Hilâl
Ibn Yasâf, Hishain, dan Husyaim.
189
Ahmad (VI/433), Muslim (I/199) dan Dârimî (II/460) dengan transmisi Abû al-Dardâ’,
Ma`dân Ibn Abû Thalhah, Sâlim Ibn Abû al-Ja`d, dan Qatâdah.
52
maknanya terdiri dari tiga bagian pokok yang menyangkut: (1) hukum-
hukum; (2) berita-berita mengenai umat sebelumnya; dan (3)
ketauhîdan. Dan surat al-Ikhlâs mengandung nilai setara dengan
sepertiga al-Qur’ân, dimaksudkan karena di dalamnya terkandung
makna al-Qur’ân; terutama berkenaan dengan ketauhîdan.190
Selanjutnya, sebagian para ulama lain memberikan komentar,
bahwa al-Qur’ân pada dasarnya berisi mengenai khabar (informasi,
berita), dan sesuatu hal yang berkaitan dengan perintah dan larangan.
Maka dalam hal ini penyetaraan surat al-Ikhlâs dengan sepertiga al-
Qur’ân dimaksudkan, bahwa surat al-Ikhlâs mengandung khabar;
terutama yang berkenaan dengan berita dari Khâliq terhadap
makhluknya yang berisi untuk memurnikan dan membersihkan dari
segala sifat kekurangan.191
Senada dengan kedua pandangan di atas, sebagian para ahli
yang lain menuturkan, bahwa al-Qur’ân terdiri dari tiga ilmu, yakni: (1)
ilmu tauhîd; (2) ilmu syarî`ah; dan (2) ilmu mengenai penataan akhlâq.
Dan surat al-Ikhlâs mengandung nilai yang setara dengan sepertiga al-
Qur`an dimaksudkan bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai ilmu
tauhîd.192
Dengan demikian secara tegas dapat dipahami, bahwa
keistimewaan surat al-Ikhlâs mengandung nilai yang setara dengan
sepertiga al-Qur’ân ditilik dari segi kandungan dilâlah maknanya
dimaksudkan, bahwa surat al-Ikhlâs merupakan suatu surat yang berisi
satu bagian di antara bagian-bagian al-Qur’ân; terutama berkenaan
dengan ketauhîdan kepada Allah.
Dengan mencermati uraian di atas secara nampak para ahli
bersilang pendapat. Namun demikian secara substansial penulis lebih
cenderung memahami keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini
dengan cara mengkompromikan keduanya. Yakni, keistimewaan surat
al-Ikhlâs bagi mereka yang membacanya akan memperoleh ganjaran
seperti orang yang membaca sepertiga al-Qur’ân, hal ini secara hakikat
disebabkan karena di dalamnya terkandung makna ketauhîdan. Dan
ganjaran tersebut akan diperoleh bagi mereka yang membacanya—
dengan catatan apabila dibarengi dengan memahami secara kritis
(mendalam) dan mampu mengekspresikan serta merealisasikan nilai-
nilai ketauhîdan yang terkandung di dalam surat al-Ikhlâs tersebut.
Berdasarkan uraian singkat secara tegas dapat dikemukakan,
bahwa keistimewaan surat al-Ikhlâs dalam konteks ini dinilai dapat
dipertanggungjawabkan kesahan dari sisi periwayâtannya dan juga
dapat dijadikan hujjah yang kuat. []

190
Ibn Hajar, loc.cit. Dan periksa pula al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid IV, hal. 424.
191
idem. Dan periksa pula al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid IV, hal. 424.
192
Muslim (IV/16) dalam Hâsyiyah.
53
BAB III
Kandungan Makna
Surat al-Ikhlâs Secara Ijmâlî

Sesuai dengan sifat penamaan dan keistimewaannya, surat al-


Ikhlâs ditilik dari segi kandungan dilâlah maknanya merupakan salah
satu surat yang memiliki nilai yang setara dengan sepertiga al-Qur’ân;
terutama berkenaan dengan ketauhîdan. Karena di dalamnya
terkandung pilar-pilar (arkân) pokok dari risâlah Dînu’l islâm yang
dibawa oleh Nabi saw tentang ke-Esaan Allah dan ke-Maha Sucian-Nya
sebagai tolok ukur yang sangat mendasar dalam keyakinan ber`aqîdah
dan beribadah,193 dan juga terkandung sifat Allah, kesempurnaan-Nya,
dan keagungan-Nya untuk menegasikan dari segala sifat kekurangan
dan kelemahan yang tidak ada sekutu dan setara bagi-Nya.194
Menurut al-Nasafî, bahwa surat al-Ikhlâs dapat dijadikan sebagai
salah satu dasar dalil dari adanya “ilmu tauhîd”, 195 dan sekaligus
menunjukkan mulianya kedudukan ilmu tersebut sebagai bagian dari
ilmu-ilmu dalam islâm.196 Karena di dalamnya mengkaji persoalan
mengenai keberadaan Dzat, sifat, af`âl dan asmâ’ Allah untuk jadikan
193
al-Marâghî, op.cit., Jilid X, hal. 264.
194
al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, Makkah al-Mukarramah,
1999, Jilid III, hal. 620.
195
Dalam telaah morfologis, istilah ilmu tauhîd merupakan bentuk kata majemuk (idhâfat)
—yang terdiri dari “ilmu” dan “tauhîd”. Ditilik dari segi bentuknya, kata ilmu merupakan
mashdar (verbal noun) dari kata kerja tsulâti’l mujarrad “`alima-ya`lamu” yang berarti
“pengetahuan atau memahami tentang sesuatu”. Sedangkan kata tauhîd merupakan
bentuk mashdar dari verba tsulâti’l mazîd “wahhada-yuwahhidu” yang berarti
“menyatukan atau menjadikan sesuatu itu satu”.
Menurut al-Jurjânî, tauhîd secara etimologi—adalah “al-Hukm bi anna al-Syai’a wâhid wa al-
Ilm bi anna al-Syai’a wâhid” [menetapkan bahwa sesungguhnya sesuatu itu satu dan
mengetahui bahwa sesungguhnya sesuatu itu satu]. Dari sudut terminologi, para ahli
hakikat merumuskan tauhîd—adalah “tajrîd al-Dzât al-Ilâhiyyah min kulli mâ yatashawwaru
fî al-Afhâm wa yatakhayyalu fî al-Ayhâm wa al-Adzhân” [memurnikan Dzat ilâhiyyah dari
segala hal yang tergambar dalam pemahaman (yang keliru), dan dari segala khayalan
yang ada dalam angan-angan dan akal pikiran“. (Periksa: al-Jurjânî, Kitâb al-Ta`rîfat, Dâr al-
Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut-Libanon, 1988, hal. 69).—Selanjutnya al-Jazâ’irî, merumuskan
tauhîd secara terminologi—adalah “nafy al-Kaf’ wa al-Mitsl `an Dzatillâh wa shifâtihi wa
af`âlih wa al-Nafy al-Syarîk fî Rubûbiyyatih wa `ibâdatih `Azza wa Jalla” [menegasikan
(menolak) kesetaraan dan bandingan terhadap Dzat Allah, sifat-Nya serta af`âl-Nya, dan
menegasikan persekutuan dalam ke-Rubûbiyyahan-Nya dan juga (menolak) persekutuan
dalam beribadah kepada Allah `Azza Wa Jalla“. (al-Jazâ’irî, `Aqîdah al-Mu’min, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1995, hal. 54).—Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut, ilmu tauhîd
secara sederhana dapat diformulasikan—sebagai pengetahuan untuk memahami tentang
bagaimana memurnikan Allah dan meng-Esakan-Nya—baik yang menyangkut Dzât, sifat,
af`âl, ke-Ulûhiyyahan maupun kekuasaan-Nya, dan menegasikan penyekutuan terhadap-
Nya dalam berbagai hal.
196
al-Nasafî, op.cit., Jilid VI, hal. 385.
54
dasar sebagai nilai kesahan dalam keislâman dan tetapnya keimânan
sehingga dapat memperoleh kema`rifatan kepada Allah, dan adanya
pengakuan yang penuh dengan keyakinan tentang keberadaan
Muhamad sebagai utusan Allah dan risalah yang dibawanya.197
Ketauhîdan yang terkandung dalam surat al-Ikhlâs secara umum
digambarkan dengan adanya penegasan kualitas sifat “jamâl”
(keagungan)198 dan “kammâl” (kesempurnaan)199 yang dimiliki oleh
Allah, serta sekaligus me-Maha sucikan dari segala kekurangan dan
kelemahan. Pada ayat pertama memberikan penegasan, bahwa Allah
memiliki sifat “wahdâniyyah” dan menafikan dari sifat “al-Ta`addud”
(berbilangan). Pada ayat kedua menetapkan dan menegaskan tentang
keberadaan sifat “kammâliyyah” Allah untuk menafikan dari segala
sifat kelemahan dan kekurangan. Dalam ayat ketiga memberikan
penegasan tentang sifat “azaliyyah” Allah—yakni bahwa keberadaan
Dia kekal adanya dengan tanpa permulaan, dan sekaligus menafikan
bahwa Dia tidak memiliki asal-usul atau silsilah keturunan, dan juga
tidak memiliki anak cucu. Dan pada ayat keempat memberikan
penegasan tentang sifat “jalâliyyah” (keagungan dan kemuliaan) 200
Allah untuk menafikan dari segala bentuk penyekutuan dan
penyetaraan terhadap-Nya.201
Sifat kammâl Allah yang termuat dalam surat al-Ikhlâs tergambar
pada dua nama di antara nama-nama-Nya, yaitu “al-Ahad” dan “al-
Shamad”. Dan keduanya hanya ada dalam surat al-Ikhlâs saja, dan
tidak terdapat dalam surat yang lain. Dalam kedua nama tersebut
terkandung semua kumpulan dari sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah
yang menunjukkan pada kualitas sifat “ahadiyyat al-Dzât” atau ke-
Esaan Dzat yang suci yang disifati dengan berbagai sifat-sifat
kesempurnaan.
al-Ahad sebagai salah satu nama Allah merupakan sifat yang
khusus yang melekat bagi keberadaan wujud Dzat yang tidak ada
sekutu bagi-Nya sedikit pun yang berbeda dengan yang lainnya.
Sedangkan al-Shamad merupakan nama Allah yang tercakup di
dalamnya berbagai kumpulan dari segala sifat kesempurnaan. Karena
197
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 288.
198
Sifat jamâl Allah secara sederhana dimaksudkan sebagai gambaran atau ungkapan
tentang sifat-sifat Dzat yang mulia dan nama-nama-Nya yang Indah. Dan sifat ini terbagi
menjadi dua jenis, yaitu: (1) sifat jamâl ma`nawî—dan dimaksudkan sebagai sifat-sifat dan
nama-nama bagi Dzat yang bersifat abstrak atau tidak berwujûd; dan jenis ini dikhususkan
bagi Dia, dan hanya diketahui oleh Dzat-Nya itu sendiri; dan (2) sifat jamâl shuwarî—dan
dimaksudkan sebagai sifat-sifat dan nama-nama bagi Dzat yang digambarkan melalui
ungkapan tertentu dan dapat diketahui oleh makhluknya; baik jenisnya maupun bagian-
bagiannya. (untuk lebih lanjut periksa al-Jailî, al-Insân al-Kâmil fî Ma`rifat al-Awâkhir wa al-
Awâ’il, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid I, hal. 89)
199
Sifat kammâl Allah secara sederhana dimaksudkan sebagai suatu gambaran tentang
hakikat keberadaan Dzat-Nya yang tidak memiliki permulaan dan batas akhir. (ibid, Jilid I,
hal. 94)
200
sifat jalâl Allah secara umum dimaksudkan sebagai suatu gambaran atau ungkapan
tentang Dzat-Nya yang tampak pada Asmâ’ dan sifat-Nya. Dan secara spesifik sifat jalâl
Allah menyangkut di dalamnya sifat keagungan (al-`Azhamah), kebesaran (al-Kibriyâ’),
kemuliaan (al-Majd), dan segala sifat pujian (al-Tsanâ’). (ibid, Jilid I, hal. 92)
201
al-Shâbûnî, Shafwah … Op.Cit., Jilid III, hal. 622.
55
hanya Dia-lah yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi sebagai
tempat untuk bergantung yang dituju oleh makhluknya dari segala
permohonan dan persoalan. Oleh sebab itu kedua nama tersebut
hanya layak bagi Allah, dan hanya milik-Nyalah semata.202
Cakupan mengenai sifat kammâl Allah yang termuat dalam surat
al-Ikhlâs sebagaimana diuraikan di atas, secara substansial
mengandung makna untuk mengetahui keberadaan Dzat yang
dinisbahkan pada kesempurnaan sifat Dzat dan sifat af`âl yang dimiliki
oleh-Nya. Dan atas dasar serupa itu, surat al-Ikhlâs ini mengandung
nilai untuk menata dan mengarahkan keyakinan ber`aqîdah dan
benarnya kema`rifatan dengan mengitsbâtkan (menetapkan), bahwa
Allah memiliki sifat ahadiyyat untuk menegasikan segala penyekutuan,
dan juga memiliki sifat al-Shamdiyyah untuk menetapkan bagi-Nya dari
segala sifat kesempurnaan dan menafikan dari segala sifat kekurangan,
penyerupaan, penyekutuan terhadap-Nya. Dan ini merupakan
“majâmi` al-Tauhîd al-I`tiqâdî” (kumpulan dari ketauhîdan yang bersifat
i`tiqâdî).203
Di samping terkandung makna ketauhîdan, surat al-Ikhlâs pun
pada hakikatnya mengandung makna yang memberikan penegasan
untuk menafikan berbagai bentuk penyekutuan terhadap Dzat-Nya
dalam hal: (1) menafikan bagi Dzat-Nya dari sifat berbilangan—yang
ditegaskan dengan klausa “Allâhu ahad”; (2) menafikan bagi Dzat-Nya
dari segala sifat butuh kepada yang lainnnya—yang dinyatakan
dengan klausa “Allâhu al-Shamad”; (3) menafikan bagi Dzat-Nya dari
segala bentuk penyamaan, penyerupaan dengan yang lainnya—yang
diisyaratkan dengan klausa “lam yalid”; (4) menafikan bagi Dzat-Nya
dari segala sifat yang baru seperti makhluknya yang berawal dan
berakhir—yang digambarkan dengan klausa “lam yûlad”; dan (5)
menafikan bagi Dzat-Nya dari segala bentuk kesepadanan dengan
yang lainnya—yang diisyaratkan dengan ungkapan kalimat “wa lam
yakun lahu kufuwân ahad”.204
Bertolak dari uraian di atas secara nampak dapat dipahami,
bahwa isi dari ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Ikhlâs secara
umum mengandung makna “al-Mutsbatah” dan “al-Nâfiyah”, yakni
penetapan dan penegasan tentang ke-Esaan Allah, dan penolakan
terhadap segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya.205
Dengan dilâlah makna serupa itu, surat al-Ikhlâs dijuluki dengan
sebutan “a`zham al-Sûrah” atau “surat yang paling agung”.
Sebagaimana diutarakan oleh Aifa` Ibn `Abdullâh al-Kilâ`î (w. 212 H)
yang dilaporkan oleh Dârimî.206
Julukan a`zham al-Sûrah ini tidak hanya diberikan bagi surat al-
Ikhlâs saja, tetapi digunakan pula bagi nama lain surat al-Fâtihah dan
202
Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 75. Periksa pula al-Darwîsyî, op.cit., Jilid X, hal. 619.
203
ibid., Jilid X, hal. 74.
204
al-Marâghî, op.cit., Jilid X, hal. 266.
205
Ibn Hajar, loc.cit.
206
Dârimî (II/447) dengan transmisi Aifa` Ibn `Abdullâh al-Kilâ`î, Shafwân, dan Abû al-
Mughîrah.
56
surat al-Baqarah. Julukan tersebut tiada lain menunjukkan agungnya
dilâlah kandungan maknanya dibandingk surat-surat lain yang terdapat
dalam al-Qur’ân.
Surat al-Fâtihah dijuluki dengan a`zham al-Sûrah dimaksudkan,
karena dalam subtansinya tercakup berbagai makna-makna yang
terdapat dalam al-Qur’ân.207 Demikian pula halnya, surat al-Baqarah
dijuluki dengan a`zham al-Sûrah dimaksudkan, karena sebagian besar
dari isi ayat-ayatnya menyangkut persoalan hukum-hukum,
perumpamaan-perumpamaan, dan bukti-bukti kekuasaan Allah—yang
tidak terdapat dalam surat lain. Dan surat al-Ikhlâs dijuluki demikian,
karena ia merupakan induk dari persoalan yang menyangkut
ketauhîdan yang terdapat dalam al-Qur’ân.208 Oleh karena itu, tidak
heran jika surat al-Ikhlâs disetarakan dengan sepertiga al-Qur’ân.
Sebagai catatan yang perlu di garisbawahi, bahwa apabila surat
al-Fâtihah, al-Baqarah, dan surat al-Ikhlâs tergolong ke dalam surat
a`zham al-Sûrah, di pihak lain ayat Kursi sebagai salah satu ayat dalam
surat al-Baqarah secara tersendiri dijuluki pula dengan sebutan
“a`zham al-Ayah” (ayat yang paling agung). Ini sebagaimana
terungkap dalam suatu riwâyat antara lain yang bersumber dari Ubay
Ibn Ka`ab yang ditakhrîj oleh Ahmad dan Muslim,209 yaitu:
‫عع أ‬
ّ‫ل اللهن صللى‬ ‫سوُ أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬
‫ل عر أ‬ ‫ب رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ن ك ععن ب‬‫ن‬ ‫ي بن‬
‫ن أب ع ي‬
‫ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫ب اللعهن‬‫ن ك نت عععاَ ن‬‫مع ن‬‫مننعذ نرن أعتعد ننري أيّ آي عععةب ن‬
‫الله عليه وسلمّ عياَ أعباَ ال أ‬
‫ع‬ ‫مع ع ع‬
َ‫ عيععا‬: ‫ل‬ ‫ عقاَ ع‬0ّ‫م‬ ‫سوُأله أ أع نل ع أ‬ ‫ه وععر أ‬ ‫ الل أ‬: ‫ت‬ ‫ قأل ن أ‬: ‫ل‬ ‫ك أع نظ ع أ‬
‫ عقاَ ع‬،َ‫مّ ؟‬ ‫ع ع‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ عقععاَ ع‬،َ‫مّ ؟‬
‫ل‬ ‫ك أع نظ ع أ‬ ‫معع ع‬‫ب اللهن ع‬ ‫ن ك نعتاَ ن‬‫م ن‬ ‫من نذ نرن أت عد ننري أيّ آي عةب ن‬ ‫أعباَ ال ن أ‬
:‫ل‬ ‫ قعععاَ ع‬0{ ‫م‬ ‫قي ّععوُ أ‬‫ي ال ن ع‬
ّ ‫حعع‬ ‫ه إ نل ن هأععوُع ال ن ع‬‫ } اللععه أ ل ع إ نل ععع ع‬: ‫ت‬ ‫ قأل نعع أ‬:
‫ع‬
0‫من نذ نرن‬ ‫مّ أعباَ ال ن أ‬ ‫ك ال نعنل ن أ‬‫ وع اللهن ل ني عهنن ن ع‬: ‫ل‬ ‫صد ننري وععقاَ ع‬ ‫ب نفي ع‬ ‫ضعر ع‬ ‫فع ع‬
“Dari Ubay Ibn Ka`ab (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
wahai Abû al-Mundzir! Apakah kamu tahu ayat manakah
menurutmu yang paling agung di dalam kitâbullâh?. Dia (Abû
al-Mundzir) berkata: aku menjawab: Allah dan Rasûl-Nya lebih
mengetahui. Beliau bertanya kembali: wahai Abû al-Mundzir!
Apakah kamu tahu ayat manakah menurutmu yang paling
agung di dalam kitâbullâh?. Dia (Abû al-Mundzir) berkata: aku
menjawab: “Allâhu lâ ilâha illâ Huwa’l Hayyu’l Qayyûm”. Dia
(Abû al-Mundzir) berkata: beliau memukul dadaku seraya
bersabda: demi Allah! Hendaklah hal tersebut menjadi ilmu
bagimu wahai Abû al-Mundzir”.

