Anda di halaman 1dari 33

ARBITRASE NASIONAL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Semester Ganjil, Tahun Akademik 2019/2020.

DISUSUN OLEH:
HASNA NAURAH SALSABILA 171000064
JAUZA SALSABILAH SITORI 171000068
ESTI FITRIASTUTI 171000074
ANA BELLA 171000077
DIVA KALYANA HAVILAH 171000079
ANNISA AVIANTI 171000081

KELOMPOK 4 KELAS B

DOSEN:
DEDY MULYANA, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................................................................. 2
A. Pengertian Arbitrase.................................................................................................................... 2
B. Fungsi Abritrase Dalam Penyelesaian Sengketa ......................................................................... 2
C. Kelebihan Dan Kekurangan Arbitrase ........................................................................................ 4
D. Kekurangan Arbitrase ................................................................................................................. 7
E. Lembaga Arbitrase ...................................................................................................................... 9
F. Prosedur Yang Harus Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase ................ 12
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 17
A. Pengaturan Arbitrase Nasional Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa .............................................................................. 17
B. Permasalahan Dualisme Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Antara PT.
Maybank Indonesia Dengan PT. Reliance Capital Management...................................................... 24
C. Penyelesaian Sengketa Antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Ifani Dewi Melalui Arbitrase
..................................................................................................................................................26
BAB IV PENUTUP .............................................................................................................................. 29
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 29
B. Saran ......................................................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak masyarakat yang masih mengeluhkan mengenai rumitnya berperkara
di Pengadilan. Secara umum, kerumitan berperkara di Pengadilan menggambarkan
masih rumitnya birokrasi di Indonesia. Meskipun Pemerintah sudah melakukan
perbaikan di sana-sini, keluhan rumitnya berperkara di Pengadilan masih ada. Salah
satu solusi yang ada adalah dengan berperkara melalui jalur arbitrase.
Dalam menyelesaikan sebuah sengketa, ada sebuah alternatif yang disebut
arbitrase. Sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Alternatif ini menjadi lebih banyak diminati pelaku bisnis karena beberapa
hal, antara lain karena lebih efisien (baik dari sisi waktu maupun biaya) dan
menerapkan prinsip win-win solution. Proses persidangan dan putusan arbitrase pun
bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasikan, tetapi tetap bersifat final dan mengikat.
DI samping itu, arbiter yang ditunjuk sebagai pemeriksa perkara pun merupakan
seorang yang ahli dalam permasalahan yang tengah disengketakan sehingga dapat
memberikan penilaian lebih matang dan objektif.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana pengaturan arbitrase nasional dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?
2. Bagaimana permasalahan dualisme lembaga arbitrase dalam penyelesaian
sengketa antara PT. Maybank Indonesia dengan PT. Reliance Capital
Management?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Ifani
Dewi melalui arbitrase?

1
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Arbitrase

Arbitrase menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan

alternative penyelesaian sengketa, diatur dalam pasal 1 angka 1; Arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

B. Fungsi Abritrase Dalam Penyelesaian Sengketa

Pada dasarnya, arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel

dibandingkan penyelesaian di meja pengadilan. Masing-masing pihak dapat lebih dulu

mempersiapkan diri untuk menyampaikan bukti-bukti dan keterangan terkait sengketa

yang diperkarakan ketika di persidangan. Mereka diberi hak untuk mengutarakan

argumen. Hal ini tentu berbeda dengan persidangan di pengadilan negeri yang terkesan

sangat kaku dan hanya bertukar dokumen sidang. Apabila tidak ada saksi yang diajukan

dalam perkara tersebut pun, pembuktian hanya sekadar menyerahkan dokumen.

Kendati demikian, fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa tidak serta merta

hanya sekadar mendengar kesaksian, memeriksa bukti, dan menetapkan putusan secara

kaku. Majelis atau arbiter tetap lebih dulu mengusahakan adanya perdamaian antara

kedua pihak yang tengah berselisih. Hal ini pun tercantum dalam pasal 1 Peraturan

Prosedur Arbitrase BANI yang berbunyi,

“…penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad baik

para pihak dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan nonkonfrontatif.”

2
3

Pernyataan ini pun diperjelas pada pasal 20 mengenai Upaya Mencari Penyelesaian

Damai. Majelis atau arbiter wajib mengusahakan jalan damai bagi kedua belah pihak,

baik atas usaha sendiri atau dengan bantuan pihak ketiga. Jika persetujuan damai ini

disepakati, maka Majelis atau arbiter menyiapkan sebuah memorandum yang berisi

persetujuan damai kedua belah pihak secara tertulis.

