Stabilitas Dan Dinamika Kendaraan PDF
Stabilitas Dan Dinamika Kendaraan PDF
Mata Kuliah
Konstruksi dan Stabilitas Kendaraan
(KINERJA KENDARAAN)
Oleh:
I Ketut Adi Atmika
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Bahan Ajar
untuk mata kuliah Konstruksi dan Stabilitas Kendaraan (Kinerja Kendaraan) dapat
diselesaikan sesuai dengan harapan.
Bahan Ajar ini disusun bertahap mulai dari pengantar kinerja kendaraan, juga
memuat latihan atau contoh soal analisis dan perencanaannya. Dengan demikian, Bahan
Ajar ini diharapkan dapat membantu mahasiswa Teknik Mesin untuk lebih mudah
memahami mata kuliah yang dimaksud diatas, sehingga akhirnya mempercepat
mahasiswa menyelesaikan kuliahnya.
Penulis menyadari bahan ajar ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
segala kritik dan saran dari semua pihak sangat membantu untuk perbaikan di kemudian
hari.
Penulis
i
KINERJA KENDARAAN
T=hP torque
Speed
n=rpm
Gambar 1.1. Karakteristik performance power plant kendaraan
Pada gambar terlihat bahwa kendaraan dengan traksi yang tinggi terjadi pada
kecepatan rendah, dimana traksi terutama untuk percepatan, tarikan drawbar atau untuk
melalui tanjakan jalan.
1
Mesin pembakaran dalam merupakan mesin yang masih banyak digunakan sebagai
pembangkit tenaga pada kendaraan bermotor. Karakteristik dari mesin diesel ditunjukan
seperti pada gambar 1.2.
Motor pembakaran dalam akan mengawali operasinya pada suatu kecepatan tertentu
yang disebut kecepatan idle dimana pada kecepatan ini motor tersebut belum terbebani.
Kualitas pembakaran yang baik dan torsi maksimal akan dicapai pada kecepatan sedang yang
berada diatas kecepatan idle. Dengan bertambahnya kecepatan dari kecepatan sedang ini,
tekanan efektif rata-rata akan berkurang akibat adanya losses pada manifold induksi udara.
Sebagai akibatnya, torsi mesin akan berkurang. Tapi daya yang dihasilkan mesin masih tetap
bertambah seiring dengan bertambahnya kecepatan sampai pada suatu kecepatan dimana daya
keluaran akan maksimum. Diatas kecepatan ini, torsi mesin akan berkurang lebih cepat lagi
dimana hal ini akan mengakibatkan daya mesin berkurang. Dalam penggunaan untuk
kendaraan bermotor, kecepatan mesin maksimum yang diijinkan biasanya sedikit diatas
kecepatan dimana daya keluaran akan maksimum.
2
Perhitungan traksi yang dihasilkan kendaraan bisa didapatkan dengan dua cara, yaitu
yang pertama dari gaya maksimum yang mampu ditahan oleh bidang kontak antara ban dan
jalan, dan yang kedua dari daya mesin dan karakteristik sistem driveline kendaraan.
Gaya maksimum yang mampu ditahan oleh bidang kontak antara ban dan jalan akan
ditentukan oleh koefisien gesek antara ban dan jalan. Semakin besar koefisien gesek, semakin
besar pula gaya yang mampu ditahan. Dengan demikian semakin besar pula gaya traksi yang
mampu dihasilkan oleh kendaraan. Pada tingkatan gigi rendah, biasanya traksi yang mampu
dihasilkan kendaraan dibatasi oleh faktor ini.
Apabila koefisien gesek antara ban dan jalan mampu menahan gaya traksi yang timbul
pada ban, maka perhitungan traksi yang mampu dihasillkan kendaraan akan ditentukan oleh
daya mesin dan sistem drive line kendaraan. Sistem drive line kendaraan akan memindahkan
daya dari mesin menjadi daya pada roda penggerakyang akan digunakan untuk menggerakkan
kendaraan. Akibat adanya gesekan pada sistem drive line, maka daya pada roda penggerak
biasanya lebih kecil dari daya mesin. Dengan mengetahui efisiensi dari sistem drive line
kendaraan maka akan dapat dihitung besarnya gaya traksi pada roda penggerak.
Gaya traksi yang dibutuhkan pada roda penggerak dapat diketahui dengan
memperhatikan gambar 1.3. Dalam hal ini, karena traksi telah dapat dihitung , maka dari
persamaan gerak pada gambar kita dapat menghitung percepatan kendaraan.
Ra
ha
Rg
a
B h
Mp m.a Rd
Rrf
W
A
Ff
Fr
Rrr hd
L1
θs
L2
Wf L
Wr
3
Untuk kendaraan dengan penggerak roda belakang Ff berharga nol, sedangkan untuk
kendaraan dengan penggerak roda depan Fr sama dengan nol.
d 2 x aW
m = = F f + Fr − Ra − Rrf − Rrr − Rd − R g (1.1)
dt 2 g
dimana :
d 2x
= a = percepatan kearah longitudinal
dt 2
g = percepatan gravitasi
m = massa kendaraan
W = berat kendaraan
dengan konsep gaya inersia, persamaan diatas dapat diubah menjadi :
aW
F f + Fr − Ra + Rrf + Rrr + Rd + Rg + =0
g
aW
atau, F = Ra + Rr + Rd + R g + (1.2)
g
dimana :
F = total gaya traksi yang dibutuhkan (N)
Rr = total rolling resistance yang terjadi pada ban (N)
Ra = aerodynamic resistance yang terjadi pada kendaraan (N)
Rd = drawbar load pada kendaraan (N)
Rg = grade resistance (N)
a = percepatan kendaraan (m/dt2)
Dari perumusan (1.2) tersebut dapat kita lihat bahwa gaya traksi pada kendaraan selain
digunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi pada kendaraan, yang meliputi
hambatan aerodinamis (Ra), rolling resistance (Rr) dan grade resistance (Rg) juga digunakan
untuk mendapatkan percepatan pada kendaraan.
Grade resistance (Rg) adalah hambatan yang timbul akibat dari berat kendaraan. Berat
kendaraan selain menimbulkan gaya normal pada ban, apabila kendaraan tersebut sedang
menanjak juga akan menimbulkan gaya hambatan sebagai akibat dari komponen berat
kendaraan dalam arah longitudinal. Grade resistance ini dirumuskan dalam persamaan :
4
R g = W sin θ (1.3)
dimana :
W = berat kendaraan (N)
5
W
F − R r = Ra + Rd + a (1.5)
g
Sedangkan persamaan (1.4) menjadi:
Wf =
l2
(W − FL ) − h Ra + aW + Rd − M P (1.6)
L L g
Dengan menggabungkan persamaan (1.5)dengan persamaan (1.6) didapat:
l2
Wf = (W − FL ) − h (F − Rr − M P ) (1.7)
L L
Gaya traksi maksimal yang mampu didukung oleh bidang kontak roda dan jalan pada
kendaraan dengan penggerak roda depan adalah :
l h
Fmax = µ.W f = µ 2 (W − FL ) − (Fmax − Rr − M P )
L L
(W − FL )L2 + f r (W − FL )h − M P
Fmax = µ (1.8)
L + µ.h
6
pergantian gigi transmisi. Karena hal tersebut diatas, pemasangan kopling yang letaknya
diantara mesin dan transmisi dibutuhkan untuk memutuskan dan menghubungkan antara
mesin dan transmisi. Fungsi lain dari kopling adalah memungkinkan mesin dapat hidup
dengan lembut, dimana tenaga yang dihasilkan oleh mesin dipindahkan secara perlahan-
lahan dengan menggelincir/slip dan sesudah tenaga sebagian besar dipindahkan maka
pemindahan tenaga akan berlangsung tanpa terjadi slip.
Cara kerja dari kopling yaitu apabila pedal kopling ditekan maka pressure plate akan
bergerak menjauhi friction disc, sehingga hubungan antara poros transmisi dan motor
terlepas. Pada saat ini dilakukan pemindahan gigi transmisi. Kemudian pedal kopling
dilepaskan sehingga posisi pressure plate kembali menyatu dengan friction disc. Dengan
demikian tenaga dari motor dapat disalurkan menuju poros transmisi.
7
3. Propeller Shaft
Propeller shaft dibutuhkan oleh kendaraan yang mempunyai roda penggerak di belakang,
sedangkan mesinnya terletak dibagian depan. Fungsi dari poros propeller ini untuk
memindahkan putaran poros output dari transmisi menuju ke roda belakang.
Poros propeller ini pada umumnya terdiri dari satu buah, tetapi untuk beberapa kendaraan
yang panjang seperti jenis truk, poros propellernya terbagi dua dimana pada
sambungannya dipakai bearing.
Biasanya poros propeller ini dibuat dari pipa baja yang kedua ujungnya dilengkapi dengan
sebuah universal joint. Universal joint diperlukan disini karena pada output transmisi dan
rear axle pada umumnya tidak terletak pada satu garis lurus, karena transmisi diletakkan
pada rangka (frame). Sedangkan rear axle pada umumnya diikatkan pada pegas-pegas
belakang sehingga selalu berubah-ubah dengan adanya beban dan kejutan roda-roda yang
mempengaruhi pegas.
Untuk mengatur perubahan ini diperlukan adanya slip joint dan universal joint. Slip joint
berfungsi untuk menjaga perubahan panjang poros sedangkan universal joint berfungsi
untuk menjaga perubahan pada sudut poros.
4. Differential
Diferensial berfungsi untuk mengatur putaran roda belakang sebelah kiri dan kanan pada
saat membelok. Putaran kedua roda belakang saat membelok harus berbeda jumlah
putaran persatuan waktunya. Roda sebelah luar harus berputar lebih banyak atau lebih
cepat dari pada roda sebelah dalam belokan. Diferensial terdiri dari susunan roda gigi
yang berbentuk roda gigi kerucut (bevel gears).
Bila dilihat dua roda yang masing-masing dihubungkan dengan suatu poros, dimana pada
masing-masing ujung poros dipasang sebuah roda gigi kerucut. Kedua roda gigi kerucut
ini disebut roda gigi samping yang selanjutnya dihubungkan dengan dua roda gigi kerucut
lain yang ukurannya lebih kecil yang disebut roda gigi diferensial, sehingga keempat roda
gigi tersebut saling berkaitan.
