Anda di halaman 1dari 13

REVIEW JURNAL PARASIT PADA ARTHROPODA

Bed bugs (Cimex lectularius) as Vectors of Trypanosoma cruzi


MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Parasitologi
dosen pengampu:
Dr. Yayan Sanjaya, M.Si.

oleh:
Kelompok 6
Pendidikan Biologi A 2016

Aginda Zahra F. (1603723)


Gilang Pratiwi (1600641)
Maria Shelviera R. (1607191)
Najmi Wanodya A. (1603782)
Santi Puspitasari (1607647)
Wiwid Afandi (1601385)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II METODE PENELITIAN ........................................................................ 3

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 6

A. Hasil Penelitian ............................................................................................ 6

B. Pembahasan .................................................................................................. 7

BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan Cimex lectularius (kutu busuk) telah menciptakan masalah
kesehatan yang kompleks dan sulit bagi masyarakat. Cimex lectularius (kutu
busuk) mampu menularkan patogen pada manusia. Selain itu, sebagian besar
otoritas kesehatan juga mengakui adanya dampak ekonomi yang disebabkan
oleh Cimex lectularius (kutu busuk) karena mengakibatkan gangguan dan
masalah kesehatan lingkungan, dan dampak tersebut sama halnya dengan
dampak yang disebabkan oleh kecoak. Selain itu perilaku hematophagous
(menghisap darah) pada Cimex lectularis (kutu busuk) menambah potensi
sebagai transmisi penyakit menular.
Bed bugs (Cimex lectularis) dan triatomine bugs, seperti Triatoma
infestans, memiliki banyak persamaan yang mencolok. Diantaranya, kedua
serangga hidup dan bersembunyi di celah-celah rumah dan akan menghisap
inangnya pada malam hari. Bed bugs dan Triatomine bugs berasal dari ordo
serangga yang sama yaitu ordo Hemiptera, dan keduanya memiliki perilaku
hematophagous (menghisap darah) . Salah satu Triatomine bugs yang cukup
dikenal adalah Trypanosoma cruzi. Trypanosoma cruzi merupakan vektor dari
penyakit Chagas. Dapat menjadi parasit terhadap Cimex lectularis .
Peneliti sendiri melakukan eksperimen ini unutk mengetahui bagaiman
dan seberapa mudah Trypanosoma cruzi dapat berpindah ke bed bugs atau
Cimex lectularius (kutu busuk). Selain itu peneliti juga ingin melihat
bagaimana dan seberapa mudah parasit dapar berpindah dari Cimex lectularius
(kutu busuk) yang terinfeksi untuk kembali ke inangnya

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bed bugs dapat menjadi vektor bagi Trypanosoma cruzi?
2. Bagaimana Trypanosoma cruzi berpindah dari inang ke Cimex
lectularius ?

1
3. Bagaimana parasit dapat berpindah dari Cimex lectularius yang telah
terinfeksi kembali ke inangnya ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana bedbugs dapat menjadi vektor
Trypanosoma cruzi.
2. Untuk mengetahui bagaimana berpindahnya Trypanosoma cruzi dari
inang ke Cimex lectularius
3. Untuk mengetahui berpindahnya Trypanosoma cruzi dari Cimex
lectularius yang telah terinfeksi kembali ke inangnya

