Pembimbing:
dr. Prahadi Rahardjo Sp.OG
Oleh:
Priyaveda Janitra (112018009)
Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis tantangan global yang tidak ringan, maka
dari itu Indonesia berkomitmen mencapai Millenium Development Goals (MDGs) dengan
maksud manusia sebagai fokus utama program pembangunan. Dari semua target yang ingin
dicapai MDGs, khususnya tentang kinerja penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan
penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) secara global masih rendah, sehingga perlu target
dimasa mendatang pada tahun 2015 dimana AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup
dan AKB sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan dengan mengetahui sedini
mungkin faktor-faktor risiko untuk terjadinya komplikasi selama kehamilan dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Hal ini masih membutuhkan komitmen
dan usaha keras yang terus menerus untuk mewujudkan MDGs.1
Angka kejadian terjadinya preeklampsia diperkirakan 3,2% dari di setiap angka
kelahiran. Angka ini memberikan total sekitar lebih dari 4 miliar kasus per tahunnya di
seluruh dunia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh WHO tahun 2011, dengan peserta
wanita yang hamil atau wanita hamil yang mengakhiri kehamilannya di periode antara tahun
1997-2002, terdapat sekitar 14,9% wanita meninggal dengan preeklampsia. Selain itu
preeklampsia merupakan pembunuh nomor satu penyebab kematian ibu di Amerika Latin
sebanyak 25,7%, disusul oleh Afrika dan Asia sebanyak 9,1%. Penelitian ini menjadi salah
satu bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang paling serius, selain
perdarahan di seluruh negara, terutama negara yang sedang berkembang.2,3,4
Di Indonesia sendiri tingginya angka kematian ibu menjadi agenda kesehatan yang
paling utama. Berdasarkan Maternal Mortality Ratio, perkiraan terjadi 300–400 kematian ibu
per 100,000 kelahiran, ini artinya wanita Indonesia meninggal setiap jamnya karena
kehamilan. Hal ini juga diperkuat menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun
2007 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan
target yang ingin dicapai oleh pemerintah pada tahun 2015 dimana AKI sebesar 102 per
100.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tergolong tinggi.3,5
Selain itu, asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi
penyulit dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma bronkiale
menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang sebenarnya bisa lebih tinggi
karena sekitar 10% populasi memiliki hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik yang
merupakan stigma asma. Lebih lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas, dan
mortalitas asma meningkat sampai 60%. Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
komplikasi ibu dan janin yang serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko
kematian perinatal, prematuritas, dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi.
Asma dapat terjadi pertama kali atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat
memberikan efek samping untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar sepertiga
wanita hamil dengan penyulit asma.6
Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol asmanya
dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik memberi kesempatan
bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan normal dengan sedikit
atau tanpa adanya risiko untuk wanita tersebut atau janinnya.6
BAB 3
Tinjauan Pustaka
1. Preeklampsia
A. Definisi
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema
akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan.7-9
Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis
preeklampsia, namun sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis,
kecuali edema anasarka yang bisa ditandai dengan kenaikan berat badan >500
gr/minggu.10
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Kenaikan
tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg dapat membantu ditegakkannya
diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak
waktu 4 jam pada keadaan istirahat.10
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang
kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+
atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream
yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul
lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.8,9
Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-eklampsia,
namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh
seperti pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan harus tetap diwaspadai.
Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh. Normalnya, wanita hamil
mengalami kenaikan berat badan sekitar 500 gr per minggu, 2000 gr per bulan, atau 13
kg selama kehamilan. Apabila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu
dicurigai timbulnya pre-eklampsia.8,9
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia,
yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Eklampsia dapat menyebabkan
terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation) yang menyebabkan jejas
iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat berakibat fatal.8
Dikatakan sebagai preeklampsia-eklampsia apabila memiliki salah satu atau lebih
dari gejala dan tanda-tanda yang ada dibawah ini :11
1. Preeklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertai kenaikan
tekanan darah sistolik 140/90 mm/Hg atau kenaikan diastolik 15 mm/Hg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mm/Hg atau setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat
tekanan darah normal dan adanya proteinuria kuantitatif >3 gr perliter atau kuantitatif
1+ atau 2+ pada urin kateter atau midstream.
2. Preeklamsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertai kenaikan
tekanan darah 160/110 mm/Hg atau lebih, adanya proteiunuria 5 gr atau lebih per liter
dalam 24 jam atau kuantitatif 3+ atau kuantitatif 4+, adanya oliguria (jumlah urin
kurang dari 500cc per jam, adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, rasa nyeri
di epigastrium, adanya tanda sianosis, edema paru, trombositopeni, gangguan fungsi
hati, serta yang terakhir adalah pertumbuhan janin terhambat.
3. Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusul dengan
koma.
B. Epidemiologi
Angka kejadian preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2% dan 10% dari
kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda awal dari
kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi lebih tinggi di
negara berkembang. Angka kejadian preeklampsia di negara berkembang, seperti di
negara Amerika Utara dan Eropa adalah sama dan diperkirakan sekitar 5-7 kasus per
10.000 kelahiran. Disisi lain kejadian eklampsia di negara berkembang bervariasi
secara luas. Mulai dari satu kasus per 100 kehamilan untuk 1 kasus per 1700
kehamilan. Rentang angka kejadian preeklampsia-eklampsia di negara berkembang
seperti negara Afrika seperti Afrika selatan, Mesir, Tanzania, dan Ethiopia bervariasi
dari 1,8% sampai 7,1%. Di Nigeria angka kejadiannya berkisar antara 2% sampai
16,7% Dan juga preeklampsia ini juga dipengaruhi oleh ibu nullipara, karena ibu
nullipara memiliki resiko 4-5 kali lebih tinggi dari pada ibu multipara .12,13
Angka kejadian dari preeklampsia di Indonesia sekitar 7-10%, ini merupakan
bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian nomor dua di Indonesia bagi
ibu hamil, sedangkan no.1 penyebab kematian ibu di Indonesia adalah akibat
perdarahan.12,13
Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan /
preeklampsia /eklampsia.7,10
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita
hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia berat.
c. Ras/golongan etnik
Mungkin ada perbedaan perlakuan/akses terhadap berbagai etnik di banyak
Negara
d. Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai + 25%
e. Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu
dan janin.
f. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi.
Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
g. Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi
h. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil
mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
i. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
j. Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus
k. Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan
preeklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer akibat
diabetesnya.
l. Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan
preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada
usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai
dengan pada pre-eklampsia.
m. Riwayat pre-eklampsia.
n. Kehamilan pertama
o. Usia lebih dari 40 tahun dan remaja
p. Obesitas
q. Kehamilan multipel
r. Diabetes gestasional
s. Riwayat diabetes, penyakit ginjal, lupus, atau rheumatoid arthritis.
C. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah : 7,14
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan
pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen plasenta tidak
sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap
Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan “Blocking
Antibodies” akan lebih banyak akibat respon imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi
air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak
dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan
pada ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam
lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis
Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang
memicu terjadinya preeklampsia.
6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan
normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan
diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III,
sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
D. Gejala Klinis
Gejala preeklampsia adalah :7
1. Hipertensi
2. Edema
3. Proteinuria
4. Gejala subjektif : sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.
E. Patogenesis
Belum diketahui dengan pasti, secara umum pada Preeklampsia terjadi perubahan
dan gangguan vaskuler dan hemostatis. Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar
terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasenta, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
sirkulasi darah plasenta yang berkurang.15
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi
penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi
penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan
kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi
paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan
peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel.
Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh
darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.15
Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan
prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan sintesis
prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan kepekaan vaskuler
terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel yang
resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang, sehingga terjadi vasospasme.
Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan
hambatan aliran darah yang menyebabkan tejadinya hipertensi arterial yang
membahayakan pembuluh darah karena gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga
terjadi hipoksia dan kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya
Endothelin – 1 yang merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan
kebocoran antar sel endotel, sehingga unsur-unsur pembentukan darah seperti
thrombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan
gangguan ke berbagai sistem organ.15
Fungsi organ-organ lain :10
a. Otak
Pada hamil normal, perfusi serebral tidak berubah, namun pada pre-eklampsia
terjadi spasme pembuluh darah otak, penurunan perfusi dan suplai oksigen otak
sampai 20%. Spasme menyebabkan hipertensi serebral, faktor penting terjadinya
perdarahan otak dan kejang / eklampsia.
b. Hati
Terjadi peningkatan aktifitas enzim-enzim hati pada pre-eklampsia, yang
berhubungan dengan beratnya penyakit.
c. Ginjal
Pada pre-eklampsia, arus darah efektif ginjal berkurang + 20%, filtrasi
glomerulus berkurang + 30%. Pada kasus berat terjadi oligouria, uremia, sampai
nekrosis tubular akut dan nekrosis korteks renalis. Ureum-kreatinin meningkat
jauh di atas normal. Terjadi juga peningkatan pengeluaran protein (”sindroma
nefrotik pada kehamilan”).
d. Sirkulasi uterus , koriodesidua
Perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah patofisiologi
yang terpenting pada pre-eklampsia, dan merupakan faktor yang menentukan
hasil akhir kehamilan.
- Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang
berkurang.
- Hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta,
yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga
meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain
(angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih
tinggi.
- Karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai
oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan
pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.
F. Diagnosis
Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut :9,10,15
1. TD ≥ 160 / 110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr / 24 jam atau kualitatif 3+ / 4+
3. Oliguria ≤ 500 ml / 24 jam disertai kenaikan kadar kreatinin darah
4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus
5. Gangguan visus dan cerebral
6. Nyeri epigastrium
7. Edema paru atau sianosis
8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR)
9. HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP = Low
Platelet Counts)
Selain itu ada tujuan lebih lanjut penatalaksanaan asma pada wanita hamil yaitu
melahirkan bayi yang sehat. Walaupun terapi farmakologi merupakan komponen
yang vital dari managemen yang baik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah
memberikan penerangan pada pasien tentang penyakitnya dan bagaimana cara
menghindari serangan asma, sehingga pasien akan taat terhadap terapi yang
dianjurkan dan tujuan untuk mengarah ke kehidupan yang relative normal dan
kehamilan yang normal dapat diharapkan. Tujuan lainnya adalah agar pasien
dapat mengidentifikasi serangan, mengenali dan mengobati exacerbasi pada
tingkat awal. Juga agar pasien mengetahui bahwa terapi asma hanya mempunyai
resiko rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak beresiko18.
Secara umum langkah yang harus diperhatikan pada managemen asma yaitu18:
1. Sedapat mungkin menghindari serangan.
2. Terapi awal merupakan hal yang sangat penting. Gunkananlah obat saat
tanda-tanda awal dari asma mulai muncul.
3. Penting pada wanita hamil untuk tidak menunda pengobatan lebih lanjut
jika ditemukan hal-hal dibawah ini:
o Obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan yang cepat
o Perbaikan tidak terjadi terus-menerus
o Penyakit semakin lama semakin berat
o Terdapat kemunduran dari pergerakan fetus
4. Yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengobatan yang teratur.
Penatalaksanaan efektif asma untuk wanita hamil berpedoman pada empat
komponen yaitu18:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan
kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang
tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di
lingkungan pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien
I. Terapi Farmakologis
Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman
terapi umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan
penyakit yang bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada
setiap wanita dapat berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau
selama kehamilan. Karena itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan
sesuai keperluan individu dan keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi
strategi penatalaksanaan nonfarmakologi18.
Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang diperlukan
untuk mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil. Pendekatan
bertahap dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan sesuai
keperluan untuk menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin untuk
mempertahankan kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini18.
Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang
tersedia untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini
juga memiliki pola bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk
mengontrol gejala. Peningkatan sering hanya bersifat sementara dan tergantung
pada berat dan durasi eksaserbasi asma juga respon pasien sendiri18.
Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya,
riwayat alamiah dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada
seorang pasien tidak selalu sama setiap waktu, sehingga pendekatan managemen
tunggal tidak selalu dapat diterapkan. Dengan kata lain dibutuhkan terapi yang
tepat untuk tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saat itu18.