Apabila kedua poros tersebut diputar dengan kecepatan putaran yang sama, maka roda-
roda gigi diferensial akan ikut terbawa bergerak bersama roda-roda gigi samping tetapi
tidak akan berputar pada sumbunya. Akan tetapi kalau salah satu dari kedua poros tersebut
8
kita putar dengan kecepatan berbeda yaitu sedikit lebih lambat atau bahkan diam sama
sekali, maka akan mengakibatkan roda gigi diferensial tersebut tidak sekedar akan
bergerak mengelilingi poros roda melainkan juga akan berputar terhadap sumbunya.
Roda-roda gigi diferensial diletakkan di dalam sebuah kotak kecil yang selanjutnya
dihubungkan dengan sebuah roda gigi kerucut besar (roda gigi mahkota) yang dapat
berputar bebas pada salah satu poros roda. Roda gigi mahkota ini kemudian dihubungkan
dengan roda gigi pinion yang dipasang pada propeler.
Dengan demikian poros propeller dapat memutarkan roda-roda belakang menurut putaran
yang dapat disesuaikan dengan kondisi jalan yang dilalui. Jadi apabila mobil berjalan
lurus, roda-roda gigi diferensial tidak akan berputar pada porosnya, sehingga roda-roda
belakang dapat berputar dengan kecepatan yang sama. Akan tetapi pada saat kendaraan
membelok maka roda gigi diferensial akan berputar pada porosnya sehingga roda
belakang kendaraan yang terletak disebelah luar dapat berputar lebih cepat. Adapun
perbedaan kecepatan putaran roda-roda ini akan lebih besar apabila jalan mempunyai
tikungan yang lebih tajam. Jadi hal ini sangat tergantung pada kondisi belokan atau
tikungan pada jalan yang dilalui.
Dalam sistem drive line akan terjadi losses atau kerugian yang disebabkan oleh gesekan
yang terjadi antara gigi-gigi roda gigi, gesekan pada bantalan dan juga akibat tahanan
minyak pelumas. Berikut adalah harga efisiensi yang biasa diambil untuk beberapa
komponen sistem drive line.
• Kopling : 99 %
• Tiap pasangan roda gigi : 95-97 %
• Bantalan dan sambungan : 98-99 %
Efisiensi mekanis total dari sistem drive line antara poros keluaran mesin dengan roda
penggerak adalah merupakan perkalian efisiensi dari masing-masing komponen dari
sistem drive line. Dengan adanya efisiensi ini maka daya yang terjadi pada roda
penggerak akan selalu lebih kecil daripada daya mesin.
9
1.4. Aerodinamika Kendaraan.
1.4.1. Prinsip Dasar Aerodinamika
Aerodinamika merupakan cabang ilmu pengetahuan fisik yang membahas tentang
studi interaksi antara body dengan atmosfir yang mengalami pergerakan. Apabila ada suatu
benda yang bergerak dalam suatu media fluida atau sebaliknya, fluida yang bergerak
melewati suatu benda akan mengalami gaya-gaya yang bekerja padanya. Demikian juga
halnya dengan mobil yang bergerak dalam udara atmosfir juga dipengaruhi oleh adanya
interaksi antara mobil dengan jalan, akan mengalami gaya-gaya aerodinamika yang besar
serta arahnya tergantung pada kecepatan relatif antara udara dengan benda itu sendiri.
Didalam pendekatan terhadap aerodinamika kendaraan, diasumsikan tidak ada angin yang
berhembus (atmosfer sebagai kesatuan dengan tanah) dan kecepatan kendaraan dapat
dianggap konstan.
Pada dasarnya semua fenomena aerodinamis yang terjadi pada kendaraan disebabkan
adanya gerakan relatif dari udara di sepanjang bentuk bodi kendaraan. Streamline adalah
garis-garis yang dibuat sedemikian rupa di dalam medan kecepatan, sehingga setiap saat
garis-garis tersebut akan searah dengan aliran di setiap titik di dalam medan aliran tersebut.
Dengan demikian streamline-streamline itu akan membentuk pola aliran udara di sekeliling
bodi kendaraan. Streamline pada tempat yang jauh dari kendaraan akan sejajar dan tidak
terganggu. Sedangkan streamline disekitar kendaraan akan mempunyai pola aliran yang
sangat komplek dikarenakan bentuk kendaraan itu sendiri yang kompleks sehingga di
sekeliling kendaraan akan terdapat daerah gangguan aliran udara. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa gerakan dari partikel yang terletak jauh dari kendaraan akan memiliki
kecepatan relatif yang sama dengan kecepatan kendaraan. Sedangkan pada daerah gangguan
di sekeliling kendaraan, maka kecepatan relatif dari partikel sangat bervariasi, lebih besar atau
lebih kecil dari kecepatan aktual kendaraan.
10
Gambar 1.4. Gaya dan momen aerodinamik pada kendaraan
11
Gaya hambat yang disebabkan oleh adanya tonjolan profil tertentu pada bagian
permukaan bodi kendaraan seperti kaca spion, pegangan pintu, antena dan aksesori
lainnya.
• Hambatan aliran dalam
Gaya hambat oleh aliran udara yang mengalir melalui sistem pendingin mesin
yaitu radiator.
Pada kenyataannya hanya hambatan bentuk dan hambatan pusar yang paling besar
pengaruhnya terhadap gaya hambat secara keseluruhan. Gaya hambat tersebut sebagai
fungsi dari kecepatan kuadrat. Secara umum perumusan gaya hambat angin adalah :
1
FD = .C D .ρ.Va . A f
2
(1.9)
2
dimana :
CD = koefisien gaya hambat
Af = luas frontal kendaraan (m2)
ρ = density kendaraan (kg/m3)
Va = kecepatan relatif angin terhadap kendaraan (m/dt)
2 (1.10)
12
dimana :
CL = koefisien gaya angkat
3. Gaya samping
Jika kendaraan bergerak dalam udara yang diam (tidak ada angin) atau ada
gerakan angin yang sejajar dengan arah gerak kendaraan maka tidak akan timbul gaya
samping, karena kesimetrisan aliran udara pada bagian samping kendaraan sehingga
tekanan pada bagian samping kendaraan sama. Teteapi pada kenyataannya jarang
sekali dijumpai gerakan aliran angin yang sejajar dengan arah gerak kendaraan.
Biasanya arah serangan angin tidak sejajar terhadap arah gerak mobil sehingga
membentuk sudut tertentu (β) terhadap lintasan kendaraan.
Gaya samping bekerja dalam arah horisontal dan transversal sehingga bersifat
mendorong kendaraan kesamping. Gaya samping juga terjadi pada kondisi kendaraan
berbelok. Gaya samping dapat dirumuskan sebagai berikut :
1
FS = .C S .ρ .Va . A f .β a
2
2 (1.11)
dimana :
CS = koefisien gaya samping
βa = sudut serang angin
Gaya aerodinamis total yang dihasilkan oleh aliran udara relatif yang
melingkupi bodi kendaraan pada hakekatnya bekerja pada suatu titik yang disebut
centre of pressure (CP).
Selama resultan gaya aerodinamis bekerja pada titik centre of pressure maka
tidak akan menimbulkan momen. Sedangkan pada titik lain dari kendaraan gaya
aerodinamis akan menghasilkan momen aerodinamis yang merupakan perkalian dari
harga gaya aerodinamis dan jarak titik yang ditinjau. Dalam meninjau masalah
kestabilan, gerakann massa kendaraan dan gaya inersia massa terkonsentrasi pada
centre of gravity (CG). Jadi apabila antara centre of gravity dan centre of pressure
tidak berimpit maka akan terjadi momen aerodinamis yang merupakan hasil kali
antara gaya aerodinais dan jarak antara CP dan CG.
13
Dari gambar 1.4. terlihat bahwa terjadi tiga momen aerodinamis pada ketiga
sumbu ruang, yaitu :
1. Momen guling (rolling) aerodinamik
Momen rolling aerodinamik (MR) adalah momen terhadap sumbu X pada
kendaraan yang disebabkanoleh gaya-gaya aerodinamik yang mempunyai lengan
terhadap sumbu X. Jika posisi CP terhadap CG mempunyai komponen jarak Xp,
Yp, Zp ke arah sumbu X, Y, Z pada kendaraan, maka momen rolling besarnya
sebagai berikut:
MR = FL . Yp – FS . Zp (1.12)
2. Momen angguk (pitching) aerodinamik
Momen pitching aerodinaik (MP) adalah momen oleh gaya aerodinamik terhadap
sumbu Y dari kendaraan. Dengan memperhatikan posisi CG dan CP maka momen
pitching aerodinamik dapat dirumuskan sebagai berikut:
MP = FD . Zp – FL . Xp (1.13)
3. Momen putar (yawing) aerodinamik
Momen yawing aerodinamik (MY) adalah momen yang diakibatkan oleh gaya
aerodinamik terhadap sumbu Z kendaraan melalui titik CG. Dengan menggunakan
komponen jarak dari CP terhadap CG, maka momen yawing aerodinamik dapat
dirumuskan sebagai berikut:
MY = FS . Xp – FD . Yp (1.14)
14
Gambar 1.5. Momen dan gaya tahanan rolling
Jika gaya normal dari jalan pada ban sebesar (Fz), maka terjadi momen tahanan rolling yang
dapat melawan atau menghambat gerakan ban. Momen tahanan rolling (MRR) dapat
dirumuskan sebagai berikut :
MRR = Fz . tp (1.15)
Ada dua momen yang bekerja pada roda penggerak yaitu momen penggerak (Mt) dan momen
tahanan rolling (MRR). Kedua momen tersebut dapat diterjemahkan kedalam gaya dorong (Ft)
dan gaya hambatan rolling (Rr) dengan rumus sebagai berikut :
Mt
Ft = (1.16)
r
M RR t p
Rr = = .Fz (1.17)
r r
Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya tahanan rolling adalah adanya geseran antara
ban dan jalan karena ban berdefleksi dan terbentuk tapak ban. Disamping itu adanya tahanan
akibat sirkulasi udara dari dalam ban serta hambatan udara di luar ban akibat berputarnya ban
juga mengakibatkan terjadinya tahanan rolling dari ban. Hasil eksperimen yang ada
menunjukkan bahwa kerugian yang terjadi akibat ban berputar pada kecepatan kendaraan
128-152 km/jam dapat dibedakan sebagai berikut : 90-95% kerugian akibat sifat histerisis
ban, 2-10% akibat geseran ban dan jalan, dan hanya 1,5-3,5% akibat tahanan angin.
