Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan tanggung jawab bersama setiap individu,

keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Keberhasilan pembangunan

kesehatan ditentukan oleh kontribusi dari semua sektor, berdasarkan fungsi

dan peranannya masing-masing. Tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Setiap

individu berkewajiban ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat (Dinkes Gowa, 2016).

Menurut World Health Organization (WHO) melaporkan status gizi

anak di dunia dengan prevalensi kekurusan sekitar 14,3%, jumlah anak yang

mengalami kekurusan sebanyak 95,2 juta orang. Berdasarkan data Riskesdas

2013 didapatkan status gizi umur 5-12 tahun (menurut IMT/U) di Indonesia,

yaitu prevalensi kurus adalah 11,2%, terdiri dari 4,0% sangat kurus dan

7,2% kurus. Masalah gemuk pada anak di Indonesia juga masih tinggi dengan

prevalensi 18,8%, terdiri dari gemuk 10,8% dan sangat gemuk (obesitas) 8,8

% Sedangkan, Prevalensi pendek yakni (12,3% sangat pendek dan 18,4%

pendek ) (WHO, 2015).

Salah satu penyebab masih banyaknya kasus kurang gizi dan gizi

buruk karena anak Indonesia selama ini sangat kurang minum susu, bahkan

1
2

paling rendah dibandingkan Negara-negara Asia lain. Menurut organisasi

pangan dunia (FAO), masyarakat Indonesia mengkonsumsi susu rata-rata 9

liter setahun perkapita. Tertinggal jauh dibandingkan dengan Malaysia 25,4

liter, singapura 32 liter, Filipina 11,3 liter dan bahkan Vietnam 10,7 liter

(Khomsam, 2008).

Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status

gizi baik individu maupun populasi. Seorang anak yang sehat dan normal akan

tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Faktor yang

mempengaruhi status gizi secara langsung adalah asupan makanan dan infeksi.

Kekurangan atau kelebihan zat gizi akan dimanifestasikan dalam bentuk

pertumbuhan yang menyimpang dari pola standar (Supariasa, 2014).

Studi Diet Total Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 menyebutkan,

rata-rata Angka Kecukupan Energi (AKE) anak usia 5-12 tahun sebesar 1.636

Kkal dari kebutuhan 1.913 Kkal. Yakni sekitar 30 persen anak Indonesia

mendapatkan asupan gizi kurang dari 70 persen AKE. Hal ini membuat anak

stunting. Kemudian, asupan 70-100 persen AKE hanya dirasakan 40,1 persen

anak Indonesia. Selebihnya, 19,9 persen anak mendapatkan AKE 100-130

persen dan 10,2 persen di atas 130 persen AKE yang membuat anak menjadi

obesitas (Kemenkes, 2014).


Selain itu, pola konsumsi sayur dan buah anak Indonesia masih

memprihatinkan. Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Kemenkes

2014, menemukan bahwa rata-rata konsumsi sayur dan buah pada anak usia

hingga 59 bulan hanya 65,8 gram per hari, sedangkan usia 5-12 tahun tak jauh
3

berbeda dengan 81,9 gram per hari. Kekurangan gizi ini memberikan dampak

signifikan pada anak. Kekurangan gizi makro membuat anak stunting,

kekurangan gizi kronis (KEK), dan menganggu masa belajar di sekolah.

Sementara itu, anemia dan defisiensi vitamin merupakan hasil kekurangan gizi

mikro (Kemenkes, 2014).


Pada saat ini diperkirakan terdapat 38,4 juta penduduk Indonesia yang

hidup di bawah garis kemiskinan, 50% dari total rumah tangga mengkonsumsi

makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lebih dari 5 juta anak di bawah

usia lima tahun menderita kurang gizi dan sekitar 100 juta orang beresiko dari

berbagai masalah gizi lainnya (kurang zat besi, kurang iodium, kurang vitamin

A, kurang kalsium, kurang zink, dan lain-lain) (Depkes RI, 2008). Empat

persen dari seluruh anak yang dilahirkan di negara berkembang meninggal

dunia akibat kurang gizi sebelum berusia lima tahun dan sebagian besar

berasal dari golongan sosio-ekonomi rendah (Toriola, 2000; Ijarotimi and

Ijadunola, 2007).
Asupan zat gizi makanan pada seseorang dapat menentukan tercapainya

tingkat kesehatan, atau sering disebut status gizi. 62 % lebih anak di perkotaan

memiliki tinggi badan normal dari segi umur, sedangkan anak di pedesaan

hanya 49% (Atmarita, 2007). Anak sekolah usia 6-12 tahun sangat

memerlukan perhatian terutama dalam pemenuhan kebutuhan gizi (Handari

dan Siti, 2005). Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak

seimbang dengan kebutuhan tubuh, maka akan terjadi kesalahan akibat gizi

(malnutrition). Malnutrition ini mencakup kelebihan gizi disebut gizi lebih


4

(overnutrition), dan kekurangan gizi atau gizi kurang (undernutrition)

