Anda di halaman 1dari 5

Perubahan Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi 1998, Keadilan Sosial, dan

Deficit Demokrasi Hingga Kini.

Cut Maya Aprita Sari, S. Sos, M. Soc. Sc.

Pasca reformasi 1998 Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar dalam sistem
politiknya. Salah satu aspek penting dalam bidang politik yang menjadi sasaran utama
perubahan adalah kekuasaan pemerintahan Suharto yang dikelola secara sentralistik. Memang
kekuasaan yang sentralistik tidak senantiasa buruk. Gagasan Plato tentang The philosopher
king setidaknya menunjukkan bahwa kekuasaan sentralistis, jika dijalankan oleh seorang
penguasa yang amat bijaksana dapat menghasilkanhal-hal positif bagi perkembangan
masyarakat, keadilan, kesejahteraan dan integrasi bagi negara tersebut. Namun yang terjadi di
Indonesia adalah sebaliknya, pemerintahan otoriter selama 32 tahun menutup akses demokrasi
bagi rakyat, sehingga kejatuhan pemerintahan Suharto disambut gembira oleh sebagian besar
kalangan rakyat Indonesia. Pada saat itu sistem politik indonesia berganti dari otoriter menuju
orde reformasi yang dicirikan dengan liberalisasi politik dan ekonomi. Setelah Suharto turun,
pengaktifan hak-hak rakyat terlihat dari adanya suatu partisipasi politik yang tinggi dari
rakyat, jumlah partai politik peserta pemilu 1999 pun mengalami lonjakan.

Dalam perjalanannya, sistem politik di indonesia pasca reformasi menunjukkan


perubahan yang cepat. Terdapat perkembangan positif bahwa dengan runtuhnya rezim
Suharto, kebebasan sipil yang dulu tidak bisa dinikmati kini dapat dinikmati walaupun
terkadang sering kali keluar dari norma-norma yang berlaku, terlepas dari itu, masyarakat kini
lebih bebas berpendapat, menyuarakan aspirasinya dan berpolitik.

Berbicara mengenai sistem politik, Gabriel A. Almond and G. R. Powell


mengungkapkan konsep Capability of system politics yang dapat kita pergunakan sebagai alat
untuk mengenalisis sejauh mana keberhasilan atau kegagalan sistem politik demokrasi di
Indonesia. Menurut Almond dan Powell (1965), ada 5 macam kemampuan sistem politik,
yaitu: (1)Kemampuan Extractive, berkaitan dengan bagaimana sumber daya alam dan sumber
daya manusia diolah dan dikelola untuk kepentingan nasional, regional maupun masyarakat
secara keseluruhan; (2)Kemampuan Regulative yang merupakan kemampuan negara dalam
melakukan pengawasan terhadap tingkah laku masyarakat, pengaturan dan menjamin hak-hak
individu maupun kelompok; (3)Kemampuan distributif, berkenaan dengan kemampuan
pendistribusian sumber daya alam secara merata untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
masyarakat; (4)Kemampuan simbolik, Yakni kemampuan pemerintah dalam membuat suatu
kebijakan yang sedapat mungkin bisa diterima oleh rakyat. Kemampuan simbolik juga terkait
dengan bagaimana simbol-simbol kenegaraan mendapat kepercayaan dari rakyat; dan
(5)Kemampuan Responsif, dimana sistem politik dapat dikatakan memiliki kemampuan
respons yang tinggi apabila ia dapat memberikan tanggapan terhadap tuntutan yang muncul.

Melalui 5 jenis kemampuan ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya masih banyak
tantangan kedepan yang harus diperhatikan dalam demokrasi negara kita, antara lain: Dalam
ketatanegaraan Indonesia, perubahan konstitusi terlihat dari diamandemenya Undang-Undang
Dasar sebanyak beberapa kali. Perubahan amandemen ini mengakibatkan reformasi dibidang
ketatanegaraan Indonesia, salah satunya yaitu dibentuknya sebuah lembaga baru bernama
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD). Sejak dibentuknya DPD maka sistem perwakilan
di Indonesia berubah dari unikameral menjadi bikameral. Hal ini merupakan suatu keadaan
yang agak aneh ketika negara kesatuan menganut sistem bikameral, karena sebagaimana yang
kita ketahui, bikameral hanya cocok di negara federal. DPD yang tadinya dianggap dapat
merepresentasikan kepentingan daerah dalam kenyataannya belum berfungsi dengan baik,
terlihat dari kebijakan-kebijakan di tingkat nasional masih saja kurang memperhatikan rakyat
daerah maka dalam hal ini kemampuan DPD masih dipertanyakan.

