Anda di halaman 1dari 188

Penakluk Ujung Dunia

Karya Bokor Hutasuhut


Djvu, convert & Ebook : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/

Penakluk Ujung Dunia


Ayahanda Bokor menjadi mubaliq Islam di Tanah Batak.
Karena itu, dia suka ikut menyusup hutan belantara, mendaki
bukit dan lembah Bukit Barisan. Menyusup melewati Pintu
Pohan, Parhitean, naik ke Tangga dan tembus ke Simalungun.
Juga kembali melalui Dairi ke Tanah Samosir.
Dalam perjalanan, sering ngobrol sepanjang malam dengan
para tetua, wakil masa silam, masih primitif, sederhana, tapi
simpatik. Dengan para tetua itu. Bokor setempat tidur dan
para tetua terus bercerita
Di hutan, lembah, dan ngarai sudah biasa saja. Bertemu
harimau dan binatang buas lain tak soal lagi. Dan, suatu kali,
di suatu hutan, di atas dedahanan rimbun terdapat sarang
tawon ruang pun memanjat poitu berusaha mengisap madu
itu. Tapi, seseorang lantas ikut naik, memanjat pohon yang
sama yang setelah bibir berdecap mengucap jampi, beruang
itu menyisih .
Dan, "Penakluk Ujung Dunia" berkisah pada sulitnya
memperoleh lahan. Perang warga sering berkecamuk. Lantas
Ronggur mencoba menerobos Sungai Titian Dewata untuk
mencari daerah baru. Kepergiannya dikutuk karena melawan
tradisi. Dan, setelah dia kembali dan berhasil menemukan
daerah baru, justru dia akan dihukum gantung karena
Ronggur tetap saja sudah melawan tradisi kepercayaan yang
sudah hidup turun temurun.
Sungguh menawan dan indah ....
PENAKLUK UJUNG DUNIA
Oleh: Bokor Hutasuhut Hak Pengarang dilindungi undang-
undang Desain Kulit: Sriwidodo
Cetakan Pertama 1964 PT Pembangunan-Jakarta Cetakan
Kedua 1988
Penerbit: PT Pustaka Karya Grafika Utama Jakarta
Sekilas Pengarang:
BOKOR HUTASUHUT, lahir di Balige, Tanah Batak, Sumatra
Utara 2 Juni 1934. Dalam catatan masuk HIS, hari lahir itu
berubah menjadi 2 Juni 1933. Menurut ayahnya, H.A.M.
Mangaraja Gende Hutasuhut, perubahan itu perlu jika ingin
sekolah. Dalam catatan itu juga tercatat nama benar Buchari
Hutasuhut agar kelak menjadi pengarang tafsir Quran.
Sejak 1953 sudah menulis cerita pendek ke berbagai
majalah sastera dan media budaya. Selain buku ini, juga
sudah terbit buku "Tanah Kesayangan" dan "Datang Malam".
Kini berdomisili di Medan.
Kata Pengantar
Bokor Hutasuhut punya gaya bercerita yang merupakan
gabungan sifat formal dan bebas. Formalitasnya, formalitas
tutur kata bahasa lisan menurut tradisi Batak. Sedangkan
kebebasannya, kebebasan penghayatan kebudayaan modem
dari tradisi sastra modern.
Ia sangat sadar bahwa ia sedang menyelami dan
melukiskan kehidupan masyarakat Batak yang unik tradisional
kepada pembaca sastra modern pada umumnya. Ketelitiannya
di dalam melukiskan detail-detail ia gabungkan dengan rasa
harmoni seni dalam bercerita mengenai watak manusia, plot,
segi memandang persoalan sebagai sastrawan modern.
Sehingga hasilnya bukanlah sekedar laporan anthropolis -
akademis, tetapi suatu karya sastra segar dengan latar
belakang pengaruh tradisi kebudayaan Batak. Begitulah ia
muncul sebagai sastrawan dengan gaya yang unik di antara
sastraivan modern yang lain di Indonesia.
Ia bukan photo copy kebudayaan Batak, tetapi orang Batak
tulen yang menjadi sastrawan Indonesia. Ia telah selesai
melakukan wawancara dengan tradisinya dan dengan
dinamika modern dari Indonesia Raya, lalu duduk dan menulis
novel ini. Alangkah hidup detail-detail dari lukisannya. Satu
pertanda bahwa ia mengerti betul-betul apa yang ia tuliskan.
Marilah kita sekarang menikmatinya.
Rendra
1
Satu-satu para lelaki keluar rumah, memenuhi panggilan
suara gong yang dipalu sesekali dekat unggun api yang ada di
halaman perkampungan. Wajah para lelaki yang bermunculan
di mulut pintu, memancarkan rasa marah dan mendendam.
Senja baru saja berlalu. Di langit bintang gemerlapan. Tapi,
tidak ada bulan. Hingga cahaya unggun api yang samar,
cukup punya arti. Nyalanya meliuk ditiup angin. Para lelaki itu
membentuk lingkaran seputar unggun api. Tapi, di sebelah
hulu, belum seorang pun mengambil tempat. Sengaja
dikosongkan.
Angin pegunungan berhembus. Lebih dulu meliukkan pucuk
bambu duri yang ditanam orang sekitar kampung, langsung
menjadi pagar kampung. Bambu duri itu, ditanam melingkar.
Mengikuti lingkaran rumah dan di tengah dikosongkan.
Halaman kampung menjadi luas, tempat penghuni kampung
selalu berkumpul di saat yang perlu. Di saat Kerajaan Marga
yang mendiami kampung itu mengadakan musyawarah.
Wajah para lelaki tambah jelas kelihatan, setelah cukup
dekat unggun api. Wajah yang cukup matang dan keras, yang
dimasak kerasnya hidup sehari-hari, wajah yang menampung
sinar matahari penuh. Dan, memecahkan tanah batu untuk
dijadikan persawahan.
Gong masih dipalu sesekali. Para lelaki tambah banyak
berkumpul. Tapi, satu sama lain, tampaknya saling diam. Dari
jauh kedengaran suara ratap para perempuan. Kemudian
kelompok manusia itu menjadi tambah hening, tidak ada yang
berkerisik, sewaktu enam orang lagi lelaki datang mendekat.
Salah seorang di antaranya menyandang ulos-batak ragi-
hidup, kepalanya dibeliti bolat-an berwarna tiga jalin-menjalin:
merah, putih, dan hitam. Tangan kanan memegang
tungkotpanaluan, yang hulunya berukirkan wajah dan kepala
manusia, serta dihiasi rambut manusia. Di pinggang, terselip
pisau gajah-dompak. Pertanda dia Raja Panggonggom, yang
memegang kekuasaan adat dan hukum tertinggi di
perkampungan itu, di marga yang mendiami kampung itu.
Yang berjalan di sebelah kanannya, memakai bolatan juga.
Tapi, warnanya hanya merah dan putih berjalinan, pertanda
dia Raja Ni Huta. Juga dia menyandang ulos-batak, tapi
raginya berbeda dengan yang dipakai oleh Raja
Panggonggom. Raja Ni Huta yang memakai bolatan ini,
pengerah tenaga rakyat, dan langsung memimpin para Raja Ni
Huta dari kampung lain, yang masih semarga dengan mereka.
Di sebelah kiri Raja Panggonggom, berjalan seseorang yang
memakai bolatan warna merah saja, pertanda dia Raja
Nabegu, pemegang pimpinan para panglima dan para
hulubalang perkasa. Dia juga menyandang ulos-batak, tapi
raginya berbeda dengan ragi yang disandang fyaja
Panggonggom dan Raja Ni Huta. Sedang di tangannya,
tergenggam tombak yang hulunya berukirkan kepala manusia.
Di belakang mereka bertiga, mengiring pula Raja Partahi,
Raja Namora, dan Datu Bolon Gelar Guru Mafla-sak. Raja
Partahi dan Raja Namora, memakai bolatan warna putih,
pertanda mereka pemegang perbekalan marga. Sedang Datu
Bolon Gelar Guru Marlasak menyandang kulit monyet yang
sudah kering, sedang mulutnya terus-terusan menguyah sirih
dan meludah. Mereka mengambil tempat di sebelah hulu,
yang sejak tadi dikosongkan. Tempat mereka lebih tinggi dari
yang lain. Di tangan kiri Raja Panggonggom, tergenggam
sebilah pisau yang ujungnya berlumur darah merah. Sebelum
duduk, lebih dahulu dia menancapkan tungkotpanaluan ke
tanah. Semua mata diarahkan padanya berusaha mengikuti
gerak-geriknya. Kuping sudah, siap mendengar yang hendak
diucapkannya.
Setelah mengangkat tangan kanan, dia mengaju tanya,
"Apakah sudah semua lelaki hadir di sini?"
Setiap suku kata ditekankan kuat-kuat. Suaranya yang
beruntum keluar dengan cepat, pewarta bahwa dia sedang
marah. Matanya merah nyala. Sedang dari kejauhan, tetap
kedengaran sesayup sampai ratap perempuan, yang meratap
kan kepiluan hati, hati yang berduka. Ratap inilah yang.
membuat wajah para lelaki itu bermuraman, muram
mengandung marah yang menuntut dibalaskan. Cepat saja
diketahui bahwa tidak seorang pun perempuan hadir di antara
para lelaki yang mengitari unggun api itu.
"Sudah semua," sahut seseorang, yang langsung berdiri
dari duduknya, kepalanya memakai bolatan warna hitan,
tangannya menggenggam tombak berukirkan kepala manusia,
tapi tidak berhiaskan rambut, pertanda dia panglima marga
atau hulubalang marga.
"Apakah sudah berkumpul semua pemuda di sini?"
tanyanya pula melanjut.
"Belum," sahut seseorang, yang juga memakai bolatan
warna hitam, dan menggenggam sebuah tombak, tapi
bolatannya lebih kecil dari orang pertama. Pertanda dia,
hulubalang muda.
"Siapa yang belum hadir?" tanya raja.
"Si Ronggur."
"Si Ronggur belum hadir? Ke mana dia pergi?"
Tidak ada yang menyahut. Raja Panggonggom lalu
mengatakan, "Ayoh, pergilah salah seorang dari kamu
memanggilnya. Apakah harus aku yang pergi memanggilnya?"
Hulubalang Muda cepat berdiri. Terus pergi melaksanakan
perintah. Dia berlari dengan langkah yang panjang dan cepat.
Kembali Raja Panggonggom duduk. Tongkat panaluan,
pusaka nenek moyang turun-temurun dielusnya seketika.
Tubuhnya yang sudah tua itu masih membayangkan bekas
bentuk tubuh yang tegap di masa muda, disaputi kulit hitam
yang cukup matang. Wajahnya yang berkerut-kerut,
keningnya yang lebar, dan sinar matanya masih tetap
bercahaya, bernadakan kepercayaan akan diri sendiri.
Para lelaki yang duduk di sampingnya, juga sudah agak
tua. Di hadapannya, para lelaki yang masih muda, punya otot
tubuh yang tegap dan masih berada di puncak kekuatan.
Walau ada di antara mereka yang agak kecil, namun garis di
wajahnya, ototnya, kulitnya yang hitam, segumpal daging
yang dapat dipercaya kesehatan dan kekuatan yang
terkandung di dalamnya. Sedang para pemuda, yang
tubuhnya setiap hari masih terus membentuk sebuah tubuh
yang wajar, dan dari wajahnya memancar kebeningan tapi
bercampur-baur dengan kematangan, sesuatu pertanda
ketangkasan.
Sambil duduk, Raja Panggonggom menggerutu, "Kita harus
menunggu anak itu lagi."
Tidak seorang pun yang berani menambahi cakapnya. Tapi,
wajah Raja Nabegu, yang duduk sejajar dengannya, menjadi
merah padam, seperti merasakan sesuatu kesalahan, kenapa
Ronggur tidak bisa hadir sebelum golongan raja hadir di sana.
Dari jauh kelihatan dua orang pemuda mendekat.
"Apakah kau tidak mendengar gong dipalu? Apakah kau
tidak mengetahui, apa arti gong yang dipalu dengan pukulan
satu-satu? Apakah kau harus diajar untuk mendengar dan
mengartikannya lagi? Bukankah kau sudah diajari Raja
Nabegu?" tanya Raja Panggonggom cepat, ma-nyambut
kehadiran mereka.
"Aku dapat mendengar dan mengartikannya, Paduka Raja,"
jawab pemuda itu.
"Kenapa kau tidak terus mematuhi panggilan? Kenapa kau
melalaikannya? Apakah tubuhmu itu tidak dialiri darah merah
yang diwariskan Almarhum ayahmu lagi?"
"Masih, Paduka Raja."
"Tahukah kau bahwa ayahmu tidak pernah mengabaikan
panggilan gong pusaka ini? Terlebih bila gong dipalu satu-
satu? Ataukah dengan sengaja kau melambatkan
kedatanganmu karena kau bukan seorang lelaki? Jawab
pertanyaanku dengan jujur. Supaya para arwah nenek
moyang dan dewata tidak marah."
"Paduka Raja, dalam tubuhku mengalir darah yang
diwariskan ayahanda almarhum. Kupingku mendengarkan
suara gong pusaka, malah langsung membakar semangatku."
"Kalau begitu, kenapa kau terlambat datang? Atau, kau
memang sengaja mengabaikan panggilannya?"
"Aku tidak mengabaikannya, Paduka Raja. Tapi, aku
sedang memikirkan, bagaimana aku harus melaksanakan
perintah yang akan ditugaskan padaku. Dan apa yang harus
kuucapkan dalam pertemuan ini, bila saat musyawarah
diadakan."
"Nah, kalau begitu dengar dulu kataku."
Raja Panggonggom menebarkan pandang ke sekitar.
Menatap wajah demi wajah dengan pandang tajam, lalu,
"Semua lelaki yang ada di hadapanku, yang pada tiap
tubuhmu mengalir darah merah warisan nenek moyang,
merahnya, api semangat yang tidak boleh dipadamkan.
Barulah kau dapat dikatakan seorang lelaki yang menghormati
nama baik nenek moyangmu, nama baik rajamu, nama baik
kampung, margamu, dan marga kita. Dan, barulah pula kau
wajar dihormati sebagai seorang lelaki."
Orang terdiam mendengarkan. Pada tiap wajah makin jelas
kelihatan pancaran sesuatu cahaya yang tidak mau
dipadamkan. Mata tiap orang menjadi merah dan gusar.
Tubuh mereka berkeringat olehnya. Otot yang tegap itu
menjadi mengencang, dibakar perasaan dalam hati.
"Pada tangan sebelah kiriku," lanjut Raja Panggonggom,
"tergenggam sebilah pisau, yang tadi pagi sengaja ditusukkan
orang, orang dari marga lain, ke dada salah seorang dari
antara kamu, dari antara kita, sehingga dia meninggal.
Mayatnya sekarang terlentang kaku di Sopo Bolon. Sekitar
mayatnya duduk melingkar para perempuan. Meratap
berkepanjangan. Tentu kamu turut mendengar ratap mereka,
ratap yang menangiskan sebuah perpisahan, perpisahan yang
timbul karena perbuatan orang lain. Para perempuan itu
berduka. Tapi, bagi kita para lelaki, tidak saja kepiluan
mendatangi diri. Yang menekan hati, lebih berat mendatang
dari penghinaan yang dengan sengaja diarahkan marga lain
yang membunuh Ama ni Boltung itu. Penghinaan yang harus
ditantang dengan sikap jantan, dengan darah merah yang
memancarkan cahaya semangat yang tak akan padam pada
tiap wajah kita. Ketahuilah, ratap para perempuan itu, sesuatu
yang mengharapkan penuntutan balas. Kita terkutuk, bila kita
tidak menuntut balas. Dan, kita tidak berhak lagi disebut dan
dihormati sebagai lelaki, bila penghinaan yang sangat nista ini
kita terima begitu saja."
Suara mendengung pada kelompok yang ada di depan raja.
Berakhir dengan meledaknya ucapan, "Perintahkan dengan
cepat, apa yang harus kami perbuat. Sebuah penghinaan
harus segera dilenyapkan. Supaya orang lain tidak berani
mengulanginya terhadap marga kita!"
"Ya, memang untuk itu kita berkumpul malam ini."
Ronggur berdiri. Matanya dilayangkan pada kelompok
pemuda, kemudian pada kelompok para lelaki. Lalu tertumpu
akhirnya ke tempat para raja.
"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Raja
Panggonggom.
"Ya. Kalau paduka raja mengijinkan aku berbicara,"
suaranya tegas dan pasti. Kuat meledak. "Bicaralah____"
"Paduka Raja, dapatkah Paduka Raja menceritakan pada
kami, kenapa marga lain itu menancapkan ujung pisaunya ke
dada Ama ni Boltung?"
"Pisau itu mereka tancapkan ke dada Ama ni Boltung,
karena persoalan pembagian air yang harus dialirkan ke
sawah. Juga karena pertengkaran mengenai perbatasan
sawah. Yang menyerang Ama ni Boltung, tidak seorang saja.
Tidak kurang dari lima orang ma lah. Mereka menyerang
sekaligus, hingga Ama ni Boltung yang sudah kita kenal
keberanian dan ketangkasannya berkelahi, rubuh ke atas
tanah. Tapi, janganlah kita beranggapan bahwa Ama ni
Boltung terlalu lalai menghadapi musuhnya. Dia masih sempat
membawa korban. Tidak kurang dari dua orang yang
menyerang dirubuhkannya, dicabutnya nyawa mereka dengan
ujung pisau. Dan, seorang lagi luka pada tangannya.
Arwahnya tentu ditempatkan para dewata di tempat para
hulubalang perkasa, tempat terhormat."
"Kuhormati kepahlawanan Ama ni Boltung," sahut Ronggur,
"tapi yang paling perlu kita pikirkan sekarang, mula atau
sebab timbulnya perkelahian itu. Dari keterangan Paduka
Raja, dapatlah diketahui bahwa soalnya timbul karena
pembagian air dan perbatasan sawah. Soal yang sudah terlalu
sering menimbulkan pertengkaran, yang sudah terlalu sering
mengakibatkan pecahnya perang antara satu marga dengan
marga lain, antara satu lu hak dengan luhak lain. Yang
menjadi pokok persoalan sekarang menurut pendapatku,
hendaknya kita menelaah, kenapa persoalan begitu rupa
tambah sering kita hadapi. Tambah sering mengganggu
ketenteraman hidup? Mengganggu kerukunan hidup di pantai
Danau Toba ini?" Semua terdiam. Juga raja.
Ronggur melanjutkan, "Soalnya, karena semakin sempitnya
tanah yang dapat kita garap. Tadi siang, aku jalan-jalan
sampai ke kaki bukit, yang tanahnya bercampur batu. Sudah
sampai ke sana perluasan sawah. Tanah batu yang cukup
keras itu mereka pecahkan dengan cangkul yang diayunkan
kedua tangan mereka. Mereka melinggis pinggiran gunung
batu, membangun sebuah parit saluran air. Lihatlah, betapa
sungguhnya tiap orang dan marga yang ada di sekitar danau
ini mempertahankan hidupnya. Mereka orang yang berani
hidup. Y ang taat melaksanakan pesan nenek moyang masing-
masing, melanjutkan hidup keluarga dan marga."
"Cukup," kata raja, "kami juga sudah mengetahui itu. Kami
juga turut bekerja. Tangan kami juga turut lecet karena
mengayun pacul ke tanah berbatu. Keringat kami juga turut
membasahi tanah batu, supaya batu menjadi lumat agar bisa
menghasilkan padi."
"Paduka Raja," kata Ronggur pula tak mau henti, "jadi, soal
sebenarnya sudah kita ketahui. Tanah yang dapat kita
kerjakan masih tanah yang dulu juga. Tidak bertambah luas.
Tapi, tiap suku tambah berkembang biak. Berarti, tambah
banyak mulut yang harus diberi makan dari hasil tanah yang
itu juga. Ini sudah terang menambah kesulitan hidup. Karena
itulah, setiap orang menggunakan akal licik untuk memperoleh
setapak tanah. Orang tambah berebut pada air parit yang
dangkal agar sawahnya lebih dan dapat lebih banyak
menghasilkan padi. Inilah mula persoalan! Harus awal soal ini
yang diatasi agar hal yang bisa menimbulkan perkelahian dan
peperangan yang menumbuhkan luka dan duka di tiap hati
dapat dihilangkan."
"Apa maksudmu?" tanya Raja Panggonggom.
"Kita harus mencari - ya, mencari daerah baru tempat
perluasan marga."
Dengungan suara pun bangkit di tengah orang banyak.
"Usulmu memang bagus," sahut Raja Panggonggom
mengatasi dengung suara itu. "Tapi, ke mana kita harus
mencari tanah garapan baru? Sekitar kita, melingkar gunung
batu yang tandus lagi tinggi. Kita tidak tahu, berakhir di mana
gunung ini. Kita tidak dapat tahu, apakah masih ada tanah
datar di seberang pegunungan ini. Pegunungan ini berlapis-
lapis, pagar alam yang sengaja dibuat para dewata, supaya
kita tidak melintasi dan melewatinya. T iap puncak dijaga para
dewata, yang menjelma menjadi binatang buas. Penjaga ini
tidak senang pada orang yang berani melintas di sana, karena
mengganggu ketenteraman para dewata yang tidak tampak
oleh mata kita. Binatang buas akan membunuh tiap orang
tanpa ampun. Siapa yang mau membunuh diri dengan
pekerjaan sia-sia itu? Karena itu, bagaimanapun, kita harus
mempertahankan tiap jengkal dan tiap tapak tanah yang kita
pusakai dan kuasai. Dan, harus berusaha pula meluaskannya.
Caranya terserah pada kekuatan kita. Habis perkara."
Ronggur tidak langsung menyahut, namun sinar wajahnya
masih tetap memancarkan sikap keyakinan. Lebih dulu
ditatapinya wajah para raja, kemudian wajah para lelaki,
beralih pula pada wajah pemuda sebayanya. Lalu katanya
dengan suara perlahan tapi pasti: "Menurut cerita nenek
moyang, yang dituliskan pada pustaka, setiap sungai akan
bermuara ke tanah landai. Karena itu, kita akan mengikuti
sungai."
"Sungai mana?" cepat Raja Panggonggom memotong.
"Sungai Titian Dewata, yang bermula dari salah satu teluk
danau."
Dengung suara bangkit di tengah kelompok lebih gemuruh
dari tadi. Wajah Raja Panggonggom memancarkan sinar
kemarahan, apalagi orang tua yang duduk di belakangnya
yang menyandang kulit kera yang sudah dikeringkan. Dan,
yang juga sejak tadi terus-menerus mengunyah sirih. Sambil
meludah merasa jijik atas ucapan Ronggur, dikenal bernama
Datu Bolon Gelar Guru Marla-sak. Setiap orang jadi
merasakan, telah dipermainkan Ronggur. Tapi, Datu Bolon itu
lebih merasakan, Ronggur sudah memancing kemarahan para
dewata. Kutuk dewata akan tiba.
Tapi, dengan sikap bijaksana yang melekat pada Raja
Panggonggom, dia dapat mengatasi luapan marahnya, lalu
mengatakan:
"Ronggur, kau masih terlalu muda, Anakku! Sungai Titian
Dewata itu lain dari sungai biasa. Sungai Titian Dewata,
berakhir di ujung dunia. Sengaja diciptakan dewata untuk
Titian Para Dewata menuju matahari, tempat Mula Jadi Na
Bolon bersemayam. Jadi, kita tidak dapat mengikuti Sungai
Titian Dewata bila hendak mencapai tanah landai. Sungai
Titian Dewata, jalan arwah kita kelak ke dunia lain, ke hidup
lain, di mana para dewata dan arwah nenek moyang
bersemayam di sekita/ Mula Jadi Na Bolon. Tempat terhormat.
Hendaknya, semua rakyatku, tiba ke sana, agar hidupnya di
dunia lain itu berbahagia."
Sikap Ronggur masih mau berbicara lagi. Tapi, Raja
Panggonggom memberi isarat, agar dia duduk. Tidak memberi
kesempatan bicara lagi. Orang tambah merasa dipermainkan
Ronggur. Karena perintah itu, Ronggur harus duduk,
memendam semua yang ada di dalam hati. Gong sudah tidak
dipalu orang lagi sehingga ratap perempuan dari Sopo Bolo
tambah jelas kedengaran.
Raja Panggonggom kembali berbicara, "Kita tadi dengan
sengaja telah membuka satu percakapan yang cukup panjang.
Tapi, percakapan itu tidak langsung penyebab kita kumpul di
sini, saat ini. Lihat, pisau yang tergenggam di tangan kiriku ini.
Darah Ama ni Boltung masih melekat di sini, masih basah
malah. Alangkah sia-sia, suatu kemurtadan, kalau kita tidak
menuntut balas, kalau kita tidak menghapus corengan arang
yang di buat orang di wajah marga kita. Karena kita tidak mau
disebut orang murtad, orang yang dikutuk arwah nenek
moyang, terutama pula setelah suruhan kita diusir oleh marga
yang membunuh Ama ni Boltung itu, sidang kerajaan hari ini
memutuskan: mengumumkan perang dengan marga yang
membunuh Ama ni Boltung!"
"Huraa . . . .!" para lelaki dan pemuda bertempik sorak
menyambut putusan raja, sehingga suara ratap perempuan
tenggelam.
"Apakah seluruh rakyatku, seluruh hulubalangku, dapat
menerima dan mendukung putusan ini?"
"Kami akan laksanakan dengan gigih," jawab serentak.
Setelah Raja Panggonggom duduk, Raja Nabegu berdiri.
Wajahnya lebih tegas dan ganas dari Raja Panggonggom.
Sewaktu dia berbicara, wajahnya menjadi merah dan matanya
menyinarkan cahaya marah yang tidak terpadam-kan.
Suaranya deras mengalir dan mengguntur:
"Para hulubalang, pendukung kehormatan marga. Padamu
sekarang terletak tugas untuk menghapus corengan arang dari
wajah kita masing-masing. Tunjukkanlah kebe-ranianmu,
tunjukkanlah kehulubalanganmu. Rapat kerajaan hari ini, Raja
Partahi, Raja Namora, dan Raja Ni Huta, akan membantu para
hulubalang marga dari bidang masing-masing. Janganlah sia-
siakan segala bantuan ini! Jadi, mulai ma lam ini, diumumkan
awal peperangan dengan marga yang sangat angkuh itu.
