Anda di halaman 1dari 56

MODUL PRAKTIKUM

PARASITOLOGI DASAR

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

TINGKAT 2

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NASIONAL

2020
DAFTAR ISI

Daftar Isi ......................................................................................................................... i

Arthropoda ..................................................................................................................... 1

Arachnida dan Crustacea ............................................................................................. 12

Anoplura ...................................................................................................................... 15

Shipanoptera dan Hemiptera ....................................................................................... 19

Ordo Diptera : Lalat ..................................................................................................... 27

Ordo Diptera : Nyamuk ............................................................................................... 30

Pembuatan Preparat Permanen .................................................................................... 37

Laporan Mini Proyek : Perbandingan Efektivitas Bahan Alami dan Bahan Kimia
Terhadap Mortalitas Ctenochepalides Felis ............................................................... 44

Laporan Mini Proyek : Uji Efektivitas Daun Salam (Syzygium polyanthum ) Dalam
Membasmi Nyamuk .................................................................................................... 49

i
MORFOLOGI TAKSONOMI DAN KLASIFIKASI ARTHROPODA

Identitas Sampel : Sampel laboratorium

I. Tujuan
1. Mengetahui peranan Arthropoda dibidang kesehatan
2. Mengetahui Ciri – ciri anggota Arthropoda
3. Dapat megelompokkan anggota Arthropoda berdasarkan cirinya
II. Alat dan Bahan
A. Alat B. Bahan
1. Mikroskop 1. Preaparat Awetan
2. Objek Glass 2. Preparat Segar
3. Deck Glass
4. Pinset
5. Alat Tulis

III. Cara Kerja


1. Amati Ciri – ciri morfologi dan anatomi masing masing preparat
2. Tulis Karakteristik masing masing preparat
3. Kelompokkan berdasarkan persamaan dan perbedaan karakteristik masing
masing preparat
4. Analisa peranan masing masing preparat di bidang kesehatan
IV. Hasil
Bagian tubuh
Yuyu / Ketam ( Decapoda ) A. Chepalus
2 1. Sepasang mata majemuk
B. Abdomen
2. Satu Pasang Capit
1
3. Kaki Jalan
4. Kaki Renang
4
5 5. Karapas ( cangkang pada
3 bangian punggung )

Bagian tubuh
A. Chepalus / Kepala
1. Sepasang mata majemuk
2. Antena
Udang ( Decapoda )
1 B. Abdomen
1. 8 Pasang kaki ( 4 kaki depan
sebagai kaki jalan, 4 kaki
belakang sebagai kaki

1
panjang untuk berenang )

1
Bagian tubuh
A. Chepalus
1. Pada bagian kepala terdapat
sepasang mata majemuk,
probosis, dan antena.

2
B. Abdomen
2. Kaki
3 3. SepasangSayap

Lalat

Bagian tubuh
A. Chepalus
1. Pada kepala Milipedes
Milipedes terdapat 1 pasang mata, 1
pasang antena, Mandibula (
sebagai alat gigit atau
menggiling makanan ).
B. Abdomen
1. Padabagian tubuh nya
memiliki 25-100 segmen.
Pada setiap segmennya
memiliki 2 pasang kaki. Pada
setiap segmen memiliki
stigma sebagi alat respirasi.

1
Bagian tubuh

A. Chepalus
2. Pada kepala Centipedes
Centipedes terdapat 1 pasang mata
tunggal, 1 pasang antena,
Mandibula ( sebagai alat
gigit atau menggiling
makanan ).
B. Abdomen
3. Pada bagian tubuh nya
memiliki beberapa segmen.
Pada setiap segmennya
memiliki 1 pasang kaki. Pada
setiap segmen memiliki
stigma sebagi alat respirasi.

Bentuk tubuh Bulat Lonjong,


konveks bagian dorsal pipih
Sarcoptes scabiei Bagian tubuh
A. Chepalus
1. Pada kepala Sacoptes Scabiei
2
terdapat sebuah alat mulut
penghisap

B. Abdomen
3 2. Pada bagian tubuh nya
terdapat sepasang bulu keras
1
atau bulu cambuk
3. Memiliki 4 – 8 pasang kaki.

2
Nyamuk Bagian tubuh
A. Chepalus
1. Pada kepala nyamuk terdapat
sepasang mata holoptik,
probosis, sepsang antena,
dan palpus maksilaris
C. Abdomen
2 Pada bagian tubuh nya
memiliki sepasang sayap,
kaki belakang, scutellum, alat
kelamin, halter ( alat
keseimbangan ).
Laba - laba ( Arachnida ) Bagian tubuh
A. Chepalus
1. Pada kepala Arachnida
1 terdapat sepasang mata,
B. Abdomen
2. Satu pasang Pedipalpus (
4 2 Alat Capit )
3. 4 pasang kaki
5 4. Abdomen ( Preabdomen : 7
3 ruas, Postabdomen 6 ruas )
5. Telson ( Alat sengat )

V. Kesimpulan

Arthropoda berasal dari bahasa Yunani, yaitu arthro yang berarti ruas dan podos yang
berarti kaki. Jadi, Arthropoda berarti hewan yang kakinya beruas-ruas. Organisme yang
tergolong filum arthropoda memiliki kaki yang berbuku-buku. Ciri-ciri umum yang
dimiliki anggota filum arthropoda yaitu tubuh simetri bilateral, triploblastik selomata,
terdiri atas segmen-segmen yang saling berhubungan dibagian luar, dan memiliki tiga
lapisan germinal (germlayers) sehingga merupakan hewan tripoblastik. Tubuh ditutupi
lapisan kutikula yang merupakan rangka luar (eksosketelon). Filum Arthopoda dibagi
menjadi empat subfilum yaitu Trilobita, Chelicerata, Onychophora, dan Mandibulata.
Arthropoda dapat dibagi menjadi 6 kelas, yaitu Crustacea, Onychophora, Arachnida,
Chilopoda, Diplopoda, dan Insecta. Tetapi kadang-kadang kelas Chilopoda dan
Diplopoda dimasukkan ke dalam satu kelas yaitu Myriapoda.

3
VI. Pembahasan
1. Kelas Crustacea
a. Udang Windu (Penaeus monodon)
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala
dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut
cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan
8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-
tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang)
yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4
lembar dan satu telson yang berbentuk runcing. Bagian kepala dilindungi
oleh cangkang kepala atau Carapace. Bagian depan meruncing dan
melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau rostrum.
Udang memiliki sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan
dapat digerakkan,mulutnya terletak pada bagian bawah kepala dengan
rahang (mandibula) yang kuat. Terdapat sepasang sungut besar atau
antenna dan dua pasang sungut kecil atau antennula. Udang juga memiliki
sepasang sirip kepala ( scophocerit ) dan sepasang alat pembantu rahang
(maxilliped). Untuk alat gerak udang memiliki lima pasang kaki jalan
(pereopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga bercapit yang
dinamakan cheladan pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung
dan insang.
Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya
dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda)
yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan
pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor
kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada
bagian ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa diamati
adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung
ruas keenam.
Udang hidup disemua jenis habitat perairan dengan 89% diantaranya
hidup diperairan laut, 10% diperairan air tawar dan 1% di perairan
teresterial. Udang laut merupakan tipe yang tidak mampu atau mempunyai
kemampuan terbatas dan mentolerir perubahan salinitas. Kelompok ini
biasanya hidup terbatas pada daerah terjauh pada estuari yang umumnya
mempunyai salinitas 30% atau lebih. Kelompok yang mempunyai
kemampuan untuk mentolerir variasi penurunan salinitas sampai dibawah
30%. Hidup di daerah terestrial dan menembus hulu estuari dengan tingkat
kejauhan bervariasi sesuai dengan kemampuan spesies untuk mentolerir
penurunan tingkat salinitas. Adapun klasifikasi dari udang windu adalah
sebagai berikut:

4
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Order : Decapoda
Suborder : Dendrobranchiata
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon
b. Kepiting (Callinectes sapidus )
Kepiting adalah binatang anggota krustasea berkaki sepuluh dari
upabangsa (infraordo) Brachyura, yang dikenal mempunyai "ekor" yang
sangat pendek (bahasa Yunani: brachy=pendek,ura=ekor), atau yang
perutnya (abdomen) sama sekali tersembunyi di bawah dada (thorax).
Tubuh kepiting dilindungi oleh kerangka luar yang sangat keras, tersusun
dari kitin, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Ketam adalah nama
lain bagi kepiting. Kepiting terdapat di semua samudra dunia. Ada pula
kepiting air tawar dan darat, khususnya di wilayah-wilayah tropis.
Rajungan adalah kepiting yang hidup di perairan laut dan jarang naik ke
pantai, sedangkan yuyu adalah ketam penghuni perairan tawar (sungai
dan danau).
Kepiting beraneka ragam ukurannya, dari ketam kacang, yang
lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang,
dengan rentangan kaki hingga 4m. Kepiting sejati mempunyai lima pasang
kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit
dan tidak digunakan untuk bergerak. Di hampir semua jenis kepiting,
kecuali beberapa saja (misalnya,Raninoida), perutnya terlipat di bawah
cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata,
dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah rostrum yang
panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat- pelat yang pipih
(phyllobranchiate), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur
yang berbeda. Adapun klasifikasi dari kepiting adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Arthropoda

