Anda di halaman 1dari 23

Nama Peserta : dr.

Citranggana Prajnya Dewi


Nama Wahana : RSUD Patut Patuh Patju, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
Topik: Combustio Grade IIA/B 24% TBSA
Tanggal (kasus): 16 Oktober 2019
Nama Pasien : Tn. SI No. RM : 997027
Tanggal Presentasi : Oktober 2019 Nama Pendamping :
dr. Kadek Sulyastuty
Tempat Presentasi : RSUD Patut Patuh Patju, Lombok Barat
Objektif Presentasi: Diagnosis dan Tatalaksana Combustio

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Bahan bahasan: Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

Data pasien: Tn. SI No. RM : 997027

Nama Wahana : RSUD Patut Patuh Patju,


Telp pasien : - Pasien terdaftar sejak :
Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
16 Oktober 2019
Deskripsi:
Pasien laki-laki usia 47 tahun datang ke IGD RSUD Gerung dengan keluha n luka
bakar pada kedua tungkai bawah, daerah ketiak kanan serta dada kanan sejak lima hari
lalu setelah terkena gas bocor. Pasien mengaku langsung berobat ke puskesmas setelah
kejadian lima hari lalu, dilakukan perawatan luka dan pemberian antibiotik dan anti
nyeri namun keluhan tidak membaik. Demam disangkal, pasien mengaku pada beberapa
titik luka tidak dapat merasakan nyeri.

1
Tujuan: Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat

Data utama untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis/Gambaran klinis : Combustio Grade IIA/B 24% TBSA

2. Riwayat Pengobatan : Amoxicilin dan salep bioplacenton dari puskesmas

3. Riwayat kesehatan/Penyakit : Riwayat HT, DM dan penyakit jantung disangkal

4. Riwayat keluarga : Keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan yang sama

5. Riwayat pekerjaan : Wiraswasta


Daftar Pustaka:
1. Stylianou N, Buchan I., Dunn K.W. 2015. A review of the intenational burn injury
database (ibid) for England and Wales: descriptive analysis of burn injuries 2003-2011.
2. WHO. 2018. World Report on Child Injury Prevention, Chapter 4 : Burn. United States
of America
3. American College of Surgeon. 2018. Advanced Trauma Life Support. 10th edition.
United States of America : Chicago, Saint Clair Street
4. Texas EMS Trauma and Acute Care Foundation Trauma Division. 2016. Burn Clinical
Practice Guideline. United States of America : Texas
5. Yasti, Ahmet et al. 2015. Guideline and treatment algorithm for burn injuries. Ulus
Travma Acil Cerrahi Derg, vol. 21 no. 2. Turkey : Diskapi Ankara
6. Hawkins, Hal K., Jayson J., Celeste C. Finnerty. 2017. Chapter 46 : Pathophysiology
of the Burn Scar. Total Burn Care 5th edition. Elsevier
7. Australian and New Zealand Burn Association. 2016. Emergenct Management of
Severe Burns 18th edition.
8. Dries, David J., John J. Marini. 2017. Management of Critical Burn Injuries : Recent
Developments
9. Doherty GM. 2014. Current Surgical Diagnosis and Treatment. 12th edition. New York
: Graw-Companies
10. Meyer, Walter J et al. 2017. Chapter 64 : Management of Pain and Other Discomfort
in Burned Patients. Total Burn Care 5th edition. Elsevier

2
Hasil Pembelajaran:

1. Pendekatan diagnosis pasien combustio grade IIA/B

2. Pendekatan manajemen penatalaksanaan pasien combustio grade IIA/B

RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO

SUBJEKTIF
Pasien laki-laki usia 47 tahun datang ke IGD RSUD Gerung dengan keluhan luka
bakar pada kedua tungkai bawah, daerah ketiak kanan serta dada kanan sejak lima hari
lalu setelah terkena gas bocor. Pasien mengaku langsung berobat ke puskesmas setelah
kejadian lima hari lalu, dilakukan perawatan luka dan pemberian antibioti k dan anti
nyeri namun keluhan tidak membaik. Demam disangkal, pasien mengaku pada beberapa
titik luka tidak dapat merasakan nyeri.

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Keluhan serupa disangkal


 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit stroke disangkal
 Riwayat asma maupun alergi disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:

 Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat asma maupun alergi disangkal
 Riwayat batuk lama atau penyakit kronis disangkal
 Riwayat penyakit jantung dan ginjal disangkal

3
Riwayat Pengobatan:
 Pasien langsung berobat ke puskesmas setelah mengalami luka bakar, dilakukan
tindakan rawat luka, pemberian Amoxicilin tablet 3x500 mg dan salep bioplacenton
namun luka tidak membaik.

Riwayat Alergi:

 Riwayat alergi makanan dan alergi obat disangkal.

OBJEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
KU : sedang
Kesadaran: Compos Mentis
TTV :
 TD : 140/80 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 RR : 20 x/menit
 SPO2 : 98 % tanpa O2
 Suhu : 36,3 0C axila
Status Generalisata
 Kepala/ Leher: normosefali, trakea inline
 Mata: anemis (-/-), ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), exophthalmos (-/-)
 Mulut: sianosis (-)
 Thoraks:
 Inspeksi : simetris (+), retraksi (-), deformitas (-), memar (-)
 Palpasi : pergerakan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di seluruh lapang thoraks
 Paru : vesikuler +/+, ronkhi -/- wheezing -/-
 Jantung : S1S2 tunggal ireguler, murmur (-) gallop (-)

4
 Abdomen:
 Inspeksi : distensi (-), scar (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepar/ren/lien tidak teraba
 Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedema -/-, CRT< 2”
 Ekstremitas inferior: akral hangat +/+, oedema pitting -/-, CRT< 2”

Status Lokalis:
a. Regio axilla dextra: didapatkan bula (+), derajat luka bakar IIA/B, estimasi luas luka 2%
b. Regio thorax dextra: bula (-), derajat luka bakar IIA, estimasi luas luka 4%
c. Regio cruris dextra: didapatkan bula (+), derajat luka bakar IIA/B, estimasi luas luka 9%,
hypoestesia (+)
d. Regio cruris sinistra: didapatkan bula (+), derajat luka bakar IIB, estimasi luas luka 9%,
hypoestesia (+)

Dokumentasi Luka Pasien (18/09/2019)

Keterangan:
- Luka bakar regio axilla dextra

5
Keterangan:
- Luka bakar pada regio
thorax dextra

Keterangan:
- Luka bakar pada regio
cruris dextra dan sinistra

6
Pemeriksaan Laboratorium: (16/10/2019)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
HGB 13,7 13,2 – 17,3 g/dL
RBC 4,60 4,0 – 5,0 x 106 /µL
HCT 39,5 37,0 – 45,0 %
MCV 85,9 82,0 – 92,0 fl
MCH 29,8 27,0 – 31,0 pg
MCHC 34,7 32,0 – 37,0 g/dL
WBC 8,27 4,0 – 11,0 x 103 /µL
PLT 186 150 – 400 x 103 /µL

Kimia Klinik
GDS 91 70-200 mg/dL
Ureum 26,8 21,4 – 49,2 mg/dL
Creatinine 1,23 0,5 – 1,1 mg/dL

TATALAKSANA

Konsul dr. Nanang, Sp.B:

- IVFD RL 24 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
- Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
- Inj. ATS 1.500 iu
- Rencana debridement sampai skin graft besok (17 Oktober 2019)
- Konsul bagian penyakit dalam dan anestesi

ASSESMENT
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan didapatkan kasus combustio grade IIA/B.

7
PEMBAHASAN

Definisi Luka Bakar

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh kontak baik langsung maupun tak
langsung dari suhu panas, arus listrik, bahan kimia dan radiasi yang mengenai kulit mukosa dan
jaringan yang lebih dalam. Luas dari luka bakar ditentukan oleh tingkat panas atau suhu dan
lamanya kontak dengan bahan penyebab luka tersebut.1

Luka bakar atau combustio menurut WHO adalah suatu bentuk kerusakan dan kehilangan
jaringan disebabkan kontak dengan sumber suhu yang sangat tinggi seperti kobaran api di tubuh
(flame), jilatan api ke tubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuk benda panas (kontak
panas), akibat serangan listrik, bahan-bahan kimia, sengatan matahari (sunburn) dan suhu yang
sangat rendah. Tingkat keparahan cedera biasanya ditandai dengan luasnya kulit yang terkena,
lokasi anatomis, kedalaman cedera, usia pasien dan adanya kelainan penyerta.2

Epidemiologi

Menurut WHO Global Burden of Disease, estimasi pada tahun 2004, sebanyak 310.000
orang meninggal akibat luka bakar, dimana 30% diantaranya berusia dibawah 20 tahun. Kasus
luka bakar yang berhubungan dengan api berada di posisi 11 dalam penyebab kematian anak usia
1-9 tahun. Anak-anak berisiko tinggi untuk mengalami kematian dari luka bakar dengan global
rate sebesar 3.9 kematian per 100.000 populasi. Diantara banyak kasus luka bakar, pasien bayi
memiliki tingkat kematian tertinggi diikuti dengan pasien lanjut usia.2

Secara global, sekitar 96.000 anak-anak di bawah usia 20 tahun mengalami luka fatal
dengan luka bakar oleh api. Tingkat kematian di negara berkembang sebelas kali lebih tinggi
dibandingkan dengan negara maju dengan persentase 4.3 per 100.000 populasi dibandingkan
dengan 0.4 per 100.000. Kasus kematian terbanyak ditemukan di daerah Afrika dan Asia Tenggara.