Memorandum ini memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak. Namun

apabila jalur mediasi tidak berhasil dan tidak ada kesepakatan untuk damai dari kedua

belah pihak, maka prosedur pemeriksaan dan persidangan arbitrase tetap dijalankan

sebagaimana mestinya.

Dalam proses pemeriksaan, apabila Termohon tidak hadir tanpa memberikan alasan

yang sah pada hari yang ditentukan, Majelis atau arbiter akan sekali lagi melakukan

pemanggilan. Jika dalam kurun waktu paling lama 10 hari setelah pemanggilan kedua,

Termohon tetap juga tidak menghadap di muka persidangan tanpa memberikan alasan

yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan sebagaimana mestinya. Majelis atau arbiter

akan mengabulkan tuntutan Pemohon seluruhnya selama tuntutan tersebut beralasan dan

sesuai dengan hukum yang berlaku.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan masing-masing pihak yang akan

menyelenggarakan arbitrase adalah soal biaya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk

melakukan proses arbitrase ditentukan berdasarkan besarnya tuntutan Pemohon yang

disertakan dalam berkas permohonan arbitrase. Apabila tuntutan bernilai kurang dari

Rp500.000.000,00 maka besarnya biaya administrasi adalah sebesar 10% dari nilai

tuntutan tersebut. Sementara itu, persentase maksimal biaya administrasi adalah 0,5%

apabila tuntutan yang diinginkan sebesar lebih dari Rp500.000.000.000,00 (untuk biaya

yang berada pada rentang Rp500.000.000,00 sampai Rp500.000.000.000,00 dapat dilihat


4

pada tabel biaya yang ditetapkan BANI). Biaya ini tidak termasuk biaya pendaftaran dan

biaya lainnya (transportasi, persidangan, dll.).

C. Kelebihan Dan Kekurangan Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa

alasan sebagai berikut:

1. Efektivitas waktu

Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama

perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan.

Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu

penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan

arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak

telah memilih acara arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan

jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan

tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan

menentukan.”)

Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak,

sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53

UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat

dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60

secara tegas disebutkan: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan

hukum tetap dan mengikat para pihak.”

Catatan: Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak

mengajukan banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang

memeriksa fakta-fakta dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan


5

arbitrase tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding

tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No.

1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung.)

Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-

ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award,

irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding

and,… shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun

ia dijatuhkan.

2. Pemeriksaan ahli di bidangnya

Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi

kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan

sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian, pertimbangan-

pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat

dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain ahli

hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai

bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli

pengangkutan udara, laut, dan lain-lain.

Catatan: Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di

pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya

sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki

latar belakang yang sama, yakni berasal dari bidang hukum, sehingga mereka

hanya memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang

lainnya dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit lainnya.
6

3. Sifat Konfidensialitas

Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam

persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang

dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan.

Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga

kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999

disebutkan bahwa: “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis

arbitrase dilakukan secara tertutup.”

Catatan: Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan

harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang

bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia

(bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.

Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang

menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan

dibandingkan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:

a. kerahasiaan sengketa para pihak dijamin;

b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif

dapat dihindari;

c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai

pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai

masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;

d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan


7

e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan

melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat

dilaksanakan.

D. Kekurangan Arbitrase

1. Hanya untuk para pihak bona fide

Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide

(bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah mereka

yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan,

pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase.

Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan

putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak

biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha

yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat

melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan

pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.

Catatan: Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka

telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka

mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat klausul

arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima

gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa:

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu

penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase…”)

2. Ketergantungan mutlak pada arbiter

Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk

memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
8

Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah

bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang

bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak

adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan

tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat

merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat

diuji kembali (melalui proses banding).

Catatan: Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan

kewenangan mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat,

penulis tidak sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan.

Artinya, itu merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak,

dan risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga

arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri

arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani

sengketa mereka.

3. Tidak ada preseden putusan terdahulu

Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan

tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah

dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap

putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas

suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung

argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.

Catatan: Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat

timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa

serupa di masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan
9

bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan

sama.

4. Masalah putusan arbitrase asing

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan

sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu

menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah

terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya

penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya

putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.

E. Lembaga Arbitrase

1. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)

BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka,

yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr.

Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan

Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI

berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia

termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI adalah suatu badan yang

dibentuk oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia dalam

penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan,

industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian

sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan,

pabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, waralaba, konstruksi, pelayaran / maritim,

lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan
10

perundang-undangan dan kebiasaan internasional. Badan ini bertindak secara otonom

dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang

telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah suatu cara untuk

menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata oleh para pihak melalui alternatif

penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

2. BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional)

Keputusan Rapat Dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia yaitu Kep-

09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat

Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS). Kehadiaran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

sangat diperlukan oleh umat Islam Indonesia mengingat pentingnya melaksanakan

syariat Islam untuk kesejahteraan masyarakat dan juga menjadi suatu kebutuhan yang

riil sejalan dengan perkembangan kehidupan perekonomian dan keuangan mayarakat.

Untuk itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi:

a. Menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul

dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan

umat Islam.

b. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa-sengketa keperdataan dengan

prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian.

c. Lahirnya Badan Arbitrase Syari'ah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus

Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-


11

sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan hukum islam dapat

diselesaikan dengan mempergunakan hukum islam.

d. menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank

syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka pada khususnya.

3. BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia)

BAPMI didirikan dengan akta pendirian berdasarkan akta No. 15 yang dibuat

oleh Notaris Fathiah Helmy SH dan ditandatangani di Jakarta pada tanggal 9 Agustus

2002 dengan disaksikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam suatu

upacara di Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Selanjutnya BAPMI memperoleh pengesahan sebagai badan hukum melalui

Keputusan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia No: C-2620

HT.01.03.TH 2002, tanggal 29 Agustus 2002, dan pengesahan tersebut telah

diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Oktober 2002,

Nomor 84/2002, Tambahan Berita Negara Nomor 5/PN/2002.

Arbitrase BAPMI adalah cara penyelesaian sengketa dengan menyerahkan

kewenangan kepada pihak ketiga yang netral dan independen - yang

disebut arbiter guna memeriksa dan mengadili perkara pada tingkat pertama dan

terakhir. Keputusan yang dijatuhkan oleh arbiter tersebut bersifat final dan mengikat

bagi para pihak yang tidak dapat diajukan banding.

Pemeriksaan dalam proses arbitrase BAPMI akan berlangsung paling lama

180 hari kerja terhitung sejak arbiter tunggal / majelis arbitrase terbentuk. Arbiter

dapat memperpanjang jangka waktu tersebut dengan persetujuan pemohon dan

termohon.
12

F. Prosedur Yang Harus Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

1. Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase

Seperti yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa

melalui arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan

dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa

sengketa akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib

diberikan secara tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang

pada Undang-Undang No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:

a. Nama dan alamat lengkap Pemohon dan Termohon;

b. Penunjukan klausula arbitrase yang berlaku;

c. Perjanjian yang menjadi sengketa;

d. Dasar tuntutan;

e. Jumlah yang dituntut (apabila ada);

f. Cara penyelesaian sengketa yang dikehendaki; dan

g. Perjanjian tentang jumlah arbiter (atau jika tidak memiliki perjanjian ini,

Pemohon dapat mengajukan jumlah arbiter yang dikehendaki dan harus dalam

jumlah yang ganjil. Penunjukan arbiter ini juga dapat diserahkan kepada ketua

BANI atau melalui pengangkatan Ketua Pengadilan Negeri). Sebagaimana

yang tertuang dalam Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI), prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimulai

dari pendaftaran dan permohonan arbitrase kepada Sekretariat BANI. Hal ini

dilakukan oleh pihak yang memulai proses arbitrase alias Pemohon.

Penyerahan permohonan ini juga disertai dengan pembayaran biaya

pendaftaran dan administrasi (meliputi biaya administrasi sekretariat,

pemeriksaan perkara, arbiter, dan Sekretaris Majelis).


13

Setelah permohonan diterima dan pembayaran dilunasi, permohonan akan

didaftarkan ke dalam register BANI. Permohonan akan diperiksa untuk kemudian

ditentukan apakah perjanjian arbitrase cukup memberikan dasar kewenangan bagi

BANI untuk melakukan pemeriksaan sengketa tersebut.

2. Penunjukan Arbiter

Merujuk pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya,

pemohon dan termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan

ini dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam

jawaban Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon). Forum

arbitrase dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis. Hal

ini berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan arbiter

tunggal dan Majelis adalah seperti berikut ini. Jika diinginkan cukup arbiter tunggal,

Pemohon dan Termohon wajib memiliki kesepakatan tertulis mengenai hal ini.