1. Asma Intermiten
Menurut pengalaman, banyak asma yang terjadi hanya ringan saja,
gejala yang kadang kala muncul dapat hilang dengan bronchodilator
perinhalasi, tanpa menimbulkan efek samping yang besar. Jika asma terjadi
karena keadaan yang dapat diperkirakan seperti latihan berat pada olah
raga, terapi pencegahan dengan B-agonis inhaler dianjurkan untuk pasien
dengan fungsi paru yang normal atau mendekati normal (FEV1 lebih besar
dari 80%) dan sedikit variasi peak flow (kurang dari 20%)
2. Asma Ringan
Penambahan dari preparat control dianjurkan pada gejala ringan yang
terjadi dengan selang waktu yang tidak lama. Walaupun tidak ada
konsensus yang menetapkan berapa frekuensi yang disebutkan sebagai
selang waktu yang tidak lama tersebut. Tetapi sebagai patokan penambahan
preparat kontrol diberikan jika gejala terjadi 1 kali perminggu atau jika
gejala pada malam hari terjadi lebih dari 2 kali perbulan. Sebagai pilihan
terapi kontrol digunakan kortikosteroid. Tujuan dari penggunaan
kortikosteroid awal tidak hanya meringankan gejala yang terjadi saat ini
tetapi juga mencegah komplikasi jangka panjang dari asma. Walaupun
belum terbukti tetapi pemikiran tersebut timbul karena inflamasi saluran
napas yang tidak diterapi dapat menimbulkan perubahan saluran napas dan
obstruksi saluran napas kronik persisten
Kromolin sebagai anti inflamasi non steroid dapat digunakan jika
asma ringan dengan peningkatan gejala dengan frekuensi kurang dari 1 kali
perhari. Pada gejala yang lebih berat dan seing tetap digukana
kortikosteroid inhalasi karena hasilnya lebih baik
3. Asma Sedang
Asma sedang ditandai dengan gejala yang hilang dengan menghirup
B-agonis beberapa kali perhari. Asma sedang ini paling baik diobati dengan
kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol inflamasi dan B-agonis diberikan
jika perlu untuk menghilangkan gejala
Pemilihan dosis initial lebih mengarah ke empiris. Terapi dimulai
dengan dosis yang besar 600-1000 mikrogram per hari lalu diturunkan
setelah didapatkan keadaanyang terkontrol. Kebanyakan pasien mencapai
control asma yang adekuat pada dosis dibawah 1000 mikrogram perhari.
Pada sebagian kecil pasien kortikosteroid inhalasi kurang dari 1000
mikrogram perhari tidak cukup untuk mengontrol gejala. Pada beberapa
kasus terapi ditingkatkan dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi
atau dengan penambahan obat lain, seperti B-agonis dan theophyllin. Dan
menurut penelitian penambahaan B-agonis lebih bermanfaat daripada
meningkatkan dosis kortikosteroid
4. Asma Berat
Asma yang ditandai dengan gejala yang menetap walaupun diterapi
dengan kortikosteroid inhalasi dan penambahan terapi dengan B-agonis
atau theophyllin. Asma berat biasanya timbul karena ketidaktaatan terhadap
terapi atau karena terpapar faktor lingkungan yang memicu atau dapat pula
karena mendapat obat yang memicu asma seperti aspirin dan B-bloker
Pada asma yang berat pilihan terbatas, termasuk penambahan dosis
kortikosteroid inhalasi, penambahan theopillin dan B-agonis. Pasien yang
tidak terkontrol walaupun diterapi dengan kortikosteroid inhalasi sampai
dengan 2000 mikrogram perhari dan satu atau lebih long acting
bronchodilator, dipertimbangkan untuk mendapat steroid oral.
5. Terapi Exacerbasi Akut
Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus
secara cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan
perawat diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan
janin dalam kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut: 18
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan
pO2 70-80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan
penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami
kekurangan cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau
normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan
dilanjutkan dengan dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar
terapeutik dalam plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml.
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan
dosis 0,25 mg
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading
dose, tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus
0,5 mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi
yang menyertai
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-
kasus yang mengancam kehidupan.