Kemudian, prinsip checks and balances antar cabang kekuasaan negara seperti
legislatif dan eksekutif masih kabur batas-batasnya dan kekuasaan diantara keduanya
tumpang tindih, begitu juga halnya dengan mahkamah agung dan mahkamah konstitusi. Hal-
hal mengenai penghargaan terhadap hak asasi manusia yang tertulis didalam UU tidak juga
diperlihatkan dalam kehidupan nyata, terbukti dari masih ada saja konflik-konflik di daerah.
Korban kasus pelanggaran HAM seperti DOM di Aceh bahkan sampai sekarang belum
mendapatkan keadilan. Selanjutnya, partai politik semakin tidak dipercaya karena hanya
berisikan orang-orang yang berebut kekuasaan. Birokrasi kita yang lambat diperparah dengan
korupsi pejabat-pejabatnya menimbulkan kekecewaan yang dalam. Terlebih lagi hukum
hanya berpihak kepada sekelompok orang dengan kelas menengah keatas, ini memperlihatkan
kemampuan regulatif yang masih rendah.
Hubungan yang tidak harmonis antara pusat dan daerah sering terjadi di Indonesia
akibat dari diskriminasi dalam hal distribusi kesejahteraan yang berakibat kepada disintegrasi
bangsa. Keadaan ini membuat kemampuan distributif dan ekstraktif mendapatkan nilai
negatif. David held (2004) menyatakan, ternyata anggapan “semua permasalahan yang
muncul dalam suatu negara seakan-akan hanya bisa diselesaikan secara demokrasi. Undang-
undang, hukum, adat istiadat terlihat sangat baik apabila semuanya bersifat demokratis. Nilai-
nilai yang terkandung didalam sistem demokrasi diyakini dapat membawa negara
penganutnya kearah yang lebih baik”. Dalam kenyataannya tidaklah selalu benar.

Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparatur nya


menunjukkan bahwa kemampuan simbolik juga rendah, masyarakat tidak lagi menghargai
simbol-simbol negara yang selama ini mengecewakan rakyat. Kebijakan yang kerap kali
mendapat penolakan dari rakyat juga menambah nilai minus dari kemampuan simbolik ini.
Apatisme terhadap politik semakin meningkat seiring dengan semakin tipisnya kepercayaan
rakyat terhadap proses politik

Hal diatas menunjukkan bahwa ada permasalahan yang rumit dibalik demokrasi yang
kita terapkan. Harus diakui bahwa ternyata selama ini konsep ketatanegaraan kita masih
belum sempurna padahal seperti pendapat Habermas bahwa tatanegara yang baik merupakan
platform terselenggaranya kesuksesan demokrasi. Tatanegara yang tidak baik ini
menyebabkan gagasan demokrasi yang telah dibentuk sejak deklarasi kemerdekaan tidak
dapat dijalankan dengan baik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial
bagi masyarakat.

Demokrasi dan keadilan sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan bahwa
demokrasi yang berhasil adalah demokrasi yang mampu mewujudkan keadilan sosial bagi
rakyatnya, hal ini diperkuat dengan isi sila ke 5 dari pancasila.Demokrasi membawa gagasan
mulia yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat dankeadilan sosial. Namun yang terjadi di
Indonesia, demokrasi hanya sampai pada tataran prosedural, demokrasi dimaknai hanya
sekedar keberhasilan melaksanakan pemilu tanpa melihat sisi lain yang jauh lebih penting
seperti keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Aristoteles menyebutkan bahwa “Landasan konstitusi yang demokratis adalah


kemerdekaan/kebebasan”. Kemerdekaan dan kebebasan menurut John Rawls harus diberikan
kepada setiap individu apabila suatu negara ingin mewujudkan adanya keadilan sosial, artinya
keadilan sosial tidak akan ada bila kemerdekaan individu tidaklah ada. Membangun keadilan
sosial harus dimulai dengan memberi individual freedom, namun pemberian individual
freedom harus dibarengi dengan adanya sistem yang fairness. Fairness setidaknya dapat
menjamin keseimbangan antara elemen-elemen masyarakat. Sehingga ketimpangan antara
yang menang dan yang kalah tidak terlalu jauh dan jarak antara orang yang kaya dan miskin
tidak terlampau dalam.