Class : Crustacea

Subclass : Malacostraca

Ordo : Decapoda Upaordo

5
Genus :Callinectes

Spesies :Callinectes sapidus

2. Kelas Arachnoidea
a. Laba-Laba (Nephila maculata )
Berikut adalah ciri-ciri dari salah satu hewan Arachnoidea yang sering
kita jumpai, yaitu laba-laba. Tubuhnya terdiri dari dua bagian, yaitu
sefalotoraks (kepala-dada) pada bagian anterior dan abdomen pada bagian
posterior.
Sefalotoraks adalah penyatuan tubuh bagian sefal atau kaput (kepala)
dan bagian toraks (dada). Pada sefalotoraks terdapat sepasang kalisera
(alat sengat), sepasang pedipalpus (capit), dan enam pasang kaki untuk
berjalan. Kalisera dan pedipalpus merupakan alat tambahan pada mulut.
Pada bagian abdomen (opistosoma) laba-laba terdiri dari mesosoma dan
metasoma. Pada bagian posterior abdomen terdapat spineret yang
merupakan organ berbentuk kerucut dan dapat berputar bebas. Didalam
spineret terdapat banyak spigot yang merupakan lubang pengeluaran
kelenjar benang halus atau kelenjar benang abdomen. Kelenjar benang
halus mensekresikan cairan yang mengandung protein elastik. Protein
elastik tersebut akan mengeras di udara membentuk benang halus yang
digunakan untuk menjebak mangsa. Laba-laba bernapas dengan paru-paru
buku atau trakea. Paru-paru buku adalah organ respirasi berlapis banyak
seperti buku dan terletak pada bagian abdomen. Ekskresi laba-laba
dilakukan dengan tubula (tunggal=tubulus) Malpighi. Tubula Malpighi
merupakan tabung kecil panjang dan buntu dan organ ini terletak di dalam
hemosol yang bermuara ke dalam usus. Selain Tubula Malpighi, ekskresi
lainnya dilakukan dengan kelenjar koksal. Kelenjar koksal merupakan
kelenjar ekskretori buntu yang bermuara pada daerah koksa (segmen pada
kaki insecta). Adapun klasifikasi dari laba-laba adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnoidea
Subkelas : Arachnida Ordo : Araneae
Family : Nephilidae
Genus : Nephila
Spesies : Nephila maculata
b. Kalajengking (Hemiscorpius lepturus )
Kalajengking adalah sekelompok hewan beruas dengan delapan kaki
(oktopoda) yang termasuk dalam ordo Scorpiones dalam kelas Arachnida.
Kalajengking masih berkerabat dengan ketonggeng, laba-laba, tungau, dan

6
caplak. Ada sekitar 2000 jenis kalajengking. Mereka banyak
ditemukan selatan dari 49° U, kecuali Selandia Baru dan Antarktika.
Hemiscorpius lepturus (kalajengking) kebanyakan hidup di daerah
tropis dan panas, yaitu di bawah batu-batu atau lubang dalam tanah.
Segmen pada ekor mrmpunyai alat penyengat. Ciri morfologinya yaitu
tubuh terdiri dari cepalotoraks dan abdomen (bersegmen-segmen),
preabdomen, dan post abdomen. Cepalotoraks tertutup karapas. Memiliki
umbai-umbai berbentuk cakar yang berfungsi untuk menangkap mangsa
(celicera) dan cakar berbentuk penjepit (pedipalpus). Mempunyai 4
pasang kaki tanpa antena terletak pada cepalotoraks, 2-12 mata oceli.
Abdomen bersegmen 12, yang 7 segmen disebut mesosoma besar, dan 5
segmen terminal disebut metasoma. Pemanjangan pada ujung abdomen
berbentuk ekor sebagai alat sengat (telson) mengandung kelenjar toksin.
Alat napas berupa 4 pasang paru-paru buku, terletak sebelah ventral
segmen III dan XV. Bersifat vivipar dan merupakan binatang karnivora.
Semua spesies kalajengking memiliki bisa. Pada umumnya, bisa
kalajengking termasuk sebagai neurotoksin (racun saraf).
Hemiscorpius lepturus yang memiliki bisa sitotoksik (racun sel).
Neurotoksin terdiri dari protein kecil dan juga natrium dan kalium, yang
berguna untuk mengganggu transmisi saraf sang korban. Kalajengking
menggunakan bisanya untuk membunuh atau melumpuhkan mangsa
mereka agar mudah dimakan. Bisa kalajengking lebih berfungsi terhadap
artropoda lainnya dan kebanyakan kalajengking tidak berbahaya bagi
manusia; sengatan menghasilkan efek lokal (seperti rasa sakit,
pembengkakan). Namun beberapa spesies kalajengking, terutama dalam
keluarga Buthidae dapat berbahaya bagi manusia.
Adapun klasifikasi dari kalajengking adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Sub filum : Chelicerata

Kelas : Arachnoidea

Sub kelas : Arachnida

Ordo : Scorpionida

Genus : Hemiscorpius

Spesies : Hemiscorpius lepturus

7
3. Kelas Myriapoda
a. Lipan/Kelabang (Scolopendra sp.)
Lipan atau kelabang (bahasa Inggris:centipede) adalah hewan
arthropoda yang tergolong dari kelas Chilopoda dan upafilum Myriapoda.
Lipan adalah hewan metamerik yang memiliki sepasang kaki di setiap ruas
tubuhnya. Hewan ini termasuk hewan yang berbisa, dan termasuk hewan
nokturnal. Lipan mudah ditemukan di daerah yang diarsir seperti bagian
bawah daun-daun mati, batu, gua, hutan, dan bahkan bagian dalam rumah.
Mereka biasanya ditemukan di daerah iklim seperti padang pasir,
pegunungan, dan hutan. Mereka adalah arthropoda soliter dan malam.
Pada siang hari mereka pergi untuk mencari perlindungan di lahan basah
dan gelap. Jika cuaca terlalu basah atau terlalu kering, mereka mencari
tempat lain untuk datang berlindung di dalam rumah. Spesies yang hidup
di zona beriklim panas biasanya lebih kecil (hingga 10 cm) dari mereka
menghuni daerah khatulistiwa yang lembab, yang dapat melebihi 30 cm.
Lipan dianggap sebagai hewan berbisa meskipun bisa lipan kurang
mematikan manusia, tetapi lipan biasa dikonsumsi di Thailand dan di
beberapa bagian Afrika. Bahkan pengobatan Cina memotong atau
menggunakan bagian dari lipan sebagai obat untuk penggunaan oral,
meskipun efektivitas pengobatan ini belum terbukti secara ilmia.
Adapun klasifikasi dari kelabang adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Myriapoda

Sub kelas : Chilopoda

Ordo : Scolopendromorpha

Famili : Scolopendridae

Genus : Scolopendra

Spesies : Scolopendra sp

b. Kaki Seribu (Trigoniulus corallinus )


Kaki seribu atau millipede (kelas Diplopoda, sebelumnya juga disebut
Chilognatha) adalah artropoda yang memiliki dua pasang kaki per segmen
(kecuali segmen pertama di belakang kepala, dan sedikit setelahnya yang
hanya memiliki satu kaki). Hewan kaki seribu adalah salah satunya yang

8
terkadang kita lihat di lingkungan sekitar kita. Hewan ini banyak dijumpai
di daerah tropis dengan habitat di darat. Terutama di tempat yang banyak
mengandung sampah, misalnya di kebun dan di bawah batu-batuan.
Umumnya kaki seribu memakan sisa tumbuhan yang membusuk.
Namun ada beberapa spesies yang tergolong karnivora. Mereka menelan
bahan makanan yang ditemui, mengekstrak nutrisinya, lalu mengeluarkan
kembali sisa-sisa yang tidak bisa dicerna. Cara makan ini tidak berlaku
untuk beberapa spesies yang memiliki tipe mulut penghisap.
Adapun klasifikasi dari kaki seribu adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Myriapoda

Sub kelas : Diplopoda

Genus :Trigoniulus

Spesies : Trigoniulus corallines


4. Kelas insekta
Serangga merupakan salah satu kelas avertebrata di dalam filum
arthropoda yang mempunyai exoskeleton berkitin, bagian tubuhnya terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu kepala, thorax, dan abdomen), tiga pasang kaki
yang terhubung ke thorax, mempunyai mata majemuk, dan sepasang antena.
Serangga tergolong dalam salah satu kelompok hewan yang paling
beragam, mencakup lebih dari satu juta spesies dan menjelaskan lebih dari
setengah organisme hidup yang telah diketahui. Jumlah spesies yang masih
ada diperkirakan antara enam sampai sepuluh juta dan berpotensi mewakili
lebih dari 90% bentuk kehidupan hewan yang berbeda-beda di bumi. Serangga
bisa dijumpai di hampir semua lingkungan, walaupun hanya sejumlah kecil
yang hidup di lautan, suatu habitat yang didominasi oleh kelompok arthropoda
lain, krustasea.
Ciri-ciri insekta
1) Tubuhnya dibedakan menjadi 3 yaitu kepala, dada dan perut.
2) Pada kepala terdapat satu pasang mata facet ( majemuk ), mata tunggal (
ocellus ) dan satu pasang antenna sebagai alat peraba.
3) Mulutnya digunakan untuk menguyah, meggigit, menjilat dan
menghisap.
4) Kaki berubah bentuk tergantung dengan fungsinya.
5) Bagian mulut ini terdiri atas rahang belakang ( mandibula ), rahang
depan ( maksila ) dan bibir atas ( labrum ) serta bibir bawah ( labium )

9
6) Dada ( thorax ) terdiri dari 3 ruas yaitu prothorax, mesothorax dan
metathorax. Pada segmen terdapat sepasang kaki.
7) Pada setiap mesotoraks dan metatoraks terdapat dua pasang sayap,
namun ada juga yang tidak memiliki sayap.
8) Alat pencernaan nya tersusun atas mulut, kerongkongan, tembolok,
lambung, usus, rectum dan anus.
9) Sistem pernapasan dengan sistem trachea.
10) Sistem saraf rangga tali.
11) Pada umumnya serangga mengalami perubahan bentuk ( metamorfosis )
dari telur sampai dewasa.
12) Tempat hidup di air tawar dan darat.
13) Sistem peredaran darah terbuka.
14) Alat kelamin terpisah ( jantang dan betina ) pembuahan internal.
15) Perut ( abdomen ) memiliki sebelas ruas atau beberapa ruas saja.
16) Belalang betina, bagian belakang perut terdapat ovipositor yang memiliki
fungsi untuk menempatkan telurnya. Pada segmen pertama terdapat alat
pendengaran atau membrane Tympanum.

Seringkali mengalami partenogenesis maupun paedogenesis.


Partenogenesis merupakan perkembangan embrio tanpa dibuahi oleh
spermatozoid, misalnya lebah. Sementara paedogenesis merupakan
partenogenesis yang berlangsung di tubuh larva, misalnya Diptera.Dalam
perkembangan menuju dewasa, Insecta mengalami perubahan bentuk luar dan
dalam dari fase telur ke tingkat dewasa yang disebut metamorfosis.
Pembuahannya internal, artinya pembuahan sel telur pleh spermatozoid
terjadi di dalam tubuh induk betina.