Tangkaplah mereka di mana saja berjumpa. Bunuh kalau
melawan. Musnahkan kampungnya, rampas, lalu jadikan
kampung perluasan bagi marga kita! Tawan rajanya! Jadikan
budak setiap keturunannya . . . .!" Kelompok kembali
bersorak.
"Para perempuan." kata Raja Nabegu selanjutnya, "setelah
mengebumikan mayat Ama ni Boltung besok pagi, akan
dikerahkan Raja Ni Huta menyediakan batu sungai peluru
ambalangmu. Raja Namora, akan menyediakan makanan
bagimu. Raja Partahi, akan menyediakan alat peperangan
untukmu. Sedang Raja ni Huta, dari kampung sekitar,
kampung yang didiami marga kita juga sebagai kampung
perluasan, sebentar lagi akan berkumpul di sini. Mereka
sekarang sedang menyiapkan segala sesuatu mengumpulkan
pasukan untuk membantu kita. Mereka, adik-adik kita yang
setia."
Kelompok kembali bersorak dan bertepuk tangan.
"Ada di antara kalian yang tidak setuju dengan perintah ini,
dengan putusan sidang kerajaan ini?"
Tidak ada sahutan. Ronggur menundukkan kepala. Pada
bayang pandangnya, sudah tergambar darah merah basah
menetes dari tiap tubuh, beberapa mayat bergelimpangan di
tanah.
"Kau Ronggur!" tegur Raja Nagebu, "masihkah kau seorang
pemuda?"
"Seperti tampak Paduka Tuan."
"Kalau kau pemuda, tentu kau akan melaksanakan tugas
pemuda."
"Ya. Walaupun usulku ditolak, sebagai pemuda marga, aku
akan turut melaksanakan tugas. Apa sekalipun!"
"Bagus, bagus, asahlah kapakmu! Tajamkan mata
tombakmu! Perkuat tali ambalangmu. Perbaiki perisaimu!"
Lalu, dia kembali duduk.
Raja Panggonggom kembali berdiri. Menatap bala tentara
yang sudah penuh semangat. Raja Partahi dan Raja Namora
sudah menyisih dari khalayak ramai. Pergi menyembelih
beberapa ekor babi dan mengeluarkan alat perang dari tempat
simpanan. Sedang Raja Ni Huta telah menyediakan peralatan
gondang, lengkap dengan pemain. Raja Panggonggom lalu
mengatakan:
"Bapa Paru Bolon Gelar Guru Marlasak. Tenunglah dengan
kekuatan batinmu! Panggillah para arwah nenek moyang
melalui kekuatan sihirmu agar mereka membantu kita dalam
peperangan. Panggillah para dewata agar memberkati seluruh
laskar kita. Supaya kita berada di pihak yang menang, bisa
mengalahkan musuh, dan supaya semangat terus mengapi
tanpa mau padam sebelum musuh ditundukkan, dijadikan
budak belian."
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak berdiri. Maju ke tengah
khalayak dan di sana membuka parhalaan. Kemudian
bersemadi entah beberapa lama, duduk bersila di atas tanah.
Kemudian, ludahnya yang merah karena mengunyah sirih,
disemburkan ke sekitar. Kemudian membaca jampi-jampi,
mulutnya bergerak-gerak.
Di saat itu, Raja Partahi, Raja Namora, dan Raja Ni Huta,
telah kembali duduk di tempat semula.
Setelah memberikan tanda, mulai berdiri, Datu Bolon
meneriakkan dengan suaranya parau:
mahluk halus penjaga rumah,
mahluk halus penjaga tanah
yang tidak dapat dilihat mata
semangat poyang tujuh keturunan
kupanggil kau, datanglah bersama kami
bapak pargaul pargonci,
palulah gondang somba-somba
Gondang pun dipalu, gondang somba-somba. Orang pada
berdiri, bersiap-siap mau manortor. Di belakang Datu Bolon,
tempat kerajaan baru khalayak ramai. Kepala mereka
menunduk-nunduk, memberi hormat pada arwah halus yang
tadi dipanggil, Datu Bolon menemani mereka membasmi
musuh. Tangan yang dua, dirapatkan dikening, bersujud.
Habis itu, Datu Bolon meminta agar dimainkan pula
gondang Mula jadi na Bolon sebagai penghormatan yang
mutlak terhadap pencipta asal kehidupan dan yang kepadanya
akan kembali segala yang hidup. Cepat pula diiringi Gondang
Bataraguru, agar Dewata Bataraguru memberi kekuatan jiwa
bagi mereka dalam menghadapi musuh, kekuatan jiwa dalam
menghadapi saat yang genting, sehingga mereka tidak
mengenal menyerah. Lalu menyusul Gondang Balabulan, agar
Dewata Balabulan, memurkai dan mengutuk musuh.
Melumpuhkan semangat musuh agar tidak berani menghadapi
laskar mereka. Lalu Gondang Debata Sori mengikutinya agar
dewata Sori memberi kebijaksanaan bagi para hulubalang
dalam menyusun strategi perang. Dan, memberi keselamatan
bagi mereka semua. Habis itu, menyusul Gondang Habo-
naran, yaitu yang menunjukkan bahwa mereka memang
berada di pihak yang benar. Setiap yang berpihak pada
kebenaran, pasti akan menang. Gondang Sitio-tio, memohon
pada seluruh dewata, agar merahmati mereka, baik dalam
pertempuran, begitu pula untuk selanjutnya. Sebagai penutup,
dima inkan Gondang Husahatan, supaya tiba ke tempat yang
dicitakan, sampai kepada kemenangan akhir.
Datu Bolon mengakhiri tortor itu dengan menjampikan
pantun kemenangan:
Mendaratlah perahu meniti ombak ketanah landai
berangkat kita ke medan perang pantang pulang sebelum
menang Semua, baik kerajaan, begitu pula para hulubalang,
dan laskar menyambut dengan sorak-sorai dan gemuruh.
Orang kembali duduk ke tempat masing-masing. Tapi, Datu
Bolon masih di tengah lingkaran, kemudian mengatakan,
"Bawalah ke mari seekor ayam jantan putih yang sudah
bertaji."
Raja Ni Huta cepat memberikan yang diminta Datu Bolon.
Datu Bolon langsung menjampi ayam itu. Kemudian,
dipulasnya leher itu, sehingga menitikkan darah. Cepat-cepat
dia mendekati kelompok kerajaan, lalu menyuruh mereka
mereguk darah ayam yang masih mentah itu, langsung dari
leher ayam yang dipulasnya. Kembali sorak-sorai.
Bangkai ayam diletakkan di tengah kelompok. Kembali dia
bersemadi, entah berapa lama. Dalam saat begitu, gondang
dipalu orang perlahan-lahan, hampir tidak kedengaran. Di saat
begitu ratap perempuan dari Sopo Bolon kembali terdengar.
Meratapi mayat Ama ni Boltung.
Seperti tidak tersangkakan, Datu Bolon meloncat dari
jongkoknya sambil berteriak dan memekik. Kemudian berdiri
tegak lurus, lalu mengatakan:
"Besok pagi bila fajar pertama terbit, serbulah musuh.
Seranglah mereka dari segala arah. Desak mereka sampai ke
tepi kampung induk marganya. Kamu bisa menerobos
pertahanan kampung induknya dari arah timur. Di sana bambu
duri pagar desa, masih muda. Kamu bisa menyusup dari sana
ke tengah kampung tanpa dihalangi duri bambu yang rapat
dan keras. Kucar-kacirkanlah mereka! Tawan setiap lelakinya
yang masih hidup! Begitu pula para perempuan, jadikanlah
budak belian. Bunuh kalau melawan atau berusaha melarikan
diri!" Orang kembali bertempik sorak.
Ayam jantan putih tadi, mereka bakar langsung dengan
bulunya sekali ke dalam api unggun. Di saat dagingnya belum
masak benar, Datu Bolon telah membagikannya pada
golongan raja, sebagai wakil para dewata memakan daging
sembahan.
Pada tengah malam, Raja Ni Huta dari kampung sekitar
yang masuk pangkat adik, lengkap dengan pasukan, telah tiba
di sana. Raja Panggonggom menyambut mereka, dengan
basa-basi kerajaan.
Raja Ni Huta yang pangkat adik itu, kemudian melaporkan
bahwa mereka sudah siap sedia melaksanakan perinlah dan
pangkat abang mereka. Lalu mereka mengambil tempat. Para
laskarnya bersatu dengan laskar yang sejak tadi ada di sana.
Raja Ni Huta yang tujuh orang itu, yang berarti ada tujuh
kampung lagi masuk lingkungan kerajaan marga itu, duduk
dekat raja, di tengah lingkaran. Setiap Raja Ni Huta pangkat
adik itu, memakai bolatan juga, tapi warna putihnya lebih kecil
dari Raja Ni Huta yang berdiam di induk kampung marga.
Lalu, kedengaran Raja Panggonggom berkata:
Rotan ras rotan singorong mengikat keutuhan marga
bersatu raja dan hulubalang menjunjung martabat marga Raja
Ni Huta yang tertua menyahut: Berbaris kami seperti gajah di
hutan balantara perintah raja menjadi suluh kami abdi abadi '.
Raja Panggonggom melanjutkan:
Tujuh sisiku
menghadap tiap penjuru
indah mimpiku
hulubalang perkasa punyaku
Khalayak ramai serentak menyahut:
Kami genggam tombak
tombak pusaka godang
bila raja bersama khalayak
bahagia rakyatnya
Lalu gondang pun kembali dipalu. Raja Ni Huta yang tujuh
orang itu manortor bersama, yang diiringi oleh seluruh rakyat
yang mereka bawa. Tortor yang menunjukkan kesetiaan. Lalu,
Raja Panggonggom turun dari tempatnya, menyelempangkan
ulos-batak ke tiap pundak Raja Ni Huta yang tujuh itu.
Pertemuan itu tidak bubar sampai pagi hari. Mereka terus
margondang dan terus manortor. Para hulubalang, bersama
Raja Nagebu, telah selesai menyusun strategi dan taktik
peperangan sesuai dengan petunjuk Datu Bolon. Tuak dan
daging babi terus dihidangkan sampai hampir setiap orang
sempoyongan. Dalam bergembira itu, terlupa terjun besok
pagi ke kancah pertempuran.
Ronggur selalu menyisih dan meminum tuak seperlunya
saja, menghalau dingin dari tubuh sehingga keseimbangan
pikirannya tetap terpelihara. Dia melihat orang yang sedang
menari, orang yang sedang bernyanyi, orang yang sedang
dibius semangat, untuk memasuki nasib yang tidak terduga.
Dia tahu pasti, beberapa orang di antara mereka akan jatuh
menjadi korban dalam peperangan. Mati! Semua bayangan
kemungkinan ini mempengaruhi pikiran dan perasaannya.
Tapi, semua itu harus ditekan. Dia harus turut, malah
menjunjung putusan kerajaan. Usulnya ditolak! Tapi,
semangat usul itu tetap berakar dalam hati.
Bersama terbitnya fajar pagi yang memancar dari balik
puncak Dolok Simanuk-manuk, para lelaki yang marah itu,
yang sudah dibius semangat itu, bergerak menuju sasaran,
memusnahkan musuh. Sambil bertempik dan bersorak. Di
depan sekali berjalan para hulubalang. Kemudian kerajaan. Di
sayap kanan dan kiri para laskar. Mengisi seluruh lapangan
terbuka, yang punya tanah tipis dan di bawahnya batu alam
yang keras. Kemudian menurun ke sawah yang baru dibajak.
Mereka dihadang musuh pada sebuah sungai kecil. Pasukan
dari marga lain itu, juga membawa senjata seperti yang
mereka bawa. Jarak antara kedua pasukan itu dipisah sebuah
sungai kecil yang airnya dangkal. Kerajaan dari marga lain itu,
turut bersama laskarnya. Tak ubah seperti kerajaan marga
mereka sendiri. Lengkap dengan Datu Bolonnya. Manusia di
seberang kali sana pun bertempik sorak. Mengacung-
acungkan senjata tajam. Wajah manusia itu tak ubah seperti
wajah mereka sendiri, marah, mendendam.
Batu yang dilemparkan ambalang, berterbangan di udara.
Kemudian jatuh mencari sasaran, kepala manusia. Dari segala
arah kedengaran pekik dan jeritan, hardik dan hasutan.
Bercampur baur dengan udara yang terik. Seolah matahari
mau membakar setiap tubuh manusia dan bumi. Debu
mengepul ke udara di tempat kering. Lumpur berhamburan
lalu mengotori wajah manusia di tempat basah. Tempik dan
sorak, pekik, hardik, dan hasutan terus menerus bergema.
Pasukan kedua marga yang sedang marah itu, sorong-
menyorong. Tidak ada yang mau kalah. Jarak antara
keduanya bertambah dekat. Ambalang tidak digunakan lagi.
Langsung tombak, panggada, dan kampak dipukulkan dan
ditangkis perisai. Siapa yang jatuh, jatuh tersungkur tanpa
diperdulikan, malah menimbulkan kegembiraan bagi orang
yang dapat merubuhkannya. Kedua pasukan marga itu sudah
sama-sama terjun ke dalam sungai. Di sana mereka
bersicucukan, bersihantaman, dan bersipu-kulan dengan
segala macam taktik dan cara. Matahari terus bersinar terik.
Pasukan kedua marga itu sama banyak, sama kuat, dan sama
berani.
Sehari itu keadaan pertempuran tidak berobah. Beberapa
orang yang luka di bawa ke garis belakang oleh para
perempuan. Beberapa-orang yang mati dibawa ke garis
belakang juga, tapi tidak sempat ditangisi. Anak-anak pun
sudah turut serta. Mengumpulkan batu, yang segera diberikan
pada para lelaki pemegang ambalang. Tapi, batu itu tidak
sempat lagi dilemparkan dengan ambalang, langsung
dilemparkan tangan. Dan terkadang tidak jarang, anak itu
turut terjun ke tengah pertempuran untuk memukul atau
dipukul.
Bila senja tiba, kedua pasukan marga itu saling
meninggalkan daerah pertempuran. Mereka disambut gendang
dan tortor para orang tua, para perempuan, para gadis di
induk kampung. Daging babi, tuak, terus diedarkan membakar
semangat bertempur. Datu Bolon terus-menerus menjampi.
Lalu, memberi nasihat baru.
Dan, bila fajar terbit lagi, mereka kembali terjun ke daerah
pertempuran. Di tengahnya, Ronggur mengamuk ke kiri dan
ke kanan. Ronggur bersama beberapa pemuda menyusup ke
depan, berusaha mengkucar-kacirkan daerah musuh. Susupan
mereka ini cepat diikuti gelombang kedua, ketiga, dan
keempat, yang membuat pertahanan musuh tembus. Musuh
kelabakan. Tapi, yang hendak dikucar-kacirkan itu, tidak mau
menyerah begitu saja. Mereka juga mengadakan perbaikan
pada pertahanannya dengan cepat. Lalu mengadakan pukulan
balasan. T api, pasukan marga Ronggur mengadakan desakan
yang terus-menerus, bertubi-tubi, sehingga garis pertahanan
musuh mulai dipukul mundur. Sampai akhirnya mendekat ke
kampung musuh.
Malam itu pasukan marga Ronggur tidak kembali ke induk
kampung. Mereka terus mengepung induk kampung musuh.
Pagi berikutnya pasukan marga Ronggur menyerbu induk
kampung musuh dari sebelah timur, seperti yang dinasihatkan
Datu Bolon. Melalui bambu duri yang masih muda, mereka
menerjang ke tengah kampung, dengan pekikan yang
melengking.
Dengan segala tenaga yang ada, marga yang diserbu itu
mengadakan perlawanan. Ikut sudah para perempuan, baik
yang tua begitu pula yang masih gadis. Tampaknya tidak akan
habis perlawanan itu sebelum mereka mati semua. Mampus
semua.
Dari tempat ketinggian, sekali waktu Ronggur melihat, anak
gadis Raja Nabegu kampung yang mereka serbu, turut
mengadakan perlawanan. Rambutnya yang panjang terurai
lepas. Dibasahi oleh keringat. Dilihat biji mata Ronggur sendiri,
sudah ada dua tiga orang pasukan marganya ditumbangkan
anak gadis itu. Dengan satu loncatan jarak jauh, Ronggur
sudah berada di hadapan perempuan itu. Mata perempuan itu
memancarkan sinar merah, mengapi, hendak menelan
Ronggur bulat-bulat. Perempuan itu memukulkan penggada ke
arah Ronggur. Tapi, Ronggur mengelak dengan melompat,
dan peng-gadanya sendiri mengenai tengkuk perempuan itu
sampai jatuh ke tanah. Dalam hati Ronggur berucap
“Sungguh perempuan pemberani!"
Juga, sekali waktu menumbangkan seseorang yang sedang
membidikkan tombaknya ke arah Raja Panggonggom
marganya. Sewaktu Raja Panggonggom dan pengawalnya ke
arah lain. Cepat Ronggur menyergap orang itu. Tapi,
tangannya sendiri, lengannya, luka. Namun musuhnya dapat
ditumbangkannya dengan menghantamkan penggada ke
kepala musuh. Otak meleleh dari luka. Raja Panggonggom
melihat ini semua.
Luka di lengannya cepat dibalut Ronggur. Lalu terjun lagi
ke tengah pertempuran yang dahsyat itu.
Asap pun mulai mengepul. Rumah sudah mulai dibakar.
Padi dari lumbung desa diangkut, juga harta rampasan
perang. Para lelaki yang belum mati, begitu pula para
perempuan yang belum mati, ditawan. Untuk dijadikan budak
belian. Yang sampai keturunannya kelak akan tetap dan tidak
bisa terangkat dari martabat budak. Tidak akan berhak lagi
mengadakan pekerjaan adat. Harus patuh setiap saat
mengerjakan apa saja yang diperintahkan tuannya.
Kampung berdekatan dengan induk kampung itu sudah
dibakar. Perang sudah berakhir. Kekalahan dipihak marga
yang diserbu. Para rakyatnya yang masih hidup sudah
ditawan, dirantai.
Ronggur teringat pada perempuan yang ditumbangkannya.
Cepat dia menuju ke sana. Keringat melelehi seluruh
tubuhnya. Entah kenapa hatinya mengharapkan agar
pukulannya hendaknya tidak terlalu keras. Dia mengharapkan,
hendaknya perempuan itu masih hidup. Dia mau
menawannya.
Merasa bersyukur dia, perempuan itu masih merintih. Cepat
dia mengambil air lalu diusapnya wajah perempuan itu dengan
air. Kemudian diberinya minum. Didengarnya suara gadis itu
perlahan mengatakan:
"Aku harus bersama kalian, hai lelaki margaku.
Pertahankan martabat marga kita. Sampai mati!"
Ronggur tersenyum mendengar rintihan itu. Dia dapat
menghargai keberanian dan semangat perlawanan yang
dipunyai perempuan itu.
Matahari sore dengan lembut memancarkan sinar, seperti
sudah turut lesu menyaksikan peperangan yang baru saja
berakhir dan banyak menimbulkan korban. Menjadi sumber
rintihan, air mata, dan dendam. Dengan pekik kemenangan
pasukan laskar marga Ronggur menuju pulang ke induk
perkampungan. Sambil melangkah mereka lagukan nyanyi
kemenangan. Tangan menarik para tawanan. Sebagian
disuruh mengangkut harta rampasan.
Nanti akan dibagi-bagikan pada tiap keluarga, terutama
pada keluarga yang suaminya atau anak lelakinya jatuh
sebagai pahlawan di medan laga. Lebihnya akan dimasukkan
ke dalam lumbung desa.
Ronggur menarik tali yang mengikat perempuan yang
ditawannya. Perempuan itu selalu meronta dan ingin
melepaskan diri. Ronggur tersenyum saja dan terus menarik
tali dengan tabah.
Di gerbang kampung, para perempuan, lelaki yang sudah
tua, dan lelaki yang luka menyambut mereka. Begitu pula
anak-anak yang masih digendong, disuruh ibunya
melambaikan tangan ke arah ayah, abang mereka yang
pulang dari peperangan sebagai pemenang. Sedang para
perempuan yang tidak dikunjungi suaminya lagi, tidak
dikunjungi anak lelakinya lagi, karena mati dalam
pertempuran, pergi bersama ke Sopo Bolon mengasingkan diri
dari orang yang sedang bergembira. Di sana mereka meratap
dengan lemah. Diusahakan agar tidak mengganggu
kegembiraan para pahlawan yang menang perang. Agar tidak
mengotori rasa gembira pada Mula Jadi Na Bolon dan seluruh
para dewata serta arwah nenek moyang, karena mereka telah
dipilihnya menjadi pemenang, yang dengan sendirinya
mengangkat martabat marga dan raja mereka. Sendirinya pula
daerah taklukan mereka bertambah luas. Kampung marga
yang mereka kalahkan, akan dijadikan kampung perluasan
bagi marga mereka. Sawahnya akan diambil dan dibagi-
bagikan.
Upacara kemenangan pun diadakan. .Beberapa ekor babi
dipotong lagi dan darahnya diminum bersama. Gondang dipalu
dan tortor kemenangan ditarikan orang bersama-sama.
Sebagai penutup upacara Raja Panggonggom mengucapkan
terima kasih pada seluruh laskarnya. Baik yang sudah mati
begitu pula pada yang masih hidup. Harta rampasan dibagi.
Tanah persawahan rampasan juga ditentukan jatuh ke tangan
siapa. Pun, dengan suka rela dimintakan pada setiap orang
yang mau pindah ke kampung yang ditaklukkan itu. Diizinkan
mereka mendirikan rumah di situ. Jadilah kemudian kampung
itu menjadi kampung perluasan marga. Yang harus tunduk ke
induk kampung. Pada tiap kampung sebagai pelaksana adat
dan penyelenggara hukum, ditunjuk beberapa orang yang
cukup berjasa menjadi Raja Ni Huta. Raja Panggonggom
melirik secara khusus pada Ronggur, lalu, "Ronggur, dalam
pertempuran kau telah menyelamatkan nyawa kami. Sekarang
giliran kami membalas jasamu yang besar itu. Katakanlah,
kehendakmu!"
Ronggur memohonkan agar padanya diberi kekuasaan
untuk terus menawan tawanannya, menjadikannya sebagai
budak untuk membantu ibunya yang sudah tua mengerjakan
urusan rumah, mencabuti rumput sawah bila saatnya tiba.
Justru karena Ronggur tidak punya adik perempuan. Dia anak
tunggal.
Permintaan itu dikabulkan. Dikatakan pula, Raja Ni Huta
induk kampung musuh yang ditaklukkan itu, dikuasakan pada
Ronggur. Tapi, karena dia belum berumah tangga, jadi belum
cukup dewasa dalam peralatan adat dan hukum, ditunjuk
seseorang menjadi walinya, yang disetujui Ronggur sendiri.
Sawahnya yang ada dekat induk kampung marganya
diserahkan pada kerajaan. Sebagai gantinya diberikan
kepadanya sawah yang dulu dimiliki Raja Nabegu dari marga
yang mereka kalahkan.
Sejak hari itu, Ronggur dikenal orang sebagai Raja Ni Huta
Muda merangkap Hulubalang Muda.
Untuk beberapa hari, orang masih tetap dipengaruhi
suasana kegembiraan menang perang. Pesta kemenangan
dilangsungkan tiga hari tiga malam. Walaupun pesta sudah
selesai, ingatan orang masih tetap terpaut ke sana. Di sana
sini Ronggur mendengar orang mengatakan:
"Dengan cara beginilah kita harus menguasai tanah
persawahan subur yang ada di sekitar danau untuk
melanjutkan keturunan."
Beberapa orang ampangardang, baik dari marga sendiri
begitu pula dari marga lain yang masih banyak bertabur di
sekitar danau, menghapal jalannya pertempuran lalu
memindahkannya ke bentuk yang dapat dinyanyikan. Mereka
tebarkan dari mulut ke mulut sambil memetik kecapi.
Beberapa nama pahlawan timbul, menjadi tokoh keberanian
dan ketangkasan serta kesetiaan termasuk nama Ronggur
sendiri.
Tapi, Ronggur sendiri, sehabis pesta kemenangan itu cepat-
cepat mengerahkan rakyat yang suka rela pindah ke induk
kampung musuh yang dikuasakan padanya. Membangun
perumahan baru di atas puing-puing reruntuhan. Oleh tugas
yang banyak dan memang dia sendiri ingin cepat melupakan
saat menanjakkan marganya ke tingkat yang lebih tinggi dan
meningkatkan kedudukan dirinya sendiri, cepat dilupakannya.
Memang dia sudah menjadi Raja Ni Huta Muda dan
Hulubalang Muda, orang tidak berani lagi atau tidak wajar lagi
menyebut nama kecilnya. Orang selalu menyebut atau
memanggilnya dengan Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang
Muda.
ccdw-kzaa

2
Rumah baru sudah berdiri pengganti rumah yang dulu
terbakar. Darah yang tercecer ke lumpur sawah sudah
bercampur baur dengan tanah menjadi pupuk di musim
mendatang. Tidak tampak lagi warna merahnya. Kuburan
yang digali tempat abadi bagi orang yang mati, sudah
ditumbuhi rerumputan hijau. Padi di sawah sudah bunting.
Masa merumputi sudah lewat. Pekerjaan orang kembali
senggang. Saat yang baik bagi pemuda pergi martandang ke
kampung paman mencari jodoh.
Anak-anak sudah ada berlahiran, pengganti yang mati
dalam peperangan. Jumlahnya lebih banyak malah. Para gadis
belajar memintal benang dan bertenun. Bila bulan purnama,
menumbuk padi di halaman perkampungan sambil bernyanyi,
dan menerima datangnya partandang. Anak lelaki diajar
membaca dan menulis huruf Batak. Cerita kepahlawanan
disampaikan pada mereka. Juga mereka diajari memanjat
pepohonan tinggi supaya tidak gamang. Yang agak besar,
diajari menggunakan senjata.