Klasifikasi Luka Bakar

Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme penyebab, derajat atau tingkat
keparahan luka, luas area yang terbakar serta bagian tubuh yang terkena luka bakar. Klasifikasi
luka bakar adalah sebagai berikut:

8
a. Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan Mekanisme Penyebab

Secara garis besar, luka bakar berdasarkan mekanisme penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu :3,4,5

1. Luka Bakar Thermal merupakan luka bakar yang disebabkan oleh suhu tinggi dan sering
menimbulkan gejala pada kulit berupa:
- Scalds: disebabkan oleh cairan panas atau uap panas
- Luka Bakar Kontak: disebabkan oleh benda padat yang panas, seperti besi panas,
peralatan memasak dan pemantik rokok
- Luka Bakar Flame: disebabkan oleh pijaran api yang dapat berasal dari pemantik rokok,
lilin maupun kompor
- Luka Bakar akibat bahan kimia: disebabkan oleh paparan bahan kimia seperti bahan
asam dan basa yang kuat.
- Luka Bakar sengatan listrik
2. Luka Bakar akibat trauma inhalasi adalah luka bakar akibat dari menghirup gas yang terlalu
panas, uap panas, cairan panas atau bahan berbahaya dari pembakaran yang tidak
sempurna. Hal ini dapat menyebabkan luka bakar pada saluran pernafasan dan paru-paru.
Kasus luka bakar dengan trauma inhalasi terjadi pada kira-kira 20-35% kasus luka bakar.
Trauma inhalasi merupakan penyebab yang paling banyak menyebabkan kematian pada
kasus luka bakar.

b. Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan derajat dan tingkat keparahan luka 2,3,4

- Luka bakar derajat I atau luka bakar superfisial merupakan luka bakar pada bagian
epidermis, dan bagian epidermis masih intak. Luka bakar jenis ini disebabkan oleh
paparan radiasi sinar matahari pada kulit yang tidak terproteksi (sunburn) atau kontak
singkat dengan benda panas, cairan panas atau pijaran api (scalds). Gejala klinis yang
timbul umunya berupa eritema. Luka bakar derajat I dapat sembuh dalam waktu
seminggu tanpa perubahan permanen pada warna, tekstur maupun ketebalan kulit.
- Luka bakar derajat II atau luka bakar parsial merupakan luka bakar yang kerusakannya
sudah mencapai lapisan kulit di bawah epidermis hingga dermis. Dalam kategori ini
luka bakar kembali dibedakan menjadi dua, yaitu luka bakar derajat II superfisial

9
parsial dan luka bakar derajat II dalam. Luka bakar derajat II superfisial parsial
merupakan luka dengan kerusakan epiteliat yang komplit tanpa menimbulkan masalah
pada neurovascular. Gejala klinisnya dapat berupa lembab, sangat nyeri, berwarna
merah muda yang akan menjadi pucat bila disentuh. Luka bakar jenis ini dapat sembuh
dalam waktu sekitar dua atau tiga minggu. Sedangkan, luka bakar derajat II dalam
kerusakannya sudah sampai tahap epithelial dan reticular dermis. Gejala klinisnya
adalah luka tampak kering, tidak terasa nyeri, tampak berwarna pucat. Luka jenis ini
membutuhkan waktu penyembuhan lebih dari tiga minggu dan akan menimbulkan skar
hipertropik.
- Luka bakar derajat III adalah luka bakar yang kerusakannya sudah mencapai seluruh
elemen kulit seperti epidermis, dermis, jaringan subkutan dan folikel rambut. Luka
bakar jenis ini tidak dapat regenerasi sendiri tanpa grafting. Gejala klinisnya berupa
kulit tampak translusen atau putih seperti lilin, bagian dermis tampak kemerahan dan
kering, serta tidak nyeri. Semakin dalam luka, kulit akan semakin tidak elastis.
- Luka bakar derajat IV adalah luka bakar yang melibatkan seluruh bagian dari kulit,
jaringan subkutis lemak, fascia, otot hingga tulang. Terdapat carbonized appearance.

c. Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan tingkat keparahan luka bakar 2,4

1. Luka bakar minor

Terdapat tiga jenis luka bakar yang masuk dalam kategori luka bakar minor yaitu, luka
bakar derajat dua pada orang dewasa dengan luas area yang terkena kurang dari 15%, luka
bakar derajat dua pada anak-anak dengan luar area yang terkena kurang dari 10% dan luka
bakar derajat tiga pada anak-anak maupun orang dewasa dengan luas area kurang dari 2%.

2. Luka bakar sedang (moderate)

Luka bakar yang termasuk dalam kategori luka bakar sedang yaitu, luka bakar derajat
dua pada orang dewasa yang mengenai area seluas 15-20%, luka bakar derajat dua pada
anak-anak dengan luar area yang terkena sebesar 10-20%, luka bakar derajat tiga pada
anak-anak dan orang dewasa yang mengenai area seluas 2-10%.

10
3. Luka bakar major

Luka bakar yang termasuk dalam kategori luka bakar majoy yaitu, luka bakar derajat
dua pada orang dewasa dengan luas area yang terkena lebih dari 25%, luka bakar derajat
dua pada anak-anak dengan luas area yang terkena lebih dari 20% dan luka bakar derajat
tiga pada orang dewasa dan anak-anak dengan luas area lebih dari 10 %.

d. Klasifikasi Luka Bakar berdasarkan luas area 2,3,4

Luka bakar dapat diklasifikasikan tingkat keparahannya berdasarkan luas area dan
seberapa parah area yang terkena. Luas luka bakar dinyatakan sebagai persentase terhadap luas
permukaan tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA). Beberapa metode dapat digunakan
untuk menentukan luas area. Pada orang dewasa dan anak-anak usia 10 tahun ke atas, metode
yang paling umum digunakan adalah ‘rule of nine’. Metode ini dapat digunakan untuk
menentukan persentase total luka bakar dari area mayor tubuh. Metode ini tidak dapat
digunakan untuk anak usia 10 tahun. Metode yang digunakan yakni dengan Lund and Bowder
Chart. Metode ini dikatakan sebagai metode yang paling akurat untuk mengestimasi tidak
hanya luas area luka bakar, tetapi juga derajat luka bakar pada pasien luka bakar baik orang
dewasa maupun anak-anak.