VII. Daftar Pustaka


Arief, Mudianto. 2001.Keanekearagaman ekosistem. Bandung: Cahaya Ilmu
Barnes, Robert D. 1977. Invertebrates Zoology Third Edition. USA: Nueva
Editorial Interamericana, S.A. de C.V
Brotowidjojo. 1989.Zoologi Dasar.Jakarta: Erlangga
Campbell, Neil A., Jane B. Reece & Lawrence G. Mitchell. 2003.Biologi Edisi
Kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Dixon, C. J., F. R. Schram & S. T. Ahyong. 2004. A New Hypothesis of
Decapod Phylogeny Crustaceana. 76 (8): 935– 975
Laila, Siti. 2007.Biologi Sains dalam Kehidupan.Surabaya: Yudhistira
Putra, N. S. 1994.Serangga di Sekitar Kita. Yogyakarta: Kasinus
Radiopoetro. 1996.Zoologi.Jakarta: Erlangga

10
Reny, Rahmawati. 2012. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press
Rusyana, Adun. 2011.Zoology Invertebrata. Bandung: Alfabeta.
Setyamidjaja, Djoehana. 1984.Bertanam Kelapa. Yogyakarta: Kanisi.

11
Arachnida dan Crustacea

Identitas Sampel : Sampel Laboratorium

I. Tujuan
a. Mengetahui morfologi preparat anggota arachnida (Sarcoptes scabiei)
b. Mengetahui morfologi preparat anggota Crustacea
c. Mempelajari siklus hidup, patogenitas, gejala klinis dan epidemiologi
Crustacea dan Arachnida)
II. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Mikroskop
2. Obyek glass
3. Deck glass
b. Bahan
1. Preparat
2. Alkohol Mikroskop
3. Kapas
III. Cara Kerja
a. Lensa mikroskop dibersihkan dahulu dengan kapas yang sudah diberikan
alkohol mikroskop.
b. Preparat diletakkkan diatas meja mikroskop.
c. Dilakukan pengamatan dengan menggunakan lensa obyektif 10x
d. Morfologi preparat yang diamati kemudian digambar dan diberi keterangan.
e. Pelajari siklus hidup, patogenitas, gejala klinis dan epidemiologi dari
masing-masing preparat.
IV. Hasil
Sarcoptes scabiei 1. Bentuk : Badan bulat lonjong,
konveks di bagian dorsal
dan pipih di bagian
ventral.
2. Ukuran : Jantan : 300-350 mikron
Betina : 150-200 mikron
3. Kaki : 2pasang didepan
2 Pasang dibelakang

V. Kesimpulan
Dalam sampel laboratorium yang diperiksa ditemukan Sarcoptes scabiei

12
VI. Pembahasan

A. Patogenitas
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya disebabkan oleh
tungau skabies, tetapi juga dapat disebabkan oleh penderita sendiri akibat
garukan yang mereka lakukan. Garukan tersebut dilakukan karena adanya
rasa gatal. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta
dan dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah
infestasi. Pada saat itu kelainan kulit seperti dermatitis dengan di
temukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain, dengan garukan dapat
timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder
B. Gejala Klinis
Gejala klinis akibat tungau skabies ini adalah timbulnya rasa gatal-
gatal pada kulit yang terkena, terutama pada malam hari (pruritus noktura)
sehingga mengganggu ketenangan tidur. Rasa gatal timbul akibat dari
reaksi alergi terhadap eksresi dan sekresi yang keluar dari tubuh tungau,
biasanya gejala ini muncul satu bulan setelah serangan tungau didahului
dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit (rash). Diagnosis
dilakukan dengan menemukan parasit tungau skabies ini pada kulit melalui
kerokan kulit. Kerokan kulit yang diperiksa dibawah mikroskop akan
menunjukkan adanya parasit Sarcoptes scabiei yang spesifik bentuknya
C. Epidemiologi
Skabies merupakan penyakit epidemik pada banyak masyarakat.
Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi
dapat juga mengenai semua umur. Insidensi sama pada pria dan wanita.
Insidensi skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktasi yang
sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu
epidemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun.

13
Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah kemiskinan,
hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi,
ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensinya di Indonesia masih
cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat.
Selain itu faktor penularannya bisa melalui tidur bersama dalam satu
tempat tidur, lewat pakaian, perlengkapan tidur atau benda - benda
lainnya. Seperti yang terjadi di pondok pesantren. Sebagian besar santri
mempunyai kebiasaan untuk bertukar pakaian, alat sholat ataupun alat
mandi dengan teman sehingga penyebaran penyakit skabies menjadi
sangat mudah mengingat salah satu penyebab penularan skabies adalah
hygiene yang jelek.

VII. Daftar Pustaka


Mading, Majematang, Ira inriati Bule Sopi. 2015. Kajian Aspek
Epidemiologi Skabies Pada Manusia. Jurnal Penyakit Sumber
Binatang . 2(2). 9-17

14
“Anoplura”

Identitas Sampel : Sampel laboratorium

I. Tujuan
Untuk dapat mengetahui morfologi dari parasit dengan cara pengamatan menggunakan
mikroskop dengan perbesaran lensa obyektif 10x atau 5x dan lensa okuler 5x atau 10x.
II. Alat dan Bahan
C. Alat D. Bahan
1. Mikroskop 1. Preparat (sampel)
2. Obyek glass 2. Alkohol mikroskop
3. Deck glass 3. Kapas

III. Cara Kerja

1. Bersihkan lensa mikroskop terlebih dahulu dengan menggunakan kapas yang sudah
di berikan alkhohol mikroskop.
2. Letakkan preparat (sampel) di atas meja mikroskop.
3. Lakukan pengamatan dengan menggunakan lensa obyektif 10x atau 5x dan lensa
okluer 5x atau 10 x.
4. Membuat gambar morfologi dari preparat (sampel) yang di amati kemudian diberi
keterangan pada tiap bagian.

IV. Hasil

15
Badan berbentuk pipih dorsoventral
Bagian tubuh:
A. Cephalus/kepala
Pediculus humanus corporis
1. Proboscis, adalah alat mulut
berbentuk alat tusuk isap
2. 1 pasang antena
3. 1 pasang mata lateral

B. Thorax, otot thorax jelas


1. 3 pasang kaki

C. Abdomen
1. Spirakel tidak jelas, digunakan
untuk respirasi
2. Alat kelamin jantan disebut
edeagus dan alat kelamin betina
disebut porus genitalis
Badan berbentuk pipih dorsoventral
Bagian tubuh:
Pediculus humanus capitis A. Cephalus/kepala
1. Proboscis, adalah alat mulut
berbentuk alat tusuk isap
2. 1 pasang antena
3. 1 pasang mata lateral

B. Thorax, otot thorax tidak jelas


1. 3 pasang kaki

C. Abdomen
1. Spirakel jelas, digunakan untuk
respirasi
2. Alat kelamin jantan disebut
edeagus dan alat kelamin betina
disebut porus genitalis

16
Badan berbentuk pipih dorsoventral
Bagian tubuh:
A. Cephalus/kepala
1. Proboscis, adalah alat mulut
Phthirus pubis berbentuk alat tusuk isap
2. 1 pasang antena
3. 1 pasang mata lateral

B. Thorax
1. 3 pasang kaki

C. Abdomen
1. Spirakel, digunakan untuk
respirasi
2. Prosesus lateralis, yaitu tonjolan
di sebelah lateral abdomen
3. Alat kelamin jantan disebut
edeagus dan alat kelamin betina
disebut porus genitalis

V. Kesimpulan
Dalam sampel laboratorium yang diperiksa ditemukan Pediculus humanus capitis
jantan, Pediculus humanis corporis betina, dan Phthirus pubis jantan.
VI. Pembahasan

Anoplura atau biasa dikenal sebagai kutu penghisap, dibagi menjadi tiga spesies
penting yaitu, Pediculus humanus capitis, Pediculus humanis corporis, dan Phthirus
pubis. Ciri-ciri dari ordo Anoplura ini diantaranya adalah tidak bersayap, tidak banyak
bergerak, memiliki antena filiform 3-5 segmen, memiliki bentuk mulut mengisap
dengan probosis yang lembut dan kecil, serta ketiga segmennya pada thorax menyatu.
Ketiga spesies ini juga memiliki siklus hidup yang serupa yaitu melalui fase telur,
nimfa, dan dewasa. Telur akan menetas dalam waktu 7-9 hari dan kemudian akan
berkembang menjadi bentuk dewasa dan bertahan hidup hingga 30 hari.
Pediculus humanus corporis atau kutu badan bersifat kosmopolit dan
penularannya dapat terjadi melalui pakaian, handuk, sprei, atau kontak langsung dengan
hospes. Kutu ini biasanya bersembunyi di area-area yang sulit untuk dijangkau, seperti
diantara jahitan pakaian, sedangakan telurnya biasanya diletakkan di pelipis pakaian
atau rambut pada beberapa bagian tubuh.
Infestasi kutu badan biasanya ditemukan pada manusia yang tinggal di rumah
padat penghuni atau tidak memiliki akses air panas untuk mandi dan mencuci pakaian.
Gejala yang muncul akibat gigitan kutu badan antara lain berupa titik merah yang bias
berkembang menjadi lesi, sakit kepala, anoreksia, demam, dan iritasi pada daerah
gigitan.

17
Pediculus humanus capitis atau kutu kepala hidup dengan menempel di kulit
kepala dan melekatkan telurnya dekat dengan pangkal rambut. Pedikulosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh infestasi dari tuma spesies ini. Pediculus humanus
capitis memiliki 3 pasang kaki yang dilengkapi dengan kuku yang digunakan untuk
berjalan dari satu helai rambut ke helai rambut yang lain dengan cara menjepit rambut
dengan kuku tersebut. Kutu ini mampu untuk hidup 6-24 jam di luar hospes dan akan
segera mati karena kondisi panas dan kering. Kutu rambut dapat hidup sekitar 21 hari
dan akan mati setelah 30 hari sejak menghisap darah yang terakhir kali.
Anak-anak usia 3-11 tahun biasanya lebih sering terinfeksi dengan persentase
tertinggi pada anak perempuan yang kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan
pemakaian sisir atau aksesoris rambut secara bergantian. Pada beberapa kasus, gejala
dari gigtan kutu ini tidak tampak, tetapi ditunjukkan oleh reaksi alergi akibat saliva
yang dihasilkan kutu pada saat menghisap darah hospes. Pada infeksi berat, bisa terjadi
infeksi sekunder hingga helaian rambut akan melekat satu dengan yang lain dan
mengeras. Kutu rambut dapat berperan sebagai vector dari Rickettsia prowazekii yang
merupaka agen infeksi penyakit tifus dan Bartonella Quintana penyebab demam
Wolhynia.
Phthirus pubis dikenal dengan banyak nama, antara lain pubic louse, crab louse,
dan kutu kemaluan. Kutu ini menginfestasi di area pinggang, ketiak, dan beberapa
bagian yang memiliki rambut. Ftiriasis merupakan gangguan yang terjadi di daerah
pubis yang disebabkan oleh infeksi tuma spesies ini. Kutu ini berada di area rambut
kemaluan dan rambut perianal. Metamorfosis dari telur hingga menjadi dewasa kurang
dari satu bulan, telur akan menetas setelah 6-8 hari.
Kutu kemaluan banyak ditemukan pada orang dewasa yang aktif secara seksual
dan pekerja seks komersial. Adanya rasa gatal juga terjadi karena adanya perpindahan
tuma, terutama di daerah pubis. Gejala yang tampak dari gigitan kutu kemaluan antara
lain area gigitan tampak merah dan bengkak, muncul rasa gatal terus-menerus pada
daerah tersebut, adanya pigmentasi berwarna biru keabu-abuan pada area gigitan akibat
reaksi pigmen darah atau substansi yang dihasilkan oleh air liur.