1.5.2. Faktor Yang Mempengaruhi Hambatan Rolling
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hambatan rolling yang terjadi pada ban,
yaitu :
15
1. Pengaruh konstruksi ban, kembangan dan kecepatan
Dari hasil eksperimen S. K. Clark dari National Bereau of Standars, USA, 1971
menunjukkan bahwa ban radial umumnya mempunyai koefisien hambatan rolling yang
lebih kecil dari ban bias, hal ini lebih terasa pada kecepatan yang lebih tinggi. Untuk ban
yang tanpa kembangan mempunyai koefisien hambatan rolling yang jauh lebih kecil
dibanding dengan ban yang dengan kembangan. Hasil eksperimen dari S. K Clark
ditunjukkan pada gambar 2.6. Ban yang terbuat dari karet sintetis kompound umumnya
mempunyai koefisien hambatan roling sedikit lebih tinggi dibanding jika memakai karet
alam.
J. Taborek melakukan studi tentang pengaruh kondisi jalan dan tekanan ban terhadap
koefisien hambatan rolling, ditunjukkan pada gambar 1.7. Pengaruh tekanan ban terhadap
koefisien hambatan roling ditentukan oleh kekerasan dari permukaan jalan. Untuk
permukaan jalan yang keras seperti jalan aspal dan beton, hambatan rollling sedikit
menurun dengan naiknya tekanan ban. Untuk jalan lembek seperti pasir, naiknya tekanan
16
ban mengakibatkan naiknya koefisien penetrasi ban pada jalan dan juga mengakibatkan
naiknya koefisien hambatan rolling.
Gambar 1.7. Pengaruh kondisi jalan dan tekanan ban terhadap tahanan rolling
Secara umum dapat dikatakan bahwa ban dengan diameter lebih besar mempunyai
hambatan rolling yang lebih kecil untuk semua jenis jalan. Penurunan hambatan rolling
akibat naiknya diameter ban lebih jelas terlihat pada jalan yang lembek seperti pasir. Juga
secara umum dapat dikatakan bahwa hambatan rolling ban akan lebih kecil untuk
permukaan jalan yang lebih keras, ini berlaku untuk segala ukuran diameter ban.
17
5. Pengaruh gaya longitudinal pada ban
Gaya longitudinal pada ban dapat terjadi terutama pada saat percepatan atau pengereman
kendaraan. Gaya longitudinal tersebut pada dasarnya dapat berpengaruh pada defleksi
ban, sehingga dapat pula berpengaruh pada besarnya pneumatic trail dari ban yang secara
umum langsung berpengaruh pada besarnya hambatan rolling dari ban.
S.K. Clark telah melakukan studi terhadap pengaruh pengereman dan percepatan terhadap
hambatan rolling, yang hasilnya ditunjukkan pada gambar 1.8. Secara umum dengan
adanya gaya longitudinal pada ban baik akibat pengereman atau percepatan akan
mengakibatkan naiknya hambatan rolling.
Secara keseluruhan koefisien dari hambatan rolling dipengaruhi oleh banyak faktor
dengan hubungan yang sangat kompleks sehingga sangat sulit dicari hubungan yang
mathematics dari hubungan tersebut. Karena rumitnya fenomena interaksi faktor-faktor
pengaruh dari hambtan rolling maka besarnya hambatan rolling masih sangat bergantung
pada hasil eksperimen.
Dari eksperimen yang dilakukan oleh J.J Taborek dihasilkan rumusan untuk
memprediksi harga koefisien hambatan rolling. Eksperimen ini mengambil tekanan ban dan
kecepatan kendaraan sebagai parameter pokok yang mempengaruhi hambatan rolling.
2, 5
V
fr = f o + f s (1.18)
100
18
dimana :
Secara umum harga rata-rata dari koefisien hambat rolling untuk berbagai jenis ban
kendaraan dan berbagai kondisi jalan ditunjukan pada gambar 1.9 dibawah :
Dimana :
Rr = rolling resistance
19
J.J. Taborek dari hasil studinya memberikan koefisien adhesi (µ) rata-rata antara ban dan
jalan untuk bermacam jenis jalan yang ditunjukkan pada tabel 1.1.
20
Dengan mengetahui perbandingan gigi untuk setiap tingkat transmisi maka gaya dorong yang
dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
M e (V ).i k .i d
FkV = .η t (1.22)
r
dimana :
FkV = gaya dorong pada roda penggerak untuk transmisi tingkat ke k pada
kecepatan V
Me(V) = torsi dari mesin untuk kecepatan kendaraan V
ik = perbandingan gigi untuk tingkat transmisi ke k
Hubungan antara kecepatan kendaraan dan putaran mesin adalah :
0,06(1 − S )πDN
V = (1.23)
ik .i d
dimana : V = kecepatan kendaraan (km/jam)
N = kecepatan putaran mesin (rpm)
S = slip pada ban kendaraan (2-5%)
D = diameter efektif roda (m)
id = perbandingan gigi diferensial
21
1.2.7 Dinamika kendaraan Belok Pada Jalan Datar
Dalam menganalisa dinamika kendaraan belok untuk menghindari kompleksitas yang dapat
membingungkan, maka pada analisa awal ini kendaraan dianggap merupakan sati bodi kaku
yang utuh tanpa ada pengaruh dari suspense.
Gambar 2.11 menunjukkan free body diagram saat berbelok yang dipandang dari atas (a),
dipandang dari belakang (b) dan dipandang dari samping (c).
Dimana:
22
1.2.7.1 Analisa Skid
Pada saat kendaraan berbelok akibat gaya kesamping pada roda depan dan belakang
maka akan terjadi kemungkinan kendaraan skid pada roda depan atau roda belakang atau
kedua-duanya. Jika pada saat belok, roda depan yang skid maka kendaraan akan cenderung
understeer dan jika yang mengalami skid adalah roda belakang maka disebut oversteer.
Jika terjadi skid pada saat berbelok maka akan mengakibatkan kendaraan sulit untuk
dikendalikan dan sering menjadi penyebab suatu kecelakaan lalu lintas.
Skid pada roda depan akan tidak terjadi jika gaya kesamping pada roda depan lebih
kecil atau sama dengan gaya gesek yang mampu didukung oleh roda depan. Begitu juga pada
roda belakang, skid tidak akan terjadi jika gaya gesekannya masih mampu menahan gaya
kesamping yang terjadi.
Gaya kesamping yang terjadi pada roda depan (Fcf ) dan belakang ( Fcr ) dapat
dirumuskan sebagai berikut:
࢈
ࢇା࢈
Fcf = [ Fs + Fc cos β] (2.24)
Fcr = ା [ Fs + Fc cos β ] (2.25 )
Dimana :
ௐ మ
ோ
Fc = (2.26 )
Gaya gesek yang terjadi pada roda depan dan roda belakang dengan jalan adalah
perkalian antara gaya normal yang terjadi pada roda depan dan belakang dengan koefisien
gesek antara ban dan jalan.
Gaya normal pada roda depan dan belakang dapat dirumuskan sebagai berikut :
ி . . ௦ఉ ி . ெೌ
Fzf = ା ( W – FL ) + ା
- ା
- ା
(2.27 )
ி . . ௦ఉ ி . ெೌ
Fzr = ା ( W – FL ) - ା
+ ା
+ ା (2.28 )
23
Kondisi kritis dimana roda depan akan skid, jika
Fcf = µ . FZ (2.29 )
Dengan memasukkan rumus ( 2.24 ), ( 2.26 ) dan ( 2.27 ) ke rumus ( 2.29 ) maka diperoleh :
ܹ ܸଶ
ሾ ܾ cos ߚ − ℎ. µ. ߚ݊݅ݏሿ = µ. ܾ ሺܹ − ܨ ሻ − ܾ. ܨ௦ − ܨௗ . ℎ. µ − ܯ . µ
݃ ܴ
Kecepatan maximum agar roda depan tidak mengalami skid dapat dirumuskan sebagai berikut
:
ܸ௦ = ට ሾ ሿ
ோ µ.ሺௐିிಽ ሻି.ிೞ ିி ..µିெೌ .µ
ௐ ୡ୭ୱ ఉି.µ ୱ୧୬ ఉ
(2.30 )
Jika gaya dan momen angin diabaikan serta sudut β = 0 maka rumus ( 2.30 ) menjadi :
Dengan menggunakan rumus (2.25), (2.26) dan (2.28) ke rumus (2.31) didapat
kecepatan maksimum kendaraan berbelok agar roda belakang tidak skid sebagai berikut :
Vrs = ට
ఓೌ .ሺௐିிಽ ሻିிೞ ିி ఓିெೌ ఓ
ୡ୭ୱ ఉିఓ ୱ୧୬ ఉ
(2.33)
Jika gaya dan momen angin diabaikan serta sudut β = 0 maka rumus (2.33) menjadi :
24
Untuk kondisi dimana tidak ada yang diabaikan, maka :
Jika Vfs > Vrs , roda belakang akan lebih dahulu skid dibandingkan roda depan
Jika Vfs < Vrs, roda depan akan lebih dulu skid dibandingkan roda belakang
Analisa guling dimaksudkan analisa untuk mencari kondisi terjadinya salah satu roda
depan atau belakang atau satu roda belakang dan depan terangkat. Terangkatnya salah satu
roda atau kedua roda tersebut adalah menunjukkan adanya kemungkinan adanya kendaraan
akan terguling.dalam hal ini kendaraan dikatakan akan dapat mengalami bahaya terguling jika
saat berbelok ada roda yang terangkat. Jika satu roda depan terangkat maka kendaraan
dikatakan kendaraan dalam keadaan kritis akan tergulung depan, untuk roda belakang
terangkat maka dikatakan kritis akan terguling belakang, dan kalau roda depan dan belakang
sudah ada yang terangkat maka kendaraan kritis akan terguling total.