Selain itu terdapat juga metode ‘rule of palms’ yang digunakan untuk luka bakar ukuran
kecil-kecil dan tersebar tidak beraturan. Tangan pasien termasuk jari-jarinya sama dengan 1%
dari total body surface area (TBSA). Luka bakar yang melibatkan organ-organ seperti mata,
telinga, wajah, tangan, kaki dan genitalia merupakan ‘area luka bakar khusus’ yang
membutuhkan perawatan di burn unit/ center.

11
Gambar 1. Rule of Nine

Gambar 2. Lund and Browder Chart

12
Patofisiologi Luka Bakar

Luka bakar pada tubuh dapat terjadi karena kontak panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan suhu hingga 44 derajat celcius tanpa kerusakan yang
bermakna, kecepatan kerusakan jaringan akan meningkat seiring meningkatnya suhu tersebut.
Jaringan saraf dan pembuluh darah merupakan jaringan yang tidak tahan dengan suhu yang tinggi.
Kerusakan pembuluh darah ini menyebabkan cairan intravascular berupa darah, protein plasma
dan elektrolit keluar menuju interstitial. Hal ini dapat menyebabkan kondisi hipovolemik pada
kasus luka bakar yang berat. Volume cairan intravascular mengalami deficit, sehingga perfusi ke
jaringan tidak adekuat, kondisi ini dikenal sebagai syok hipovolemik.5,6

Luka bakar juga dapat menyebabkan kegagalan system organ yang berujung kematian. Hal
ini terjadi akibat peningkatan permeabilitas vascular, sehingga ekstravasasi cairan dari dalam
pembuluh darah menuju interstitial meningkat. Hal ini menyebabkan tekanan onkotik dan tekanan
intraseluler mengalami penurunan. Jika hal ini terjadi terus-menerus, akan menyebabkan gangguan
perfusi jaringan yang dikenal dengan syok hipovolemik. Syok hipovolemik mengakibatkan
gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi organ-organ penting seperti otak, jantung,
nepar, traktus gastrointestinal, sehingga akan terjadi kegagalan system organ. 6,8

Secara fisiologis penyembuhan luka dilakukan melalui suatu proses yang melibatkan
aktivasi perbaikan jaringan oleh fibroblast dan pembuluh darah kecil, proses respon inflamasi oleh
karena bocornya pembuluh darah serta masuknya komponen-komponen seperti polimorfonuklear
neutrophil (PMN), limfosit dan makrofag. Ketika luka terjadi, terdapat kebocoran pada pembuluh
darah, hal ini akan menimbulkan reaksi inflamasi serta reaksi predominan terjadi di jaringan
dermis dan subkutan. Jaringan ikat akan teraktivasi untuk menghasilkan kolagen, yang akan
mengisi bagian-bagian yang jaringan yang hilang akibat proses terjadi luka, sehingga resistensi
kulit kembali normal. Kontinuitas vascular akan kembali dengan proses remodeling pembuluh
darah dan keratinosit basal dari epidermis akan mengisi celah-celah di bagian epidermis sehingga
struktur barrier epidermis kembali seperti semula.6

Bila suatu luka menyebabkan hilangnya bagian dermis dan epidermis, mekanisme
inflamasi dan perbaikan luka akan lebih lama. Kebocoran plasma darah akibat rusaknya pembuluh
darah kecil akan semakin banyak, hal ini akan menimbulkan koagulasi fibrin terganggu. Perubahan

13
fibrinogen menjadi fibril mengisi epidermis dan memberikan jalan agar sel-sel dapat mudah
bermigrasi. Thrombin menstimulasi interleukin-6 dalan jaringan ikat. Degranulasi dari platelet
menghasilkan platelet derived growth factor (PDGF) dan sitokin infamasi. Degradasi fibrin
menghasilkan peptide yang akan menstimulasi proliferasi dan sekresi fibroblast, serta produksi
sitokin untuk sel lain. Fibroblast dermal bersama dengan stem sel tersebar di permukaan luka dan
mengekskresikan kolagen dan proteoglikan (proteoglikan dengan predominan kolagen tipe III)
dalam jumlah yang besar. Sel endotel pembuluh darah akan berproliferasi dan membentuk jaringan
kapiler. Sel-sel ini akan membentuk jaringan granulasi yang akan berfungsi untuk menutup luka.
Sel fibroblast dan sel endothelial distimulasi oleh sitokin dan peptide yang dihasilkan oleh monosit
dan sel limfoid yang masuk dalam luka. Beberapa protein dan peptide tertentu yang terkandung
dalam plasma darah seperti fibronectin dan vitronectin juga membantu menstimulasi pembentukan
matriks pada jaringan luka. Selain itu, sel PMN juga masuk dalam luka untuk memfagositosis dan
membunuh bakteri serta jamur yang masuk ke jaringan luka terbuka. Jaringan fibroblast kemudian
menghubungkan satu diri satu sama lain dan membentuk jaringan yang disebut dengan
myofibroblast. Jaringan myofibroblast ini, ukurannya dapat disesuaikan dengan ukuran luka.
Bersamaan dengan proses diatas, sel keratinosit basal yang berdasa di bagian tepi epidermis
berproliferasi dan masuk kedalam jaringan luka, yaitu diantara jaringan granulasi dan bagian
permukaan kulit yang terisi protein yang mongering. Ketika kedua bagian tersebut menyatu dan
menutup bagian tengah luka, sel keratinosit akan mengubah fenotip selnya dan akan
mengembalikan struktur epidermis normal dan memproduksi basal lamina yang baru. Sel
melanosit juga bermigrasi ketika proses penyembuhan luka yang luas dan membentuk pigmentasi
pada jaringan luka yang sembuh yang serupa dengan warna kulit disekitarnya. Pada proses
penyembuhan luka, hanya bagian epidermis yang dapat kembali menjadi normal. Bagian lain
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar minyak dan bagian lain dari epidermis tidak
dapat diregenerasi kembali, sehingga bagian tersebut seringkali terlihat kering, datar dan tidak
berambut.6,7