207
Untuk lebih lanjut lihat Yusuf Faisal `Alî, op.cit., hal. 14-16.
208
al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid IV, hal. 421-423. Hukum-hukum yang terkandung
dalam surat al-Baqarah, yaitu mengenai perintah mendirikan shalat; menunaikan zakat;
hukum shaum; hukum haji dan `umrah; hukum qishâsh; persoalan halâl dan harâm; infâq
di jalan Allah; hukum khamar dan judi; cara menggauli anak yatim; pelarangan ribâ; hutang
piutang; nafkah dan berhak yang menerimanya; wasiat kepada dua orang ibu-bapak dan
kaum kerabat; hukum sumpah; kewajiban menyampaikan amanat; sihir; hukum merusak
mesjid; hukum merubah kitâb-kitâb Allah; hukum haidh, `iddah, thalâq, khulu`, ilâ dan
hukum susuan; hukum melamar, mahar, larangan mengawini wanita musyrik dan
sebaliknya; dan hukum perang.
209
Ahmad (V/142) dan Muslim (I/199) dengan transmisi Ubay Ibn Ka`ab, `Abdullâh Ibn
Rabâh al-Anshârî, Abû al-Salâl, dan Sa`îd al-Jurairî.
57
Julukan a`zham al-Ayah bagi ayat Kursi—tiada lain menunjukkan
agungnya ayat tersebut dibanding ayat-ayat lain dalam al-Qur’ân.
Karena pada ayat tersebut terkandung dilâlah makna yang berkenaan
dengan ketauhîdan. Dalam kaitan ini, secara substansial dapat
dipahami dan ditegaskan, bahwa surat al-Ikhlâs dan ayat Kursi memiliki
kedudukan yang sama sebagai surat yang mengandung nilai
ketauhîdan. Hanyasanya di antara keduanya memiliki penekanan
makna yang sedikit berbeda. Kandungan makna ketauhîdan yang
terdapat dalam surat al-Ikhlâs penekanannya lebih terfokus pada
kualitas sifat ahadiyyat al-Dzât yang digambarkan dengan dua nama di
antara nama-nama-Nya—yakni al-Ahad dan al-Shamad. Sedangkan
kandungan makna ketauhîdan yang terdapat dalam ayat Kursi
penekanannya lebih terfokus pada kualitas keberadaan Dzat, sifat, dan
af`âl-Nya, serta agungnya kekuasaan yang dimiliki oleh-Nya. Oleh
sebab itu, ayat kursi dijuluki pula dengan “Sayyidah al-Ayah” (penghulu
ayat).210
Di samping memiliki kandungan dilâlah makna yang sama
dengan ayat Kursi, pada konteks lain surat al-Ikhlâs pun memiliki
kandungan dilâlah makna yang sama dengan surat al-Kâfirûn. Karena
dalam keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai surat yang
mengandung ketauhîdan. Hanyasanya secara substansial kandungan
makna ketauhîdan dalam surat al-Ikhlâs lebih menekankan pada aspek
“al-Itsbât wa al-Nafy”, yakni penegasan tentang ke-Esaan Dzat Allah,
dan penolakan dari penyekutuan dan penyetaraan Dzat-Nya dengan
yang lain. Sedangkan makna ketauhîdan yang terkandung dalam surat
al-Kâfirûn lebih menekankan pada aspek “al-Nafy wa al-Itsbât”, yakni
penolakan kepada ilâh lain selain Allah dalam beribadah, dan
penetapan kepada Allah sebagai ilâh dalam beribadah. 211 Atau dengan
kata lain tegasnya, dalam surat al-Ikhlâs terkandung unsur “tauhîd fî al-
Dzât” (Ke-Esaan pada Dzat-Nya), sedangkan dalam surat al-Kâfirûn
terkandung unsur “tauhîd ulûhiyyah” atau yang lebih dikenal dengan
“tauhîd `ubûdiyyah”.212 []

210
al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid IV, hal. 422.
211
ibid., Jilid IV, hal. 425.
212
Ialah meng-Esakan Allah Ta`âlâ dalam beribadah, dan juga menetapkan diri untuk
beribadah hanya kepada Allah Ta`âlâ dengan segala apa yang telah disyari`atkan oleh-
Nya; baik yang dilakukan oleh hati maupun seluruh anggota badan, dan juga tidak
menyekutukan dengan selain-Nya tentang sesuatu hal pun dalam beribadah, serta tidak
mengakui untuk beribadah kepada selain Allah Ta`âlâ. Dan Tauhîd Ulûhiyyah juga
dimaksudkan, terpautnya hati kepada Rabb Ta`âlâ dengan penuh rasa takut dan penuh
pengharapan sebagaimana halnya menyerahkan diri kepada Allah dan menggantungkan
seluruh hidupnya hanya kepada-Nya; maka tidak ada sesuatu pun bagi hamba untuk
menuju kepada selain dari Allah Ta`âlâ”. (al-Jazâ’irî, op.cit., hal. 63. Periksa pula al-`Izz,
Syarh al-Thahâwiyyah fî al-`Aqîdah al-Salîfah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1988, hal. 14)
58
BAB IV
Kandungan Makna
Surat al-Ikhlâs Secara Tafsîlî

‫صمد‬‫قل هوُ الله أحد * الله ال ل‬


‫لعمّ يلد و لعمّ يوُلد * ولعمّ يكن له كفعوُا أحد‬

Tafsîran Ayat Pertama


Ayat pertama yang termuat dalam surat al-Ikhlâs tersusun atau
terdiri dari empat term (kata), yakni: (1) qul; (2) huwa; (3) Allâh; dan
(4) ahadun. Menilik bentuknya, term “qul” merupakan verba yang
memiliki konotasi (arti) perintah (fi`il amr).213 Kata tersebut, berakar
dari struktur huruf-huruf qâf, wâwu, dan lâm. Dari struktur huruf-huruf
tersebut terbentuk verba tsulâtsi’l mujarrad “qâla-yaqûlu-qaulân wa
maqâlân wa maqâlatan” yang mengandung arti sepadan dengan kata
“takallama” dan bermakna pokok “berkata atau berbicara”.214
Makna perintah yang terkandung pada kata kerja qul (artinya:
katakanlah), ini tiada lain ditujukan kepada Nabi Muhamad saw sebagai
upaya untuk menjawab dan merespon dari semua pertanyaan yang
diajukan oleh kaum musyrikîn yang berada di Makkah, dan ahl Kitâb

213
al-Darwîsyî, op.cit., Jilid X, hal. 616.
214
Fu’âd Na`mat, Mulkhash Qawâ`id al-Lughah al-`Arabiyyah, Dâr al-Hikmah, Damaskus,
t.t., Jilid II, hal. 188.
59
(Yahûdi) yang berada di Madînah tentang keberadaan kualitas sifat
Dzat Allah, dan sekaligus untuk membantah keyakinan-keyakinan yang
keliru yang beranggapan bahwa `Uzair, `Îsâ al-Masîh, dan malâikat
sebagai putera Allah, dan juga untuk menafikan penyekutuan dan
penyerupaan mereka terhadap ke-Esaan-Nya sebagaimana telah
disinggung pada pembahasan sabâb al-Nuzûl.
Berdasarkan pandangan yang populer, term “huwa” yang secara
harfi mengandung arti “Dia”, pada konteks ayat pertama ini tergolong
ke dalam “dhamîr sya’ni”,215 dan mengandung arti berdiri sendiri yang
berfungsi untuk menegaskan dan menguatkan isi jawaban dari
pertanyaan yang disodorkan kepada Nabi saw, dan juga sekaligus
untuk menunjukkan agungnya kualitas sifat Allâh dalam ke-Esaan-Nya
sebagaimana yang diisyaratkan dan ditegaskan oleh klausa berikutnya
“Allâhu Ahadun” (Allah yang Maha Esa).216
Dalam pandangan kaum teolog atau para ulama ahli Kalâm
(mutakallimîn), term “Allâh” dan “ahadun” merupakan salah satu nama
di antara nama-nama-Nya yang indah (asmâ’ al-Husnâ) dan sekaligus
menunjukkan sebagai sifat bagi Dzat.217
Berdasarkan telaah morfologis, tem Allâh diturunkan dari kata
“al-Ilâh”—dengan membuang huruh hamzah dan menambah huruf lâm
yang berharakat sukûn. Huruf lâm tambahan tersebut diidgâmkan
(dimasukan/dibaurkan) pada huruf lâm berikutnya—dan menjadi huruf
lâm yang bertasydîd. Lalu setelah ditambahkan kembali huruf alif dan
lâm diawalnya—dan terbentuklah kata Allah.218
Pandangan yang menyatakan bahwa term Allah diturunkan dari
kata al-Ilâh—dinilai sah oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah (659-751 H) dan
dikuatkan pula oleh Sîbawaih dan para penganutnya. 219
Kata Allah dalam al-Qur’ân disebutkan sebanyak 2697 kali—dan
dipahami sebagai nama yang spesifik atau secara khusus

215
Lihat antara lain al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 287; al-Nasafî, op.cit., Jilid VI, hal. 383;
dan al-Baidhâwî, Anwâr al-Tanzîl, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Jilid V, hal. 547.
Selanjutnya, “dhamîr sya’ni” menurut jumhûr al-Nuhât dirumuskan sebagai kata ganti yang
memiliki fungsi untuk menguatkan dan menjelaskan makna dari suatu ungkapan tertentu
yang akan diutarakan. Sebagian besar al-Nuhât dari Kûfah menyebutnya dhamîr tersebut
dengan nama “dhamîr al-Majhûl”. Dan sebagian menyebutnya dengan “dhamîr al-Qish-
shah”, “dhamîr al-Amr” dan “dhamîr al-Hadîts”. Jumhûr dari Bashrah menyebutnya dengan
“dhamîr sya’ni”. (lebih lanjut dapat dilihat Hasan `Abbâs, al-Nahw al-Wâfî ma`a Rabthih bi
al-Asâlîb al-Rafî`ah wa al-Hayâh al-Lughawiyyah al-Mutajaddidah, Dâr al-Ma`ârif bi Mishr,
al-Qâhirah, t.t., Jilid I, hal. 250-255; dan al-Anshârî, Syarh Syudzûr al-Dzahab, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1994, hal. 184).
216
al-Darwîsyî, loc.cit.
217
al-Jailî, op.cit., Jilid I, hal. 92.
218
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid I, hal. 78. Menurut al-Jailî (767-811 H) seorang tokoh ilmu kalâm
dari Baghdâd mengemukakan, bahwa masing-masing huruf dari kata Allah memiliki makna
tersendiri yang menunjukkan sifat-sifat bagi Dzat. Menurutnya, (1) huruf alif—
mengisyaratkan ahadiyyat Dzat; (2) huruf lâm pertama—mengisyratkan jalâliyyah bagi
Dzat; (3) huruf lâm kedua—mengisyaratkan jamaliyyah bagi Dzat; (4) huruf alif—meskipun
tidak nampak dalam tulisan tetapi secara lafdzî—mengisyaratkan kammâliyyah bagi Dzat;
dan (5) huruf hâ’ (besar)—mengisyaratkan hawiyyatu’l haqq. Artinya hakikat ke-Esaan
Dzat-Nya hanya dikethaui oleh Dzat-Nya sendiri. (al-Jailî, op.cit., Jilid I, hal. 28-31).
219
Âli al-Syaikh, Fath al-Majîd Syarh Kitâb al-Tauhîd, [Tahqîq: Muhamad Hâmid al-Faqî], Dâr
al-Fikr, Beirut-Libanon, 1992, hal. 8.
60
diperuntukkan hanya bagi Dzat yang wâjib adanya. 220 Hal tersebut
sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh sebagian besar
ulama, bahwa term Allâh merupakan sebuah nama bagi Dzat ilâhiyyah
yang Maha suci yang wâjib adanya (wâjib al-Wujûd) yang memiliki hak
dari segala pujian.221 Di samping tergolong sebagai asmâ’ al-Husnâ,
term Allâh termasuk pula ke dalam “ismu’l a`zham” (nama yang
agung). Nama tersebut menunjukkan, bahwa Dzat-Nya disifati dengan
segala sifat-sifat-Nya.222 Ini sebagaimana dipahami dalam Firman-Nya
yang termuat dalam Q.S. al-Hasyr (59): 22-24 yaitu:
‫ن‬ ‫معع أ‬ ‫ح ع‬‫هععوُع النر ن‬ ‫شعهاَد عةن أ‬ ‫ب عوال ن‬ ‫مّ ال نغعي ن ن‬
‫عاَل ن أ‬‫ه إ نل نهأوُع ع‬ ‫ذي ل ع إ نل ع ع‬ ‫هأوُع الله أال ن ن‬
‫م‬ ‫سععل ع أ‬ ‫س ال ن‬ ‫دو أ‬ ّ ‫قعع‬ ‫ك ال ن أ‬ ‫مل نعع أ‬ ‫ه إ نل نهأععوُع ال ن ع‬‫ذي ل عإ نل ع ع‬ ‫ه ال ن ن‬ ‫ هأوُع الل أ‬0ّ‫م‬ ‫حي أ‬ ‫النر ن‬
َ‫م ا‬ ‫ن اللعهن ع ع ن‬ ‫حاَ ع‬ ‫سعب ن ع‬ ‫مت عك عيبعأر أ‬ ‫جنبعاَأر ال ن أ‬‫زيعأز ال ن ع‬ ‫ن ال نعع ن‬ ‫مع أ‬ ‫ن ال نمأهعي ن ن‬ ‫م أ‬ ‫مؤ ن ن‬ ‫ال ن أ‬
‫ع‬
‫مآَءأ‬ ‫سعع ع‬ ‫ه ا نل ن‬
‫صععوُيأر ل ععع أ‬ ‫م ع‬ ‫خععاَل نقأ ال نب عععاَرنئأ ال ن أ‬ ‫ه ال ن ع‬
‫ هأععوُع اللعع أ‬0‫ن‬ ‫كوُ ع‬ ‫شععرن أ‬ ‫يأ ن‬
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ت وعالنرض وعهأععوُع الععزنيععأز‬ ‫ماَعوا ن‬ ‫سعع ع‬‫مععاَنفي ال ن‬ ‫ه ع‬ ‫ح لعع أ‬ ‫سععب ي أ‬‫سعععنىّ ي أ ع‬ ‫ح ن‬ ‫ال ن أ‬
0ّ‫م‬ ‫كي أ‬ ‫ح ن‬ ‫ال ن ع‬
“Dia-lah Allah Yang tiada ilâh (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata;
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah
Yang tiada ilâh (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang
Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan
keamanan,Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang
Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah
dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang
Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih Kepada-
Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Dengan agungnya nama Allah sebagai bagian dari asmâ’ al-


Husna dan ismu’l a`zham bagi Dzat yang wâjib adanya dan disifati
dengan segala sifat-sifat-Nya, maka tidak layak bagi makhluknya untuk
memberi sebutan lain di luar nama-nama yang dimiliki oleh-Nya dan

220
al-Alûsî, loc.cit.
221
Sayyid Sâbiq, al-`Aqâ`id … op.cit., hal. 24. Dalam pengertian lain term “Allah” diartikan
antara lain sebagai berikut, yaitu: (1) sebagai sebuah nama yang menunjukkan pada Dzat
yang memiliki hak untuk disembah yang di dalamnya terkandung semua kumpulan dari
makna-makna Asmâ’-Nya. (al-Syaukânî, Tuhfah … op.cit., hal. 75; dan al-Jurjânî, op.cit., hal.
34); (2) nama bagi Dzat, yakni Dzat Allah `Azza wa Jalla yang wâjib adanya yang tidak ada
sekutu bagi-Nya sedikitpun. (Periksa al-Shâbûnî, Rawâi`… op.cit., Jilid I, hal. 15); (3)
sebagai suatu nama bagi Dzat yang Maha Tinggi lagi Maha Suci. (lihat al-Qâsimî, Tafsîr al-
Qâsimî al-Musammâ Mahâsin al-Ta’wîl, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1978, Jilid II, hal. 5); (4)
nama bagi Dzat yang ada secara hak yang di dalamnya terkumpul sifat Ilâhiyyah dan sifat
Rubûbiyyah. (al-Shâbûnî, Shafwah … op.cit., Jilid I, hal. 25); (5) nama yang memiliki sifat
Ulûhiyyah dan Ma`bûdiyyah oleh seluruh makhluknya. (Ibn Jarîr, op.cit., Jilid I, hal. 76); (6)
nama yang khusus untuk disembah secara hak, dan nama tersebut hanya diberikan bagi-
Nya. (al-Marâghî, op.cit., Jilid I, hal. 27).
222
Ibn Katsîr, op.cit., Jilid I, hal. 27.
61
menyimpangkan makna-maknanya.223 Ini sebagaimana dipahami
dalam Firman-Nya Q.S. al-A`râf (7):108 yaitu:
‫ن ي أل ن ن‬ ‫عوُه أ ب نعهاَ وعذ عأروا ال نعع ن‬ ‫ع‬
‫ن فنععي‬
‫دو ع‬
‫حعع أ‬ ‫ذي ع‬ ‫سعنىّ عفاَد ن أ‬ ‫ح ن‬‫مآَأء ال ن أ‬‫س ع‬‫عوللهن ا نل ن‬
‫ع‬
0‫ن‬‫مألوُ ع‬ ‫ماَ ع‬
‫كاَأنوُا ي ععن ع‬ ‫ن ع‬‫جعزون ع‬ ‫سي أ ن‬‫ماَئ نهن ع‬
‫س ع‬
‫أ ن‬
“Hanya milik Allah asmâ’ al-Husnâ, maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut asmâ’ al-Husnâ itu dan tinggalakanlah
orang-orang yang menyimpangkan dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”.

Sifat Dzat yang terkandung pada term Allâh yang digambarkan


sebagai salah satu nama di antara asmâ’ al-Husnâ, tiada lain
menunjukkan bahwa di dalamnya tercakup segala sifat kammâl
(kesempurnaan).224 Pada sifat kammâl tersebut terkandung sifat al-
Tsubûtiyyah—yakni sifat yang menegaskan dan menetapkan
kesempurnaan Dzat yang wâjib adanya tanpa memiliki permulaan dan
batas akhir dari keberadaan-Nya. Atas dasar serupa itu, sifat kammâl
disebut pula dengan sifat “al-Ikrâm” (kemuliaan).
Sifat Dzat yang digambarkan dengan term ahadun menunjukkan
bahwa di dalamnya terkumpul berbagai sifat jalâl (keagungan).225 Pada
sifat jalâl tersebut terkandung sifat al-Salbiyyah—yakni sifat yang
menolak atau meniadakan dari segala sifat yang tidak layak bagi ke-
Esaan Dzat yang diserupakan dengan yang lainnya.226
Gambaran sifat kammâliyyah dan jalâliyyah yang diungkapkan
dengan term Allâh dan ahadun, pada konteks ayat ini mengisyaratkan
“hawiyyatu`l ulûhiyyah” atau “hawiyyatu’l haqq”. 227 Artinya bahwa
kedua sifat tersebut pada hakikatnya mengisyaratkan “bâthinu’l
wâhidiyyah” (ke-Esaan yang tersembunyi) yang hanya diketahui oleh
Dzat-Nya sendiri. Karena sifat kammâl dan jalâl bagi Dzat pada
hakikatnya tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata. Dan untuk
memahami sifat kammâl dan jalâl ini, tiada lain dengan menelusuri

223
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Madârij al-Sâlikîn bain Manâzil Iyyâka Na`budu wa Iyyâka
Nasta`în, [Tahqîq: Muhamad Hâmid al-Faqî], Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1996, Jilid I, hal. 29-
30.
224
Nama-nama yang tergolong ke dalam sifat kammâl bagi Allah, yaitu: al-Rahmân, al-
Malik, al-Rabb, al-Muhaimin, al-Khâliq, al-Sam`, al-Bashar, al-`Adl, al-Hakîm, al-Waliyy, al-
Qayyûm, al-Muqaddam, al-Mu`akh-khir, al-Awwal, al-Âkhir, al-Zhâhir, al-Bâthin, al-Wâliyy,
al-Muta`âl, Mâlik al-Mulk, al-Muqsith, al-Ghaniyy, Laisa Kamitslih Syai`un, al-Muhîth, al-
Sulthân, al-Murîd, dan al-Mutakallim. (al-Jailî, loc.cit.)
225
Nama-nama yang tergolong ke dalam sifat jalâl bagi Allah, yaitu: al-Kabîr, al-Muta`âl,
al-`Azîz, al-Jalîl, al-Qahhâr, al-Qâdir, al-Muqtadir, al-Mâjid, al-Waliyy, al-Jabbâr, al-
Mutakabbir, al-Qâbidh, al-Khafîdh, al-Mudzill, al-Raqîb, al-Wâsi`, al-Syahîd, al-Qawiyy, al-
Matîn, al-Mumît, al-Mu`îd, al-Muntaqim, Dzû al-Jalâl wa al-Ikrâm, al-Mâni`, al-Dhârr, al-
Wârits, al-Shabûr, Dzû al-Bathsy, al-Bashar, al-Mu`adz-zib, al-Mufadh-dhil, al-Mâjid, lam
Yakun lahu Kufuwân Ahad, Dzû al-Haul, al-Syadîd, al-Qâhir, al-Ghayûr, dan Syadîd al-`Iqâb.
(al-Jailî, loc.cit.)
226
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 290. Periksa pula al-Baidhâwî, loc.cit.
227
idem.
62
sifat al-Tsubûtiyyah dan al-Salbiyyah228 yang digambarkan melalui
nama-nama yang dimiliki oleh-Nya.
Sebagai salah satu nama di antara asmâ’ al-Husnâ yang secara
sekaligus menunjukkan sifat ke-Esaan bagi Dzat, term ahadun berakar
dari struktur huruf-huruf wâwu, hâ’, dan dâl. Dari struktur huruf-huruf
tersebut terbentuk verba tsulâtsi’l mujarrad dengan derivasi yang
beragam, yaitu: (1) wahada-yahidu-wahdân wa wahdatan wa
wuhûdân;229 dan (2) wahida-yauhidu-wahdân wa wahdatan. 230 Meskipun
memiliki bentuk derivasi verba yang berbeda, akan tetapi dari sudut
etimologis, keduanya memiliki arti “sendiri atau bersendirian”.
Dalam telaah morfologis, term ahadun menurut sebagian para
ahli di kalangan al-Nuhât diturunkan dari kata “wahadun”—dengan
proses perubahan—yakni huruf wâwu yang terdapat pada kata
tersebut diganti atau ditukar oleh huruf alif sehingga akhirnya berubah
menjadi ahadun.231
Menurut sebagian yang lain, bahwa term ahadun berasal dari
kata wâhidun —dengan proses perubahan, yakni mengganti huruf
wâwu yang terdapat pada kata tersebut dengan huruf hamzah, dan
membuang huruf alif sehingga akhirnya berubah menjadi ahadun.232
Beragamnya pandangan tersebut, hal ini merujuk dari adanya
perbedaan mengenai penggunaan kata wahadun dan wâhidun itu
sendiri. Kata wahadun sebagai asal dari term ahadun lazimnya
digunakan untuk mensifati selain Allah. Sedangkan kata wahadun,
meskipun dalam penggunaanya dapat bersifat umum bagi sesuatu
yang ada, akan tetapi secara spesifik dapat digunakan untuk
menggambarkan sifat Allah.233 Sebagai penilaian dari kedua pendapat
tersebut, penulis lebih cenderung menguatkan pandangan yang
mengemukakan, bahwa secara semantik term ahadun berasal dari kata
wâhidun. Karena kata tersebut di samping lazim digunakan untuk
menggambarkan sifat Allah, juga secara makna yang paling mendasar
kata tersebut dapat menunjukkan hakikat sesuatu yang tidak memiliki
bagian-bagian tertentu.234 Hal ini terbukti, antara lain dapat
diperhatikan dalam Q.S. Yûsuf (12):39; Ibrâhîm (14):48; Shâd (38):65;
al-Zumar (39):4; dan Q.S. al-Mu’min (40):16. Pada ayat-ayat tersebut
terungkap term Allâh yang diikuti oleh kata al-Wâhid. Yang jelas
terlepas dari adanya perbedaan secara semantik tersebut, term
ahadun ditilik dari segi harfi umum mengandung makna satu, esa,
tunggal, sendirian. Tegasnya, term ahadun mengandung arti untuk
menunjukkan ke-Esaan.
228
Sifat-sifat yang tergolong al-Tsubûtiyyah, yaitu: al-Qudrah, al-Irâdah, al-`Ilm, al-Hayât,
al-Kalâm, al-Sam`, dan al-Bashar. Dan yang termasuk ke dalam sifat al-Salbiyyah, yaitu: al-
Awwal dan al-Âkhir. (Sayyid Sâbiq, al-`Aqâ`id … op.cit., hal. 53 & 65-70)
229
Achmad Warson, Kamus al-Munawwir, Pustaka Progressif, Yogyakarta, 1985, hal. 1646.
230
Fu’âd Na`mat, op.cit., Jilid II, hal. 210.
231
Periksa antara lain al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 245; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr,
dalam Maktabah Alfiyyah; dan al-Nasafî, loc.cit.
232
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 289.
233
al-Râghib, Mu`jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., hal. 551.
234
idem.
63
Selanjutnya, meskipun term ahadun secara semantik berasal dari
kata wâhidun, akan tetapi ditilik dari segi penggunaannya, kedua term
tersebut memiliki perbedaan yang cukup mendasar—yakni kata
wâhidun merupakan suatu lafadz yang memiliki banyak arti (al-
musytarak) yang digunakan untuk menunjukkan antara lain sebagai
bilangan permulaan yang selalu diikuti oleh angka berikutnya, dan
untuk menunjukkan makna satu sebagai sifat ke-Esaan bagi Allah. 235
Sedangkan kata ahadun menunjukkan pada makna bilangan satu yang
berdiri sendiri yang tidak diikuti oleh angka berikutnya, 236 dan juga kata
tersebut secara khusus dapat digunakan untuk menunjukkan bagi ke-
Esaan Allah semata.237
Di samping memiliki perbedaan dari segi penggunaannya, kedua
term tersebut, baik wâhidun maupun ahadun—ditilik dari segi
kandungan maknanya memiliki pengertian yang berbeda pula. Kata
wâhidun penekanannya lebih cenderung mengandung makna yang
bersifat itsbât (penetapan) dari ke-Esaannya, sedangkan kata ahadun
penekanannya lebih cenderung bersifat al-Nafy (penolakan) dari
penyekutuan terhadap ke-Esaan-Nya, dan sekaligus bersifat itsbât dari
ke-Esaan-Nya.238
Menurut sebagian yang lain berpandangan, bahwa term ahadun
lebih menunjukkan pada arti ke-Esaan Dzat-Nya, sedangkan kata
wâhidun lebih menunjukkan pada arti ke-Esaan yang menyangkut sifat
dan af`âl-Nya.
Sementara itu, sebagian yang lain berpendirian, bahwa kata
ahadun mengandung arti ke-Esaan yang menafikan Dzat dari unsur-
unsur tertentu dan berbilangan, sedangkan kata wâhidun mengandung
arti ke-Esaan yang mensucikan dari penyerupaan dengan yang lainnya,
baik dari segi jenisnya, bagian-bagian, unsur-unsur, maupun
bentuknya, dan lain sebagainya.239
Berbeda halnya dengan Abû Sulaimân al-Khathâbî. Ia
mengatakan bahwa kata wâhidun menunjukkan ke-Esaan Dzat yang
tidak ada yang dapat menyamai-Nya, sedangkan kata ahadun
menunjukkan ke-Esaan Dzat yang tidak ada sesuatupun yang dapat
menyekutukan terhadap-Nya.240
Dengan mencermati perbedaan dari kedua kata tersebut di atas,
secara tegas dapat dipahami, bahwa term ahadun pada konteks ayat
pertama ini merupakan nama yang spesifik bagi-Nya yang
menunjukkan sifat Dzat yang Maha Esa—yang meliputi: (1) Esa yang
keadaannya berdiri sendiri untuk menafikan dari sifat Dzat yang
berbilangan; (2) Esa yang tidak ada bandingan atau sekutu bagi-Nya;