VII. Daftar Pustaka


Dosen Teknologi Laboratorium Medik Indonesia. 2019. Parasitologi Teknologi
Laboratorium Medik. Sahat M.O., editor. Jakarta : EGC.
Safar, Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran : Protozologi, Entomologi, dan
Helmintologi. Bandung : Yrama Widya

18
PENGAMATAN INSEKTA ORDO ANOPLURA
FAMILIA SHIPANOPTERA DAN HEMIPTERA

Identitas Sampel : Sampel laboratorium

I. Tujuan
1. Melakukan Pengamatan Morfologi Preparat Ctenocephalides canis.
2. Melakukan Pengamatan Morfologi Preparat Ctenocephalides felis.
3. Melakukan Pengamatan Morfologi Preparat Xenopsyla cheopis.
4. Melakukan Pengamatan Morfologi Preparat Cimex sp.
5. Mempelajari Patogenitas, Gejala klinis, dan Epidemiologi masing-masing spesies
yang diamati.

II. Alat dan Bahan


E. Alat F. Bahan
6. Mikroskop. 3. Preparat (sampel).
7. Obyek glass. 4. Alkohol Mikroskop.
8. Deck glass. 5. Kapas.

III. Cara Kerja


5. Bersihkan lensa mikroskop terlebih dahulu dengan menggunakan kapas yang sudah
di berikan alkohol mikroskop.
6. Letakkan preparat (sampel) diatas meja mikroskop.
7. Lakukan pengamatan dengan menggunakan lensa obyektif 10x dan lensa okuler 5x
atau 10x.
8. Membuat gambar morfologi dari preparat (sampel) yang diamati, kemudian diberi
keterangan pada tiap bagian.
9. Pelajari patogenitas, gejala klinis dan epidemiologi masing-masing spesies yang
diamati

19
IV. Hasil

Badan berbentuk pipih bilateral


Bagian tubuh :

A. Chepalus / Kepala
Ctenocephalides canis 1. Kepala curam (panjang = tinggi).
2. Oral comb atau gigi sisir (spina 1
lebih pendek dari spina 2).
7 3 16
11 3. Pronatal comb.
6
4. Oculair bristle (bulu mata).
1 5. Maxillary palpus atau Probocis
4
(alat mulut).
6. 1 pasang mata.
2 22
7. 1 pasang antena.
5
17
11 B. Thorax
10 15 8. Thorax (Prothorax, Metathorax,
13 dan Mesothorax).
12 9
14 9. 3 pasang kaki.
10. Koksa.
20 11. Garis Pleural.
12. Tarsus.
13. Tibia.
14. Bulu Postmedian.
15. Bulu panjang apical.
18

19 C. Abdomen
16. Abdominal Tergite (abdomen
atas).
17. Abdominal Sternite (abdomen
bawah).
21
18. Antepygideal Bristle (bulu
abdomen).
19. Pygideum (sebagai bantalan saat
kopulasi).
20. Spiracle (pada ruas 1-7).
21. Spermateca (alat kelamin betina).
22. Peneal Organ (alat kelamin
jantan).

20
Badan berbentuk pipih bilateral
Bagian tubuh :

Ctenocephalides felis C. Chepalus / Kepala


3. Kepala landai (panjang 2x tinggi).
4. Oral comb atau gigi sisir (spina 1
6 7 3
8
= spina 2).
1
18 5. Pronatal comb.
6. Oculair bristle (bulu mata).
4 19
7. Maxillary palpus atau Probocis
2 (alat mulut).
8. 1 pasang mata.
5
9. 1 pasang antena.
10
21

11 D. Thorax
12 15
10. Thorax (Prothorax, Metathorax,
13
dan Mesothorax).
14
9 11. 3 pasang kaki.
12. Koksa.
13. Garis Pleural.
20 14. Tarsus.
16
15. Tibia.
16. Bulu Postmedian.
17. Bulu panjang apical.

22 E. Abdomen
18. Abdominal Tergite (abdomen
atas).
17
19. Abdominal Sternite (abdomen
bawah).
20. Antepygideal Bristle (bulu
abdomen).
21. Pygideum (sebagai bantalan saat
kopulasi).
22. Spiracle (pada ruas 1-7).
23. Spermateca (alat kelamin betina).
24. Peneal Organ (alat kelamin
jantan).

Xenopsyla cheopis
Badan berbentuk pipih bilateral.
1 3 4 15 Bagian tubuh :
6
A. Chepalus / kepala
1. Kepala curam.

21
2. Oculair Bristle (bulu mata).
3. 1 pasang mata.
4. 1 pasang antena.
2
5. Probocis (alat mulut).
5 18

11 B. Thorax
6. Thorax (Prothorax, Metathorax,
9 12
8 dan Mesothorax).
10
7. 3 pasang kaki.
7
8. Koksa.
16 9. Tarsus.
10. Tibia.
11. Bulu Postmedian.
13
12. Bulu panjang apical.

C. Abdomen
13. Abdominal Tergite (abdomen
16
atas).
14. Abdominal Sternite (abdomen
17 bawah).
15. Antepygideal Bristle (bulu
14 abdomen).
16. Pygideum (sebagai bantalan saat
kopulasi).
17. Spermateca (alat kelamin betina).
18. Peneal Organ (alat kelamin
jantan).

22
Cimex sp Badan berbentuk oval pipih dorsoventral.
Bagian tubuh :

3
A. Chepalus / Kepala
2 1. 1 pasang mata.
2. 1 pasang antena dengan 8 ruas.
1 3. Proboscis yang dapat dilipat
kebelakang bila tidak digunakan.

4
B. Thorax .
4. 3 pasang kaki.

5
C. Abdomen (terdiri dari 8 ruas, ruas 9
dan 10 organ genital).
5. Muara kelenjar berlese (alat
kelamin betina).
6. Edeagus (alat kelamin jantan).

V. Kesimpulan
Dalam sampel laboratorium yang diperiksa ditemukan Ctenocephalides canis,
Ctenocephalides felis, Xenopsyla cheopis, dan Cimex sp.

VI. Pembahasan

Klasifikasi Ilmiah Ctenocephalides

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Siphonaptera

Famili : Pulicidae

22
Genus : Ctenocephalides

Spesies : Ctenocephalides canis , Ctenocephalides felis

Ctenocephalides canis adalah kutu yang terdapat pada anjing atau menggunakan
anjing sebagai hospes. Pinjal ini sangat mengganggu anjing karena dapat menyebabkan
Dipylidium caninum. Secara morfologi tubuh pinjal dewasa berbentuk pipih bilateral
sehingga dapat dilihat dari samping. Bentuk tubuh yang unik ini sesuai dengan
inangnya, hewanhewan berbulu lembut menjadi inang yang nyaman. Pinjal mempunyai
ukuran kecil, larvanya berbentuk cacing (vermiform) sedangkan pupanya berbentuk
kepompong dan membungkus diri dengan seresah. Pada pinjal anjing atau
Ctenocephalides canis memiliki ciri khas yaitu bentuk kepala yang curam dan memiliki
oral comb.

Peranan medis Ctenocephalides canis adalah menginfeksi manusia melalui


gigitannya dan juga melalui tinja yang mengandung Yersinia pestis yang masuk melalui
luka gigitannya (anterior inokulatif dan posterior kontaminatif). Bakteri yang masuk
mula-mula menyebabkan terjadinya peradangan dan pembesaran kelenjar limfe dan
terbentuknya benjolan atau bubo. Gangguan utama yang ditimbulkan oleh pinjal adalah
gigitannya yang mengiritasi kulit dan cukup mengganggu. Ctenocephalides canis
berperan sebagai inang antara cacing pita Dipylidium caninum dan Hymenolepis
diminuta.

Ctenocephalides felis adalah kutu yang terdapat pada kucing atau menggunakan
kucing sebagai hospes. Ctenocephalides felis memiliki metamorfosis sempurna dan
memperoleh makanan dengan cara menghisap darah. Pada Ctenocephalides felis
memiliki morfologi yaitu sisir pronotal dan sisr gena. Sisir gena terdiri atas delapan
atau sembilan duri yang tersusun secara horisontal. Bagian depan kepala memiliki
bentuk miring dan memanjang ( landai ) . Tibia pada tungkai bagian belakang memiliki
enam bantalan seta. Pinjal jantan memiliki aedeagus atau penis berkhitin berbentuk
seperti per melingkar yang terletak di antara segmen enam sampai delapan bagian
abdomen. Pinjal betina pada segmen yang sama memiliki kantung spermateka untuk
menyimpan sperma sementara.

Pada kucing Ctenocephalides felis dapat menyebakan alergi pada kulit kucing
yang ditandai dengan rasa gatal, perubahan warna kulit menjadi kemerahan dan terjadi
pebipisan pada rambut kucing pada daerah gigitan. Kucing dengan infestasi pinjal yang
tinggi umumnya merasa terganggu dan mencoba untuk menghilangkan pinjal dengan
cara menggaruk atau menjilat sumber gangguan / gigitan yang disebabkan
Ctenocephalides felis.

Peranan Medis Ctenocephalides felis adalah dapat menjadi perantara dari cacing
pita Dipylidium caninum, sehingga kucing yang menjadi inangnya akan ikut terinfeksi

23
oleh cacing pita. Dipylidium caninum yang menginfeksi kucing dapat menginfeksi
manusia (Dipylidiasis).