Pada luka bakar, fungsi fisiologis kulit dalam memperbaiki jaringannya sendiri akan
terganggu. Sel kulit pada permukaan kulit sensitive terhadap perubahan suhu yang terlalu ektstrim,
oleh karena itu, jika kulit terpapar suhu yang terlalu tinggi, sel kulit akan mati. Bahan-bahan
bersuhu tinggi seperti kobaran api, listrik dan kontak dengan bahan panas seringkali menyebabkan
pirolisis dan oksidasi jaringan. Kulit pada bagian dermis merupakan konduktor yang baik

14
dibandingkan dengan jaringan subkutis, oleh karena itu, jika kulit terpapar bahan panas, jika di
biopsi kulit bagian dermis seringkali mengalami nekrosis, dan bagian subkutis hanya beberapa
bagian sel yang mati. Namun pada kasus luka bakar yang berat, seluruh bagian subkutis dapat
menjadi nekrosis, dan kematian sel dapat terjadi hingga bagian fascia, otot skeletal atau bahkan
organ dalam.3,6

Terdapat beberapa faktor yang dapat membuat penyembuhan luka bakar menjadi lambat
yaitu :3,6

1. Perfusi jaringan yang tidak adekuat

Pada luka bakar dengan kasus yang lebih berat dari luka bakar superfisial, terdapat
jaringan yang iskemia. Hal ini menandakan kurangnya peredaran darah pada daerah
tersebut. Pada luka bakar superfisial, luka akan tampak kemerahan karena peningkatan
aliran darah di daerah tersebut, sedangkan pada luka bakar parsial dalam, jaringan pada
luka tersebut telah mengalami iskemik, sehingga aliran darah menuju daerah luka tersebut
akan berkurang. Pada kurun waktu 24 jam, dengan perfusi yang tidak adekuat tersebut,
jaringan iskemik akan semakin meluas ke arah dalam.

2. Infeksi luka

Infeksi bakteri pada luka bakar seringkali menyebabkan komplikasi pada proses
penyembuhan luka. Risiko infeksi bakteri pada pasien luka bakar lebih besar karena
jaringan yang mengalami nekrosis merupakan media yang baik bagi bakteri untuk
berkembang. Ketika infeksi terjadi, proses penyembuhan yang melibatkan faktor-faktor
inflamasi akan terganggu. Beberapa jenis bakteri menyebabkan jaringan nekrosis semakin
banyak dan menginvasi ke jaringan normal, menyebabkan nekrosis semakin meluas. Jika
infeksi semakin meluas hingga pembuluh darah, akan terjadi septicemia.

15
Tatalaksana Luka Bakar

Tatalaksana dalam instalasi gawat darurat dibagi menjadi dua bagian, yaitu primary survey
dan secondary survey.3,7

Primary Survey

1. Airway

Pada kasus luka bakar, mempertahankan jalur nafas merupakan tidakan yang sangat
penting. Pada jalur nafas dapat terjadi obstruksi yang disebabkan oleh trauma langsung
seperti trauma inhalasi, tetapi juga disebabkan oleh edema yang terjadi akibat luka bakar.
Edema pada luka bakar biasanya tidak langsung muncul, tanda dari obstruksi itu sendiri
akan akan tidak tampak hingga kondisi pasien mendadak kritis. Oleh karena itu diperlukan
evaluasi airway yang adekuat, sehingga tatalaksana pada jalur nafas pasien dapat tertangani
sejak dini. 3,7

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko obstruksi jalan nafas yaitu ukuran
luka bakar, kedalaman luka bakar, luka bakar pada kepala dan wajah, trauma inhalasi dan
luka bakar di dalam mulut. Luka bakar yang terlokalisir pada area wajah dan mulut
menyebabkan edema yang terlokalisir dan meningkatkan risiko tertutupnya jalan nafas.
Hal ini disebabkan oleh jalur nafas tersebut ukurannya lebih kecil. Pasien dengan trauma
inhalasi memiliki risiko yang besar terhadap obstruksi bronkial. Pada pasien-pasien dengan
kasus trauma inhalasi diperlukan intubasi dengan endotracheal tube (ETT) dengan ukuran
7.5 -8 mm, ukuran ini harus disesuaikan dengan ukuran jalur nafas, bila ukuran ETT terlalu
kecil, dapat menyebabkan ventilasi, sekresi pembersihan menjadi terganggu. 3,7

