Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

Kehamilan dengan Asma, PEB dan Riwayat Miomektomi

Pembimbing:
dr. Prahadi Rahardjo Sp.OG

Oleh:
Priyaveda Janitra (112018009)

KEPANITERAAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
PERIODE 25 November 2019 – 1 Februari 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
BAB 1
Pendahuluan

Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis tantangan global yang tidak ringan, maka
dari itu Indonesia berkomitmen mencapai Millenium Development Goals (MDGs) dengan
maksud manusia sebagai fokus utama program pembangunan. Dari semua target yang ingin
dicapai MDGs, khususnya tentang kinerja penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan
penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) secara global masih rendah, sehingga perlu target
dimasa mendatang pada tahun 2015 dimana AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup
dan AKB sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan dengan mengetahui sedini
mungkin faktor-faktor risiko untuk terjadinya komplikasi selama kehamilan dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi. Hal ini masih membutuhkan komitmen
dan usaha keras yang terus menerus untuk mewujudkan MDGs.1
Angka kejadian terjadinya preeklampsia diperkirakan 3,2% dari di setiap angka
kelahiran. Angka ini memberikan total sekitar lebih dari 4 miliar kasus per tahunnya di
seluruh dunia. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh WHO tahun 2011, dengan peserta
wanita yang hamil atau wanita hamil yang mengakhiri kehamilannya di periode antara tahun
1997-2002, terdapat sekitar 14,9% wanita meninggal dengan preeklampsia. Selain itu
preeklampsia merupakan pembunuh nomor satu penyebab kematian ibu di Amerika Latin
sebanyak 25,7%, disusul oleh Afrika dan Asia sebanyak 9,1%. Penelitian ini menjadi salah
satu bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang paling serius, selain
perdarahan di seluruh negara, terutama negara yang sedang berkembang.2,3,4
Di Indonesia sendiri tingginya angka kematian ibu menjadi agenda kesehatan yang
paling utama. Berdasarkan Maternal Mortality Ratio, perkiraan terjadi 300–400 kematian ibu
per 100,000 kelahiran, ini artinya wanita Indonesia meninggal setiap jamnya karena
kehamilan. Hal ini juga diperkuat menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun
2007 angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan
target yang ingin dicapai oleh pemerintah pada tahun 2015 dimana AKI sebesar 102 per
100.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih tergolong tinggi.3,5
Selain itu, asma merupakan salah satu dari beberapa penyakit yang sering menjadi
penyulit dalam kehamilan. Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa asma bronkiale
menjadi penyulit pada sekitar 4% kehamilan. Prevalensi yang sebenarnya bisa lebih tinggi
karena sekitar 10% populasi memiliki hiperreaktivitas saluran nafas nonspesifik yang
merupakan stigma asma. Lebih lanjut, dalam dekade 80-an, prevalensi, morbiditas, dan
mortalitas asma meningkat sampai 60%. Asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
komplikasi ibu dan janin yang serius. Asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko
kematian perinatal, prematuritas, dan atau bayi berat badan lahir rendah serta preeklamsi.
Asma dapat terjadi pertama kali atau tereksaserbasi selama kehamilan, dan kehamilan dapat
memberikan efek samping untuk perjalanan penyakit asma sendiri pada sekitar sepertiga
wanita hamil dengan penyulit asma.6
Di lain pihak, sebagian besar wanita hamil dengan asma dapat mengontrol asmanya
dengan baik dan memiliki bayi yang sehat. Kontrol asma yang baik memberi kesempatan
bagi seorang wanita dengan asma untuk mempertahankan kehamilan normal dengan sedikit
atau tanpa adanya risiko untuk wanita tersebut atau janinnya.6
BAB 3
Tinjauan Pustaka

1. Preeklampsia
A. Definisi
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema
akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan.7-9
Sebelumnya, edema termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis
preeklampsia, namun sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis,
kecuali edema anasarka yang bisa ditandai dengan kenaikan berat badan >500
gr/minggu.10
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Kenaikan
tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg dapat membantu ditegakkannya
diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak
waktu 4 jam pada keadaan istirahat.10
Proteinuria ditandai dengan ditemukannya protein dalam urin 24 jam yang
kadarnya melebihi 0.3 gram/liter atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2+
atau 1 gram/liter atau lebih dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream
yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria timbul
lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.8,9
Walaupun edema tidak lagi menjadi bagian kriteria diagnosis pre-eklampsia,
namun adanya penumpukan cairan secara umum dan berlebihan di jaringan tubuh
seperti pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan harus tetap diwaspadai.
Edema dapat menyebabkan kenaikan berat badan tubuh. Normalnya, wanita hamil
mengalami kenaikan berat badan sekitar 500 gr per minggu, 2000 gr per bulan, atau 13
kg selama kehamilan. Apabila kenaikan berat badannya lebih dari normal, perlu
dicurigai timbulnya pre-eklampsia.8,9
Preeklampsia pada perkembangannya dapat berkembang menjadi eklampsia,
yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Eklampsia dapat menyebabkan
terjadinya DIC (Disseminated intravascular coagulation) yang menyebabkan jejas
iskemi pada berbagai organ, sehingga eklampsia dapat berakibat fatal.8
Dikatakan sebagai preeklampsia-eklampsia apabila memiliki salah satu atau lebih
dari gejala dan tanda-tanda yang ada dibawah ini :11
1. Preeklampsia ringan, adalah suatu keadaan pada ibu hamil disertai kenaikan
tekanan darah sistolik 140/90 mm/Hg atau kenaikan diastolik 15 mm/Hg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mm/Hg atau setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat
tekanan darah normal dan adanya proteinuria kuantitatif >3 gr perliter atau kuantitatif
1+ atau 2+ pada urin kateter atau midstream.
2. Preeklamsia berat, adalah suatu keadaan pada ibu hamil bila disertai kenaikan
tekanan darah 160/110 mm/Hg atau lebih, adanya proteiunuria 5 gr atau lebih per liter
dalam 24 jam atau kuantitatif 3+ atau kuantitatif 4+, adanya oliguria (jumlah urin
kurang dari 500cc per jam, adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, rasa nyeri
di epigastrium, adanya tanda sianosis, edema paru, trombositopeni, gangguan fungsi
hati, serta yang terakhir adalah pertumbuhan janin terhambat.
3. Eklampsia merupakan preeklampsia yang disertai kejang dan disusul dengan
koma.

Terdapat empat jenis penyakit hipertensi, antara lain :7,10


1. Hipertensi kronik, dengan gejala yaitu tekanan darah >140/90 mm/Hg sebelum
hamil atau didiagnosa sebelum usia gestasi 20 minggu , atau bila terdapat hipertensi
didiagnosa setelah usia gestasi 20 minggu dan persisten 12 minggu setelah melahirkan.
2. Hipertensi gestasional dengan gejala yaitu tekanan darah >140/90 mm/Hg untuk
pertama kalinya ketika hamil, bila tidak terdapat proteinuria, dan tekanan darah kembali
normal kurang dari 12 minggu setelah melahirkan.
3. Preeklampsia-eklampsia dengan gejala yaitu tekanan darah >140/90 mm/Hg
setelah usia gestasi 20 minggu pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah
yang bormal dan adanya proteinuria (0,3 gr protein dalam specimen urin dalam 24
jam), sedangkan eklampsia didefinisikan sebagai kejang yang tidak dapat dihubungkan
dengan kasus lain pada wanita dengan preeklampsia.
4. Superimposed Preeclampsia (preeklampsia pada pengidap hipertensi kronis)
dengan gejala yaitu onset baru proteinuria dengan jumlah proteinuria > 300 mg/24 jam
pada ibu hamil dengan hipertensi, tetapi tidak ada proteinuria sebelum usia gestasi 20
minggu.

B. Epidemiologi
Angka kejadian preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2% dan 10% dari
kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda awal dari
kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi lebih tinggi di
negara berkembang. Angka kejadian preeklampsia di negara berkembang, seperti di
negara Amerika Utara dan Eropa adalah sama dan diperkirakan sekitar 5-7 kasus per
10.000 kelahiran. Disisi lain kejadian eklampsia di negara berkembang bervariasi
secara luas. Mulai dari satu kasus per 100 kehamilan untuk 1 kasus per 1700
kehamilan. Rentang angka kejadian preeklampsia-eklampsia di negara berkembang
seperti negara Afrika seperti Afrika selatan, Mesir, Tanzania, dan Ethiopia bervariasi
dari 1,8% sampai 7,1%. Di Nigeria angka kejadiannya berkisar antara 2% sampai
16,7% Dan juga preeklampsia ini juga dipengaruhi oleh ibu nullipara, karena ibu
nullipara memiliki resiko 4-5 kali lebih tinggi dari pada ibu multipara .12,13
Angka kejadian dari preeklampsia di Indonesia sekitar 7-10%, ini merupakan
bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian nomor dua di Indonesia bagi
ibu hamil, sedangkan no.1 penyebab kematian ibu di Indonesia adalah akibat
perdarahan.12,13
Penelitian berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan /
preeklampsia /eklampsia.7,10
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita
hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia berat.
c. Ras/golongan etnik
Mungkin ada perbedaan perlakuan/akses terhadap berbagai etnik di banyak
Negara
d. Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai + 25%