Pemohon mengusulkan kepada Termohon sebuah nama yang akan dijadikan sebagai

arbiter tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari sejak usulan diterima tetapi tidak

mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat melakukan pengangkatan

arbiter tunggal.

Jika diinginkan Majelis, maka Pemohon dan Termohon masing-masing menunjuk

seorang arbiter. Karena jumlah arbiter harus ganjil, arbiter yang ditunjuk oleh dua

belah pihak harus menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi arbiter ketiga (akan

menjadi Ketua Majelis). Jika dalam kurun waktu 14 hari belum mencapai

kesepakatan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter ketiga dari

salah satu nama yang diusulkan salah satu pihak. Sementara itu, apabila salah satu

pihak tidak dapat memberikan keputusan mengenai usulan nama arbiter yang
14

mewakili pihaknya dalam kurun waktu 30 hari sejak Termohon menerima surat, maka

seorang arbiter yang telah ditunjuk salah satu pihak menjadi arbiter tunggal. Putusan

arbiter tunggal ini tetap akan mengikat dua belah pihak.

3. Tanggapan Termohon

Setelah berkas permohonan didaftarkan, Badan Pengurus BANI akan memeriksa dan

memutuskan apakah BANI memang berwenang untuk melakukan pemeriksaan sengketa,

maka Sekretaris Majelis harus segera ditunjuk. Jumlah Sekretaris Majelis boleh lebih

dari satu dan bertugas untuk membantu pekerjaan administrasi kasus. Sekretariat

menyiapkan salinan permohonan arbitrase pemohon dan dokumen-dokumen lampiran

lainnya dan menyampaikannya kepada Termohon.Termohon memiliki waktu sebanyak

30 hari untuk memberi jawaban atas permohonan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban

Termohon. Termasuk di dalam jawaban tersebut adalah usulan arbiter. Apabila dalam

jawaban tersebut tidak disampaikan usulan arbiter, maka secara otomatis dan mutlak

penunjukan menjadi kebijakan Ketua BANI. Batas waktu 30 hari dapat diperpanjang

melalui wewenang Ketua BANI dengan syarat tertentu. Termohon menyampaikan

permohonan perpanjangan waktu untuk menyampaikan jawaban atau menunjuk arbiter

dengan menyertakan alasan-alasan yang jelas dan sah. Maksimal perpanjangan waktu

tersebut adalah 14 hari.

4. Tuntutan Balik

Dalam jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya

kepada BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban

tersebut harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung

permohonan arbitrase berikut butir-butir permasalahannya. Di samping itu, Termohon

juga berhak melampirkan data dan bukti lain yang relevan terhadap kasus tersebut. Jika
15

ternyata Termohon bermaksud untuk mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi),

maka tuntutan tersebut dapat pula disertakan bersamaan dengan pengajuan Surat

Jawaban. Tuntutan balik ini juga dapat diajukan selambat-lambatnya pada saat sidang

pertama. Namun pada kondisi tertentu, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik pada

suatu tanggal dengan memberi jaminan yang beralasan. Tentu saja, hal ini juga dilakukan

atas wewenang dan kebijakan Majelis. Seperti prosedur permohonan arbitrase di awal,

pihak Pemohon yang mendapat tuntutan balik dari Termohon diberi waktu selama 30

hari (atau sesuai dengan kebijakan Majelis) untuk memberi jawaban atas tuntutan

tersebut. Yang perlu diingat, tuntutan balik ini dikenakan biaya tersendiri dan harus

dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila tanggungan biaya ini terselesaikan oleh kedua

belah pihak, barulah tuntutan balik akan diperiksa dan diproses lebih lanjut bersama-

sama dengan tuntutan pokok. Namun apabila ada kelalaian dari salah satu atau bahkan

kedua belah pihak untuk membayar biaya administrasi tuntutan balik selama biaya

tuntutan pokok telah selesai dilaksanakan maka hanya tuntutan pokok yang akan

dilanjutkan penyelenggaraan pemeriksaannya.

5. Sidang Pemeriksaan

Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur dalam

Undang-Undang, antara lain pemeriksaan dilakukan secara tertutup, menggunakan

bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar keterangan dari para pihak.

Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase

yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.

Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait

dengan sengketa yang dipersoalkan. Sementara itu, terkait dengan bahasa yang

digunakan, Majelis atau arbiter dapat mempertimbangkan untuk menggunakan bahasa


16

asing sesuai kesepakatan apabila ada pihak atau bahkan arbiter asing yang tidak dapat

menggunakan bahasa Indonesia, atau bagian transaksi yang menjadi penyebab sengketa

dilaksanakan dalam bahasa asing (selain Indonesia). Sebagaimana yang termaktub dalam

Undang-Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180 hari terhitung sejak

Majelis atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi faktor Majelis atau

arbiter memperpanjang masa pemeriksaan adalah:

a. salah satu pihak mengajukan permohonan hal khusus;

b. merupakan akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya;

atau

c. dianggap perlu oleh Majelis atau arbiter. Putusan akhir paling lama ditetapkan

dalam kurun waktu 30 hari sejak ditutupnya persidangan. Sebelum memberi

putusan akhir, Majelis atau arbiter juga memiliki hak untuk memberi putusan-

putusan pendahuluan atau putusan-putusan parsial. Namun, bila dirasa

diperlukannya perpanjangan waktu untuk menetapkan putusan akhir menurut

pertimbangan Majelis atau arbiter, maka putusan akhir dapat ditetapkan pada suatu

tanggal berikutnya.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Arbitrase Nasional Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 30 Tahun 1999 diatur “Arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”.

penyelesaian sengketa secara alternatif harus dilakukan dengan itikad baik

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999.

Dalam Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

Ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di

bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”

Ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundangundangan tidak dapat di diadakan perdamaian.”

Pasal 5 menjelaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase

hanya sengketa di bidang perdagangan dan perbuatan melawan hukum, yang dapat

dilihat bahwa dalam prakteknya penyelesaian melalui arbitrase sering digunakan oleh

kalangan pengusaha besar.

Dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

Ayat (1): “Yang dapat ditunjuk atau diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat:

a. cakap melakukan tindakan hukum;

b. berumur paling rendah 35 tahun;


17
18

c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan

derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan

arbitrase; dan

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling

sedikit 15 tahun.”

Ayat (2): “Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk

atau diangkat sebagai arbiter.”

Maka jelas dalam Pasal 12 ayat (2) pejabat yang disebutkan tidak boleh

menjadi arbiter agar terjamin adanya objektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian

putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pendapat dan Putusan Arbitrase diatur dalam Pasal 52 sampai Pasal 58 UU

No. 30 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

Pasal 52

“Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang

mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.”

Maka tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima

permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan

suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan

dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang

jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan

timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga
19

arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang

bertindak bertentangan. Dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian.

Pasal 53

“Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52

tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun.”

Pasal 54

Ayat (1): “Putusan arbitrase harus memuat:

a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. nama lengkap dan alamat para pihak;

c. uraian singkat sengketa;

d. pendirian para pihak;

e. nama lengkap dan alamat arbiter;

f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan

sengketa;

g. pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis

arbitrase;

h. amar putusan;

i. tempat dan tanggal putusan; dan

j. tanda tangan arbiter atau mejelis arbitrase.”


20

Ayat (2): “Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter

dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya

putusan dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat

putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.”

Ayat (3): “Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.”

Ayat (4): “Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus

dilaksanakan.”

Pasal 55

“Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan

ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan arbitrase.”

Pasal 56

Ayat (1): “Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan

hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.”

Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan

bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau

sesuai dengan rasa keadilan dan kepatuhan (ex aquo et bono). Dalam hal arbiter diberi

kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka

peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu,

hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi

oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan

berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan

berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.


21

Ayat (2): “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap

penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.”

Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum

mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak

menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase

dilakukan

Pasal 57

“Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah

pemeriksaan ditutup.”

Pasal 58

“Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima,

para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk

melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau

mengurangi sesuatu tuntutan putusan.”

Yang dimaksud dengan “koreksi terhadap kekeliruan administratif” adalah

koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam

penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah

substansi putusan.

Yang dimaksud dengan “menambah atau mengurangi tuntutan” adalah salah

satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara

lain:

1. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan

2. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus;
22

3. atau mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama

lainnya.

Pasal 59

Ayat (1): “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan

didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Ayat (2): “Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir

putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang

menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.”

Ayat (3): “Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli

pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan

Negeri.”

Ayat (4): “Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.”

Ayat (5): “Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran

dibebankan kepada para pihak.”

Pasal 60

“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan

mengikat para pihak.”

Maka dari itu, putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan

demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.