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60
menit dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut
status asmatikus, pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di
unit perawatan intensif. Selama kehamilan pertimbangan untuk
intubasi lebih awal diperlukan jika fungsi pernapasan ibu terus
menurun, meskipun dilakukan penanganan yang intensif.
6. Penanganan Asma Dalam Persalinan
Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,
direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal
dengan teratur (kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral)
selama persalinan dan kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau
melahirkan dan kemudian tiap 12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR
diukur setelah pengobatan asma. Pasien harus dijaga baik hidrasinya dan
disiapkan analgesik yang cukup untuk membatasi risiko bronkospasme.
Pasien yang sudah memerlukan kortikosteroid sistemik kronis atau
beberapa kortikosteroid sistemik jangka pendek selama kehamilan harus
diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai 24 jam postpartum untuk
mengobati kemungkinan supresi adrenal. 18,20
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan
pemantauan janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak
diperlukan pemantauan ini. Penilaian janin dapat diselesaikan dengan
pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut tes masuk rumah
sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan atau sedang yang
terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang meyakinkan, perlu
dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau pemantauan
denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif
direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan
asma tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah
sakit yang meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau
auskultasi intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala
2). Selama persalinan, pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan
pedoman untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan asma dan
obstetris yang baik. 18,20
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 l/menit,
maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk
menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa
10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan18,20
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal
harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan
kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8
jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan,
penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan
seperti telah diuraikan di atas18,20
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih.
Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena
merupakan analog prostaglandin F2-alfa sintetik yang dilaporkan
menyebabkan bronkospasme pada pasien asma. Penggunaan prostaglandin
E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme. Namun, sebuah
penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk abortus
terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.
Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk
pematangan serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan
menyebabkan bronkospasme. 18,20
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan
terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki
dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih
anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat
memacu terjadinya bronkospasme yang berat18,20
Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus
dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang
mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin
sehingga bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan
depresi pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama
persalinan pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan
ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat18,20
Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat
dapat memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin
merupakan obat terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat
mencegah bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat
memberikan efek bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen
konsentrasi tinggi dan mencegah kecemasan ibu terhadap pembedahan serta
tidak menimbulkan pendarahan pasca salin. Bila persalinan dengan seksio
sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi
cara spinal18,20
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang
tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada
meperidine atau morfin yang melepas histamine18,20
7. Penanganan Asma Post Partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan.
Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara
dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat
kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa
dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah
yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam
setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini
dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk
menimbulkan pengaruh pada janin(1).
Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien
dengan asma berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia
uteri dapat memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih
untuk pendarahan pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan,
metilergonovin dan ergonovin harus dihindari karena menyebabkan
bronkospasme. Jika penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat
disarankan pengobatan awal dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan bronkokonstriktor
dan dapat memperburuk asma. Jika diperlukan pengobatan dengan
prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang kurang menyebabkan
bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat, prostaglandin E2 20 mg
supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek washout yang
disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.20
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan
uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x)
yang dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat18.
J. Edukasi Pasien
Edukasi pasien merupakan senjata ampuh untuk menolong pasien
mendapatkan motivasi, keahlian, dan kepercayaan diri untuk mengontrol
asmanya. Edukasi pasien harusnya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan dan
diintegrasikan dengan perawatan kontinyu.
Sebagian besar tanggung jawab penanganan asma sehari-hari ada pada
pasien dan keluarganya. Partisipasi aktif oleh klinisi, pasien, dan keluarga dalam
sebuah kerjasama dapat meningkatkan pendekatan pada rencana perawatan dan
merangsang kemajuan dalam penatalaksanaan asma. Konsep kerjasama ini
termasuk komunikasi terbuka, pengembangan rencana terapi bersama oleh klinisi
dan pasien, peningkatan usaha keluarga untuk dalam pencegahan dan perawatan
gejala pasien.
Edukasi pasien termasuk membantu pasien memahami asma, membantu
pasien mempelajari dan mempraktekkan keahlian yang diperlukan untuk
mengelola asma, dan mendukung pasien saat mereka meniru tingkah laku
penatalaksanaan asma yang baik dan menambahkannya ke dalam rencana terapi
mereka. Meningkatkan keahlian pasien dalam penatalaksanaan asma dan
meyakinkan bahwa mereka dapat mengontrol asmanya.