e. Faktor gen
Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan genotip ibu
dan janin.
f. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi.
Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
g. Iklim / musim
Di daerah tropis insidens lebih tinggi
h. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil : istirahat baring yang cukup selama hamil
mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.
i. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
j. Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus
k. Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan
preeklampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer akibat
diabetesnya.
l. Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan
preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada
usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai
dengan pada pre-eklampsia.
m. Riwayat pre-eklampsia.
n. Kehamilan pertama
o. Usia lebih dari 40 tahun dan remaja
p. Obesitas
q. Kehamilan multipel
r. Diabetes gestasional
s. Riwayat diabetes, penyakit ginjal, lupus, atau rheumatoid arthritis.
C. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang
berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah : 7,14
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan
pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen plasenta tidak
sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap
Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan “Blocking
Antibodies” akan lebih banyak akibat respon imunitas pada kehamilan
sebelumnya, seperti respons imunisasi.
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis,
sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi
air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak
dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan
pada ipar mereka.
5. Faktor Gizi
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam
lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis
Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang
memicu terjadinya preeklampsia.
6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan
normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan
diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III,
sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.
D. Gejala Klinis
Gejala preeklampsia adalah :7
1. Hipertensi
2. Edema
3. Proteinuria
4. Gejala subjektif : sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.
E. Patogenesis
Belum diketahui dengan pasti, secara umum pada Preeklampsia terjadi perubahan
dan gangguan vaskuler dan hemostatis. Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar
terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasenta, sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
sirkulasi darah plasenta yang berkurang.15
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi
penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi
penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan penyediaan
kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang mengekskresi
paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang mengakibatkan
peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel.
Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh
darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah.15
Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan
prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan sintesis
prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan kepekaan vaskuler
terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel yang
resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang, sehingga terjadi vasospasme.
Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan
hambatan aliran darah yang menyebabkan tejadinya hipertensi arterial yang
membahayakan pembuluh darah karena gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga
terjadi hipoksia dan kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya
Endothelin – 1 yang merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan
kebocoran antar sel endotel, sehingga unsur-unsur pembentukan darah seperti
thrombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan
gangguan ke berbagai sistem organ.15
Fungsi organ-organ lain :10
a. Otak
Pada hamil normal, perfusi serebral tidak berubah, namun pada pre-eklampsia
terjadi spasme pembuluh darah otak, penurunan perfusi dan suplai oksigen otak
sampai 20%. Spasme menyebabkan hipertensi serebral, faktor penting terjadinya
perdarahan otak dan kejang / eklampsia.
b. Hati
Terjadi peningkatan aktifitas enzim-enzim hati pada pre-eklampsia, yang
berhubungan dengan beratnya penyakit.
c. Ginjal
Pada pre-eklampsia, arus darah efektif ginjal berkurang + 20%, filtrasi
glomerulus berkurang + 30%. Pada kasus berat terjadi oligouria, uremia, sampai
nekrosis tubular akut dan nekrosis korteks renalis. Ureum-kreatinin meningkat
jauh di atas normal. Terjadi juga peningkatan pengeluaran protein (”sindroma
nefrotik pada kehamilan”).
d. Sirkulasi uterus , koriodesidua
Perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan plasenta adalah patofisiologi
yang terpenting pada pre-eklampsia, dan merupakan faktor yang menentukan
hasil akhir kehamilan.
- Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang
berkurang.
- Hipoperfusi uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta,
yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga
meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain
(angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih
tinggi.
- Karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai
oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya bervariasi dari gangguan
pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.
F. Diagnosis
Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut :9,10,15
1. TD ≥ 160 / 110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr / 24 jam atau kualitatif 3+ / 4+
3. Oliguria ≤ 500 ml / 24 jam disertai kenaikan kadar kreatinin darah
4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus
5. Gangguan visus dan cerebral
6. Nyeri epigastrium
7. Edema paru atau sianosis
8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR)
9. HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP = Low
Platelet Counts)

Impending eklampsia bila dijumpai tanda/ gejala berikut :9


1. Nyeri kepala hebat
2. Gangguan visual
3. Muntah-muntah
4. Nyeri epigastrium
5. TD naik secara progresif
G. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik harus diketahui :9
a. Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC
b. Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya retardasi
pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion
c. Edema pada pretibia, dinding perut, lumbosakral, wajah dan tangan yang
memberat
d. Peningkatan berat badan lebih dari 500 gr per minggu atau peningkatan berat
badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari.
H. Pemeriksaan Penunjang
Saat ini belum ada pemeriksaan penyaring yang terpercaya dan efektif untuk
preeklampsia. Dulu, kadar asam urat digunakan sebagai indikator preeklampsia, namun
ternyata tidak sensitif dan spesifik sebagai alat diagnostik. Namun, peningkatan kadar
asam urat serum pada wanita yang menderita hipertensi kronik menandakan
peningkatan resiko terjadinya preeklampsia superimpose.
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada wanita
dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari pemeriksaan kadar
enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, protein total, reduksi bilirubin,
sedimen pada urin 24 jam.
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga
pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan dan
pembekuan serta untuk mengetahui keadaan janin perlu dilakukan pemeriksaan USG.
Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk memantau
progresifitas penyakit.16
I. Prognosis
Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi janin,
ada tidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses bersalin
dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara 9.8%-25.5%,
kematian bayi 42.2% -48.9%.7
J. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :15
1. Solusio plasenta. Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
2. Hipofibrinogenemia
3. Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal hati
pada penderita pre-eklampsia.
4. Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
5. Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan pada
retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan adanya
apopleksia serebri.
6. Edema paru
7. Nekrosis hati. Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol umum.
Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
8. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
9. Prematuritas
10. Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma
sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga terjadi
anuria atau gagal ginjal.
11. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah mencapai
tahap eklampsia.
K. Penatalaksanaan
1. Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di puskesmas, maka secara prinsip,
kasus-kasus preeklampsia berat dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan
kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan-persiapan yang dilakukan
dalam merujuk penderita adalah sebagai berikut :17
1. Menyiapkan surat rujukan yang berisikan riwayat penderita.
2. Menyiapkan partus set dan tongue spatel (sudip lidah).
3. Menyiapkan obat-obatan antara lain: valium injeksi, antihipertensi, oksigen,
cairan infus dextrose/ringer laktat.
4. Pada penderita terpasang infus dengan blood set.
5. Pada penderita eklampsia, sebelum berangkat diinjeksi valium 20 mg/iv, dalam
perjalanan diinfus drip valium 10 mg/500 cc dextrose dalam maintenance drops.
Selain itu diberikan oksigen, terutama saat kejang, dan terpasang tongue spatel.

2. Penanganan di Rumah Sakit


Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre eklampsia
berat selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi:8,9
1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah
pengobatan medisinal.
Perawatan aktif yang dilakukan, yaitu :8,9
a. Indikasi
Keadaan Ibu:
 Kehamilan aterm ( > 37 minggu)
 Adanya gejala-gejala impending eklampsia
 Perawatan konservatif gagal ( 6 jam setelah pengobatan medisinal terjadi
kenaikan TD, 24 jam setelah pengobatan medisinal gejala tidak berubah)
 Adanya Sindrom Hellp
Keadaan Janin
 Adanya tanda-tanda gawat janin
 Adanya pertmbuhan janin terhambat dalam rahim
b. Pengobatan Medisinal
- Segera MRS.
- Tirah baring miring ke satu sisi.
- Infus D5 : RL 2:1 (60-125 ml/jam)
- Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
- Antasida.
- Obat-obatan :
Anti kejang:
1. Sulfas Magnesikus (MgSO4)
Syarat-syarat pemberian MgSO4
a) Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%
dalam 10 cc) diberikan I.V pelan dalam 3 menit.
b) Refleks patella positif kuat
c) Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tanda distress pernafasan (-)
d) Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).
Cara Pemberian:
a) Jika ada tanda impending eklampsi dosis awal diberikan IV + IM, jika tidak
ada, dosis awal cukup IM saja. Dosis awal sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 %
dalam 20 cc) selama 4 menit (1 gr/menit) atau kemasan 20% dalam 25 cc
larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit). Diikuti segera 4 gram di bokong kiri dan
4 gram di bokong kanan (40 % dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang
3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang
tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
b) Dosis ulangan diberikan setelah 6 jam pemberian dosis awal, dosis ulangan
4 gram MgSO4 40% diberikan secara intramuskuler setiap 6 jam, bergiliran
pada bokong kanan/kiri dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
Penghentian MgSO4 :
1. Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks
fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan
selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot
pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah
4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter.
Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan lebih 15
mEq/liter terjadi kematian jantung.
2. Setelah 24 jam pasca persalinan
3. 6 jam pasca persalinan normotensif, selanjutnya dengan luminal 3x30-60
mg
Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
a) Hentikan pemberian magnesium sulfat
b) Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV
dalam waktu 3 menit.
c) Berikan oksigen.
d) Lakukan pernapasan buatan.
c. Diazepam
Digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak
dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam.
Jika dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada perbaikan, rawat di ruang ICU.
d. Diuretika
Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah
jantung kongestif atau edema anasarka, serta kelainan fungsi ginjal.
Diberikan furosemid injeksi (Lasix 40mg/im).
e. Anti hipertensi
Indikasi pemberian antihipertensi bila TD sistolik >160 mmHg diastolik >
110 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis < 105 mmHg
(bukan kurang 90 mmHg) karena akan menurunkan perfusi plasenta. Dosis
antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
- Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat
antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres (clonidine) injeksi 1
ampul = 0,15 mg/ml 1 amp + 10 ml NaCl flash/ aquades masukkan 5 ml IV
pelan  5 mnt, 5 mnt kemudian TD diukur, tak turun berikan sisanya (5ml
pelan IV 5 mnt). Pemberian dapat diulang tiap 4 jam sampai TD
normotensif.
- Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet
antihipertensi secara sublingual atau oral. Obat pilihan adalah nifedipin
yang diberikan 4 x 10 mg sampai diastolik 90-100 mmHg
f. Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan
digitalisasi cepat dengan cedilanid.
g. Lain-lain :
- Konsul bagian penyakit dalam / jantung, dan mata
- Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,5 oC dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.
- Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6 jam/IV/hari.
- Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.
Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2
jam sebelum janin lahir.
- Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1x80 mg/hari. Syarat: Trombositopenia
(<60.000/cmm)
h. Pengobatan obstetrik
Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu :
i. Induksi persalinan :
- amniotomi
- tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5 atau lebih dan dengan fetal
heart monitoring.
ii. Seksio sesaria bila :
- Fetal assesment jelek
- Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang dari 5) atau
adanya kontraindikasi tetesan oksitosin.
- 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
- Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio
sesaria.
Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu :
Kala I
i. Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio sesaria.
ii. Fase aktif :
- Amniotomi saja
- Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap maka
dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus buatan
vakum ekstraksi/forcep ekstraksi. Amniotomi dan tetesan oksitosin
dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan
medisinal. Pada kehamilan <37 minggu; bila keadaan memungkinkan,
terminasi ditunda 2 kali 24 jam untuk maturasi paru janin dengan
memberikan kortikosteroid.
2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan
medisinal.8,9
a. Indikasi perawatan konservatif
- bila kehamilan preterm kurang dari 37 minggu
- tanpa disertai tanda-tanda inpending eklampsia
- keadaan janin baik.
b. Pengobatan medisinal :
- Awal diberikan 8 g SM 40% IM bokong kanan- bokong kiri dilanjutkan
dengan 4 g IM setiap 6 jam
- Bila ada perbaikan atau tetap diteruskan 24 jam
- Apabila setelah 24 jam ada tanda-tanda perbaikan maka pengobatan
diteruskan sbb : beri tablet luminal 3 x 30 mg/p.o
- Anti hipertensi oral bila TD masih > 160/110 mmHg.
c. Pengobatan obstetri :
- Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
- MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre eklampsia
ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
- Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan
konservatif gagal dan harus diterminasi.
- Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu
MgSO4 20% 2 gram intravenous.
d. Penderita dipulangkan bila :
- Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan dan
telah dirawat selama 3 hari.
- Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan :
penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).