235
idem.
236
al-Nasafî, loc.cit. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
237
al-Râghib, loc.cit.
238
Ibn Hajar, op.cit., Jilid XV, hal. 307.
239
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXIX, hal. 290.
240
Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
64
dan (3) Esa yang tidak memiliki unsur-unsur dan bagian-bagian
tertentu.241
Gambaran dari ke-Esaan sifat Dzat tersebut, menurut kaum
teolog lazim disebut dengan “ahadiyyat atau ahadiyyat fî al-Dzât” (ke-
Esaan Dzat) yang bermula dengan Dzat-Nya itu sendiri. 242 Di samping
menunjukkan sifat Dzat yang Maha Esa, term ahadun dalam konteks
ayat ini mengandung makna yang bersifat itsbât, bahwa Dia Dzat yang
Maha sempurna dari segala sifat dan af`âl-Nya.243
Berbeda halnya dengan al-Baghawî (w. 510 H), ia lebih
cenderung menguatkan pandangannya, bahwa antara term ahadun
dan wâhidun mengandung pengertian yang sama. Menurutnya, ini
terbukti bahwa Ibn Mas`ûd membaca pada ayat pertama dengan
menggunakan ungkapan kalimat “qul huwallâhu’l wâhid”. 244
Penyetaraan antara keduanya, menurut hemat penulis sangat
dimungkinkan berkaitan erat dengan pengertian yang ditilik secara
harfi umum—yakni keduanya sama-sama mengandung arti satu, esa,
tunggal, sendirian, dan bukan ditilik dari segi kandungan maknanya.
Dasar argumentasi yang diajukan olehnya merujuk pada atsar Ibn
Mas`ûd yang substansinya sangat berkaitan erat dengan persoalan
qirâ’at, dan bukan menyangkut persoalan makna.
Dengan memperhatikan uraian secara singkat di atas dapat
dikemukakan, bahwa ungkapan kalimat “qul huwallâhu ahad” pada
ayat pertama ini secara mafhûm (tersirat) mengandung makna “Dia-
lah Allah yang Maha Esa lagi Maha Tunggal yang tidak ada sekutu,
serupa, setara bagi-Nya—baik dalam Dzat, sifat maupun af`âl-Nya”. Ke-
Esaan Allah dalam Dzat—dimaksudkan, bahwasanya Dia tidak tersusun
dari unsur-unsur atau bagian-bagian, dan juga tidak ada sekutu di
dalam kekuasaan-Nya. Ke-Esaan dalam sifat—dimaksudkan,
bahwasanya Dia memiliki sifat-sifat yang berbeda dan tidak serupa
dengan yang lainnya. Dan ke-Esaan dalam af`âl—dimaksudkan, bahwa
segala sesuatu yang diperbuat oleh Dia tidak ada satu pun yang dapat
menyamai-Nya, baik dalam penciptaan segala sesuatu yang ada
maupun yang belum pernah ada.245
Kandungan makna ayat pertama secara mantûq (tersurat) ini—
lebih lanjut dikuatkan dan ditegaskan penafsîrannya dengan ayat
berikutnya yang terdapat pada ayat dua sampai dengan ayat empat
dalam surat al-Ikhlâs itu sendiri. 246 Artinya bahwa ayat dua sampai
dengan ayat empat secara hakikat merupakan ayat-ayat yang
memberikan penafsîran dan gambaran bagi ayat pertama. Ini terbukti
dengan tidak adanya huruf penyambung yang memisahkan antara
ayat yang satu dengan ayat yang lainnya. Atas dasar serupa itu, dapat

241
al-Shâbûnî, Shafwah … op.cit., Jilid III, hal. 620.
242
al-Jailî, op.cit., Jilid I, hal. 42.
243
Ibn Katsîr, op.cit., Jilid IV, hal. 570.
244
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah.
245
Sayyid Sâbiq, al-`Aqâ`id … op.cit., hal. 59.
246
Antara lain periksa al-Darwîsyî, loc.cit., dan al-Khûbî, Durrah al-Nâshihîn fî al-Wa`zh wa
al-Irsyâd, Syirkah al-Nûr, t.tp., t.t., hal. 278.
65
dipahami pula, bahwa ungkapan kalimat “qul huwallâhu ahadun” dapat
mengandung arti bahwa Allah adalah “Dzat yang Maha Esa sebagai
tempat bergantung dari segala sesuatu”; “Dzat yang Maha Esa lagi
Tunggal dalam keberadaan-Nya yang tidak memiliki sifat melahirkan
dan dilahirkan; dan “Dzat yang Maha Esa dari segala sifat yang
menyamai-Nya”.
Sebagai bukti ke-Esaan-Nya, Allah menggambarkannya lebih
lanjut dalam al-Qur’ân antara lain dengan melalui empat isyarat, 247
yaitu:
(1) Allah membuktikan ke-Esaan-Nya sebagai Dzat yang Maha
Pencipta dari segala yang ada tanpa seorang pun yang dapat
menyerupai-Nya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam Firman-Nya
yang termuat pada Q.S. al-Nahl (16):17 yaitu:
‫ع‬ ‫ع‬
‫خل أقأ أفعل ع ت عذ عك نأرو ع‬
0‫ن‬ ‫خل أقأ ك ع ع‬
‫من ل ن ي ع ن‬ ‫أفع ع‬
‫من ي ع ن‬
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang
tidak dapat menciptakan (apa-apa). Maka mengapa kamu tidak
mengambil pelajaran”.

(2) Allah membuktikan ke-Esaan-Nya sebagai Dzat ilâhiyyah yang


Maha Sempurna dari segala sifat yang dimiliki-Nya tanpa ada
seorang pun yang dapat menandingi-Nya. Ini sebagaimana
diisyaratkan dalam Firman-Nya yang termuat pada Q.S. al-Anbiyâ`
(21):22 yaitu:
َ‫مععا‬
‫ش عع ن‬ ‫ن اللععهن عر ي ن‬
‫ب الععععنر ن‬ ‫حاَ ع‬ ‫سد ععتاَ فع أ‬
‫سب ن ع‬ ‫ه لع ع‬
‫ف ع‬ ‫مآَ أ عل نهع د‬
‫ة إ نل ن الل أ‬ ‫ن نفيهن ع‬ ‫ل عوُن ع‬
‫كاَ ع‬
0‫ن‬
‫فوُن ع‬
‫ص أ‬
‫يع ن‬
“Sekiranya di langit dan di bumi ada ilâh-ilâh selain Allah,
tentulah keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha Suci
Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan”.

(3) Allah membuktikan ke-Esaan-Nya sebagai Dzat yang Maha


Penguasa tanpa batas yang tidak ada sekutu bagi-Nya sedikit pun.
Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Firman-Nya yang termuat
pada Q.S. al-Isrâ` (17):42 sebagai berikut:
‫سنبين ئ‬
0‫ل‬ ‫ش ع‬ ‫ن‬ ‫ذا ل ن ب نت عغع ن ع‬
‫وُا إ نلىّ نذي الععنر ن‬ ‫قوُنألوُن ع‬
‫ن إن ئ‬ ‫ماَ ي ع أ‬ ‫ه أ عل نهع د‬
‫ة كع ع‬ ‫معع أ‬
‫ن ع‬ ‫أقل ل نوُن ع‬
‫كاَ ع‬
“Katakanlah: jikalau ada ilâh-ilâh di samping-Nya,
sebagaimana yang mereka katakan, niscaya ilâh-ilâh itu
mencari jalan kepada (Rabb) Yang mempunyai 'Arsy”.

(4) Allah membuktikan ke-Esaan-Nya sebagai Dzat yang Maha Agung


lagi Maha Mulia yang suci dari segala sekutu. Ini sebagaimana
ditegaskan dalam Firman-Nya yang termuat pada Q.S. al-Mu’minûn
(23):91 yaitu:
‫ل إ نل عععهب‬ّ ‫ب ك أعع‬ ‫ذا ل نععذ عهع ع‬
‫ن إ نل عهب إ ن ئ‬ ‫م ن‬
‫ه ن‬‫معع أ‬
‫ن ع‬
‫كاَ ع‬ ‫من وعل عد ب وع ع‬
‫ماَ ع‬ ‫خذ ع الل أ‬
‫ه ن‬ ‫ماَات ن ع‬
‫ع‬
0‫ن‬ ‫فوُن ع‬ ‫ص أ‬
‫ماَي ع ن‬
‫ن اللهن ع ع ن‬ ‫حاَ ع‬ ‫سب ن ع‬
‫ض أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫مّ ع علىّ ب ععن ب‬‫ضهأ ن‬‫خلقع وعلععل ب ععن أ‬ ‫ماَ ع‬
‫بن ع‬
247
al-Shâbûnî, Shafwah … op.cit., Jilid III, hal. 6 21.
66
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak
ada ilâh (yang lain) beserta-Nya, kalau ada ilâh beserta-Nya,
masing-masing ilâh itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya, dan sebagian dari ilâh-ilâh itu akan
mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu”.

Berdasarkan keempat point di atas, ini menunjukkan bahwa ke-


Esaan Dzat Allah ada dengan Dzat-Nya sendiri tanpa bantuan dan
membutuhkan yang lain, dan juga menunjukkan bahwa Allah adalah
Dzat mutlak yang diliputi dengan berbagai sudut Ke-Esaan.
Selanjutnya, ditilik dari segi unsur qirâ’at (bacaan), sebagian dari
para ulama kalangan ahl al-Qurrâ’ (ahli qirâ’at), antara lain `Abdullâh
dan juga bapaknya membaca ayat pertama ini secara langsung
menyebut “huwallâhu ahad” tanpa membaca kata qul terlebih dahulu.
Qirâ’at model seperti ini, menurut al-Alûsî248 dan al-Baidhâwî (w. 625
H)249 dinilai tidak diperbolehkan, karena bertentangan dengan
kesepakatan para ulama ahl al-Qurrâ’ pada umumnya yang
mengharuskan untuk membacanya. Dan juga hal tersebut tidak sejalan
dengan apa yang tertuang di dalam al-Qur’ân mush-haf `Ustmânî yang
berkembang hingga saat sekarang.
Sebagian yang lain ada pula yang membacanya “Allâhu’l wâhid
al-Shamad” tanpa terlebih dahulu membaca term qul dan huwa, dan
mereka menganggapnya bukan bagian dari al-Qur’ân; dan juga tidak
membaca term Allâh yang terdapat pada ayat keduanya. Qirâ’at model
seperti ini, apabila di baca dalam shalat, menurut al-Qurthubî tidak
dibenarkan dan nilai bathil. Karena qirâ’at tersebut dapat merusak
makna ayat yang terkandung di dalamnya.250
Pada bagian lain, para ulama ahl al-Qurrâ’ bersilang pendapat
mengenai qirâ’atnya kata ahad yang terdapat pada ayat pertama ini.
Menurut sebagian besar ahl al-Qurrâ’, diantaranya Ibn Katsîr, Nâfi`
(dari Madînah/w. 169 H), `Âshim (Kûfah/w. 127 H), Ibn `Âmr (Syâm/w.
118 H), Hamzah (Kûfah/w. 156 H) dan al-Kusâ’î (Kûfah/w. 189 H)
mereka berpendirian, bahwa bacaan huruf dâl yang terdapat pada kata
Ahad dengan menggunakan harakat “tanwîn dhammah” dengan bunyi
lafal ahadun.
Sementara itu, Abû `Amr (Kûfah/w. 154) 251 yang didukung oleh
Nashr Ibn `Âshim dan `Abdullâh Ibn Abû Ishâq 252 mereka berpendapat,
bahwa bacaan huruf dâl yang terdapat pada kata ahad menggunakan
harakat “dhammah” dengan sebab diwashalkan pada kata Allâh yang
terdapat pada ayat kedua dengan bunyi lafal menjadi ahadullâh .
Menurut al-Farrâ’ (w. 207 H) pendapat terakhir ini dinilai kurang dapat
dipedomani keberadaannya. Dengan alasan karena mewashalkan kata

248
al-Alûsî, loc.cit.
249
al-Baidhâwî, loc.cit.
250
al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 245;
251
Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
252
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 389.
67
ahad pada kata Allâh yang terdapat pada ayat kedua bukan merupakan
keharusan.253
Sebagai penilaian dari kedua pendapat di atas, Ibn Jarîr lebih
cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa bacaan
huruf dâl yang terdapat pada kata ahad dengan dibubuhi harakat
“tanwîn dhammah” atau “dhammatain”. karena bacaan tersebut dinilai
paling fasih (jelas) dan populer dalam pelafalannya. Dan juga bacaan
tersebut dinilai paling kuat hujjahnya berdasarkan kesepakatan para
ulama ahl al-Qurrâ’.254
Di samping diperselisihkan qirâ’at dari segi pelafalan harakatnya,
pada sisi lain term ahadun diperselisihkan pula dari segi pelafalan
lafadznya. Ibn Mas`ûd255 dan Ibn `Ubaidah keduanya membaca dengan
lafadz wâhidun dan bukan ahadun. Sedangkan Ibn `Abbâs
membacanya dengan lafadz ahadun.256
Perbedaan qirâ’at tersebut, menurut hemat penulis sangat
dimungkinkan berkaitan erat dengan penyetaraan antara pengertian
wâhidun dan ahadun yang ditilik secara harfi umum keduanya sama-
sama mengandung arti satu, esa, tunggal. Tegasnya, bacaan lafadz
wâhidun merupakan penjelasan dari kata ahadun secara harfi umum,
dan bukan menyangkut persoalan qirâ’atnya.
Ini sejalan dengan komentarnya al-Qurthubî yang mengatakan,
bahwa bagi sebagian mereka yang merubah bacaan lafadz ahadun
dengan lafadz wâhidun dalam shalatnya, dan menganggapnya benar;
maka hal tersebut dinilai bathil. Karena qirâ’at tersebut akan merusak
makna ayat yang terkandung di dalamnya.257

Tafsîran Ayat Kedua


Ayat kedua yang terdapat dalam surat al-Ikhlâs terdiri dari dua
term, yakni: (1) Allâh; dan (2) al-Shamad. Pengulangan kata Allâh pada
ayat kedua ini, tiada lain untuk menunjukkan penguatan makna dari
ayat sebelumnya yang memberikan penegasan, bahwa Allah adalah
Dzat yang Maha Mutlak ke-Esaan-Nya, dan juga menunjukkan bahwa
tidak ada seorang pun yang berhak untuk disifati dengan sifat ke-
Ulûhiyyahan melainkan hanya Dia semata.258
Tidak jauh berbeda halnya dengan kata Allâh dan ahad, term al-
Shamad menurut pandangan kaum teolog tergolong ke dalam salah
satu nama di antara nama-nama-Nya yang indah (asmâ’ al-Husnâ)—
yang sekaligus menunjukkan sebagai sifat bagi Dzat.259 Sifat Dzat yang
terkandung dalam kata al-Shamad, tiada lain untuk menunjukkan

253
Ibn Hajar, op.cit., Jilid IX, hal. 766.
254
Ibn Jarîr, loc.cit.
255
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî) dalam Maktabah Alfiyyah.
256
Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
257
al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 246.
258
Periksa antara lain: al-Baidhâwî, loc.cit.,dan al-Khûbî, loc.cit.
259
al-Jailî, op.cit., Jilid I, hal. 92.
68
segala sifat-sifat kesempurnaan (kammâl) yang dimiliki oleh-Nya untuk
menafikan dari segala sifat kekurangan dan kelemahan. 260 Kata al-
Shamad ini hanya ada dan termuat dalam surat al-Ikhlâs saja, dan
tidak terdapat dalam surat yang lain.
Kata al-Shamad berakar dari struktur huruf-huruf shad, mîm, dan
dâl yang memiliki makna dasar “tetap”.261 Dari struktur huruf-huruf
terbentuk verba tsulâtsi’l mujarrad “shamada-yashmudu-shamdân wa
shumûdân” yang berarti “menuju” dan “berpegang”. 262 Sehubungan
dengan makna yang terkandung dalam term al-Shamad, para ulama
ahli tafsîr memiliki beragam ta’wîl yang berkembang sampai berkisar
sembilan pendapat, yaitu:
Pertama, menurut Qatâdah263 dan al-Hasan,264 mengatakan
bahwa term al-Shamad mengandung arti “langgeng, kekal” (al-Dâ’im)
atau “hidup yang berdiri sendiri yang tiada berakhir” (al-Hayyu’l
qayyûm lâ zawâla lahu).
Kedua, menurut `Abdullah Ibn Buraidah menyatakan, bahwa
term al-Shamad mengandung arti “cahaya yang berkilauan” (nûr
yatala’la’u).265
Ketiga, menurut Ibn Mas`ûd,266 Ibn `Abbâs,267 Buraidah,268 dan
Sa`îd Ibn Jubair (w. 95 H)269 yang didukung oleh Mujâhid,270 al-Hasan,271

260
Ibn Hajar, op.cit., Jilid XV, hal. 306.
261
Fu’âd Na`mat, op.cit., Jilid II, hal. 168.
262
al-Râghib, op.cit., hal. 294.
263
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 391 dengan transmisi: (1) Qatâdah, Sa`îd, Yazîd, dan
Bisyr; dan (2) Qatâdah, Ma`mar, Ibn Tsaur, dan Ibn `Abdu’l A`lâ. Periksa al-Alûsî, op.cit.,
Jilid XXIX, hal. 291; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah; al-Baghawî,
Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî) dalam Maktabah Alfiyyah; dan al-Qurthubî, loc.cit.
264
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit.
265
idem.
266
idem.
267
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 389 dengan transmisi Ibn `Abbâs, `Athiyyah, Salamah Ibn
Sâbûr, Muhamad Ibn Rabî`ah, dan `Abdur-Rahmân Ibn al-Aswâd. Bandingkan pula Ibn
Katsîr, loc.cit.; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
268
ibid., Jilid XV, hal. 390 melalui transmisi Buraidah, `Abdullâh Ibn Buraidah, Shâlih Ibn
Hayyân, `Ubaidillâh Ibn Sa`îd, Muhamad Ibn `Amr Ibn Rûmî, dan al-`Abbâs Ibn Abû Thâlib.
Periksa pula Ibn Katsîr, loc.cit.
269
idem., melalui transmisi Sa`îd Ibn Jubair, Mujâhid, Ibrâhîm Ibn Maisarah, dan Rabî`ah
Ibn Muslim. Periksa pula Ibn Katsîr, loc.cit.,; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah
Alfiyyah; al-Qurthubî, loc.cit.; dan al-Alûsî, loc.cit.
270
idem., melalui transmisi: (1) Mujâhid, Ibn Abû Nujaih, Waraqâ’, al-Hasan, dan al-Hârits;
dan (2) Mujâhid, Ibn Abû Nujaih, Sufyân, Mahrân Ibn Humaid, Wakî`, dan Abû Kuraib. Lihat
pula Ibn Katsîr, loc.cit.; dan Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
271
idem., melalui transmisi: (1) al-Hasan, al-Rabî` Ibn Muslim, `Abdur-Rahmân, dan Ibn
Basy-syâr; dan (2) al-Hasan, al-Rabî` Ibn Muslim, Bisyr Ibn al-Mufadh-dhal, dan Ibn `Abdu’l
A`lâ. Bandingkan pula Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah; al-Qurthubî,
loc.cit.; dan al-Alûsî, loc.cit.
69
al-Dhahâk,272 Sa`îd Ibn al-Musayyab,273 `Ikrimah,274 `Athâ’ Ibn Abû
Rabâh, `Athiyyah al-`Aufî, dan al-Sudî275mengatakan bahwa term al-
Shamad mengandung arti “yang tidak memiliki perut” (lâ jaufa lahu).
Keempat, menurut al-Sya`bî (w. 104 H) menuturkan bahwa term
al-Shamad mengandung arti “tidak makan dan juga tidak minum”.276
Kelima, menurut `Ikrimah, bahwa term al-Shamad mengandung
arti “tidak ada sesuatu yang keluar darinya (maksudnya: tidak
melahirkan)”.277

Keenam, menurut `Abdullâh Ibn Mas`ûd,278 dan `Abdullâh Ibn


`Abbâs279 yang didukung oleh Abû Wâ’il Saqîq Ibn Salamah (w. 82 H), 280
bahwa term al-Shamad mengandung arti “penguasa yang paling tinggi
dan sempurna kekuasaan-Nya”. Hal ini menurut Abû Hurairah, 281 Ibn
`Abbâs282 yang didukung oleh Abû `Ubaidah,283 Ikrimah,284 dan al-Sudî285
dimaksudkan, bahwa “penguasa yang memiliki kekuasaan-Nya paling
tinggi dan Maha sempurna sebagai tempat untuk bergantung yang
dituju oleh semua makhluknya dari segala permohonan, persoalan,
keinginan, dan keperluan”.