3. Mioma Uteri
A. Definisi
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga
dengan istilah fibromyoma, leiomyoma ataupun fibroid. Nama lain mioma uteri
antara lain leiomyoma yaitu tumor jinak yang berasal dari otot polos dan paling
sering terjadi pada uterus. Fibromyoma merupakan tumor yang terdiri dari
jaringan penunjang yang berkembang lengkap atau fibrosa.23,24
B. Pembagian23,24
Mioma Submukosa
Mioma submukosa menempati lapisan dibawah endometrium dan
menonjol kedalam rongga uterus (kavum uteri), dapat bertangkai maupun
tidak. Tumor ini memperluas permukaan ruangan rahim, area permukaan
endometrium yang meluas menyebabkan peningkatan perdarahan
mensturasi dan dapat menyebabkan infertilitas dan abortus spontan.
Mioma Intramural
Mioma yang berkembang diantara miometrium disebut juga mioma
intraepithelial biasanya multiple apabila masih kecil tidak menambah
bentuk uterus tetapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol.
Mioma subserosa
Terjadi apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga
menonjol pada permukaan uterus yang diliputi oleh serosa. Mioma
subserosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip yang kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburi). Mioma subserosum dapat
tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma
ligamenter. Mioma yang tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dapat
tumbuh ke arah luar dan juga bertangkai.
C. Hubungan Mioma Uteri dengan Kehamilan23,24
Reseptor estrogen akan menurun pada miometrium yang normal semasa
fase sekresi dari siklus mensturasi dan semasa kehamilan. Pada mioma, reseptor
estrogen terdapat di sepanjang siklus mensturasi, tetapi mengalami supresi
semasa kehamilan. Reseptor progesterone terdapat pada miometrium dan mioma
sepanjang siklus mensturasi dan kehamilan. Tambahan pula mioma berkembang
pada awal kehamilan akibat dari stimulasi hormonal dan growth factors yang
sama yang memicu perkembangan uterus. Mioma uteri memberi respon yang
berbeda pada setiap individu wanita dan tidak dapat diprediksi secara akurat
perkembangan setiap mioma.
Pada trimester pertama, ukuran mioma tidak berubah atau semakin
membesar sehubungan dengan peningkatan growth factor yang merangsang
pertumbuhan uterus dan meningkatnya hormone estrogen. Pada trimester kedua,
mioma yang berukuran 2 hingga 6 cm biasanya tidak berubah atau mungkin
membesar, namun untuk mioma yang berukuran besar akan mengecil,
kemungkinan dari inisiasi penurunan regulasi reseptor estrogen. Pada trimester
ketiga tanpa memperhatikan ukuran mioma, sejatinya mioma tidak berubah atau
mengecil akibat penurunan regulasi reseptor estrogen. Biasanya mioma akan
mengalami involusi nyata saat setelah kelahiran.
Munculnya gejala bergantung pada jumlah, ukuran, dan letak mioma uteri.
Mioma intramural dan subserosa dengan ukuran < 3 cm biasanya tidak akan
menunjukkan gejala klinis yang signifikan. Sekitar 10%-30% wanita dengan
mioma uteri menunjukkan komplikasi pada kehamilannya
Pengaruh mioma uteri pada kehamilan dan persalinan:
Infertile (mandul). Terutama pada mioma uteri submukosa. Lokasi anatomi
dari mioma menjadi faktor penting dalam hubungannya dengan infertilitas.