2
BAB II
METODE PENELITIAN

Kutu busuk yang digunakan dalam penelitian adalah kutu busuk dari koloni
Cimex lectularius, Sebelum melakukan eksperimen, diperiksa 40 kotoran sampel
secara acak 40 kutu busuk (20 jantan dan 20 betina) untuk disterilkan dan dapat
menjadi tempat kultur murni dari Trypanosoma cruzi.
Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
1. Ekstraksi dan persiapan feses kutu busuk
Kotoran kutu busuk didapat dari teknik standar yang digunakan untuk
menganalisis kotoran triatomine untuk melihat kehadiran T.cruzii. peneliti
mengekstrak si kotoran dari tiap kutu busuk dengan cara menekan perut
kutu busuk dengan menggunakan pinset. Kotoran lalu diencerkan dengan
10 mL aquades.
2. Eksperimen 1: Transmisi Trypanosoma cruzii dari tikus ke kutu busuk.
Peneliti menginfeksi 10 tikus betina berumur 1 bulan (Musmusculus)
dengan T. cruzi diinjeksi secara intra peritoneal dengan ukuran inokulum
dari 103 parasit dalam 100 mL. Penelitian dilanjutkan 3 hari sekali dalam
sebulan dengan mengevaluasi parasitemia menggunakan metode
konsentrasi microhematocrit. Peneliti mengambil darah dari ekor tikus
kedalam 2 tabung mikrohematokrit heparin yang dikocok dengan
kecepatan 7,000 rpm selama 2 menit. Selanjutnya dilakukan pemisahan
lapisan buffy dan lapisan eritrosit lalu mantel buffy dan plasma dituangkan
ke slide mikroskop, parasite dihitung dengan memeriksa 100 bidang
mikroskopis pada perbesaran 400x yang dinyatakan dengan jumlah
parasite per milliliter darah. Setiap 3 hari, 20 Cimex lectularius mulai usia
7 hingga 10 hari, untuk memberi makan pada setiap dari 10 tikus yang
terinfeksi. Dua puluh satu hari setelah makan, ekstraksi kotoran dari
serangga juga dilakukan. Kemudian memeriksa tinja yang diencerkan
secara mikroskopis pada pembesaran 400x untuk kehadiran T. cruzi
epimastigotes dan trypomastigotes. Lalu jumlah total serangga yang
terinfeksi oleh setiap tahap parasit dicatat.

3
3. Eksperimen 2 : Transmisi T. cruzi dari kutu busuk ke tikus.
Untuk membuat populasi C. lectularius yang terinfeksi, empat tikus
berusia 1 bulan diinjeksi T. cruzi secara intraperitonealrute menggunakan
strain dan metode yang dijelaskan dalam percobaan 1. Untuk
meningkatkan derajat parasitemia, ukuran inokulum yang lebih besar pun
digunakan (2 x 103 parasit / 100 mL). Dua minggu kemudian, setelah
parasitemia pada tikus dikonfirmasi, 75 kutu busuk jantan dewasa diberi
makan selama 15-20 menit pada masing-masing tikus (total 300 kutu
busuk). Setelah satu minggu kutu busuk yang sama diberi makan lagi
untuk meningkatkan kemungkinan infeksi pada tubuhnya. 2 minggu
setelah 2 kali memberi makan, feses atau kotoran diambil 10 secara acak
dari 300 sampel yang telah terinfeksi T.cruzii. Dibuat 12 habitat terpisah
pada aquarium kecil (25 x 20 x 22 cm). Tikus berumur 2 bulan yang sehat
dan 20 ekor kutu busuk yang terinfeksi dibiarkan dalam 1 habitat,
tujuannya agar kutu busuk menghisap darah tikus, hal tersebut dibiarkan
selama 30 hari. Setiap 6 hari, masing-masing tikus dilihat parasitemia dari
T.cruzii dengan metode mikrohaematokrit seperti yang telah
dijelaskansebelumnya, xenodiagnoses juga dilakukan. Setiap 6 hari 20
kutu busuk Cymex lectularius jantan yang tidak terinfeksi untuk
menggigiti masing-masing tikus. 21 hari kemudian feses dikumpulkan dan
diteliti.
4. Eksperimen 3 : Transmisi transkutan T. cruzi dari kutu busuk ke tikus.
Selama percobaan 2, beberapa tikus membunuh dan mencerna kutu
busuk di akuarium, dan tikus kemungkinan menjadi terinfeksi secara lisan.
Oleh karena itu, dirancang sebuah percobaan tambahan untuk
mengevaluasi transmisitranskutan melalui kotoran kutu busuk yang
terkontaminasi menggunakan protocol dijelaskan sebelumnya. Secara
singkat, punggung 10 tikus berumur 2 bulan yang tidak terinfeksi dicukur
menggunakan pisau cukur listrik. Keesokan harinya, microtrauma bagian
yang telah dicukur ditusuk kulitnya dengan jarum tuberkulin. Microtrauma
kelima tikus lainnya diproduksi dengan memaparkan setiap mouse ke 10
kutu busuk yang tidak terinfeksi dibiarkan untuk menghisap darah area