23

Pasal 61

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,

putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan

salah satu pihak yang bersengketa.”

Pasal 62

Ayat (1): “Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada

Panitera Pengadilan Negeri.”

Ayat (2): “Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum

memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan

arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum.”

Ayat (3): “Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan

eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya

hukum apapun.”

Ayat (4): “Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari

putusan atbitrase.”

Pasal 63

“Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik

putusan arbitrase yang dikeluarkan.”


24

Pasal 64

“Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri,

dilaksankaan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang

putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”

B. Permasalahan Dualisme Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Antara PT.

Maybank Indonesia Dengan PT. Reliance Capital Management.

Banyaknya lembaga arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) seringkali

membuat ketidaksepahaman antar para pihak yang bersengketa untuk mennyelesaikan

sengketa di antara mereka. Salah satu yang pernah menjadi perhatian besar adalah

permasalahan antara BANI Sovereign yang memberi putusan atas sengketa transaksi

saham PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOMF) antara PT Maybank Indonesia

Tbk dan PT Reliance Capital.

Dalam keterangan resmi yang diterima, disebutkan dalam putusannya Maybank

menjadi pihak yang bersalah atas gagalnya transaksi tersebut. Mahkamah Arbitrase

menilai, Reliance telah memenuhi semua kewajibannya berdasarkan CSPA. Termasuk

ketersediaan dana membeli saham WOMF, yang dipermasalahkan Maybank. Putusan ini

sendiri kini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan UU 30/1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Sementara itu, Majelis Arbitrase BANI Sovereign Anita Kolopaking mengafirmasi

adanya putusan tersebut. Meski demikian ia enggan membeberkan amar putusannya,

termasuk siapa yang diputuskan bersalah dalam sengketa ini karena putusan arbitrase

yang bersifat tertutup. Dan kuasa hukum Reliance Marco Mengko dari kantor hukum

Yang & Co pun hanya mengonfirmasi bahwa Maybank jadi pihak yang bersalah.
25

Sekadar informasi, sengketa ini bermula ketika transaksi saham WOMF gagal.

Alasannya, Maybank menilai Reliance tak sanggup memenuhi persyaratan pendahuluan,

khususnya soal ketersediaan dana. Sebaliknya, Reliance menilai Maybank yang gagal

memenuhi persyaratan pendahuluan.

Reliance kemudian membawa sengketa ini ke BANI Sovereign. Namun hal

tersebut ditolak Maybank, mereka tak mengakuinya BANI Sovereign sebagai

lembaga arbitrase yang berhak mengadili sengketa.

Namun, Kantor Hukum Hotman Paris & Partners sebagai kuasa hukum PT Bank

Maybank Indonesia Tbk menerangkan, berdasarkan putusan Nomor 41011/II/ARB-

BANI/2018 tanggal 4 Mei 2018 yang dikeluarkan BANI (Badan Arbitrase Nasional

Indonesia) yang beralamat di jalan Mampang, Jakarta Selatan memutuskan bahwa PT.

Reliance Capital Management telah Wanprestasi atau telah lalai/gagal memenuhi

Persyaratan Pendahuluan Pembeli sebagaimana diatur dalam Pasal 4.3 dan Lampiran

3 (Persyaratan pendahuluan) angka 2 butir (d) Perjanjian Pembelian Saham Bersyarat

(Conditional Share Purchase Agreement) tertanggal 11 Januari 2017 sehubungan

2.386.464.729 lembar saham di PT. Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk.

Saat ini, ada dua lembaga arbitrase yang memakai nama BANI, yakni BANI

Sovereign dan BANI yang berkedudukan di Mampang atau BANI Mampang.Dua

badan arbitrase ini sendiri telah bersengketa sejak 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan. Hingga akhirnya diputuskan BANI Mampang merupakan badan arbitrase

yang legal setelah adanya Putusan Kasasi Mahkamah Agung.


26

C. Penyelesaian Sengketa Antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Ifani Dewi Melalui
Arbitrase

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan gugatan atas putusan Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang memenangkan PT Ifani Dewi dalam

pengadaan bus transjakarta asal Tiongkok pada tahun 2013. Tetapi pasca pembelian,

terjadi kasus pidana yang menyeret Kadishub DKI Udar Pristono menjadi terdakwa

korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Direktur Ifani Dewi juga sudah dijadikan

tersangka dalam kasus pengadaan bus TransJakarta ini. Pemprov juga tak mau membayar

dengan dalil bus ini adalah bus karatan seperti yang diberitakan media massa kala itu.