272
idem., melalui transmisi: (1) al-Dhahak, Salamah Ibn Nubaith, Wakî`, Abû Kuraib, dan
Ibn Bisyr; dan (2) al-Dhahak, `Ubaid, Abû Mu`âdz, dan al-Husain. Lihat pula Ibn Katsîr,
loc.cit.; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah; al-Qurthubî, loc.cit.; dan al-
Alûsî, loc.cit.
273
idem., melalui transmisi Sa`îd Ibn al-Musayyab, al-Mustaqîm Ibn `Abdu’l Mâlik, Ibn
Dâwud, Ibn Basy-syâr, dan Zaid Ibn Akhzam. Periksa pula Ibn Katsîr, loc.cit.
274
idem., melalui transmisi `Ikrimah, Ma`mar, Ibn Tsaur, dan Ibn `Abdu’l A`lâ. Bandingkan
pula Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah; al-Qurthubî, loc.cit.; dan al-Alûsî,
loc.cit.
275
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit., dan Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah
Alfiyyah.
276
Ibn Jarîr, loc.cit. melalui transmisi al-Sya`bî, Ismâ`îl Ibn Abû Khâlid, Yahyâ, dan Ibn
Bisyr. Dan juga melalui transmisi al-Sya`bî, Ismâ`îl, Ibn Abû Zâidah, dan Abû Kuraib. Periksa
pula Ibn Katsîr, loc.cit.; dan al-Alûsî, loc.cit.
277
idem., melalui transmisi: (1)`Ikrimah, Muhamad Ibn Yûsuf, Abû Rajâ’, Syu`bah,
Muhamad Ibn Ja`far, Ismâ`îl Ibn `Ulayyah, dan Muhamad Ibn Bisyr; dan (2) Ikrimah, Abû
Rajâ’, Ismâ`îl Ibn `Ulayyah, dan Ya`qûb. Periksa pula Ibn Katsîr, loc.cit.
278
Ibn Hajar, op.cit., Jilid X, hal. 767, dan Katsîr, loc.cit., dengan transmisi `Abdullâh Ibn
Mas`ûd, Abû Wâ`il Saqîq Ibn Salamah.
279
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 391 melalui transmisi `Abdullâh Ibn `Abbâs, `Alî Ibn Abû
Thalhah, Mu`âwiyah, Abû Shâlih. Bandingkan pula Ibn Katsîr, loc.cit.; Ibn al-Jauzî, Zâd al-
Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah; al-Qurthubî, Op..Cit. Jilid XX, hal. 245; al-Baghawî,
Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî) dalam Maktabah Alfiyyah; dan al-Alûsî, loc.cit.
280
idem., melalui transmisi: (1) Abû Wâ`il Saqîq Ibn Salamah, al-A`masy, Wakî`, dan Abû
Kuraib-Ibn Basy-syâr-Ibn `Abdu’l A`lâ; (2) Abû Wâ`il Saqîq Ibn Salamah, al-A`masy,Sufyân,
Mahrân, dan Ibn Humaid; dan (3) Abû Wâ`il Saqîq Ibn Salamah, al-A`masy, Abû Mu`âwiyah,
dan Abû al-Sâ`ib. Bandingkan pula dengan Ibn Katsîr, loc.cit.; dan al-Baghawî, Ma`âlim al-
Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî) dalam Maktabah Alfiyyah.
281
Dikutip dalam idem., dan periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
282
Dikutip dalam al-Qurthubî, loc.cit., melalui jalur al-Dhahâk; dan Ibn Katsîr, loc.cit.,
melalui jalur `Ikrimah.
283
Ibn Hajar, loc.cit.; dan periksa pula Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
284
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah.
285
idem., dan lihat pula al-Qurthubî, loc.cit.
70
Ketujuh, menurut Muqâtil Ibn Hayyân, 286 dan al-Rabî` (w. 139
H)287 bahwa term al-Shamad mengandung arti “yang Maha sempurna
lagi tidak memiliki kecacatan sedikit pun”. Menurut Sa`îd Ibn Jubair—ini
dimaksudkan “Maha sempurna dengan segala sifat dan af`âl-Nya.288
Kedelapan, menurut al-Husain Ibn Mufadh-dhal al-Hamdânî,
bahwa term al-Shamad mengandung arti “yang melakukan dan
menetapkan sesuatu hal kepada orang yang dikehendakinya”.289
Kesembilan, menurut Ubay Ibn Ka`ab yang diriwâyatkan oleh Ibn
Jarîr, al-Wâhidî, dan Tirmidzî290 yang didukung oleh Muhamad Ibn
Ka`ab,291 term al-Shamad mengandung arti sebagaimana yang termuat
pada ayat ketiga dalam surat al-Ikhlâs itu sendiri—yakni “yang tidak
beranak dan tidak diperanakkan”. Tegasnya, bahwa ayat ketiga
merupakan tafsîran dari term al-Shamad yang terdapat pada ayat
kedua. al-Rabî` Ibn Anas menilainya sebagai tafsîran yang cukup
akurat.292

Dari sekian banyak bentuk-bentuk ta’wîl yang telah dikemukakan


oleh para ahli, Thabrânî memberikan komentar, bahwa seluruhannya
dinilai absah (valid). Karena kesemuanya menjelaskan tentang
keberadaan sifat Allah. Dan hal ini senada dengan apa telah diutarakan
oleh Baihaqî.293
Sementara itu, sebagian para ulama di kalangan ahli tafsîr antara
lain, Ibn Jarîr,294 al-Qurthubî,295 dan Ibn al-Jauzî (508-597 H)296 mereka
lebih cenderung menguatkan pandangan yang mengemukakan term al-
Shamad mengandung arti sebagaimana yang terdapat pada bagian
keenam. Karena menurut mereka, ta’wîl tersebut sesuai dengan arti
dari kata dasar al-Shamad itu sendiri. Ini terbukti, bahwa lazimnya
orang `Arab menyebutkan kata tersebut bagi “penguasa yang tidak
ada seorang pun yang dapat melebihinya sebagai tempat untuk
bergantung dari segala persoalan dan keperluan”. Dan makna dari kata
dasar tersebut, menurut Abû Bakr al-Anbârî (w. 382 H) tidak
diperselisihkan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa `Arab. 297
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa ta’wîl dari term al-
Shamad yang dikemukakan di atas sebagaimana pada bagian keenam

286
idem. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.; dan al-Qurthubî, loc.cit.
287
idem. Dan lihat pula al-Alûsî, loc.cit.
288
idem. Dan lihat pula al-Alûsî, loc.cit.
289
al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 246; dan al-Alûsî, loc.cit.
290
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XIV, hal. 387; al-Wâhidî, op.cit., hal. 260; dan Tirmidzî (V/239)
dengan transmisi Ubay Ibn Ka`ab, Abû al-`Âliyah, al-Rabî` Ibn Anas dan Abû Ja`far al-Râzî.
291
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 391.
292
Dikutip dalam Ibn Katsîr, loc.cit.
293
idem.
294
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 392 dengan transmisi Muhamad Ibn Ka`ab, Abû Ma`syar,
Wakî`, dan Abû Kuraib.
295
al-Qurthubî, loc.cit.
296
Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
297
idem. Periksa pula al-Alûsî, loc.cit.
71
memiliki keselarasan dengan makna yang terkandung pada kata
dasarnya. Dengan adanya keselarasan tersebut, para ulama
menilainya sebagai pena`wilan yang akurat dan absah. Menurut
Bukhârî ta’wîl ini dinilai lebih kuat dan akurat dibanding yang
lainnya.298
Dengan merujuk dan memperhatikan dari pena`wilan di atas
dapat dipahami, bahwa klausa “Allâhu al-Shamad” yang terdapat pada
ayat kedua mengandung makna, bahwa “Allah adalah penguasa yang
Maha tinggi dan sempurna kekuasaan-Nya sebagai tempat untuk
bergantung yang dituju oleh seluruh makhluknya dari segala sesuatu—
baik permohonan, persoalan, keinginan maupun keperluan”.
Kandungan makna tersebut, memberikan gambaran dan penegasan
dari sifat ahadiyyat Dzat yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi
yang tidak ada seorang pun yang dapat menyerupai dan
menyekutukan terhadap-Nya, dan juga ahadiyyat Dzat secara mutlak
disifati pula dengan al-Shamdiyyah yang menunjukkan, bahwa ke-
Esaan Allah memiliki hak untuk dituju oleh makhluknya, dan sedikit
pun tidak membutuhkan terhadap yang lainnya.

Tafsîran Ayat Ketiga


Ayat ketiga yang terdapat dalam surat al-Ikhlâs secara terperinci
terdiri dari lima kata, yaitu: (1) lam; (2) yalid; (3) wa atau huruf wâwu
berharakat fathah yang tergolong ke dalam huruf `athaf; (4) lam; dan
(5) yûlad.
Menilik bentuknya, term “yalid” dan “yûlad” keduanya
merupakan fi`il mudhâri` atau verba yang menunjukkan arti “sedang”.
Hanya secara derivatif keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Term
yalid berpola (wazn) yaf`ilu merupakan bentuk kata kerja yang
berkonotasi “sedang aktif” (fi`il mudhâri ma`rûf), sedangkan term
yûlad berpola yuf`alu kata kerja yang memiliki konotasi “sedang pasif”
(fi`il mudhâri majhûl). Kedua kata tersebut berakar dari struktur huruf-
huruf wâwu, lâm, dan dâl. Dari struktur huruf-huruf tersebut, terbentuk
pula verba tsulâtsi’l mujarrad “walada-yalidu-lidatan wa wâlidatan wa
wilâdatan” yang berarti “melahirkan”.299
Term lam (artinya: tidak) yang menyertai kedua kata tersebut,
menurut para ahli di kalangan al-Nuhât tergolongan ke dalam salah
satu huruf jazm, dan secara maknawi berfungsi untuk menunjukkan
arti “al-Nafy” (penolakan), dan “al-Qalab” atau merubah kata kerja
yang bermakna “sedang” menjadi bermakna “lampau”.300
298
Bukhârî (III/235).
299
Periksa antara lain: Fu’âd Na`mat, op.cit., Jilid II, hal. 213; Achmad Warson, op.cit., hal.
1688; dan `Abdur-Ra`ûf, Kamus al-Marbawî, Musthafâ al-Bâb al-Halabî wa Aulâduh bi mishr,
t.tp., t.t., Jilid II, hal. 397.
300
Periksa antara lain: Musthafâ Ghulayainî, Jâmi` al-Durûs al-`Arabiyyah, Maktabah al-
`Ashriyyah, Shaidâ-Beirut, 1989, Jilid II, hal. 185; al-Hâsyimî, al-Qawâ`id al-Asâsiyyah li al-
Lughah al-`Arabiyyah, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut-Libanon, t.t., hal. 19; dan `Umar
Taufîq, al-Mu`jam fî al-I`râb, Dâr al-Ma`rifah, t.tp., t.t., hal. 126.
72
Dalam pandangan kaum teolog, klausa lam yalid dan lam yûlad
termasuk ke dalam salah satu nama Allah yang menunjukkan sifat
jamâliyyah bagi Dzat.301
Makna yang terkandung dalam klausa lam yalid (artinya: tidak
beranak atau tidak melahirkan) memberikan penegasan, bahwa Allah
tidak memiliki keturunan (baca: anak cucu) dan juga tidak beristri
seperti halnya makhluk. Karena Dia adalah Dzat yang disifati dengan
segala sifat kesempurnaan, dan juga Maha suci dari segala sifat
kekurangan dan kelemahan.302
Klausa tersebut, merupakan penegasan tentang kualitas
keberadaan Allah dan ke-Esaan-Nya, dan menafikan penyerupaan
terhadap-Nya,303 dan juga sekaligus membantah keyakinan-keyakinan
yang keliru dari anggapan kaum musyrikîn dan kuffâr, bahwa malâikat,
`Uzair, dan `Îsâ al-Masîh sebagai putera Allah. 304 Anggapan bahwa
Allah bersifat al-Wâlidiyyah (beranak) atau memiliki keturunan
merupakan ajaran dan keyakinan yang dapat mendatangkan suatu
perkara yang sangat mungkar. Dengan anggapan seperti itu, al-Qur’ân
menggambarkan bahwa hampir-hampir langit pecah, bumi belah, dan
gunung-gunung runtuh. Ini menunjukkan bahwa sangat mustahil bagi
Allah memiliki keturunan. Allah Firman sebagaimana dalam Q.S.
Maryam (19): 88-91 yaitu:
‫ ت عك عععاَد أ‬0 ‫دا‬‫شععي نئئاَ إ ن د‬
‫مّ ع‬‫جئ نت أعع ن‬ ‫ ل ن ع‬0 ‫دا‬
‫قععد ن ن‬ ‫ن وععلعع ئ‬‫معع أ‬‫ح ع‬‫خععذ ع النر ن‬ ‫وعقعععاَألوُا ات ن ع‬
‫دا عأن‬ ‫ل هع د‬‫جعباَ أ‬ ‫خّر ال ن ن‬
‫ض وعت ع ن‬ ‫ع‬
‫شقّ ا نلنر أ‬ ‫ه وععتن ع‬‫من ن أ‬
‫ن ن‬ ‫فط ننر ع‬ ‫ت ي عت ع ع‬ ‫ماَعوا أ‬ ‫س ع‬‫ال ن‬
0 ‫دا‬ ‫ن وعل ع ئ‬‫م ن‬ ‫ح ع‬ ‫وُا نللنر ن‬
‫د عع ع ن‬
“Dan mereka berkata: Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan
sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit
pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung
runtuh. Karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Penurah
mempunyai anak”.

Dalam hadîts qudsî dikemukakan, anggapan bahwa Allah


memiliki anak merupakan suatu penghinaan, cacian, makian terhadap
ke-Esaan-Nya. Ini sebagaimana ditakhrîj oleh Bukhârî yang bersumber
dari Abû Hurairah,305 yaitu:
301
al-Jailî, loc.cit. Nama-nama yang tergolong ke dalam sifat Jamâl bagi Allah, yaitu: al-
`Alîm, al-Rahîm, al-Salâm, al-Bâri`, al-Mushawwir, al-Ghaffâr, al-Wahhâb, al-Razâq, al-
Fattâh, al-Bâsith, al-Râfi`, al-Lathîf, al-Khabîr, al-Mu`izz, al-Hafîdh, al-Muqîth, al-Hasîb, al-
Jamâl, al-Halîm, al-Karîm, al-Wakîl, al-Hamîd, al-Mubdi`, al-Muhyi, al-Mushawwiru’l Wâhid,
al-Dâ’imu’l Bâqî, al-Bâriu’l Barr, al-Mun`im, al-`Afuwwu, al-Ghafûr, al-Ra`ûf, al-Mugnî, al-
Mu`thî, al-Nâfi`, al-Hâdî, al-Badî`, al-Rasyîd, al-Qarîb, al-Mujmil, al-Mujîb, al-Kafîl, al-Hannân,
al-Mannân, al-Kâmil, al-Kâfî, al-Jawâd dzû al-Thûl, al-Syâfî, dan al-Mu`âfî.
302
Periksa antara lain al-Marâghî, op.cit., Jilid X, hal. 265; dan al-Shâbûnî, Shafwah …
op.cit., Jilid III, hal. 6 21.
303
al-Tsa`âlabî, Jawâhir al-Hassân (Tafsîr al-Tsa`âlabî), dalam Maktabah Alfiyyah.
304
Periksa antara lain al-Qurthubî, loc.cit.; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah
Alfiyyah; al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah; dan
al-Tsa`âlabî, Jawâhir al-Hassân (Tafsîr al-Tsa`âlabî), dalam Maktabah Alfiyyah.
305
Bukhârî (II/240) dengan transmisi Abû Hurairah, al-A`raj, Abû al-Zinâd, Mughîrah Ibn
`Abdur-Rahmân al-Qurasyi, dan Qutaibah Ibn Sa`îd.
73
‫ي صععللىّ اللععه‬ ّ ‫ل الن نب نعع‬‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ن أ عنبي هأعري نعرة ع رضي الله عنععه عقاَ ع‬ ‫عع ن‬
َ‫مععا‬ ‫ ي ع ن‬: ّ‫ه ت عععععاَعلى‬ ‫أ‬
‫عليه وسععللمّ أعراه أ عقاَ ع‬
‫م وع ع‬
‫ن آد ع ع‬
‫منني اب نعع أ‬ ‫شععت ن أ‬ ‫ل اللعع أ‬
‫شععت نمنني ويك عععذ يبنني ومععاَ ينبغنععي ل ععع ع‬ ‫ع‬
‫ه‬
‫م أ‬ ‫مععاَ ع‬
‫شععت ن أ‬ ‫هأ ن‬ ‫أ‬ ‫ع ع عنع‬ ‫أ‬ ‫عأ‬ ‫ن يع ن ع‬ ‫أ ن‬ ‫ي عن نب عنغي ل ععع أ‬
‫ه‬
‫ع‬
َ‫مععا‬ ‫ه ل عي نعع ع‬
‫س ي أعنيععد أنني ك ع ع‬ ‫قععوُنل أ أ‬
‫ه فع ع‬
‫ذيب أ أ‬ ‫مععاَ ت عك نعع ن‬ ‫نلي وعل ععع ئ‬
‫دا وعأ ن‬ ‫ن‬‫ه إن ن‬ ‫قوُنل أ أ‬‫فع ع‬
0 ‫ب عد عأنني‬‫ع‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
Allah Ta`âlâ berfirman: anak Adâm telah mencaci Aku, dan
seharusnya dia tidak mencaci dan berdusta terhadap Aku, dan
padahal tidak seharusnya berbuat seperti itu. Adapun
caciannya dengan mengatakan: bahwa “Aku memiliki anak”,
dan kedustaannya dengan mengatakan bahwa” Aku tidak
dapat membangkitkan kembali sebagaimana aku
menciptakan”.

Dengan sifatnya al-Shabûr (Maha sabar), meskipun anak Adâm


(baca: manusia) memiliki anggapan dan mengucapkan kata jahat dan
menyakitkan dengan mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, akan
tetapi dengan sifat Rahmân-Nya Allah tetap memberikan kesehatan
dan rezeki kepada manusia. Ini sebagaimana terungkap dalam
sabdanya yang bersumber dari Abû Mûsâ al-Asy`arî (w. 44 H) yang
ditakhrîj oleh Muttafaq `Alaih,306 yaitu:
‫ي‬ ‫ قعععاَ ع‬: ‫ل‬‫شععرنيي رضي اللععه عنععه عقاَ ع‬ ‫سىّ ا نل ع ن‬ ‫عع ع‬
ّ ‫ل الن نب نعع‬ ‫موُ ع‬ ‫ن أنبي أ‬ ‫ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ن اللهن‬ ‫م ع‬‫ه ن‬‫معع أ‬‫س ن‬
‫ذىَ ع‬ ‫صب عأر ع علىّ أ ئ‬‫حد د أ ن‬ ‫صللىّ الله عليه وسلمّ ع‬
‫ماَ أ ع‬ ‫ل‬
0ّ‫م‬ ‫مّ وعي عنرأزقأهأ ن‬
‫مّ ي أععاَنفيهن ن‬‫ه ال نوُعل عد ع ث أ ن‬‫ن لع أ‬
‫عوُ ع‬
‫ي عد ن أ‬
“Dari Abû Mûsâ al-Asy`arî (r.a) berkata: Nabi saw bersabda:
tidak ada yang lebih sabar daripada Allah yang mendengarkan
kata-kata jahat dan menyakitkan (dari manusia); mereka
beranggapan bahwa baginya memiliki anak, kemudian Dia
tetap memberi kesehatan dan rezeki kepada mereka”.

Penolakan dan bantahan dari sifat al-Wâlidiyyah (beranak) ini,


Allah menegaskan lebih lanjut dalam Firman-Nya, antara lain:
(1)termuat dalam Q.S. al-Nisâ’ (4):171 sebagai berikut:
‫حععد سععبحاَن ع‬
‫مععاَنفي‬ ‫ه وعل عععد أ ل نعع أ‬
‫ه ع‬ ‫ن ل ععع أ‬
‫ه أن ي عك أععوُ ع‬ ‫ه إ نل ععع د‬
‫ه عوا ن د أ ن ع ع أ‬ ‫مععاَ اللعع أ‬
‫إ نن ن ع‬
0 ‫ الية‬000 ‫ض‬ ‫ع‬ ‫ن‬
‫ماَنفي النر ن‬
‫ت وع ع‬ ‫ماَعوا ن‬
‫س ع‬
‫ال ن‬
“Sesungguhnya Allah ilâh Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya … al-Ayah”.

(2)termuat dalam Q.S. al-Isrâ’ (17):111 sebagai berikut:


‫ري د‬
‫ك فنععي‬ ‫مّ ي عك أععن ل نعع أ‬
‫ه ع‬
‫شعع ن‬ ‫دا وعل ع ن‬‫خذ ن وعل ع ئ‬ ‫مد أ نللهن ال نذ ني ل ع ن‬
‫مّ ي عت ن ن‬ ‫ح ن‬ ‫ل ال ن ع‬
‫وعقأ ن‬
0 ‫ل وعك عب ينره أ ت عك ننبيئرا‬ ‫ن الذ ّ ي‬‫م ع‬ ‫ي ي‬ ‫ن لن أ‬
‫ه وعل ن ش‬ ‫ك وعل ع ن‬
‫مّ ي عك أ ن‬ ‫مل ن ن‬
‫ال ن أ‬
“Dan katakanlah: segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan

306
Bukhârî (IV/319) dan Muslim (IV/133-134) dengan transmisi Abû Mûsâ al-Asy`arî, Abû
`Abdur-Rahmân al-Sulamî, Qurasyi, Sa`îd Ibn Jubair, dan al-A`masy.
74
tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan
dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-
benarnya”

(3)termuat dalam Q.S. Maryam (19): 35 dan 92 sebagai berikut:


0 ‫ الية‬000 ‫ه‬
‫حاَن ع أ‬ ‫من وعل عد ب أ‬
‫سب ن ع‬ ‫ن لله ن عأن ي عت ن ن‬
‫خذ ع ن‬ ‫ماَ ع‬
‫كاَ ع‬ ‫ع‬
“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia … al-
Ayah”

‫ن عأن ي عت ن ن‬
‫خذ ع وعل ع ئ‬
0 ‫دا‬ ‫م ن‬
‫ح ع‬
‫ماَعينب عنغي نللنر ن‬
‫وع ع‬
“Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak”.