Roda dikatakan terangkat jika gaya normal yang terjadi pada roda tersebut adalah
sebesar 0 atau negatif. Gaya normal yang terjadi pada masing-masing roda adalah gaya
normal akibat berat kendaraan, perpindahan gaya normal karena momen guling, dan
perpindahan gaya normal karena momen pitching. Secara umum dapat dirumuskan :
Dimana :
Dengan menerapkan rumus standar statika, besar gaya normal pada masing-masing roda dapat
dirumuskan sebagai berikut :
25
ܨଵ = ሺܹ − ܨ ሻ − ቀ ቁ−
ி ..௦ ఉାெೃೌ ାிೞ . .ி .௦ ఉିி .ିெೌ
ଶሺାሻ ା ௧ೝ ଶሺାሻ
(2.35)
ܨଶ = ሺܹ − ܨ ሻ − ൬ ൰+
ி ..௦ ఉାெೃೌ ାிೞ . .ி .௦ ఉିி .ିெೌ
ଶሺାሻ ା ௧ ଶሺାሻ
(2.36)
ܨଷ = ሺܹ − ܨ ሻ + ቀ ቁ+
ி ..௦ ఉାெೃೌ ାிೞ . .ி .௦ ఉିி .ିெೌ
ଶሺାሻ ା ௧ೝ ଶሺାሻ
(2.37)
ܨସ = ሺܹ − ܨ ሻ + ቀ ቁ−
ி ..௦ ఉାெೃೌ ାிೞ . .ி .௦ ఉିி .ିெೌ
ଶሺାሻ ା ௧ೝ ଶሺାሻ
(2.38)
FZ2 = 0
Kecepatan kendaraan belok maksimum yang diijinkan agar satu roda depan tidak
terangkatdapat dirumuskan sebagai berikut :
Jika semua beban angin diabaikan dan β mendekati 0, cos β = 1 dan sin β = 0, maka rumus
(2.39) menjadi :
ܸ = ට
ோ ..௧
ଶ
(2.40)
FZ1 = 0
26
ቀܽ. ℎ. cos ߚ − ቁ = ܽ൬ ൰−ܽቀ ቁ − ൫ܨௗ . ℎ + ܯ ൯
.ୱ୧୬ ఉ ௐ మ ௐିிಽ ெೃೌ ାிೞ .
ଶ ଶ ௧ ଶ
Kecepatan kendaraan belok maksimum yang diijinkan agar satu roda depan tidak terangkat
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jika semua beban angin diabaikan dan β mendekati 0, maka rumus (2.48) menjadi :
ܸ = ට
ோ ..௧ೝ
ଶ
(2.42)
Jika Vfg > Vrg, satu roda belakang akan lebih dulu terangkat
Jika Vfg < Vrg, satu roda depan akan lebih dulu terangkat
Untuk kondisi dimana satu roda depan terangkat akan mengakibatkan kendaraan
menjadi understeer dan sebaliknya jika satu roda belakang yang terangkat maka kendaraan
akan cenderung oversteer.
Pada umumnya pada jalan belok diberi kemiringan yang dimaksudkan supaya
kendaraan lebih tahan terhadap skid dan kondisi guling. Gaya dan momen yang bekerja pada
saat kendaraan belok sedikit berbeda dengan yang ada pada kendaraan belok pada jalan datar.
Perbedaan yang ada ditunjukkan pada gambar 2.12 yang menunjukkan gaya dan momen yang
bekerja dilihat dari belakan
27
Gambar2.12 Gaya dan momen pada kendaraan belok pada jalan miring
Gaya kesamping yang bekerja pada roda depan dan belakang dengan memperhatikan gambar
2.11 dan 2.12 serta menggunakan prinsip statika dapat dirumuskan sebagai berikut :
Dengan juga memperhatikan gambar 2.12 dan 2.13 serta menggunakan prinsip statika, maka
gaya normal yang bekerja pada roda depan dan belakang dapat dirumuskan sebagai berikut :
28
Kondisi kritis dimana roda depan start akan skid bila :
Fcf = µ.Fzr
ܾሾܨ . cos ߚ. cos ߠ + ܨ௦ − ܹ sin ߠ ሿ = ܾ. ߤሾܹ cos ߠ + ܨ cos ߚ. sin ߠ − ܨ ሿ + ൣℎ. ܨ . sin ߚ −
ܨௗ . ℎ − ܯ ൧ߤ
ܸ௦ = ට ቂ ቃ
ோ . .ሺௐ.ୡ୭ୱ ఏିிಽ ሻఓିሺிೞ ିௐ ୱ୧୬ ఏሻିఓ൫ி.ାெೌ ൯
ௐ ሺୡ୭ୱ ఉ.ୡ୭ୱ ఏିఓ.ୡ୭ୱ ఉ.ୱ୧୬ ఏሻି.ఓ.ୱ୧୬ ఉ
(2.47)
Jika gaya dan momen angin diabaikan serta β ≈ 0, maka rumus (2.47) menjadi :
ܸ௦ = ට
ோ .ሺఓାሻ
ଵିఓ
(2.48)
Dimana : e = tan ߠ =
ୱ୧୬ ఏ
ୡ୭ୱ ఏ
Begitu juga untuk roda belakang, kondisi kritis skid akan terjadi jika :
Fcr = µ.Fzr
Dengan cara yang sama seperti menganalisa roda depan, maka kecepatan kendaraan belok
maksimum agar roda belakang tidak skid dapat dirumuskan sebagai berikut :
ܸ௦ = ට ቂ ቃ
ோ . .ሺௐ.ୡ୭ୱ ఏିிಽ ሻఓିሺிೞ ିௐ ୱ୧୬ ఏሻିఓ൫ி .ାெೌ ൯
ௐ ሺୡ୭ୱ ఉ.ୡ୭ୱ ఏିఓ.ୡ୭ୱ ఉ.ୱ୧୬ ఏሻି.ఓ.ୱ୧୬ ఉ
(2.49)
Jika gaya dan momen angin diabaikan serta β ≈ 0, maka rumus menjadi :
29
ܸ௦ = ට
ோ .ሺఓାሻ
ଵିఓ
(2.50)
Secara umum :
Jika Vfs > Vrs, skid roda belakang akan terjadi sebelum roda depan dan kendaraan cenderung
oversteer.
Jika Vfs < Vrs, skid roda depan akan terjadi sebelum skid roda belakang dan kendaraan
cenderung understeer.
Seperti halnya analisa guling kendaraan berbelok pada jalan datar, maka untuk jalan miring
pada dasarnya adalah sama. Perbedaannya yang ada adalah dari gaya dan momen yang
bekerja pada kendaraan seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.12.
Dengan mengacu pada gambar 2.11 dan 2.12 serta menerapkan prinsip statika, maka gaya
normal yang bekerja pada setiap roda dapat dirumuskan sebagai berikut :
30
ܨସ = ሺܹ cos ߠ + ܨ . cos ߚ. sin ߠ − ܨ ሻ + ቀ ቁ−
ி ..ୡ୭ୱ ఉ.ୱ୧୬ ఏିௐ..ୱ୧୬ ఏାெೌାிೞ .
ଶሺାሻ ା ௧ೝ
.ி. ୱ୧୬ ఉିி .ିெೌ
ଶሺାሻ
(2.54)
FZ2 = 0
Dengan menggunakan persamaan (2.52), kecepatan maksimum kendaraan belok agar roda
depan tidak terangkat dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jika gaya dan momen angin diabaikan serta β ≈ 0, maka rumus (2.55) menjadi :
FZ1 = 0
Dengan menggunakan persamaan (2.51), kecepatan maksimum kendaraan belok agar roda
belakang tidak terangkat dapat dirumuskan sebagai berikut :
ܸ = ඨ ቈ
ோ . ,ହሺௐ ୡ୭ୱ ఏିிಽ ሻା ି ି,ହሺி .ାெೌ ሻ
ೝ ೝ
ௐ ሺೌ..ౙ౩ ഁ.ౙ౩ ഇ ሻ
ି,ହሺ.ୡ୭ୱ ఉ.ୱ୧୬ ఏା.ୱ୧୬ ఉሻ
(2.57)
ೝ
Jika gaya dan momen angin diabaikan serta β ≈ 0, maka rumus (2.57) menjadi :
31
Jika Vfg > Vrg, satu roda belakang terangkat terjadi sebelum roda depan dan kendaraan
cenderung oversteer.
Jika Vfg < Vrg, satu roda depan terangkat terjadi sebelum roda belakang dan kendaraan
cenderung understeer.
Perilaku arah kendaraan menggambarkan stabilitas arah dari kendaraan dan juga
sering disebut karakteristik handling dari kendaraan. Makin baik perilaku arah kendaraan
maka juga kendaraan dikatakan makin stabil dan makin gampang dikendalikan atau di
“handling”. Kondisi laju kendaraan yang paling kritis yang tepat dapat menggambarkan
perilaku arahnya dalam kondisi gerakan membelok.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kendaraan dikatakan stabil jika perilaku arah
atau arah gerak kendaraan hanya dipengaruhi oleh arah belok roda kemudi sehingga mudah
dikendalikan oleh pengemudi. Pada saat kendaraan berbelok umumnya akan terajadi sudut
slip pada masing-masing roda sehingga arah gerak roda sudah berubah. Makin besar sudut
slip yang terjadi makin besar pula pengaruh terhadap arah kendaraan. Jika arah kendaraan
lebih banyak dipengaruhi sudut slip pada roda dibanding oleh arah roda kemudi maka
kendaraan dikatakan tidak stabil atau kendaraan sulit dikendalikan.
Gerakan belok adalah gerakan kendaraan paling kritis karena gerakan tersebut dapat
menunjukkan kualitas kestabilan dari kendaraan. Pada gerakan belok dengan adanya gaya
sentrifugal pada kendaraan akan dapat menimbulkan gaya-gaya dan momen pada roda
sehingga terjadi sudut slip pada ban. Pada kondisi dimana sudut slip pada ban cukup besar
maka arah belok dari kendaraan dipengaruhi oleh sudut slip. Besarnya pengaruh sudut slip
ban menentukan kualitas dari stabilitas arah kendaraan. Umumnya makin besar pengaruh
sudut slip maka makin terganggu stabilitas kendaraan.
Perilaku gerakan belok kendaraan akan dilihat pada kondisi dimana sudut slip pada ban
dianggap tidak ada dan juga pada kondisi dimana pengaruh sudut slip pada ban cukup
32
dominan. Dengan melihat kondisi tersebut maka jenis perilaku gerakan belok kendaraan dapat
dibedakan sebagai berikut :
Perilaku gerak belok ackerman juga sering disebut perilaku gerakan belok ideal yang artinya
menganggap bahwa tidak ada sudut slip yang terjadi pada ban. Kondisi inipada kenyataannya
sulit terjadi atau hanya mungkin terjadi pada gerakan belok dengan kecepatan sangat rendah
atau pada radius belok besar sehingga gaya sentrifugal yang terjadi belum mampu membentuk
sudut slip pada ban. Perilaku ackerman ini ditunjukkan pada gambar 2.1
Dengan mengacu pada gambar 2.13 dan konsep dasar geometri serta menganggap θa kecil
maka didapat :
33
57,29
ା
ఏೌబ
Rack = (a)
57,29
ା
ఋబ
Rack = 2.59
Perilaku ackerman ini menunjukkan bahwa arah belok kendaraan hanya dipengaruhi oleh
sudut belok roda depan yang diberikan oleh pengemudi. Pada kondisi belok ini kendaraan
sangat mudah dikendalikan oleh pengemudi atau stabilitas kendaraan tidak terganggu.