4
yang dicukur selama 20 menit. Lalu ditempatkan 40 mL kotoran encer dari
C. lectularius yang terinfeksi keatas bagian tubuh tikus yang dicukur
(dalam sampel yang representative tinja yang diencerkan, konsentrasi T.
cruzi adalah 280 trypomastigotesper 40 mL). Dibiarkan selama 10 menit
lalu kemudian dicuci dengan larutan aquades steril. Darah tikus dianalisis
dengan metode mikrohematokrit selama 60 hari untuk memastikan
kehadiran Trepanosomacruzii.
5. Eksperimen 4: observasi pola buang air besar kutu busuk
Dilakukan sistem makan buatan yang terdiri dari pembentangan
Parafilm. Membrane yang dilewati makanan dalam gelas. Darah manusia
(Diperoleh dari Divisi Kedokteran Transfusi di University of
Pennsylvania) dihangatkan hingga 37 ° C dan ditempatkan di atas
Parafilm. 20 ekor kutu busuk dewasa ditempatkan ke dalam toples, dimana
mereka bisa menghisap darah dari membran. Selembar kertas berjajar di
dinding wadah untuk menyediakan tempat berlindung yang
memungkinkan gerakan mundur pada kutu busuk. Percobaan diulang tiga
kali, dengan setiap replikasi berlangsung antara 2 dan 3 jam. Kamera video
digunakan untuk mencatat perilaku kutu busuk. Kemudian film dianalisa
untuk menentukan waktu tunda dari akhir diberimakan hingga buang air
besar (Video Tambahan 1 dan 2).

5
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Eksperimen 1. Mayoritas kutu busuk terdapat T. cruzi setelah menghisap
darah dari tikus yang terinfeksi. Infeksi ini terjadi paling cepat 3 hari pasca
inokulasi dan bertahan hingga 30 hari masa percobaan. Dalam saluran
pencernaan kutu busuk terinfeksi C. lectularius, Kami mengamati bentuk dari
trypomastigote infektif dan epimastigote replikatif dari parasit dalam jumlah
sangat tinggi. Trypomastigotes terdapat 40% dalam usus dari kutu busuk yang
terinfeksi.
Eksperimen 2. Pertama-tama kami mengamati sebagian kecil parasit yang
bersirkulasi dalam 2 dari 12 tikus yang terpapar setelah 12 hari kohabitasi, dan
akhirnya, 58% (7 dari 12) tikus menunjukkan parasitemia. Hitungan parasit
meningkat cepat pada tikus yang terinfeksi, mencerminkan konsentrasi pada
tikus yang terinfeksi oleh injeksi intraperitoneal.Xenodiagnosis sedikit lebih
sensitif, mendeteksi T. cruzi pada 75% (9 dari 12) tikus. Dua tikus yang positif
oleh xenodiagnosis memiliki jumlah parasit yang tidak terdeteksi dalam darah
periferal.
Eksperimen 3. Kami menemukan T. cruzi dalam darah 40% (4 dari 10) tikus
dengan kulit yang rusak karena terkena kotoran dari kutu busuk yang terinfeksi.
Parasitemia hadir dalam 60% (tiga dari lima) tikus dengan kulit yang tertusuk
oleh jarum tuberkulin dan 20% (satu dari lima) tikus dengan microtrauma yang
disebabkan oleh kutu busuk yang sedang menghisap. Parasit yang bersirkulasi
pertama kali terdeteksi 12 hari setelah terpapar. Hasil ini menunjukkan
kelangsungan hidup trypomastigote yang terlihat pada isi usus dari kutu busuk
yang terinfeksi.
Eksperimen 4. dua belas dari enam puluh(20%) kutu busuk diumpankan
selama periode pengamatan. Dari kutu busuk ini, 10 serangga (83%) buang air
besar pada membran Parafilm dekat tempat makan, dan 1 serangga (8%) buang
air besar di tempat penampungan kertas. Dalam semua kasus ini, buang air
besar terjadi di membrane. Tinja lebih sering menempel pada membran