2. Asma pada Kehamilan


A. Epidemiologi
Pada penelitian yang terbaru dari 366 kehamilan yang diikuti terhadap 330 wanita
penderita asma dimana 35% asamnya bertambah buruk, 28% sembuh dan 33% tidak
berubah, sedangkan 4% nya tidak jelas perubahannya. Analisis dari penelitian-
penelitian ini memberikan kesimpulan18 :
1. Secara umum asma berkurang frekuensi dan keparahannya menjelang 4 minggu
terakhir kehamilan dibandingkan periode lain dari kehamilan.
2. Ketika asma meningkat selama kehamilan, dimana peningkatan terjadi secara
gradual sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan.
3. Ketika asma bertambah buruk, gejala bertambah pada umur kehamilan 29-36
minggu.
4. Kejadian asma selama kehamilan yang berturut-turut cenderung sama
5. Persalinan tidak berhubungan dengan perburukan asma.
B. Diagnosis
Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga penegakan
diagnosisnya mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis kehamilan. Diagnosis
asma berdasarkan pada riwayat kesehatan yang cocok, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium. Diagnosis asma terpusat pada adanya obstruksi jalan nafas episodik dan
reversibilitas obstruksi tersebut. Reversibilitas dinyatakan dari peningkatan 15% FEV1
atau lebih setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-adrenergik. Jika pemerikasaan
spirometri memperlihatkan hasil yang normal, diagnosis dapat dibuat berdasarkan
peningkatan respon saluran napas terhadap tantangan dengan histamine, methacholine
atau isocapnic hiperventilasi udara dingin19,20.
Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,
wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak khas
seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang timbul karena
aktivitas19,20.
Selama eksaserbasi akut, pada pemeriksaan fisik didapatkan hiperinflasi,
ekspirasi memanjang, wheezing, dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan.
Pemeriksaan fisik dapat kembali normal pada interval eksaserbasi19,20
Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel
pada spirometri. Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak
menyingkirkan diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat
menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin menunjukkan
peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring timbulnya gejala-gejala.
Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya hiperreaktivitas jalan nafas
namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Tes ini tidak
menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita hamil jika dilakukan dengan
pemantauan yang baik19,20.
Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat
diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk
mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacm-macam
allergen. 19,20
Secara laboratoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah dan sputum dan
juga dapat diukur serum IgE, walaupun penemuan tersebut tidak hanya terjadi pada
asma. 19,20
C. Fisiologi Maternal dan Pengaruhnya Terhadap Oksigenisasi Janin
Perubahan-perubahan pada sistem pernafasan, kardiovaskular, dan sirkulasi ibu
selama kehamilan mempengaruhi oksigenisasi janin dan status asam basa. Bagian ini
akan membahas perubahan-perubahan fisiologis dan implikasi klinisnya 20.
1. Perubahan Sistem Pernafasan
Hiperventilasi relatif selama kehamilan mulai terlihat pada trimester
pertama. Perubahan ini dikarenakan adanya peningkatan volume tidal sedangkan
frekuensi pernafasan relatif tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Maka
dari itu, takipneu pada kehamilan (frekuensi > 20x/menit) merupakan
abnormalitas yang harus dicari penyebabnya. Peningkatan volume tidal
prinsipnya disebabkan oleh peningkatan produksi progesteron plasenta yang juga
menyebabkan sensasi nafas pendek (“dispneu kehamilan”) yang biasa terjadi
pada kehamilan. Hiperventilasi kehamilan berhubungan dengan perubahan
penting pada gas darah arteri dengan tekanan karbon dioksida arteri istirahat
(PCO2) di bawah 35 mmHg. Alkalosis respiratoar kronis ini sebagian
dikompensasi oleh peningkatan ekskresi bikarbonat ginjal. Konsumsi oksigen
total dan rasio metabolik basal juga meningkat sampai 20% dan 15% sesuai
dengan peningkatan tekanan oksigen ibu yang juga biasa terjadi pada kehamilan
normal. Nilai normal PO2 bervariasi dari 106 sampai 108 mmHg selama trimester
pertama dan sedikit menurun pada trimester ketiga. Oksigenisasi banyak
dipengaruhi oleh posisi tubuh. 25% wanita hamil memiliki tekanan oksigen arteri
kurang dari 90 mmHg pada posisi berbaring dan ada kecenderungan mengalami
peningkatan gradien oksigen arterial-alveolar pada posisi berbaring daripada
posisi berdiri 20.
Parameter-parameter yang dilihat pada tes fungsi paru adalah sebagai
berikut: penurunan volume residu, kapasitas residu fungsional, volume cadangan
ekspiratoar, dan kapasitas total paru, adanya peningkatan kapasitas inspiratoar,
dan tidak ada perubahan pada kapasitas vital atau forced expiratory volume in 1
second (FEV1). Semua perubahan yang telah dibicarakan berpotensi
mempengaruhi interpretasi klinis tes fungsi paru dan pengukuran gas darah pada
wanita hamil dengan asma dan harus diingat saat interpretasi klinis data-data
tersebut. Namun secara umum, parameter fungsi paru pada penggunaan klinis
umum seperti frekuensi pernafasan atau FEV1 tidak berubah dengan adanya
kehamilan sehingga setiap perubahan pada parameter ini harus dianggap dan
diperlakukan sebagai abnormalitas 20.
Informasi terakhir meyebutkan bahwa selama persalinan yang menyakitkan
didapatkan hipoventilasi relatif di antara kontraksi dan berakibat pada penurunan
PO2 ibu. Dengan fungsi paru normal, janin terhindar dari efek fenomena ini.
Namun informasi ini berguna sebagai dasar pemakaian oksigen secara bebas pada
pasien-pasien yang sedang bersalin dengan berbagai tingkatan gangguan
pernafasan. Saturasi oksigen ibu harus tetap lebih tinggi dari 95% untuk
menjamin oksigenisasi janin yang cukup 20.
2. Perubahan Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan normal, curah jantung istirahat meningkat tajam sejak
usia kehamilan 6 minggu dan mencapai puncaknya pada awal trimester ketiga
sampai 30-50% di atas nilai curah jantung wanita yang tidak hamil. Peningkatan
ini sebagai akibat dari meningkatnya denyut jantung dan volume sekuncup yang
dipertahankan selama kehamilan. Pada trimester ketiga, curah jantung menurun
tajam baik pada posisi berbaring atau berdiri. Lebih dari 10% wanita mungkin
mengalami “sindroma hipotensif berbaring”/supine hypotensive syndrome yaitu
penurunan tajam tekanan darah akibat dari sumbatan vena cava pada posisi
berbaring. Hipotensi berbaring dapat mempengaruhi hemodinamik ibu dan
menyebabkan hipoksia janin dan bradikardi karena penurunan perfusi uterus.
Maka dari itu, wanita hamil seharusnya menghindari posisi berbaring dan lebih
memilih posisi berbaring miring 19,20.
Peningkatan tajam curah jantung lebih lanjut terlihat pada periode
peripartum. Persalinan mengakibatkan peningkatan 1 sampai 2 liter per menit
sejak kala II. Peningkatan ini dapat diminimalkan dengan posisi miring kiri dan
kanan disertai anestesi epidural. Pada periode postpartum dini, curah jantung juga
meningkat sampai 40-50% sebagai akibat fenomena “autotransfusi” yaitu
pelepasan obstruksi vena cava dan kembalinya darah dari uteroplasental ke dalam
sirkulasi sentral. Maka dari itu, waktu risiko maksimum untuk pasien dengan
gangguan fungsi kardiovaskular adalah selama periode peripartum. Tindakan
seksio sesaria tidak mengurangi risiko ini. 20
3. Perubahan Sistem Sirkulasi
Volume darah meningkat tajam selama kehamilan dengan peningkatan
volume plasma 40-50% diatas nilai wanita yang tidak hamil. Peningkatan ini
diakibatkan oleh rangsangan estrogen terhadap aldosteron yang dimulai pada usia
kehamilan 4-6 minggu, stabil pada usia kehamilan sekitar 32-34 minggu dan tidak
mengalami perubahan sampai persalinan. Perubahan yang didapatkan adalah
peningkatan massa sel darah merah, eritropoiesis dirangsang oleh chorionic
somatomammotrophin, progesteron, dan kemungkinan prolaktin. “Anemia
fisiologis” kehamilan bisa terjadi karena peningkatan massa sel darah merah 20-
25% yang berlawanan dengan peningkatan volume plasma yang lebih besar.
Volume darah diperkirakan meningkat 1600 cc pada kehamilan tunggal dan 2000
cc pada kehamilan kembar19,20.
Tekanan darah arteri sistolik dan diastolik menurun sampai tengah
kehamilan dan kembali normal secara bertahap dengan bertambahnya usia
kehamilan. Perubahan ini tampaknya dihasilkan dari efek sekunder penurunan
resistensi pembuluh darah sistemik yang diperantarai secara hormonal. Maka dari
itu, tekanan darah yang disebut hipotensif pada seorang laki-laki dewasa dapat
disebut normal pada seorang wanita hamil khususnya selama kehamilan trimester
kedua. Sangatlah penting membandingkan catatan tekanan darah prenatal dalam
mengevaluasi tekanan darah pasien hamil dengan asma yang menderita sakit yang
serius 19,20.
Resistensi pembuluh darah sistemik menurun pada trimester kedua dan
kembali normal pada akhir trimester ketiga. Namun, dari suatu penelitian
didapatkan bahwa resistensi pembuluh darah sistemik menurun sampai 20%
dibandingkan kontrol wanita yang tidak hamil, bahkan pada akhir trimester
ketiga. Resistensi pembuluh darah paru juga menurun sampai 35% pada akhir
kehamilan dibandingkan dengan nilai kontrol. Indeks kerja sekuncup ventrikel
kiri, tekanan kapiler paru, dan tekanan vena sentral tidak mengalami perubahan.
Namun, gradien tekanan kapiler paru dan tekanan onkotik koloid menurun pada
kehamilan trimester ketiga. Hal ini menjadi predisposisi wanita hamil mengalami
edema paru baik karena peningkatan tekanan intravaskular atau peningkatan
permeabilitas kapiler paru 19,20.
D. Respon Janin Terhadap Penyakit Kritis Ibu
Dengan adanya penyakit kritis ibu seperti asma eksaserbasi akut, PO2 arteri
ibu dapat turun sampai 106 mmHg. Penurunan PaO2 ibu dan janin terutama
dibawah 60 mmHg dapat mengakibatkan penurunan saturasi oksigen janin dan
hipoksia janin. Pemberian oksigen kepada ibu hanya menghasilkan sedikit
peningkatan PaO2 janin. Sebagai contoh, jika PaO2 ibu meningkat dari 91
menjadi 583 mmHg, PaO2 janin hanya naik dari 11 menjadi 16 mmHg. Namun,
sedikit perubahan PaO2 janin akan menghasilkan peningkatan tajam saturasi
oksigen janin dan dapat memberikan manfaat untuk janin hipoksik. Hal ini
tampak jika ada masalah pada fungsi janin-plasenta seperti pada pertumbuhan
janin terhambat. Karena itu, pemantauan kesejahteraan janin yang agresif sangat
penting selama penyakit kritis ibu 20.
Kelayakan aliran darah uterus merupakan pertimbangan penting lain pada
janin dari ibu yang sedang sakit serius. Saat usia kehamilan mendekati aterm,
aliran darah uterus mencapai 500 cc per menit yaitu sekitar 10% dari curah
jantung total ibu. Sirkulasi ke kotiledon plasenta sekitar 85-90% dari aliran darah
uterus tersebut. Arteri-arteri uterus hanya memiliki kapasitas kecil autoregulasi.
Karena itu, jika tekanan arteri sistemik turun, aliran darah uterus dan plasenta
juga turun. Sebagai tambahan, hiperventilasi dan hipokarbia ibu dapat
menyebabkan vasospasme sehingga menurunkan aliran darah uterus. Pada ibu
hipotensif atau hipoksik, vasodilatasi kompensatoar yang bertujuan untuk
mempertahankan sirkulasi ke organ-organ vital seperti jantung dan otak akan
lebih menurunkan aliran darah uterus. Maka tidak mengherankan jika hipotensi
atau hipoksia ibu dengan penyebab apapun menjadi perhatian utama dokter
karena denyut jantung janin abnormal yang mengindikasikan gawat janin. Gawat
janin dapat timbul bahkan saat tidak ada hipotensi atau hipoksia ibu karena
mekanisme kompensasi ibu cenderung untuk mempertahankan tekanan arteri