(4)termuat dalam Q.S. al-Mu`minûn (23):91 sebagai berikut:


‫ل إ نل عععهب‬ ّ ‫ب ك أعع‬‫ذا ل نععذ عهع ع‬
‫ن إ نل عهب إ ن ئ‬‫م ن‬‫ه ن‬
‫معع أ‬
‫ن ع‬ ‫ماَ ع‬
‫كاَ ع‬ ‫من وعل عد ب وع ع‬‫ه ن‬ ‫خذ ع الل أ‬
‫ماَات ن ع‬
‫ع‬
0‫ن‬ ‫ع‬ ُ‫فو‬ ‫أ‬ ‫ص‬ ‫ي‬ َ‫ما‬
‫ن ن ع ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫الل‬ ‫ن‬ َ‫حا‬ ‫ب‬
‫عن ب أ ن ع ع‬‫س‬ ‫ض‬ ‫ع‬‫ب‬ ّ‫لى‬‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ّ‫م‬ ‫ه‬ ‫ض‬ ‫ع‬‫ب‬ ‫ع‬
‫ع ع ع عن أ أ ن‬ ‫ل‬ ‫ع‬‫ع‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ع‬ ‫ل‬‫خ‬
‫ع‬ َ‫ا‬ ‫نبمع‬
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak
ada ilâh (yang lain) beserta-Nya, kalau ada ilâh beserta-Nya,
masing-masing ilâh itu akan membawa makhluk yang
diciptakannya, dan sebagian dari ilâh-ilâh itu akan
mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan itu”.

(5)termuat dalam Q.S. al-Furqân (25):2 sebagai berikut:


‫ك السماَوا ن ن ع‬
‫ري د‬
‫ك فنععي‬ ‫كن ل ن أ‬
‫ه ع‬
‫شعع ن‬ ‫دا وعل ع ن‬
‫مّ ي ع أ‬ ‫خذ ن وعل ع ئ‬ ‫ض وعل ع ن‬
‫مّ ي عت ن ن‬ ‫ت وعالنر ن‬ ‫ن ع ع‬ ‫مل ن أ‬ ‫ذي ل ع أ‬
‫ه أ‬ ‫ال ن ن‬
0 ‫ الية‬000 ‫ك‬ ‫مل ن ن‬
‫ال ن أ‬
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia
tidak mempunyai anak, dan tidak sekutu bagi-Nya dalam
kekuasaan(-Nya) … al-Ayah”.

(6)termuat dalam Q.S. al-Zumar (39):4 sebagai berikut:


‫ه‬
‫ه هأععوُع اللعع أ‬
‫حاَن ع أ‬
‫سععب ن ع‬
‫شععآَأء أ‬ ‫خل أقأ ع‬
‫ماَي ع ع‬ ‫ماَ ي ع ن‬
‫م ن‬ ‫ص ع‬
‫طفعىّ ن‬ ‫ه عأن ي عت ي ن‬
‫خذ ع وعل ع ئ‬
‫دا ل ن ن‬
‫ع‬
‫ل عوُن أعراد ع الل أ‬
0‫قنهاَأر‬‫حد أ ال ن ع‬ ‫ال ن ع‬
‫وُا ن‬
“Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan
memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan
yang telah diciptakan-Nya. Dia-lah Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Mengalahkan”.

Penolakan bahwa Allah tidak beranak, ini berarti menafikan


bahwa Dia tidak memiliki pasangan atau teman (baca: istri). Sebab,
tidak mungkin mempunyai anak apabila tidak beristri. Dan bagi Allah
adalah mustahil beristri dan memiliki anak darinya. Hal ini lebih lanjut
ditegaskan dalam Firman-Nya Q.S. al-An`âm (6):101 dan Q.S. al-Jin
(72):3 sebagai berikut:
‫ة‬
‫حب ع د‬
‫صاَ ن‬ ‫مّ ت عكأن ل ن أ‬
‫ه ع‬ ‫ه وعل عد د وعل ع ن‬
‫ن لع أ‬‫كوُ أ‬‫ت وعا نل عنرض أ عننىّ ي ع أ‬ ‫ماَعوا ن‬
‫س ع‬‫ديعأ ال ن‬ ‫بع ن‬
‫ن‬
0ّ‫م‬‫ىّبء ع عنلي د‬
‫ش ن‬ ‫ل ع‬ ‫ىّبء وعهأوُع ب نك أ ي‬
‫ش ن‬‫ل ع‬ ‫خل عقع ك أ ن‬
‫وع ع‬

75
“Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai
anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan
segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu”.
‫ع‬
‫ة وعل ع وعل ع ئ‬
0 ‫دا‬ ‫حب ع ئ‬ ‫خذ ع ع‬
‫صاَ ن‬ ‫ماَ ات ن ع‬ ‫ه ت عععاَعلىّ ع‬
‫جد ّ عرب يعناَ ع‬ ‫وعأن ن أ‬
“Dan bahwasannya Maha Tinggi kebesaran Rabb kami, Dia
tidak beristeri dan tidak (pula) beranak”.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa klausa lam Yalid yang


dikuatkan maknanya dengan ayat-ayat di atas, memberikan penegasan
untuk menafikan Dzat-Nya dari segala sifat yang diserupakan dengan
yang baru (baca: makhluk) beristri dan beranak, dan penyekutuan
dengan yang lainnya. Ini berarti, bahwa Allah tidak membutuhkan
sedikit pun terhadap sesuatu, dan Maha suci dari segala sifat fanâ’.
Makna yang terkandung dalam klausa lam yûlad (artinya: tidak
diperanakkan atau tidak dilahirkan) yang disambungkan dengan kata
penghubung wa atau huruf wâwu berharakat fathah, memiliki keselara-
san makna dengan klausa sebelumnya lam yalid untuk memberikan
penegasan dan penguatan, bahwa wujûd Allah tidak bermula dan tidak
ada satu pun yang mendahului-Nya. 307 Ini berarti, bahwa Allah memiliki
sifat azaliyyun qadîm, yakni keberadaan dari wujûd Dzat-Nya kekal
adanya tanpa bermula dan berakhir, dan sekaligus untuk menafikan
dari sifat al-Maulûdiyyah (dilahirkan) dan al-Tasalsul (memiliki seluk
beluk keturunan) yang diserupakan dengan makhluknya.308
Sifat azaliyyun qadîm yang terkandung dalam klausa lam yûlad,
lebih lanjut Allah menegaskan dalam Firman-Nya, antara lain:
(1)terdapat dalam Q.S. al-Hadîd (57):3 sebagai berikut:
0ّ‫م‬
‫علني د‬
‫ىّبء ع‬
‫ش ن‬‫ل ع‬ ‫ظاَه نأر عوال نعباَط ن أ‬
‫ن وعهأوُع ب نك أ ي‬ ‫ل وعا نل ع ن‬
‫خأر عوال ن‬ ‫هأوُع ا نل عون أ‬
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhâhir dan Yang
Bâthin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.

(2)terdapat dalam Q.S. al- Qashash (28):88 sebagai berikut:


0‫ه‬
‫جه ع أ‬ ‫ىّبء هعاَ نل د‬
‫ك إنلعلاَ وع ن‬ ‫ش ن‬ ‫كأ ل أ‬
‫ل ع‬
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah .

(3)terdapat dalam Q.S. al-Rahmân (55):26-27 sebagai berikut:


0‫ل وعا نل نك نعرام ن‬ ‫ذو ال ن ع‬
‫جل ع ن‬ ‫ه عرب ي ع‬
‫ك أ‬ ‫ج أ‬
‫قىّ وع ن‬ ‫ن ع عل عي نعهاَ عفاَ ب‬
‫ وعي عب ن ع‬0 ‫ن‬ ‫م ن‬ ّ ‫كأ‬
‫ل ع‬
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal
Dzat Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.

Dengan merujuk dan memperhatikan dari ta’wîl di atas dapat


dipahami, bahwa ungkapan kalimat “lam yalid wa lam yûlad” yang
terdapat pada ayat ketiga mengandung makna, bahwa keberadaan
dari wujûd Dzat-Nya adalah Maha Qadîm lagi Maha Awal secara mutlak,
tanpa bermula dan berakhir, kekal selamanya tanpa binasa, tidak

307
al-Baidhâwî, loc.cit.,
308
Periksa antara lain: al-Nasafî, loc.cit., dan al-Alûsî, loc.cit.
76
membutuhkan terhadap sesuatu sedikit pun, dan Maha suci dari sifat
al-Wâlidiyyah, dan al-Maulûdiyyah serta al-Tasalsul. Secara substansial,
ayat ini memberikan gambaran dan penegasan bagi ayat pertama,
bahwa kualitas ke-Esaan Dzat Allah wâjib adanya (wâjibu’l wujûd)
dengan Dzat-Nya sendiri tanpa disertai, didahului, dan diakhiri oleh
wujûd yang lain.309

Tafsîran Ayat Keempat


Ayat keempat yang terdapat dalam Q.S. al-Ikhlâs ini secara
terperinci terdiri dari tujuh kata, yaitu: (1) wa atau wâwu berharakat
fathah (huruf `athaf); (2) lam (huruf jazm); (3) yakun; (4),(5) lahu atau
bentuk kata jadian antara la (huruf jar) dan hu (dhamîr, kata ganti); (6)
kufuwân; dan (7) ahadun. Menurut kaum teolog ungkapan “lam yakun
lahu kufuwân ahadun” tergolong ke dalam salah satu nama Allah yang
menunjukkan sifat jalâliyyah bagi Dzat.310
Menilik bentuknya, kata “yakun” merupakan fi`il mudhâri`
berpola yaf`ulu yang memiliki konotasi untuk menunjukkan “waktu
lampau” atau “suatu keadaan tertentu secara terus menerus tanpa
batas waktu”.311 Dalam telaah morfologis, kata tersebut berakar dari
struktur huruf-huruf kâf, wâwu, dan nûn.312 Dari struktur huruf -huruf
tersebut terbentuk tsulâtsi’l mujarrad “kâna-yakûnu-kaunân wa
kiyânân wa kainûnatan” yang berarti “ada”, “terdapat”, dan
“terjadi”.313
Term “kufuwân” berakar dari struktur huruf-huruf kâf, fâ’, dan
hamzah yang berkonotasi untuk menunjukkan “kedudukan dan derajat
tertentu” atau “suatu keadaan yang tidak dapat diikuti atau diimbangi
kelebihannya.314 Dari struktur huruf-huruf tersebut terbentuk verba
tsulâtsi’l mujarrad “kafa’a-yakfa’u-kaf’ân” yang berarti “berbalik”,
“pergi”, dan “lari”.315
Sehubungan dengan makna yang terkandung dalam kata
tersebut, para ahli memiliki beragam pena’wîlab yang berkembang
sampai berkisar dua pandangan, yaitu:
Pertama, menurut Mujâhid, bahwa term kufuwân mengandung
arti “beristri” (shâhibah).316 Atas dasar ta’wîl tersebut, ungkapan
309
Ibn Hajar, op.cit., Jilid IX, hal. 767-768.
310
al-Jailî, loc.cit.
311
`Alî Ridhâ, al-Marja` fî al-Lughah al-`Arabiyyah Nahwahâ wa Sharfahâ, Dâr al-Fikr, t.tp.,
t.t., Jilid I, hal. 252.
312
al-Râghib, op.cit., hal. 461.
313
Fu’âd Na`mat, op.cit., Jilid II, hal. 196, dan Achmad Warson, op.cit., hal. 1332.
314
al-Râghib, op.cit., hal. 450.
315
Periksa antara lain Achmad Warson, op.cit., hal. 1806, dan `Abdur-Ra`ûf, op.cit., Jilid II,
hal. 397.
316
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 393 dengan melalui beberapa jalan periwayâtan, yaitu: (1)
Mujâhid, Thalhah, `Abdu’l Mâlik Ibn Abjar, Sufyân, `Abdur-Rahmân, dan Ibn Basy-syâr; (2)
…, Sufyân, Yahyâ, dan Ibn Basy-syâr; (3) …, Sufyân, Mahrân, dan Ibn Humaid; (4) …,
Sufyân, Wakî`, dan Abû Kuraib; (5) …, `Abdu’l Mâlik Ibn Abjar, Ibn Idrîs, dan Abû al-Sâ`ib;
dan (6) …, Ibn Idrîs, dan Abû Kuraib
77
kalimat “lam yakun lahu kufuwân ahadun” diartikan “tidak ada seorang
pun yang dapat dijadikan istri bagi-Nya”.

Kedua, menurut Abû al-`Âliyah,317 Ka`ab,318 dan Ibn Juraij (w. 150
H), term kufuwân mengandung arti “serupa” (al-syabîh), “setara” (al-
319

Nadzhîr), “sebanding” (al-`Idl), “sama” (al-Mitsl). Atas dasar ta’wîl


tersebut, ungkapan kalimat “lam yakun lahu kufuwân ahadun”
diartikan “tidak ada seorang pun yang serupa, setara, sebanding, sama
dengan Dia”. Makna ini, menurut Ibn `Abbâs 320 sejalan dengan Firman-
Nya Q.S. al-Syûrâ (42):11: “laisa kamitslihi syai’un” [“tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia”].
Penilaian dari kedua pendapat di atas, Ibn Katsîr dalam
pandangannya lebih cenderung menguatkan ta’wîl yang pertama,
bahwa kufuwân mengandung arti tidak “beristri”. Menurutnya, hal ini
sejalan dengan Firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-An`âm (6):101:
“annî yakûnu lahu wâlidun wa lam kakun lahu shâhibatun”
[“bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak beristri”].321
Dalam pandangan sebagian besar para ulama ahli tafsîr, antara
lain Ibn Jarîr,322 al-Qurthubî,323 al-Baghawî,324 al-Tsa`âlabî,325 dan al-
Nasafî,326 mereka lebih cenderung menguatkan ta’wîl yang kedua
bahwa kata kufuwân mengandung arti “tidak serupa, setara, sama,
sebanding”. Menurut Ibn Hajar, tawil ini dinilai lebih kuat.327
Berbeda halnya dengan al-Alûsî328 dan al-Baghawî,329 keduanya
lebih cenderung mengkompromikan kedua makna dari ta’wîl di atas
dengan mengemukakan bahwa, kata kufuwân mengandung arti tidak
ada “kesetaraan” pada berbagai hal termasuk di dalamnya bahwa Dia
tidak beristri. Ini dapat dipahami bahwa, kata kufuwân dalam arti tidak
“beristri”—dimaksudkan sebagai makna penguat pada klausa lam yalid
yang terdapat pada ayat ketiga. Sebab, apabila Allah tidak beranak, ini
berarti Dia tidak memiliki istri. Sedangkan kata kufuwân dalam arti
tidak “setara”—ini dimaksudkan sebagai makna pokok dari ta’wîl ayat
keempat untuk menunjukkan penolakan dari kesetaraan dengan yang
lainnya dalam berbagai hal. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
term kufuwân baik dalam arti “tidak setara” maupun “tidak beristri”
317
ibid., Jilid XV, hal. 392 dengan transmisi Abû al-`Âliyah, al-Rabî`, Abû Ja`far, Mahrân,
dan Ibn Humaid.
318
idem., dengan transmisi Ka`ab, `Amr Ibn Ghulamî al-Tsaqafî, Qatâdah, Sa`îd, Yazîd, dan
Bisyr.
319
idem., dengan transmisi Ibn Juraij, Waraqâ’, al-Hasan, dan al-Hârits.
320
idem., dengan transmisi Ibn `Abbâs, `Alî, Mu`âwiyah, Abû Shâlih, dan `Alî.
321
Ibn Katsîr, loc.cit.
322
Ibn Jarîr, op.cit., Jilid XV, hal. 393.
323
al-Qurthubî, op.cit., Jilid XX, hal. 247.
324
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah.
325
al-Tsa`âlabî, Jawâhir al-Hassân (Tafsîr al-Tsa`âlabî), dalam Maktabah Alfiyyah.
326
al-Nasafî, loc.cit.
327
Ibn Hajar, loc.cit.
328
al-Alûsî, op.cit., Jilid XXX, hal. 30.
329
al-Baidhâwî, loc.cit.
78
dinilai ta’wîl yang cukup akurat dan absah untuk dijadikan dasar dalam
memahami makna yang terkandung pada ayat keempat.
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat dikemukakan,
ungkapan kalimat “lam yakun lahu kufuwân ahadun” yang terdapat
pada ayat keempat mengandung makna untuk menegaskan, bahwa
keberadaan dari wujûd Dzat-Nya tidak memiliki kesetaraan,
keserupaan, kesamaan sedikit pun dengan yang lainnya. Karena Dia
adalah Dzat yang tidak beristri dan tidak beranak, dan juga tidak
diperanakkan seperti halnya makhluk. Secara substansial, ayat ini
memberikan gambaran dan penegasan bagi ayat pertama, bahwa
kualitas dari ke-Esaan Allah tidak ada satu pun yang dapat menyamai-
Nya, baik dalam Dzat, sifat maupun af`âl-Nya.
Pada bagian lain, para ulama ahl al-Qurrâ’ memiliki beragam
pandangan mengenai qirâ’atnya kata kufuwân yang berkembang
sampai berkisar enam pendapat, yaitu:
Pertama, menurut Sulaimân Ibn `Alî Ibn `Abdullâh Ibn al-`Abbâs,
bahwa kata kufuwân dibaca “kifâ’an”—yakni dengan memberi harakat
kasrah pada huruf kâf dan harakat fathah pada huruf fâ’ yang
ditambah dengan huruf mad (alif), serta mengganti huruf wâwu
dengan hamzah.330 Qirâ’at model seperti ini, menurut al-Zujâj (w. 311
H) dinilai kurang populer di kalangan ahl al-Qurrâ’.331
Kedua, menurut sebagian ahl al-Qurrâ’, bahwa kata kufuwân
dibaca “kifa’an” yakni dengan memberi harakat kasrah pada huruf kâf
dan harakat fathah pada huruf fâ’ dengan tanpa menambah huruf mad
(alîf), serta mengganti huruf wâwu dengan hamzah.332
Ketiga, menurut sebagian ahl al-Qurrâ’ yang lain, bahwa kata
kufuwân dibaca “kafî’ân”—dengan memberi harakat fathah pada huruf
kâf dan harakat kasrah pada huruf fâ’ yang ditambah huruf mad (yâ),
serta mengganti huruf wâwu dengan hamzah.333
Keempat, menurut Hamzah,334 Ismâ`îl (Basrah),335 Ya`qûb
(Bashrah/w. 205 H), Nâfi`,336 Khalaf (Baghdâd/w. 229)337 dan sebagian
besar ahl al-Qurrâ’ dari Kûfah,338 bahwa kata kufuwân dibaca “kuf’ân”—
yakni dengan membubuhi harakat dhammah pada huruf kâf dan
harakat sukun pada huruf fâ’, serta mengganti huruf wâwu dengan
hamzah.

330
Periksa antara lain al-Alûsî, loc.cit.; Ibn Hajar, loc.cit.; dan al-Darwîsyî, op.cit., Jilid X,
hal. 615.
331
Ibn Jarîr, loc.cit.
332
Ibn Hajar, loc.cit.
333
al-Darwîsyî, loc.cit.
334
Periksa antara lain: al-Nasafî, loc.cit.; al-Alûsî, loc.cit.; al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl
(Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah; Ibn Hajar, loc.cit.; al-Baidhâwî, loc.cit.; Ibn al-
Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah.
335
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah.
336
al-Alûsî, loc.cit.; dan al-Baidhâwî, loc.cit.
337
al-Nasafî, loc.cit.
338
Ibn Jarîr, loc.cit.
79
Kelima, menurut Hafsh339 dan sebagian besar ahl Qurrâ` dari
Bashrah,340 kata kufuwân dibaca “kufuwân”—yakni dengan memberi
harakat dhammah pada huruf kâf dan fâ, dan mengganti huruf
hamzah dengan wâwu. Model qirâ’at ini sebagaimana tertulis di dalam
al-Qur’ân Mush-haf `Utsmânî.

Keenam, menurut sebagian besar ahl al-Qurrâ’ yang lain, kata


kufuwân dibaca “kufu’ân”—yakni dengan memberi harakat dhammah
pada huruf kâf dan fâ’, dan mengganti huruf wâwu dengan hamzah.341
Dari sekian banyak model qirâ’at di atas, Ibn Jarîr 342 lebih
cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa, kata
kufuwân dapat dibaca “kufu’ân” atau “kufuwân” sebagaimana yang
terdapat pada bagian keempat dan kelima. Karena keduanya dinilai
paling populer, baik dari segi qirâ’at maupun bahasanya. Dan kedua
lafal tersebut memiliki arti yang sama—yaitu setara, serupa sebanding.
Oleh sebab itu, membaca salah satu di antara keduanya dinilai absah.
Berbeda halnya dengan Abû `Ubaidah, ia berpendirian bahwa
kata kifâ’an, kafî’ân, dan yang lainnya sangat berkaitan erat dengan
persoalan makna, dan bukan menyangkut persoalan qirâ’at. Karena
kesemuanya mengandung arti yang sama. 343 Tegasnya, bahwa kata
kifâ’an, kafî`ân, dan yang lainnya merupakan penjelasan dari makna
kata kufuwân. Pandangan ini sejalan dengan al-Qurthubî344 dan al-
Baghawî.345
Atas dasar alasan serupa itu, penulis lebih cenderung
menguatkan pandangan yang mengemukakan, bahwa kata kufuwân
dibaca dengan ungkapan “kufuwân” sebagaimana halnya terdapat
pada point kelima. Hal ini sejalan dengan apa terdapat dalam al-
Qur’ân, dan juga Firman Allah dalam hadîts qudsî yang bersumber dari
Abû Hurairah yang ditakhrîj oleh Bukhârî,346 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫سععوُ أ‬ ‫ل عر أ‬ ‫ عقاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ن أ عنبي هأعري نعرة ع رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫عع ن‬
‫ن ل ععع أ‬
‫ه ذ عل نعع ع‬
‫ك‬ ‫م وعل ع ن‬
‫مّ ي عك أعع ن‬ ‫ه ك عذ نب عنني اب ن أ‬
‫ن آد ع ع‬ ‫ عقاَ ع‬: ّ‫الله عليه وسللم‬
‫ل الل أ‬
‫ع‬ ‫شتمنني ول عمّ يك أن ل عه ذ عل ن ع ع‬
‫ إ نينعي‬: ‫ل‬‫قعوُ ع‬ ‫ن يع أ‬
‫ه إ ننيعاَيع أ ن‬ ‫ماَ ت عك ن ن‬
‫ذيب أ أ‬ ‫ أ ن‬،‫ك‬ ‫ع ن ع ن أ‬ ‫وع ع ع ع‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ن أأ ن‬
‫خععذ ع اللعع أ‬
‫ه‬ ‫ ات ن ع‬: ‫ل‬ ‫قوُ ع‬
‫ن يع أ‬
‫ه إ ننياَيع أ ن‬ ‫م أ‬ ‫ماَ ع‬
‫شت ن أ‬ ‫ وعأ ن‬،‫ه‬ ‫عيد عه أ ك ع ع‬
‫ماَ ب عد عأت أ أ‬ ‫لع ن‬

339
Periksa antara lain al-Qurthubî, loc.cit.; al-Darwîsyî, loc.cit.; al-Alûsî, loc.cit.; al-Nasafî,
loc.cit.; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam Maktabah Alfiyyah; Ibn Hajar, loc.cit.; al-Baghawî,
Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah; al-Baidhâwî, loc.cit.
340
Ibn Hajar, loc.cit.
341
Periksa antara lain al-Alûsî, loc.cit.; al-Nasafî, loc.cit.; Ibn al-Jauzî, Zâd al-Masîr, dalam
Maktabah Alfiyyah; al-Darwîsyî, loc.cit.; al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî),
dalam Maktabah Alfiyyah.
342
Ibn Jarîr, loc.cit.
343
Ibn Hajar, loc.cit.
344
al-Qurthubî, loc.cit.
345
al-Baghawî, Ma`âlim al-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawî), dalam Maktabah Alfiyyah.
346
Bukhârî (III/235) dengan transmisi Abû Hurairah, Hammâm, Ma`mar, `Abdur-Razzâq,
dan Ishâq Ibn Muslim.
80
‫ول عدا وأ عناَ الصمد ال نذي ل عمّ أ عل ند ول ع أ‬
‫وُا‬ ‫ن ل نععي ك أ أ‬
‫فعع ئ‬ ‫مّ أول عد ن وعل ععع ن‬
‫مّ ي عك أعع ن‬ ‫ن ع ن‬ ‫ن‬ ‫ن ع أ ن‬ ‫ع ئ ع ع‬
0 ‫حد د‬ ‫ع‬
‫أ ع‬
“Dari Abû Hurairah (r.a) berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
anak Adâm telah berdusta kepada Aku, padahal tidak
seharusnya ia berbuat seperti itu. Dan (anak Adâm) telah
mencaci Aku, padahal tidak seharusnya ia berbuat seperti.
Adapun kedustaannya kepada-Ku dengan mengatakan: “Aku
tidak dapat membangkitnya kembali sebagaimana aku
menciptakan”. Dan caciannya kepada-Ku dengan mengatakan:
“Aku memiliki anak”, padahal Aku adalah (Dzat) tempat
bergantung yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan
tidak ada satu pun yang dapat menyamai Aku”.