Klasifikasi Ilmiah Xenopsylla cheopis

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Siphonaptera

Famili : Pulicidae

Genus : Xenopsylla

Spesies : Xenopsylla Cheopis

Secara umum Xenopsylla Cheopis memiliki ciri-ciri morfologi tidak bersayap,


merupakan ektoparasit pada hewan berdarah panas (tikus), memiliki kaki belakan yang
panjang dan kuat yang berfungsi untuk meloncat dan memiliki metamorfosis yang
sempurna. Xenopsylla Cheopis sering di jumpai pada tikus hidup di daerah tropis dan
dalam lingkungan hangat. Xenopsylla Cheopis menggunakan tikus sebagai hospesnya.

Xenopsylla Cheopis memiliki ciri khusus yaitu memiliki kepala yang membulat
dan tidak memiliki comb pada bagian genal , pronatal maupun abdomial , terdapat
Mesopleural road, dan occulair bristle terletak didepan oceli. Xenopsylla Cheopis
memiliki peranan dalam penyebaran penyakit pes.

Pes merupakan penyakit karantina internasional di indonesia termasuk penyakit


yang timbul kembali dan dapat menyebabkan kejadian luar biasa. Penyakit pes
disebabkan oleh enterobakteria yang bernama Yersinia pestis. Bakteri ini disebarkan
oleh sejenis hewan pengerat dan dalam banyak permukiman diberbagai negara di
seluruh dunia. Tikus merupakan jenis hewan pengerat yang cukup akrab ditemui
sebagai penyebab penyakit pes. Yersinia pestis ditransmisikan melalui pinjal
Xenopsylla Cheopis yang terinfeksi, manusia yang terinfeksi mampu menularkan pes
secara langsung ke manusia yang lain. Kuman pes, yaitu bakteri Y. Pestis akan
berkembang biak di dalam tubuh pinjal Xenopsylla Cheopis sehingga akan menyumbat
tenggorokan pinjal. Jika pinjal akan menghisap darah maka pinjal harus terlebih dahulu
muntah untuk mengeluarkan Y. pestis yang menyumbat tenggorokan pinjal. Muntahan
pinjal akan masuk kedalam luka bekas gigitan dan terjadi infeksi.

24
Klasifikasi ilmiah Cimex Sp.

Kingdom : Animalia

Filum : Anthropoda

Classis : Insecta

Family : Cimicidae

Genus : Cimex

Spesies : Cimex lectularius, Cimex hemipterus

Morfologi Cimex Sp. dewasa berukuran 4-5,5 mm. Bentuk badannya oval, pipih.
Bersegmen terdiri atas kepala, thorax, dan abdomen, berwarna kuning coklat pada
larva dan merah pada imago. Cimex Sp. betina memiliki ukuran tubuh sedikit lebih
besar daripada Cimex Sp. jantan dan tidak memiliki sayap. Hidupnya pada sela-sela
perabot rumah tangga seperti kursi, tempat tidur, juga terdapat pada sela-sela dinding
rumah. Pada sarang wallet juga ada, namun bentuk spesies nya berbeda.

Penyebaran Cimex Sp. sangat luas pada daerah tropis. Cimex lectuarius yang
banyak dijumpai di daerah subtropics dan Cimex hemipterus yang terdapat pada
daerah tropis. Gigitan Cimex Sp. menimbulkan bekas berwarna merah disertai rasa
gatal di daerah gigitan. Mereka menyuntikkan anastesi pada kulit ketika menggigit,
sehingga gigitan kutu busuk tidak akan disadari pada awal gigitannya. Cimex Sp. juga
menghisap darah pada malam hari dan memiliki bau yang khas (busuk). Bau tersebut
berasal dari atau dikeluarkan oleh Stink Gland.

Cimex Sp. menghasilkan 200-500 telur selama 2 hari. Telur ini menempel pada
barang/perabotan atau alat barang-barang lain yang disatukan pada bahan yang
transparan. Siklus hidupnya terdiri dari 3 stadium yaitu telur-nimfa(1-5)-dewasa.
Umumnya masa hidup Cimex Sp. adalah sekitar 10 bulan. Mereka juga dapat
bertahan hidup selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan tanpa makan.

Diagnosis, pencegahan, dan pengobatan gigitan Cimex Sp. adalah dengan


menemukan tanda keberadaan Cimex Sp. pada tubuh/perabotan rumah.
Pencegahannya dapat dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida.
Pengobatannya dengan menggunakan salep kortikosteroid atau antihistamin.

VII. Daftar Pustaka


Bashofi, Aulia. dkk. 2015. Infeksi Pinjal Dan Infeksi Dipylidium caninum linnaeus
Pada Kucing Liar. Jurnal Entomologi Indonesia. Vol 12 (2).
Mahendrasari, Dyah. 2015. Resistensi Pinjal Tikus ( Xenopsylla cheopis ) Terhadap
Insektisida Dalam Penanggulangan Penyakit Pes. SPIRAKEL. Vol 7 (1).

25
Natadisatra, Djaenudin.2005.Parasitologi Kedokteran Dituju Dari Tubuh Orang Yang
Diserang. EGC:Jakarta
Prianto, Juni,dkk.1995.Parasitologi Kedokteran.Gramedia Pustaka Utama:Jakarta
Yuniarti, Wiwik. dkk. 2013. Infeksi Dipylidium caninum Pada Kucing. Vetmedika Jklin
Vet. Vol 1 (2).

26
Pengamatan Insekta Ordo Dipthera
Lalat

Identitas Sampel : Sampel Laboratorium

I. Tujuan
a. Melakukan pengamatan morfologi preparat pada preparat lalat
b. Mengidentifikasi morfologi lalat
c. Mempelajari Gejala Klinis dan Epidemiologi lalat
II. Alat dan Bahan
a. Mikroskop
b. Obyek Glass
c. Deck Glass
d. Preparat
e. Alkohol Mikroskop
f. Kapas
III. Cara Kerja :
a. Bersihkan lensa mikroskop terlebih dahulu dengan menggunakan alcohol mikroskop
b. Letakkan preparat di atas meja mikroskop
c. Lakukan pengamatan menggunakan lensa obyektif 10 x dan lensa okuler 5 x dan 10
x
d. Membuat gambar morfologi dari preparat (sampel) yang diamati, kemudian diberi
keterangan pada tiap bagian
e. Pelajari patogenitas, gejala klinis, dan Epidemiologi lalat
IV. Hasil

27
Musca domestica Keterangan

A. Kepala
1. mata majemuk
2. arista
3. antena
4. probosis

B. Thorax
1. Kaki
2. Sepasang sayap
3. Sepasang helter

C. Abdomen

Phlebotomus sp. Keterangan


A. Kepala
1. Sepasang mata faset yang besar
2. Sepasang antena berbulu lebat
3. Probosis

B. Thorax
1. Sepasang halter
2. 3 pasang kaki
3. Sepasang sayap

C. Abdomen

28
V. Kesimpulan
Dalam sampel laboratorium yang diperika ditemukan hasil Musca domestica dan
Phlebotomus sp.

VI. Pembahasan
Lalat merupakan salah satu insekta ordo Dipthera yang merupakan anggota kelas
Hexapoda atau insekta yang mempunyai jumlah genus dan spesies yang terbesar yaitu
mencakup 60-70 %, dan seluruh spesies Antropoda. Mulut lalat digunakan sebagai alat
untuk menghisap atau menjilat, lalat merupakan vektor penyakit, terutama penyakit-
penyakit pada saluran pencernaan makanan, penyakit yang ditularkan tergantung
spesiesnya.
Salah satu penyakit yang dibawa lewat air liur lalat adalah Leishmaniasis, jenis lalat
yang membawa ini adalah lalat Plebotomus sp. atau akrab dipanggil sebagai lalat pasir.
Leishmania adalah genus dari Trypanosome protozoa, parasit yang menyebabkan
penyakit Leishmaniasis. Pada waktu Plebotomus sp. menghisap darah, maka amazigot
Leishmania akan ikut terhisap dan masuk ke dalam lambung, lalu berubah menjadi
stadium promatosigot, berkembang biak dengan cepat secara belah pasang longitudinal
dan menjadi banyak dalam waktu 3-5 hari. Kemudian stadium promatozigot/ stadium
infektif akan bermigrasi melalui esophagus dan faring ke saluran hipofaring yang
terdapat probosis (Khairiati, 2018).

VII. Daftar Pustaka


Nada, Khairiati. 2018. Patogenitas Gejala Klinis Kelas Insekta. Banjar Baru : Yayasan
Borneo Lestari

29
Praktikum Diptera
Nyamuk

Identitas Sampel : Preparat Laboratorium

I. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu melakukan koleksi telur nyamuk dengan menggunakan
perangkap telur/ovitrap
2. Mahasiswa mengetahui tempat berkembang biak nyamuk ( indoor dan
outdoor)
3. Mahasiswa dapat mengitung Indeks Perangkap Telur

II. ALAT DAN BAHAN


A. Alat B. Bahan
1. Mikroskop 1. Preparat (sampel)
2. Obyek glass 2. Alkohol mikroskop
3. Kaleng bekas 3. Kapas
4. Kain kasa
5. Deck glass

III. CARA KERJA


1. Tentukan beberapa lokasi yang menjadi tempat nyamuk bersarang
(sawah, kebun, teras rumah, dalam ruangan).
2. Isi kaleng/gelas dengan air sumur
3. Lilitkan kain kasa didalam gelas sehingga separo dari kertas
terendam air
4. Tempatkan gelas pada tempat yang banyak nyamuk
5. Biarkan selama 1 minggu
6. Cek gelas untuk melihat ada tidaknya telur yang terperangkap
7. Bersihkan lensa mikroskop terlebih dahulu dengan menggunakan kapas yang
sudah di berikan alkhohol mikroskop.
8. Letakkan preparat (sampel) di atas meja mikroskop.
9. Lakukan pengamatan dengan menggunakan lensa obyektif 10 atau 40x dan
lensa okluer 5x atau 10 x.
10. Membuat gambar morfologi dari preparat (sampel) yang di amati kemudian
diberi keterangan pada tiap bagian.