Padahal PT Ifana Dewi sudah menegaskan tidak ada bus yang karatan.

Pemprov DKI enggan membayar 161 unit Transjakarta yang sudah dipesan PT

Ifani Dewi dengan alasan kontrak kerjasama ini sudah dibatalkan Kejagung. Total yang

belum dibayar untuk 161 unit ini ialah Rp 130 miliar. PT Ifani Dewi pun mengajukan

gugatan ke BANI pada awal 2015 dan pada 28 April 2015 diketok putusan oleh BANI

yang menyatakan Pemprov DKI wanprestasi dan harus membayar ke PT Ifani Dewi.

Tetapi Pemprov tidak mau membayar karena jual beli ini sudah masuk ranah pidana. Pada

22 April 2015, BANI memenangkan gugatan PT Ifani Dewi atas sengketa pembelian

paket bus Dishub DKI. Atas putusan itu Pemprov DKI harus membayar sisa pembelian

sebesar Rp 7,6 miliar untuk bus impor gandeng tranjakarta merek Ankai yang dibeli pada

2013 lalu.

Proses gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 17 Juni

2015.Kepala Bagian Pelayanan Hukum Biro Hukum Solafide Sihite mengungkapkan

dasar hukum yang digunakan Pemprov DKI untuk mengajukan gugatan terhadap putusan

BANI yakni Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
27

Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa pihak tergugat boleh

mengajukan perlawanan dengan beberapa pertimbangan.

Menurut Solafide, hal yang dijadikan pertimbangan utama oleh pihaknya

untuk mengajukan gugatan adalah penetapan beberapa tersangka dalam kasus

pengadaan bus yang dikenal sebagai kasus bus berkarat itu. Para tersangka itu adalah

Direktur Utama PT Ifani Dewi, Agus Sudiarso, dan dua pejabat dari Dinas

Perhubungan, yakni Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Bidang Kontruksi,

Setyo Tuhu; dan Pejabat Pembuat Komitmen, Drajad Adhyaksa. Pihak Pemprov

menyatakan bahwa sudah terbukti ada tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan

bus paket V tahun anggaran 2013. Yang mana kalau dipaksakan untuk tetap dilakukan

pembayaran oleh Pemprov, akan menjadi pertimbangan Kejagung untuk menetapkan

tersangka kembali dari pihak Pemprov DKI.

Dalam sidang putusan yang digelar Selasa, 8 September 2015 permohonan

pembatalan putusan BANI yang diajukan Kepala Dinas Perhubungan Dan

Transportasi Provinsi Dki Jakarta tersebut ditolak oleh majelis hakim Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan menolak perlawanan untuk seluruhnya.

Majelis hakim menilai pelawan tidak dapat membuktikan dalilnya. Seperti

diketahui, dalam persidangan, Pemprov DKI menjadikan Undang-undang No.

30/1999 pasal 70 poin b sebagai dalil permohonan pembatalan putusan BANI

tersebut. Berdasarkan poin b dalam pasal tersebut, para pihak dapat mengajukan

permohonan pembatalan apabila setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang

bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. Menurut majelis hakim,

dalam persidangan, pelawan tidak dapat membuktikan adanya dokumen yang

disembunyikan tersebut.
28

Atas hasil putusan tersebut, Pemprov DKI Jakarta pun mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung, yang mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan terkait

perkara pengadaan TransJakarta dengan PT Ifani Dewi. Dengan demikian, putusan

kasasi ini sekaligus membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) dan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengaharuskan Pemprov DKI

membayar Rp. 7,6 miliar dari total Rp 130 miliar atas pengadaan Transjakarta dari PT

Ifani.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa yang lebih

disarankan dan lebih diminati oleh kalangan pengusaha daripada penyelesaian

sengketa melalui litigasi. Pelaksanaan arbitrase sendiri diperkuat dalam Undang –

Undang Nomor 30 Tahun 1999.