Meskipun kata kufuwân pada matan hadîts di atas tidak secara


tegas menunjukkan model qirâ’at, tetapi ini memberikan gambaran
bahwa ungkapan tersebut dinilai akurat dan kuat. Karena kata tersebut
digunakan dalam al-Qur’ân dan al-Hadîts, dan juga lebih populer di
kalangan ahl al-Qurrâ’. []

BAB V
Surat al-Ikhlâs Ditilik Dari segi
Penggunaan Dalam Shalat

81
Berdasarkan penganalisaan penulis, bahwa bacaan surat dalam
shalat—baik fardhu maupun tathawwu`, secara garis besar dapat di
klasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: (1) bacaan surat yang bersifat
umum dan (2) bersifat khusus.
Bacaan yang bersifat umum—dimaksudkan bacaan surat yang
tidak ditentukan jenis-jenisnya, apakah sab` al-Thiwâl, al-Mi’ûn, al-
Matsânî, atau al-Mufash-shal—baik thiwâl al-Mufash-shal, ausâth al-
Mufash-shal maupun qishâr al-Mufash-shal. Dan sebaliknya, bacaan
yang bersifat khusus—dimaksudkan bacaan surat yang secara khusus
telah ditentukan jenis-jenisnya. Namun demikian, pada prakteknya
bacaan surat dalam shalat dapat dilakukan secara bervariasi dan silih
berganti.
Dalam kaitan ini, sebagian para shahâbat ada yang lebih
cenderung menentukan secara khusus bacaan surat dalam shalat, di
antaranya surat al-Ikhlâs, dan bahkan melakukannya secara berulang-
ulang pada setiap rakaatnya. Dasar motivasi yang mereka lakukan—
tiada lain atas kecintaan untuk membacanya yang disebabkan karena
di dalamnya terkandung makna kualitas ke-Esaan dari sifat Allah. Hal
ini sebagaimana ditegaskan dalam riwâyat berikut:
(1)bersumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh Bukhârî, Muslim, Nasâ’î,
dan Baihaqî,347 yaitu:
‫ث‬ ‫ي صللىّ الله عليه وسللمّ ب ععع ع‬ ‫ع‬ ‫عاَئ ن ع‬
‫ن الن نب ن ن‬
‫ أ ن‬،َ‫ة رضي الله عنها‬ ‫ش ع‬ ‫ن ع‬ ‫عع ن‬
‫ع‬ ‫أ‬ ‫سرني نةب وع ع‬ ‫ع‬
ّ‫م‬
‫خت نعع أ‬‫مّ فعي ع ن‬ ‫صععل عت نهن ن‬ ‫حاَب نهن فنععي ع‬ ‫صعع ع‬ ‫قعععرأ نل ن‬ ‫ن يع ن‬‫كاَ ع‬ ‫جل ئ ع علىّ ع‬ ‫عر أ‬
‫ع‬
ّ‫ي صللى‬ ‫ك نللن نب ن ي‬ ‫وُا ذ عك عأرنوا ذ عل ن ع‬ ‫جعأ ن‬ ‫ماَ عر ع‬‫ فعل ع ن‬0{‫د‬ ‫ح د‬ ‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬ ‫نبعععع}قأ ن‬
0َ‫ك؟‬ ‫صععن ععأ ذ عل نعع ع‬ ‫ع‬
‫سععألوُه أ نليي ع‬ ‫قععاَ ع‬‫اللععه عليععه وسععللمّ فع ع‬
‫يبء ي ع ن‬ ‫شعع ن‬ ‫ ع‬:‫ل‬
َ‫ن أ عقنعععرأ ع ب نهعععا‬ ‫ع‬
‫بأ ن‬ ّ ‫ح‬ ‫ن وعأ ععناَ أ أ ن‬ ‫ن‬ ‫م‬
‫ح ع‬ ‫ة النر ن‬ ‫ف أ‬
‫ص ع‬‫ ل عن نعهاَ ن‬: ‫ل‬ ‫قاَ ع‬‫ فع ع‬0‫سأ عألوُه أ‬ ‫فع ع‬
0‫ه‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ي صللىّ الله عليه وسللمّ أ ن‬ ‫ فع ع‬0
‫قاَ ع‬
‫حب ّ أ‬‫ه يأ ن‬‫ن الل ع‬ ‫خب نأروه أ أ ن‬ ّ ‫ل الن نب ن‬
“Dari `Âisyah (r.a), bahwasanya Nabi saw telah mengutus
seseorang untuk menjadi komando sebuah unit pasukan dalam
peperangan. Maka ia (seseorang tersebut) membaca bagi
shahâbat-shahâbatnya (yang menjadi ma’mûm) dalam shalat
mereka dengan mengakhiri bacaannya “qul huwallâhu
ahadun”. Ketika kembali dari peperangan, mereka melaporkan
tentang hal tersebut kepada Rasûlullâh saw, dan beliau
bersabda: tanyakanlah oleh kamu sekalian kepadanya dari apa
yang ia telah lakukan?. Maka mereka bertanya kepadanya, dan
ia pun menjawab: sesungguhnya (dalam surat tersebut)
terkandung makna tentang sifat (kualitas) yang Maha Rahmân
`Azza wa Jalla, dan (oleh sebab itu) aku merasa senang
membacanya (dalam shalatku). Rasûlullâh saw bersabda:
beritahukanlah oleh kalian kepadanya, bahwasanya Allah `Azza
wa Jalla mencintainya”.

(2)bersumber dari Anas Ibn Mâlik yang dirawikan oleh Bukhârî,


Tirmidzî, dan Abû Ya`lâ,348 yaitu:

347
Lihat not sebelum.
348
Lihat not sebelumnya.
82
‫عع ع‬
‫ن‬‫معع ع‬ ‫ل ن‬ ‫جعع د‬ ‫ن عر أ‬ ‫ ك عععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ك رضععي اللععه عنععه قعععاَ ع‬ ‫ماَل نعع ب‬ ‫ن ع‬ ‫س ب نعع ن‬ ‫ن أن ععع ن‬ ‫ن‬
‫ن‬ ‫ع‬
‫سعوُعرة ئ‬ ‫ح أ‬ ‫ن‬
‫معاَ افت ععتع ع‬ ‫ن كل ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ فك اَ ع‬،‫جد ن قعبعاَعء‬ ‫أ‬ ‫سع ن‬ ‫م ن‬ ‫مّ نفي ع‬ ‫مهأ ن‬ ّ ‫صاَرن ي عؤ أ‬ ‫ا نلن ن ع‬
‫ل هأوُ الل ع‬ ‫قرأ أ ل عهمّ في الصل عة فع ع ع‬
{‫د‬ ‫حعع د‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ح نبعععع}قأ ن ع‬ ‫قعرأ ب نعهاَ افنت عت ع ع‬ ‫ن ن‬ ‫أ ن ن‬ ‫يع ن ع‬
‫صن ععأ ذ عل ن ع‬ ‫معععهاَ وع ع‬ ‫أ‬ ‫أ‬
‫ك‬ ‫ن يع ن‬ ‫كاَ ع‬ ‫خعرىَ ع‬ ‫سوُعرةب أ ن‬ ‫قعرأ ب ن أ‬ ‫مّ ي ع ن‬ ‫من نعهاَ ث أ ن‬ ‫فأرغ ع ن‬ ‫حنتىّ ي ع ن‬ ‫ع‬
‫أ‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫أ‬
‫نفي كعع ي‬
‫قعععرأ ب نهعععذ نهن‬ ‫ إ نن نععك ت ع ن‬: ‫قععاَلوُا‬ ‫هف ع‬ ‫حاَب أ أ‬ ‫صعع ع‬ ‫هأ ن‬ ‫معع أ‬ ‫ فكل ع‬0‫ل عركععععةب‬
‫أ‬ ‫ع‬ ‫جزنئ أعع ع‬ ‫ع‬
،َ‫خعععرى‬ ‫سععوُنعرةب أ ن‬ ‫قعععرأ ب ن أ‬ ‫حت نععىّ ت ع ن‬ ‫ك ع‬ ‫مّ ل ع ت ععرىَ أن نعهاَ ت أ ن‬ ‫سوُنعرةن ث أ ن‬ ّ ‫ال‬
‫ عقاَ ع‬0 َ‫خعرى‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
:‫ل‬ ‫سوُعرةب أ ن‬ ‫قعرأ ب ن أ‬ ‫ن ت عد عع ععهاَ وعت ع ن‬ ‫ماَ أ ن‬ ‫قعرأ ب نعهاَ وعإ ن ن‬ ‫ن تع ن‬ ‫ماَ أ ن‬ ‫فعإ ن ن‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
ّ‫م‬ ‫ن ك عرنهنت أعع ن‬ ‫ وعإ ن ن‬،‫ت‬ ‫مّ ب نهعععاَ فعععل نعع أ‬ ‫مك أعع ن‬ ‫ن أؤ أ ن‬ ‫مّ أ ن‬ ‫حب عب نت أ ن‬ ‫نأ ن‬ ‫ماَ أعناَ ب نعتاَرنك نعهاَ إ ن ن‬ ‫ع‬
‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
0‫مّ غ عي نععأره أ‬ ‫مه أ ن‬ ‫ن ي عععؤ أ ن‬ ‫مّ وعك عرنهأععوُا أ ن‬ ‫ضععلهأ ن‬ ‫ه أف ن ع‬ ‫كاَأنوُا ي ععرونن ع أ‬ ‫ وع ع‬0ّ‫م‬ ‫ت ععرك نت أك أ ن‬
‫خب عأروه أ ال ن ع‬ ‫ع‬ ‫ماَ أ ععتاَهأ‬
:‫ل‬ ‫قععاَ ع‬ ‫خب ععععر فع ع‬ ‫ي صللىّ الله عليه وسللمّ أ ن‬ ّ ‫ن‬ ‫مّ الن نب‬ ‫أ‬ ‫فعل ع ن‬
‫قععرأ ع‬ ‫ع‬ ‫مل أ ع‬ ‫حاَب أ ع‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫من ععأ ع‬
‫ن تع ن ع‬ ‫كأ ن‬ ‫ح ن‬ ‫ماَ ي ع ن‬ ‫ك وع ع‬ ‫ص ع‬ ‫مأر ب نهن أ ن‬ ‫ماَ ي عأ أ‬ ‫م ن‬ ‫ك ن‬ ‫ماَ ي ع ن‬ ‫ن ع‬ ‫عياَ فأل ع أ‬
‫ل اللععهن إ نن يععي‬ ‫سععوُ ع‬ ‫ ي عععاَ عر أ‬: ‫ل‬ ‫قععاَ ع‬ ‫ فع ع‬0‫ل عرك نععععةب‬ ‫سوُعرة ع نفي ك أ ي‬ ّ ‫هعذ نهن ال‬
‫ع‬ ‫أأ ن‬
0‫ة‬ ‫جن ن ع‬ ‫ك ال ن ع‬ ‫خل ع ع‬ ‫حب نعهاَ أد ن ع‬ ‫ن أ‬ ‫ إ ن ن‬: ‫ل اللهن‬ ‫سوُ أ‬ ‫ل عر أ‬ ‫قاَ ع‬ ‫ فع ع‬0 َ‫حب ّعها‬
“Dari Anas Ibn Mâlik (r.a), adalah seseorang dari kaum Anshâr
telah mengimâmi mereka di mesjid Qubâ’. Dan setiap
membuka surat yang dibacanya, dia memulainya dengan “qul
huwallâhu ahadun” sehingga selesai darinya, kemudian ia pun
membaca surat yang lain yang menyertainya (surat al-Ikhlâs).
Dan dia melakukan hal itu dalam setiap rakaat (yakni dua
rakaat pertama). Maka para shahâbatnya memprotes, dan
mereka berkata: sesungguhnya kamu telah memulai bacaan
dengan surat ini (al-Ikhlâs), dan kamu pun terlihat tidak
merasa cukup dengan membaca satu surat, sehingga kamu
menambah dengan membaca surat yang lain (dalam setiap
rakaatnya). Maka dia berkata: jika kamu sekalian merasa
senang untuk aku mengimami kalian dengan cara seperti itu,
maka aku akan melakukannya; dan jika kamu sekalian tidak
merasa senang, maka tinggalkanlah aku. Dan mereka
memandang, bahwasanya dia adalah orang yang paling utama
di antara mereka, akan tetapi mereka merasa tidak senang
untuk diimami oleh orang lain selain dia. Maka tatkala Nabi saw
mendatangi mereka, mereka pun mengkhabarkan berita
tersebut. Maka beliau bersabda: wahai fulân! Apa yang
menjadi alasan kamu untuk menolak apa yang menjadi
keinginan shahâbat-shahâbatmu, dan mengapa kamu
menetapkan surat (al-Ikhlâs) untuk di baca dalam setiap
rakaat?. Maka dia (seseorang tersebut) menjawab: aku merasa
senang untuk membacanya. Maka beliau pun bersabda: rasa
senangmu untuk (membaca surat tersebut), Allah akan
memasukanmu ke dalam surga”.

Dalam komentarnya, Nâshiruddîn Ibn al-Munîr mengemukakan,


bahwa hadîts di atas dapat dijadikan sebagai dasar dalil tentang
bolehnya mengkhususkan sebagian surat dalam al-Qur’ân atas dasar
kecintaan hati, dan memperbanyaknya atau membacanya secara
berulang-ulang sebagai bacaan surat dalam shalat dengan tanpa

83
meninggalkan surat-surat yang lainnya.349 Ini berarti, bahwa seseorang
dapat diperbolehkan untuk mengkhususkan surat al-Ikhlâs, dan
membacanya secara berulang-ulang pada setiap rakaat dalam shalat.
Berbeda halnya dengan Ahmad Ibn Hanbal, ia lebih cenderung
melarang untuk membaca surat al-Ikhlâs secara berulang-ulang dalam
shalat. Namun demikian, pandangan tersebut dinilai tidak sejalan
dengan praktek yang telah dilakukan oleh sebagian mayoritas di
kalangan ahli ilmu.350
Di samping itu pula, Ibn Daqîq (625-702 H) memberikan
komentar, bahwa hadîts di atas dapat dijadikan sebagai dasar dalil
tentang bolehnya membaca dua surat secara sekaligus pada setiap
rakaat dalam shalat.351 Dan menurut al-Syaukânî, hal tersebut dapat
dilakukan tidak hanya terbatas pada dua rakaat pertama saja, akan
tetapi termasuk di dalamnya pada dua rakaat terakhir. 352
Sebagai salah satu surat yang tergolong ke dalam jenis qishâr al-
Mufash-shal yang mengandung nilai setara dengan sepertiga al-Qur’ân,
surat al-Ikhlâs adakalanya digunakan secara khusus sebagai bacaan
surat dalam shalat—baik fardhu maupun tathawwu`, yakni (1) shalat
maghrib, (2) ba`da maghrib, (3) qabla shubuh, dan (4) shalat witir, dan
(5) dua rakaat setelah thawâf di maqâm Ibrâhîm.
Penggunaan al-Ikhlâs sebagai bacaan surat pada shalat Maghrib
dalam prakteknya dibaca pada rakaat kedua, dan surat al-Kâfirûn
dibaca pada rakaat pertama. Ini sebagaimana ditegaskan dalam
riwâyat yang bersumber dari Ibn `Umar (w. 94 H) yang ditakhrîj oleh
Ibn Mâjah,353 yaitu:
‫ي صللىّ اللععه عليععه‬
ّ ‫ن الن نب ن‬ ‫ ع‬:‫ل‬
‫كاَ ع‬ ‫معر رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ن عأ ع‬ ‫ن اب ن ن‬ ‫عع ن‬
‫ن { وع } قأ ن‬
‫ل‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ل عياَ أي ّعهاَ ال ع‬
‫} قأ ن‬: ‫ب‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ل‬
‫كاَفنأرو ع‬ ‫مغنرن ن‬
‫قعرأ نفي ال ع‬‫وسلمّ ي ع ن‬
0{‫د‬ ‫هأوُ الل ع‬
‫ح د‬
‫هأ ع‬‫أ‬ ‫ع‬
“Dari Ibn `Umar (r.a) berkata: adalah Nabi saw membaca
(surat) dalam shalat Maghrib: “qul yâ ayyuha’l kâfirûn” dan
“qul huwallâhu ahadun”.

Dan sebaliknya, apabila surat al-Ikhlâs dibaca pada rakaat


pertama, maka pada rakaat keduanya dibaca surat al-Kautsar. Ini
sebagaimana diterungkap dalam riwâyat yang bersumber dari Zaid Ibn
Tsâbit (w. 54 H) yang ditakhrîj oleh Nasâ’î,354 yaitu:
‫قععرأ أ‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫ع‬
‫ك أت ع ن ع‬ ‫ن عياَ أعباَ ع عب ند ن ال ن ع‬
‫مل نعع ن‬ ‫منرعوا ع‬‫ لن ع‬: ‫ل‬ ‫ه عقاَ ع‬‫ت أن ن أ‬‫ن عثاَب ن ب‬‫ن عزي ند ن ب ن ن‬
‫عع ن‬
‫ع‬ ‫ع‬
‫حععد د{ وع } إ نن نععاَ أع نطي نن عععاَ ع‬
َ‫ك‬ ‫ع‬ ‫ب بـعععع } قأعع ن‬ ‫ن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأععوُع اللعع أ‬ ‫مغنرن ن‬ ‫نفي ال ع‬
0ّ‫م‬
‫ ن ععع ن‬: ‫ل‬‫ عقاَ ع‬0َ‫ال نك عوُنث ععر {؟‬
349
Dikutip dalam Ibn Hajar, op.cit., Jilid II, hal. 508; dan al-Syaukânî, op.cit., Jilid I, hal. 238.
350
al-Suyûthî, al-Itqân … op.cit., Jilid I, hal. 295.
351
Dikutip dalam Ibn Hajar, loc.cit.
352
al-Syaukânî, loc.cit.
353
Ibn Mâjah (I/267) dengan transmisi Ibn `Umar, Nâfi`, `Ubaidillâh, Hafsh Ibn Ghiyâts,
dan Ahmad Ibn Budzail.
354
Nasâ’î (II/181) dengan transmisi Zaid Ibn Tsâbit, Marwân Ibn al-Hakam, `Urwah Ibn al-
Zubair, Abû Aswad, `Amr Ibn al-Hârits, Ibn Wahb, dan Muhamad Ibn Salamah.
84
“Dari Zaid Ibn Tsâbit, bahwasanya dia telah bertanya kepada
Marwân: wahai Abû `Abdu’l Mâlik (julukan Marwân)! Apakah
kamu membaca (surat) dalam shalat Maghrib: “qul huwallâhu
ahadun” dan “innâ a`thainâka’l kautsar”?. Dia menjawab: ya”.

Meskipun membaca surat al-Ikhlâs, al-Kâfirûn, al-Kautsar, dan


jenis surat qishâr al-Mufash-shal lainnya dalam shalat Maghrib bersifat
istihbâb (anjuran), ini bukan berarti diperbolehkan untuk merutinkan
surat-surat tersebut dan meninggalkan surat yang lainnya. Karena hal
itu dinilai menyalahi Sunnah.355 Ini terbukti dalam prakteknya, bahwa
pada shalat Maghrib adakalanya Nabi saw membaca dua surat yang
panjang di antara jenis sab` al-Thiwâl 356—yakni surat al-A`râf dan al-
surat An`âm;357 dan adakalanya pula beliau membaca dua surat dari
jenis thiwâl al-Mufash-shal—yakni surat al-Mursalât358 dan surat al-
Thûr.359
Tidak jauh berbeda halnya dengan shalat Maghrib, al-Ikhlâs yang
digunakan sebagai bacaan surat pada shalat ba`da Maghrib dalam
prakteknya dibaca pada rakaat kedua, dan surat al-Kâfirûn dibaca pada
rakaat pertama. Ini sebagaimana dijelaskan dalam riwâyat yang
bersumber dari Ibn Mas`ûd yang ditakhrîj oleh Tirmidzî, Ibn Mâjah, dan
Abû Ya`lâ,360 yaitu:
ّ‫ي صللىّ الله عليه وسععللم‬ ‫ع‬
‫ن الن نب ن ن‬
‫ أ ن‬،‫سأعوُد ب رضي الله عنه‬
‫م ن‬
‫ن ع‬
‫ن اب ن ن‬
‫عع ن‬
َ‫ل ي عععاَ أ عي ّهعععا‬
‫} قأعع ن‬: ‫ب‬ ‫لة ن ال ن ع‬
‫مغنرن ن‬ ‫ص ع‬ ‫ن ب ععند ع ع‬
‫ن‬
‫كاَن ي ن أ‬
‫قعرأ نفي النرك نععت عي ن‬ ‫ع ع ع‬
0{‫حد د‬ ‫ع‬ ‫ن { وع } قأ ن‬ ‫ال ن ع‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫كاَفنأرو ع‬
“Dari Ibn Mas`ûd (r.a), bahwasanya Nabi saw membaca (surat)
dalam shalat ba`da maghrib: “qul yâ ayyuha’l kâfirûn” dan “qul
huwallâhu ahadun”.