30
IV. HASIL

Telur Anopheles sp Berbentuk oval seperti perahu dengan

pelampung di sebelah lateral

1. Susunan 1 per 1 sejajar dengan


permukaan air
2. Pelampung
3. Beeding Place (Tempat perindukan)
menyukai semua jenis air

Telur Aedes sp Berbentuk oval panjang atau elip


warna coklat kehitaman

1. Dinding seperti anyaman kasa


2. Tanpa pelampung
3. Susunan 1 per 1 pada dinding bejana
4. Beeding place menyukai genangan air
sementara

31
Telur Culex sp Bentuk oval panjang salah satu
runcing, ukuran 0,7 mm

1. Tanpa pelampung
2. Susunan berkelompok seperti rakit
3. Terdapat Oppercolum di sebelah
bawah seperti mangkok
4. Beeding place menyukai genngan air
permanen

Telur Mansonia sp Bentuk runcing seperti duri dengan


ukuran 0,7 mm

1. Susunan berkelompok seperti rakit


2. Membentuk sudut dengan permukaan
air
3. Beeding place menyukai air yang
ditumbuhi banyak tanaman air

Larva Anopheles Sp A. Kepala

1. Antena
2. Mata majemuk 1 pasang
3. Mouth brush/sikat mulut
A. Thorax
1. Bulu bulu thorax
B. Abdomen
1. Tergal plate abdomen dorsal ruas
1-7
2. Sekat palmata
3. Bulu abdomen
4. Segmen anal
5. Pelana
6. Siphon pendek

32
Larva Aedes sp

A. Siphon gemuk
1. Spirakel
2. Trhakea
3. Bulu bulu anal
4. Papil anal 4 buah
5. Pelana
6. Com/sisir pada ruas 8
Larva Culex sp

A. Siphon berbentuk panjang langsing


1. Spirakel
2. Bulu siphon lebih dari 1 pasang
3. Pecten 1 pasang
B. Segmen anal
1. Bulu anal\
2. Papil anal 4 buah
3. Pelana
4. Comb/sisir
Larva Mansonia sp

A. Siphon
1. Katub penembus untuk menghisap
udara
B. Segmen anal
2. Bulu anal
3. Papil anal
4. Pelana

33
V. KESIMPULAN
a. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Telur Anopheles sp
b. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Telur Aedes sp
c. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Telur Culex sp
d. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Telur Mansonia sp
e. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Larva Anopheles sp
f. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Larva Aedes sp
g. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Larva Culex sp
h. Dalam preparat laboratorium yang diperiksa ditemukan Larva Mansonia sp

VI. PEMBAHASAN
Jumlah jenis nyamuk yang pernah dilaporkan dari Indonesia lebih dari 457 jenis
nyamuk dari 18 marga. Jenis-jenis tersebut terutama didominasi oleh marga dari Aedes,
Anopheles dan Culex yang mencapai 287 jenis. Ketiga marga tersebut lebih mendapat
perhatian karena umumnya bersifat zoofilik atau anthrofilik, yang akhirnya dapat
berpotensi sebagai vektor penyakit. Berbagai jenis virus, plasmodia atau filaria pernah
dilaporkan ditularkan oleh jenis-jenis dari ketiga marga tersebut. Tetapi bukan berarti
jenis lain menjadi tidak penting, misalnya jenis- jenis yang bersifat fitofilik (menghisap
cairan tumbuhan). Jenis nyamuk fitofilik jarang dijumpai karena tidak menyerang
manusia, sehingga untuk mengkoleksinya perlu dipelihara dari bentuk larvanya.
Edward (dalam Barraud, 1934) menganjurkan untuk memeriksa genangan air pada
tempat-tempat spesifik, seperti ketiak (axil) daun, ruas bambu atau kantung semar,
karena tempat-tempat ini biasanya diperoleh jenis-jenis yang jarang dijumpai atau
belum teridentifikasi. Oleh sebab itu, kemungkinan mendapatkan jenis baru atau
catatan baru (new record) untuk jenis tertentu cukup terbuka. Pada umumnya nyamuk
membutuhkan air sebagai tempat perindukannya. Penentuan tempat perindukan
bergantung pada jenis nyamuk dan faktor lingkungan yang mendukung untuk
pertumbuhan larva. Genangan air pada ruas bambu, pohon yang berlubang, pinggiran
sungai atau pesawahan serta factor lingkungan yang cocok seperti pencahayaan dan
kelembaban sudah cukup untuk dijadikan tempat perindukan nyamuk.

Marga Aedes

1. Ae. (Stegomyia) albopictus (Skuse), 1894


Jenis albopictus termasuk dalam group scutellaris (subgroup albopictus), merupaka
n salah satu jenis yang paling umum dijumpai di Asia Tenggara. Nyamuk dewasa dibed
akan dari jenis lain karena memiliki ciri garis putih memanjang di tengah skutum dan b
ercabang di daerah preskutelar; bagian samping skutum sebelum pangkal sayap terdapat
sekelompok sisik putih yang tebal.

Biologi: Larva terutama dapat dijumpai di pohon berlubang, tunggul bambu, tempat
penampungan air buatan mirip dengan Ae. aegypti. Nyamuk betina menyerang manusia
pada siang hari.

34
Status vektor: Jenis ini sangat penting dalam menularkan virus demam berdarah, virus
Japanese encephalitis, Plasmodium spp., Dirofilaria spp., Wucheria bancrofti (Basio 1
971; Huang 1972).

Penyebaran: Filipina, Kep. Ryukyu, Hongkong, Cina, Viet Nam, Kamboja, Thailand,
Burma, Malaysia, India, Ceylon, Singapura, Nepal, Jepang, Kep. Hawai, Madagaskar, I
ndonesia (Sumatera, Kalimantan, Kep. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), Sulawesi, Malu
ku & Irian).

2. Ae. (Stegomyia) annandalei (Theobald), 1910


Ae. ananndalei termasuk dalam group w-albus dan subgroup ananndalei. Jenis ini di
bedakan dari jenis lain karena memiliki tanda bercak putih sampai pertengahan skutum
dan cuping tengah skutelum bersisik hitam yang lebar, sedangkan dua cuping disampin
g nya bersisik putih.

Biologi: Larva terutama ditemukan di tanggul bambu. Nyamuk betina menyerang m


anusia pada siang hari di hutan sekunder.

Status vektor: Belum diketahui.

Penyebaran: Viet Nam, Thailand, Burma, India, Taiwan, Indonesia (Sumatera, Jawa,
Kep. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya).

Marga Culex

Nyamuk Culex biasanya memilih genangan air tanah sebagai tempat perindukan
nya, seperti pada pohon berlubang, ruas dan tunggul bamboo dan tempat-tempat penam
pungan air lainnya. Bentuk larva ada yang bersifat predator bagi larva jenis lain (anak m
arga Lutzia) atau arthropoda kecil yang hidup dalam habitat yang sama. Perilaku makan
nyamuk dewasa sangat bervariasi, Anak marga Culex biasanya sebagai penghisap darah
mamalia dan burung, sedangkan Lophoceraomyia dan Lutzia umumnya sebagai penghis
ap darah unggas, dan Neoculex terutama sebagai penghisap darah reptilia dan ampibi. B
eberapa jenis Culex diketahui sebagai penular sejumlah organisme patogen di Asia Ten
ggara, tetapi kemungkinan ini hanyalah infeksi insiden saja. Dua jenis dari Anak marga
Culex, yaitu Cx. Gellidus dan Cx. tritaeniorhynchus merupakan vektor penting bagi pen
yakit Japanese encephalitis di Asia Tenggara dan Cx. pipiens quinquefasciatus sebagai
vektor penting untuk penularan penyakit urban filariasis yang ditimbulkan oleh Wucher
eria bancrofti.

3. Anopheles
Kehidupan nyamuk sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan yang ada seperti
suhu, kelembapan, curah hujan, salinitas, derajat keasaman, oksigen terlarut, tumbuhan
air dan hewan air lainnya. nyamuk yang hidup di air payau (Anopheles sundaicus dan
Anopheles subpictus), disawah (Anopheles aconitus) dan air bersih pegunungan

35
(Anopheles maculatus). Lingkungan fisik mempengaruhi tempat perkembangbiakan
nyamuk An. Sundaicus, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah air. Curah hujan
berperan pada tersedianya air sebagai tempat perindukan nyamuk yang mempengaruhi
rawa dan genangan air. Suhu air sangat berpengaruh pada perkembangbiakan larva,
umumnya larva lebih menyenangi tempat yang hangat. Oleh sebab itu larva Anopheles
lebih banyak dijumpai didaerah tropis. Waktu tetas telur Anopheles tergantung suhu air,
semakin tinggi suhu air (dalam batas tertentu) akan lebih cepat menetas menjadi instar.

Daftar Pustaka
Delfinado, M.D. 1966. The culicine mosquitoes of the Philippines, tribe Culicini
(Diptera:Culicidae). Mem.Amer.Ent. Inst. 7, 252 pp.
Basio, R.B. 1971. The mosquito fauna of the Philippines (Diptera:Culicidae). National
Museum of the Philippines. Monograph No. 4: 1-190.
Harrison, B.A. & J.E. Scanlon. 1975, Medical entomology studies -
II. The Anak marga Anopheles in Thailand (Diptera:Culicidae). Contributions of
the American Entomological Institute 12(1): 1-307.
Pratama, Gilang Yogi. 2015. Nyamuk Anopheles sp dan factor yang mempengaruhi di
kecamatan Rajabasa, lampung selatan. J volume 4 no 1

36
Pembuatan Preparat Permanen

I. Tujuan
Untuk Mengetahui cara membuat preparat yang baik dan benar
II. Alat dan Bahan
Alat :
1. Beaker glass
2. Batang pengaduk
3. Pipet tetes
4. Objek glass
5. deck glass
6. Mikroskop
7. Jarum seksi
8. Tissue
Bahan :
1. Larutan Chloroform / HCN
2. Larutan KOH 10 %
3. Alkohol 70%, 80 %, dan 90 %
4. Aquadest
5. Baksem Kanada / Ethelan
6. Bahan Preparat ( telur, larva, pupa, nyamuk dewasa )
III. Cara Kerja
1. Bahan preparat (telur, larva, pupa, nyamuk dewasa) dimatikan dengan larutan
chloroform / HCN.
2. Bahan preparat yang sudah mati dimasukan ke dalam larutan KOH 10 % (
rendam selama 24 jam atau lebih sampai jernih ).
3. Cuci dengan menggunakan aquadest 1-2 tetes.
4. Rendam dengan Alkohol 70% selama 2 jam, rendam dengan Alkohol 80 %
selama 1 jam dan rendam dalam Alkohol 90 % selama 1 jam.
5. Ambil dengan pipet tetes tempelkan pada objek glass dan keringkan dengan
tissue.
6. Tambahkan balsem Kanada kemudian tempelkan deck glass di atasnya.
7. Tekan deck glass sampai balsem kanada merata.
8. Kemudian beri label ( spesies dan tanggal pembuatan ).
9. Simpan preparat.