Lambat-laun kehidupan kembali tenang. Yang membuat
ingatan orang sudah menipis pada peperangan yang baru
lewat. Tapi, pada mereka sampai juga berita dari sekitar
danau: marga anu berperang dengan marga satu lagi. Lu hak
anu berperang dengan luhak satu lagi. Sumber malapetaka
tetap sama: air parit dan batas tanah. Orang yang kalah
dijadikan budak. Tapi, yang sempat melarikan diri,
memencilkan diri ke tanah tandus di kaki bukit, menjadi orang
buruan. Orang buruan ini membuat rumahnya di dinding bukit
dan gua.
Jadi, bagi Ronggur, ketenangan yang sekarang dikecap
marganya masih tetap mengandung sesuatu kemungkinan
yang menakutkan. Setiap warta pecahnya perang antara satu
marga dengan marga lain selalu membuatnya berduka. Karena
itu, dia lebih banyak menyendiri. Bila temannya sebaya sudah
banyak berumah tangga, dia belum. Walau sudah sering
diminta ibunya, dia masih tetap menampik.
Perlakuannya pada wanita tawanannya berbeda dengan
perlakuan orang lain yang punya budak terhadap budak
masing-masing. Dia masih tetap memandang dan
memperlakukannya sebagai manusia yang punya hak. Tapi,
keyakinan yang digenggamnya ini belum berani dia
menyampaikannya pada orang lain. Masih merasa takut dia,
masih merasa kecil dia menurut anggapannya, melawan
tradisi yang sudah tertanam dan berurat akar di hati manusia
yang ada di sekitarnya.
Karena memperoleh perlakuan yang baik itu, akhirnya Tio,
wanita tawanan itu, merasa senang juga. Padanya tetap
diberikan Ronggur kebebasan bergerak. Dia boleh pergi ke
padang-padang luas, mengembara, dan berburu bersama
anjingnya si belang. Tak ubah seperti kebebasan yang ada
pada orang merdeka.
Dan, Ronggur tidak merasa kuatir kalau budaknya itu
melarikan diri. Dia yakin kalau memperoleh perlakuan yang
baik budak itu tidak akan melarikan diri.
Namun perasaan terpencil tetap menguasai diri Tio, justru
karena gadis yang sebaya dengannya dari suku Ronggur tidak
mengawaninya. Ini jugalah yang mendesaknya agar setiap
hari pergi jauh dari kampung ke tempat terpencil yang jarang
dikunjungi orang. Di sana dia menghabiskan hari.
Tio menyendiri sampai ke kaki bukit. Dari situ dia dapat
melihat danau di bawah. Dan, sesuatu keinginan selalu timbul
di dadanya, ingin pergi jauh. Namun keluh akhirnya
mematikan keinginan itu. Dia dibenturkan kembali pada
kenyataan bahwa dia bukan orang merdeka. Kalau lari saja?
Ronggur sudah berbuat baik terhadapnya. Merasa kurang
enak baginya untuk menghianati seseorang yang
menghormati dirinya'dengan sewajarnya. Lagi pula kalau dia
lari, Ronggur lelaki yang paling jahanam, akan mengejarnya
ke mana saja. Dia akan dapat ditangkap Ronggur.
Berburu bisa membuat Tio asyik. Atas bantuan si belang,
Tio dapat mengetahui tempat seekor pelanduk bersembunyi,
tempat kawanan burung berondok. Dengan mata tombaknya
yang pasti arahnya, dengan lemparan ambalanganya yang
deras, dia bisa membunuh binatang buruan itu. Kemudian
membawanya pulang.
Ronggur selalu tertawa lebar bila dia pulang dengan hasil
buruan. Ronggur tidak segan-segan melemparkan pujian yang
menurut perasaan T io terkadang terlalu menyanjung. Dengan
lahap Ronggur akan memakan daging binatang buruan itu,
yang dibakar dan dipanggang.
Hari itu, Tio sedang mengikuti arah seekor elang terbang,
setelah menyambar seekor induk ayam dari kampung.
Terkadang harus berlari kecil mengikuti elang yang terbang di
atas. Matanya terus-menerus menangkap elang hitam yang
terbang, lalu terus mengikuti arah elang itu pergi. Di hatinya
timbul niat, dia harus membunuh elang yang seekor itu, yang
sudah banyak menyambar ayam kampung. Pertanda elang itu
akan hinggap belum ada walau mendekat ke kaki bukit.
Seolah elang itu datang dari balik gunung dan hendak kembali
ke balik gunung, yang belum pernah ditempuh manusia.
Di saat putus asa mulai mencekam hati, elang itu
mengadakan putaran. Berkeliling pada satu lingkaran.
Pertanda elang itu mau hinggap. Dapat dipastikan Tio bahwa
pohon yang tinggi lagi rimbun dedaunannya, pada salah satu
dahannya, di situlah sarang elang itu. Elang itu mengarah ke
lembah, di mana batang pohon besar itu tertancap ke tanah.
Tio terus mendekat menuruni jenjang lembah.
Si belang sudah mengerti bahwa mereka sedang
mengadakan perburuan. Elang itu cepat menukik ke bawah
setelah mengadakan putaran entah beberapa lama. Dan,
waktu itulah, kepaknya mengenai salah satu dahan,
sambarannya jatuh ke tanah. Elang itu mengikutkan
sambarannya ke bawah. Saat yang baik itu tidak dilewatkan
Tio. Cepat dia mengayun ambalangnya. Lalu melepaskan
peluru. Seketika napasnya serasa terhenti melihat peluru
ambalangnya mengenai sasaran atau tidak.
Sayang sekali peluru ambalangnya hanya mengenai buntut
elang. Karena terkejut elang itu buru-buru mengepakkan
sayapnya. Mau terbang. Tapi, dari arah lain sebuah tombak
terbang cepat. Langsung tertancap ke dada elang. Elang itu
jatuh ke tanah bersama gelepar lemah, gelepar akhir. Wajah
Tio menjadi merah padam dan merasa kesal bercampur malu,
kenapa peluru ambalangnya tidak mengenai dada elang jtu.
Atau, kenapa dia tidak menggunakan tombaknya? Sebuah
tawa meledak di antara rimbunan ilalang. Si belang berlari
cepat ke tempat suara itu bersumber. Lalu, Ronggur sudah
ada di hadapan Tio.
Bersama senyum kemenangan, Ronggur berkata: "Sudah
mampus penyambar ayam yang paling jahanam ini."
Tio masih terpaku pada tempatnya. Merasa malu akan
ketololannya. Ronggur memanggilnya agar datang mendekat.
Baru dia bergerak.
"Lihat," kata Ronggur. "Muncung tombakku tertancap di
dadanya."
"Aku tahu, Hulubalang Muda," sahut Tio. Suaranya halus
dan menggetar.
Ronggur menatapi T io lama-lama hingga T io menundukkan
kepala menatap tanah.
"Tapi, peluru ambalangmu sangat deras dan bagus
arahnya. Buntut elang kena membuat elang tidak bisa cepat
terbang. Di saat itulah aku mengayunkan tombakku. Kalau
buntutnya tidak kena ambalangmu, belum tentu muncung
tombakku bisa tertancap di dadanya."
"Hulubalang Muda terlalu melebih-lebihkannya," sahut Tio.
"Itu yang sebenarnya. Dan, kau Tio," mata Ronggur lama
menatap wajah gadis itu, matanya, lalu, "maukah kau berjanji
akan melaksanakan permintaanku?"
"Aku sudah ditakdirkan akan melaksanakan sebaik mungkin
segala perintah Hulubalang Muda."
"Dengarkan baik-baik," kata Ronggur seraya memegang
bahu anak gadis itu, "sejak saat ini kuminta, agar kau tidak
memanggil aku dengan sebutan Hulubalang Muda atau Raja
Ni Huta Muda lagi. Sebutlah namaku. Ronggur. Cukup begitu."
Pundak Tio cepat turun naik, tapi masih diusahakannya
mengatakan, "Bukankah itu menurunkan derajat Hulubalang
Muda?"
"Sama sekali tidak! Kau harus melaksanakannya!"
"Bagaimana nanti kalau didengar orang kampung dan ibu?"
"Peduli apa dengan mereka? Sebut namaku, habis perkara.
Kalau mereka menegur kau, katakan aku yang menyuruhmu.
Yang mengurus mereka ialah aku."
Tio tambah tertunduk. Wajahnya memerah. Ronggur
menjauh. Walau sesuatu rasa menggelusak dalam dada.
Si belang sudah memagut tubuh elang dengan
muncungnya. Membawanya ke dekat mereka berdua. Si
belang kembali menjauh. Lalu, si belang memagut ayam yang
disambar elang tadi dan membawanya ke dekat Ronggur dan
Tio. Lalu, menjauh lagi.
"Tio, keluarkanlah isi perut elang dan ayam ini. Biar
kunyalakan api. Dagingnya tentu enak dimakan."
Tio berlari kecil membawa elang dan ayam itu ke parit kecil
dekat situ yang mengalirkan air pegunungan yang jernih.
Dibersihkannya perut kedua binatang itu. Kemudian
dibawanya ke tempat Ronggur menghidupkan api. Lalu, mulai
membakarnya lengkap bersama bulu-bulunya.
Ronggur menelentangkan tubuh di atas tanah batu yang
cukup keras, di bawah pohon yang rindang. Perutnya terasa
kenyang. Si belang masih mengunyah tulang belulang elang
dan ayam yang diberikan kepadanya. Mata Ronggur agak
mengantuk. Matahari bersinar keras. Cukup terik. Tidak jauh
darinya, Tio duduk melihat si belang. Yang kemudian
mendekat kepadanya sambil mengibaskan ekor. Tidur di ujung
kakinya. Tio mengelus leher si belang dengan lembut. Lalu,
mulutnya tidak dapat lagi dikuasainya untuk tidak
menyanyikan sebuah lagu, berpantun:

Sanduduk di kaki bukit


di atas batu
ditimpa sinar matahari
itulah siang melilit bumi
sanduduk di kaki bukit
di atas batu
ditimpa sinar rembulan itulah malam, redup mengalun
saat siang dan malam
antara terik dan nyaman
mentari dan gemintang
bagi beta tidak berbeda
karena hatiku
terkenang padamu

Ronggur membiarkan Tio menyanyi walau hatinya merasa


rawan. Tentu, pikir Ronggur, Tio teringat pada masa
kemerdekaannya. Matahari tambah lama jadi melemah. Di
bawah mereka melalui tingkat tanah yang terus menurun,
perkampungan demi perkampungan dan berakhir pada tepian
danau.
Oleh nyanyi T io kembali Ronggur teringat akan permintaan
ibunya, begitu pula atas usul Raja Panggonggom, agar dia
berumah tangga. Agar langsung memegang Raja Ni Huta di
kampungnya, agar nama Muda dari belakang Hulubalangnya
dihilangkan. Dia disuruh ibunya pergi ke Samosir, ke kampung
paman.
Tetapi, cepat pula ingatan itu dibarengi bahwa kalau dia
berumah tangga, itu berarti istrinya nanti akan melahirkan
anak. Kemudian anak ini akan menjadi dewasa, lalu kawin
lagi. Untuk melahirkan anak lagi. Dalam tiga keturunan saja,
jumlah keturunannya bisa berlipat ganda. Tentu hasil yang
dapat diberikan tanahnya akan terasa kurang menghidupi
keturunannya.
Dia merasa takut. Bila persoalan yang mencekamnya itu
diluaskan pada keadaan sekitarnya dan dia tambah merasakan
marabahaya yang sedang menantikan, yang mengintai dengan
taringnya yang tajam, meruntuhkan kerukunan kehidupan
mereka di tepi danau. Pada suatu saat, pikirnya, akan tiba
saat itu, yaitu orang bertambah banyak sedangkan tanah yang
dapat digarap masih tetap itu juga. Hasilnya akan terasa atau
memang kurang untuk membekali orang yang hidup di sekitar
danau. Hal begitu sudah tentu akan lebih banyak
mengobarkan perkelahian, peperangan, dan sendirinya pula
akan lebih banyak kepiluan dan dendam bersarang di hati
manusia. Dia menakutkan masa itu.
Dia selalu memikirkan, apa usaha yang dapat ditempuh
untuk melenyapkan ancaman dari masa itu? Ronggur cepat
bangun dari goleknya. Tio menatap ke arahnya. Ronggur
menundukkan kepala. Tapi, dari mulutnya lalu meledak kata,
"Tio, kenapa kau tidak belajar memintal benang dan
bertenun? Kau sudah harus mengurangi kegemaranmu pergi
mengembara. Kau harus belajar memintal dan bertenun,
seperti gadis lain."
Warna duka membayang di wajah Tio. Yang tidak disangka
Ronggur mulanya.
"Ada yang salah?" tanya Ronggur pula.
Tio tetap terdiam dan tertunduk.
Barulah Ronggur sadar bahwa seorang gadis yang
berderajat budak tidak dibolehkan belajar memintal dan
bertenun. Menenun ulos-batak ialah pekerjaan para gadis
yang merdeka. Perlahan-lahan, tapi pasti, Ronggur
mengatakan, "Tio, kau harus belajar memintal dan bertenun
Aku akan meminta izin pada Raja Panggonggom”
Pada biji mata Tio menyinar cahaya kegembiraan. Lalu,
"Betul kau bolehkan aku memintal dan bertenun? Betul kau
akan meminta izin pada Raja Panggonggom? Aku akan
bertenun seperti gadis lain dari margamu ?"
"Ya, akan kuusahakan sampai dapat”
Karena gembira, tidak disadari Tio, dia memeluk Ronggur
sambil mengatakan dengan kegembiraan. “Ah, betapa
bersyukur aku. Betapa berbahagia. Aku.. aku akan menenun
ulos untukmu. Ulos yang paling halus raginya. Yang paling
baik campuran warnanya”
Ronggur membiarkan Tio begitu. Sampai akhirnya Tio sadar
sendiri. Lalu, melepaskan pelukannya perlahan-lahan. Kembali
dia dihadapkan pada kenyataan. Ronggur diam saja melihat
perubahan kelakuan Tio itu. Sedang matanya dengan mesra
menancap ke biji mata Tio. Tio menundukkan kepala
perlahan-lahan. Begitu pula akhirnya Ronggur. Beberapa saat
terdiam.
Matahari bertambah lemah sinarnya. Tidak terik lagi.
Ronggur menatap ke sekitar, lalu dengan suara pasti dia
mengatakan, "Tio, mari ke pundak bukit pertama. Ada yang
hendak kutunjukkan padamu."
Mereka mendaki tanjakan bukit sampai tiba ke pundak
pertama. Dari sana jelas tampak oleh mereka lengkungan
tepian danau. Pada salah sebuah teluk dapat diketahui
Ronggur bahwa di situlah bermula sungai Titian Dewata.
Telunjuknya mengarah ke teluk itu sambil mulutnya
mengatakan, "Tio, di sanalah bermula sungai T itian Dewata."
"Aku tahu," kata T io, "aku sudah pernah dibawa almarhum
ayah dan ibu ke sana."
"Garis putih yang membelah dada persawahan yang sedang
menghijau, lalu menghilang atau seperti masuk menyusup ke
perut pegunungan sebelah timur, itulah jaluran sungai. Dapat
kau lihat dan perhatikan garis putih itu?" tanya Ronggur.
"Dapat."
"Menurut cerita orang tua, sungai itu berakhir ke ujung
dunia. Barang siapa yang berani me layari sungai ke muara
atau berusaha mencapai muara, tidak akan kembali lagi.
Karena jatuh ke tebing ujung dunia. Arwahnya akan dikutuki
dewata. Tapi, sungai itu jalan arwah kita kelak, menuju
tempat Mula jadi Na Bolon."
"Tahu juga aku," sahut Tio.
Ronggur diam seketika. Terus menatap ke arah sungai.
Sedang Tio melirik ke biji mata Ronggur yang menyinarkan
sesuatu arti. Ronggur mengaju tanya padanya:
"Apakah kau juga sependapat dengan mereka bahwa
sungai itu berakhir di ujung dunia itu?"
"Begitulah kata mereka. Ada apa kiranya?"
"Apakah kau tidak bisa punya pendapat sendiri?"
"Apa maksudmu?"
"Apakah kau tidak sering membaca pustaka di rumah
ayahmu dulu?"
"Sering. Sering sekali. Aku bisa membaca dan menulis
dengan baik."
"Menurut cerita yang ada di sana, setiap sungai menuju
tanah landai dan subur."
"Ya, memang begitu."
"Entah bagaimana, aku berpendapat bahwa sungai itu pun
akan tiba ke tanah landai yang subur, juga sudah kuselidiki
dalam pustaka yang tua bahwa sungai itu tidak ada dikatakan
berujung di akhir dunia."
"Kepercayaan yang diwariskan kepada kita mengatakan,
sungai Titian Dewata berakhir ke ujung dunia. Buktinya
sampai sekarang tidak ada orang yang berani melintasi daerah
yang telah ditentukan, sampai ke mana bisa seseorang
nelayan menangkap ikan. juga sungai ini, lain dari sungai yang
lain."
"Kalau begitu, kau pun sependapat dengan mereka."
"Begitu menurut cerita mereka. Aku tidak dapat
mengatakan yang lain. janganlah marah padaku."
Ronggur terdiam. Keheningan mengambang di antara
mereka. Tidak ada yang berkata. Angin turun, angin sore yang
nyaman.
"Tapi, timbul bisikan dalam hatiku, sungai itu pun sama
dengan sungai yang lain," kata Ronggur;
"Kenapa kau beranggapan bahwa sungai ini lain?" tanya Tio
memecah sunyi, "apakah kau berniat hendak melayarinya
membuktikan kebenaranmu?"
Tapi, Tio menjadi takut pada ucapannya itu. Dia takut kalau
Ronggur benar-benar melayari sungai itu. Yang berarti bunuh
diri. Dia akan tinggal di dunia ini. Dia akan jatuh ke tangan
orang lain yang pasti akan memperlakukannya sebagai budak
biasa. Kebebasan akan benar-benar direnggutkan orang.
"Ya, aku memang mau melayarinya," sahut Ronggur tanpa
memperhatikan wajah Tio yang menjadi pucat. "Sudah lama
niat ini menguasai dadaku," lanjutnya pula, "tapi, aku
melayarinya bukan bermaksud untuk membuktikan bahwa aku
berada di pihak yang benar. Aku mau berusaha mencari tanah
garapan baru, daerah perluasan, tanah hubungkasan."
"Itu berarti bunuh diri. Arwahmu akan tidak diterima
dewata," potong Tio.
Perasaan takutnya tambah mencekam. Dia mengharap
dapat menggagalkan maksud Ronggur dengan ancaman
begitu. T api, Ronggur cepat pula mengatakan:
"Dengar dulu yang kumaksud. Tahukah kau Tio bahwa
tanah selingkar danau ialah tanah subur? T ahukah kau, setiap
tahunnya manusia yang hidup di sini yang memerlukan tanah
garapan bertambah banyak juga? Akhirnya tanah yang tadinya
terasa luas, setiap tahunnya bertambah sempit. Dan, akan
terus bertambah sempit. Akibatnya akan bertambah banyak
pertengkaran yang memungkinkan pecahnya peperangan.
Seperti perang antara margamu dengan margaku."
Tio tertunduk. Wajahnya menjadi muram dan sedih.
"Janganlah bersedih. Aku tidak bermaksud membongkar
yang sudah lewat. Tidak bermaksud aku mengingatkanmu ke
saat kejatuhan margamu. Tidak! Tapi, aku mau mengatakan,
karena kurasa kau dapat merasakannya, yang akan menimpa
manusia yang hidup di sekitar danau di hari mendatang, bila
tanah habungkasan tidak ditemui. Pertengkaran karena
setapak tanah, karena setitik air parit, akan tambah banyak
terjadi. Ini sudah pasti. Cobalah turut mendengar berita
bahwa setelah perang antara margamu dengan margaku
selesai, sudah berapa kali lagi peperangan terjadi di antara
marga? Kalau tidak salah, sudah ada tiga gelombang
peperangan antara marga satu dengan, marga lain. Dan,
peperangan itu akan bertambah banyak lagi timbul di masa
mendatang. Jadi, sebelum saat itu tiba, harus ada usaha
mencari tanah habungkasan. Orang yang berani dan
bertanggung jawab akan masa datang, harus mulai sekarang
memulai kerja ke arah itu, merintis jalan, dengan berani
menantang segala aral-melintang, berani menantang segala
cerita yang bersifat menakut-nakuti. Berani menantang
sesuatu yang dirasakan ialah satu kepercayaan bagi
kebanyakan orang. Karena aku merasakan persoalan itu,
kupikir, aku harus turut memikul bebannya, walaupun
nyawaku sendiri menjadi taruhannya."
Seketika Ronggur berhenti. Tio tidak membumbuhi cakap
Ronggur yang panjang itu. Dibiarkannya Ronggur
meneruskan:
"Sudah sering Tio, aku diganggu mimpi. Mimpi
menghimbau aku selalu dari tempat jauh, dengan suaranya
yang nyaring. Mengajak aku memulai perjalanan mengikuti
sungai. Sampai ke mana dia tiba. Dalam mimpi itu selalu aku
dibawanya ke suatu tempat yang teduh. Penuh pepohonan
dan tanahnya begitu landai. Dan, dalam mimpi itu, aku
menemui sebuah danau yang sangat luas, jauh lebih luas dari
Danau Toba yang kita kenal ini. Tanah yang kutemui dalam
mimpi itu begitu gemburnya. Tidak seperti tanah di s ini, tanah
tipis yang menyaputi batu alam yang keras. Itu yang selalu
menemani tidurku. Merangsangku di saat jaga."
Wajah Tio bertambah pucat. Dengan suara tersengal-
sengal, dia mengatakan:
"Barangkali itu godaan setan jahat. Kau perlu berobat pada
dukun. Berobatlah cepat-cepat. Jangan sampai kekuasaan
setan tertanam didirimu."
"Tidak Tio. Wajah orang yang melambai aku dalam mimpi
itu dan menuntun jalanku mirip sekali dengan wajahku. Kata
orang, wajah almarhum ayah, mirip sekali dengan wajahku.
Apakah tidak mungkin, arwah almarhum ayah yang datang
padaku, memanggil aku, menunjuk tanah habungkasan yang
subur padaku?"
"Ronggur," untuk pertama kalinya Tio menyebutnya hingga
Ronggur merasakan satu desiran menyinggung hatinya,
"barangkali, itu setan yang menyaru."
"Tidak Tio. Orang yang digoda setan, akan merasakan
tubuhnya kurang sehat. Aku kau lihat sendiri, tetap sehat dan
pikiranku tetap waras."
"Ronggur," kata Tio lagi, "aku merasa takut! Aku takut!"
"Janganlah takut, selagi aku di dekatmu."
"Aku takut mendengar ceritamu. Cerita itu, mula duka
cerita yang akan mendatangi diriku."
"Jangan berkata begitu."
Tio begitu saja menyandarkan kepalanya yang terhisak ke
bahu Ronggur, menelungkup di sana. Dibiarkan Ronggur, Tio
berbuat begitu. Entah berapa lama.
Sore dengan perlahan beralih pada senja. Pada mulanya
warna Jingga, kemudian bertambah merah, lembayung
tambah jelas. Tari warna bermain di wajah danau, di riak
danau. Angin tambah lemah. Mereka menuju pulang.
Orang yang berpapasan dengan mereka tidak berapa
mereka perdulikan. Tio mengikuti langkah Ronggur yang
panjang dan cepat diayunkan. Si belang kadang berlari di
depan mereka. Kemudian berlari lagi ke belakang. Sambil
menggonggong.
Dan, hati Ronggur tambah digoda perjalanan yang harus
dimulainya. Dia sudah harus mengadakan persiapan untuk
perjalanan itu. Pada pikirannya, dia sudah memilih teman
yang akan diajak turut serta. Yang sendirinya menantang dan
menghadapi segala kemungkinan. Meruntuhkan satu
kepercayaan. Tapi, mungkin juga satu perjalanan yang akan
mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi, mungkin juga mula
kelanjutan hidup keturunan, bermarga.
Ibunya menyambut kedatangan mereka berdua di ambang
pintu. Mereka sudah sering pulang terlambat. Dengan cepat
ibunya menyediakan makanan dan Tio membantu. Mereka
makan bersama. Jadi pada rumah itu, tidak terdapat atau
dengan sengaja diadakan keharusan bahwa seorang budak
harus belakangan makan, yaitu memakan sisa tuannya.
Ronggur tidak mau begitu. Sedang ibunya tidak berdaya
melawan kehendak Ronggur, walaupun itu bertentangan
dengan adat. Ibunya pun merasa senang pada kelakuan Tio,
yang menurul pertimbangannya masih tetap membawakan
sifat dan kelakuan sebagai anak raja.
"Ibu," kata Ronggur sesudah makin seraya melap mulut.
"Ceritalah kembali ibu, di mana sebenarnya ayah dikuburkan.
Ceritalah karena apa ayah meninggal dulu. Karena sakit,
karena kecelakaan dalam perburuan atau .... Dalam mimpiku,
selalu aku bertemu dengan seseorang yang wajahnya mirip
benar dengan wajahku. Orang itu selalu mengajak aku agar
memulai suatu perjalanan. Mengikutkan arus Sungai Titian
Dewata sampai ke muara. Bukankah ibu mengatakan bahwa
wa|ahku mirip benar dengan wajah almarhum ayah?"
Ibunya tak langsung menyahut, lerpaku mendengarkan.
Dengan mata terbelalak akhirnya dia mengatakan, "Apa
katamu, Ronggur? Apa katamu?"
"Orang itu selalu mengajak aku, agar memulai perjalanan
mengikuti arus Sungai Titian Dewata sampai ke muara. Bila
aku katanya tidak mau melaksanakan permintaannya. dia
akan selalu berduka. Kerja yang dimulai di masa hidupnya,
katanya akan sia-sia."
"Jangan lagi berkata begitu, Anakku. Jangan lagi. Ibu takut
mendengarnya. Dan, ibu sudah tua."