sistemik dan oksigenisasi organ-organ vital ibu yang mengurangi aliran darah
uterus. Karena itu janin berfungsi sebagai oksimeter dalam tubuh ibu, jika tidak
ada kelainan denyut jantung janin, hampir tidak mungkin didapatkan hipoksia dan
hipotensi ibu 20.
Pemantauan kesejahteraan janin yang agresif penting dilakukan selama
penyakit kritis ibu. Meskipun dekompensasi kardiopulmonar ibu yang
bermanifestasi sebagai bradikardi janin seharusnya sudah tampak nyata, variasi
manifestasi kondisi ibu dapat berupa hanya variabilitas beat-to-beat denyut
jantung janin menghilang dan atau deselerasi hipoksik yang samar. Maka dari itu,
pemantauan elektronik denyut jantung janin yang kontinyu bersama interpretasi
yang baik penting dilakukan pada trimester ketiga 20.
Pertumbuhan janin terhambat dan keluaran perinatal yang jelek telah
dikaitkan dengan asma selama kehamilan. Karena alasan inilah, semua pasien
dengan asma sedang atau berat atau asma tidak terkontrol selama kehamilan
seharusnya mendapatkan penilaian pertumbuhan janin serial dengan ultrasound,
juga penilaian denyut jantung janin antepartum selama akhir kehamilan trimester
ketiga 20.
E. Efek Asma Terhadap Kehamilan
Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada
kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi mengatakan
bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti dengan peningkatan
insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan preeklamsi, gangguan
tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada urine ibu dan sangat potensial
untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan mata. Lehrer, dkk (1993)
melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua koma lima kali lipat dari
kehamilan menimbulkan hipertensi. 21
Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax,
pnemomediatinum, akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan
respiratory arrest 21
F. Efek Kehamilan Terhadap Asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat
diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70%
wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma22.
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan
mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan
mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma
akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya22.
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan
memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE
yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan22.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada
saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor
hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor
yang memberikan pengaruh22.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan
asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam22.
G. Obat-obat Asma dalam Kehamilan dan Laktasi
Idealnya semua obat-obatan dihindari selama kehamilan, tetapi yang lebih
penting adalah meyakinkan bahwa janin dalam kandungan mendapat suplai oksigen
yang cukup dan menurunkan resiko yang akan terjadi pada ibu. Dengan kata lain kita
harus mempertimbangkan manfaat dan resiko dari suatu obat 18.
Sumber lain menyebutkan bahwa obat-obatan anti asma dapat digunakan dengan
aman selama kehamilan, walaupun demikian penggunaannya selama trimester pertama
kehamilan harus dengan hati-hati18.
Obat yang tersedia untuk terapi asma dapat dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu obat-obat bronkodilator dan obat-obat anti inflamasi18.
1. Golongan broncodilator:
 B-agonis
Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya epinefrin
(adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat
dipertimbangkan pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat
meskipun terapi awal lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada
beberapa inhaler asma. Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat
dari efek adrenergik α dari epinefrin.
β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang masuk
ke peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif untuk
mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15 menit
sebelum aktifitas.
Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol, Biltlterol)
Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)
 Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara
mengurangi tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan
juga menutup refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi.
Alkaloid beladona seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun
mempunyai efek samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma.
Ipratropium yang merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki
sedikit efek samping atropin. Bahan ini telah terbukti efektif untuk
mengobati eksaserbasi akut pada penggunaan dalam bentuk nebulisasi.
Efektivitas ipratropium untuk penatalaksanaan asma sehari-hari belum
teruji
Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis inhalasi
(Atrovent).
Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral adalah
Aminophylline.
Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan selama kehamilan
tanpa efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang lebih sedikit
daripada atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan meskipun
umumnya tidak digunakan kecuali pada pasien dengan asma berat
 Agonis β2 adrenergik (Agonis β2)
Agonis β2 merelaksasi otot polos saluran pernafasan dan menjadi perantara
pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Agonis β2 inhalasi merupakan
obat pilihan untuk pengobatan awal asma eksaserbasi akut dan pencegahan
asma yang diinduksi aktivitas. Agonis β2 juga digunakan secara kronis
untuk membantu kontrol pengecilan saluran pernafasan persisten meskipun
laporan terakhir menunjukkan penggunaan agonis β2 yang terjadwal dengan
teratur (berlawanan dengan penggunaan ‘jika diperlukan/prn’) berhubungan
dengan menurunnya kontrol asma. Karena asma yang terkontrol baik
membutuhkan penggunaan minimal agonis β2 inhalasi, penggunaan yang
meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma. Metaproterenol
(orsiprenalin), albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol, dan terbutalin
adalah agonis β2 selektif yang sering digunakan.
Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun
beberapa bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman
penggunaan pada manusia sudah cukup banyak namun umumnya tidak
dilakukan pada akhir kehamilan. Tidak ada bukti adanya jejas pada janin
dari penggunaan obat-obat ini secara sistemik atau inhalasi, dan tidak ada
kontraindikasi penggunaannya selama menyusui.
 Teofilin
Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma.
Meskipun mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai
bronkodilator ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika
diberikan dalam bentuk preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang
panjang dan karena itu berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika
digunakan bersama dosis umum agonis β2 inhalasi, teofilin dapat
menyebabkan bronkodilatasi. Lebih lanjut,teofilin juga dapat mengurangi
kelelahan otot pernafasan dan memiliki beberapa tingkat aktivitas anti
inflamasi
Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa adanya
bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar serum
yang cukup (tidak melebihi 12 g/mL) 6,7.
2. Anti inflamasi: 18
 Cromolyn sodium
Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan untuk
penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk
inhaler dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis
menghambat fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang
diinduksi alergen seperti juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas
dan setelah terpapar udara dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya
belum seluruhnya dimengerti namun diperkirakan sodium kromolin
menstabilkan dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast. Penelitian
pada binatang dan pengalaman manusia hanya menunjukkan sedikit
ancaman terhadap janin.
 Corticosteroid
Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah
kortikosteroid. Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone,
betamethasone, prednisone).
Mekanisme utama adalah interferensi dengan metabolisme asam arakidonat
dan sintesis leukotrien dan prostaglandin, pencegahan migrasi langsung dan
aktivasi sel-sel radang, dan peningkatan responsivitas reseptor beta otot
polos saluran pernafasan. Kortikosteroid dapat diberikan secara parenteral
(metilprednisolon, hidrokortison), secara oral (prednison, prednisolon,
metilprednisolon), atau dalam bentuk aerosol (beklometason, flunisolid, dan
triamsinolon)
Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan
dengan penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan
adanya celah palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan
ini tetapi tidak ada peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis
bahan yang tersedia untuk inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan
flunisolid. Yang banyak dipakai dalam kehamilan adalah beklometason
sehingga menjadi kortikosteroid inhalasi pilihan selama kehamilan karena
pengalaman klinisnya yang meyakinkan. Meskipun dapat timbul absorbsi
sistemik dari kortikosteroid inhalasi, kadar plasma yang rendah dari inhalasi
ini menyebabkan kecil kemungkinan efek terhadap janin. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi atau sistemik merupakan kontraindikasi saat
menyusui
3. Antihistamin18.
Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin selama
aktivasi sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain. Antihistamin
banyak didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang dijual bebas. H1
bloker yang lebih baru seperti terfenadin dan astemizol memiliki efek sedatif
yang lebih kecil daripada obat-obat generasi pertama yang lebih tua18.
Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal
kehamilan. Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat
sedikit potensi teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih
antihistamin yang lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap manusia
yang meyakinkan untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun ada perhatian
tentang efek antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data meyakinkan tentang
efek samping karena penggunaan obat ini selama akhir kehamilan atau menyusui.
Menurut American Academy of Pediatrics Committee on Drugs, antihistamin
disebut-sebut kompatibel dengan masa menyusui18.
4. Dekongestan18.
Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk konstriksi
pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk dalam golongan
ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin, efedrin, dan
pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α, ada perdebatan
tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah yang terkait dalam
pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi, pseudoefedrin tampaknya
tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik. Pengalaman pada manusia
tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat bawaan meskipun the National
Collaborative Perinatal Project mempertanyakan tentang fenilefrin dan
fenilpropanolamin.
H. Penatalaksanaan Asma Selama Kehamilan
Tujuan penatalaksanaan asma pada wanita hamil yang juga berlaku untuk semua
pasien asma adalah: 18
 Mempertahankan fungsi paru normal atau mendekati normal
 Mengontrol gejala, termasuk gejala-gejala malam
 Mempertahankan tingkat aktivitas normal, termasuk olahraga
 Mencegah asma eksaserbasi akut
 Menghindari efek samping pengobatan asma