(Notoatmodjo, 2003).
Sebagaimana pemerintahan kabupaten berupaya untuk menyamakan

keterampilan sumber daya manusianya dengan kekuasaan yang baru

diperoleh, demikian pula perencana dan pembuat keputusan ditingkat pusat

dan propinsi menghadapi tantangan baru dalam koordinasi, pemantauan dan

standardisasi. Hasil akhir adalah bahwa kurangnya kapasitas gizi pada tingkat

kabupaten digabung dengan tantangan untuk koordinasi dan kepemimpinan

pada tingkat pusat dan propinsi telah berakibat hancurnya program gizi secara

umum (Friedman, dkk, 2006).


Anak sekolah adalah anak yang berusia 7-12 tahun, dengan kebutuhan

gizi sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan

jaringan. Kelompok anak sekolah ini umumnya mempunyai kondisi gizi yang

kurang memuaskan karena asupan zat gizi yang dikonsumsi seringkali hanya

memperhatikan kuantitas, sedangkan kebutuhan mikronutriennya belum

mencukupi. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk pertumbuhan dan

perkembangan, energi, berpikir, beraktivitas fisik, dan daya tahan tubuh. Zat

gizi yang dibutuhkan anak adalah seluruh zat gizi yang terdiri dari zat gizi

makro seperti karbohidrat, protein, lemak serta zat gizi mikro seperti vitamin

dan mineral. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar

dari pada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat,

terutama penambahan tinggi badan (Devi, N, 2012).


Di Sulawesi Selatan, untuk menanggulangi masalah gizi atau untuk

memperoleh gambaran perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat rumah

tangga dan status gizi masyarakat dilaksanakan beberapa kegiatan seperti


5

Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) dan pemantauan Status Gizi (PSG) di

seluruh kabupaten/kota. Dari hasil pemantauan status gizi pada tahun 2013 di

kabupaten Gowa terdapat 9 kasus Gizi Buruk dan 195 kasus BGM (Bawah

Garis Merah) dari 23.947 Balita yang Ditimbang, pada Tahun 2014 terdapat 4

kasus Gizi Buruk dan 313 kasus BGM, pada tahun 2015 terdapat 9 kasus Gizi

Buruk dan 258 kasus BGM, sedangkan pada tahun 2016 terdapat 8 kasus Gizi

Buruk dan 859 kasus BGM. (Dinkes Gowa, 2016).


Berdasarkan uraian tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan

penelitian tentang gambaran asupan zat gizi makro dan gizi mikro dengan

status gizi anak SD Inpres Bakung Kel. Samata.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah

adalah Gambaran Zat Gizi Makro dan Zat Gizi Mikro dengan Status Gizi Anak

SD Inpres Bakung Kel. Samata Tahun 2018.

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif


1. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang yang

ditentukan dengan kombinasi ukuran gizi tertentu. Dalam penelitian ini

digunakan indeks BB/U berdasarkan nilai Z-score. Indeks status gizi

didapatkan dari hasil penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi

badan serta umur.

Kriteria Objektif :

Normal ≥ -2 SD dan < +2 SD


Tidak Normal < -3 SD s/d ≥ +2 SD
2. Asupan Energi
6

Rata-rata jumlah bahan makanan sumber energi yang dikonsumsi

anak selama 2x recall 24 jam.

Kriteria Objektif :

Cukup = Jika rata-rata konsumsi energi ≥ 80 % dari standar AKG


Kurang = Jika rata-rata konsumsi energi < 80 % dari standar AKG
3. Asupan Protein

Rata-rata jumlah bahan makanan sumber protein yang di konsumsi

anak selama 2x recall 24 jam.

Kriteri Objektif :

Cukup = Jika rata-rata konsumsi Protein ≥ 80 % dari standar AKG


Kurang = Jika rata-rata konsumsi protein < 80 % dari standar AKG
4. Asupan Zat Besi (Fe)

Rata-rata jumlah bahan makanan sumber zat besi (Fe) yang di

konsumsi anak selama 2x recall 24 jam.