"Ibu, ceritalah. Di mana sebenarnya kubur ayah? Sampai
begini besarku, ibu tidak mau mengatakan dan aku belum
pernah berziarah ke kuburnya untuk meminta doa restu.
Bukankah aku bisa dikatakan orang, dikatakan para arwah,
anak durhaka, karena tidak pernah menziarahi kubur
ayahnya?"
Wajah ibunya tambah jelas memancarkan perasaan
ketakutan. Keheningan menguasai ruang. Tarikan napas
ibunya yang satu-satu lagi dalam jelas kedengaran. Tarikan
napas yang terputus-putus.
"Ibu, ceritalah. Kalau tidak, aku akan pergi mencari
sendiri."
Ibunya mengangkat wajah. Tegak. Tapi, melesu lagi, lalu:
"Anakku, aku juga tidak tahu pasti, di mana sebenarnya
kuburan almarhum ayahmu. Pergilah tanya bekas Datu Bolon
Gelar Guru Marsait Lipan. Dia yang tahu! Dialah teman
ayahmu yang terakhir pergi jauh dari kampung kita ini. Dan,
yang pulang kemudian, hanya bekas Datu Bolon Guru Marsait
Lipan. Ayahmu tidak pernah lagi pulang. Kau tentu tahu,
tempat tinggal Datu Bolon itu sekarang."
Cepat Ronggur bangkit dari duduknya. Setelah
membelitkan ulos ke lehernya, dia terus berangkat. Ibunya
dan Tio melihat saja. Kemudian ibu Ronggur menatap Tio,
yang juga pada wajahnya bergantungan sesuatu ragam
perasaan.
"Ibu, aku juga turut merasakan yang Ibu rasakan. Tadi
dikatakannya padaku, dia akan pergi memenuhi panggilan
mimpinya, panggilan negeri jauh. Aku sudah berusaha
mencegah. Tapi, Ibu tentu lebih tahu dariku bahwa dia tidak
dapat dihalangi. Bukankah sudah sifat Ronggur begitu?"
"Apa katamu? Kau sebut namanya? Nama Hulubalang Muda
kau sebut?"
Tio terkejut. Dia sadar bahwa yang dihadapinya ialah ibu
Ronggur. Dia tertunduk. Dihempaskan kembali pada derajat
yang tidak berharga, yang tidak boleh menyebut nama
tuannya. Didengarnya perempuan itu menghardik setelah
lebih dulu menarik napas yang panjang lagi dalam:
"Berani kau menyebut namanya? Apa kau pikir dia sama
derajat dengan kau?"
Seolah orang tua itu, perempuan itu, karena marah sudah
lupa pada masalah yang sebenarnya dihadapi.
Tio menggerutu pada diri sendiri. Kenapa lidahnya terus
sefasih itu menyebut nama Ronggur. Dari tunduknya dia
menyahut:
"Dia yang menyuruh aku, memaksa aku harus menyebut
namanya, Bu. Tidak mau dan tidak dibolehkannya aku
memanggilnya dengan Raja Ni Huta atau Hulubalang Muda."
"Dia menyuruhmu menyebut namanya? Itu kau
katakan?"
"Benar, Bu. Bukan keinginanku."
"Benar begitu?"
"Benar, Bu."
"Tentu Ronggur sudah digoda setan. Sudah diizinkannya
seorang budak belian makan bersama, sekarang diberinya
pula keizinan pada seorang budak belian menyebut namanya.
Apakah dia tidak .tahu tentang martabatnya yang begitu
tinggi? O, Mula jadi Na Bolon, lindungilah anakku dari godaan
setan."
Perempuan tua itu serasa dipukul kepalanya dan ulu
hatinya. Napasnya sesak. Tapi, dengan tersengal-sengal dan
berusaha mengangkat kepala, dia menatap Tio, lalu:
"Aku tahu bahwa perangaimu baik, Tio. Tapi, kau tidak
sepantasnya menyebut namanya. Jangan lagi sebut namanya.
Penuhilah permintaanku ini. Bagaimana kalau tetangga
mendengar kau menyebut namanya di depanku? Maukah kau
memenuhi permintaanku ini?"
"Akan kuusahakan, Bu."
"Berjanjilah demi dewata."
"Aku berjanji."
Baru kembali ibu yang sudah tua itu teringat akan masalah
yang sebenarnya dihadapinya. Perasaan marah kembali
mencair, lalu perasaan takut mencekam dadanya.
Ronggur sudah melintasi halaman perkampungan.
Menerobos gerbang perkampungan. Di pematang sawah yang
kecil lagi licin dia melompat-lompat memilih jalan yang baik.
Dia kenal pada jalan itu. Dia tak perlu takut karena tergelincir.
Langsung dia menuju dangau kecil yang terpencil di satu
ladang. Tanpa dipanggil, si belang mengikutinya. Tidak
disuruhnya supaya si belang pulang. Dibiarkannya si belang
mengikuti. Gelap malam tidak diperdulikan.
Setelah melompati sebuah parit yang agak lebar, kemudian
menyuruh si belang melompatinya, mereka sudah berada di
tanah perladangan yang di petak-petaki tanah yang
ditinggikan sebagai batas dan langsung pula menjadi pagar.
Supaya kerbau tidak merusakkan tanaman yang ada di ladang.
Dilompatinya pula tanah tinggi itu. Dikejauhan sudah kelihatan
cahaya pelita yang menerobos dari celah dinding. Tempat
tujuan. Dia tambah menegaskan langkah.
Tangannya mengetuk pintu dengan lemah. Suara parau
menyuruhnya masuk ke ruang dangau. Ruang tengahnya
begitu kecil. Orang tua itu sedang mengunyah sirih. Di sebelah
kanannya, terletak tempat sirih yang terbuat dari kulit kera. Di
depannya lesung pelumat s irih. Pada kedua lengan tangannya
membelit kayu hitam, akar kayu yang dihitamkan dengan
segala macam minyak dan lemak, beru kirkan bentuk ular
sedang menjalar. Diberi pula berhiasan suatu benda
mengkilat, seperti matanya. Bercahaya ditimpa sinar pelita
yang lemah.
‘Pakaian datu’, pikir Ronggur. Pakaian itu tidak
ditanggalkannya walaupun orang tidak pernah lagi datang
padanya minta diobati, minta pertolongan melihat nasib,
meminta agar arwah nenek moyang dipanggil melindungi
orang yang meminta tolong padanya. Juga kerajaan tidak
pernah lagi memintanya untuk menenung sesuatu maksud
kerajaan, apakah berhasil baik atau tidak.
Mata orang tua itu tajam menumpu ke wajah Ronggur.
Pada dadanya, kemudian diketahui Ronggur, bergantungan
potongan gading gajah, taring, dan kuku harimau. Yang
pernah dibunuhnya. Baik dalam suatu perkelahian, begitu pula
dalam perburuan.
Setelah memberi salam, Ronggur duduk di lantai seperti
orang tua itu sendiri, berhadap-hadapan.
"Ada apa, Anakku?" tanya orang tua itu.
"Bapak, izinkanlah aku mengajukan beberapa pertanyaan,"
kata Ronggur.
"Silakan, Nak. Bapak akan menolongmu sebisa mungkin."
"Kata ibu, kalau aku mau tahu kubur almarhum ayah, dan
kenapa almarhum ayah menemui saat meninggalnya, aku
harus menanyakannya pada Bapak. Hanya Bapak kata ibu
yang mengetahui dengan pasti. Orang lain tidak. Ibu sendiri
pun tidak."
Orang tua itu menegakkan kepala, tidak menyangka
pertanyaan begitu. Lalu kembali dia mengaju tanya:
"Ibumu menyuruh kau datang padaku?"
"Ya, Bapak. Ibu menyuruh aku menemui Bapak."
"Ibumu tidak pernah menceritakannya padamu?"
"Tidak, tidak pernah."
Orang tua itu menarik napas yang dalam.
"Anakku, selama ini kupikir, ibumu mendendam padaku.
Lalu mengalirkan dendam itu ke tubuhmu. Kemudian kau
membenci aku, atau berusaha untuk menuntut balas. Kiranya,
ibumu tidak mau menceritakan. Dan, tidak menanam dendam
ke dadamu. Maafkan kesalahanku itu."
"Apa maksud Bapak?" tanya Ronggur pula.
Orang tua itu memperbaiki duduknya.
"Anakku, kalau dikatakan bahwa kecelakaan itu punya mula
dan sebab, maka mula dan sebab kecelakaan itu harus
diletakkan di pundakku. Aku juga harus mendukungnya. Dan,
bila sesuatu hukuman yang harus ditimpakan pada orang yang
memulai malapetaka itu, maka hukuman itu pun seharusnya
ditimpakan padaku."
"Kenapa Bapak berkata begitu?"
Lebih dulu orang tua itu menumpukan pandang ke mata
Ronggur. Begitu dalam.
"Bapak juga sudah lama memikirkan bahwa pada satu saat,
mulut manusia yang harus kita beri makan akan bertambah
banyak. Sehingga hasil yang dapat diberikan tanah yang ada
di sekitar kita tidak akan mencukupi. Begitulah bapak memulai
pertenungan. Menanyakan arwah gaib yang tidak dapat dilihat
mata. Bapak menanyakan pada mereka di mana dapat ditemui
tanah habungkasan yang subur. Agar pertengkaran karena
setapak tanah dan yang bisa meledakkan satu peperangan
bisa diatas i. Hasil tenung itu mengatakan pada bapak, ikutilah
Sungai T itian Dewata."
Orang tua itu terbatuk sebentar. Setelah mengunyah sirih
lalu meludah dari celah lantai, dia melanjutkan.
"Hasil pertenungan itu kuceritakan pada ayahmu. Dia juga
sepakat denganku. Tanah perluasan harus dicari dan
ditemukan. Ayahmu begitu percaya akan hasil pertenungan
bapak dan begitu percaya akan kekuatan gaibku. Maka kami
pun mulai mengadakan perjalanan mengikuti Sungai Titian
Dewata tanpa memperoleh halangan dari kerajaan. Waktu itu
bapak masih memegang kekuasaan mutlak sebagai Datu
Bolon Kerajaan. Dan, bapakmu hulubalang yang dihormati
kerajaan karena keberaniannya. Kami pun memulai
perjalanan, mengikuti jalur sungai. Tapi, apa yang kami
temui? Pada suatu tempat tertentu, setelah berhari-hari
berkayu, di kiri kanan kami hanyalah batu alam melulu, di
tengahnya air sungai mengalir. Bertambah hari bertambah
deras. Air seperti mau membulat. Hingga akhirnya biduk yang
kami tumpangi tidak terkendalikan. Sebuah terowongan batu,
semacam gua, air menuju ke sana. Mulut gua itu menganga
seperti mau menelan. Karena tidak tahan menerima kenyataan
ini, yang berbeda dengan hasil tenungku, bapak cepat
melompat ke pinggir sungai sambil berteriak: 'Ama ni
Ronggur, cepat tinggalkan biduk'. Tapi, sewaktu bapak
melompat itu keseimbangan biduk hilang. Bapakmu dan biduk
lalu dihanyutkan arus yang menggila. Dihantamkan ke dinding
batu yang keras. Pecah di sana. Sebuah lengkingan yang
panjang menggema. Itulah lengkingan yang paling akhir. Yang
bapak rasakan menyuruh bapak cepat meninggalkan tempat
itu. Namun bapak masih menantikan ayahmu untuk beberapa
hari. Tapi, dia tidak pernah lagi muncul. Tidak pernah lagi
kembali. Suara air yang bertemparasan ke dinding sungai
yang terbuat dari batu alam yang hitam, berkerisik dan kuat,
menyanyikan kemenangannya dan kegagalan serta kekalahan
kami”
Orang tua terdiam sebentar. Seperti berusaha mengingat
sesuatu. Sedang Ronggur khusuk mendengarkan.
"Akhirnya bapak percaya bahwa ayahmu sudah menjadi
korban atas kemurkaan dewata. Tenungku salah, Anakku.
Tafsir tenungku tidak benar. Membuat salah seorang
sahabatku menjadi korban."
Suara orang tua itu menjadi tambah parau. Dari matanya
meleleh titikan air bening. Kerongkongannya tersendat. Di
antara isaknya dia masih mengatakan dengan suara parau:
"Maafkanlah kesalahanku, Anakku. Dan, sejak itulah bapak
tidak pernah lagi dipanggil kerajaan mengadakan
pertenungan. Tidak pernah lagi orang datang meminta
bantuan. Bapak disisihkan dari pergaulan sehari-hari. Bapak
terpencil. Tapi, pada upacara besar yang dilangsungkan di
halaman perkampungan, bapak tetap juga mengikutinya. Tapi,
tempat bapak di tengah rimbunan bambu duri agar orang
tidak melihat bapak. Dari tempatku yang tersembunyi itulah
bapak melihat dan mendengar usulmu, agar orang mencari
tanah habungkasan mengikuti arus Sungai Titian Dewata.
Bapak mendengar usulmu, Anakku."
Orang tua itu menundukkan kepala.
Wajah Ronggur di samping merasakan perasaan duka, tapi
bercampur baur dengan perasaan bangga dan gembira. Justru
karena ada juga orang yang bisa atau turut merasakan apa
yang dirasakannya. Turut memikirkan apa yang dipikirkannya.
Dan, berusaha mencari tanah habungkasan. Memang mereka
menemui kegagalan. Tapi, apakah satu kegagalan harus
dihukum dengan kutuk dan dendam?
‘Tidak’, sahut Rongur sendiri atas segala pertanyaan yang
timbul dalam dirinya. Segala percobaan yang berusaha
mendekati kebaikan dan mengupas kebenaran, walau
menemui kegagalan sekali, lalu menimbulkan korban yang
tidak kecil harus dihormati. Setelah memperoleh kesimpulan
ini, Ronggur mengatakan:
”Bapak, jadi bapak mendengar usulku? Dan, telah lebih
dulu memikirkannya bersama almarhum ayah?"
“Benar. Aku mendengar usulmu. Ah, yang tampak oleh
mataku, waktu kau berbicara itu dengan suara yang lantang
berani, seperti almarhum ayahmu sendiri, waktu dia dulu turut
membela hasil tenungku. Agar kerajaan tidak menghalangi
keberangkatan kami."
"Bapak, aku menghormati pendapat bapak tentang
perlunya tanah habungkasan. Kegagalan yang ditemui bapak,
darinya atau padanya tidak sewajarnya dialamatkan dendam.
Malah kegagalan itu harus dibuat menjadi batu loncatan.
Ditoleh sedemikian rupa sehingga sumber kegagalan pertama
dapat dilintasi. Sampai ditemui satu kemenangan."
"Seharusnya begitu, Anakku. Tapi, orang yang ada di
sekitar kita, yang punya kepercayaan bahwa Titian Dewata
sungai dewata, kemudian mengetahui kegagalanku dan
meninggalnya ayahmu, kepercayaan mereka tambah menebal
juga. Malah bapak sendiri lalu disisihkan dari pergaulan. Hasil
tenungku tidak diperlukan orang lagi."
"Itu risiko, Bapak. Risiko yang harus kita terima. Tapi,
janganlah karena itu kita lantas menanggalkan satu cita yang
tumbuh dalam dada kita. Cita yang baik."
"Apa maksudmu, Anakku?"
Ronggur menarik napas yang dalam. Lalu, dengan suara
pasti dia mengatakan, "Sudah tiba saatnya, aku harus
melanjutkan pekerjaan yang gagal itu. Aku harus dapat
mengatasinya. Aku harus melanjutkannya."
Orang tua itu menatapi dan membiarkan Ronggur
berbicara.
"Kata Bapak, melayari sungai dengan biduk?"
"Ya."
"Kalau begitu harus diusahakan melayarinya dengan
perahu. Yang lebih besar dari biduk. Dasar perahu harus agak
luas dibuat agar tidak mudah terbalik waktu melawan arus
atau melalui arus."
"Pikiran yang baik," kata orang tua itu. "Tapi, ada baiknya
kau pikirkan bahwa sesuatu sungai biasa, pada pangkalnya
mempunyai arus yang kencang. Tapi, sungai ini lain. Pada
pangkalnya tidak berapa deras arusnya. Tapi, lambat laun
tambah ke hilir, menjadi deras arusnya. Bukankah itu pertanda
bahwa sungai itu memang lain dari sungai biasa?"
Ronggur terdiam.
"Arus itu," kata orang tua itu pula, "dapat dikatakan cukup
menggila. Dinding batunya begitu keras. Kalau perahu
terhantam ke sana pasti pecah. Dan, penumpangnya akan
dihanyutkan arus tanpa ampun. Tidak sempat berenang ke
tepian. Bukankah arus menggila itu memang satu pertanda
bahwa sungai akhirnya memang jatuh ke satu tempat yang
maha dalam, yang menurut kata orang di sekitar ialah ujung
dunia?"
Ronggur masih terdiam. Keningnya berkerut. Lalu, dia
mengaju tanya pula: "Jadi, apakah menurut pendapat bapak,
setelah mengalami kegagalan bahwa Sungai Titian Dewata
memang jatuh ke ujung dunia?"
Orang tua itu mendongakkan kepala.
"Tidak dapat kupastikan, Anakku. Karena hasil tenungku
sampai saat ini tetap berpendapat bahwa sungai itu tidak
jatuh ke ujung dunia. Karena pendapat ini jugalah membuat
bapak disisihkan orang. Tapi, kenyataan keadaan sungai itu
tidak dapat dipungkiri."
"Nah, kalau begitu yang kita hadapi hanyalah arus sungai
yang menggila. Boleh jadi arus menggila karena sungai
melalui riam yang banyak ditemui pada sesuatu sungai."
"Juga tidak dapat bapak jawab. Karena arus sesuatu riam
tidak akan begitu kencang dan begitu menggila."
"Boleh jadi riamnya lebih dalam."
"Boleh saja kita berpendapat begitu."
"Karena itulah, aku harus melayarinya dengan perahu yang
jauh lebih besar dari biduk. Dan, sewaktu melintasi arus
sungai harus menggunakan tenaga pembantu. Tidak cukup
kemudi saja menahan kencangnya perahu. Tapi, harus
menggunakan batu pemberat."
"Maksudmu?"
"Batu sebesar kepala manusia atau sebesar kepala kerbau
kita ikat. Talinya kita ikatkan pada buritan perahu. Setiap
melintasi arus yang tambah kencang, setiap itu pula batu itu
kita jatuhkan ke dalam air sebagai penahan. Agar perahu tidak
dihanyutkan arus dengan sesuka hatinya."
Orang tua itu menundukkan kepala. Mengiakan lalu
mulutnya mengatakan: "Satu pikiran yang baik."
"Nah, dengan akal begitulah aku bermaksud melayari
Sungai Titian Dewata sampai ke muara. Dan, darimu,
kumohonkan doa restu. Agar kami direstui dan diberkati para
dewata dan arwah nenek moyang, begitu pula arwah
almarhum ayah."
"Bapak akan membantumu, Anakku," kata orang tua itu
seraya pundak Ronggur ditepuk-tepuk.
"Anakku, perjalanan ini tidak mudah. Kau akan menghadapi
rintangan kepercayaan orang yang ada di sekitarmu. Karena
itu kekuatan jiwa dan tekad yang padu harus kau punyai dan
kau pupuk selalu dalam hati."
"Baik, Bapak. Tapi, doakanlah agar anakmu ini selamat
dalam perjalanan."
Orang tua itu merasa gembira bercampur bangga karena
ada orang yang sependapat dengan dia. Karena, untuk
pertama kali sete lah bertahun-tahun ada orang meminta
pertolongan doa restunya. Tenaga gaib yang dipunyainya.
Matanya bersinar. Dadanya diangkat, sedang mulutnya
mengatakan dengan suara pasti:
"Anakku, beritahukan pada bapak kelak, kapan kau hendak
memulai perjalanan itu. Ah, kalaulah bapak masih muda,
masih punya tenaga yang kuat, bapak akan turut
bersamamu."
"Doa Bapak yang akan mengiringi langkahku, kurasa lebih
besar manfaatnya dari apa saja." kata Ronggur. "Dan, aku
mau mempersiapkan peralatan yang kuperlukan dulu. Sebuah
perahu yang agak besar, yang punya dasar yang lebih datar
dari perahu biasa. Beberapa gulungan tali ijuk yang kuat.
Sesudah ini s iap semua, perjalanan itu akan kumulai. Dan, aku
akan datang memberitahukannya pada Bapak."
Ronggur meminta diri. Orang tua itu melepaskannya
menerjang kelam malam yang pekat. Mata orang tua
menyinarkan cahaya kemenangan, berusaha menembus
segala kegelapan yang menyungkup keadaan sekitar.
Si belang berlari-lari di samping Ronggur, sambil
mengibaskan ekor.
Malam sudah jauh, dibaliknya pagi.
ccdw-kzaa

3
Kabut pagi masih rendah menyungkup tanah. Ronggur
sudah berada di halaman bersama T io dan si belang. Tangan
kanan Ronggur menggemggam kampak, tangan kirinya
menggenggam tombak. Di tubuhnya membelit tali ambalang.
Di pundaknya disandangkan sumpit bertali, yang berisikan alat
kecil.
Pundak Tio juga menyandang sumpit bertali yang berisikan
beras. Tangannya juga menggenggam kampak dan tombak.
Matanya sering tertumpu ke pinggang Ronggur yang
menyelipkan panggada. Mereka tampaknya akan mengadakan
perjalanan yang tidak dapat dikatakan pendek masanya.
Ronggur melangkah cepat, panjang, dan menembus kabut.
Tio tetap mengiring dari belakang bersama si belang. Si
belang sering menggonggong, meregangkan tubuh seperti
mengendorkan urat yang dibekukan dingin pagi berkabut
rendah. Tapi, tampaknya, dari gerak-geriknya si belang
gembira. Karena seperti tahu bahwa mereka akan
mengadakan perjalanan yang lama dan jauh dari lingkungan
perkampungan. Orang tidak ada di halaman.
Langsung rombongan kecil itu mengarah ke kaki bukit
sebelah barat. Jalanan terus menanjak. Perkampungan
tambah tertinggal di bawah. Masih juga dibalut kabut, tapi
sudah tambah menipis dengan bertambah tingginya hari.
Lewat perkampungan danau, kabut di sana lebih tebal,
lebih kental, dan rendah. Air yang biru tidak dapat dilihat
pandang, begitu pula Pulau Samosir dan T uktuk Sigaol. Semua
teggelam ke perut kabut. Mereka terus melangkah. Bergegas.
Kabut yang rendah tambah terangkat. Untuk kemudian
secara perlahan mulai menyisih dari tanah. Matahari memberi
sinar, suluh abadi yang dikenal mereka sejak masa kanak.
Permukaan danau, secara berangsur perlahan, tepian Pulau
Samosir dan Tuktuk Sigaol, bertambah lama bertambah jelas
tampak. Akhirnya keputihan yang pekat tadi yang merupakan
satu bundaran yang tidak berujud, sekarang sudah tampak
isinya.
Air danau biru tenang di pagi hari tanpa angin. Samosir dan
Tuktuk Sigaol berhadapan. Di sebelah lain Tuktuk Tarabunga
menjulur ke depan, seperti hendak menjangkau Samosir. Ini
semua dapat dilihat setelah melalui tingkatan sawah yang
padinya sedang bunting, dedaunan padi yang menghijau.
Pada tempat tertentu tampak tumpukan bambu duri yang
melingkar. Pertanda perkampungan. Asap sudah mengepul
dari kampung itu, pertanda pengisi kampung sudah bangun
dari tidurnya. Satu dua biduk berlayar di permukaan danau,
penangkap ikan yang bekerja semalaman mengayuh menuju
pantai.
Mereka meneruskan langkah, jalanan menanjak. Setiap
saat, tambah jauh mereka di atas, dan perkampungan serta
danau, tambah jauh berada di bawah. Langkah mereka begitu
cepat diayunkan. Tergesa tampaknya. Karena ingin cepat tiba
ke tempat yang dituju. Tidak banyak mereka mengeluarkan
kata.
Matahari tambah tinggi berlayar di langit dan sinarnya terus
menerus tambah terik. Angin yang berdesir di lidah ilalang
yang tinggi, lalu ilalang itu bergoyangan, sudah mulai bangkit.
Lidah ilalang yang bergoyangan, terkadang menyayati daging
mereka dengan tipis. Terasa pedih juga bila sayatan kecil itu
dibasahi keringat. Terkadang mereka seperti tenggelam di
padang ilalang yang cukup tinggi. Untuk tampak kembali pada
tempat di mana ilalang agak rendah. Biasanya, si raja hutan,
bersembunyi di sana menanti mangsa. Itu yang membuat
Ronggur tetap was-was. Di tangannya terus tergenggam
tombak dan kampak, siap sedia dipergunakan.
"Sebelum matahari condong ke barat, kita sudah harus
menuruni lembah berhutan yang ada di salah satu lekuk
danau. Agar kita tidak kemalaman mencari tempat bermalam,"
kata Ronggur. "juga untuk memilih dahan pohon yang baik
untuk tempat tidur."
Tio tidak menyahut. Langkahnya tambah dipercepat dan
diperpanjang, dilincahkan sebagai sahutan.
Matahari terus berlayar di langit dan mereka terus
melangkah di bumi. Lidah si belang terjulur merah dan
berbuih. Dia tidak menggonggong lagi, tapi terus mengikuti
tuannya.
Dari tempat ketinggian, mereka menatap ke sekitar.
Pandang bebas diarahkan ke mana suka, hanya ke arah
belakang yang kandas pada pegunungan. Barat, melalui
tingkatan dinding teluk, didasarnya hutan yang mereka tuju.
Utara, danau yang biru. Beriak-riak. Dari sana tampak lebih
jelas lagi, di teluk di mana Sungai T itian Dewata bermula.
Mata Ronggur lama tertancap ke sana. Alis matanya
terangkat. Dalam hati terucap kata: akan kutembus kau
sampai ke muara. Melihat Ronggur bersikap begitu, dada Tio
bernadakan lagu lain, ketakutan bercampur baur dengan
penyesalan, kenapa sungai itu harus diadakan dewata.