Mioma yang berukuran > 5 cm dan berlokasi deakat serviks atau dekat
ostium tuba lebih beresiko menyebabkan masalah infertilitas. Mioma uteri
juga dapat menyebabkan disfungsi kontraksi uterus dan menyebabkan
gangguan migrasi dari sperma
Abortus dan perdarahan pada saat hamil muda. Kejadian abortus akan
meningkat pada mioma uteri submukosa. Mioma uteri yg berdekatan
dengan plasenta dapat menyebabkan abortus
Malpersentasi, terutama pada mioma uteri submukosa dan berukuran besar
Distosia akibat mioma yg menghalangi jalan lahir
Pertumbuhan janin yang terhambat
Atonia uteri terutama pada saat kehamilan
Kelainan letak plasenta
Pengaruh kehamilan dan persalinan pada mioma uteri:
Mioma uteri mengalami pertumbuhan yang cepat dikarenakan pengaruh
hormon estrogen
Degenerasi merah dan degenerasi karnosa : Tumor menjadi lebih
lunak,berubah bentuk, dan warna lebih kemerahan. Bisa terjadi gangguan
sirkulasi da perdarahan
Mioma uteri yang bertangkai saat bayi lahir dapat mengalami torsi dan
mengakibatkan nekrosis sehingga pasien akan mengalami nyeri abdomen
yang hebat.
Mioma uteri letak dibelakang dapat menekan kavum dauglasi dan akan
mengalami inkaserasi.
D. Penatalaksanaan Mioma Uteri pada Kehamilan25-30
Sampai saat ini belum ada panduan khusus mengenai tatalaksana mioma
uteri pada kehamilan yang dipublikasikan. Pada beberapa kasus, miomektomi
yang dilakukan pada masa kehamilan merupakan langkah penting meskipun
memiliki resiko tinggi. Meskipun mioma uteri tidak dapat dijadikan
kontraindikasi persalinan, akan tetapi mioma seringkali menjadi indikasi
dilakukannya seksio sesaria. Kebanyakan perempuan dengan riwayat
miomektomi sebelumnya menjalani operasi seksio sesarea untuk mencegah
terjadinya ruptur uteri. Pengangkatan mioma uteri pada operasi sesar tidak rutin
dilakukan karena tindakan ini sering dipersulit dengan perdarahan hebat.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa semua fibroid anterior harus selalu
dilakukan miomektomi dan operasi sesar menjadi pilihan dalam melakukan
persalinan. Namun para ahli kebidanan di beberapa negara Asia masih
menghindari dilakukannya miomektomi sesaria sebagai sesuatu yang rutin
dilakukan. Miomektomi sesaria biasa dilakukan pada mioma yang bertangkai,
mioma subserosus yang terletak di anterior dan secara khusus mioma yang
terletak pada segmen bawah uterus.
Pada beberapa kasus, miomektomi yang dilakukan pada masa kehamilan
merupakan langkah penting meskipun memiliki resiko tinggi. Sampai saat ini
belum ada panduan khusus yang dipublikasikan. Meskipun mioma tidak dapat
dijadikan sebuah kontraindikasi persalinan, akan tetapi mioma seringkali menjadi
indikasi dilakukannya seksiosesaria. Kebanyakan perempuan dengan riwayat
miomektomi sebelumnya menjalani operasi sesar untuk mengurangi resiko ruptur
uteri. Lebih lanjut, jumlah seksio sesaria secara keseluruhan tampak meningkat
diseluruh dunia, seiring dengan insiden mioma pada perempuan yang melakukan
operasi sesar. Sebaliknya, miomektomisesaria (caesarianmyomectomy; CS) masih
merupakan tindakan bedah dengan resiko tinggi dan hanya direkomendasikan
pada kasus tertentu.
Pengangkatan fibroid pada operasi sesar tidak rutin dilakukan karena
tindakan ini sering kali dipersulit dengan perdarahan hebat. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa semua fibroid anterior harus selalu diangkat dan operasi
sesar menjadi pilihan dalam melakukan persalinan. Namun begitu, banyak ahli
kebidanan di daerah tropis yang masih menghindari dilakukannya miomektomi
sesaria sebagai sesuatu yang rutin dilakukan pada operasi sesar. Miomektomi
sesaria biasanya dilakukan pada fibroid yang bertangkai, fibroid anterior
subserous dan secara khusus yakni fibroid pada bagian segmen bawah uterus.
Indikasi paling umum melakukan miomektomi bersamaan dengan seksio
sesaria pada penelitian ini adalah fibroid pada segmen bawah uterus (61,90%).