Selain itu ada tujuan lebih lanjut penatalaksanaan asma pada wanita hamil yaitu
melahirkan bayi yang sehat. Walaupun terapi farmakologi merupakan komponen
yang vital dari managemen yang baik, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah
memberikan penerangan pada pasien tentang penyakitnya dan bagaimana cara
menghindari serangan asma, sehingga pasien akan taat terhadap terapi yang
dianjurkan dan tujuan untuk mengarah ke kehidupan yang relative normal dan
kehamilan yang normal dapat diharapkan. Tujuan lainnya adalah agar pasien
dapat mengidentifikasi serangan, mengenali dan mengobati exacerbasi pada
tingkat awal. Juga agar pasien mengetahui bahwa terapi asma hanya mempunyai
resiko rendah atau dapat dikatakan sama sekali tidak beresiko18.
Secara umum langkah yang harus diperhatikan pada managemen asma yaitu18:
1. Sedapat mungkin menghindari serangan.
2. Terapi awal merupakan hal yang sangat penting. Gunkananlah obat saat
tanda-tanda awal dari asma mulai muncul.
3. Penting pada wanita hamil untuk tidak menunda pengobatan lebih lanjut
jika ditemukan hal-hal dibawah ini:
o Obat-obatan tidak menghasilkan perbaikan yang cepat
o Perbaikan tidak terjadi terus-menerus
o Penyakit semakin lama semakin berat
o Terdapat kemunduran dari pergerakan fetus
4. Yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengobatan yang teratur.
Penatalaksanaan efektif asma untuk wanita hamil berpedoman pada empat
komponen yaitu18:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan
kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang
tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di
lingkungan pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien
I. Terapi Farmakologis
Prinsip Utama Penatalaksanaan Farmakologis yaitu penyesuaian pedoman
terapi umum sesuai kebutuhan individu pasien. Mengingat asma merupakan
penyakit yang bervariasi diantara penderitanya. Tingkat beratnya asma pada
setiap wanita dapat berubah dari satu bulan atau musim ke bulan lainnya atau
selama kehamilan. Karena itu, regimen farmakologik spesifik harus disesuaikan
sesuai keperluan individu dan keadaan serta diintegrasikan dengan rekomendasi
strategi penatalaksanaan nonfarmakologi18.
Salah satu tujuan terapi adalah penggunaan obat minimum yang diperlukan
untuk mempertahankan kontrol dengan risiko efek samping terkecil. Pendekatan
bertahap dimana jumlah obat dan frekuensi pemberian ditingkatkan sesuai
keperluan untuk menetapkan kontrol (step up) dan diturunkan jika mungkin untuk
mempertahankan kontrol (step down) digunakan untuk mencapai tujuan ini18.
Secara umum, setiap pasien asma harus memiliki agonis β2 inhalan yang
tersedia untuk penanganan penyelamatan gejala akut. Perawatan penyelamatan ini
juga memiliki pola bertahap. Obat-obatan ditambahkan jika perlu untuk
mengontrol gejala. Peningkatan sering hanya bersifat sementara dan tergantung
pada berat dan durasi eksaserbasi asma juga respon pasien sendiri18.
Asma merupakan penyakit yang heterogen berdasarkan pada beratnya,
riwayat alamiah dan respon terhadap terapi. Selain itu beratnya gejala pada
seorang pasien tidak selalu sama setiap waktu, sehingga pendekatan managemen
tunggal tidak selalu dapat diterapkan. Dengan kata lain dibutuhkan terapi yang
tepat untuk tingkat beratnya penyakit yang terjadi pada saat itu18.
1. Asma Intermiten
Menurut pengalaman, banyak asma yang terjadi hanya ringan saja,
gejala yang kadang kala muncul dapat hilang dengan bronchodilator
perinhalasi, tanpa menimbulkan efek samping yang besar. Jika asma terjadi
karena keadaan yang dapat diperkirakan seperti latihan berat pada olah
raga, terapi pencegahan dengan B-agonis inhaler dianjurkan untuk pasien
dengan fungsi paru yang normal atau mendekati normal (FEV1 lebih besar
dari 80%) dan sedikit variasi peak flow (kurang dari 20%)
2. Asma Ringan
Penambahan dari preparat control dianjurkan pada gejala ringan yang
terjadi dengan selang waktu yang tidak lama. Walaupun tidak ada
konsensus yang menetapkan berapa frekuensi yang disebutkan sebagai
selang waktu yang tidak lama tersebut. Tetapi sebagai patokan penambahan
preparat kontrol diberikan jika gejala terjadi 1 kali perminggu atau jika
gejala pada malam hari terjadi lebih dari 2 kali perbulan. Sebagai pilihan
terapi kontrol digunakan kortikosteroid. Tujuan dari penggunaan
kortikosteroid awal tidak hanya meringankan gejala yang terjadi saat ini
tetapi juga mencegah komplikasi jangka panjang dari asma. Walaupun
belum terbukti tetapi pemikiran tersebut timbul karena inflamasi saluran
napas yang tidak diterapi dapat menimbulkan perubahan saluran napas dan
obstruksi saluran napas kronik persisten
Kromolin sebagai anti inflamasi non steroid dapat digunakan jika
asma ringan dengan peningkatan gejala dengan frekuensi kurang dari 1 kali
perhari. Pada gejala yang lebih berat dan seing tetap digukana
kortikosteroid inhalasi karena hasilnya lebih baik
3. Asma Sedang
Asma sedang ditandai dengan gejala yang hilang dengan menghirup
B-agonis beberapa kali perhari. Asma sedang ini paling baik diobati dengan
kortikosteroid inhalasi untuk mengontrol inflamasi dan B-agonis diberikan
jika perlu untuk menghilangkan gejala
Pemilihan dosis initial lebih mengarah ke empiris. Terapi dimulai
dengan dosis yang besar 600-1000 mikrogram per hari lalu diturunkan
setelah didapatkan keadaanyang terkontrol. Kebanyakan pasien mencapai
control asma yang adekuat pada dosis dibawah 1000 mikrogram perhari.
Pada sebagian kecil pasien kortikosteroid inhalasi kurang dari 1000
mikrogram perhari tidak cukup untuk mengontrol gejala. Pada beberapa
kasus terapi ditingkatkan dengan menaikan dosis kortikosteroid inhalasi
atau dengan penambahan obat lain, seperti B-agonis dan theophyllin. Dan
menurut penelitian penambahaan B-agonis lebih bermanfaat daripada
meningkatkan dosis kortikosteroid
4. Asma Berat
Asma yang ditandai dengan gejala yang menetap walaupun diterapi
dengan kortikosteroid inhalasi dan penambahan terapi dengan B-agonis
atau theophyllin. Asma berat biasanya timbul karena ketidaktaatan terhadap
terapi atau karena terpapar faktor lingkungan yang memicu atau dapat pula
karena mendapat obat yang memicu asma seperti aspirin dan B-bloker
Pada asma yang berat pilihan terbatas, termasuk penambahan dosis
kortikosteroid inhalasi, penambahan theopillin dan B-agonis. Pasien yang
tidak terkontrol walaupun diterapi dengan kortikosteroid inhalasi sampai
dengan 2000 mikrogram perhari dan satu atau lebih long acting
bronchodilator, dipertimbangkan untuk mendapat steroid oral.
5. Terapi Exacerbasi Akut
Dalam menghadapi ibu hamil dengan serangan asma akut, harus
secara cepat dinilai beratnya serangan, jika berat perlu dipertimbangkan
perawat diruang unit perawatan intensif dengan tetap memonitor keadaan
janin dalam kandungan.
Penanganan serangan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut: 18
1. Pemberian oksigen yang telah dilembabkan, 2-4/menit, pertahankan
pO2 70-80 mmHg. Janin sangat rentan terhadap keadaan hipoksia.
2. Hindari obat-obat penekan batuk, sedatif dan antihistamin. Tenangkan
penderita Berikan cairan intravena, biasanya penderita mengalami
kekurangan cairan, cairan yang digunakan biasanya ringer laktat atau
normal saline.
3. Berikan aminofilin dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan
dilanjutkan dengan dosis 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar
terapeutik dalam plasma sebesar 10-20 mikrogram/ml.
4. Jika diperlukan pertimbangan penggunaan terbulatin subkutan dengan
dosis 0,25 mg
5. Berikan steroid : hidrokortison secara intravena 2 mm/kgBB loading
dose, tiap 4 jam atau setelah loading dose dilanjutkan dengan infus
0,5 mg/kgBB/jam
6. Pertimbangan penggunaan antibiotika jika ada kecurigaan infeksi
yang menyertai
7. Intubasi dan ventilasi bantuan, jarang dibutuhkan kecuali pada kasus-
kasus yang mengancam kehidupan.
8. Serangan asma berat yang tidak memberikan respons setelah 30-60
menit dengan terapi infeksi (obat agonis beta & teofilin) disebut
status asmatikus, pada keadaan ini penderita ini harus ditangani di
unit perawatan intensif. Selama kehamilan pertimbangan untuk
intubasi lebih awal diperlukan jika fungsi pernapasan ibu terus
menurun, meskipun dilakukan penanganan yang intensif.
6. Penanganan Asma Dalam Persalinan
Untuk merawat pasien dengan asma selama persalinan dan kelahiran,
direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatan asma yang terjadwal
dengan teratur (kromolin inhalasi, beklometason, dan atau teofilin oral)
selama persalinan dan kelahiran. PEFR harus diukur saat akan bersalin atau
melahirkan dan kemudian tiap 12 jam. Jika timbul gejala asma, PEFR
diukur setelah pengobatan asma. Pasien harus dijaga baik hidrasinya dan
disiapkan analgesik yang cukup untuk membatasi risiko bronkospasme.
Pasien yang sudah memerlukan kortikosteroid sistemik kronis atau
beberapa kortikosteroid sistemik jangka pendek selama kehamilan harus
diberi hidrokortison 100 mg setiap 8 jam sampai 24 jam postpartum untuk
mengobati kemungkinan supresi adrenal. 18,20
Saat wanita dengan asma berada dalam persalinan, diperlukan
pemantauan janin ketat. Pada pasien risiko rendah, mungkin tidak
diperlukan pemantauan ini. Penilaian janin dapat diselesaikan dengan
pemantauan elektronik selama 20 menit yang disebut tes masuk rumah
sakit. Kemudian untuk pasien dengan asma ringan atau sedang yang
terkontrol baik dan tes masuk masuk rumah sakit yang meyakinkan, perlu
dilakukan auskultasi intermiten, pengukuran PEFR, atau pemantauan
denyut jantung janin elektronik. Pemantauan janin secara intensif
direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memasuki persalinan dengan
asma tidak terkontrol atau asma berat dan tidak memiliki tes masuk rumah
sakit yang meyakinkan atau faktor risiko lainnya. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemantauan denyut jantung janin elektronik kontinyu atau
auskultasi intermiten (setiap 15 menit pada kala 1, setiap 5 menit pada kala
2). Selama persalinan, pemantauan janin intensif ini dapat djiadikan
pedoman untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan asma dan
obstetris yang baik. 18,20
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 l/menit,
maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk
menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa
10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan18,20
Selama persalinan kala I, pengobatan asma selama masa prenatal
harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan
kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8
jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan,
penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan
seperti telah diuraikan di atas18,20
Untuk induksi persalinan, oksitosin merupakan obat terpilih.
Penggunaan 15-metil prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena
merupakan analog prostaglandin F2-alfa sintetik yang dilaporkan
menyebabkan bronkospasme pada pasien asma. Penggunaan prostaglandin
E2 dilaporkan juga dapat menyebabkan bronkospasme. Namun, sebuah
penelitian terakhir menyebutkan bahwa bahan ini aman untuk abortus
terapeutik atau induksi persalinan janin mati pada pasien dengan asma.
Penggunaan jel prostaglandin E2 intravaginal atau intracervical untuk
pematangan serviks sebelum induksi persalinan tidak dilaporkan
menyebabkan bronkospasme. 18,20
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan
terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki
dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih
anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat
memacu terjadinya bronkospasme yang berat18,20
Saat memilih analgesik narkotik untuk pasien dengan asma, harus
dipertimbangkan bahan tersebut menyebabkan pelepasan histamin yang
mempercepat bronkospasme. Harus dihindarkan morfin dan meperidin
sehingga bahan terpilih adalah fentanil. Analgesik narkotik menyebabkan
depresi pernafasan dan tidak boleh digunakan pada eksaserbasi asma akut.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama
persalinan pervaginam, memperpendek kala II dengan menggunakan
ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat18,20
Jika diperlukan anestesi umum, penggunaan atropin dan glikopirolat
dapat memberikan efek bronkodilator. Untuk induksi anestesi, ketamin
merupakan obat terpilih karena menurunkan resistensi jalan nafas dan dapat
mencegah bronkospasme. Anestesi halogen konsentrasi rendah dapat
memberikan efek bronkodilatasi, memberikan jalan untuk oksigen
konsentrasi tinggi dan mencegah kecemasan ibu terhadap pembedahan serta
tidak menimbulkan pendarahan pasca salin. Bila persalinan dengan seksio
sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi
cara spinal18,20
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang
tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada
meperidine atau morfin yang melepas histamine18,20
7. Penanganan Asma Post Partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan.
Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara
dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat
kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini. Teofilin bisa
dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah
yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam
setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini
dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk
menimbulkan pengaruh pada janin(1).
Pengobatan farmakologis untuk pendarahan pasca salin pada pasien
dengan asma berbeda karena sebagian besar obat oksitosik untuk atonia
uteri dapat memperburuk bronkospasme. Oksitosin adalah obat terpilih
untuk pendarahan pasca salin. Namun jika diperlukan obat tambahan,
metilergonovin dan ergonovin harus dihindari karena menyebabkan
bronkospasme. Jika penggunaannya tidak dapat dihindarkan, sangat
disarankan pengobatan awal dengan metilprednisolon. Penggunaan 15-metil
prostaglandin F2-alfa harus dihindari karena merupakan bronkokonstriktor
dan dapat memperburuk asma. Jika diperlukan pengobatan dengan
prostaglandin, analog teraman adalah E2 yang kurang menyebabkan
bronkospasme. Jika ada pendarahan uterus berat, prostaglandin E2 20 mg
supositoria dapat diberikan untuk menghindari efek washout yang
disebabkan pendarahan vagina terus-menerus.20
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan
uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x)
yang dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat18.
J. Edukasi Pasien
Edukasi pasien merupakan senjata ampuh untuk menolong pasien
mendapatkan motivasi, keahlian, dan kepercayaan diri untuk mengontrol
asmanya. Edukasi pasien harusnya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan dan
diintegrasikan dengan perawatan kontinyu.
Sebagian besar tanggung jawab penanganan asma sehari-hari ada pada
pasien dan keluarganya. Partisipasi aktif oleh klinisi, pasien, dan keluarga dalam
sebuah kerjasama dapat meningkatkan pendekatan pada rencana perawatan dan
merangsang kemajuan dalam penatalaksanaan asma. Konsep kerjasama ini
termasuk komunikasi terbuka, pengembangan rencana terapi bersama oleh klinisi
dan pasien, peningkatan usaha keluarga untuk dalam pencegahan dan perawatan
gejala pasien.
Edukasi pasien termasuk membantu pasien memahami asma, membantu
pasien mempelajari dan mempraktekkan keahlian yang diperlukan untuk
mengelola asma, dan mendukung pasien saat mereka meniru tingkah laku
penatalaksanaan asma yang baik dan menambahkannya ke dalam rencana terapi
mereka. Meningkatkan keahlian pasien dalam penatalaksanaan asma dan
meyakinkan bahwa mereka dapat mengontrol asmanya.