37
IV. Hasil

Anopheles Keterangan

Caput Anopheles jantan  Mata : 1 pasang


 Antena pilose : 1 pasang
 Betina : Palpus maksilaris sama
dengan probosis (ruas ke-4 lebih
panjang dari ruas ke-5)
Jantan : palpus maksilaris lebih
panjang dari probosis ujungnya
membesar
 Probosis 1

Aedes Keterangan

38
Caput Aedes betina  Mata : 1 pasang
 Antena pilose : 1 pasang
 Betina : Palpus masilaris lebih
pendek dari probosis (ruas ke-4
lebih panjang dari ruas ke-5)
Jantan : palpus maksilaris lebih
panjang dari probosis
 Probosis 1

Caput Aedes jantan

Culex Keterangan
 Mata : 1 pasang
Caput Culex betina  Antena pilose : 1 pasang
 Betina : palpus maksilaris lebih
pendek dari probosis (ruas ke-5
lebih panjang dari ruas ke-4)
Jantan : palpus maksilaris lebih
panjang dari probosis membentuk
capit
 Probosis

39
Telur Nyamuk
Telur Anopheles  Telur mempunyai alat
apung
 Diletakkan satu per satu di
permukaan air

Telur Aedes  Telur mempunyai anyaman


seperti kasa pada dinding
telur
 Telur tanpa alat apung,
menempel pada dinding
container, tepat di atas
permukaan air jernih

Telur Culex  Telur tersusun seperti


rakit di atas permukaan
air keruh
 Mempunyai operculum
pada salah satu sisi

40
Larva Nyamuk
Larva Anopheles  Larva tidak
bersifon, tetapi
punya sepasang
lubang spirakel
pada segmen
abdomen ke delapan
 Di bagian dorsal
abdomen tersusun
lempeng dari khitin
dan terdapat sikat
atau bulu palmata
pada samping kiri
dan kanan segmen
abdomennya
 sewaktu istirahat
sejajar dengan
permukaan air
Larva Aedes  Larva mempunyai
sifon (terompet)
pada segmen
abdomen VIII
 Sewaktu istirahat
sifon membentuk
sudut di permukaan
air jernih
 Sifon dengan satu
berkas rambut di
seberang distal
pekten
Larva Culex  Larva mempunyai sifon
(terompet) pada
segmen abdomen VIII
 Sewaktu istirahat sifon
membentuk sudut di
permukaan air keruh
Sifon dengan lebih dari
satu berkas rambut di
seberang distal pekten

41
Larva Mansonia  Larva mempunyai sifon
(terompet) pada
segmen abdomen VIII
 Ujung sifon dengan
katup penembus dan
menancap (melekat)
pada akar-akar tanaman
air (Pistia, Eichornia,
Salvinia)

Pupa Nyamuk
Pupa Anopheles  Sifon pendek, tumpul,
dengan celah pada satu
sisinya

Pupa Aedes  Sifon agak panjang


 Bagian tepi paddle berduri
pendek (Aedes aegypti)
 Bagian tepi paddle berbulu
panjang (Aedes albopictus)

Pupa Culex  Sifon panjang dan ramping


 Tepi paddle halus

Pupa Mansonia  Sifon dengan katup


penembus, dan melekat
pada tumbuhan air

V. Kesimpulan
Dalam pembuatan preparat permanen bershasil membuat preparat telur, pupa,
larva dan nyamuk dewasa

42
VI. Pembahasan
Epidemiologi demam dengue (dengue fever/DF) cukup di Indonesia, karena
vektor pembawa dengue menyebar secara luas dan cepat sehingga DF adalah salah

satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Menurut WHO, dengue merupakan


penyakit yang menjadi beban kesehatan, ekonomi dan sosial pada populasi di daerah
endemik. Dalam 50 tahun terakhir, insidensi dengue telah meningkat 30 kali di
seluruh dunia. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor pembawa penyakit
virus dengue adalah yang paling cepat ke seluruh dunia, karena dapat hidup dan
berkembang biak bukan hanya pada daerah tropis tapi juga pada daerah subtropis.
Siklus hidup nyamuk dimulai dari telur kemudian menjadi larva, setelah itu
berubah menjadi pupa kemudian menjadi nyamuk dewasa.

VII. Daftar Pustaka


Jacob,A , Victor D. Pijoh, G. J. P. Wahongan. 2014. KETAHANAN HIDUP DAN
PERTUMBUHAN NYAMUK AEDES SPP PADA BERBAGAI JENIS AIR
PERINDUKAN. 2(3)

43
LAPORAN MINI PROYEK

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS BAHAN ALAMI DAN BAHAN KIMIA


TERHADAP MORTALITAS Ctenochepalides Felis

Identitas Sampel : Ctenochepalides Felis

I. Tujuan
Untuk mengetahui Perbandingan efektifitas bahan alami dan bahan kimia tehadap
mortalitas Ctenocephalides felis
II. Alat dan Bahan
A. Alat G. Bahan
1. Cawan petri 1. Kutu kucing (Ctenocephalides
2. Gunting felis))
3. Spidol 2. Minyak telon
4. Pincet 3. Minyak kelapa
5. Tabung serologi 4. Minyak kayu
6. Blue tip 5. Air garam
7. Clinipet 6. Cuka
8. Plester 7. Kontrol positif (Obat Kutu
9. Kertas saring “Untick”)

III. Cara Kerja


1. Kerta saring seukuran cawan petri dimasukkan ke dalam cawan petri
2. Bahan uji diteteskan sebanyak 0.5 mL dan dipastikan tersebar merata pada kertas
saring
3. 5 ekor Ctenocephalides felis dimasukkan kedalam cawan petri yang berisi kertas
saring yang telah ditetesi bahan uji
4. Cawan petri tersebut ditutup
5. Pergerakan diamati pada 5 menit pertama selanjutnya amati setiap 5 menit sekali
selama 1 jam

IV. Hasil dan Pembahasan


Penelitian ini menggunakan Cuka Apel, Miyak Kelapa, Minyak Kayu Putih “Cap
Lang”, Minyak Telon “Telon Lang”, dan Air Garam sebagai sampel, serta Obat Kutu
“Untick” sebagai kontrol positif. Kutu kucing (Ctenocephalides felis) stadium dewasa
yang diuji sebanyak tiga puluh ekor dengan pembagian 5 ekor setiap bahan uji.
Hasil uji efektivitas terhadap mortalitas kutu kucing (Ctenocephalides felis) dapat
dilihat pada tabel 1 dan tabel 2

44
Tabel 1. Hasil Pengamatan Uji Efektivitas terhadap Ctenocephalides felis
setiap 5 menit
Bahan Uji
Minyak
Waktu Cuka Minyak Minyak Air
Kontrol Kayu
Apel Kelapa Telon Garam
Putih
1 mati, 1
1 hidup
2 mati, 3 hidup
pasif, 4 5 hidup 1 mati, 4 5 hidup
5 menit hidup pasif, 3
hidup pasif hidup pasif
pasif hidup
aktif
aktif
1 mati, 2
3 mati, 2 3 mati, 2 hidup
1 mati, 4
10 menit hidup hidup pasif, 2 5 mati 5 mati
hidup
pasif pasif hidup
aktif
3 mati, 2
4 mati, 1 3 mati, 2
hidup 1 mati, 4
15 menit hidup hidup
pasif hidup
pasif pasif

4 mati, 1 3 mati, 2 3 mati, 2


1 mati, 4
20 menit hidup hidup hidup
hidup
pasif pasif pasif
4 mati, 1 3 mati, 2
1 mati, 4
25 menit hidup 5 mati hidup
hidup
pasif pasif
4 mati, 1 3 mati, 2
1 mati, 4
30 menit hidup hidup
hidup
pasif pasif
4 mati, 1 3 mati, 2
1 mati, 4
35 menit hidup hidup
hidup
pasif pasif
4 mati, 1
1 mati, 4
40 menit 5 mati hidup
hidup
pasif
4 mati, 1
1 mati, 4
45 menit hidup
hidup
pasif
1 mati, 4
50 menit 5 mati
hidup
1 mati, 4
55 menit
hidup

45
1 mati, 4
60 menit
hidup

Tabel 2. Hasil Uji Efektifitas terhadap Ctenocephalides felis

Waktu yang dibutuhkan untuk


Bahan Uji
membunuh 100% Ctenocephalides felis
Kontrol 38 menit 34 detik
Cuka Apel 23 menit 56 detik
Minyak Kelapa 50 menit
Minyak Telon 5 menit 32 detik
Minyak Kayu Putih 7 menit 43 detik
Air Garam >60 menit

Selama proses pemeriksaan pada kontrol positif terhadap lima kutu kucing
didapatkan semua kutu mati pada menit ke 38 detik ke 34. Hasil ini dijadikan
pembanding untuk menyimpulkan apakah bahan uji efektif membunuh
Ctenocephalides felis.

Berdasarkan hasil penilitian, semua bahan uji kecuali air garam dapat dikatan
efektif dalam membunuh Ctenocephalides felis. Minyak Telon yang memberikan
pengaruh paling cepat yaitu 5 menit 32 detik semua Ctenocephalides felis mati,
kemudian disusul oleh Minyak Kayu Putih yaitu 7 menit 43 detik, pada 5 menit
pertama setelah pemberian kedua bahan uji tersebut, lima ekor Ctenocephalides felis
sudah tidak aktif bergerak.

Sedangkan air garam dikatakan tidak efektif karena tidak dapat membunuh 100%
Ctenocephalides felis kurang dari 38 menit 34 detik (waktu yang dibutuhkan kontrol
positif untuk membunuh Ctenocephalides felis, bahkan saat penelitian dihentukan
setelah 5 menit ke-12 (60 menit setelah pemberian bahan uji) hanya 1 ekor
Ctenocephalides felis saja yang terbunuh.

Minyak kayu putih dan minyak telon memiliki kandungan yang hampir sama,
karena salah satu komposisi dari minyak telon adalah minyak kayu putih. Minyak kayu
putih mengandung cineol yang dapat membunuh serangga atau sebagai insektisida
nabati, karena cineol termasuk golongan terpenoid. Terpenoid adalah senyawa yang
mengandung karbon dan hidrogen, bersifat mudah menguap yang terdiri dari 10 atom C
dan merupakan senyawa penyusun minyak atsiri (Mustarichie, 2011).