Menurut American Burn Life Support (ABLS), terdaoat beberapa indikasi untuk
intubasi jalan nafas adalah 3:

 Terdapat tanda obstruksi jalan nafas seperti suara serak, stridor, ketika bernafas
menggunakan otot aksesoris respiratorik dan terdapat retraksi sternal
 Jumlah area yang terkena luka bakar > 40-50%
 Luka bakar yang luas dan dalam
 Luka bakar di dalam mulut

16
 Terdapat edema yang signifikan atau berisiko untuk mengalami edema
 Pasien mengalami kesulitan menelan
 Terdapat tanda kompensasi respiratorik, seperti hilangnya kemampuan untuk
mengeluarkan sekresi, kelelahan respiratorik, sulitnya oksigenasi serta ventilasi.
 Terdapat penurunan kesadaran
 Pasien dengan trauma inhalasi yang membutuhkan evakuasi ke burn center,
sebelum dirujuk, pasien sebaiknya dilakukan intubasi terlebih dahulu.

2. Breathing

Pada bagian breathing, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu hipoksia,
keracunan karbon monoksida dan trauma akibat terhirupnya asap. Hipoksia dapar
disebabkan oleh luka bakar pada daerah dada atau trauma pada dada yang tidak ada
hubungannya dengan luka bakar. Untuk mengatasi hipoksia, pasien diberikan oksigen baik
dengan atau tanpa intubasi.3

Pada pasien dengan kasus kebakaran yang berada di ruang tertutup, perlu
diperhatikan terhadap kemungkinan adanya keracunan dari karbon monoksida. Diagnosis
dari keracuunan karbon monoksida didapat dari riwayat terpapar karboksihemoglobin
(HbCO). Pasien dengan kadar CO yang kurang dari 20% biasanya tidak ditemukan gejala.
Peningkatan dari kadar CO dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala dan mual (kadar
CO 20-30%), koma (kadar CO 40-60%), bahkan kematian (kadar CO > 60%). Pasien
dengan keracunan karbon monoksida harus diberikan oksigen high flow (100%) dengan
non-rebreathing mask (NRM). Hal ini disebabkan karena CO memiliki daya ikat dengan
hemoglobin lebih kuat daripada oksigen, sehingga hemoglobin lebih banyak mengikat CO
dibandingkan dengan oksigen. CO setelah terikat dengan hemoglobin, membutuhkan
waktu yang lama untuk memisahkan diri. Pasien yang bernafas tanpa bantuan oksigen
membutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk membebaskan ikatan CO dengan hemoglobin.
Sedangkan dengan bantuan oksigen high flow, waktu tersebut dapat dipersingkat menjadi
40 menit.3,7

Produk dari hasil pembakaran seperti partikel karbon dan asap beracun juga dapat
menyebabkan trauma inhalasi. Partikel-partikel tersebut akan mengendap di brokiolus

17
distal dan merusak sel-sel mukosa. Sel-sel yang mengalami nekrosis seringkali
menghambat jalur pernafasan. Hal ini yang menyebabkan proses sekresi pembersihan jalur
pernafasan menjadi terhambat, sehingga pasien dengan trauma inhalasi berisiko untuk
mengalami infeksi saluran pernafasans seperti pneumonia.

American Burn Association mengidentifikasikan dua hal yang perlu diperhatikan


dalam mengdiagnosis trauma inhalasi akibat paparan asap, yaitu: terdapat paparan dari
benda-benda yang mudah terbakar dan tanda dari paparan asap pada saluran pernafasan
bagian bawah (organ di bawah pita suara). Evaluasi pasien dengan trauma inhalasi akibat
paparan asap dapat dilakukan dengan foto thorax dan analisa gas darah. Tatalaksana pasien
dengan trauma akibat paparan asap bersifat suportif, bila hemodinamik dan trauma spinal
telah di eksklusi, pasien dapat dilakukan elevasi kepala sebesar 30 derajat untuk
mengurangi risiko edema pada bagian leher dan thoraks. Bila terdapat luka bakar terjadi
pada bagian thoraks yang berisiko restriksi dari pergerakan dinding dada, dapat dilakukan
escharotomy pada dinding dada. 3,7

3. Circulation

Tujuan resusitasi cairan pada syok akibat luka bakar adalah:

1. Mempertahankan reperfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah


regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
2. Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin kelangsungan
hidup di seluruh sel
3. Meminimalisir respon inflamasi dan hipermetabolik serta mengupayakan stabilisasi
secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.9

Resusitasi cairan dimulai dengan pemasangan infus dua jalur pada tubuh pasien
dengan abocath berukuran 18. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonic
kristaloid, seperti cairan Ringer Laktat. Perhitungan awal resusitasi cairan telah
diperbaharui oleh American Burn Association oleh karena adanya kasus resusitasi berlebih
bila menggunakan formula Parkland. Menurut consensus terbaru, resusitasi cairan pada
pasien dengan luka bakar derajat II dan III dimulai dengan rumus: 2 ml RL x BB (kg) x
TBSA (%) pada orang dewasa dan 3 ml RL x BB (kg) x TBSA (%) pada anak-anak diatas