Kelompok bambu duri pertanda perkampungan tambah
banyak dapat mereka lihat dari sana. Tercecer bertumpuk di
sana sini. Bermula dari pantai danau, berakhir ke kaki bukit.
Sawah menghijau oleh dedaunan padi yang sudah panjang
dan sudah bunting.
Mereka menuruni lembah berhutan yang tidak berapa luas.
Tapi, cukup hijau. Mereka sudah dapat mencium bau
dedaunan yang segar, berair, dan teduh. Dedaunan yang
rapat didukung pepohonan yang tumbuh di sana, menampung
sinar matahari, hingga tanahnya tetap teduh dan berair.
Dedaunan gugur me lapisi permukaan tanah. Jaringan dahan
dan rantingnya, mendukung dedaunan, permadani yang
lembut, buatan alam.
Tapi, Ronggur sudah tahu bahwa mulai panen tahun muka,
kerajaan marganya sudah memutuskan membuka hutan itu
untuk dijadikan tanah persawahan. Tapi, bersamaan dengan
niat itu kerajaan marga lain juga telah memutuskan untuk
membuka hutan itu untuk dijadikan tanah persawahan
marganya. Kerajaan marga lain yang juga mendengar berita
itu dengan tandas pula menyatakan maksud masing-masing.
Untuk membuka hutan itu lalu membagi-bagikan tanahnya
bagi warga marganya. Akhirnya setiap kerajaan marga yang
berdekatan, harus mengadakan pertemuan kerajaan, untuk
membicarakan masalah hutan itu. Sampai sekarang memang
belum ada satu marga pun yang mempunyainya. Tapi, setiap
marga merasakan bahwa kerajaannya punya hak atas hutan
itu. Kalau hutan itu dibuka, marganya harus memperoleh
bagian.
Begitulah, sudah beberapa kali dilangsungkan sidang
kerajaan dengan kerajaan. Di induk kampung marga Ronggur
juga sudah pernah diadakan pertemuan. Tapi, hasilnya masih
tetap sama: belum memperoleh kata mupakat. Satu marga
mengusulkan, boleh marganya tidak memperoleh tanah
bagian, tapi sebagai pembayar bagiannya kerajaan lain harus
memberikan kerbau pada kerajaannya. Masalah itu memang
hangat dibicarakan. tapi, belum sampai ke taraf yang
menentukan. Yang bisa membuat satu luhak berkelahi dengan
luhak lain. Bila satu luhak telah menang, yang di tempati
beberapa marga, antara marga sendiri pun akan ada
pertengkaran. Yang mungkin pula menimbulkan peperangan
marga.
Jadi, dari tanah hutan yang tidak seberapa luas itu, bisa
saja timbul peperangan yang berturut-turut. Pada mulanya
peperangan luhak, lalu melanjut pada yang lebih kecil,
peperangan kerajaan marga.
Suatu kerajaan yang memperolehnya, akhirnya dapat
memindahkan beberapa keluarga ke sana. Tanah perluasan
buat sementara. Karena luasnya tidak seberapa. Hanyalah
tempat singgahan sementara sebelum tiba ke saat yang
ditakutkan Ronggur. Namun untuk merebutnya, kemungkinan
pecahnya peperangan begitu besar. Dan, atas putusan
kerajaan Ronggur, untuk membuka hutan itu, tanpa
memperdulikan kepentingan kerajaan marga lain, sudah jelas
garisnya: peperangan tidak terelakkan lagi, bila marga lain itu
tetap merasakan bahwa kerajaannya punya hak juga atas
hutan itu. Hendaknya, pikir Ronggur, dia bisa lebih dulu
menemui tanah habungkasan, sebelum peperangan dari
perebutan hutan itu meledak.
Mereka menurun ke lembah berhutan dielus angin sore
yang nyaman.
Tepi hutan. Kesejukannya telah memberikan kesegaran
bagi mereka yang sehari penuh dipanggang sinar matahari.
Ronggur duduk melepas lelah pada teduhan sebuah pohon.
Menelentangkan diri. Menutup mata. Memperbaiki jalan
pernapasan. Si belang, mendudukkan diri tidak jauh darinya.
Lidahnya terjulur ke luar. Berbuih. Ronggur kembali duduk,
lantas mengatakan:
"Tolong berikan padaku nasi yang kau bawa itu
sebungkus."
Tio cepat memberikan. Diambilnya sebungkus untuknya.
Memberi beberapa jemput untuk si belang.
"Bila selesa i makan, kumpulkanlah ranting kering. Untuk
bahan bakar api unggun malam hari," kata Ronggur lagi.
Tio mengiakan.
"Hari sudah sore. Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Di sini cepat gelap. Sebaliknya," kata Ronggur pula, "kita
memilih dahan tempat bermalam. Agar terhindar dari
gangguan binatang buas. Membuat lobang pada salah satu sisi
jurang tidak sempat lagi."
Lagi-lagi T io mengiakan.
Ronggur memilih dahan yang baik untuk tempat tidur, yang
bercabang dua, cukup besar, dan tidak vertikal, tapi mendatar.
Tidak terlalu bulat. Agak gepeng sedikit. Di mana tubuh enak
ditelentangkan. Di bawah dahan mereka bakar api unggun,
agar nyamuk tidak banyak mengganggu. Juga bisa mengusir
dingin malam. Dahan yang dipilih Ronggur untuknya dan
untuk T io tidak berjauhan.
"Si belang di mana tidur?" tanya Tio.
"Biarlah di tanah. Penciumannya cukup tajam. Bila bahaya
datang, dia sudah dapat mencium dari jarak jauh. Dia akan
terus menggonggong lalu membuat kita bangun. Lantas
memberi bantuan."
Begitu tergesa mereka menyiapkan sesuatunya. Tio tidak
hanya mengumpulkan reranting. Dahan yang patah dari
sesuatu pohon dipotong, lalu dibawanya ke bawah pohon
tempat mereka bermalam.
Ronggur pergi menyusuri tepian hutan. Ditatapi Tio terus
sampai Ronggur hilang ke antara pepohonan atau tenggelam
kerimbunan rerumputan yang tinggi. Baru Tio memulai
mengonggokkan ranting di lapisan bawah diatasnya dahan.
Dihidupkannya api. Mula-mula dibakar ranting. Potongan
dahan kayu yang sebesar betisnya dionggokkannya kenyala
api menjilam. Tidak sekali banyak. Tapi, sedikit demi sedikit
supaya api tidak mati. Dan tetap ada nyala menjilam. Bara
memanas di bawah bila sudah ada dahan sebesar betis yang
habis dimakan api.
Ya, pikirnya. Ronggur dapat diibaratkan seperti api unggun.
Tingkah lakunya yang dapat dilihat atau yang muncul
kepenglihatan, yang dikatakan sikap jantan yang berani,
masih menyimpan bara kehidupan yang cukup besar
didasarnya. Sehingga apa yang dilihat itulah, sesuatu yang
dipikirnya dan dirasakannya punya kebenaran, tak seorang
pun dapat menghalanginya untuk mengerjakannya.
Begitu pula dengan tekad perjalanannya yang akan
menempuh Sungai Titian Dewata tak satu pun kekuatan baik
melalui kemesraan dan kasih, baik melalui ancaman bahaya
yang mungkin ditemuinya, yang dapat mencegahnya,
mengendorkan maksudnya. Walaupun itu berarti dia akan
merombak kepercayaan yang sudah tertanam di dasar hati
penduduk turun-temurun, atau dia sendiri akan musnah.
Seperti api unggun itu sendiri, bila hendak memadaminya,
harus turut baranya dipadamkan baru tidak mengandung
panas lagi, mengandung bahaya lagi yang bisa membakar dan
menghanguskan.
Dari jauh sudah kedengaran siulan Ronggur datang
mendekat. Ronggur melihat api yang sudah menyala dan
memberi kilatan cahaya pada sekitar, yang cepat menjadi
kelam. Dedaunan yang merimbun menampung cahaya
matahari yang sudah lemah, senja. Sambil tersenyum Ronggur
berkata:
"Kau pandai menyalakan api. Di tikungan jalan tikus
menanjak sana, sudah kutemui kumpulan pohon maranti batu.
Tapi, belum kutemui maranti batu yang cukup tua, yang baik
dijadikan perahu. Pohon yang kuperlukan harus cukup tua lagi
besar. Sedang panjang batangnya yang lurus hendaknya
melebihi tiga depa. Tapi, bagaimanapun kumpulan pohon
maranti batu yang masih muda itu, sudah menjadi pertanda
bahwa di hutan ini akan kutemui pohon yang kuperlukan."
“Harus pohon maranti batu?" tanya Tio menyeling.
“Ya. Semua perahu yang baik dibuat dari jenis kayu itu.
walau susah mengerjakannya karena kayunya cukup keras.
Tapi meranti batu tidak mudah busuk walau direndam dalam
air dan dipanggang terik matahari. Lagi, daya apungnya
sangat baik."
Kemudian Tio terdiam. Matanya seperti bermimpi. Menatap
entah ke mana saja. Dan, Ronggur melanjutkan:
“Sewaktu aku meneruskan perjalananku lebih ke atas,
kutemui pula parit kecil. Airnya bening. Di tepi parit banyak
kulihat bekas jejak binatang buruan. Jadi, kita tidak akan
kekurangan daging di sini. Tahukah kau di sebelah hulu parit,
banyak pohon aren liar tumbuh. Sudah ada yang tua. Kau
harus menebang pohon aren yang sudah tua itu. Memintal
ijuknya menjadi tali. Harus cukup besar, kalau bisa sebesar
pergelangan tangan. Harus pula panjang. Sangat kuperlukan
nanti dalam perjalanan. Itulah kerjamu."
“Aku akan mengerjakan," sahut Tio. Dalam hati selalu
mengiring tanya, kuperlukan dalam perjalanan. Apakah
Ronggur pergi sendiri, tidak mengajaknya? Betapa pun
ancaman yang tumbuh dari maksud perjalanan itu, namun T io
bila memang Ronggur harus berangkat juga, dia ingin ikut.
“Besok pagi benar, bangunlah. Kita harus mengadakan
pengintaian. Membunuh beberapa ekor binatang itu, agar ada
daging persediaan. Jangan lebih dulu menebang kayu. Suara
kampak yang berlaga dengan pohon kayu bisa menakutkan
binatang. Binatang akan pergi menjauh."
Tio mendengarkan. Begitu yakin dia bahwa kemana pun dia
pergi, bila bersama Ronggur, mereka tidak akan mati
kelaparan. Keberaniannya, akalnya yang cukup banyak,
kekuatan tubuhnya memberi jaminan.
Tapi, bila diingatnya bahwa Ronggur akan menyusuri
sungai Titian Dewata mencapai muara, maka itu sangat lain
soalnya. Walaupun tubuh Ronggur cukup tegap menyimpan
tenaga yang kuat, akalnya banyak, namun untuk menghadapi
ketentuan dewata, semuanya itu tidak berarti. Kalau dewata
berkehendak, apalagi kalau dilanggar ketentuannya, siapa
pula dapat menantangnya?
Entah kenapa perasaan takut itu tambah hari tambah
dalam mencekam di hatinya. Namun dia tidak mengatakan.
Kurang wajar rasanya dia menasihati perjalanan yang sudah
diputuskan Ronggur harus ditempuh. Tapi, apakah Ronggur
tidak dapat membaca apa yang tersirat dicerlang matanya?
Malam hari. Binatang rimba mulai bernyanyi. Jengkrik
dengan kerisiknyayang nyaring dan di kejauhan gonggong dan
salak anjing liar selalu membuat si belang mendongakkan
kepala. Mendengarkan dan meraba sumber suara itu.
Ronggur menyuruh Tio mengikatkan tubuh ke dahan kayu
yang bercabang, berbentuk gepeng, agar tidak jatuh sewaktu
diri lelap tidur. Tapi, ikatannya jangan dipintal mati. Harus bisa
dibuka dengan cepat. Karena mungkin saja diperlukan pada
saat tertentu,. Ronggur juga mengikatkan tubuhnya ke dahan
tempatnya tidur. Si belang di bawah, dekat unggun api.
Dalam hayalnya Ronggur sudah menggambarkan bentuk
perahu yang hendak dibuatnya. Sudah di reka-rekanya bahwa
dasar perahu harus mendatar, jangan melancip.
Biarlah tidak bisa dikayuh cepat. Biarlah perahu agak
lamban jalannya. Tapi, bisa mengikuti arus sungai walau
melalui riam. Dinding perahu harus agak tinggi agar tidak
dimasuki temperasan air yang memercik. Ya, pikirnya,
penimba air harus dibawa serta. Yang dibuat dari bambu.
Malam begitu dekatnya. Nyala menjilam dari unggun api.
Tambah jauh malam nyala itu tambah mengecil. Ronggur
turun ke bawah. Menimpakan beberapa potong lagi
dedahanan ke atas api. Hingga jilam yang mau padam tadi,
lalu tampak bara membara, kembali menyala. Jilam-nya begitu
tinggi. Sekitar menjadi terang dan panas. Si belang duduk di
tanah dekat api melihat jilam api yang terkadang meliuk ditiup
angin lalu.
"Perahu yang kubuat," lanjut Ronggur berbicara pada diri
sendiri setelah dia kembali me letakkan diri dan mengikat
tubuhnya ke dahan kayu itu. Harus bisa memuat penumpang
sebanyak tujuh orang paling sedikit. Dasar perahu harus lebih
lebar dari perahu biasa, agar tidak mudah oleng waktu
melintasi riam sungai. Juga agar mudah menjaga
keseimbangan. Sudah dibayangkan, siapa yang akan
diajaknya serta. Akan diminta kesediaan mereka
menemaninya. Dan, ke dalam yang tujuh orang itu, tidak
termasuk Tio.
Perjalanan yang menanggung risiko begitu berat, bukanlah
pekerjaan perempuan. Lagi, Tio perlu dekat ibu. Membantu
mengerjakan sawah bila saat panen tiba. Siapa ttliu, boleh jadi
perjalanan itu sangat panjang.
Dikiranya pula, bila setiap hari dia mengerjakan perahu,
dalam dua kali purnama tenggelam dan terbit lagi sudah bisa
selesai. Berarti sepulangnya dari hutan itu, padi telah
menguning di sawah. Sehabis panen, dia akan memulai
perjalanan itu. Seketika, teringat dia atas maksud kerajaan
marganya untuk membuka hutan itu menjadi tanah
persawahan.
"Ah," pikirnya pula, "dari orang yang sangat dekat dengan
Raja Panggonggom, diperolehnya keterangan bahwa s iasat itu
baru gertakan saja pada kerajaan marga sekitar. Untuk
menduga sampai di mana kesungguhan kerajaan marga lain
itu untuk menguasai hutan itu.
"Tapi, betapa pun," pikirnya pula, "hutan itu akan dibuka
orang juga. Dan, darinya timbul satu ancaman pada
ketenteraman hidup. Karena setiap kerajaan marga
merasakan sama-sama berhak atas hutan yang kecil itu."
"Tio, kau sudah tidur?" tanyanya. Tidak ada sahutan. "Ah,"
pikirnya, "Tio sudah tidur."
Dan, dia masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya
terus berbicara dan bercerita dan mereka-reka bentuk masa
datang. Dia tidak tahu pasti, kapan dia jatuh tertidur. Kokok
ayam hutan membangunkan mereka. Cepat Ronggur turun
dari dahan. Begitu pula Tio. Setelah meregangkan tubuh
beberapa saat, menguapkan mulut. "Enak tidurmu malam
tadi?" tanya Ronggur.
Tio hanya menundukkan kepala. Sekitar masih remang.
Masih pagi benar. Tapi, bila mereka pergi ke pinggir hutan,
tahulah mereka bahwa matahari sebenarnya sudah muncul di
atas pundak Dolok Simanuk-manuk yang dapat mereka tatap
dari mulut teluk. Dedaunan yang rimbun menghalangi sinar
matahari jatuh menimpa wajah mereka. Cepat-cepat Ronggur
mengajak Tio mendekat ke parit yang dikatakannya semalam.
Perlahan-lahan mereka mendekat, seolah-olah tidak
menimbulkan buny i. Walau melalui ranting-ranting kering yang
berserakan di atas tanah.
Ronggur menunjukkan sekumpulan pelanduk yang sedang
minum dan bermain-main di parit kecil itu.
"Lihat," bisik Ronggur. "Bidiklah yang sebelah sana, yang
kepalanya berbelang putih. Aku membidik yang kakinya
berbelang."
Tio mengiakan dengan anggukan. Bersama mereka
mengayunkan tombak yang cepat melayang. Lalu, tertancap
ke sasaran. Karena terkejut, pelanduk lain melarikan diri.
Sedang pelanduk yang dikenai tombak melengking dan
berusaha melarikan diri beberapa jauh, membawa luka di
tubuh yang mengucurkan darah. Untuk itu, si belang cepat
bangkit dan mengadakan pengejaran. Digigitnya kaki pelanduk
itu sampai tidak berdaya. Sampai rubuh ke tanah. Kemudian si
belang menggonggong, mewartakan kepada tuannya di mana
pelanduk tergeletak.
Ronggur dan Tio cepat mendekat. Mereka kuliti binatang
itu. Dagingnya mereka potong tipis-tipis. Mereka jemur di atas
batu yang langsung menampung sinar matahari penuh tanpa
dihalangi dedaunan. Sehari itu, si belang disuruh menjaga
agar tidak dicuri burung gagak.
Rongur memilih dinding jurang yang baik digali untuk
membuat lubang perlindungan, tidak jauh dari parit kecil agar
mudah mengambil air. Berdua mereka menggali. Mulut lubang
dibuat besar, hingga bisa masuk dengan leluasa. Sedang
ruang dalam agak luas. Mereka bisa menyangkutkan ulos-
batak sebagai batas tempat tidur masing-masing. Sampai jauh
malam mereka mengerjakan lubang itu. Peralatan mereka
simpan di sana. Begitu pula dengan daging hasil pemburuan
tadi pagi yang harus dijemur besok harinya, karena belum
cukup kering untuk disimpan.
Mereka gembira karena sudah memperoleh daging yang
dibutuhkan dan sudah punya lubang perlindungan. Ronggur
bisa tidur nyenyak malam itu, begitu pula T io. Di mulut lubang
si belang tidur-tiduran. Seperti menjaga kemungkinan adanya
gangguan binatang buas.
Pagi itu, Ronggur melanjutkan mencari kayu. Dia
menyuruk-nyuruk di bawah rerantingan, menyibak rerumputan
yang terkadang berduri dan melukai tubuhnya dengan garis-
garis kecil. Tapi sudah dapat menitikkan darah untuk
kemudian membeku
Agak jauh di tengah hutan, baru ditemui pohon yang dicari.
Besar batang pohon, tiga kali pelukannya. Panjang batang
pohon yang tegak lurus, sekira tiga depa. Diperiksanya batang
pohon itu baik-baik, hingga dia yakin bahwa pohon itu sudah
cukup tua. Dikulitinya batang pohon sekira sejengkal, lalu
tampak kayu yang sudah berminyak. Kemudian dipanjatnya.
Diperiksa, apakah tidak terlalu banyak mata kayunya. Tahulah
dia bahwa kayu itu cukup baik dijadikan perahu. Langsung
saja Ronggur mulai mendahaninya, agar waktu tumbang nanti
tidak menyangkut pada pepohonan lain yang bisa
menimbulkan cacat pada pohon itu. Tanah di sekitar pohon itu
dibersihkan.
Sesudah selesai menjemur daging hasil buruan semalam
dan menyuruh si belang menjaga, Tio langsung menebang
aren yang sudah tua. Batangnya dibelah. Umbi aren
diasingkan untuk ditumbuk, kemudian direndam dengan air,
lalu ditapis untuk diasingkan tepungnya Yang baik, dimakan
pengganti beras. Belahan pohon aren dijemur di bawah terik
matahari, di tanah yang tidak terlindung. Ijuknya cepat
berlepasan satu sama lain bila pohonnya sudah kering. Ijuk
yang berlepasan itu bisa dipintal menjadi tali yang cukup kuat.
Begitulah mereka saling mengerjakan tugas masing-
masing. Bila daging sudah mulai habis, kembali mereka
mengadakan pemburuan. Sedang persediaan beras
tampaknya tidak berkurang-kurang karena persediaan tepung
umbi aren.
Dari dedahanan kayu yang ditebang Ronggur, yang
panjang lagi kurus, dua tiga biji dipilihnya untuk dijadikan
galah. Katanya sekali waktu pada Tio, galah itu sangat
diperlukan dalam melayari sungai. Bila air sungai tidak berapa
dalam bisa digunakan membantu jalannya perahu, dengan
mencucukkan galah ke dasar sungai lalu menyorongkan. Atau,
mendorongkan perahu yang mau terhempas ke tepian berbatu
dengan menjolokkan galah ke pinggir sungai berbatu.
Dua biji lagi kayu yang tidak berapa besar ditebang
Ronggur. Batang pohon itu dipotong. Ujungnya dilancipkan
kemudian dipacakkan ke tanah. Bersilangan.
Persilangan itu diikat dengan rotan kuat-kuat. Dibuatnya
pula pacakan begitu dua lagi. Sedang batang pohon maranti
batu yang sudah tumbang itu, diukurnya. Tepat sepanjang
yang diperlukannya. Lebihnya dibuang. Dengan dibantu Tio,
Ronggur menaikkan batang pohon maranti batu itu ke atas
pacakan yang berupa galangan itu. Di sana batang pohon itu
dikulitinya, ditelanjangi.
Di atas pacakan itu Ronggur mulai membuat perahu. Di
atas pacakan, batang pohon itu bisa dibalik-balikkan. Ronggur
harus hati-hati memilih, bagian batang mana yang harus
dijadikan dasar perahu. Dari sebelah mana harus dimulai
penukilan membentuk semacam lobang di batang kayu itu.
Dia harus memilih dasar perahu yang terbuat dari bagian
batang yang tidak banyak mata kayunya. Mata kayu biasanya
mudah lepas dari kesatuan kayu dan bila sudah lepas, perahu
akan bocor.
Bentuk lobang yang dibuat Ronggur di batang kayu itu,
yang nanti menjadi tempat pemenumpang, pada bagian hulu
dan buritan tidak berapa dalam. Tapi, di bagian perut lebih
dalam dan luas. Setelah bentuk lobang itu agak nyata,
Ronggur beralih pula menukil bagian luar. Membentuk
semacam dinding yang baik, mengambil tuntutan dari bagian
dalam perahu. Dasarnya sengaja diperluas.
Bila dasar perahu dan dinding perahu bertambah terbentuk,
kapak tidak berapa dipergunakan Ronggur lagi.
Dikeluarkannya tuhil, alat yang yang terbuat dari batu yang
tajam muncungnya. Dengan tuhil Ronggur melanjutkan
membentuk lobang atau memperhalus bekas makanan
kampak. Tuhil itu ditancapkan lebih dulu, kemudian hulunya
diketok perlahan. Dia harus memperhatikan benar, berhati-
hati, agar dinding perahu tidak terlalu tipis lalu mudah pecah.
Begitu pula dasarnya. Tapi, tidak pula boleh terlalu tebal.
Agar perahu tidak berat atau agar daya apung perahu cukup
baik dan punya keseimbangan. Karena itu, tebal kedua sisi
dinding perahu, diusahakan agar sama. Pada bagian buritan
dan hulu perahu, dipahatnya semacam ukiran,
menggambarkan kepala harimau. Satu menghadap ke depan,
satu lagi menghadap ke belakang. Langsung bersatu dengan
tubuh perahu.
Buritan dan hulu perahu, dindingnya tebal dibuat di sana,
justru karena di buritan dan di hulu perahulah terletak tenaga
sesuatu perahu tersimpan. Bila buritan dan hulu perahu retak
atau pecah, sendirinya saja bagian perut perahu akan pecah.
Waktu saat memintal ijuk tiba, setelah pohon aren yang tua
habis ditumbangkan Tio di tempat itu, tahulah Tio, betapa
susahnya memintal ijuk pohon aren. Ijuk yang keras sering
menusuk kulit telapak tangan, sehingga bisa mengucurkan
darah. Kulit telapak tangan berlecetan di sana-sini. Kemudian
melahirkan kulit baru yang lebih tebal dan lebih tahan
menghadapi ijuk. Tapi, kasar.
Alat pemintal, ialah dua potong kayu sebesar pergelangan
tangan. Dibuat bersilang. Kayu bersilang itu diputarkan pada
tumpukan ijuk yang dicerai-beraikan. Dan, sudah kering
sehingga ijuk mengikut pada putaran kayu itu. Ijuk yang
mengikut itu, yang diusahakan sebesar yang dikehendaki dan
sudah cukup panjang diikatkan pada pepohonan yang ada di
sekitarnya. Lalu dimulainya memutar-mutarkan kayu bersilang
tadi ke tumpukan ijuk. Ijuk yang memanjang, yang sudah dua
jalur itu, disatukan. Dipilin tangan demikian rupa sehingga
berbentuk tali yang jalin-menjalin, hitam, dan kokoh. Tahan
air. T ahan panas matahari, asal saja jangan dibakar api.
Tio harus mencari pohon aren baru untuk ditebang. Dia
harus menyusur lebih ke hulu parit lagi. Pohon aren yang
setumpuk itu sudah pada tumbang. Dan, ijuknya sudah
dipintal menjadi tali. Tapi, Ronggur mengatakan tali yang
dipintalnya masih kurang banyak. Karena itu, dia harus
mencari pohon aren lagi. Menebang. Membelahnya.
Menjemur. Menyisihkan umbinya. Merendam ke air. Menapis
agar diperoleh tepungnya. Bila batang aren sudah kering,
melepaskan ijuknya dari batangnya. Mencerai-beraikan.
Kemudian memintalnya menjadi tali.
Tio menyuruki rimbunan kekayuan yang agak rendah,
mencari pohon aren. Dari jauh sudah terlihat daun aren yang
panjang itu. Ke sana dia menuju.
Setiba di bawah pohon aren itu, betapa gembira dia karena
dia menemui sarang babi hutan. Anak babi hutan lima ekor,
matanya masih sipit. Dielusnya perlahan tubuh anak babi yang
masih lembut. Yang masih punya bulu begitu halus dan
menggelikan telapak tangan.