Pada kenyataannya setiap kendaraan belok selalu terjadi gaya sentrifugal yang cukup untuk
menimbulkan sudut slip pada setiap ban. Jika besar rata-rata sudut slip pada roda depan (αf)
sama dengan rata-rata sudut slip roda belakang (αr) maka kondisi dinamakan kondisi
kendaraan dengan perilaku belok netral. Pada kondisi ini besar radius belok kendaraan (Rn)
hanya dipengaruhi oleh sudut belok roda depan, namun lintasan kendaraan dipengaruhi oleh
sudut belok roda depan dan sudut slip roda depan (αf) serat belakang (αr). perilaku belok
netral dari suatu kendaraan ditunjukkan pada gambar 2.15.
34
Gambar 2.14 Perilaku belok netral
Dengan mengacu pada gambar 2.14 dan konsep dasar geometri serta menganggap θn kecil
maka didapat :
57,29
ା
ఏబ
Rn = (a)
35
57,29
ା
ఋ
Rn = 2.60
Dari persamaan (2.60) terlihat bahwa persamaan harga radius putar netral (Rn) sama dengan
radius ackerman (Rack) dan tidak dipengaruhi oleh sudut slip pada roda. Namun jika dilihat
pada gambar 2.14 maka terlihat bahwa titik pusat belok netral (On) berbeda dengan posisi titik
pusat belok ackerman (gambar 2.13),dimana pergeseran posisi titik ini disebabkan oleh
adanya sudut slip roda (αf, αr). dengan bergesernya titik pusat belok mengakibatkan lintasan
belok netral (n) berbeda dengan lintasan belok ackerman (a), ini sekaligus berarti bahwa
stabilitas arah kendaraan berkurang atau kemudahan “ handling” kendraan menurun.
Untuk kendaraan belok, gerakan berputar atau yawing (Yr) adalah parameter penting untuk
ditinjau. Dengan konsep dasar kinematika daan dari gambar 2.13 didapat :
ܻ =
ೝ ା
ା
(a)
Vr = V tan αr = V. αr (b)
Dengan memasukkan persamaan (b) dan (c) ke persamaan (a) dan mengetahui αr = αf didapat :
ܻ =
ೝ .ஔ
ା
(2.61)
ܻ =
ೝ .ஔ
ሺାሻହ,ଶଽ
(2.62)
36
Perilaku understeer adalah sepeti perilaku belok netral yaitu memperhitungkan pengarah dari
sudut slip rata-rata roda belakang (αr) dan depan (αf). pada kondisi understeer sudut slip roda
belakang (αr), lebih kecil dari sudut slip roda depan (αf). perilaku kendaraan understeer
ditunjukkan pada gambar 2.15. Titik pusat belok (Ou) dan lintasan belok (u) kendaraan
kendaraan yang sulit untuk berbelok sehingga umumnya ia memerlukan sudut belok (ߜf) yang
understeer berbeda dengan kendaraan dengan perilaku netral. Kendaraan understeer adalah
Dengan mengacu pada gambar 2.15 dan analisa yang telah diuraikan pada perilaku belok
netral maka didapat radius belok dan kecepatan yawing understeer sebagai berikut :
ܴ௨ = 57,29
ା
ఋబ ାఈೝబ ିఈ
బ 2.63
ܻ௨ =
ሺఋబ ାఈೝబ ିఈ
బ
ሻ
ሺାሻହ,ଶଽ
2.64
37
Kendaraan dengan perilaku belok yang understeer mempunyai radius belok yang lebih besar
dibandingkan radius belok kendaraan dengan perilaku netral. Dengan memperhatikan rumus
2.63 dapat dikatakan bahwa kendaraan dengan prilaku understeer mempunyai sudut slip roda
depan (αf) lebih besar daripada sudut slip roda belakang (αr).
Dengan membandingkan rumus 2.64 dan 2.62 maka dapat dikatakan bahwa kecepatan yawing
kendaraan understeer lebih kecil dari kecepatan yawing kendaraan netral. Uraian tersebut
dapat ditunjukkan dalam rumusan sederhana sebagai berikut :
Ru > Rn = Rack
Yu < Yn = Yack
αr < αf
untuk mengenda kendaraan yang memiliki perilaku understeer tidaklah begitu sulit karena
pada dasarnya kendaraan ini berbelok sedikit untuk sudut slip tertentu. Untuk berbelok lebih
besar maka cukup dengan member sudut steer yang lebih besar.
Sama dengan perilaku understeer, perilaku oversteer menunjukkan kondisi dimana pengaruh
sudut slip roda depan dan belakang sangat dominan terhadapgerakan belok kendaraan. Pada
kendaraanyang memiliki perilaku oversteer pengaruh sudut slip mengakibatkan kendaraan
sangat responsive pada waktu belok, atau ia dapat berbelok lebih besar dari yang diharapkan.
Kendaraan oversteer sering lebih sulit dikendalikan oleh pengemudi normal, namun
pengemudi terampil atau pembalap sering lebih senang mengendarai kendaraan yang
oversteer.
38
Gambar 2.16 perilaku belok oversteer
Karena kondisi umum pada dasarnya sama dengan perilaku understeer maka rumusan radius
belok(Ro) dan kecepatan yawing (Yo) untuk kendaraan oversteer yaitu seperti rumus 2.63 dan
2.64. Pada kendaraan dengan perilaku oversteer sudut slip roda belakang (αr) lebih besar dari
sudut slip roda depan (αf). dengan kondisi seperti itu dan dengan memakai persamaan 2.63
dan 2.64 didapat bahwa radius belok oversteer (Ro) lebih kecil dari radius belok netral (Rn)
dan juga dari radius belok understeer (Ru). sebaliknya kecepatan yawing kendaraan oversteer
(Yo) lebih besar dari kecepatan yawing netral (Yn) dan juga kecepatan yawing dari kendaraan
understeer (Yu). kondisi tersebut secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut :
Ro < Rn = Rack
Ro < Ru
Yo > Yn
Yo > Yu
αr > αf
39
untuk kendaraan yang memiliki perilaku yang sedikit oversteer masih dapat dikendalikan oleh
pengemudi terampil atau pembalap. Namun untuk kendaraan yang terlampau oversteer ia
sangat susah dikendalikan dan sering mengakibatkan “lost of control” dimana pengemudi
tidak mampu lagi mengendalikan kendaraan. Kondisi kendaraan seperti itu sangat sering
menyebabkan kecelakaan. Kendaraan yang memiliki perilaku yang terlalu oversteer juga
disebut kendaraan yang memiliki perilaku yang membingungkan ditunjukkan pada gambar
2.17. kondisi ini terjadi umumnya diakibatkan oleh karena sudut slip roda belakang (αr) jauh
lebih besar dari sudut slip roda depan (αf).
dengan demikian radius belok mnjadi amat kecil dan titik pusat belok akan bergeser ke depan
, sehingga lintasan belok menjadi sedemikian hingga simpangan (γo) menjadi kecil. Begitu
juga dengan mengingat rumus 2.64 maka terlihat bahwa kecepatan yawing (Yo) menjadi besar
sehingga kendaraan berputar mengakibatkan sudut bodi (θo) yang besar. Kondisi dimana γo
kecil ,dan θo besar, dan sudut side slip (βo) keluar atau negative mengakibatkan perilaku
kendaraan yang membingungkan dan amat susah dikendalikan. Terlihat kendaraan seperti ini
sulit mengikuti lintasan belok yang diinginkan tetapi kendaraan sudah berputar jauh melebihi
yang diinginkan.
40
2.2.9.2 Perumusan Umum Sudut Slip Pada Ban
Sudut slip pada ban sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sudut slip adalah sebagai berikut : Konstruksi ban (K), gaya lateral (Fy), gaya
normal (Fz), tekanan ban (P), keausan ban (A), dan gaya longitudinal dari ban (Fx).
Secara umum sudut slip ban bias atau ban radial dapat dirumuskan dengan model sebagai
berikut :
Dengan melakukan linearisasi dan melakukan super posisi dari setiap pengaruh parameter
diatas, maka dapat dirumuskan sudut slip untuk ban bias dan ban radial dari kendaraan.
(2.67)
Dimana:
ܥ௫ = ቂ ቃ
ி ఈା,ଵଶହସଷ ሺிೣ ሻ బ,ఱఴలళళ
ଵଽ,ହହ
41
భ
ܥ = ቂ ቃ
ி ఈ బ,ఱఴలళళ
ଵଽ,ହହ
(2.68)
(2.69)
Dimana:
ܥ௫ = ቂ ቃ
ி ఈା,ଵଽଶ ሺிೣ ሻ బ,రళరవవఴ
ଵଵ,ଵଷଽ଼
ܥ = ቂ ቃ
ி ఈ బ,రళరవవఴ
ଵଵ,ଵଷଽ଼
Dengan menganggap daya redam suspensi cukup baik sehingga kecepatan guling dan pitching
bisa diabaikan, Φ dan Ψ = 0. Anggapan ini berlaku dalam menghitung perpindahan beban/
42
gaya normal dari ban kiri ke kanan atau sebaliknya, dan dari ban belakang ke depan atau
sebaliknya.
1. Kondisi Ackerman
Kondisi ackerman adalah juga disebut kondisi ideal, suatu kondisi membeloknya
kendaraan dimana tidak terjadi sudut slip (α = 0). Dengan demikian arah belok kendaraan
semata-mata dipengaruhi oleh sudut steer.
Kondisi ini jarang terjadi, hanya terjadi pada kecepatan yang sangat rendah atau belokan
kecil sekali, sehingga gaya lateral pada ban sedemikian kecil dan tidak menimbulkan
sudut slip yang berarti. Melihaa sifat ini, maka untuk pertama kali dimana sudut steer
masih sangat kecil, kondisi ackerman bisa dipakai.
Dengan demikian pada konsep ini untuk kondisi mula dimana sudut kecil masih sangat
kecil kondisi belok kendaraan dapat dianggap kondisi ackerman.
2. Analisa Perpindaha Beban
Berdasarkan gambar 2.18 terdapat lima pusat massa bodi ( sprung mass), pusat massa
bodi total, dan pusat massa dari muatan, dan dan pusat massa dari unsprung mass, lihat
gambar dibawah.