355
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1983, Jilid I, hal. 131.
356
Lihat Ahmad (V/188-189), Bukhârî (I/171), Nasâ’î (II/182-183), dan Abû Dâwud (I/197)
dengan transmisi Zaid Ibn Tsâbit, Marwân Ibn al-Hakam, `Urwah Ibn al-Zubair, `Abdullâh
Ibn Mulaikah, dan Ibn Juraij. Dan juga Ahmad (V/187) dengan transmisi …, `Urwah Ibn al-
Zubair, Hisyâm Ibn `Urwah, `Abdur-Rahmân Ibn Abû al-Zinâd, dan Sulaimân Ibn Dâwud.
357
Ibn Hajar, op.cit., Jilid II, hal. 493-494.
358
Lihat Mâlik (50), Syâfi`î (374), Bukhârî (I/171), dan Muslim (I/40) dengan transmisi
Ummu al-Fadhl Binti al-Hârits, Ibn `Abbâs, `Ubaidullâh Ibn `Abdullâh Ibn `Utbah, Zuhrî, dan
Mâlik; Ahmad (VI/338), Nasâ’î (II/180) dan Ibn Mâjah (I/267) dengan transmisi …, Zuhrî, dan
Sufyân Ibn `Uyainah; Ahmad (VI/340) dengan transmisi Ummu …, Zuhrî, dan Ma`mar;
Tirmidzî (II/332) dengan transmisi …, Zuhrî, dan Muhamad Ibn Ishâq; Dârimî (I/196) dengan
transmisi …, Zuhrî, dan Yûnus; Bukhârî (III/89) dengan transmisi …, Zuhrî, dan `Uqail;
Ahmad (VI/338) dan Nasâ’î (II/180) dengan transmisi Ummu al-Fadhl Binti al-Hârits, Anas,
Humad, `Abdu’l `Azîz Ibn Abû Salamah al-Mâjisûn, dan Mûsâ Ibn Dâwud.
359
Lihat Mâlik (50), Syâfi`î (374), Bukhârî (I/171), Muslim (I/41), Tirmidzî (II/332), Nasâ’î
(II/180), dan Abû Dâwud (I/197) dengan transmisi Jubair Ibn Muth`im, Muhamad Ibn Jubair,
Ibn Syihâb, dan Mâlik; Ahmad (IV/80), Bukhârî (IV/200), Ibn Mâjah (I/267), dan Dârimî
(I/296) dengan transmisi …, Ibn Syihâb, dan Sufyân Ibn `Uyainah; Ahmad (IV/84) dan
Bukhârî (II/208, III/15) dengan transmisi …, Ibn Syihâb, dan Ma`mar; Ahmad (IV/83) dengan
tarnsmisi …, Ibn Syihâb, dan Muhamad Ibn `Amr.
360
Tirmidzî (I/438), Ibn Mâjah (I/366), dan Abû Ya`lâ (IV/170) dengan transmisi `Abdullâh
Ibn Mas`ûd, Abû Wâ’il-Zirrîn, `Âshim Ibn Bahdalah, dan `Abdu’l Mâlik Ibn al-Walîd Ibn
Ma`dân.
85
Demikian pula halnya, penggunaan al-Ikhlâs sebagai bacaan
surat pada shalat qabla Shubuh, dalam prakteknya memiliki cara yang
sama dengan shalat ba`da maghrib—yakni dibaca pada rakaat kedua,
dan surat al-Kâfirûn dibaca pada rakaat pertama. 361 Ini sebagaimana
ditegaskan dalam riwâyat berikut:
(1)bersumber dari Abû Hurairah yang ditakhrîj oleh Muslim, Nasâ’î, Abû
Dâwud, Ibn Mâjah, dan Baihaqî,362 yaitu::
‫ل اللهن صللىّ الله عليععه‬ ‫سوُ ع‬ ‫ع‬ ‫عع ع‬
‫ن عر أ‬ ‫ أ ن‬،‫ن أنبي هأعري نعرة ع رضي الله عنه‬ ‫ن‬
‫ن { عو‬ ‫رو‬ ‫ف‬ ‫ع‬
َ‫ععا‬ ‫ك‬‫ن‬ ‫ل‬‫ا‬ َ‫ععا‬
‫ه‬ ‫ي‬‫ل يعاَ أ ع‬‫ن‬ ‫أ‬
‫قع‬ } :‫ر‬ ‫عع‬
‫ج‬ ‫ع‬ ‫ف‬‫ن‬ ‫ل‬‫ا‬ ‫ي‬ ‫ت‬‫ع‬‫ن‬ ‫ك‬‫ر‬ ‫في‬ ‫وسللمّ قعرأ ع‬
‫أ ع‬ ‫ن‬ ‫ع ّع‬ ‫ن ن‬ ‫ع‬
‫ع ع ن‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ل هأوُ الل ع‬
0{‫حد د‬
‫هأ ع‬‫أ‬ ‫} قأ ن ع‬
“Dari Abû Hurairah (r.a), bahwasanya Rasûlullâh saw membaca
(surat) dalam shalat qabla shubuh: “qul yâ ayyuha’l kâfirûn”
dan “qul huwallâhu ahadun”.

(2)bersumber dari `Âisyah yang ditakhrîj oleh Ahmad, Ibn Mâjah, dan
Dârimî,363 yaitu:
‫ل اللععهن صععللىّ اللععه عليععه‬ ‫سوُ ع‬ ‫ع‬ ‫عاَئ ن ع‬
‫ن عر أ‬
‫ أ ن‬،‫ة رضي اللععه عنععه‬ ‫ش ع‬ ‫ن ع‬ ‫عع ن‬
‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ نبععععع} قأ ن‬:‫ر‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ن‬
‫ل ي ع اَ أي ّعهعاَ الكعاَفنأرو ع‬ ‫ج ن‬
‫ف ن‬ ‫وسلمّ قععرأ نفي عركععت ع ن‬
‫ي ال ع‬ ‫ل‬
‫ل هأوُ الل ع‬
0{‫حد د‬
‫هأ ع‬‫أ‬ ‫{و ع } ق أ ن ع‬
“Dari `Âisyah (r.a), bahwasanya Rasûlullâh saw membaca
(surat) dalam shalat qabla shubuh: “qul yâ ayyuha’l kâfirûn”
dan “qul huwallâhu ahadun”.

(3)bersumber dari Jâbir Ibn `Abdullâh yang ditakhrîj oleh Ibn Hibbân
dan al-Thahâwî (w. 321H),364 yaitu:
‫م فععرك ععععع عرك نععت عععي ال ن ع‬ ‫ع‬
‫جععرن‬‫ف ن‬ ‫جل ئ عقاَ ع‬
‫ن عر أ‬ ‫ أ ن‬،‫جاَب نرب رضي الله عنععه‬ ‫ن ع‬ ‫عع ن‬
‫ت‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ }قأ ن‬: ّ‫ي الونلى‬ ‫ع‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫فع ع‬
‫ضعع ن‬‫ق ع‬ ‫حت نععىّ ان ن ع‬‫ن{ ع‬ ‫ل ي عععاَ أي ّهعععاَ الكععاَفنأرو ع‬ ‫قعرأ ف ن‬
‫ف‬‫ذا ع عب نععد د ع عععنر ع‬ ‫ هععع ع‬: ّ‫ي صللىّ الله عليه وسللم‬ ّ ‫ل الن نب ن‬‫قاَ ع‬‫ فع ع‬0‫سوُنعرةن‬ّ ‫ال‬
‫ع‬ ‫}قأ ن‬: ‫خعرةن‬ ‫ي نال ن‬ ‫ع‬
‫ت‬ ‫ضع ن‬ ‫ق ع‬ ‫حت نععىّ ان ن ع‬‫حعد د{ ع‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأععوُع اللع أ‬ ‫ وعقععرأ ف ن‬0‫ه‬ ‫عرب ن أ‬
‫ذا ع عب نععد د آمعن‬ ‫ل‬
‫ هععع ع‬: ّ‫ي صلىّ الله عليه وسلم‬ ‫ل‬ ّ ‫ل الن نب ن‬‫قاَ ع‬‫ فع ع‬0‫سوُنعرةن‬ّ ‫ال‬
0‫ب نعرب يهن‬
“Dari Jâbir (r.a), bahwasanya seseorang shalat qabla Shubuh,
maka ia membaca pada rakaat pertama “qul yâ ayyuha’l
kâfirûn” sehingga menyelesaikan pada akhir surat. Maka Nabi
saw bersabda: ini adalah hamba yang mengetahui Rabbnya.
Dan pada rakaat kedua ia membaca “qul huwallâhu ahadun”

361
Periksa antara lain al-Kahlânî dan al-Shan`ânî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm
min Jam` al-Adillah al-Ahkâm, al-Haramain, Sanqâfûrah-Jeddah, 1960, Jilid II, hal. 6; dan al-
Nawawî dan al-Mâlikî, Ibânah al-Ahkâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Dâr al-Tsaqâfiyyah al-
Islâmiyyah, Beirut-Libanon, t.t., Jilid I, hal. 504.
362
Muslim (I/161), Nasâ’î (II/166), Abû Dâwud (I/296), Ibn Mâjah (I/360) dan Baihaqî
(IV/215) dengan transmisi Abû Hurairah, Abû Hâzim, Yazîd Ibn Kaisân, dan Marwân Ibn
Mu`âwiyah.
363
Ahmad (VI/225) dengan transmisi `Âisyah, Muhamad Ibn Sîrîn, dan Hisyâm; Ahmad
(VI/80) dengan transmisi …, Khâlid-Hisyâm, dan Ali; Ibn Mâjah (I/361) dengan transmisi
`Âisyah, `Abdullâh Ibn Saqîq, al-Jurairî, Yazîd Ibn Hârûn, dan Abû Bakr Ibn Abû Syaibah.
364
Dikutip dalam Sayyid Sâbiq, Fiqh … op.cit., Jilid I, hal. 159.
86
sehingga menyelesaikan pada akhir surat. Maka Nabi saw
bersabda: ini adalah hamba yang berimân kepada Rabbnya”.

Penegasan lebih lanjut tentang penggunaan surat al-Ikhlâs dan


al-Kâfirûn sebagai bacaan surat dalam shalat ba`da maghrib dan qabla
shubuh—ini dikuatkan dengan periwayâtan lain yang bersumber dari
Ibn `Umar yang ditakhrîj oleh Ahmad dan Nasâ’î,365 yaitu:
ّ‫ل اللععهن صععللى‬ ‫سععوُ ع‬
‫ت عر أ‬ ‫ق أ‬
‫م ن‬ ‫معر رضي الله عنه عقاَ ع‬
‫ عر ع‬: ‫ل‬ ‫ن عأ ع‬
‫ن اب ن ن‬
‫عع ن‬
‫ن‬ ‫أ‬
‫ب‬ ‫قعرأ نفي النرك نععت عي نن ب ععند ع ال ع‬
‫مغنرن ن‬ ‫ن‬ ‫منرة ئ ي ع ن‬
‫ن ع‬
‫ري ع‬
‫ش ن‬ ‫الله عليه وسللمّ ن‬
‫ع ن‬
‫ن { وع }قألن‬ ‫ل عياَ أ عي ّعهاَ ال ن ع‬
‫كاَفنأرو ع‬ ‫ } ق أ ن‬: ‫جر ن‬ ‫ل ال ن ع‬
‫ف ن‬ ‫وعنفي النر عك نععت عي ن ن‬
‫ن قعب ن ع‬
0{‫حد د‬ ‫هأ ع‬ ‫هأوُع الل أ‬
“Dari Ibn `Umar (r.a) berkata: aku telah melihat dan
merenungkan sebanyak dua puluh kali Rasûlullâh saw
membaca pada dua rakaat ba`da Maghrib dan dua rakaat
sebelum fajar (qabla shubuh): “qul yâ ayyuha’l kâfirûn”
dan “qul huwallâhu ahadun”.

Namun demikian, membaca kedua surat tersebut sebagai bacaan


yang bersifat khusus dalam shalat ba`da maghrib dan qabla shubuh
dinilai istihbâb, dan bukan merupakan suatu keharusan untuk
dirutinkan dengan meninggalkan surat-surat yang lain.366
Selain pada shalat maghrib, ba`da maghrib, dan qabla shubuh,
surat al-Ikhlâs diistihbâbkan pula untuk digunakan sebagai bacaan
surat dalam shalat witir yang jumlahnya tiga rakaat.367 Hal ini sebagai
dijelaskan dalam riwâyat berikut:
(1)bersumber dari Ibn `Abbâs yang ditakhrîj oleh Nasâ’î, Ibn Mâjah, dan
Dârimî,368 yaitu:
‫ي صععللىّ اللععه‬ّ ‫ن الن نب نعع‬ ‫ ع‬:‫ل‬
‫كاَ ع‬ ‫س رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ن ع عنباَ ب‬ ‫ن اب ن ن‬
‫عع ن‬
‫ع‬
{ّ‫ك ا نلع نل عععى‬‫مّ عرب يعع ع‬ ‫عليه وسللمّ أيوُت نأر ب نث عل ع ب‬
‫سعع ع‬
‫ح ا ن‬‫سب ي ن‬
‫ث نبعععع } ع‬
‫ل هأوُ الل ع‬ ‫ل عياَ أ عي ّعهاَ ال ن ع‬
0{‫حد د‬
‫هأ ع‬‫أ‬ ‫ن { وع } قأ ن ع‬
‫كاَفنأرو ع‬ ‫وع } قأ ن‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a): adalah Nabi saw berwitir dengan tiga
rakaat (membaca): “sabbihismarabbika’l A`lâ”, “qul yâ
ayyuha’l kâfirûn” dan “qul huwallâhu ahadun”.

(2)bersumber dari Ubay Ibn Ka`ab yang ditakhrîj oleh Ahmad, Ibn
Mâjah, dan Dâruquthnî,369 yaitu:

365
Ahmad (II/24, 58, 99) dengan transmisi Ibn `Umar, Mujâhid, Abû Ishâq, dan Ismâ`îl; dan
Nasâ’î (II/180) dengan transmisi …, Mujâhid, Ibrâhîm Ibn Muhâjir, Abû Ishâq, dan`Ammâr
Ibn Zuraiq. Dan juga ditakhrîj pula oleh Tirmidzî (II/425) dan Ibn Mâjah (I/361) dengan
transmisi …, Abû Ishâq, dan Sufyân Ibn `Uyainah.
366
Periksa antara lain: al-Syaukânî, op.cit., Jilid II, hal. 24; Sayyid Sâbiq, Fiqh … op.cit., Jilid
I, hal. 156-160; dan al-Bassâm, Taudhîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm, Maktabah al-
Usudî, Makkah-al-Mukarramah, 2003, Jilid II, hal. 391.
367
Sayyid Sâbiq, Fiqh … op.cit., Jilid I, hal. 165.
368
Nasâ’î (III/235), Ibn Mâjah (I/362) dan Dârimî (I/372) dengan transmisi Ibn `Abbâs, Sa`îd
Ibn Jubair, Abû Ishâq, dan Yûnus Ibn Ishâq.
369
Ahmad (V/123), Ibn Mâjah (II/368) dan Dâruquthnî (I/20) dengan transmisi Ubay Ibn
Ka`ab, `Abdur-Rahmân Ibn Abzâ, Dzarr, Thalhah-Zubaid, dan al-A`masy.
87
‫عع أ‬
‫ل اللععهن‬ ‫سععوُ أ‬
‫ن عر أ‬ ‫ ك عععاَ ع‬: ‫ل‬
‫ب رضععي اللععه عنععه عقاَ ع‬ ‫ن ك ععن ب‬
‫ي ن بن ن‬
‫ن أب ع ل‬ ‫ن‬
‫مّ عريبععكع‬‫سعع ع‬
‫ح ا ن‬ ‫سععب ي ن‬ ‫ل‬
‫صععلىّ اللععه عليععه وسععلمّ أيععوُت نأر نبععععععع } ع‬ ‫ل‬
‫حععد‬ ‫ع‬ ‫ن { وع } قأ ن‬ ‫ل عياَ أ عي ّعهاَ ال ن ع‬
‫ا نل عع نعلىّ{ وع } قأ ن‬
‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع اللعع أ‬ ‫كاَفنأرو ع‬
0{‫د‬
“Dari Ubay Ibn Ka`ab (r.a): adalah Rasûlullâh saw berwitir
dengan (membaca): “Sabbihismarabbika`l A`lâ” “Qul yâ
ayyuha’l kâfirûn” dan “Qul huwallâhu ahadun”.

Dalam prakteknya, surat al-Ikhlâs dibaca pada rakaat ketiga,


surat al-A`lâ dibaca pada rakaat pertama, dan surat al-Kâfirûn dibaca
pada rakaat kedua. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam riwâyat
berikut:
(1)bersumber dari Ibn `Abbâs yang ditakhrîj oleh Nasâ’î, dan Dârimî, 370
yaitu:
‫ل اللهن صللىّ الله‬ ‫سوُ أ‬‫ن عر أ‬ ‫ ع‬:‫ل‬
‫كاَ ع‬ ‫س رضي الله عنه عقاَ ع‬ ‫ن ع عنباَ ب‬ ‫ن اب ن ن‬
‫عع ن‬
‫ع‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ع‬ ‫ل‬
ّ‫م‬
‫سعع ع‬
‫حا ن‬ ‫سععب ي ن‬
‫قعرأ فنععي الولععىّ نبععععععع} ع‬ ‫عليه وسلمّ أيوُت نأر ب نث عل ب‬
‫ث يع ن‬
‫ع‬ ‫ك ا نل عع نعلىّ{ وع نفي النثاَن ني عةن نبعععع} قأ ن‬
‫ل عياَ أي ّهعععاَ ال نك عععاَفنأرو ع‬
‫ن { وع‬ ‫عرب ي ع‬
0{‫حد د‬ ‫ع‬ ‫نفي النثاَل نث عةن نبعععع} قأ ن‬
‫هأ ع‬‫ل هأوُع الل أ‬
“Dari Ibn `Abbâs (r.a) berkata: adalah Rasûlullâh saw berwitir
dengan tiga rakaat beliau (membaca) pada rakaat pertama
“sabbihismarabbika’l A`lâ”, dan pada rakaat kedua “qul yâ
ayyuha’l kâfirûn”, sedangkan pada rakaat ketiga “qul
huwallâhu ahadun”.

(2)bersumber dari Ubay Ibn Ka`ab yang ditakhrîj oleh Nasâ’î, 371 yaitu:
‫عع أ‬
‫ل اللععهن‬ ‫سععوُ أ‬
‫ن عر أ‬ ‫ ك عععاَ ع‬: ‫ل‬ ‫ب رضي اللععه عنععه عقاَ ع‬ ‫ن ك ععن ب‬‫ن‬ ‫ي بن‬‫ن أب ع ي‬ ‫ن‬
‫ر‬ ‫ت‬ ُ‫و‬ ‫ن‬
‫عع‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫عع‬
‫م‬ ّ‫ععى‬‫ع‬ ‫ل‬ ‫أ‬
‫لو‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ة‬‫عع‬
‫ع‬ ‫ن‬ ‫ك‬‫ر‬ ‫ال‬ ‫في‬ ‫قرأ أ‬
‫ن‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ص ل‬
‫نن ن‬ ‫ن ع‬ ‫ن ع ن‬ ‫ع ع ن‬ ّ‫لم‬ ‫وس‬ ‫عليه‬ ‫الله‬ ّ‫لى‬
‫ل‬‫ك ا نلع نعلىّ{ وع نفي النثاَن ني عةن نبعععع} أقعع ن‬ ‫ع‬ ‫مّ عرب ي ع‬
‫س ع‬‫ح ا ن‬ ‫سب ي ن‬ ‫نبععععع} ع‬
‫ع‬ ‫ع‬
0{‫حد د‬ ‫هأ ع‬ ‫ل هأوُع الل أ‬ ‫ن { وع نفي النثاَل نث عةن نبعععع} قأ ن‬ ‫عياَ أي ّعهاَ ال نكاَفنأرو ع‬
‫ع‬
“Dari Ubay Ibn Ka`ab (r.a) berkata: adalah Rasûlullâh saw
membaca pada rakaat pertama dalam shalat witir
“sabbihismarabbika’l A`lâ”, dan pada rakaat kedua “qul yâ
ayyuha’l kâfirûn”, dan pada rakaat ketiga “qul huwallâhu
ahadun”.

(3)bersumber dari `Abdullâh Ibn Mas`ûd yang ditakhrîj oleh Abû


Ya`lâ372 dengan redaksi sebagai berikut:
‫ل‬‫سععوُ أ‬ ‫ ك عععاَ ع‬: ‫ل‬
‫ن عر أ‬ ‫سعأوُند ب رضي الله عنه قعععاَ ع‬ ‫م ن‬ ‫ن ع‬
‫ن ع عب ند ن اللهن ب ن ن‬
‫عع ن‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫ن النركعععةن‬ ‫معع ع‬ ‫قععرأ نفعي الععوُنت نرن ن‬‫اللعهن صععلىّ اللععه عليععه وسععلمّ ي ع ن‬

370
Nasâ’î (III/235) dan Dârimî (I/372) dengan transmisi Ibn `Abbâs, Sa`îd Ibn Jubair, Abû
Ishâq, dan Zakariyyâ` Ibn Abû Zâidah, dan Abû Usâmah.
371
Nasâ’î (III/235) dengan transmisi Ubay Ibn Ka`ab, `Abdur-Rahmân Ibn Abzâ, Qatâdah,
Sa`îd Ibn Abû `Arûbah, `Îsâ Ibn Yûnus, dan Ishâq Ibn Ibrâhîm.
372
Abû Ya`lâ (IV/170) dengan transmisi `Abdullâh Ibn Mas`ûd, Abû Wâ’il-Zirrîn, `Âshim Ibn
Bahdalah, `Abdul Mâlik Ibn al-Walîd Ibn Ma`dân, dan Sa`îd Ibn al-As`ats.
88
‫ك ا نل عع نعلىّ{ وع النثاَن ني عةن نبعععععع} قأعع ن‬
‫ل‬ ‫مّ عرب ي ع‬
‫س ع‬‫حا ن‬
‫ن‬ ‫ا نلوعلىّ نبععععع} ع‬
‫سب ي‬ ‫أ‬
‫ل هأوُ الل ع‬ ‫عياَ أ عي ّعهاَ ال ن ع‬
0{‫حد د‬ ‫هأ ع‬ ‫أ‬ ‫ن { وع نفي النثاَل نث عةن نبعععع} قأ ن ع‬ ‫كاَفنأرو ع‬
“Dari `Abdullâh Ibn Mas`ûd (r.a) berkata: adalah Rasûlullâh saw
membaca pada rakaat pertama dalam shalat witir
“sabbihismarabbika’l A`lâ”, dan pada rakaat kedua “qul yâ
ayyuha’l kâfirûn”, dan pada rakaat ketiga “qul huwallâhu
ahadun”.