Hal ini serupa pada temuan penelitian Adesiun et al, dan Kant Anita et al, dan
Ahikari Sudhir et al. Howkins dan Stallworthy menganjurkan caesarian
miomektomi pada beberapa kasus. Ada beberapa penelitian observasional dimana
miomektomi sukses dilakukan pada semua kasus. Pada beberapa studi kasus
kontrol juga menunjukkan bahwa miomektomi sukses dilakukan pada semua
kasus. Pada penelitian saat ini 93% kasus miomektomi dilakukan setelah
persalinan, namun (6,7%) kasus mioma yang terletak pada bagian terbawah
dinding anterior, prosedur miomektomi dilakukan sebelum persalinan untuk
menghindari insisi pada bagian segmen atas uterus. Pada penelitian lain juga
menunjukkan miomektomi dilakukan sebelum bayi dilahirkan apabila mioma
terletak pada bagian bawah dinding anterior.
BAB 4
Kesimpulan
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada
kehamilan 20 minggu atau lebih.
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga
penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang berkaitan
dengan terjadinya preeklampsia adalah : Faktor Trofoblast, Faktor Imunologik, Faktor Gizi,
Faktor Genetik, Faktor Hormonal, Peran Prostasiklin dan Tromboksan. Jumlah Kematian ibu
antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.
Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut : TD ≥
160 / 110 mmHg, proteinuria > 5 gr / 24 jam atau kualitatif 3+ / 4+, Oliguria ≤ 500 ml / 24
jam, peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus, nyeri kepala frontal atau gangguan
penglihatan, nyeri epigastrium, edema paru atau sianosis, pertumbuhan janin intra uterin yang
terhambat (IUFGR), HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP
= Low Platelet Counts) dan Koma.
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre eklampsia berat
selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi : (1) Perawatan aktif yaitu kehamilan
segera diakhiri atau diterminasi ditambah pengobatan medicinal (segera rawat di ruangan
yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL, tirah baring miring ke satu sisi, diet cukup
protein, rendah KH-lemak dan garam, berikan anti kejang, anti hipertensi, dll) (2) Perawatan
konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medicinal.
Pengaruh asma terhadap kehamilan misalnya peningkatan kelahiran preterm dan berat badan
lahir bayi rendah, peningkatan mortalitas neonatal, dan peningkatan hipoksia neonatal,
hiperemesis gravidarum, pendarahan vagina, dan toksemia. Pengaruh kehamilan terhadap
asma bisa meningkat (36%), memburuk (23%), dan tidak mengalami perubahan (41%).
Obat-obat asma yang bisa digunakan adalah anti inflamasi seperti kortikosteroid,
sodium kromolin, sodium nedokromil, bronkodilator seperti agonis β2 adrenergik, agonis β
nonselektif, teofilin, dan anti kolinergik, antihistamin, dekongestan, dan terapi imun.
Penatalaksanaan efektif asma dalam kehamilan berpedoman pada empat komponen
yaitu:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan
kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di lingkungan
pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien
Pada saat pasien akan melahirkan baiknya persalinan pervaginam, kecuali atas indikasi
obstetric persalinan dilakukan perabdominal. Jika persalinan perabdominal lebih baik
menggunakan anestesi epidural, karena jika menggunakan anestesi umum resiko terjadinya
bronchospasme lebih besar.
Mioma uteri atau fibroid selama kehamilan merupakan sebuah masalah potensial serius
dan sering menjadi perhatian dalam praktek klinis. Hal ini disebabkan karena fibroid
umumnya dijumpai pada perempuan usia reproduktif dan sejak lama dikaitkan dengan
buruknya komplikasi terhadap kehamilan. Mioma uteri pada kehamilan dapat menjadi
penyulit pada proses kehamilan itu sendiri tergantung dari letak mioma uteri serta ukuran dari
mioma uteri sendiri. Sampai saat ini miomektomi pada operasi seksio sesaria masih menjadi
tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus tertentu mioma uteri pada kehamilan
walaupun tindakan ini beresiko pada perdarahan yang hebat. Dibutuhkan tenaga ahli yang
terampil dan berpengalaman dalam melakukan tindakan tersebut.
Daftar Pustaka