2. Banyak lembaga arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang

seringkali membuat ketidaksepahaman antar para pihak yang bersengketa untuk

menyelesaikan sengketa. Seperti pada permasalahan antara BANI Sovereign yang

memberi putusan atas sengketa transaksi saham PT Wahana Ottomitra Multiartha

(WOMF) antara PT Maybank Indonesia Tbk dan PT Reliance Capital. Majelis

Arbitrase BANI Sovereign mengafirmasi adanya putusan tersebut. Tetapi ia

enggan membeberkan amar putusannya, termasuk siapa yang diputuskan bersalah

dalam sengketa ini karena putusan arbitrase yang bersifat tertutup. Dan dalam

putusannya tersebut menyebutkan bahwa PT Maybank yang menjadi pihak yang

bersalah dalam transaksi tersebut. Sebaliknya menurut PT Maybank bahwa PT

Reliance Capital lah yang tak sanggup memenuhi persyaratan pendahuluan,

khususnya soal ketersediaan dana. Maka dari itu PT Maybank menolah PT

Reliance Capital untuk membawa sengketa tersebut ke BANI Sovereign karena ia

tidak mengakui BANI Sovereign sebagai lembaga arbitrase yang mengadili

sengketa.

3. Sengketa yang terjadi antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Ifani Dewi berawal

dari kerjasama antara para pihak terkait pengadaan bus transjakarta. Kemudian

dalam kerjasama tersebut timbul persoalan. Persoalan yang terjadi yaitu adanya

kasus pidana korupsi yang dilakukan Kadishub DKI Udar Pristono. Selain itu,

29
30

pihak dari PT.Ifani Dewi sendiri melayangkan gugatan kepada Pemprov DKI

karena Pemprov DKI tidak mau membayar sisa pembayaran bus transjakarta

dengan alasan bus tersebut berkarat dan dalam pelaksanaannya terjadi tindak

pidana korupsi. Akhirnya putusan BANI dimenangkan oleh PT.Ifani Dewi yang

mengharuskan Pemprov DKI membayar sebesar Rp.7,6miliar ke PT.Ifani Dewi.

Pemprov DKIpun akhirnya mengajukan permohonan pembatalan atas putusan

BANI, dan hasilnya Hakim menolak permohonan. Tidak sampai disitu, Pemprov

DKI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang akhirnya mengabulkan

permohonan Pemprov DKI mengenai putusan BANI dalam pengadaan bus

transjakarta.

B. Saran

1. Karena arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang banyak diminati, maka

biaya yang ditetapkan seharusnya dapat menjangkau semua kalangan masyarakat

yang tidak hanya pengusaha besar.

2. Seharusnya di Indonesia ada kepastian mengenai lembaga BANI mana yang

berwenang menyelesaikan sengketa.

3. Dengan melihat sengketa antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Ifani Dewi,

maka sebaiknya sebagai pembelajaran untuk ke depannya kita harus selalu lebih

teliti apabila akan menjalin suatu hubungan kerjasama dengan siapapun.


DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Pemerintah Indonesia. 1999, Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Peyelesaian Sengketa. Sekertariat Negara. Jakarta.

B. Sumber Lain

https://radarsukabumi.com/2018/05/22/bani-menangkan-maybank-terkait-sengketa-
jual-beli-saham/
https://news.detik.com/berita/d-3614425/konflik-badan-arbitrase-hakim-vonis-bani-
sovereign-yang-sah
https://www.tribunriau.com/gugatan-maybank-relience-sambut-baik-keputusan-pn-
jaksel/
https://nasional.kontan.co.id/news/bani-sovereign-akhirnya-memutuskan-maybank-
bersalah
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/03/11/mengenal-lebih-jauh-badan-
arbitrase-nasional-indonesia-bani
https://nasional.kontan.co.id/news/gugatan-maybank-hotman-paris-kami-tidak-
mengakui-bani-sovereign
https://kabar24.bisnis.com/read/20180327/16/754994/hotman-paris-dampingi-
maybank-seret-bani-sovereign-ke-pengadilan
https://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/19/15032071/Dipaksa.Bayar.Bus.Berk
rat.DKI.Gugat.Putusan.BANI.
https://nasional.kontan.co.id/news/pemprov-dki-menang-kasasi-pengadaan-transjakarta
https://kabar24.bisnis.com/read/20150908/16/470501/sengketa-bus-transjakarta-putusan-bani-
harus-dijalankan
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190727195021-12-416095/pemprov-dki-bakal-
gugat-perusahaan-penyedia-bus-transjakarta
https://news.detik.com/berita/d-3013814/ngemplang-bayar-bus-transj-pemprov-dki-dihukum-
rp-130-miliar
https://kabar24.bisnis.com/read/20160530/16/552718/kasus-transjakarta-pt-ifani-dewi-minta-
arbitrase-ulang
http://www.gresnews.com/berita/hukum/107056-babak-akhir-perseteruan-bus-transjakarta-
berkarat-/

ii

Anda mungkin juga menyukai