WL = berat muatan
43
Wuf = berat unsprung mass depan (ban, poros, dan lain-lain)
ܽ=
ೞ .ௐೞ ାಽ .ௐಽ ା.ௐೠೝ
ௐ
Dan juga :
ܾ=
ೞ .ௐೞାಽ .ௐಽ ା.ௐೠ
ௐ
Kemudian dari sini kalau dicari dengan cara lain yaitu dengan menimbang dimana berat
bagian depan Wtf dan bagian belakang Wtr maka dapat ditulis :
ܴௗ = =
ௐ
ௐ ௧
ܽ= = ܴௗ . ܮ
ௐ .
ௐ
ܴௗ = =
ௐೝ
ௐ
ܾ= = ܴௗ . ܮ
ௐೝ .
ௐ
Dalam transfer load yang penting adalah C.G dari sprung mass (termasuk beban), untuk itu
maka penting untuk mengetahui posisi dari C.G sprung mass. Untuk analisa ini maka
perhatikan gambar 2.19 diawah.
44
Gambar 2.19 Posisi dari C.G sprung mass
ℎ௧ =
ಽ .ௐಽ ାೞ .ௐೞ ାೠ .ௐೠ ାೠೝ .ௐೠೝ
ௐ
(2.70)
ℎ௧ =
ೞ .ௐೞ ାೠ .ௐೠ ାೠೝ .ௐೠೝ
ௐ
(2.71)
Dan dengan memperhatikan gambar 2.19, maka dapat dihitung posisi dari C.G spurng mass
sebagai berikut :
Dimana :
a = RdfL
Ws = Wso + WL
b = (1-Rdf)L = Rdr.L
ݔ௦ =
൛൫ଵିோ ൯.ௐೠೝ ିோ .ௐೠ ൟ
ௐೞ ାௐಽ
(2.74)
45
ℎ௧ ܹ௧ = ሺℎ௧ + ܼ௦ ሻܹ௦ + ℎ௨ ܹ௨ + ℎ௨ ܹ௨ (2.75)
ܼ௦ =
൛൫ ାೠ ൯ௐೠ ାሺ ିೠೝ ሻௐೠೝ ൟ
ௐೞ ାௐಽ
Ada dua tipe dari load transfer, yaitu lateral load transfer dan longitudinal load transfer.
Proses terjadinya load transfer bisa dilihat seperti gambar 2.21 dan 2.22.
Untuk roda depan dan roda belakang dapat digambar sebagai berikut :
46
Gambar 2.21 perpindahan beban lateral pada poros depan dan belakang
ݎ = ℎ௧ + ܼ௦ − ܵ (2.76)
ܵ = ℎ + ൫ℎ − ℎ ൯
ି௫ೞ
ା
(2.77)
Dan rc didapat :
ݎ = ℎ௧ + ܼ௦ − ℎ − ൫ℎ − ℎ ൯
ି௫ೞ
ା
(2.78)
47
Sudut kecil :
cosሺ߮ଵ + ߮ଶ ሻ = 1
sinሺ߮ଵ + ߮ଶ ሻ = ߮ଵ + ߮ଶ
Dimana :
ܨீ௬
ା ௫ೞ
ା
Ff =
ܣ௨
ௐೠ
Fuf =
Dimana :
ܨீ௬
ା ௫ೞ
ା
Fr =
ܣ௨
ௐೠೝ
Fur =
48
Satu persamaan lagi adalah untuk rigid body :
߮ଶ = ߮ଶ + ߮ଶ
ା௫ೞ ି௫ೞ
ା ା
(2.82)
Jadi ada 4 persamaan yaitu, persamaan (2.79), (2.80), (2.81), dan (2.82) dengan 4 yang tidak
diketahui yaitu :
߮ଵ , ߮ଶ , ߮ଶ , ߮ଶ
߮ଵ − య ܣ௦௬ . ݎ
ௐ
߮ଶ
ተ߮ ተ = ተ − ܨ௨ . ℎ௨ ተተ
ተ−ܨ . ℎ
ଶ
−ܨ . ℎ − ܨ௨ . ℎ௨
߮ଶ
(2.83)
ܨ௬ =
ோ .ఝమ
்
ܨ௬ =
ோೝ .ఝమೝ
்ೝ
(2.84)
49
Untuk longitudinal transfer load dapat dicari sebagai berikut :
• Pitching moment (momen angguk) dilihat secara quasi statis bahwa akibat adanya
gaya Fcgx dan perpindahan pusat massa Ws terjadi anggukan body (pitching) dengan
sudut ψ yang berarti terjadi perpindahan beban normal dari roda belakang ke roda
depan. Momen angguk yang terjadi adalah sebagai penyebab dari perpindahan beban
normal tersebut., lihat gambar 2.23 sebagai berikut :
Momen angguk ini dalam keseimbangan statis ditahan oleh suspensi dan roda. Dengan
menganggap defleksi roda depan Ztf dan roda belakang Ztr maka momon reaksi suspensi Mrs
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jika kendaraan mempunyai perlambatan atau percepatan ax maka Fcgx dapat dirumuskan :
50
ܨ௫ = ܨ . sin ߚ ± ܽ௫
ௐೞ
Mp = Mrs
ൣ2ܭ௦ . ܮଶ + 2ܭ௦ . ܮଶ − ܹ௦ . ݎ ൧߰ = ൣ൫2ܭ௦ . ܮ ൯ܼ௧ − ሺ2ܭ௦ . ܮ ሻܼ௧ ൧ (2.85)
Dengan konsep keseimbangan gaya vertikal pada roda depan dan belakang didapat
persamaan :
Dengan menyelesaikan tiga persamaan yaitu (2.85), (2.86) dan (2.87) didapat harga Ψ, Ztf dan
Ztr.
Perpindahan gaya normal dari roda belakang ke roda depan (TL) kemudian dapat dihitung
dengan rumus :
ܶ =
ிೣ . ାௐೞ . .అ
ଶ
(2.88)
Pertambahan gaya normal pada masing-masing roda depan dan pengurangan gaya normal
pada masing-masing roda belakang dapat dirumuskan sebagai berikut :
ܨ = =
்ಽ ிೣ . ାௐೞ . .అ
ଶ ଶ
(2.89)
51
3. Gaya pada ban dan gaya tahanan gesek
Ada tiga macam gaya yang ada pada ban yaitu gaya vertikal, gaya samping dan gaya
memanjang.
a. Gaya Vertikal
Gaya vertikal pada intinya terdiri dari 2 tipe gaya yaitu gaya vertikal statik dan gaya
vertikal dinamik. Gaya vertikal statik adalah gaya vertikal akibat beban statis, dan
gaya vertical dinamik adalah gaya vertikal yang diakibatkan oleh gaya-gaya dinamik,
seperti halnya perpindahan gaya/ beban karena rolling atau pitching. Gaya vertikal
total pada masing-masing roda dirumuskan sebagai berikut :
Untuk roda depan :
(2.90)
(2.91)
ܨ௩ସ = + ܨ௬ − ܨ
.ௐ
ଶሺାሻ
Dimana komponen pertama di sebelah kanan (=) adalah gaya vertical statis yang lain
adalah gaya vertical dinamis.
52
Gambar 2.24 arah gaya pada C.G dan ban
b. Gaya ke samping
Gaya kesamping yang timbul pada ban adalah terbatas besarnya yang mampu ditahan
oleh bidang kontak ban dan jalan. Gaya kesamping pada ban akan mengakibatkan
terjadinya sudut slip pada setiap ban yang mana akan mempengaruhi arah gerak dari
kendaraan.
Dengan menganggap mobil adalah suatu rigid bodi, maka dapat diangap bahwa semua
titik pada kendaraan akan mengikuti gerakan rigid bodi yang berputar melalui suatu
titik putar.
Jika kendaraan membelok maka pada titik pusat beratnya akan bekerja gaya inersia
(centrifugal) Fcg. Gaya inilah akan mengakibatkan gaya pada masing-masing roda.
Gaya kesamping pada setiap roda dapat dihitung dengan cara sebagai berikut.
Percepatan lateral dan longitudinal dari sprung mass dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
53
Percepatan pada arah y dan x dari masing-masing ban dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Gaya internal dan longitudinal pada setiap roda terdiri dari 3 komponen, yaitu akibat
gaya sprung mass, gaya akibat unsprung mass, gaya akibat chamber thrust.
Gaya lateral dan longitudinal pada pusat dari sprung mass adalah didapat sebagai
berikut :
ܨ௬ = ܣ௬
ௐೞ
(2.102)
ܨ௫ = ܣ௫
ௐೞ
(2.103)
ܨଵ = ܨ௬ cos ߚଵ − sin ߚଵ + ܣ௧௬ଵ cos ߚଵ − ܣ௧௫ଵ sin ߚଵ + ܨ௬ఊଵ (2.104)
ிೣ ௐభ ௐభ
ଶ ସ
(2.105)
(2.106)
(2.107)
54
Gaya longitudinal pada setiap roda, tidak termasuk pengereman dan traksi dapat
dihitung sebagai berikut :
(2.108)
(2.109)
(2.110)
(2.111)
Besarnya gaya samping maksimal yang bias didukung oleh ban kendaraan adalah
sebesar gaya gesek ban dan jalan. Jika besaran ini dilampaui maka kendaraan akan
melesat kesamping.
Gaya tahan gesek masing-masing ban adalah dirumuskan sebagai perkalian antara
55
Dengan memperhatikan gambar 2.25 dan dengan menggunakan standar geometri,
didapat :
ߚ =
ሺఈయ ିఈయ ሻାሺఈమ ିఈమ ሻା൫ఉమ ିఉభ ൯
ଶ
(2.114)
ߚ =
ሺఈభ ିఈೝభ ሻାሺఈర ିఈೝర ሻାሺఉೝమ ିఉೝభ ሻ
ଶ
(2.115)
Dimana :
(βf2 – βf1) dan (βr2 – βr1) adalah sangat kecil dan dapat diabaikan.
Sudut putar θr = βr – βf
Radius putar dapat dihitung secara mendekati :
ܴ௧ = ሺఈ
ଵଵ,ହ଼ሺାሻ
భ ାఈೝభ ሻାሺఈమ ିఋమ ሻାሺఈయ ିఋయ ሻାሺఈర ିఋೝర ሻ
( 2.116)
ߠሶ =
ೝ ୱ୧୬ ఉೝ ି ୱ୧୬ ఉ
ା
(2.117)
ߚ = ܣ ቀsin ቁ
ೝ
(2.118)
56
Sumber: Sutantra (2001), teknologi otomotif, halaman 310
Sudut body (θ) dan kecepatan yaw (ߠሶ) dapat dihitung sebagai berikut :
dengan waktu increment Δt.