Kriteri Objektif :

Normal = Jika rata-rata konsumsi zat besi (Fe) =20-25 mg per hari

Kurang = Jika rata-rata konsumsi zat besi (Fe) <20-25 mg per hari

5. Asupan Zat Zink

Rata-rata jumlah bahan makanan sumber zat zink yang di konsumsi

anak selama 2x recall 24 jam.

Kriteria Objektif :
Cukup = Jika rata-rata konsumsi zat zink ≥ 80 % dari standar

AKG
Kurang = Jika rata-rata konsumsi zat zink < 80 % dari standar

AKG
6. Asupan Vitamin A
7

Rata-rata jumlah bahan makanan sumber vitamin A yang di

konsumsi anak selama 2x recall 24 jam.

Kriteria Objektif :

Cukup = Jika rata-rata konsumsi vitamin A ≥ 80 % dari standar

AKG
Kurang = Jika rata-rata konsumsi vitamin A < 80 % dari standar

AKG
D. Kajian Pustaka
Hasil penelitian yang sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Agustina, dkk (2015) di Pulau Sulawesi yang menunjukkan bahwa rata-

rata asupan protein pada kelompok umur 6 tahun termasuk kategori sedang

(80-90% AKG) namun pada usia 7-9 tahun dan usia 10-12 tahun termasuk

kategori deficit (<70% AKG). Tidak terdapat perbedaan asupan zat gizi

makro dan serat terhadap status gizi (IMT/U) di Pulau Sulawesi (p>0,05).

Penelitian ini menemukan adanya keberagaman asupan dan status gizi anak

usia sekolah.
Penelitian ini juga telah dilakukan oleh Marliyati dkk (2014) di

Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor yang menyatakan bahwa lebih dari

separuh anak memiliki tingkat kecukupan vitamin A kategori sedang (54.8%).

Pada umumnya status gizi mereka normal (93.5%). Lebih dari separuh anak

memiliki status vitamin A dengan kategori rendah (58.1%). Hasil uji

hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi

tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil uji hubungan

antara tingkat kecukupan vitamin A dengan vitamin A juga tidak


8

menunjukkan hubungan yang signifikan (p>0.05). Hal ini diduga karena

adanya faktor lain (konsumsi makanan, cadangan vitamin A dalam hati, dan

sosio ekonomi). Tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dan

status vitamin A (p>0.05).


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Rokhmah dkk (2016) yang menunjukkan bahwa sebagian besar

responden memiliki tingkat kecukupan energidan zat gizi makro inadekuat

dan status gizi normal. Terdapat hubungan yang signifi kan antara tingkat

kecukupan energi(p = 0,049; r = 0,296), protein (p = 0,028; r = 0,328), lemak

(p = 0,049; r = 0,296) dan karbohidrat (p = 0,02; r = 0,345)dengan status gizi.

Kesimpulan penelitian ini adalah status gizi responden ditentukan oleh tingkat

kecukupan energy dan zat gizi makro.


E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan zat gizi makro dan zat gizi mikro

dengan status gizi anak SD Inpres Bakung Kel. Samata Tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui asupan zat gizi makro seperti asupan energi dan protein

pada anak SD Inpres Bakung Kel. Samata Tahun 2018.


b. Untuk mengetahui asupan zat gizi mikro seperti zat besi (Fe), Vitamin A dan

iodium pada anak SD Inpres Bakung Kel. Samata Tahun 2018.


c. Untuk mengetahui status gizi anak SD Inpres Bakung Kel. Samata Tahun

2018.
3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh tentang gambaran asupan zat gizi makro

dan zat gizi mikro dengan status gizi anak SD Inpres Bakung Kel. Samata

Tahun 2018 adalah sebagai berikut :


a. Manfaat Ilmiah
9

Sebagai bahan berharga bagi peneliti dalam rangka menambah

wawasan pengetahuan,serta pengembangan diri khususnya pada bidang

penelitian.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan dalam

pengembangan dan pembelajaran diri dalam penanggulan masalah-masalah

kesehatan khususnya masalah gizi di Indonesia.

c. Manfaat Institusi

Sebagai bahan informasi bagi pihak pemerintah untuk memperhatikan

gizi anak sekolah, sehingga menjadi penerus bangsa yang sehat dan cerdas.

Anda mungkin juga menyukai