6
daripada jatuh ke dasar wadahnya, hal ini menunjukkan kemungkinan adanya
kontak yang sangat tinggi antara tinja kutu busuk dengan kulit manusia ketika
saat memakan serangga. Kami menghitung waktu buang air besarnya setelah
makan untuk 10 serangga; serangga yang buang air besar di tempat
perlindungan kertas melakukannya di luar bidang pandang kamera dan tidak
termasuk dalam analisis berikut. Median waktu antara akhir pemberian makan
dan buang air besar pertama untuk 10 serangga ini adalah 5,1 menit (kisaran =
0,3–16,0 menit); 1 dari 10 serangga buang air besar dua kali dalam 10 menit
setelah makan. Kami menghitung indeks buang air besar, yang untuk
triatomine serangga, yang didefinisikan sebagai fraksi serangga buang air besar
dalam 10 menit dikalikan dengan jumlah rata-rata buang air besar dalam 10
menit. Indeks buang air besar untuk Kutu busuk dewasa adalah 0,74.

B. Pembahasan
Dalam penelitian ini, ditunjukkan bahwa kutu busuk pada umumnya dapat
menjadi vektor yang kompeten dari T. cruzi. Kutu busuk secara efisien
mengakusisi T. cruzi saat makan pada tikus yang terinfeksi. Kutu busuk
kemudian menularkan parasti kembali ke inang yang rentang baik selama
kohabitasi dan melalui feses yang terkontaminasi yang ditempatkan pada kulit
inang yang rusak oleh peneliti. Pengukuran kuantitatif dari pola defekasi C.
lectularius mengonfirmasikan bahwa kutu busuk memiliki potensial yang
tinggi untuk transmisi melalui feses.
Kutu busuk mampu menularkan T. cruzi; Masih Belum jelas apakah mereka
akan menjadi vektor penting dari parasit secara epidemiologis. Parameter kunci
yang menentukan apakah patogen melalui vektor dapat diharapkan menyebar
melalui populasi dikodifikasi dalam model matematika. Parameter ini berisi
rasio numerik dari vektor ke inang, tingkat kontak antara vektor dan host, dan
probabilitaspenularan infeksi dengan setiap kontak. Terutama, dua parameter
pertama lebih tinggi untuk kutu busuk dibandingkan kutu triatomine; kutu
busuk umumnya mencapai kepadatan yang lebih besar dibandingkan
triatomine dan makan sekitar dua kali lebih sering dibandingkan t. Infestans.
Parameter ketiga, probabilitas penularan T. cruzi per kontak berbanding

7
terbalik dengan waktu antara makan dan defekasi dan dapat diperkirakan
dengan indeks defekasi yang diusulkan, dengan nilai yang lebih besar pada
spesies dengan potensial yang lebih tinggi untuk transmisi. Dalampenelitian
ini, melakukan defekasi rata-rata 6 menit (median = 5,1 menit) setelah makan.
Penundaan waktu rata-rata dapat dibandingkan dengan penundaan waktu rata-
rata dari tiga vektor penting triatomine amerika latin dewasa: T. Infestans, 3
menit, Rhodnius prolixus, 8.6 menit; dan T. Dimidiata, 13,9 menit. Kutu busuk
dewasa memiliki ineks defekasi 0,74 yang merupakan perantara diantara T.
Dimidiata (0,55), T. Infestans (0,95) dan R. Prolixus (1.0). Berdasarkan
parameter tersebut, dibandungkan dengan dua vektor penting dari penyakit
Chagas, kutu busuk dewasa memiliki potensial penularan yang mirip dengan
R. Prolixus (kutu busuk melakukan efekasi lebih cepat tetapi memiliki indeks
defekasi yang rendah) dan agak kurang dari T. Infestans.
Penularan T. cruzi oleh kutu busuk telah dicurigai selama waktu yang lama.
Pada 1912, hanya dalam 3 tahun setelah Carlos Chagas menjelaskan tentang
penularan T. cruzi oleh triatomine, Brumpt mengklaim telah terinfeksi hampir
dari 100 kutu busuk yang terkena tikus yang terinfeksi dan kemudian dua tikus
melalui pemaparan terhadap kutu busuk
Laporan ini ditulis dalam bahasa Perancis dan bahasa Spanyol, masing-
masing telah diabaikan selama munculnya kembali kutu busuk baru-baru ini.
Secara kritis, karya-karya sebelumnya ini mengabaikan satu kata kunci yaitu
tikus secara aktif memburu dan memakan kutu busuk, dan penularan yang
diamati hampir dipastikan secara oral. Penelitian baru meningkat dengan
menunjukan bahwa T. cruzi pada feses kutu busuk dapat menginfeksi tikus
melalui kontak dengan kulit yang rusak dan kutu busuk sering melakukan
defekasi segera setelah makan.
Kutu busuk liar di Argentina mungkin juga dapat menjadi tempat
berlindung bagi T. cruzi. Pada 1938, Salvador Mazza mengisolasi parasit dari
4% kutu busuk dan 40% dari triatomine yang ditangkap di kota Jujuy.
Kutu busuk tidak dapat menjadi vektor yang relevan bagi T. cruzi secara
epidemiologi, karena jika iya, maka peran mereka dalam proliferasi penyakit
Chagas sudah pasti sejak lama dikatahui. Bagaimanapun, argumen seperti itu