3. Mioma Uteri
A. Definisi
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga
dengan istilah fibromyoma, leiomyoma ataupun fibroid. Nama lain mioma uteri
antara lain leiomyoma yaitu tumor jinak yang berasal dari otot polos dan paling
sering terjadi pada uterus. Fibromyoma merupakan tumor yang terdiri dari
jaringan penunjang yang berkembang lengkap atau fibrosa.23,24
B. Pembagian23,24
 Mioma Submukosa
Mioma submukosa menempati lapisan dibawah endometrium dan
menonjol kedalam rongga uterus (kavum uteri), dapat bertangkai maupun
tidak. Tumor ini memperluas permukaan ruangan rahim, area permukaan
endometrium yang meluas menyebabkan peningkatan perdarahan
mensturasi dan dapat menyebabkan infertilitas dan abortus spontan.
 Mioma Intramural
Mioma yang berkembang diantara miometrium disebut juga mioma
intraepithelial biasanya multiple apabila masih kecil tidak menambah
bentuk uterus tetapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol.
 Mioma subserosa
Terjadi apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga
menonjol pada permukaan uterus yang diliputi oleh serosa. Mioma
subserosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip yang kemudian
dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburi). Mioma subserosum dapat
tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma
ligamenter. Mioma yang tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dapat
tumbuh ke arah luar dan juga bertangkai.
C. Hubungan Mioma Uteri dengan Kehamilan23,24
Reseptor estrogen akan menurun pada miometrium yang normal semasa
fase sekresi dari siklus mensturasi dan semasa kehamilan. Pada mioma, reseptor
estrogen terdapat di sepanjang siklus mensturasi, tetapi mengalami supresi
semasa kehamilan. Reseptor progesterone terdapat pada miometrium dan mioma
sepanjang siklus mensturasi dan kehamilan. Tambahan pula mioma berkembang
pada awal kehamilan akibat dari stimulasi hormonal dan growth factors yang
sama yang memicu perkembangan uterus. Mioma uteri memberi respon yang
berbeda pada setiap individu wanita dan tidak dapat diprediksi secara akurat
perkembangan setiap mioma.
Pada trimester pertama, ukuran mioma tidak berubah atau semakin
membesar sehubungan dengan peningkatan growth factor yang merangsang
pertumbuhan uterus dan meningkatnya hormone estrogen. Pada trimester kedua,
mioma yang berukuran 2 hingga 6 cm biasanya tidak berubah atau mungkin
membesar, namun untuk mioma yang berukuran besar akan mengecil,
kemungkinan dari inisiasi penurunan regulasi reseptor estrogen. Pada trimester
ketiga tanpa memperhatikan ukuran mioma, sejatinya mioma tidak berubah atau
mengecil akibat penurunan regulasi reseptor estrogen. Biasanya mioma akan
mengalami involusi nyata saat setelah kelahiran.
Munculnya gejala bergantung pada jumlah, ukuran, dan letak mioma uteri.
Mioma intramural dan subserosa dengan ukuran < 3 cm biasanya tidak akan
menunjukkan gejala klinis yang signifikan. Sekitar 10%-30% wanita dengan
mioma uteri menunjukkan komplikasi pada kehamilannya
Pengaruh mioma uteri pada kehamilan dan persalinan:
 Infertile (mandul). Terutama pada mioma uteri submukosa. Lokasi anatomi
dari mioma menjadi faktor penting dalam hubungannya dengan infertilitas.
Mioma yang berukuran > 5 cm dan berlokasi deakat serviks atau dekat
ostium tuba lebih beresiko menyebabkan masalah infertilitas. Mioma uteri
juga dapat menyebabkan disfungsi kontraksi uterus dan menyebabkan
gangguan migrasi dari sperma
 Abortus dan perdarahan pada saat hamil muda. Kejadian abortus akan
meningkat pada mioma uteri submukosa. Mioma uteri yg berdekatan
dengan plasenta dapat menyebabkan abortus
 Malpersentasi, terutama pada mioma uteri submukosa dan berukuran besar
 Distosia akibat mioma yg menghalangi jalan lahir
 Pertumbuhan janin yang terhambat
 Atonia uteri terutama pada saat kehamilan
 Kelainan letak plasenta
Pengaruh kehamilan dan persalinan pada mioma uteri:
 Mioma uteri mengalami pertumbuhan yang cepat dikarenakan pengaruh
hormon estrogen
 Degenerasi merah dan degenerasi karnosa : Tumor menjadi lebih
lunak,berubah bentuk, dan warna lebih kemerahan. Bisa terjadi gangguan
sirkulasi da perdarahan
 Mioma uteri yang bertangkai saat bayi lahir dapat mengalami torsi dan
mengakibatkan nekrosis sehingga pasien akan mengalami nyeri abdomen
yang hebat.
 Mioma uteri letak dibelakang dapat menekan kavum dauglasi dan akan
mengalami inkaserasi.
D. Penatalaksanaan Mioma Uteri pada Kehamilan25-30
Sampai saat ini belum ada panduan khusus mengenai tatalaksana mioma
uteri pada kehamilan yang dipublikasikan. Pada beberapa kasus, miomektomi
yang dilakukan pada masa kehamilan merupakan langkah penting meskipun
memiliki resiko tinggi. Meskipun mioma uteri tidak dapat dijadikan
kontraindikasi persalinan, akan tetapi mioma seringkali menjadi indikasi
dilakukannya seksio sesaria. Kebanyakan perempuan dengan riwayat
miomektomi sebelumnya menjalani operasi seksio sesarea untuk mencegah
terjadinya ruptur uteri. Pengangkatan mioma uteri pada operasi sesar tidak rutin
dilakukan karena tindakan ini sering dipersulit dengan perdarahan hebat.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa semua fibroid anterior harus selalu
dilakukan miomektomi dan operasi sesar menjadi pilihan dalam melakukan
persalinan. Namun para ahli kebidanan di beberapa negara Asia masih
menghindari dilakukannya miomektomi sesaria sebagai sesuatu yang rutin
dilakukan. Miomektomi sesaria biasa dilakukan pada mioma yang bertangkai,
mioma subserosus yang terletak di anterior dan secara khusus mioma yang
terletak pada segmen bawah uterus.
Pada beberapa kasus, miomektomi yang dilakukan pada masa kehamilan
merupakan langkah penting meskipun memiliki resiko tinggi. Sampai saat ini
belum ada panduan khusus yang dipublikasikan. Meskipun mioma tidak dapat
dijadikan sebuah kontraindikasi persalinan, akan tetapi mioma seringkali menjadi
indikasi dilakukannya seksiosesaria. Kebanyakan perempuan dengan riwayat
miomektomi sebelumnya menjalani operasi sesar untuk mengurangi resiko ruptur
uteri. Lebih lanjut, jumlah seksio sesaria secara keseluruhan tampak meningkat
diseluruh dunia, seiring dengan insiden mioma pada perempuan yang melakukan
operasi sesar. Sebaliknya, miomektomisesaria (caesarianmyomectomy; CS) masih
merupakan tindakan bedah dengan resiko tinggi dan hanya direkomendasikan
pada kasus tertentu.
Pengangkatan fibroid pada operasi sesar tidak rutin dilakukan karena
tindakan ini sering kali dipersulit dengan perdarahan hebat. Beberapa peneliti
mengemukakan bahwa semua fibroid anterior harus selalu diangkat dan operasi
sesar menjadi pilihan dalam melakukan persalinan. Namun begitu, banyak ahli
kebidanan di daerah tropis yang masih menghindari dilakukannya miomektomi
sesaria sebagai sesuatu yang rutin dilakukan pada operasi sesar. Miomektomi
sesaria biasanya dilakukan pada fibroid yang bertangkai, fibroid anterior
subserous dan secara khusus yakni fibroid pada bagian segmen bawah uterus.
Indikasi paling umum melakukan miomektomi bersamaan dengan seksio
sesaria pada penelitian ini adalah fibroid pada segmen bawah uterus (61,90%).
Hal ini serupa pada temuan penelitian Adesiun et al, dan Kant Anita et al, dan
Ahikari Sudhir et al. Howkins dan Stallworthy menganjurkan caesarian
miomektomi pada beberapa kasus. Ada beberapa penelitian observasional dimana
miomektomi sukses dilakukan pada semua kasus. Pada beberapa studi kasus
kontrol juga menunjukkan bahwa miomektomi sukses dilakukan pada semua
kasus. Pada penelitian saat ini 93% kasus miomektomi dilakukan setelah
persalinan, namun (6,7%) kasus mioma yang terletak pada bagian terbawah
dinding anterior, prosedur miomektomi dilakukan sebelum persalinan untuk
menghindari insisi pada bagian segmen atas uterus. Pada penelitian lain juga
menunjukkan miomektomi dilakukan sebelum bayi dilahirkan apabila mioma
terletak pada bagian bawah dinding anterior.
BAB 4
Kesimpulan

Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada
kehamilan 20 minggu atau lebih.
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga
penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa faktor yang berkaitan
dengan terjadinya preeklampsia adalah : Faktor Trofoblast, Faktor Imunologik, Faktor Gizi,
Faktor Genetik, Faktor Hormonal, Peran Prostasiklin dan Tromboksan. Jumlah Kematian ibu
antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -48.9%.
Dikatakan preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut : TD ≥
160 / 110 mmHg, proteinuria > 5 gr / 24 jam atau kualitatif 3+ / 4+, Oliguria ≤ 500 ml / 24
jam, peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus, nyeri kepala frontal atau gangguan
penglihatan, nyeri epigastrium, edema paru atau sianosis, pertumbuhan janin intra uterin yang
terhambat (IUFGR), HELLP Syndrom (H = Hemolysis, E = Elevated, L = Liver enzyme, LP
= Low Platelet Counts) dan Koma.
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre eklampsia berat
selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi : (1) Perawatan aktif yaitu kehamilan
segera diakhiri atau diterminasi ditambah pengobatan medicinal (segera rawat di ruangan
yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL, tirah baring miring ke satu sisi, diet cukup
protein, rendah KH-lemak dan garam, berikan anti kejang, anti hipertensi, dll) (2) Perawatan
konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medicinal.
Pengaruh asma terhadap kehamilan misalnya peningkatan kelahiran preterm dan berat badan
lahir bayi rendah, peningkatan mortalitas neonatal, dan peningkatan hipoksia neonatal,
hiperemesis gravidarum, pendarahan vagina, dan toksemia. Pengaruh kehamilan terhadap
asma bisa meningkat (36%), memburuk (23%), dan tidak mengalami perubahan (41%).
Obat-obat asma yang bisa digunakan adalah anti inflamasi seperti kortikosteroid,
sodium kromolin, sodium nedokromil, bronkodilator seperti agonis β2 adrenergik, agonis β
nonselektif, teofilin, dan anti kolinergik, antihistamin, dekongestan, dan terapi imun.
Penatalaksanaan efektif asma dalam kehamilan berpedoman pada empat komponen
yaitu:
1. Pengukuran obyektif untuk menilai dan memantau fungsi paru ibu dan
kesejahteraan janin dengan tujuan membuat rekomendasi terapeutik yang tepat.
2. Pengukuran untuk menghindari atau mengontrol pemicu asma di lingkungan
pasien.
3. Terapi farmakologis
4. Edukasi pasien
Pada saat pasien akan melahirkan baiknya persalinan pervaginam, kecuali atas indikasi
obstetric persalinan dilakukan perabdominal. Jika persalinan perabdominal lebih baik
menggunakan anestesi epidural, karena jika menggunakan anestesi umum resiko terjadinya
bronchospasme lebih besar.
Mioma uteri atau fibroid selama kehamilan merupakan sebuah masalah potensial serius
dan sering menjadi perhatian dalam praktek klinis. Hal ini disebabkan karena fibroid
umumnya dijumpai pada perempuan usia reproduktif dan sejak lama dikaitkan dengan
buruknya komplikasi terhadap kehamilan. Mioma uteri pada kehamilan dapat menjadi
penyulit pada proses kehamilan itu sendiri tergantung dari letak mioma uteri serta ukuran dari
mioma uteri sendiri. Sampai saat ini miomektomi pada operasi seksio sesaria masih menjadi
tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus tertentu mioma uteri pada kehamilan
walaupun tindakan ini beresiko pada perdarahan yang hebat. Dibutuhkan tenaga ahli yang
terampil dan berpengalaman dalam melakukan tindakan tersebut.
Daftar Pustaka