Sedangkan pada air garam yang tidak efektif membasmi kutu kucing, pada
awalnya di dasari pada teori garam mampu mendegradasi membran sel saluran
pencernaan dan masuk kedalam akan merusak sel dan juga dapat mengganggu sistem
kerja saraf serangga dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase (Ahdiyah &
Purwani, 2015).

46
Objek penelitian berupa Ctenocephalides felis dewasa yang dikumpulkan dari beberapa
kucing peliharaan. Pengujian dilakukan dalam beberapa hari karena adanya kendala
dalam pengumpulan kutu kucing dan karena pengujian harus dilakukan segera setelah
objek penelitian terkumpul.

V. Kesimpulan
Dalam sampel kutu kucing (Ctenocepalides felis) yang diperiksa terdapat bahan uji
a. Cuka Apel efektif dalam membunuh kutu kucing (Ctenocepalides felis)
b. Minyak Kelapa tidak efektif dalam membunuh kutu kucing (Ctenocepalides felis)
c. Minyak telon efektif dalam membunuh kutu kucing (Ctenocepalides felis)
d. Air garam tidak efektif dalam membunuh kutu kucing (Ctenocepalides felis)
e. Minyak kayu putih efektif dalam membunuh kutu kucing (Ctenocepalides felis)

VI. Daftar Pustaka


Bashofi, Aulia Syifak., Susi Soviana., Yusuf Ridwan. 2015. Infestasi pinjal dan infeksi
Dipylidium caninum (Linnaeus) pada kucing liar di lingkungan kampus Institut
Pertanian Bogor, Kecamatan Dramaga. Jurnal Entomologi Indonesia. 12(2).
Indawati,sulis,dkk. 2017.Pengaruh Ekstrak Daun Sirsak terhadap Mortalitas Kutu
Kepala.Jurnal Analis Kesehatan Sains. 6(2).
Johnston CS, Gaas CA. 2006. Vinegar: Medicinal Uses and Antiglycemic Effect.
MedGenMed. 8(2): 61.
Maulana, khoironi dewi, dkk. 2017. Peningkatan Kualitas Garam Bledug Kuwu
Melalui Proses Rekristalisasi Dengan Pengikat Pengotor CaO, Ba(OH)2 , dan
(NH4)2CO3. Journal of Creativity Student. 2(1).
Mulyadi, T., 2005, Studi pengelolaan kayu putih Melaleuca leucadendron Linn.
Berbasis ekosistem di BDH Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta, tesis,
Program Pascasarjana S2 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Pranowo D. 2005. Alternatif Penerapan Produksi Bersih di Industri Pengolahan Cuka
Apel. Institut Pertanian Bogor.
Salirawati, Das. 2007. Belajar Kimia Secara Menarik Untuk SMA/MA Kelas XI.
Jakarta: Grasindo.
Solarbesain, Frengky HP dan Isti Pudjihastuti. 2019. Pengaruh Komposisi pada Minyak
Telon terhadap Uji Indeks Bias dengan Menggunakan Refraktometer Tipe Way
Abbe. Metana. 15(1) : 32-36.
Sudarsono, P.N., Gunawan, D., Wahyuono, S. & Donatus, I.A., 2002. Tumbuhan Obat
II (Hasil penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan). PPOT UGM, Yogyakarta. 89-90.
Virgianti, Dewi Peti dan Lia Aulia Rahmah. 2016. Efektivitas Beberapa Merk Minyak
Kayu Putih terhadap Mortalitas Pediculus humanus capitis secara In Vitro. Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada. 15(1) : 10-18.
Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology and Control.
Ed k-2. Lowa (US): Iowa State Univ Pr.

47
Wijaya, A. 2007. Kajian Struktur Kelapa Hibrida (Cocos nucifera Linn). Skripsi
Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Intstitut Pertanian Bogor.

48
LAPORAN MINI PROYEK
Uji Efektivitas Daun Salam (Syzygium polyanthum ) Dalam Membasmi Nyamuk

Identitas Sampel : Larva Nyamuk

I. Tujuan
a. Untuk mengetahui potensi daun salam sebagai insektisida alami bagi nyamuk.
b. Untuk mengetahui cara pemanfaatan daun salam sebagai insektisida.

II. Alat dan Bahan


1. Daun Salam 10. Kertas timbang
2. Larva nyamuk 11. Plastik.
3. Lidi 12. Kompor
4. Wadah penampung 13. Aquades
5. Mortal alu 14. Gelas ukur
6. Sendok 15. Becker glass
7. Panci 16. Termometer
8. Saringan 17. Gunting
9. Timbangan 18. Label

III. Cara Kerja


A. Pengeringan.
1. Taruh beberapa daun salam diatas plastik.
2. Letakkan plastik yang sudah terdapat daun salam ke tempat yang terdapat sinar
matahari.
3. Diamkan sampai daun salam kering .
4. Ambil daun salam yang sudah kering.

B. Perlakuan daun salam.


1. Menimbang daun salam yang sudah kering.
2. Sesuai dengan konsentrasi yang akan digunakan, yaitu 15%, 20%, dan 30%.
Masing-masing konsentrasi tersebut dilarutkan dalam 100 ml aquadest.
15% 15 gr
20% 20 gr
30% 30 gr

49
3. Haluskan daun salam menggunakan mortal dan alu.
4. Direbus tanpa harus menggumpal dan pastikan suhu stabil menggunakan
thermometer.
5. Saring sari daun salam menggunakan saringan.
6. Gunakan ekstrak daun salam untuk cara selanjutnya.
C. Penyediaan larva nyamuk.
Larva didapatkan pada genangan air.
D. Perlakuan daun salam terhadap larva nyamuk.
1. 20 larva dimasukkan pada masing-masing cup atau wadah ( konsentrasi 15%,
20%, dan 30%).
2. Kemudian masukkan ekstrak daun salam sesuai konsentrasi pada cup.
3. Hitung 12-24 jam pergerakan atau pertumbuhan pada larva itu terganggu atau
tidak, serta catat pada jam ke berapa larva itu dikatakan terhambat pertumbuhan
sehingga mati.
4. Dapat dikatakan mati karena, larva disentuh dengan menggunakan lidi untuk
memastikan bahwa larva benar-benar mati.

IV. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa ekstrak daun salam
dapat digunakan sebagai larvasida. Pada setiap konsentrasi didapatkan hasil :
15% Tidak ada yang mati Tidak efektif
20% 2 yang mati Kurang efektif
30% 4 yang mati Kurang efektif
Hasil uji biolarvasida menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kematian larva
nyamuk terjadi seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak infusa daun
salam ( Syzygnum polyanthum ). Kematian larva nyamuk memperlihatkan tanda-tanda
bahwa larva tidak bergerak apabila disentuh, tubuhnya berwarna putih dan kaku. Hasil
uji larvasida pada ekstrak infusa daun salam ( Syzygnum polyanthum ) terhadap larva
nyamuk menunjukkan kematian larva konsentrasi yang bervariasi. Hasil penelitian
menunjukkan kematian terendah dapat terjadi pada konsentrasi 15% dan kematian
tertinggi terjadi pada konsentrasi 30%. Namun, presentase dari kematian larva nyamuk
terhadap ekstrak infusa daun salam ( Syzygnum polyanthum ) kurang efektif. Hal ini

50
mungkin dipengaruhi oleh variabel-variabel pengganggu yang tidak teliti seperti suhu
pembuatan ekstrak infusa daun salam ( Syzygnum polyanthum ) dan kondisi larva.
Dalam ekstrak daun salam terdapat senyawa aktif seperti alkaloid, saponin,
flavonoid dan tanin. Senyawa tersebut pada tumbuhan yang berperan sebagai
insektisida. Salah satu kandungan yang memberikan efek paling besar yaitu alkaloid
karena dapat menghambat aktifitas enzim asetylcholinesterase yang mempengaruhi
transmisi impuls saraf sehingga menyebabkan enzim tersebut mengalami fosforilasi
dan menjadi tidak aktif sehingga mortalitas pada larva terganggu. Enzim
asetylcholinesterase adalah suatu enzim yang terdapat di dalam membran sel pada
terminal saraf kolinergik juga pada membran lainnya seperti dalam plasma darah,
sel plasenta yang berfungsi sebagai katalis untuk menghidrolisis acetylcholine
menjadi choline dan acetat. Acetylcholine adalah salah satu agen yang terdapat dalam
fraksi ujung-ujung saraf dari sistem saraf yang menghambat penyebaran impuls
dari neuron ke post ganglionik, cholinesterase sendiri disintesis pada hati
Saponin mengakibatkan penurunan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan
makanan pada serangga. Selain itu, saponin juga merusak membran kutikula larva
sehingga dapat menyebabkan kematian larva. Senyawa flavonoid yang terkandung
dalam ekstrak daun salam juga bersifat insektisida karena merupakan racun
pernapasan sehingga menyebabkan larva tidak bisa bernapas karena kerusakan sistem
pernapasan dan akhirnya menyebabkan kematian pada larva. Senyawa tanin yang
terkandung dalam daun salam juga berperan sebagai racun pencernaan dan
mengganggu penyerapan air pada larva sehingga juga dapat menyebabkan kematian.

V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian efektifitas ekstrak infusa daun salam (Syzygnum
polyanthum) sebagai biolarvasida nyamuk dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pada penelitian ini larva nyamuk yang telah diuji menggunakan beberapa
konsentrasi ekstrak atau perasan daun salam yang diperlakukan masih kurang efektif
serta tidak bisa digunakan.

VI. Daftar Pustaka


Dwiyanti, Ratih Dewi, dkk. 2017. Daya Bunuh Ekstrak Daun Salam (Syzygium
Polyanthum) Terhadap Larva Aedes sp. Medical Laboratory Technology Journal.
Vol 3(1);93-97.
Setyaningsih, Ni Made P dan I Kadek Swastika. 2016. Efektivitas Ektrak Ethanol Daun
Salam (Syzygium Polyanthum) Sebagai Larvasida Terhadap Larva Nyamuk Aedes
Aegypt. E-Jurnal Medika Udayana. Vol 5(2).

51
Susiwati, dkk.2017.Efektifitas Ekstrak Infusa Daun Salam (Syzygium Polyanthum)
Sebagai Biolarvasida Nyamuk Aedes sp Di Kota Bengkulu Tahun 2016. Journal of
Nusring and Public Health. Vol 5(1);60-65.
Haninya Siti, dkk. Efektifitas Air Perasan Daun Salam (Syzygium Polyanthum)
terhadap mortalitas Larva Nyamuk.

52

Anda mungkin juga menyukai