Tiba-tiba dia sadar bahwa menemui sarang babi hutan
yang mempunyai anak yang masih kecil, juga mengandung
mara bahaya yang mengancam di samping kegembiraan.
Induk babi yang baru melahirkan dan masih menyusukan
tentu cukup galak dan tetap diiringi jantannya.
Waktu dia berpaling, didengarnya dengusan babi dari
semak yang ada di atasnya. Sadarlah dia, itu dengusan induk
babi. Dilihatnya keadaan sekitar, tidak menguntungkan. Tidak
ada batang kayu yang dekat yang bisa dipanjat untuk
menghindar bila babi itu menyerang. Sebelah kanannya, jalan
tikus yang sempit. Sebelah kedua sisinya, belukar. Dari
depannya, suara dengusan babi.
Tapi, masih ada semacam dinding tanah sebelum
menembus ke jalan tikus itu. Bila dia mundur ke sana dan
mengadakan pertahanan, yang harus dihadapinya hanyalah
satu arah saja, yaitu depannya. Padahal babi hanya bisa
menyerang dari satu arah. Dengusan napas babi tambah
mendekat.
Dibulatkannya tekad, dia harus menghadapi segala
kemungkinan. Dia harus menghadapi serangan babi itu. Jalan
menyingkir sudah tidak ada. Walau dia tahu seekor babi hutan
tidak akan terus jatuh ketika pukulan pertama mengenai
tubuh atau kepalanya. Babi itu akan menyeruduk maju ke
depan, menyerang sampai mangsanya terjepit. Muncungnya
yang panjang kemudian akan ditusukkan ke bagian tubuh
yang lunak. Dan, bila babi jantan itu sudah bertaring,
taringnya akan digunakan mencabik-cabik daging mangsanya.
Menggigil juga dia.
Sambil mundur perlahan, matanya tetap awas dan terus
diarahkan ke sumber dengusan. Tapi, pikirannya masih dapat
mengingat bahwa bila babi menyerang selalu membabi buta.
Langsung saja menyergap ke depan tanpa rem. Dalam saat
begitu, seseorang yang lincah dan tidak gugup, dengan
meloncat ke kiri atau ke kanan, bisa mengelak serangan. Bisa
mengelak serangan babi sambil menggunakan kesempatan itu
menghantamkan panggada atau kampak yang ada di tangan.
Tiba-tiba si belang menggonggong. Begitu nyaring
suaranya. Taringnya ditunjukkan, putih tajam dan kukuh.
Dalam hati, Tio mengharap Ronggur dapat mendengar dan
mengerti maksud gonggongan si belang. Dua ekor babi
sekaligus sudah berada di hadapannya, di tempat terbuka
yang sempit.
Seekor dari babi itu sudah bertaring, yang jantan. Mata
kedua babi itu merah menyala. Keduanya mengais-ngais
tanah, bergaya, mengambil ancang-ancang memulai
serangan. Tio terus mundur sampai mendekat ke satu sudut
tanah tinggi yang keras. Matanya terus awas, mengikuti sikap
dan gerak-gerik babi yang dua ekor itu. B ila babi menyeruduk
maju tanpa rem, di saat dia harus melompat ke kiri atau ke
kanan, dia harus terus cepat pula mengayunkan kampak yang
ada di tangannya, sambil harus terus awas menantikan
serangan babi yang seekor lagi.
Si belang masih terus menggonggong dengan nyaring dan
bersikap menanti. Karena itu, babi itu belum menyerang.
Gonggong si belang cepat berhenti karena babi jantan
menyerang si belang. Si belang melompat ke samping. Babi
jantan terdorong ke depan. Si belang cepat melompat ke
punggung babi itu. Si belang sudah berada di punggung babi.
Tapi, sebelum si belang memperoleh posisi yang baik, babi
itu masih sempat mempergunakan taringnya sehingga leher si
belang kena dan mengeluarkan darah. Tapi, si belang tidak
lagi melepaskan pundak babi jantan itu. T aringnya yang tajam
dan kukuh ditancapkan ke bagian punggung leher babi. Babi
itu menggelepar dan berlari dengan berputar untuk
menjatuhkan si belang dari pundaknya. Namun si belang tidak
melepaskan gigitannya lagi. Darah babi muncrat. Namun,
belum ada pertanda babi itu mau mengalah. Akhirnya, babi itu
berlari ke satu batang pohon yang besar, mendorongkan
pundaknya agar si belang terjepit. Dengan kaki belakangnya,
si belang menahan dorongan itu. Taringnya tambah dalam
ditancapkan ke daging babi.
Babi betina melihat babi jantan dalam keadaan payah mulai
mengambil ancang-ancang akan menyerang. Waktu itu,
secepat kilat tangan Tio mengayunkan kampak, berusaha
menghantamkan ke bagian punggung leher babi. Tapi, yang
kena bagian punggung belakang saja.
Babi itu cepat berpaling. Panggada yang ada di tangan Tio
diayunkan beruntun, menghantam kepala babi itu. Tapi, babi
itu terus maju mendorong, mendesak T io ke sisi tanah tinggi.
Terkadang didorong ke rimbunan lalang yang ada di sekitar.
Tio tetap berusaha menjaga arah mundur. Tapi, justru karena
serangan babi itu yang terkadang berubah arah, sekali waktu
dia tergelincir juga. Dia tersandar ke pohon aren yang berduri
tajam. Duri pohon aren menusuk punggungnya. Terasa sakit.
Cepat babi itu mundur ke belakang dan cepat pula
melompat ke depan bermaksud menjepit T io ke batang pohon
aren. Tapi, secepat itu pula Tio mengelak. Namun, betisnya
sempat disambar babi dengan muncungnya. Luka menggaris,
darah mengucur.
Tio memperbaiki posisi sambil menghantamkan panggada
ke sana ke mari, menghalangi jalan maju babi itu. Sekarang,
Tio sudah bersandar ke dinding tanah tinggi yang keras.
Kembali babi itu mengambil ancang-ancang mundur beberapa
langkah. Tio berhenti mengayunkan panggada. Seperti
melengah.
Dan, saat ini dipergunakan babi dengan menyeruduk cepat
ke depan. Saat genting. Dan, Tio cepat mengelak ke samping.
Kepala babi terhantam ke dinding tanah tinggi yang keras.
Kampak yang tadi tertancap di pundak babi menjadi lepas.
Cepat dipungut Tio, lalu menghantamkan kampak ke leher
babi yang belum sempat berpaling. Akhirnya babi itu tidak
berdaya sama sekali. Tergeletak di tanah dengan mata yang
masih memancarkan sinar kemarahan.
Kaki belakang si belang semakin lemah menahan dorongan
babi jantan. Pantatnya sudah mulai kena ke batang pohon. Tio
masih begitu payah. Napasnya satu-satu dan tubuhnya mandi
keringat. Betisnya terasa pedih mengucur darah. Hingga dia
untuk beberapa saat tinggal melihat saja. Napasnya tersengal.
Urat sarafnya begitu tergoncang.
Dan, secara perlahan diketahuinya, si belang sedang
berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan bersamaan
dengan mengendornya urat saraf itu. Bersikap mengayun
kampak, Tio maju perlahan. Tapi, waktu itulah sebuah tombak
yang sudah cukup dikenalnya tertancap ke perut babi.
Ronggur telah ada di sana dengan tubuh berkeringat.
Matanya menyala marah. Ototnya mengencang. Ujung tombak
satu lagi dipegang Ronggur kuat-kuat, hingga mata tombak
tambah dalam tertanam ke perut babi. Kemudian Ronggur
memerintahkan agar si belang melompat dari pundak babi.
Begitu si belang me lompat menjauh, secepat itu pundak babi
dihantam Ronggur dengan kampak. Babi itu akhirnya rubuh ke
tanah. Tergeletak di tanah dengan gelepar lemah.
Ronggur melihat Tio terduduk di tanah dengan napas
tersengal. Di dekat seekor babi betina yang terkapar. Si
belang masih menggonggong babi yang tidak berdaya itu
dengan moncong berlumur merah darah babi. Tapi, lehernya
luka kena taring babi.
Dengan senyum, Ronggur mendekati T io. Lalu tahulah dia,
betis Tio luka, punggungnya bergaris-garis bekas tusukan duri.
Tanpa diminta Ronggur, Tio terus saja menceritakan mula
perkelahian dengan babi itu.
"Kau telah mengadakan perlawanan yang cukup berani dan
berarti. Di saat kita kehabisan daging, di situ pula kau
merubuhkan babi yang dagingnya enak. Tapi, lukamu perlu
cepat diobati. Begitu juga luka s i belang," ucap Ronggur.
Tio masih tetap terduduk. Masih merasa capek. Dan,
merasa malu dia dilihat Ronggur dalam kepayahan.
Ronggur mengangkat dagunya perlahan. Mata mereka
bertemu. Ronggur kembali menghadiahkan senyum. Hanya
begitu.
Cepat Ronggur menjauh. Mencari dedaunan untuk ramuan
mengobati luka Tio dan si belang. Ramuan dedaunan itu
dilekatkannya ke luka Tio dan si belang. Seketika terasa mulut
luka itu perih hingga T io harus menjerit kecil, sedang si belang
melengking perlahan. Ronggur mengelus punggung si belang
agar tabah, sedang pada Tio dihadiahkan senyum manis.
"Tidak berapa lama akan tidak terasa apa-apa. Lukamu
akan cepat sembuh. Ramuan itu membunuh bisa. Lagi pula
lukamu tidak berapa dalam, juga luka si belang."
Cepat Ronggur menghidupkan api. Kedua ekor babi itu
dibakar sampai kulitnya hangus. Kemudian isi perut babi itu
dibuang. Baru kemudian daging babi itu dipotong kecil-kecil.
Dijemur di panas matahari supaya kering dan tahan disimpan.
Sedang anak babi yang lima ekor itu akan mereka bawa
pulang ke kampung, dipelihara menjadi babi peliharaan yang
jinak. Tio menjalin rotan, membuat sarang babi yang sekaligus
menjadi kurungan bagi anak babi itu.
Malam harinya, mereka lanjutkan memanggang daging babi
itu dalam gua. Sepotong paha diberikan kepada si belang
sebagai hadiah, la asik menyabik-nyabiknya di mulut lobang
perlindungan.
Perahu yang dikerjakan Ronggur tambah berbentuk dan
mulai mengarah ke tarap penyelesa ian. Tali yang dipintal Tio
sudah beberapa depa dan sudah ada lima gulungan besar
yang selesai. Kulit binatang buruan sudah pada mengering.
Hendak mereka bawa pulang. Begitu pula anak babi yang lima
ekor itu sudah punya bulu yang agak kasar, matanya sudah
terbuka, dan jinak. Bila Tio berma in dengan anak babi itu,
tidak diingatnya lagi betapa perasaannya waktu menghadapi
kedua ekor induk binatang itu.
Sedang luka di betisnya sudah sembuh, hanya tinggal
bekas kecil saja. Begitu pula luka di leher si belang, tinggal
segaris saja, tapi tidak, ditumbuhi bulu lagi.
Ronggur sudah selesai menghaluskan bekas tuhilannya.
Pada penglihatan mata, kedua sisi dinding perahu, begitu pula
perbandingan berat hulu perahu dan buritan perahu, sudah
sama. Perahu yang cukup besar yang bisa memuat tujuh
orang penumpang bersama peralatan. Dengan tali yang
dipintal Tio, Ronggur mengikat perahu itu pada hulunya.
Batang pohon maranti batu yang dulu begitu berat, sekarang
sudah ringan. Ronggur dan Tio menurunkan perahu itu dari
galangan.
Kemudian mereka menarik tali itu dan terseretlah perahu.
Di dalam perahu, semua peralatan bersama kelima anak babi
dimuat. Karena jalanan menurun dan dedaunan membusuk di
lapisan tanah, mereka tidak menakutkan dasar perahu bolong
dibuat batu. Tanah begitu lembut dan berair. Si belang
mengikut dan menggonggong. Mereka langsung menuju
tepian danau yang ada di mulut teluk, jadi, mereka tidak
pulang melalui jalan darat.
Setiba di tepi danau, Ronggur dan Tio mengosongkan
perahu. Mereka harus menguji keseimbangan perahu dulu
dengan mengapungkan di permukaan danau. Dan, tahulah
dia, apa yang bagi penglihatan mata sudah punya
keseimbangan yang sama, setelah diuji masih mempunyai
perbedaan. Haluan perahu terlalu berat. Walaupun Ronggur
sudah duduk di buritan perahu, haluan itu masih bergaya mau
tenggelam. Perahu yang begitu rupa, tidak baik dibawa
berlayar.
Ronggur menipiskan bahagian haluan lagi. Membuang
bagian yang tidak berguna. Setelah itu selesai, perahu kembali
diapungkan. Tahu pulalah dia bahwa bagian sisi kanan
perahu, lebih berat dari sisi kiri, sehingga perahu selalu oleng
ke kanan. Kembali perahu didaratkan. Sisi kanan perahu harus
lebih direndahkan dan ditipiskan pada bahagiannya yang
masih tebal. Sampai tercapai keseimbangan. Jadi, mereka
harus bermalam lagi untuk beberapa malam di tepi danau,
sebelum perahu rampung benar. Juga mata kayu yang ada di
dasar perahu yang tidak dapat dielakkan sejak mula, ternyata
dapat ditembus air. Ronggur lalu merekatnya dengan getah
pohon damar.
Bila keseimbangan perahu telah diperoleh, kembali segala
peralatan dimuat ke dalam perahu, bersama kelima ekor anak
babi itu, juga si belang. Mereka menuju pulang.
Mereka berkayuh dan berkayuh. Karena dasar perahu agak
luas terasa pendayungan agak berat. Tapi, tidak dihiraukan.
Senja hari. Tari warna berma in di riak danau. Ronggur
mencampakkan pandang jauh, ke teluk di mana bermula
Sungai T itian Dewata sudah ada. Tapi, bagi T io sendiri setelah
mengayuh perahu di permukaan danau, kembali dia teringat
bahwa saat berpisah dengan Ronggur sudah semakin dekat.
Apakah Ronggur akan kembali lagi? Wa lau dia tahu bahwa
sesuatu ancaman sedang menanti Ronggur, namun dia masih
mengharapkan, hendaknya Ronggur dapat kembali dengan
selamat.
Bila lekuk teluk telah dilewati, mereka telah berada di
danau bebas, malam sudah melingkup segala. Ronggur
menyuruh Tio agar duduk di haluan perahu, memperhatikan
jalan, apakah ada perahu lain yang bersilangan dengan
mereka. Sepanjang malam mereka terus berkayuh di
permukaan danau yang tenang dan tidur. B intang gemerlapan
di langit. Bulan mencurah cahaya. Permukaan danau kembali
memantulkannya ke langit. Suasana yang romantis.
Tapi, antara mereka berdua, kebisuan yang meraja. Tio
lebih banyak diam dan tenggelam ke dasar perasaannya:
bagaimana kelak kalau Ronggur sudah berangkat? Apakah
orang masih memperlakukannya dengan baik? Sedang
Ronggur diamuk satu kepercayaan bahwa dia akan
menaklukkan Sungai Titian Dewata bahwa dia yakin, Sungai
Titian Dewata akan membawanya ke tanah landai lagi subur.
Tanah yang diimpikan setiap orang.
Bertambah larut malam, secara berangsur, perlahan, bulan
semakin mengundurkan diri. Maka sekitar diselubungi
kegelapan. Tapi, kemudian di ufuk timur, menggaris cahaya
putih. Subuh baru telah lahir bersamanya lahir hari baru
dengan harapan baru. Sinar matahari telah meng-kuakkan
tabir kegelapan, maka terhamparlah depan mereka
persawahan yang bermula dari tepian danau, berakhir pada
kaki pegunungan batu.
"Tio, padi telah menguning di sawah. Kita tidak punya
waktu mengasuh lagi. Harus terus turun ke sawah memotong
padi," kata Ronggur.
"Ya, aku tahu."
"Dan, sehabis memotong padi, saatku berangkat tiba.
Mardege, ada baiknya diserahkan saja pada orang lain. Aku
tidak bisa lagi berlama-lama mengundurkan saat
keberangkatanku."
Tio hanya menundukkan kepala.
Perahu terus dikayuh. Menari bersama riak danau. Bila
gelombang membesar, Ronggur tinggal tersenyum karena
gelombang danau tidak dapat mengolengkan perahunya. Dan,
serpihan air yang dilemparkan ombak tidak dapat memasuki
perahu.
Belum siang benar, mereka telah tiba ke tepian danau
perkampungan. Orang mencampak pandang pada mereka.
Para penangkap ikan me lihat mereka. Ronggur belum dapat
mengartikan, kenapa mereka pada membisu, tidak gembira
menyambut kedatangannya bersama perahu yang dibuatnya
sendiri. Kalau tidak ditegor lebih dulu, itupun
ccdw-kzaa

4
Hari itu juga, sebelum Ronggur sempat mengasuh, utusan
kerajaan datang, menyuruh Ronggur menghadap ke Sopo
Bolon. Ibunya melepaskan dengan tatapan pilu, begitu pula
Tio. Ronggur melangkah dengan dada diangkat. Orang sudah
banyak memanen padi di sawah. Dia lalu di sana. Menyapa di
sana-sini, dan memperoleh jawaban sekedarnya saja. Tidak
seorang pun menanya tentang perahunya dan kapan dia
berangkat. Tampaknya setiap orang enggan bersapaan
dengan Ronggur.
Tapi, semua itu tidak berapa diacuhkan Ronggur, atau
memang dia belum tahu sebabnya.
Selagi Ronggur dan Tio membuat perahu di hutan, orang
sudah saling berbisik membicarakan maksud Ronggur hendak
melayari Sungai Titian Dewata mencapai muara. Pada
umumnya orang tak dapat menyetujui maksud itu. Tapi,
sebagian besar, terutama rakyat yang langsung berada di
bawah lindungannya sebagai Raja Ni Huta, tidak ada yang
berani terang-terangan mengeluarkan pendapat. Sebagian
lagi, ada yang mengejek, walaupun tidak secara terang-
terangan, masih sembunyi.
Satu sama lain saling mengeluarkan pendapat bahwa
Sungai Titian Dewata, menuju matahari terbit. Tempat para
dewata dan arwah menghadap Mula jadi Na Bolon. Bila
seseorang berani melewati batas yang sudah ditentukan
sampai di mana boleh seseorang berlayar, itu berarti sudah
melanggar ketentuan dewata. Dewata akan murka dan
menghancurkan orang yang berani melanggar peraturannya.
Matahari, tempat Mula jadi Na Bolon mengedari dunia setiap
saat, untuk melihat manusia yang mengerjakan hal yang baik,
begitu pula dari matahari Mula jadi Na Bolon, melihat orang
jahat membuat kejahatan untuk diganjar kelak di hidup lain.
Dan, karena maksud perjalanan itu menantang
kepercayaan rakyat yang sudah tertanam turun-temurun,
sebagian merasa kasihan melihat Ronggur, tapi sebagian lagi
merasa terhina. Karena ada seorang manusia yang hendak
meruntuhkan atau sama sekali tidak mengindahkan
kepercayaan yang mereka anut. Kasihan dan ejek.
Di Sopo Bolon, Ronggur telah dinantikan kerajaan yang
lengkap. Segala Raja Ni Huta dari tiap kampung yang didiami
marga mereka telah ada di sana. Dia terus tahu, sidang
kerajaan akan diadakan hari itu. Raja Panggonggom sudah
duduk di tempat dengan wajah murung, pertanda warta yang
kurang baik. Di kiri kanan Raja panggonggom, duduk berjajar
Raja Partahi, Raja Namora, Raja Nabegu. Di belakang mereka,
duduk para Raja Ni Huta. Hanya Raja Ni Huta dari induk
kampung marga yang duduk sejajar dengan Raja
Panggonggom. Pada tempat tertentu, hadir pula Datu Bolon
Gelar Guru Marlasak. Diapit oleh para tua kampung, yang
selalu dipanggil menghadiri sidang kerajaan, bila yang hendak
dibahas hal penting.
Ronggur duduk di barisan Raja Ni Huta. Orang pada diam
sewaktu Ronggur memasuki ruang Sopo Bolon. Semua mata
diarahkan padanya. Mulut tidak mengucapkan sepatah kata.
Memperoleh lalapan dari tiap mata itu, membuat Ronggur
agak kaku juga sikapnya. Tapi, sewaktu matanya tertumpu
pada orang tua yang duduk di sudut yang agak remang itu,
yaitu bekas Datu Gelar Guru Marsait Lipan, perasaan kaku itu
berangsur menghilang dari tubuhnya. Orang tua itu
menyambutnya dengan senyum yang dibalasnya selintasan.
Untuk pertama kalinya orang tua itu menghadiri sidang
kerajaan dengan terang-terangan. Dari suasana dalam Sopo
Bolon, tahulah Ronggur bahwa sidang akan membahas
sesuatu hal yang sangat penting tampaknya.
Ruangan tetap hening. Sewaktu Ronggur mengalih
pandang tahulah dia bahwa Raja Panggonggom terus menerus
menancapkan pandang ke arahnya. Memperhatikan gerak-
geriknya. Lalu Raja Panggonggom mengangkat tangan yang
sebelah kanan, menjemput tongkat panaluan dari tempatnya.
Tongkat itu digenggam, dito-pangkan agar berdiri tegak lurus.
Pertanda pertemuan dimulai.
"Semua kerajaan, pagar kesatuan marga, orang tua yang
bijaksana, yang bertanggung jawab akan kelanjutan hidup
marga dan keturunan kita kelak, kami undang hari ini
menghadiri pertemuan kerajaan di Sopo Bolon ini. Karena, ada
sesuatu hal yang sangat penting kita bicarakan dan bahas
bersama."
Hadirin pada diam semua. Menyimak yang diucapkan Raja
Panggonggom. Terutama Ronggur.
"Hal itu," lanjut Raja Panggonggom, "tampaknya
mengancam, dan bermaksud merubuhkan sesuatu yang kita
percayai. Yang bisa menimbulkan kegaduhan yang tidak kecil
di kalangan rakyat. Malah menurut sebagian orang, akan
mendatangkan mara bahaya pada seluruh rakyat dan
kerajaan."
Melalui ucapan Raja Panggonggom sebagai kata
pembukaan rapat, tahulah Ronggur bahwa hal yang akan
dibicarakan bersangkut-paut dengan maksud perjalanannya
menembus Sungai Titian Dewata. Karena itu, hatinya tambah
gedebak-gedebuk, menantikan putusan rapat. Atau, jalannya
pertemuan itu. Apakah ada orang yang bisa diharapkannya
untuk membela maksud perjalanannya itu, lalu
menyokongnya? Apakah mereka semua akan menjadi musuh,
yang menantang maksud perjalanan itu?
"Karena hal ini sangat menentukan," lanjut Raja
Panggonggom, "kami berpendapat harus melalui musyawarah
lengkap yang boleh mengambil putusan tertentu terhadapnya,
sehingga putusan itu nanti menjadi pendapat kita yang
mutlak, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Camkanlah baik-
baik pentingnya maksud pertemuan ini."
Raja Panggonggom berhenti sebentar. Dia menarik napas.
Setelah mencampakkan pandang pada Ronggur, dia
melanjutkan:
"Ronggur, kami dengar kabar kau sudah menyelesaikan
perahu yang akan kau pergunakan menyusuri Sungai Titian
Dewata untuk mencapai muara. Karena kau bermaksud akan
mencapai tanah habungkasan. Apakah berita itu benar?"
"Benar, Paduka Raja," sahut Ronggur.
"Nah, sidang yang terhormat, yang disampaikan orang itu
ternyata benar. Ronggur sudah mengakui terus terang
sehingga jalan rapat tidak terlalu repot dan berbelit. Untuk itu,
kita harus mengucapkan terimakasih padanya. Ronggur, coba
ceritakan pada kami, kenapa kau begitu bernafsu hendak
mencari Sungai T itian Dewata?"
Ronggur disuruh berdiri. Dan, setelah mencampakkan
pandang ke sekitar, dia lalu membeberkan hal yang kan
dialam i marga mereka kelak bila tanah habungkasan tidak
ditemui. Karena itu, dia berpendapat, tanah habungkasan itu
harus dicari. Dia yakin, katanya selanjutnya, seseorang yang
berani melayari Sungai T itian Dewata sampai ke muara berarti
akan sampai ke tanah landai yang subur. Tanah yang
dimimpikan tiap orang. Karena itu, dia mengharap agar
kerajaan memberi izin padanya untuk menyusuri sungai itu
sampai ke muara dan membolehkan beberapa orang menjadi
kawannya. Sungai T itian Dewata tidak berakhir di ujung dunia,
katanya tegas.
Seketika Ronggur berhenti. Rapat hening. Hanya wajah
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak yang menjadi merah padam
mendengar semua omongannya. Dari s ikapnya tampak bahwa
dia sama sekali tidak mengingini mendengarkan ucapan
Ronggur.
Ronggur melanjutkan, "Aku telah memilih kayu yang paling
baik jenisnya. Daya apung perahu sangat baik. Dasarnya lebih
lebar dari perahu biasa. Tidak mudah oleng waktu melalui
arus riam sungai. Percikan air tidak mudah masuk ke perahu
karena dinding perahu kubuat agak tinggi."
"Sudah siap semua yang ingin kau ucapkan?" tanya Raja
Panggonggom.
"Sudah, Paduka Raja!" jawab Ronggur lalu kembali duduk
bersila di lantai.
"Ronggur, tahukah kau bahwa perjalananmu itu sangat
berbahaya?"
"Benar Paduka Raja!" sahut Ronggur. "Perjalanan ini
menghadapi risiko yang tidak kecil. Tapi, seseorang yang
berusaha mencapai sesuatu kebajikan akan selalu menghadapi
risiko. Tak ubah seperti mengerjakan sawah. Pada mulanya
kita harus berani membuang tenaga dan waktu untuk
mencangkul tanah. Lama sesudah itu baru tanah memberi
hasil pada kita."