1. BAPPENAS. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia


2010. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Jakarta, Indonesia, hal 1-74
2. AbouZhar, C. 2003. Global buden of maternal death and disability : “Causes of
Maternal deaths and disabilities”. British Medical Bulletin. 60: 1-11.
(http://bmb.oxfordjournal.org, diakses 15 Desember 2019).
3. UNFPA. 2011. Maternal Mortality Ratio. (http://Indonesia.unfpa.org/issues-and-
challenges/maternal-mortality-ratio, diakses 24 April 2012).
4. WHO, 2011. Maternal and Perinatal Health.
(http://www.who.int/topics/maternal_health/en/, diakses 15 Desember 2019)
5. Departemen Kesehatan RI [Online]. 2011.
(http://www.gizikia.depkes.go.id/wp_content/uploads/downloads/2011/01/Materi-
Advokasi-BBL-Pdf, diakses 15 Desember 2019).
6. Burrow,Gerard N. dan Duffy,Thomas P. 1999. Medical Complications During
Pregnancy. Edisi ke-5. W.B.Saunders Company
7. Cunningham, F.G., dkk. 2005. Obstetri Williams : “Gangguan Hipertensi dalam
Kehamilan” (edisi ke-21). Terjemahan oleh : Hartono, Suyono, Pendit. EGC, Jakarta,
Indonesia, hal. 624-683.
8. Universitas Sriwijaya. Protap Obgyn: “Preeklampsia Berat”, hal.3-10.
9. Arga, J., Guick Obgyn: “PEB”. Departemen Obstetri dan Ginekologi Dr. Mohammad
Hoesin, FK UNSRI, Palembang, hal.73-77.
10. Angsar, M,D., 2002. Ilmu Kebidanan: “ Hipertensi dalam Kehamilan” (edisi ke-3).
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Indonesia, hal. 530-561.
11. ACOG, 2002. Practice Bulletin : “Diagnosis and Management of Preeclampsia and
Eclampsia.33.(http://mail.ny.acog.org/website/SMIPodcast/DiagnosisMgt.pdf, diakses
15 Desember 2019)
12. WHO, 2011. Maternal and Perinatal Health.
(http://www.who.int/topics/maternal_health/en/, diakses 15 Desember 2019)
13. Zhang, Jun., dkk. 1997. Epidemiology of Pregnancy-induced hypertension.
Epidemiologic Reviews. 19(2). (http://epirev.oxfordjournals.org/, diakses 15 Desember
2019).
14. Winkjosastro, H, dkk. 2006. Ilmu Kebidanan: “Hipertensi dalam Kehamilan” (edisi ke-
3). Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Indonesia, hal. 281-300.
15. Mochtar, R. 1998. Toksemia Gravidarum. Dalam : Lutan, D (Editor). Sinopsis Obstetri
(hal. 198-208). EGC, Jakarta, Indonesia.
16. Mansjoer, A, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran : “ Komplikasi selama Kehamilan”
(edisi ke-3). Media Aesculapius, Jakarta, Indonesia, hal. 270-271.
17. Lana, K.,M.D. 2004. Diagnosis and Management of Preeclampsia. The American
Family Physician. 70(12). Hal 1-7 (http://wwwaafp.org/afp/2004/1215/p23.h, diakses
15 Desember 2019)).
18. Busse,William W. dkk. 2004. Managing Asthma During Pregnancy: Recommendations
for Pharmacologic Treatment.
(www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm, diakses 15 Desember 2019)
19. Kazzi,Amin Antoine dan Marachelian,Araz. 2004. Pregnancy, Asthma.
(www.emedicine.com/emerg/topic476.htm, diakses 15 Desember 2019)
20. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Pulmonary Disorders dalam Williams Obstetrics. Edisi
ke-22. McGraw-Hills Companies
21. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi ke-3. Jakarta:FKUI
22. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Maternal Physiology dalam Williams Obstetrics. Edisi
ke-22. McGraw-Hills Companies.
23. G.L.Shobhitha, Bindu PH and KVS S. 2015. Myoma Complicating Pregnancy A report
of two cases. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences. Volume 14, Issue 4 Ver.
II, PP 33-36.
24. Poovathi M and Ramalingam R. 2016. Maternal and Fetal Outcome in Pregnancy with
Fibroids: A Prosp ective Study. International Journal of Scientific Study. 3: 169-72.
25. Sultana R, Noor S, Nazar AF, et al. 2012. Safety of Caesarean Myomectomy. J Ayub
Med Coll Abbottabad.
26. Sparić R, Kadija S, Stefanović A, et al. 2017. Cesarean myomectomy in modern
obstetrics: More light and fewer shadows. J Obstet Gynaecol Res. 43(5): 798–804.
27. Milazzo GN, Catalano A, Badia V, Mallozzi M and Caserta D. 2017. Myoma and
myomectomy: Poor evidence concern in pregnancy. J Obstet Gynaecol Res. 43: 1789–
804.
28. Ghaemmaghami F, Karimi-Zarchi M, Gharebaghian M and Kermani T. 2017.
Successful Myomectomy during Cesarean Section: Case Report & Literature Review.
International Journal of Biomedical Science. Vol. 13 No. 2.
29. Rajuddin, Donny.2018. A sucsessfull myomectomy during cesarion section in
pregnancy with history of myomectomy: A report of one case. Jurnal Averrous Vol.4
No.1.
30. Golubka P, Wańkowicz A, Przylepa M, et al. 2015. Pregnant women suffering from
uterine fibroids. Pol J Public Health

Anda mungkin juga menyukai