8
dianggap lemah. Kemunculan patogen adalah proses stokastik; bahkan jika
kondisi untuk mendukung transmisi hadir, agen penyakit tidak mungkin
muncul secara kebetulan. Kondisi munculnya T. cruzi melalui populasi kutu
busuk saat ini mungkin menjadi sangat kondusif bagi munculnya T. cruzi.
Populasi kutu busuk di amerika telah meningkat secara substansial dalam 15
tahun terakhir. Sementara itu, perkiraan terbaru menunjukan bahwa setidaknya
sebanyak 300.000 penduduk Amerika saat ini terinfeksi T. cruzi. Secara
historis, prospek penularan T. cruzi olek kutu busuk di Amerika berada pada
tingkat yang tinggi.
Masalah sama terjadi yaitu munculnya populasi kutu busuk baru-baru ini di
daaerah endemik T.Cruzi di Amerika latin. Studi ini dimotivasi oleh sebagian
laporan yang telah dikonfirmasi dari kemunculan populasi C. lectularius di
kota Arequipa, Peru, dimana penyakit Chagas menjadi masalah urban.
Meskipun kutu busuk umum dan tropik (C. hemipterus) sudah menghuni area
tertentu dari Amerika latin endemik utnuk penyakit Chagas, terdapat sedikit
usaha untuk membedakan penularan T. cruzi yang disebabkan oleh kutu busuk
dengan yang disebabkan oleh triatomine, karena sebelumnya kedua insekta
tersebut dapat dibasmi dengan penggunaan insektisida piretroid di rumah.
Populasi kutu busuk yang muncul kembali dalam beberapa tahun terakhir
sangat resisten terhadap piretroid dan jenis lain dari insektisida, dan biaya
untuk membasminya dalam rumah lebih besar dibandingkan biaya untuk
membasmi triatomine. Jika kutu busuk yang muncul kembali menjadi lazim di
area dengan penyakit Chagas yang tinggi, mereka dapat menjadi tantangan
serius untuk dibasmi dari penularan melalui vektor penyakit Chagas di bagian
selatan Amerika Selatan dan daerah lain.

9
BAB IV
KESIMPULAN

Kutu busuk secara efisien mengakusisi T. cruzi saat makan pada tikus yang
terinfeksi. Kutu busuk kemudian menularkan parasti kembali ke inang yang rentang
baik selama kohabitasi dan melalui feses yang terkontaminasi yang ditempatkan
pada kulit inang yang rusak oleh peneliti. Oleh karena itu, kutu busuk pada
umumnya dapat menjadi vektor yang kompeten dari T. cruzi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Renzo salazar,dkk. (2015). Bed bugs (Cimex lectularius) as Vectors of


Trypanosoma cruzi. University of pennsylvania school of medicine:
Philadelphia, Pennsylvania, 92(2), 2015, pp 331-335. [online]. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25404068. (23 November 2018)

11

Anda mungkin juga menyukai