Dalam hati kecilnya Raja Panggonggom menghormati sikap
terus terang dan keberanian yang dimiliki Ronggur. Tapi,
karena maksud perjalanan itu sendirinya pula membelakangi
kepercayaan rakyat dan kepercayaan sendiri, maka soalnya
menjadi lain.
"Ronggur, maksudku tidak di situ saja. Tidakkah kau tahu
bahwa Sungai Titian Dewata itu sungai yang jatuh ke ujung
dunia? Sungai Titian Dewata jalan para dewata dan arwah
menghadap Mula Jadi Na Bolon."
"Paduka Raja, memang padaku diajarkan kepercayaan
begitu rupa. Tapi, karena maksud perjalanan ini tidaklah untuk
kesenangan perseorangan saja, tapi bertujuan untuk
kepentingan bersama, izinkanlah aku untuk memikul segala
risiko itu bila yang kurasakan dan kupikirkan itu salah!"
"Bagaimana pendapatmu tentang Sungai T itian Dewata?"
"Paduka Raja, aku selalu digoda mimpi. Mimpi itu selalu
mengajak aku agar memulai satu perjalanan, yaitu menyusuri
Sungai Titian Dewata. Mimpi itu mewartakan bahwa bila aku
melayarinya, aku akan tiba ke tanah landai di muara sungai.
Tanah landai itu begitu luas. Bisa menampung kebutuhan kita
dan keturunan kita kelak akan persawahan. Turun temurun.
Selanjutnya mimpi itu selalu mengatakan padaku, bila aku
tidak memulai perjalanan itu, aku seorang manusia yang telah
menyia-nyiakan satu kesempatan. Aku orang yang tidak dapat
dikatakan seorang lelaki."
"Apakah kau tidak mungkin digoda setan?" potong Raja
Panggonggom.
"Paduka Raja, bila warta mimpi itu tidak dapat kutunjukkan
dalam kenyataan, berartilah aku digoda setan. Tapi, berilah
kesempatan padaku untuk membuktikannya atau aku sendiri
akan musnah. Aku telah rela menerima dan memikul segala
risiko itu."
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak cepat berdiri. Dadanya
naik turun dengan cepat. Wajahnya memancarkan sinar
kemarahan. Mulutnya cepat-cepat mengeluarkan kata:
"Ronggur! Menurut kepercayaan kami, menurut hukum yang
diwariskan kepada kami, kau pasti akan mendapat bencana.
Jadi, sebelum bencana itu menimpa dirimu, ada baiknya kau
mengurungkan niat itu. T api, kau juga harus tahu karena yang
kau tantang itu hukum dewata. Kemarahan dewata tidak saja
menimpa dirimu, tapi semua marga akan dikutuknya.
Kerukunan keluarga akan hancur. Padi di sawah akan tidak
menjadi. Kalau cuma kau yang dikutuk dewata tidaklah
menjadi soal besar. Tapi, ini menyangkut seluruh marga kita.
Kerajaan kita akan berakhir pada suatu yang menyedihkan,
justru karena keinginanmu untuk mengharungi Sungai Titian
Dewata. Tidakkah dapat kau rasakan ancaman mara bahaya
yang akan timbul dan menimpa warga marga itu?"
"Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, yang kuhormati
kebenaran tenungnya. Yang kuhormati arwah halus penjaga
diri dan yang dapat dipanggilnya untuk membisikkan sesuatu
pendengarannya. Aku selalu memperhitungkan dan tetap
merasakan, bencana yang mungkin meruntuhh-an
kelangsungan hidup marga. Justru karena memperhitungkan
hal itulah aku mengambil kesimpulan, tanah habungkasan
perlu dicari. Diusahakan menemukan. Aku percaya bahwa
Datu Bolon pun memikirkan hal itu. Soalnya bila Datu Bolon
meninjau dari sudut gaib, aku melihat dari kenyataan sesuatu
perhitungan yang hasilnya pasti tiba."
"Kalau begitu, tidak ada lagi sesuatu hal yang bisa
mengurungkan niatmu," kata Datu Bolon menyindir.
"Begitulah rasanya," jawab Ronggur dengan tabah dan
tenang. "Seperti tidak ada sesuatu kekuatan yang dapat
menghentikan orang mengisi perutnya," sindirnya pula dengan
halus dan tenang.
"Ronggur," tiba-tiba suara Raja Nagebu meninggi, dengan
hentakan kasar mengatakan, "Apa yang menggoda hatimu?
Apakah kau dengan perjalananmu yang akan menimbulkan
bencana dan yang telah menimbulkan huru-hara terpendam di
kalangan rakyat dan para hulubalang, yang menanti saat
meledak sehingga ketenteraman hidup terganggu dan kucar-
kacir, masih kau katakan untuk memperjuangkan kelanjutan
hidup marga dan keturunan? Atau, kau memang sengaja
mencari nama, menunjukkan bahwa kau lebih berani dari
setiap hulubalang kita, sehingga patentengan menantang
hukum dewata? Ronggur menantang hukum dewata bukanlah
keberanian, tapi ketololan."
Seketika dia diam. Wajahnya bertambah merah. Lalu
melanjutkan, "Ronggur, bidang sawah yang diserahkan atau
dipercayakan kerajaan padamu cukup luas lagi subur. Biar kau
mengambil seorang istri atau lebih, kemudian istrimu itu
melahirkan anak banyak, kau belum perlu menguatirkan
makanan untuk mereka. Hasil sawahmu memberi jaminan.
Jelaslah sebenarmya kau mengimpikan sesuatu yang maha
mulia dialamatkan pada dirimu."
"Paduka Raja Nagebu, pemegang tampuk dan penggerak
para hulubalang perkasa. Maksudku jauh dari dugaan tuanku.
Kalaulah yang kuimpikan bisa nyata dalam kenyataan tidak
bermaksud aku disebut penemunya. Sekali-kali tidak. Juga aku
tahu, bila untukku sendiri dan jaluran keturunanku langsung,
sawah yang dikuasakan padaku memang cukup memberi
nafkah. Belum perlu menguatirkannya. T api, pokok persoalan
sekarang di sini bukanlah aku, tapi kita semua. Marga kita.
Tahukah paduka raja bahwa banyak dari marga ya'ng hanya
punya tanah beberapa bidang dan hanya dapat menghasilkan
padi yang cukup untuk makanan sekedarnya saja? Dan
mereka terus saja melahirkan anak, anak yang perlu kita beri
makan. Dan tahulah paduka raja bahwa permintaan bantuan
dari lumbung desa setiap tahunnya bertambah banyak juga?
Sehingga kita tidak bisa lagi mengadakan pesta pujaan
terhadap Mula Jadi Na Bolon dengan besar-besaran? Inilah
semua yang jadi persoalan. Jadi, bukan diriku dan bukan pula
hanya diri tuanku saja."
Keadaan menjadi sunyi. Dalam saat itu, Raja Panggonggom
mengadakan sidang kecil dengan para Raja Partahi, Raja
Nagebu, Raja Namora, dan Raja Ni Huta dari induk kampung.
Kemudian mereka panggil pula Datu Bolon Gelar Guru
Marlasak. Mereka berbicara perlahan, tapi dari tiap wajah
memancar kesungguhan. Jelas tampak mereka sedang
mengambil ketentuan dan keputusan rapat, yang akan
diumumkan pada seluruh marga, sebagai undang-undang
kerajaan yang tidak boleh dibantah.
Tiba-tiba saja Panggonggom menyuruh bekas Datu Bolon
Gelar Guru Marsait Lipan, berbicara pada hadirin,
menceritakan kegagalannya dulu mengharungi Sungai Titian
Dewata.
"Bapak bekas Datu Bolon, yang pernah meminta izin pada
almarhum ayah kami, yang mewariskan kedudukan Raja
Panggonggom pada kami, untuk mengharungi Sungai Titian
Dewata. Menurut pustaka kerajaan, almarhum ayah kami
memberi izin pada bapak untuk mengharungi sungai tersebut.
Bagaimanakah hasilnya?"
Orang tua itu berbicara perlahan, "Memang benar Paduka
Raja bahwa aku pernah meminta agar diberi izin mengharungi
Sungai Titian Dewata. Tapi, yang kutemui berbeda dengan
hasil tenungku. Kami mengalami kegagalan."
"Selanjutnya, bagaimana?" tanya Raja Panggonggom.
"Ayah Ronggur memperoleh cedera dalam perjalanan itu.
Dia temanku. Dia tidak pernah lagi pulang."
"Sesudah itu?"
"Aku sendiri pulang ke mari. Karena almarhum ayah paduka
raja, sabahat karibku, tetap juga menerimaku kembali. Tapi,
tidak lama kemudian kami mengadakan pemburuan. Di s itulah
mendapat kenahasan. Almarhum ayah paduka raja diserang
seekor harimau dengan tiba-tiba, sehingga beliau memperoleh
luka yang mengakibatkan kewafatannya. Dalam igaunya selalu
mengatakan, "Pembalasan dewata telah datang. Pembalasan
dewata telah datang!"
"Apakah tidak mungkin, apa yang dimaksudkannya itu
karena mengizinkan bapak mengharungi Sungai T itian Dewata
dan menerima bapak pulang kembali?"
"Tidak dapat kupastikan. Tapi, boleh juga begitu
maksudnya."
"Hadirin semua, terutama kau Ronggur, telah
mendengarkan satu pengakuan dari seseorang yang pernah
mengharungi Sungai Titian Dewata, yang menimbulkan
kemarahan para dewata. Apakah setelah mendengar
pengakuan ini kau masih bermaksud meneruskan niatmu?
Berilah jawaban, Ronggur!"
Ronggur terdiam beberapa saat. Dia dihadapkan sudah
pada saat yang menentukan. Bintikan keringat melebihi
keningnya. Akhirnya dia mengatakan:
"Paduka yang bijaksana, apakah karena satu kegagalan,
sesuatu maksud baik harus dibatalkan? Apakah tidak hanya
satu kebetulan saja hal nahas itu mendatang?"
"Kutanya padamu, Ronggur, apakah kau masih bermaksud
meneruskan niatmu atau mengurungkan setelah mendengar
pengakuan bekas Datu Bolon yang sudah disisihkan orang dari
kehidupan ramai? Lain tidak! Dia membawa kenahasan bagi
kerajaan."
Ronggur terdiam. Belum memberi sesuatu pilihan yang
menentukan. Golongan raja kembali mengadakan sidang kilat.
Lalu sebelum Ronggur memberi keputusan, Raja
Panggonggom mengatakan:
"Kita telah sama mendengarkan cerita bahwa Ronggur
hendak mengharungi Sungai Titian Dewata untuk mencari
tanah habungkasan. Maksud yang baik. Tapi, Ronggur telah
melupakan riwayat nenek moyang dan berusaha merombak
kepercayaan yang kita anut atau menurut kata Datu Bolon
Gelar Guru Marlasak, telah menghina kepercayaan yang kita
anut." Hening sejenak.
"Saran yang dapat kami ajukan pada Ronggur, dan menjadi
undang-undang bagi kita semua, ialah bila Ronggur
meneruskan niat itu, tidak seorang pun dari warga yang
dibolehkan mengikuti dan membantu perjalanannya. Bila dia
mulai me langkah dari gerbang kampung memulai perjalanan,
maka dia tidak berhak lagi mencantumkan marga kita di
belakang namanya. Begitu pula gelar Raja Ni Huta Muda, gelar
Hulubalang Muda dicabut kembali!"
"Dia tidak boleh memakai nama kerajaan kita untuk
melindungi diri dari kutukan dewata, dari gangguan setan, dan
dari gangguan perampok di tengah jalan. Kalau ada orang
yang membunuhnya dalam perjalanan, marga kita tidak akan
menganggap serangan itu serangan yang langsung pada
marga kita. Ronggur sendiri yang harus memikul risikonya.
Sawah yang telah dipercayakan padanya disita kerajaan.
Ibunya yang sudah tua akan dibelanjai langsung oleh lumbung
desa. Dirangsum ala kadarnya!"
"Syarat ini kami ajukan justru karena kami berpegang pada
satu kepercayaan: siapa saja yang mengikuti perjalanan
Ronggur, siapa saja yang membantunya mengharungi Sungai
Titian Dewata, jalan para dewata dan para arwah menuju
matahari terbit tempat Mula Jadi Na Bolon bersemayam, akan
turut dikutuk oleh dewata. Biarlah kami dan marga kita
disebut pengecut, namun melawan dewata kita tidak mau.
"Jadi kami umumkan pada semua Raja Ni Huta, agar tidak
membolehkan rakyat yang ada dikampungnya membantu dan
mengikuti perjalanan Ronggur. Kalau kau Ronggur tidak dapat
menerima syarat ini, hendaknya urungkan dan batalkan
niatmu sebelum terlambat. Bila kau mengalami kegagalan
kemudian kau pulang ke kampung ini, kau akan tidak
dianggap anggota marga lagi. Kau akan ditangkap dan
dijadikan budak belian. Kami tidak mau mengulangi kenahasan
yang pernah menimpa almarhum ayah kami, untuk menimpa
diri kami sendiri. Pikirkan baik-baik Ronggur. Dan, berilah
jawaban di tempat ini juga."
Keadaan menjadi hening. Pada kening Ronggur menitik
keringat. Bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan
menundukkan kepala. Tidak sanggup mengangkat kepala. Di
wajah Datu Bolon Gelar Guru Marlasak dan Raja Nagebu
membayang kepuasan. Para Raja Ni Huta lain dengan takjim
menerima undang-undang Raja Panggonggom. Pada wajah
dan sikapnya tergambar bahwa mereka akan
melaksanakannya sebaik mungkin.
Sejak tadi di luar Sopo Bolon, hujan turun menderu.
Bersabung dengan petir dan kilat.
"Ronggur, katakanlah pilihanmu, biar kami tahu mengambil
sikap," kata Raja Panggonggom memecah kesepian.
Ronggur masih tertunduk juga. Belum berdiri untuk
menyatakan pilihan.
"Ronggur, kau tidak dapat memberikan keputusan? Kau
merasa takut dan bimbang? Karena itu kami sarankan,
janganlah sekali-kali mencoba untuk menentang kepercayaan
yang kita anut bersama, janganlah menghina diri sendiri," kata
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Nada suaranya mengejek.
Membakar dada Ronggur. Dengan wajah merah serta sinar
mata yang manyala, akhirnya Ronggur berdiri dengan
menghentak: "Semua pertaruhan yang dibebankan ke
pundakku aku terima. Aku, ibuku, tidak berhak lagi memanen
padi dari sawahku yang sedang menguning. Karena itu,
secepat mungkin aku akan berangkat. Dengan satu janji, bila
aku menemui tanah habungkasan yang landai lagi subur, hasil
penemuan itu akan tetap kuhadiahkan bagi margaku, bagi
kalian semua."
Suaranya mengguntur mengalahkan suara petir yang
bersabung di luar Sopo Bolon. Orang semua mengangkat
kepala dibuatnya. Dan, sehabis mengucapkan pilihan itu,
Ronggur terus meninggalkan ruang Sopo Bolon. Perasaannya
terbakar, dadanya panas, walau udara begitu dingin. Dia
menerjang ke tengah hujan, angin, dan halilintar yang
bersabung dengan petir.
Terus melangkah melewati sawah yang pematangnya
menjadi licin, mencapai kampung di mana dia sebelum itu
memegang tampuk Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang Muda.
Tapi, dia tidak memperdulikan keadaan alam itu, dia terus
melangkah cepat di atas pematang yang licin. Tidak mau
berteduh ke dangau yang ada di tengah sawah. Orang yang
berhenti memotong padi dan berteduh di dangau melihatnya
begitu saja.
Gonggong si belang menyambut di tangga rumah. Pintu
rumah cepat dibuka Tio. Dilihatnya Ronggur basah kuyup.
Ibunya cepat mengangkat wajah, menatap padanya. Otot
Ronggur mengeras, wajahnya memerah. Pertanda berita yang
kurang baik.
Sebelum ditanya Ronggur dengan suara lantang karena
masih marah, menceritakan semua keputusan rapat dan
pilihannya sendiri. Ibunya jadi kaku tegang, seperti patung
tanpa nyawa. Tangan, kaki, tubuh Ronggur masih menggetar
tidak karena merasa dingin, tapi karena marah.
Tapi, sewaktu matanya tertumpu ke biji mata ibunya yang
berseri, yang mulai digenangi air bening tipis, dia sadar bahwa
orang tua itu telah dihadapkannya pada satu kenyataan, yaitu
kepahitan dan kegetiran hidup di saat hari tuanya. Yang
sepantasnya tidak wajar lagi hidupnya disusahi. Cepat
Ronggur mendekat, lalu menyembah sujud di kaki perempuan
tua itu. Di antara isaknya sendiri dia mengatakan:
"Maafkanlah aku, Bu. Maafkan anakmu ini. Aku telah
mempersusah hidupmu. Katakanlah Bu, aku tidak boleh pergi.
Aku harus menggagalkan niat perjalananku itu. Aku akan
menuruti ibu. Aku akan minta maaf pada kerajaan atas
kelancanganku. Katakanlah, apa yang harus kuperbuatl"
Perasaan marahnya telah mencair, menghadapi wajah dan
mata ibunya yang bersedih. Segala tekad menjadi kendur,
demi hasrat diri yang tidak mau melihat ibu kandung yang
sudah tua mengalami kesusahan. Tidak cepat ibunya
menyahut. Tangan ibunya yang sudah mengkerut, membelai
kepalanya yang masih basah. Mengusap perlahan sambil lalu
mengeringkannya. Kemudian mengatakan perlahan-lahan:
"Ronggur, kau tidak boleh mengurungkan niatmu lagi. Kau
tidak boleh membatalkan yang telah kau pilih. Kau telah
mengatakan dalam pertemuan raja dengan berani. Kau harus
meneruskannya, walau apa yang akan terjadi."
Seketika ibu tua berhenti, tapi disambung pula, suaranya
sudah tambah jelas dan tabah:
"Seperti terbangnya burung ambaroba, mengitari tebing
curam, mengikuti lingkaran pegunungan, mencari mata air
yang bening, tanpa memperdulikan arti haus dan dahaga,
karena anaknya di sarang, menginginkan setetes dua air
melalui kerongkongan kering. Harus begitu kau. Seorang lelaki
yang berani mengatakan maksudnya, tapi dapat disebut
jantan, bila berani tidak mengingkari janji. Jadilah, anakku
sulung anakku bungsu, seorang lelaki berhati jantanl Ibumu
ini, tidak mau anak lelaki berhati betina."
Perempuan tua itu tidak mengucurkan air mata lagi.
Perempuan tua itu tidak mengisak lagi. Telah tabah menerima
segala yang tiba. Telah rela melepas anaknya sulung, anaknya
bungsu, untuk pergi selamanya, mempertaruhkan keyakinan
diri. Segala air mata telah dihamburkan dari dasarnya sampai
kering.
Keheningan merayap di ruang mereka berada. Sendu. Tapi
dipecahkan suara halus yang bermula dari T io, "Bawalah daku
bersamamu. Bawalah daku, jangan tinggalkan daku."
Sambil berkata Tio mendekat, lalu duduk di sisi anak
beranak itu.
Perlahan, ibu Ronggur merenggangkan pelukannya dari
tubuh Ronggur. Perlahan pula, Ronggur melepaskan diri dari
pelukan ibunya. Lalu menatap dalam ke biji mata Tio, yang
tertancap ke biji matanya tanpa mengedip.
"Tio, dapatkah kau menduga kemungkinan yang bisa saja
menimpa diriku dalam perjalanan? Tahukah kau, apa yang
akan kutemui bila tafsiran mimpiku meleset?"
"Aku sudah tahu. Aku sudah maklum. Bila kelak kita tidak
bisa kembali lagi agar Mula Jadi Na Bolon tidak murka
padamu, katakanlah bahwa arwahku kau bawa serta sebagai
sembahanmu padanya."
Lama Ronggur menatapi wajah Tio yang sudah punya
kepastian sinarnya. Olehnya tekad Ronggur kembali pada
pijakan semula begitu kokoh. Tidak ada lagi satu kekuatan
yang dapat menghalangi maksudnya.
Angin di luar tambah kencang, hujan rasanya tidak akan
henti. Halilintar dan guruh terus bersabung. Angin melanggari
pucuk dan batang bambu duri, berkerisik dan bunyinya begitu
ngilu pada pendengaran. Di rumah itu orang terus sibuk.
Menyiapkan yang perlu mereka bawa. Bila fajar pagi terbit
pertanda hari baru tiba mereka sudah harus berangkat.
Ibunya menyelipkan pisau gajah lompak ke pinggang
Ronggur, pisau pusaka turun-temurun. Yang berukirkan kakek
kesatuan keturunan mereka yang langsung. Di tengah malam
buta, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan datang ke sana. Dia
menjampi Ronggur dan Tio, agar selamat dalam perjalanan.
Supaya terhindar dari godaan setan. Kemudian pada Ronggur
diberikannya ajimat yang terbuat dari besi putih, diukir dengan
huruf Batak. Juga pada Tio diberinya ajimat, terbuat dari
jalinan benang berwarna tujuh.
Mereka menyongsong terbitnya fajar.
ccdw-kzaa
5
Masih pagi benar. Udara cukup dingin. Tanah lembab
pertinggal hujan semalam. Dua tiga biji bambu duri
terbelintang di tengah jalan, tumbang. Di darat kabut tipis
saja. Hijaunya dedaunan dapat juga dilihat pandang.
Bertambah segar karena mengandung butir air. Tapi,
permukaan danau, jika bertambah jauh ke tengah, kabut
mengental. Beberapa depa saja dapat ditembus pandang.
Pulau Samosir Tuktuk Sigaol tidak tampak. Air danau alangkah
dinginnya.
Ronggur, Tio, dan si belang sudah berada dalam perahu.
Tempat begitu lapang. Pengayuh, galah, penimba air, sudah di
tempatnya. Tombak, kampak, panggada, ambalang, dan
sesumpit batu sungai yang keras. Beras sesumpit. Disumpit
lain daging kering. Juga mereka bawa mata pancing serta
talinya.
Pada leher Ronggur membelit ulos batak ragi purada yang
dibelitkan ibunya. Begitu juga pada leher Tio, dibelitkan ulos
batak ragi purada yang diiringi kata, "Belitkanlah pada
tubuhmu, di kala dingin mencekam. Pengganti tangan bunda .
. .." Hanya perempuan tua itu dan bekas Datu Bolon di tepian
danau mengantar mereka. Orang lain sudah dilarang untuk
mengantarkan mereka. Ronggur menatap pada ibunya,
sebelum perahu hilang ditelan kabut. Lalu pada orang tua itu,
melalui renggangan batang bambu duri, dicampakkan
pandang ke tengah kampung. Mencari bekas kehidupan masa
lalu di sana. Tingkah lakunya yang sopan serta ramah-tamah,
keberanian yang tidak gentar menghadapi sesuatu soal pada
saatnya, memikat hati orang di sekitarnya. Karena itu dia
banyak mempunyai teman.
Tapi, di saat dia harus meninggalkan perkampungan itu
untuk satu perjalanan yang belum tentu akhirnya, tak terduga
nasibnya, tidak seorang pun dari temannya yang dibolehkan
mengantarkan. Melepasnya. Tahulah dia, betapa pahit
perasaan mencekam hati untuk meninggalkan tanah tempat
lahir, dibesarkan, dan diasuh, punya teman, tapi tidak boleh
pamitan.
Di sebelah haluan perahu, Tio berdiri. Matanya jauh
mengedari tanah yang sudah cukup dikenalnya. Di mana dia
pernah disanjung puja, selagi martabat marganya belum
runtuh. Teringat pula saat kejatuhan marganya dan dia
sendiri, harus menjadi budak belian. Temannya sebaya banyak
yang mati di saat itu. Setetes dua air-mata membasahi pipi.
Cepat dihapus agar tidak sempat dilihat Ronggur.
Perahu bergerak perlahan meninggalkan tepian. Tangan
mereka membalas lambaian kedua orang tua yang
mengantarkan mereka. Sebelum pferahu ditelan kabut, tidak
hentinya lambaian dilepaskan dari tepian, tinggi melengking.
Si belang pun seperti tahu, perjalanan mereka sekali ini amat
panjang. Perlahan perahu memasuki daerah yang dilingkungi
kabut tebal. Perlahan pula tepian menghilang dari
pemandangan. Untuk digantikan warna putih saja pada
akhirnya. Tangan terkulai tak ada lagi yang hendak dilambai.
Tidak dilihat Ronggur lagi, ibunya mencampakkan diri ke
pohon hariara yang besar itu. Tersedu di sana. Meratap
panjang. Bekas Datu Bolon menyabari. Kemudian
menuntunnya pulang ke rumah.
"Mereka akan berhasil, mereka akan pulang membawa
berita baik dan menggembirakan," bujuk bekas Datu Bolon.
"Semua yang dikorbankan Ronggur untuk perjalanan ini akan
kembali padanya, malah lebih dari itu akan dipunyainya."
Perempuan tua itu menundukkan kepala, mengiakan, walau
sebenarnya dia tidak dapat meyakini bujukan itu.
Bila sinar matahari pagi telah muncul dari puncak Dolok
Simanuk-manuk, kabut tambah menipis lalu menghilang.
Kerajaan sudah tahu bahwa Ronggur bersama Tio telah
berangkat, maka Raja Panggonggom mencoret nama Ronggur
dari silsilah keturunan marga. Ronggur telah dianggap mati.
Riwayat Ronggur berakhir di s itu saja.
Perahu yang dikayuh Ronggur dan Tio maju perlahan. Tio
mendayung ke hulu. Ronggur di buritan langsung menjadi
pengemudi. Beberapa biji mata pancing yang sudah diumpani
dijatuhkan Tio ke danau. Sambil berkayuh, mereka
mengharapkan dapat pula sambil lalu menangkap beberapa
ekor ikan. Mereka berdua terus mengkayuh. Antara keduanya
belum mengucap sesuatu kata.
Perahu terasa berat dikayuh. Karena dasarnya agak lebar.
Haluannya tumpul. Menahan air atau menghempang kelajuan
perahu. Tapi, mereka masing-masing melaksanakan tugas,
walau perahu agak susah dikayuh dan walau hati masing-
masing masih diselubungi sakitnya perpisahan dengan kaum
kerabat, dengan tanah tempat dibesarkan, tanpa pamit.