(2.120)
Selama erakan dari posisi (n-1) ke posisi n, maka pertambahan sudut badan θn
(2.121)
ߠ = ߠିଵ + ∆ߠ
Dengan sudut bodi total saat itu adalah :
(2.122)
57
Gambar 2.26 gerakan kendaraan dari satu titik ke titik lain
Dengan mengetahui posisi n dari kendaraan dan dengan mengetahui juga komponen gerakan
(kinematik) pada titik itu, maka posisi kedaraan untuk titik (n+1) dapat dihitung sebagai
berikut :
Dimana :
Dan begitu juga untuk titik-titik lain dari kendaraan, perumusannya hanya berdasarkan
kinematika saja.
58
BAB II
CONTOH KASUS
59
Jarak beban sprung ke poros Lf m 1,3
depan
Jarak beban sprung ke poros Lr m 2,08
belakang
Center of pressure angin
Xp m 0,000
Yp m 0,000
Zp m 0,050
i2 2,911
60
i3 1,566
i4 1,000
i5 0,738
fs 0,006
slip s 0,03
Sudut tanjakan
61
θ 5
θ 10
θ 15
θ 20
62
4.2.1.1 Perhitungan traksi pada kendaraan kondisi kosong
Pada gigi I ( pada putaran mesin 1500 rpm) :
• Kecepatan kendaraan ( V )
0,06(1 − S )πDN
V =
i k .i d
0,06(1 − 3%).3,14.0,8.1500
V=
4,981.6,428
V = 6,85km / jam = 1,90 m / s
• Traksi total ( F )
M e (V ).ik .id
F = .η t
r
377,08.4,981.6,248
F= .0,9
0,4
F = 27164 .77 N
• Koefisien rolling resistance (fr )
2 ,5
V
fr = fo + fs
100
2 ,5
6.85
f r = 0,012 + 0,006
100
f r = 0,012
• Gaya angkat aerodinamis ( FL )
1
FL = .Cl .ρ .Va . A f
2
2
1
FL = .0,15.1,225.(1,90 − 5) 2 .3,65
2
FL = 3,04N
• Gaya hambat aerodinamis ( Ra )
1
Ra = .C d .ρ .Va . A f
2
63
1
Ra = .0,6.1,225.(1,90 − 5) 2 .3,65
2
Ra = 12,17 N
• Rolling resistance (Rr )
Rr = f r .(W − FL )
Rr = 0,012.(35250 − 3,04)
Rr = 423,22
Fnet = 26729,37 N
Hasil perhitungan selengkapnya disusun dalam bentuk tabel (lampiran A) dan kinerja traksi
ditunjukkan dengan grafik kecepatan vs gaya dorong (traksi).
30000,00
traksi kotor
25000,00
traksi bersih
Gigi I
20000,00
Traksi (N)
15000,00
Gigi II
10000,00
Gigi III
Gigi IV
5000,00 Gigi V
0,00
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00
kecepatan (km/h)
64
Fmax pada bidang kontak ban dan jalan
30000,00
traksi kotor
25000,00 traksi bersih
Gigi I
20000,00
beton kering
Traksi (N)
0,00
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00
kecepatan (km/h)
Gambar 4.3. Fmax pada bidang kontak ban dan jalan kendaraan transmisi standard tak
bermuatan
Analisa Tanjakan
Menanjak dengan kecepatan konstan
Pada saat kecepatan konstan berarti kendaraan tidak mengalami pertambahan
kecepatan, atau percepatan berharga nol. Dengan demikian traksi yang ada pada
kendaraan hanya digunakan untuk mengatasi rolling resistance, hambatan aerodinamik
dan hambatan tanjakan.
F = W sin θ + Rr + Ra (4.1)
Dari persamaan tersebut dapat dihitung besarnya sudut tanjakan jalan yang mampu dilalui
oleh kendaraan pada kecepatan tertentu, yaitu:
W sin θ = F − Ra + Rr
W sin θ = Fnet
Fnet
θ = arcsin
W
Sebagai contoh perhitungan diambil pada gigi I (pada saaat putaran mesin 1500 rpm) :
65
26729,37
θ = arcsin
35250
θ = 49,310
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel (lampiran A)
60,00
50,00
Gigi I
Sudut tanjaksn (derajat)
40,00
30,00
Gigi II
20,00
Gigi III
Gigi IV
10,00 Gigi V
0,00
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00
kecepatan (km/h)
Gambar 4.4. Tanjakan yang mampu dilalui kendaraan transmisi standard dengan kecepatan
konstan.
66
GRAFIK TRAKSI VS KECEPATAN KEADAAN KOSONG ( HINO
DUTRO 130 HD STANDAR)
30000,00
traksi bersih
25000,00
traksi kotor
Gigi I
20000,00
Traksi (N)
15000,00 20 derajat
Gigi II
15 derajat
10000,00 10 derajat
Gigi III
Gigi IV 5 derajat
5000,00 Gigi V
0,00
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00
kecepatan (km/h)
Gambar 4.5. Tanjakan yang mampu dilalui kendaraan transmisi standard dengan kecepatan
konstan.
0,06(1 − 3%).3,14.0,8.1500
V=
4,981.6,428
V = 6,85km / jam = 1,90 m / s
67
• Traksi total ( F )
M e (V ).ik .id
F = .η t
r
377,08.4,981.6,248
F= .0,9
0,4
F = 27164 .77 N
• Koefisien rolling resistance (fr )
2 ,5
V
fr = fo + fs
100
2 ,5
6.85
f r = 0,012 + 0,006
100
f r = 0,012
• Gaya angkat aerodinamis ( FL )
1
FL = .Cl .ρ .Va . A f
2
2
1
FL = .0,15.1,225.(1,90 − 5) 2 .3,65
2
FL = 3,04N
• Gaya hambat aerodinamis ( Ra )
1
Ra = .C d .ρ .Va . A f
2
2
1
Ra = .0,6.1,225.(1,90 − 5) 2 .3,65
2
Ra = 12,17 N
• Rolling resistance (Rr )
Rr = f r .(W − FL )
Rr = 0,012.(36950 − 3,04)
Rr = 443,64
68
Fnet = F − (Ra + Rr )
Fnet = 26708,96 N
traksi kotor
25000
traksi bersih
20000 gigi 1
traksi Nm
15000
gigi 2
10000
gigi 3
gigi 4
5000 gigi 5
0
0 20 40 60 80 100 120 140
kecepatan Km/h
69
Fmax pada bidang kontak ban dan jalan
30000
traksi kotor
25000 traksi bersih
20000 gigi 1
beton kering
aspal kering
traksi Nm
0
0 20 40 60 80 100 120 140
kecepatan Km/h
Gambar 4.7. Fmax pada bidang kontak ban dan jalan kendaraan transmisi standard bermuatan.
Analisa Tanjakan
Menanjak dengan kecepatan konstan
Pada saat kecepatan konstan berarti kendaraan tidak mengalami pertambahan
kecepatan, atau percepatan berharga nol. Dengan demikian traksi yang ada pada
kendaraan hanya digunakan untuk mengatasi rolling resistance, hambatan aerodinamik
dan hambatan tanjakan.
F = W sin θ + Rr + Ra (4.1)
Dari persamaan tersebut dapat dihitung besarnya sudut tanjakan jalan yang mampu dilalui
oleh kendaraan pada kecepatan tertentu, yaitu:
W sin θ = F − Ra + Rr
W sin θ = Fnet
Fnet
θ = arcsin
W
70
Sebagai contoh perhitungan diambil pada gigi I (pada saaat putaran mesin 1500 rpm) :
26708,96
θ = arcsin
36950
θ = 49,260
Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel (lampiran A)
50,00
gigi 1
sudut tanjakan (derajat)
40,00
30,00
gigi 2
20,00
gigi 3
gigi 4
10,00 gigi 5
0,00
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00
kecepatan (km/h)
Gambar 4.8. Tanjakan yang mampu dilalui kendaraan transmisi standard dengan kecepatan
konstan dan bermuatan.
71
GRAFIK TRAKSI VS KECEPATAN KEADAAN BERMUATAN
( HINO DUTRO 130 HD STANDAR)
30000
traksi kotor
20000
traksi Nm
20 derajat
15000
15 derajat
gigi 2
10000 10 derajat
5 derajat
5000
0
0 20 40 60 80 100 120 140
kecepatan Km/h
Gambar 4.9. Tanjakan yang mampu dilalui kendaraan transmisi standard dengan kecepatan
konstan dan bermuatan.
4.2.2 Pembahasan analisa traksi
Setelah melakukan perhitungan-perhitungan hingga didapatkannya grafik dan tabel
yang menggambarkan kinerja traksi dari kendaraan maka dapat dilakukan analisa sebagai
berikut :
Dari kurva traksi vs kecepatan dalam kondisi bermuatan ataupun tidak terlihat bahwa
kurva mendekati kondisi ideal dimana saat kecepatan bertambah maka traksi yang diperlukan
semakin kecil. Perbedaan traksi ini terlihat pada kondisi traksi maksimum pada setiap kondisi
jalan. Walaupun terdapat perbedaan tetapi truck ini dapat melalui setiap kondisi jalan
walaupun dalam kondisi beban maksimum dan layak untuk di gunakan.
Untuk jalan beton kering dalam kondisi kosong traksi maksimum yang diperlukan
untuk melewati jalan ini adalah sebesar 16136,49 Nm sedangkan dalam kondisi bermuatan
traksi yang diperlukan sebesar 18073,46 Nm sedangkan traksi total yang dapat dihasilkan
oleh truk tersebut sebesar 27164,77 Nm.
72
Untuk jalan beton basah dalam kondisi kosong traksi maksimum yang diperlukan untuk
melewati jalan ini adalah sebesar 14595,98 Nm sedangkan dalam kondisi bermuatan traksi
yang diperlukan sebesar 16238,98 Nm sedangkan traksi total yang dapat dihasilkan oleh truk
tersebut sebesar 27164,77 Nm.
Untuk jalan aspal kering dalam kondisi kosong traksi maksimum yang diperlukan
untuk melewati jalan ini adalah sebesar 15372,95 Nm sedangkan dalam kondisi bermuatan
traksi yang diperlukan sebesar 17161,15 Nm sedangkan traksi total yang dapat dihasilkan
oleh truk tersebut sebesar 27164,77 Nm.
Untuk jalan aspal basah dalam kondisi kosong traksi maksimum yang diperlukan untuk
melewati jalan ini adalah sebesar 13000,28 Nm sedangkan dalam kondisi bermuatan traksi
yang diperlukan sebesar 14364,40 Nm sedangkan traksi total yang dapat dihasilkan oleh truk
tersebut sebesar 27164,77 Nm.