Hal ini menjadi paradoks demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia dimana
pemberian individual freedom sebagaimana yang dikemukkan John Rawls tidak dibaregi
dengan adanya sistem yang fairness sehingga para pemlik modal dan elit-elit yang
berkuasalah yang paling menikmati adanya individual freedom tersebut. Kebijakan–kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah membuat rakyat miskin semakin terpuruk dan yang kaya
semakin menikmati kesuksesannya. Beberapa contoh boleh kita perhatikan, adanya
perdagangan bebas dengan China selama ini memberikan contoh bahwa kebijakan yang
dilakukan pemerintah membuat gap semakin terlihat. Bagaimana mungkin pengusaha dalam
negeri dapat bersaing dengan China yang menawarkan harga murah bagi setiap produknya.
Kebijakan yang sangat tidak menguntungkan pedagang lokal semakin diperparah dengan
membiarkan mereka berkompetisi tanpa memberikan insentif kepada pedagang lokalagar
kompetisi lebih berimbang. Contoh lain, hadirnya supermarket sebagai tempat one stop
shopping yang menyediakan semua kebutuhan dalam satu tempat membuat pedagang lokal
semakin terasingkan. Dalam kasus kenaikan BBM, kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan
peningkatan jumlah lapangan pekerjaan atau kenaikan upah bagi para buruh sehingga mereka
tidak mampu membeli BBM sedangkan yang kaya tidak merasa kesulitan atas kenaikan BBM
tersebut, maka ketimpangan semakin terlihat disini.

Jika keadaan yang terjadi seperti ini, mulai dari ketatanegaraan yang yang tidak beres
sampai keadilan sosial yang diidamkan hanya sekedar harapan tanpa realisasi, maka dapat
dipastikan bahwa negara kita mengalami deficit demokrasi yang parah. Biaya yang kita
keluarkan untuk menegakkan demokrasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang kita
dapatkan. Permasalah di negeri ini menunjukkan bahwa demokrasi kita menghadapi
stagnasi. Defisit demokrasi terjadi karena melencengnya demokrasi dari tujuan awalnya,
Dimana demokrasi dengan cita-cita awalnya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat
melalui suatu keadilan sosial ternyata pada kenyataannya tidak dijalankan dengan baik. Gagal
bekerjanya sistem politik inilah yang melahirkan defisit demokrasi. Kelembagaan, reformasi
hukum, birokrasi, dan militer tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sistem tata negara yang
berantakan, Hukum di negara kita berjalan apabila menghadapi tekanan saja, selebihnya
tetap uang yang memainkan peranan yang besar, kemudian mutu pelayanan birokrasi
rendah, dan korupsi dimana-mana menunjukkan defisit demokrasi di negara kita. Jika
keadaan terus begini, Indonesia akan semakin menuju kearah failed state seperti yang
dikatakan Chomsky:
bahwa negara gagal mempunyai ciri utama sebagai berikut :One is their inability or
unwilingness to protect their citizens from violence and perhaps even destruction.
Another is their tendency to regard themselves as beyond their reach of domestic
and international law,........If they have democratic forms, their suffer from a serious
“democratic deficit” that deprives their formal democratic intitutions of real
substance.

Gaffar, Afan. (1999). “ Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Held, David. (2004). “ Demokrasi dan Tatanan Global : Dari Negara Modern Hingga
Pemerintahan kosmopolitan “. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Legowo, TA. (2004). “Keadilan Sosial, Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di
Indonesia”. Jakarta: Kompas.
Nurtjahjo, Hendra. (2006). “Filsafat Demokrasi”. Jakarta : Bumi Aksara.
Revitch, Diane dan Thernstrom Abigail. (2005), “ Demokrasi Klasik & Modern “, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sitepu, P. Anthonius. (2006).” Sistem Politik Indonesia”. Medan : Pustaka Bangsa Press.

Syamsuddin, Nazaruddin. (1994). “ Integrasi dan Ketahanan Nasional di Indonesia “.


Jakarta : Lemhanas.
Ujan, Andre Ata. (2001). “ Keadilan dan Demokrasi, Jelajah Filsafat Politik John Rawls”.
Jakarta: Kanisius.
Winarno, Budi Prof. Dr. (2007). “ Sistem Politik Indonesia Era Reformasi “. Yogyakarta :
Media Presindo.

Anda mungkin juga menyukai