18
30 kg. Total perhitungan kebutuhan cairan berdasarkan rumus tersebut kemudian dibagi
menjadi 2 bagian. Setengah dari total kebutuhan diberikan dalam 8 jam pertama, dengan
kecepatan 1000ml/jam. Kemudian cairan sisanya diberikan dalam 16 jam selanjutnya.
Dalam pemberian resusitasi cairan, pemantauan cairan yang keluar sangat penting untuk
menghindari adanya resusitasi yang berlebih. Pemantauan cairan yang keluar dapat
dilakukan dengan pemasangan dower catheher dengan target cairan keluar pada orang
dewasa sebanyak 0.5 ml/kgBB/jam, sedangkan pada anak-anak dengan berat kurang dari
30 kg, target pemantauan cairan keluar yaitu sebesar 1 ml/kgBB/jam. Pada orang dewasa
cairan keluar dipertahankan sebanyak 30-50 ml/jam untuk meminimalisir potensi resusitasi
berlebih. Resusitasi berlebih dapat menyebabkan peningkatan edema, compartement
syndrome pada regio abdomen dan ekstremitas, sedangkan pasien yang kekurangan
resusitasi cairan dapat berisiko hipoperfusi dan kerusakan organ yang ditandai dengan
aritmia jantung dan abnormalitas dari kadar elektrolit.3,5,8

Berikut adalah tabel perhitungan resusitasi berdasarkan tipe luka bakar dan usia pasien:

Kategori Luka Usia dan Berat


Kebutuhan Cairan Urine Output
Bakar Badan

dewasa dan anak-


2 ml RL x BB (kg)x TBSA (%) 0,5 ml/kg/jam
anak > 14 tahun
Luka bakar akibat
anak-anak<14tahun 3 ml RL x BB (kg) x TBSA (%) 1 ml/kg/jam
api atau air panas
bayi dan anak-anak 3ml RL x BB (kg) x TBSA (%)
1 ml/kg/jam
dengan BB<30 kg + D5% saat maintenance

1-1.5 ml /kg/jam
Luka bakar akibat 4 ml RL x BB (kg) x TBSA (%)
semua usia hingga urine
listrik hingga urine bersih
bersih

Keterangan: RL: Ringer Laktat, BB: Berat Badan dalam kg, TBSA: Total Body Surface Area

Tabel 1. Tabel perhitungan resusitasi cairan

19
Luas luka bakar dinyatakan sebagai persentase terhadap luas permukaan tubuh atau
Total Body Surface Area (TBSA). Beberapa metode dapat digunakan untuk menentukan
luas area. Pada orang dewasa dan anak-anak usia 10 tahun ke atas, metode yang paling
umum digunakan adalah ‘rule of nine’. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan
persentase total luka bakar dari area mayor tubuh. Metode ini tidak dapat digunakan untuk
anak usia 10 tahun. Metode yang digunakan yakni dengan Lund and Bowder Chart. Selain
itu terdapat juga metode ‘rule of palms’ yang digunakan untuk luka bakar ukuran kecil-
kecil dan tersebar tidak beraturan. Tangan pasien termasuk jari-jarinya sama dengan 1%
dari total body surface area (TBSA). Perlu diperhatikan dalam perhitungan TBSA, luka
bakar yang tergolong superfisial tidak dimasukkan dalam hitungan. Luka bakar tipe ini
tidak memerlukan resusitasi cairan karena bagian epidermis masih intak.3,4,5

4. Exposure

Kondisi pasien yang mengancam jiwa harus segera diidentifikasi dan mulai
penanganan emergensi. Ketika dilakukan Primary survey, sebaiknya proses pembakaran
pada pasien dihentikan terlebih dahulu dengan cara melepas pakaian pasien. Hal ini
disebabkan oleh kulit sintetis pada kain pakaian dapat terbakar dan meleleh menjadi residu
panas yang dapat membakar kulit pasien secara terus. Selain itu perlu diperhatikan dalam
usaha menghentikan pasien yang masih tersulut api seperti tindakan menggulingkan pasien
dapat menyebabkan kontaminasi luka bakar terhadap debris atau air yang
terkontaminasi.3,7

Pada pasien dengan kontaminasi bahan kimia, pada bagian luka harus dibersihkan
dari bahan kimia. Setelah membersihkan bahan kimia dari luka, area luka didekontaminasi
dengan menggunakan cairan saline hangat atau mandi air hangat bila fasilitas memadai.
Setelah proses pembakaran telah dihentikan, berikan pasien selimut untuk mencegah
hipotermia.