Untuk jalan tanah kering dalam kondisi kosong traksi maksimum yang diperlukan
untuk melewati jalan ini adalah sebesar 12674,25 Nm sedangkan dalam kondisi bermuatan
traksi yang diperlukan sebesar 13984,55 Nm sedangkan traksi total yang dapat dihasilkan
oleh truk tersebut sebesar 27164,77 Nm.
Untuk jalan tanah basah dalam kondisi kosong traksi maksimum yang diperlukan untuk
melewati jalan ini adalah sebesar 10496,56 Nm sedangkan dalam kondisi bermuatan traksi
yang diperlukan sebesar 11474,42 Nm sedangkan traksi total yang dapat dihasilkan oleh truk
tersebut sebesar 27164,77 Nm.
Untuk kemampuan menanjak dari truck ini dapat melewati kemiringan jalan
maksimum sebesar 49,31o tanpa muatan dan 49,26o dengan muatan. Sedangkan untuk jalan di
kota Denpasar tidak memiliki kemiringan jalan yang berarti. Dari hasil wawancara dengan
dinas DKP bahwa truck-truck mereka dapat melewati setiap jalan kota denpasar tanpa
hambatan dan juga hasil wawancara dengan dinas PU dan Jasa Marga bahwa sudut
kemiringan jalan tidak ada yang besar bahkan mendekati datar. Dari hal ini analisa tanjakan di
atas menggunakan sudut kemiringan jalan dibawah sudut tanjakan yang mampu dilalui oleh
truck. Dari grafik kemampuan menanjak truck tersebut terlihat bahwa rata-rata dalam kondisi
bermuatan atau tidak tanjakan 5o dapat dilalui dengan transmisi tingkat ke 4 selanjutnya sudut
10o dapat dilalui pada tingkat transmisi ke 3 dan pada sudut tanjakan 15o dan 20o dapat dilalui
pada tingkat transmisi ke 2.
73
4.2.3 Analisa stabilitas kendaraan
74
SKID SKID
TIDAK TIDAK
6.5 39.683 9.947 -2.179 1933 4912 7393 8912.5
SKID SKID
TIDAK TIDAK
7 35.995 11.220 -0.627 2171 5256.5 7392 8911
SKID SKID
TIDAK TIDAK
7.5 32.934 12.404 1.404 2399.5 5588 7391 8909.5
SKID SKID
TIDAK TIDAK
8 30.353 13.508 3.116 2618 5906 7395 8908
SKID SKID
75
SKID SKID
TIDAK TIDAK
8 30.353 13.508 3.116 2618 5906 6469 7796
SKID SKID
sudut
Radius αf αr Fyf Fyr Fycf Fycr kondisi skid
steer
derajat meter derajat derajat N N N N depan belakang
- TIDAK TIDAK
4.5 67.245 3.721 905.645 3426 7853 9470
23.876 SKID SKID
- TIDAK TIDAK
5 57.296 5.490 1172.5 3811.5 7853 9470
15.211 SKID SKID
TIDAK TIDAK
5.5 49.912 7.099 -9.809 1433.5 4188.5 7853.5 9470
SKID SKID
TIDAK TIDAK
6 44.214 8.578 -5.979 1687 4555.5 7853.5 9469
SKID SKID
TIDAK TIDAK
6.5 39.683 9.947 -2.179 1933 4912 7853.5 9469
SKID SKID
TIDAK TIDAK
7 35.995 11.220 -0.627 2171 5256.5 7854 9468
SKID SKID
TIDAK TIDAK
7.5 32.923 13.019 2.337 2399.5 5588 7854 9468
SKID SKID
TIDAK TIDAK
8 30.353 13.508 3.116 2618 5906 7854 9468
SKID SKID
sudut
Radius αf αr Fyf Fyr Fycf Fycr kondisi skid
steer
derajat meter derajat derajat N N N N depan belakang
- TIDAK TIDAK
4.5 67.245 3.721 905.645 3426 5080.5 6128
23.876 SKID SKID
- TIDAK TIDAK
5 57.296 5.490 1172.5 3811.5 5080.5 6128
15.211 SKID SKID
TIDAK TIDAK
5.5 49.912 7.099 -9.809 1433.5 4188.5 5081.5 6127
SKID SKID
TIDAK TIDAK
6 44.214 8.578 -5.979 1687 4555.5 5081.5 6127
SKID SKID
TIDAK TIDAK
6.5 39.683 9.947 -2.179 1933 4912 5082 6127
SKID SKID
TIDAK TIDAK
7 35.982 11.752 0.255 2171 5256.5 5082.5 6126
SKID SKID
TIDAK TIDAK
7.5 35.995 11.220 -0.627 2399.5 5588 5082.5 6126
SKID SKID
76
TIDAK TIDAK
8 30.353 13.508 3.116 2618 5906 5084.5 6126
SKID SKID
Untuk perhitungan dan hasil perhitungan pada kecepatan 50 km/jam dan 60km/jam
selanjutnya dapat dilihat pada lampiran B
Dari analisa dari analisa diatas menunjukkan bahwa pada kondisi berbelok dengan kecepatan
40 km/jam, 50 km/jam dan 60 km/jam kendaraan tidak mengalami guling karena tidak ada
roda yang terangkat.roda dikatakan terangkat apabila gaya normal pada masing-masing roda
bernilai 0 atau negative dan pada hasil perhitungan yang didapat nilai gaya normal semua
bernilai positif dan lebih dari nol.
Untuk kecepatan 40 km/jam kendaraan tidak mengalami skid di setiap fariasi sudut steernya
dan di setiap kondisi jalan, ini dikarenakan gaya samping mampu ditahan oleh setiap rodanya.
77
Berikutnya pada kecepatan kendaraan 50 km/jam pada kondisi jalan beton basah tidak terjadi
skid, pada jalan beton kering tidak terjadi skid, pada kondisi jalan aspal basah sudah terjadi
skid pada sudut steer ke 7o, padan kondisi jalan aspal kering tidak terjadi skid, pada jalan
tanah basah sudah terjadi skid pada sudut steer ke 5o, pada jalan tanah kering sudah terjadi
skid pada sudut steer ke 7o. dan terahir pada kecepatan 60 km/jam pada jalan beton basah
sudah terjadi skid pada sudut steer 5o, pada jalan beton kering sudah skid pada sudut steer
6,5o, pada jalan aspal basah sudah skid pada sudut steer 4,5o, pada jalan aspal kering skid pada
sudut steer 5o dan pada jalan tanah basah dan kering sudah skid pada sudut 4,5o. jadi secara
garis besar kecepatan ideal truck untuk berbelok dengan beban maksimun adalah pada
kecepatan 40 km/jam.
78
DAFTAR PUSTAKA
Adi Atmika, “Simulasi Pengendalian Stabilitas Kendaraan Melalui Pengontrolan Torsi dengan
Continouse Variable Transmission” Tesis Pasca Sarjana, ITS Surabaya, Pebruari
2004.
Adi Atmika.,“Desain dan Karakteristik Sistem Kontrol Torsi dengan CVT Untuk Memperbaiki
Stabilitas Arah Kendaraan”, Jurnal Majalah IPTEK, ISSN.0853-4098, Vol 15.
No.3, Surabaya, Nopember 2004.
Agus Sigit Pramono, Devi Chandra, Pandri Pandiatmi, “Smart System Four Whell Steering (4
WS) Berdasarkan Kendali Yaw Rate”, Jurnal Poros, Jakarta 2007.
Ary Subagia. IDG, Rancang Bangun dan Karakteristik Sistem Kemudi Empat Roda (4WS)
melalui Pengendalian Yaw Rate dengan sistem Kontrol Electrik, Tesis Pasca
Sarjana 2004, ITS Surabaya.
Ary Subagia, Wayan Berata, Pemodelan Simulasi Berbasis Fuzzy Controller terhadap Perilaku
Yaw Rate dengan Pengendalian sudut Steer Roda Belakang, Jurnal Teknik Mesin
Univ. Kristen Petra, ISSN 1410-9867, Vol.6 no.2 Oktober 2004 Surabaya.
Ary Subagia.IDG, Agus Sigit P, Requirement for Corner Angle Variation of Rear Wheel on
Four Wheel Steering System with Controlled Eunuch Slip, Jurnal Majalah IPTEK,
ISSN.0853-4098, Vol 16. No.1, Februari 2005. Surabaya
Agus Sigit P, I.N Sutantra, Iwan Fauzan., “Design and Perfomance Characteristic of Gearless
Variable Transmission Applied for Automobile”, Proceding, FISITA World
Automotive Congress, June 12 – 15, 2000, Seoul, Korea.
Akira Higuchi, Yasushi Saito, Toyota Motor Corporation, Optimal Control of Four Wheel
Steering Vehicle, Proceeding of AVEC 92, Japan, (1992 9), Nr. 923043.
Cau, Min., Advance Automotive Control System in Future, Proceding, Int. Pacific Conference
11 (IPC-11), Nov. 6 – 9,2001,Shanghai,Cina
I.N.Sutantra, Rancang Bangun Sistem Kemudi 4 Roda Multi Parameter untuk Meningkatkan
Stabilitas, Kemampuan Parkir dan Belok Kendaraan, Laporan Hibah Bersaing VIII,
Dirbin Litabmas-DIKTI, 1999-2000,Jakarta
I.N.Sutantra, Yusuf Kaelani, Dinamic Characteristics of Multi Function Four Wheel Steering
System, FISITA World Automotive Congress, June, 2000, Seoul, Korea,
F2000G344.
J.Y. Wong, Theory of Ground Vehicles, John Wiley & Son, New York, 1978
Motoki S, Yu Qing W, M Nagai, Motion Control of Electrical Vehicle Considering Vehicle
Stability, August 22 – 24, AVEC-2000, Ann Arbor, Michigan
M. Abe, Y.Kano, K.Suzuki, An Experimental Validation of Side Slip Control to Compensate
Vehicle Lateral Dynamic for A Loss of stability Due To Nonlinier Tire
Characteristics, Proc. 5th Int’l Syposium on Advanced Vehicle Control (AVEC-
2000), August 22 – 24, 2000, Ann Arbor, Michigan.
Sutantra, Teknologi Otomotif – Teori dan Aplikasinya, Guna Widya, 2001, Surabaya.
Sinsuke sato, et all, “Integrated Chasiss Control System for Improved Vehicle Dynamic,
Toyota Motor Corp, 1992.
79