Meskipun membaca ketiga surat tersebut pada shalat witir dinilai


bersifat istihbâb, namun lebih utama tidak selalu harus dirutinkan,
karena khawatir dianggap sebagai suatu keharusan.373
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, diistihbâbkannya membaca
surat al-Kâfirûn dan al-Ikhlâs dalam shalat shubuh dan shalat witir,
tiada lain sebagai isyarat untuk membersihkan diri dan agar terjaga
dari segala sifat syirik amalî dan syirik i`tiqâdî, serta senantiasa agar
tertanam nilai-nilai ketauhidan.374
Dalam riwâyat lain dijelaskan, bahwa Nabi saw adakalanya
mengkhususkan surat al-Ikhlâs sebagai bacaan surat pada shalat dua
rakaat setelah thawâf di maqâm Ibrâhîm. Namun demikian, membaca
kedua surat tersebut dinilai bersifat istihbâb.375 Dalam prakteknya,
surat al-Ikhlâs di baca pada rakaat kedua, dan surat al-Kâfirûn pada
rakaat pertama. Ini sebagaimana terungkap dalam riwâyat yang
bersumber dari Jâbir Ibn `Abdullâh yang ditakhrîj oleh Muslim, Nasâ’î,
Abû Dâwud, Ibn Mâjah, Dârimî, dan Abû Ya`lâ,376 yaitu:
ّ‫ل الله ن صععللى‬ ‫سوُ ع‬ ‫ع‬
‫ن عر أ‬‫ أ ن‬،‫ن ع عب ند ن اللهن رضي الله عنه‬ ‫جاَب نرن ب ن ن‬
‫ن ع‬
‫عع ن‬
‫ع‬
‫ذوا‬‫خ أ‬‫ } عوات ن ن‬: ‫مّ قععرأ‬
‫هي ع‬
‫قاَم ن إ نب نعرا ن‬ ‫ماَ ان نت ععهىّ إ نعلىّ ع‬
‫م ع‬ ‫الله عليه وسللمّ ل ع ن‬
‫قععاَم إبراهيععمّ مصععدلىّ{ فعصععنلىّ رك نعتيععن فع ع ع‬
‫ة‬ ‫قعععرأ عفاَت ن ع‬
‫حعع ع‬ ‫ع ع عن ن‬ ‫ع‬ ‫م ع ن ننع ن ع أ ع‬ ‫ن ع‬ ‫م ن‬ ‫ن‬
‫ع‬ ‫ن { وع } قأ ن‬ ‫ن‬ ‫ع‬
‫ل عياَ أي ّعهاَ ال ع‬
‫ب وع } قأ ن‬ ‫ن‬
‫حد د‬
‫ل هأوُع الله أ أ ع‬ ‫كاَفنأرو ع‬ ‫الك نعتاَ ن‬
0 ‫الحديث‬000 {
“Dari Jâbir Ibn `Abdullâh (r.a), bahwasanya Rasûlullâh saw,
ketika telah selesai (thawâf) beliau menuju maqâm Ibrâhîm
(lalu) membaca: “Wattakhidû min Maqâm Ibrâhîm Mushallâ”
(Q.S. al-Baqarah/2:125), Kemudian beliau shalat dua rakaat,
lalu membaca Fâtihah, dan “qul huwallâhu ahadun”, dan “qul
yâ ayyuha’l kâfirûn” .... al-Hadîts”.

Dengan merujuk dan memperhatikan uraian singkat di atas dapat


dipahami, bahwa surat al-Ikhlâs yang tergolong ke dalam qishâr al-
Mufash-shal secara khusus dapat digunakan sebagai bacaan surat

373
al-Bassâm, op.cit., Jilid II, hal. 430.
374
ibid., Jilid II, hal. 392.
375
al-Syaukânî, op.cit., Jilid III, hal. 116.
376
Muslim (II/38-40), Abû Dâwud (I/439-440), Ibn Mâjah (I/217-218), Dârimî (II/44-47)
dengan transmisi Jâbir Ibn `Abdullâh, Muhamad, Muhamad Ibn Ja`far, dan Hâtim Ibn
Ismâ`îl; Nasâ’î (V/242) dengan transmisi …, Muhamad Ibn Ja`far, Mâlik, al-Walîd, dan `Amr
Ibn`Utsmân Ibn Sa`îd Ibn Katsîr Ibn Dînâr al-Himshî; dan Abû Ya`lâ (II/177-178) dengan
transmisi …, Muhamad Ibn Ja`far, Wuhaib, dan al-`Abbâs Ibn al-Walîd al-Narsî; dan redaksi
menurut Nasâ’î.
89
dalam shalat Mmghrib, ba`da maghrib, qabla shubuh, shalat witir, dan
shalat dua rakaat setelah thawâf di maqâm Ibrâhîm. Namun
penggunaan surat-surat tersebut dinilai bersifat istihbâb, dan bukan
merupakan keharusan. []

al-Marâji`

al-Qur’ân al-Karîm
Abû Dâwud, Sulaimân Ibn al-Asy`ats al-Sajsatânî, Sunan Abû Dâwud, [Tahqîq:
Shidqî Muhamad Jamîl al-`Uth-thâr], Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon,
1994.
`Ali, Yusuf Faisal, Muqaddimah Tafsîr al-Fâtihah, al-Basmalah, Bandung, 2003.
al-Anshârî, Jamâluddîn `Abdullâh Ibn Hisyâm, Syarh Syudzûr al-Dzahab, Dar
al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994.
al-Ashfahânî, al-Râghib, Mu`jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, t.t.
al-`Asqalânî, Syihâbuddîn Abû al-Fadhl Ahmad Ibn `Alî Ibn Hajar, Fath al-Bârî
bi Shahîh al-Bukhârî, [Tahqîq: al-Syaikh `Abdu’l `Azîz Ibn
`Abdullâh Ibn Bâz], Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 2002. Cet. I.
al-Baghdâdî, Syihâbuddîn Sayyid Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma`ânî fî Tafsîr al-
Qur’ân al-`Azhîm wa al-Sab` al-Matsânî, Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-
`Arabî, t.tp., t.t.

90
al-Baghawî, Abû al-Husain Ibn Mas`ûd Ibn Muhamad al-Farrâ’, Ma`âlim al-
Tanzîl, dalam Maktabah Alfiyyah.
al-Baidhâwî, Abû al-Thayyib Muhamad Asyraf Ibn Amîr Ibn `Alî Ibn Haidar,
Anwâr al-Tanzîl, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
al-Baihâqî, Abû Bakr Ahmad Ibn al-Husain Ibn `Alî Ibn `Abdullâh Ibn Mûsâ, al-
Sunan al-Shaghîr, [Tahqîq: `Abdullâh `Umar], Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, 1993.
al-Bassâm, `Abdullâh Ibn `Abdur-Rahmân, Taudhîh al-Ahkâm min Bulûgh al-
Marâm, Maktabah al-Usudî, Makkah-al-Mukarramah, 2003, Cet. V.
al-Bukhârî, Abû `Abdullâh Muhamad Ibn Ismâ`îl, al-Jâmi` al-Shahîh li al-
Bukhârî, [Hâsyiyah al-Sindî], Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994.
al-Dârimî, `Abdullâh Ibn `Abdur-Rahmân Ibn al-Fadhl Ibn Bahrân Ibn `Abd al-
Shamad al-Taimî al-Samarqandî, Sunan al-Dârimî (Musnad al-
Dârimî), Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
al-Dâruquthnî, `Alî Ibn `Umar, Sunan al-Dâruquthnî, Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, 1995.
al-Darwîsyî, Muhyiddîn, I`râb al-Qur’ân al-Karîm wa Bayânuh, Dâr al-Irsyâd li
Syu`ûn al-Jam`iyyah, Himsh-Sûriyah, 1998.
al-Dzahabî, Abû `Abdullâh Muhamad Ibn Ahmad Ibn `Utsmân, Mîzân al-I`tidâl
fî Naqd al-Rijâl, [Tahqîq: `Alî Muhamad al-Bajâwî], Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, t.t.
Ghulayainî, al-Syaikh Musthafâ, Jâmi` al-Durûs al-`Arabiyyah, al-Maktabah
al`Ashriyyah, Shaidâ-Libanon, 1989, Cet. XXVIII.
Hasan, Abbâs, al-Nahw al-Wâfî ma`a Rabthih bi al-Asâlîb al-Rafî`ah wa al-
Hayâh al-Lughawiyyah al-Mutajaddidah, Dâr al-Ma`ârif bi Mishr,
al-Qâhirah, t.t., Cet. III.
al-Hasanî, Muhamad Ibn `Alawî al-Mâlikî, Zubdah al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân,
Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1986, Cet. III.
al-Hâsyimî, al-Sayyid Ahmad, al-Qawâ`id al-Asâsiyyah li al-Lughah al-
`Arabiyyah, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut-Libanon, t.t.
Ibn Anas, Mâlik, al-Muwath-tha’, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1989, Cet. I.
Ibn `Arabî, Abû Bakr Muhamad Ibn `Abdullâh, Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, t.t.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al-Imâm Ahmad, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
Ibn Katsîr, `Imâduddîn Abû al-Fidâ’ Ismâ`îl, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, Dâr al-
Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
al-`Irâqî, Zainuddîn `Abdur-Rahmân Ibn al-Husain, Fath al-Mugîts Syarh
Alfiyyah al-Hadîts, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1995, Cet. I.
al-`Izz, al-Allâmah `Alî Ibn `Alî Ibn Muhamad Ibn Abû, Syarh al-Thahâwiyyah fî
al-`Aqîdah al-Salîfah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1988.
al-Jailî, al-Syaikh `Abdu’l Karîm Ibn Ibrâhîm, al-Insân al-Kâmil fî Ma`rifat al-
Awâkhir wa al-Awâ’il, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Madârij al-Sâlikîn bain Manâzil Iyyâka Na`budu wa
Iyyâka Nasta`în, [Tahqîq: Muhamad Hâmid al-Faqî], Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1996.
al-Jauzî, Abû al-Farj `Abdur-Rahmân Ibn `Alî Ibn Muhamad, Zâdu’l Masîr,
dalam Maktabah Alfiyyah.
al-Jazâ’irî, Abû Bakr Jâbir, `Aqîdah al-Mu’min, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon,
1995.
al-Jurjânî, Syarîf `Alî Ibn Muhamad, Kitâb al-Ta`rîfât, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah,
Beirut-Libanon, 1988, Cet. III.

91
al-Kahlânî, Muhamad Ibn Ismâ`îl dan Muhamad Ibn Ismâ`îl al-Shan`ânî, Subul
al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm min Jam` al-Adillah al-Ahkâm,
al-Haramain, Sanqâfûrah-Jeddah, 1960, Cet. IV.
al-Khathîb, Muhamad `Ajjâj , Ushûl al-Hadîts wa `Ulûmuh wa Mush-thalahuh,
Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1989.
al-Khûbî, `Utsmân Ibn Hasan Ibn Ahmad al-Syâkir, Durrah al-Nâshihîn fî al-
Wa`zh wa al-Irsyâd, Syirkah al-Nûr, t.tp., t.t.
al-Mahallî, Jalâluddîn Muhamad Ibn Ahmad dan `Abdur-Rahmân Jalâluddîn al-
Suyûthî, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon,
1991, Cet. I
al-Marâghî, Ahmad Musthafâ, Tafsîr al-Marâghî, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon,
t.t.
al-Marbawî, Muhamad Idrîs `Abdur-Ra`ûf, Kamus Idrîs al-Marbawî, Musthafâ
al-Bâb al-Halabî wa Aulâduh bi Mishr, t.tp. t.t.
Munawwir, Achmad Warson, Kamus al-Munawwir, Pustaka Progressif,
Yogyakarta, 1985.
Muslim, Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj Ibn, al-Jâmi` al-Shahîh li al-Muslim,
Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
Na`mat, Fu’âd, Mulkhash Qawâ`id al-Lughah al-`Arabiyyah, Dâr al-Hikmah,
Damaskus, t.t., Cet. IX.
al-Nasâfî, Abû al-Barakât `Abdullâh Ibn Ahmad, Tafsîr al-Nasafî bi al-
Musammâ Madârik al-Tanzîl wa Haqâ`iq al-Ta’wîl, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, t.t.
al-Nasâ’î, Abû `Abdur-Rahmân Ahmad Ibn Syu`aib Ibn `Alî Ibn Ibn Sinân Ibn
Bahr, Sunan al-Nasâ’î, [Syarh Abû al-Fadhl `Abdur-Rahmân Ibn
Abû Bakr Jalâluddîn al-Suyûthî wa Hâsyiyah al-Imâm al-Sindî],
Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994.
al-Nawawî, Hasan Sulaimân dan `Alawî `Abbâs al-Mâlikî, Ibânah al-Ahkâm
Syarh Bulûgh al-Marâm, Dâr al-Tsaqâfiyyah al-Islâmiyyah, Beirut-
Libanon, t.t.
al-Nîsâbûrî, Abû al-Husain `Alî Ibn al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1994.
al-Qâsimî, Muhamad Jamâluddîn, Tafsîr al-Qâsimî al-Musamma Mahâsin al-
Ta’wîl, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1978, Cet. II.
al-Qath-thân, Mannâ`, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, Mansyûrât al-`Ashr al-
Hadîts, t.tp., 1973, Cet. III.
al-Qazwainî, `Abû `Abdullâh Muhamad Ibn Yazîd Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah,
[Tahqîq: Shidqî Muhamad Jamîl al-`Uth-thâr], Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, 1995.
al-Qurthubî, Abû `Abdullâh Muhamad Ibn Ahmad Ibn Farh, al-Jâmi` li Ahkâm
al-Qur’ân, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.tp., t.t.
al-Râzî, `Abdur-Rahmân Ibn al-Mundzir al-Tamîmî, Kitâb al-Jarh wa al-Ta`dîl,
Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t., Cet. I.
Ridhâ, `Alî, al-Marjâ` fî `Ulûm al-Lughah al-`Arabiyyah Nahwihâ wa Sharfihâ,
Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
Sâbiq, Sayyid, al-`Aqâ`id al-Islâmiyyah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1992.
, Fiqh al-Sunnah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1983, Cet. IV.
al-Shâbûnî, Muhamad `Alî, Shafwah al-Tafâsîr, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah,
Makkah al-Mukarramah, 1999, Cet. I.
, Rawâ’i` al-Bayân Tafsîr Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân, Dâr al-
Kutub al-Islâmiyyah, Makkah-al-Mukarramah, 2001, Cet. I

92
al-Shâlih, Subhî, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, Beirut-
Libanon, 1988, Cet. XIII.
al-Shan`ânî, Muhamad Ibn Ismâ`îl, Taudhîh al-Afkâr li Ma`ânî Tanqîh al-
Anzhâr, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
al-Shiddîqî, `Allân Ibn Muhamad, al-Futûhât al-Rabâniyyah `alâ al-Adzkâr al-
Nawâwiyyah, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1978.
al-Suyûthî, Abû al-Fadhl `Abdur-Rahmân Ibn Abû Bakr Jalâluddîn, al-Dar al-
Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.tp., t.t.
, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah,
Beirut-Libanon, 1996, Cet. I.
al-Syaikh, al-Syaikh `Abdur-Rahmân Ibn al-Hasan `Âli, Fath al-Majîd Syarh
Kitâb al-Tauhîd, [Tahqîq: Muhamad Hâmid al-Faqî], Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon, 1992.
al-Syaukânî, Muhamad Ibn `Alî Ibn Muhamad, Tuhfah al-Dzâkirîn `alâ Kitâb al-
Hishn al-Hishain, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1988, Cet. I.
, Nail al-Authâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdîts Sayyid al-
Akhyâr, Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, t.t.
al-Syâfi`î, Abû `Abdullâh Muhamad Ibn Idrîs, Musnad al-Imâm al-Syâfi`î, Dâr
al-Fikr, Beirut-Libanon, 1996, Cet. I.
al-Taimî, Abû Ya`lâ Ahmad Ibn `Alî Ibn al-Mutsannâ al-Mûshilî, Musnad Abû
Ya`lâ, [Tahqîq: Zhahîruddîn `Abdur-Rahmân], Dâr al-Fikr, Beirut-
Libanon, 2002, Cet. I.
Taufîq, `Umar, al-Mu`jam fî al-`Irâb, Dâr al-Ma`rifah, t.tp., t.t.
al-Thahhân, Mahmûd, Taisîr Mush-thalah al-Hadîts, t.tp., t.np., t.t.
al-Thabarî, Abû Ja`far Ibn Jarîr, Jâmi` al-Bayân `an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, Dâr al-
Fikr, Beirut-Libanon, 2001, Cet. I.
al-Tirmidzî, Abû `Îsâ Muhamad Ibn `Îsâ Saurah, Sunan Tirmidzî (al-Jâmi` al-
Shahîh li al-Tirmidzî), Dâr al-Fikr, Beirut-Libanon, 1994.
al-Tsa`âlabî, `Abdur-Rahmân Ibn Muhamad Ibn Makhlûf, al-Jawâhir al-Hassân
(Tafsîr al-Tsa`âlabî), dalam Maktabah Alfiyyah.
al-Zarqânî, Muhamad `Abdu’l `Azhîm, Manâhil al-`Irfân fî `Ulûm al-Qur’ân,
`Îsâ al-Bâb al-Halabî, Beirut-Libanon, t.t.

Kata Pengantar

93
Bismillâhir-rahmânir-rahîm

Maha suci Allah dengan segala ke-Esaan yang dimiliki-Nya


sebagai Dzat yang Maha sempurna dengan segala kesempurnaan-Nya,
Dzat yang Maha agung dengan segala keagungan-Nya, Dzat yang
Maha mulia dengan segala kemuliaan-Nya, dan dia adalah Dzat yang
maha hidup tanpa bernyawa, Maha berbicara tanpa bersuara, Maha
mendengar tanpa bertelinga, Maha melihat tanpa bermata, dan hanya
milik-Nyalah segala keluasan ilmu dan lautan pengetahuan yang telah
menjadikan al-Qur’ân sebagai petunjuk, penjelas, dan pemisah antara
hak dan batil bagi umat Manusia.
Dengan segala kerendahan hati di hadapan Allah swt, dan atas
segala kehendak dan kuasa-Nya, rahmat dan pertolongan-Nya, dan
juga bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan tulisan yang
sederhana ini, meskipun masih banyak kelemahan dan kekurangan.
Namun demikian, atas dorongan dari semua pihak, terutama rekan-
rekan dan partisan pada umumnya yang berada di dalam dan di luar
lingkungan Majelis Ta`lim al-Basmalah, penulis mencoba untuk
memberanikan diri menyusun tulisan yang berjudul: “Tafsîr Surat al-
Ikhlâs”, meskipun dengan segala keterbatasan kemampuan, baik
waktu, tenaga maupun literatur penunjang yang dimiliki oleh penulis.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam memberikan
kontribusi kepada kaum muslimîn dalam upaya memahami al-Qur’ân.
Mudah-mudahan dengan tulisan ini dapat menjadi medium dalam
menuju ummatan wasathâ yang memiliki integritas keimânan dan
keislaman yang sempurna.
Selanjutnya perlu diinformasikan, bahwa tulisan yang ringkas dan
sederhana ini disusun oleh penulis meliputi lima bab, yaitu:
Bab I, berisi tentang muqaddimah surat al-Ikhlâs yang meliputi, yaitu
urutan penyusunan, mauthin al-Nuzûl, sabab al-Nuzûl, jumlah ayat, dan
nama-nama lain bagi surat al-Ikhlâs.
Bab II, berisi pembahasan tentang keistimewaan surat al-Ikhlâs, baik
ditilik dari segi kandungan dilâlah maknanya maupun pahala
membacanya.
Bab III, berisi pembahasan mengenai kandungan makna surat al-Ikhlâs
secara ijmâlî.
Bab IV, berisi pembahasan mengenai kandungan makna surat al-Ikhlâs
secara tafsîlî.
Bab V, berisi pembahasan pelengkap tentang surat al-Ikhlâs ditilik dari
segi penggunaannya dalam shalat.
Akhirnya, tiada kata yang dapat terucap, melainkan penulis
berharap kepada semua pihak untuk turut serta memberikan penilaian,
kritik dan saran yang bersifat konstruktif, baik dari segi materi maupun
pemaparan demi kesempurnaan penulisan yang akan datang.

94
Bandung, … Desember
2004
Penulis

YFA

Daftar Isi

Kata Pengantar .. i
………………………………………………
Daftar Isi .. iii
……………………………………………………..
Bab Muqaddimah
Urutan Penyusunan Surat al-Ikhlâs .. 1
I
……………... 3
Tempat Turun Surat al-Ikhlâs .. 7
…………………… 19
Latar Historis (Sebab Turun) Surat al- 21
Ikhlâs ..……
Jumlah Ayat Surat al-Ikhlâs ..
………………………
Nama-Nama Lain Bagi Surat al-Ikhlâs ..
…………..
Bab Keistemewaan Surat al-Ikhlâs 31
…………………... 33
II
Keistimewaan Pertama 38
…………………………….. 40

95
Keistimewaan Kedua 43
……………………………….. 48
Keistimewaan Ketiga 49
…………………………….…. 54
Keistimewaan Keempat 71
…………………………….. 75
Keistimewaan Kelima
……………………………….
Keistimewaan Keenam
……………………………...
Keistimewaan Ketujuh
……………………………...
Keistimewaan Kedelapan
……………………………
Keistimewaan Kesembilan
……………………….….

Bab Kandungan Makna Surat al-Ikhlâs


Secara Ijmâlî 87
III
……………………………………………….

Bab Kandungan Makna Surat al-Ikhlâs


Secara Tafsîlî
IV
Kandungan Makna Surat al-Ikhlâs Pertama 94
……… 10
Kandungan Makna Surat al-Ikhlâs Kedua 7
………… 11
Kandungan Makna Surat al-Ikhlâs Ketiga 3
………… 12
Kandungan Makna Surat al-Ikhlâs 0
Keempat ………

Bab V Surat al-Ikhlâs Ditilik dari Segi


Penggunaan dalam shalat 12
…………………………………….… 8

Daftar Pustaka

96
‫تفسعععععير سععععوُرة الخععععلص‬

TAFSÎR surat AL-IKHLÂS


(Telaah Kritis Dalam Tinjauan Riwâyah dan Dirâyah)

97
Oleh:
Yusuf Faisal `Alî
(Fathul `Arifin Asadullah `Alî al-Qaruthi)

al-Basmalah
Bandung
2004

98

Anda mungkin juga menyukai