20
Secondary Survey

Secondary Survey terdiri dari mempertahankan sirkulasi perifer, pemasangan gastric tube,
pemberian analgetik dan sedative, perawatan luka dan imunisasi tetanus.3

1. Mempertahankan Sirkulasi Perifer

Tujuan dari mengevaluasi kembali sirkulasi perifer adalah untuk memastikan tidak
adanya sindrom kompartemen pada pasien. Sindrom kompartemen merupakan hasil dari
peningkatan tekanan dalam kompartemen struktur perfusi, dalam kasus luka bakar, kondisi
ini dapat terjadi akibat berkurangnya elastisitas kulit dan meningkatnya edema dalam
jaringan lunak. Pada ekstremitas, yang menjadi focus utama adalah perfusi dalam
kompartemen tersebut. Tekanan sistolik yang besar (>30 mmHg) dapat menyebabkan
sindrom kompartemen yang berujung nekrosis otot, oleh karena itu, tekanan sistolik perlu
dikurangi. Tanda – tanda dari sindrom kompartemen yang perlu diwaspadai adalah: nyeri
berlebih yang tidak sesuai dengan stimulus, nyeri yang terasa saat pergerakan pasif, edema,
dan paresthesia.3

2. Pemasangan Gastric Tube

Pemasangan gastric tube dilakukan pada pasien yang mengalami mual, muntah,
distensi abdomen atau pasien dengan luas luka >20% pada orang dewasa dan luas luka
>10% pada anak-anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya aspirasi pada pasien-
pasien tersebut.3,7

3. Pemberian Analgetik dan Sedatif

Pasien dengan luka bakar pada umumnya akan merasakan nyeri. Hal ini disebabkan
oleh karena terjadi hyperalgesia dan allodynia pada pasien. Hiperalgesia merupakan
peningkatan dari respon nosiseptif pada stimulus nyeri (contoh: tusukan jarum), sedangkan
allodynia merupakan rasa nyeri yang berlebihan pada stimulus non-nyeri (contoh:
sentuhan, gesekan baju, perubahan pergerakan udara). Rasa nyeri yang belebihan ini
disebabkan oleh hilangnya lapisan pelindung dari epidermis dan terjadinya inflamasi yang
membuat saraf-saraf tepi menjadi lebih sensitif. Selain itu, respon inflamasi yang
ditimbulkan dari adanya luka bakar, menyebabkan lepasnya sitokin dan chemokine yang

21
meningkatkan rasa nyeri, tidak hanya di bagian yang terkena luka bakar, namun meluas
hingga area sekitarnya.

Pasien dengan luka bakar yang berat akan gelisah sebagai akibat dari hipoksemia
atau hypovolemia. Sebelum diberikan analgetik atau sedative, sebaiknya diberikan
resusitasi cairan yang adekuat, karena akan mengaburkan tanda-tanda dari hipoksemia dan
hypovolemia. Obat-obatan analgetik dan sedative dibagi menjadi dua bagian yaitu
golongan opiate dan non opiate. Obat-obatan golongan opiat yang dapat diberikan berupa
morfin, fentanyl, remifentanil, alfentanill, methadone, golongan benzodiazepine dan obat-
obatan non opiate sepeti acetaminophen serta obat golongan nonsteroidal antiinfalamatory
drug (NSAID). Obat-obatan analgetik dan sedative diberikan dalam dosis kecil, Morfin
merupakan gold standard dan lini pertama dalam tatalaksana nyeri pada luka bakar. morfin
dapat diberikan dalam dosis 0.05-0.1 mg/kg, dosis ini dapat ditingkatkan setiap 5-10 menit.
Pemberian dengan dosis kecil dengan frekuensi sering lebih aman diberikan dibandingkan
dengan dosis besar dengan frekuensi sebanyak satu kali pemberian.3,7,10

4. Perawatan Luka

Perawatan untuk luka bakar kedalaman parsial yang sangat nyeri adalah berupa
menutupinya dengan kasa steril, karena paparan udara sekalipun dapat menyebabkan luka
pada kategori ini terasa sangat nyeri. Pemecahan bula atau pemberian antiseptik tidak
disarankan. Tatalaksana berupa memberikan kompres dingin telah ditinggalkan karena
dapat membuat pasien berisiko hipotermia. Luka bakar sebaiknya dibersihkan dengan
cairan saline yang steril. Setelah itu diberikan krim antibiotic seperti silver sulfadiazine,
lalu ditutup dengan kasa steril kering. Pada pasien dengan luas luka bakar >10% ,
tatalaksana yang dilakukan adalah menutup luka dengan kasa kering. Sedangkan pada
pasien dengan luas luka bakar >20%, tatalaksana yang dilakukan adalah menutup luka
dengan ada kering dan memberi pasien selimut atau meningkatkan suhu ruangan agar
ruangan menjadi hangat. Pada pasien dengan luas luka <10%, tatalaksana yang dapat
diberikan berupa kasa steril yang terlah diberikan cairan saline steril.2,3,7

22
5. Pemberian Anti Tetanus

Luka bakar merupakan luka yang rentan mengalami infeksi, karena luka bersifat
terbuka dan dalam. Spora dari clostridium tetani dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka
terbuka dan berkembang dalam kondisi kekurangan oksigen. Saat spora masuk melalui
luka bakar tersebut, spora akan mengalami masa inkubasi 1-21 hari sebelum akhirnya
menimbulkan gejala klinis tetanus. Oleh karena itu, diperlukan pemberian anti tetanus
sebagai upaya pencegahan infeksi tetanus.3

23

Anda mungkin juga menyukai