Walaupun Tio tetap merasakan bahwa dia akan aman selalu
bila berdekatan dengan Ronggur, yang mempunyai otot yang
tegap, tekad hati yang bulat, keberanian yang jantan, sikap
ramah tamah, dan sopan santun yang manis, namun pada
saat itu, setiap perahu tambah jauh dikayuh, hatinya merasa
kecut juga mendatangi ajal yang ada di depan.
Tapi, dihiburnya diri, kalau dia tidak ikut, bukankah itu
berarti memberikan tubuhnya, hidupnya ke tangan nasib yang
telah tertentu belangnya, yaitu menjadi budak belian orang,
yang akan memperlakukannya seperti memperlakukan hewan.
Bukankah itu berarti penghinaan akan martabat diri, tidak
tahu menghargai diri sebagai manusia yang dapat
membedakan arti dan hakikat manusia merdeka dengan
budak belian?
Ah, katanya dalam hati sendiri, bila diri tahu perbedaan
antara menjadi seorang budak belian dengan manusia
merdeka dan diri tidak berpihak kemerdekaan itu, seseorang
yang tidak dapat mengucapkan terima kasih pada Mula Jadi
Na Bolon, yang telah menciptakannya menjadi manusia. T idak
menciptakannya menjadi hewan.
Satu keuntungan bagi tiap manusia, yang bisa
mempergunakan tiap kesempatan yang ada, untuk
membebaskan diri dari belenggu yang menindas harga diri itu.
Dan, kata Tio selanjutnya pada diri sendiri, kesempatan,
kupikir dan kurasakan, ada bila aku bersama Ronggur. Bila
aku memilih jalan yang ditempuhnya. Walau apa bentuk nasib
yang menanti di depan. Itulah risiko.
Manusia lahiratau dilahirkan memang untuk menghadapi
risiko, mengatasinya, lalU tercapailah idaman hati. Atau,
memang diri mampus karena tidak dapat mengatasi risiko itu.
Tapi, diri telah me laksanakan tugas kehidupan sebaik-baiknya.
Dan, itulah kehidupan. Kabut sudah terangkat, matahari
leluasa melemparkan sinarnya.
"Sentak pancing yang ada di sebelah kananmu!" teriak
Ronggur yang sekaligus membangunkan Tio dari renungan.
Tangannya cepat menggapai tali pancing. Tidak lama
kemudian, seekor ikan mas yang sudah cukup besar,
menggelepar di permukaan air.
"Tangkap dengan jaring," kata Ronggur pula.
Tio mengikuti petunjuk itu. Dengan sebuah pukulan
panggada pada kepala, ikan itu melepaskan gelepar akhirnya.
Isi perutnya dibuang Tio. Disisikinya. Lalu dia bertanya pada
Ronggur:
"Kita apakan ikan ini? Kita ura?"
"Ya, ura saja. Banyak bikin asamnya. Biar cepat masak.
Tapi, harus rata. Biar masaknya rata pula."
Dengan sedih akhirnya Tio mengatakan, "Tapi, daun
pembungkusnya tidak ada."
Ronggur mencampak pandang ke pinggir danau. Cepat dia
menujukan haluan perahu ke tepian. Lalu me lompat dari
perahu ke tepian berpasir basah, langsung memanjat sebuah
pohon berdaun lebar. Beberapa tangkai dedaunan yang cukup
lebar dijatuhkan ke tanah. Cepat dipungut Tio. Ikan diasami.
Lalu dibaluri dengan kunyit. Kemudian dibungkus baik-baik.
Seolah tidak tertembus hawa.
Mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tidak memenggal
perjalanan melalui tengah danau. Selalu mengikuti pantai.
Hingga perjalanan menjadi bertambah jauh. Beberapa kali
mereka berpapasan dengan penangkap ikan. Tapi, tidak
seorang pun dari penangkap ikan yang melambaikan tangan
dan menyapa mereka. Para penangkap ikan itu menatap
dengan dungu ke arah mereka. Lalu, cepat mengkayuh
sampan masing-masing, agar cepat jauh dari manusia yang
sudah digoda setan jahat itu. Sekarang Ronggur sudah dapat
mengartikan, kenapa orang tidak menegurnya dengan ramah
lagi.
Matahari tambah tinggi dan terik. Gelombang mulai
menggila. Perahu mulaii menunduk nunduk mengikuti alun
gelombang. Sampan penangkap ikan sudah sunyi dari danau.
Ronggur mengkayuh melalui ke tepian. Tepian yang dipilih
ialah lepian yang jauh dan kampung yang banyak bertebar
sepanjang pantai danau. Di sana mereka memasak nasi lalu
makan siang. Daging kering masih ada. Sedang ikan yang
diura itu, baru bebeiapa hari kemudian dapat dibuka dari
bungkusannya untuk dimakan.
Bila sinar matahari sudah tidak terik lagi, kembali mereka
melanjutkan perjalanan. Matahari leluasa melemparkan
sinarnya dan membakar mereka berdua, turut si belang, justru
karena perahu mereka tidak punya atap. Si belang tidak sering
lagi menggonggong, sudah lebih banyak diam dan tiduran di
perut perahu. Pada mulanya dia selalu menggonggong perahu
dan sampan yang berpapasan dengan mereka, tapi karena
orang yang ada dalam sampan atau perahu yang
digonggongnya tidak me lambaikan tangan, membalas
gonggongnya, akhirnya si belang sendiri pun tinggal diam saja
melihat mereka, sambil menjulurkan lidah.
Setelah dua hari berkayuh, tepian danau kembali dirimbuni
rumpun bambu duri dengan rapat. Pertanda perkampungan.
Titik putih yang besar itu, dapat mereka terka bahwa itu
kuburan nenek moyang yang pertama merambah mendirikan
perkampungan. Dapat mereka tentukan melalui titik putih itu
bahwa itulah gerbang perkampungan. Kuburan nenek moyang
yang pertama membuka satu perkampungan, selalu
dikebumikan di gerbang kampung. Titik kecil yang
bermunculan di sana menatap ke arah mereka, ada yang
menuding. Tapi, tidak ada yang melambaikan tangan.
Tio tidak memikirkan itu. Tapi, pada pikirannya mendatang
pengenalan bahwa mereka telah memasuki lekuk danau yang
pada salah satu tepiannya, bermula Sungai Titian Dewata. Dia
menarik napas yang dalam. Sedang Ronggur memperhatikan
permukaan air dengan awas. Meneliti awal sungai.
Pada mulut sungai banyak terdapat gugusan pasir hidup.
Perahu dan sampan nelayan yang terdampar ke sana karena
tidak hati-hati, secara perlahan-lahan akan ditelan pasir hidup
itu. Orangnya bisa selamat kalau pandai berenang. Pasir hidup
selalu berpindah tempat, bergerak dibawa arus. Jadi orang
yang berlayar di sana harus hati-hati. Tanda pasir hidup dapat
diketahui dari permukaan air danau yang agak memutih,
bercampur keruh, dan beriak.
"Percepatlah mengayuh T io," kata Ronggur. "Sebelum sore
benar, kita sudah harus memasuki mulut sungai. Biar kita
dapat terus menyusuri sungai sampai ke tempat yang jarang
perkampungannya. Juga agar dapat kita bedakan, antara
permukaan air yang aman dan jebakan pasir hidup. Kita tak
dapat menepi di sini. Terlalu rapat perkampungannya. Siapa
tahu, di antara mereka ada yang bermaksud jahat pada kita."
Tio mempercepat kayuhannya. Si belang kalau sudah capek
duduk, terkadang berjalan hilir mudik dalam perahu.
Mengibaskan ekor pada punggung Tio, begitu pula pada kaki
Ronggur. Tampaknya si belang seperti menyesal, karena tidak
dapat membantu tuannya.
Cahaya senja sudah bermain di permukaan air yang beriak.
Riak yang seperti disorong ke satu arah, punya arus, tapi
masih perlahan. Mula sungai. Riak itu, walau masih perlahan,
tetap bergerak, tetap disorong sesuatu tenaga untuk ditibakan
ke satu tempat.
Pada kedua tepian pangkal sungai, banyak orang berdiri.
Melihat mereka dengan dungu. Dari sekian banyak orang,
yang diketahui Ronggur sudah lain dari kesatuan marganya,
seorang pun tidak ada yang menyapa mereka. Tapi, orang
mencampak pandang ke arah mereka. Menonton tanpa
menggunakan perasaan. Oleh tatapan itu, oleh kebisuan itu,
Tio menjadi gelisah.
Si belang sudah pernah menggonggong ke arah mereka,
seperti menjenggak. Tapi, orang itu tetap juga di tempatnya.
Si belang akhirnya capek sendiri. Tio bolak-balik melihat pada
orang banyak, kemudian pada Ronggur yang terus mengayuh
dan menjaga kemudi dengan hati-hati.
"Ronggur, kau lihat mereka itu?"
"Ya, kulihat. Teruslah mengayuh, jangan ambil perduli."
"Tidak seorang pun dari mereka yang mengaju tanya pada
kita. Sedang mereka sudah berbeda marganya dari margamu.
Apakah mereka tidak bisa mengucapkan sepatah kata?"
"Kepercayaan mereka sama dengan yang dianut margaku.
Tidak mengapa. Teruskan mengayuh. Kepercayaan itu yang
melarang mereka untuk bercakap dengan kita. Atau,
kepercayaan itu membuat mereka bisu. Perasaan mereka
tumpul dibuatnya. Teruslah mengayuh. Sebelum jauh malam,
hendaknya kita sudah sampai ke tempat yang cukup jauh dari
perkampungan mereka."
"Mata mereka tidak bercahaya. Seperti mata ikan yang
mati. Aku ngeri melihatnya dan merasa terpukau berhadapan
dengan manusia yang begitu banyak, tapi yang begitu diam
dan bisu, seperti patung. Tidak berkerisik."
"Teruslah berkayuh, Tio. Biar cepat kita jauh dari tatapan
mereka. Agar godaan darinya tidak lama mempengaruhi tekad
diri."
Tio meneruskan mengayuh. Untuk akhir kalinya, si belang
sekali lagi menggonggong ke arah tumpukan orang yang diam
bisu itu, sebelum mereka menjauh benar. Arus sungai masih
lemah. Belum bisa menghayutkan perahu. Mereka masih harus
mengayuh kuat-kuat, agar perahu melaju.
Senja di langit bertambah tua. Merahnya mewarnai segala.
Dan, dari satu tempat yang ketinggian lagi sunyi, seseorang
memanggil nama Ronggur. Mulanya begitu lemah dan jauh.
Seperti suara setan yang bangkit dari dunia jauh. Ronggur
mendongakkan kepala, mencari dari mana suara itu datang. Si
belang mempertajam penciuman. Menggonggong. Disuruh T io
diam. Si belang mengikut.
Seseorang berlari di pematang sawah sambil melambaikan
tangan. Ronggur berhenti berkayuh. Diikuti Tio. Orang itu
sudah berada di tepian sungai. Setelah beberapa hari tidak
mendengar suara orang lain yang mencakapkan mereka,
rasanya, suara orang itu seperti hadiah yang besar, hadiah
yang membuat mereka gugup.
"Ronggur," kata orang itu, napasnya masih tersengal,
"bawalah aku bersama kalian. Aku mau turut."
Ronggur tambah terdiam. Hampir tidak dapat mempercayai
pendengarannya.
"Ronggur, kau dengarkah aku? Aku si Lolom. Kawanmu
sejak kecil. Aku mau turut."
"Kudengar kau, Lolom. Kudengar kau. Apa maksudmu?"
tanya Ronggur kembali. Dia belum yakin benar akan
pendengarannya.
"Bawalah aku bersama kalian. Aku mau turut. Tidak
bermaksud jahat aku. Bawalah aku."
Ronggur dan Tio tambah terdiam mendengarkan
permohonan orang itu, permohonan yang tidak diduga sama
sekali. Di saat mereka disisihkan dari sekitar, dari alam
kehidupan mereka sehari-hari, di saat itu pula seseorang dari
anggota masyarakat yang menyisihkan itu memohon pada
mereka, agar dibolehkan turut serta. Membuat Ronggur ingin
tahu, kenapa orang itu mau turut.
"Kenapa kau harus ikut?" tanya Ronggur.
"Aku tahu perjalananmu mendatangkan ajal. Tapi, aku
tidak perduli. Aku mau ikut. Karena aku memang dengan
sengaja mencari kecelakaan pada diri sial ini. Bawalah aku,
Ronggur. Sungguh sial nasib menimpa diriku. Aku kalah
berjudi. Sawahku sudah tergadai. Namun hutangku masih
bertumpuk."
"Jadi kau sengaja mau mencari malapetaka?"
"Ya, seperti kalian. Seperti kau. Tepikanlah perahu itu biar
masuk aku. Daripada aku membunuh diri, gantung diri, lebih
baik kurasa, lebih tenteram kurasa hati, bila ada teman sama-
sama mati. Karena aku takut sendirian menuju negeri jauh itu.
Bawalah aku, biar aku tidak merasakan kesunyian di saat
nyawa berpisah dari tubuh. Justru karena tahu ada teman
sama-sama mati."
"Kau pikir kami sengaja mencari kematian dengan melayari
sungai ini? Atau, sengaja mendatangi kecelakaan yang bisa
mengakibatkan kematian?" tanya Ronggur pula. Sinar
matanya memancarkan cahaya benci.
"Apa maksudmu?" kembali Lolom bertanya. "Bukankah kau
dengan sengaja mencari sumber malapetaka dengan melayari
Sungai T itian Dewata ini?"
"Tidak. Kami mau mencari penghidupan yang lebih
sempurna. Mencapai tanah luas tempat habungkasan," jawab
Ronggur tegas.
"Ah, jangan bersilat kata, Kawan. Kau sengaja mencari
kecelakaan, kematian, dan aku mau turut. Habis perkara,"
suara si Lolom mulai ringan dan lincah, tidak seperti semula
lagi.
"Kenapa kau berkata begitu, Lolom?"
"Karena kau Ronggur, jatuh cinta pada budakmu. Memang
budakmu itu manis. Bukankah karena tidak tahan
menanggung malu di dunia ini, kau me larikan diri dari
kehidupan ini dengan dalih mencari tanah habungkasan
bersama budakmu itu? Bawalah aku. Aku tidak bermaksud
mempengaruhi perasaan cinta yang tumbuh di hati kalian
berdua. Itu soalmu. Aku akan menutup mata dan mulut, di
saat kalian bercumbuan. Percayalah. Bawalah aku Ronggur.
Biar ada temanmu sama-sama mati. Biar ada pula temanku
sama-sama mati. Walaupun sebab kita berbeda. Kau karena
menyintai seorang budak. Aku karena kalah berjudi. Dari kita
sebenarnya sama sialnya."
Dengan hentakan kasar, Tio membenamkan pengayuh ke
air hingga air muncrat ke atas, lalu mulai mendayung.
"Perjalanan kami tidak wajar dikotori seorang penjudi yang
mau bunuh diri," jawab Tio kasar. "Perjalanan yang menuju
atau mencari tanah habungkasan."
Wajahnya memerah. Dan, ia tidak tahu, kenapa dia harus
mengatakannya. Sebenarnya dia sendiri memang sependapat
dengan orang lain, dengan Lolom bahwa perjalanan itu akan
kandas di karang kecelakaan. Tapi, biarpun begitu, tidak wajar
rasanya, perjalanan yang bermaksud baik itu dikotori
seseorang yang memang sengaja mau bunuh diri.
"Apa kau katakan budak manis? Apakah kau tidak dengan
sengaja mengotori hidup si Ronggur? Dengan wajahmu yang
manis, kau telah menggoda dan menjerumuskan seorang
sahabatku ke lembah kehinaan. Jatuh cinta pada seorang
budak, karena setiap saat kau menggodanya dan kata orang,
kau sedang bunting. Kalian telah bersetubuh sebelum
meminta izin dari Mula Jadi Na Bolon, dari para orang tua, dari
kerajaan, dan datu bolon. tanganlah berkata aku membawa
sial padamu. Nasibmu jauh lebih celaka dari nasib kita semua.
Aku kalah berjudi, Ronggur jatuh cinta, kau penggoda
keparat."
"Siapa mengatakan itu padamu, Lolom?" tanya Ronggur
keras
“Kau masih bertanya. Itulah berita yang tersiar luas di
antara penduduk. Lain tidak. Aku juga mempercayainya. Aku
juga tidak dapat mempercayai bila seseorang yang melayari
sungai ini, masih mengatakan akan mencari tanah
habungkasan. Bagiku itu omong kosong dan dusta paling
besar. Karena itu, marilah sama-sama mati, kawan. Bawalah
aku. Aku yang mau bunuh diri."
Seketika Ronggur terdiam. Tidak menyahut. Kemudian
Lolom melanjutkan, "Kenapa kau diam, Ronggur? Karena
tepat apa yang kukatakan?"
Ronggur masih diam. Lolom terkekeh lupa akan
masalahnya sendiri. Tio sudah hendak mendayung perahu,
tapi dicegah Ronggur dengan membenamkan kemudi ke air.
Akhirnya Ronggur mengatakan:
"Lolom, sayang sekali apa sebabnya kau mau ikut dengan
kami. Kalau alasanmu berbeda dari alasan yang kau katakan
itu, betapa gembira hatiku menerima kehadiranmu. Betapa
aku berterima kasih karena kau mau menemani aku seraya
bersedia memikul segala akibatnya."
Lolom masih tertawa di pinggir sungai. Kemudian Ronggur
melanjutkan:
"Aku mau buktikan Lolom bahwa yang kuimpikan atau yang
diwartakan mimpiku padaku, benar. Aku akan menemui tanah
habungkasan. Sungai ini akan membawaku ke tanah landai
yang subur. Sendirinya pula aku akan buktikan bahwa
kepercayaan yang tertanam di hati kita selama ini mengenai
sungai ini salah."
"Jangan mencari dalih lagi," kata Lolom menghentak.
"Sudah kukatakan aku tidak dapat mempercayainya, walau
kau kawanku. Kita akan sama-sama mati bila kita sama-sama
melayari sungai ini. Yang kuminta padamu, bawalah aku biar
ada temanku sama-sama mati. Aku takut mati sendiri. Itu saja
soalnya."
"Tapi, aku tidak mencari kematian dengan sengaja," jawab
Ronggur dengan suara kuat. "Perjalanan yang kumulai ini
bertujuan baik. Hasilnya kelak akan kuserahkan pada semua
orang, agar semua orang terlepas dari ancaman yang selalu
mengikuti hidupnya, berperang karena setapak tanah,
bersibunuhan karena setetes air parit. Karena itu dan karena
aku tahu pepatah lama, seseorang penjudi yang kalah, dialah
yang bernasib sial. Seseorang yang dengan sengaja mau
bunuh diri padanya akan datang malapetaka. Karena aku tidak
mau bunuh diri, karena aku tidak mau mencari ma lapetaka,
tapi sebaliknya, sewajarnya pula aku menolak permohonanmu.
Agar nasib sialmu, agar kutukan dewata padamu karena kau
mau bunuh diri tidak turut menimpa kami. Kami masih tetap
mengharapkan dan memohon agar dewata menunjuki jalan
kami. Yang kelak hasilnya akan dikecap setiap orang. Tidak
wajar mengorbankan nasib orang yang begitu banyak, masa
datang orang banyak, karena kau seorang. Karena itu, carilah,
tempuhlah sendiri, dan datangilah sendiri ajal yang akan
merenggutkanmu dari kehidupan ini!"
Sambil tertawa dan perutnya berguncang-guncang, Lolom
mengatakan:
"Ronggur, ke mana perginya akal sehatmu yang selama ini
kau punyai? Ya, memang kau masih menggunakan akal sehat
itu. Yaitu, menerjunkan diri ke ujung dunia agar bangkai
kalian tidak dapat dikuburkan. Agar kubur kalian tidak ada jadi
pertinggal di dunia ini. Nah, aku pun bermaksud begitu.
Penjudi yang kalah main, kalau mati tidak wajar menunjukkan
kuburnya agar tidak ada lagi tempat bagi mengunjungnya,
menagih hutang. Begitu pula agar tidak ada tempat bagi
sanak saudara, bagi anak yang masih kecil, tempat
mencampakkan segala penjelasan di atas pusaraku, karena
aku segala penjudi yang kalah, membuat hidup mereka
menjadi morat-marit." Waktu Lolom berkata, perahu sudah
mulai dikayuh
Ronggur dan Tio. Dan, waktu Lolom sadar bahwa kencang
perahu tambah tak dapat diikutinya lagi, walau dia sudah
berlari-lari di tepian, dengan pengap-pengap dia memohon:
"Ronggur, apa yang harus kuperbuat? Aku takut mati kalau
aku sendiri yang menghadapinya. Dan, kalian tidak mau pula
membawa aku serta, aku yang sudah rela mati. Hendak
mereka jadikan aku budak. Ronggur, kau dengarkah aku?"
ratapnya mulai meninggi, "sampai hatikah kau melihat aku
manjadi budak?"
Ratapan si Lolom yang tambah meninggi, membuat
Ronggur tertegun. Kembali dia berhenti mendayung.
Menyuruh Tio berhenti pula mendayung. Dia mencampak
pandang ke daratan. Matanya menyala merah. Tapi, dia
berusaha agar marahnya tidak meledak. Lalu, dia berkata
dengan kuat lagi tajam:
"Lolom, kau kawanku sejak kecil. Kau telah menghina aku.
Tapi, bagiku itu tidak mengapa. Untuk ikut serta dalam
perjalanan ini kau tidak boleh. Aku tidak bersedia
mengorbankan perjalanan ini pada nasib sial yang akan
menimpamu. Karena kau memang sengaja mencari kematian."
"Lantas, apa yang harus kuperbuat?" tanya Lolom pula
melanjut dan memotong cakap Ronggur.
"Kalau berjudi bagimu sangat baik. Agar kau tahu dan
menyadari bahaya main judi. Pesanku padamu, janganlah dulu
bunuh diri. Kelak aku akan membawa berita padamu bahwa
tanah habungkasan telah kutemui. Kau boleh pindah ke sana
dan kau kembali menjadi orang merdeka. Sekarang biarlah
dulu kau rasakan betapa sakitnya menjadi budak orang lain.
Agar kau tahu betapa nikmatnya mimpi akan kemerdekaan.
Dan, agar kau tahu, betapa berharganya sebuah
kemerdekaan, sehingga kau tidak mau lagi
mempermainkannya di perjudian."
"Begitu percaya kau Ronggur bahwa kau akan menemui
tanah habungkasan."
"Mimpiku telah mewartakan padaku. Dan perasaanku
selama ini, yang turut merasakan pahitnya derita seorang
budak, pahitnya perasaan diri sendiri justru harus membunuh
orang lain, karena orang lain itu pun ingin hidup lalu berusaha
menguasai setapak tanah, mempunyai setetes air parit telah
memaksa aku harus mencapai tanah habungkasan. Untuk bisa
terlepas dari belenggu itu, dari penjara perasaan yang
meracuni diri sendiri, semua terletak pada hasil perjalanan
ini."
"Dan, bila kau pun nanti turut menanggungnya, merasakan
pahitnya menjadi seorang budak, maka kau pun akan
mendoakan agar perjalanan ini memperoleh hasil seperti yang
diharapkan. Harapanmu terletak pada hasil perjalanan ini.
Agar kau bisa kembali menjadi seorang yang merdeka.
Bertobatkah, karena doa seorang yang tobat, sangat
didengarkan Mula Jadi Na Bolon."
Sebelum Lolom sempat mengatakan sesuatu, Ronggur
telah melanjutkan:
"Di samping itu, bila kau memang ingin berbakti,
wartakanlah pada orang semargamu bahwa anggapan mereka
akan perjalanan kami ini tidak benar sama sekali. Suruhlah
mereka bersiap menerima sebuah warta kebenaran. Yang
mungkin berbeda malah menantang kepercayaan yang
mereka anut selama ini. Agar tidak terguncang perasaan
mereka bila kelak menerima warta penemuanku atas tanah
habungkasan."
Ronggur dan Tio kembali mendayung. Dengan tercengang
Lolom melepas mereka. Dan, sesudah dia sadar bahwa perahu
Ronggur sudah menjauh dan melaju, kembali dia meratap dan
menangis. Tapi, disela tangis itu dia mengharapkan, agar
Ronggur dan Tio berhasil, sehingga dia bisa kembali menjadi
orang merdeka. Harapan masih ada walau masih begitu
samar, karenanya dia belum mau mati.
Perahu terus melancar. Bulan mulai memancar di langit
mencurahkan sinar ke bumi. Menjadi suluh bagi Ronggur dan
Tio mengikuti jalur sungai. Secara perlahan arus sungai mulai
terasa. Tanah datar yang terdiri dari tanah batu di kiri-kanan
sungai. Hanya satu-satu pepohonan tumbuh di tepian. Tidak
berdaun rindang. Meranggas.
Setelah merasakan bahwa mereka sudah cukup jauh dari
perkampungan, Ronggur mendaratkan perahu. Memilih
tempat bermalam. Si belang disuruh berjaga. Perahu
ditambatkan. Memang begitu selalu, selagi perahu dikayuh, si
belang kebanyakan tiduran. Kalau malam, dia yang berjaga, di
saat Ronggur dan Tio melepas lelah. Dan, bila pagi terbit lagi,
mereka akan melanjutkan perjalanan itu.
Setiap hari arus sungai tambah terasa. Dan, tetap
diperhatikan dan dipelajari Ronggur. Menurut keterangan
bekas Datu Bolon, bila arus bertambah deras, dia harus
bertambah hati-hati. Bila suara gemuruh air sungai berban-
tingan ke dinding batu mulai kedengaran, dia harus mulai
mencari mulut gua yang diceritakan Datu Bolon, yang
menganga bergaya mau menelan.
Tekadnya harus bertambah bulat dan kukuh memasukinya.
Atau, memulai jalan darat. Karena itu, tidak jarang Ronggur
melengketkan telinga ke permukaan air, untuk merasakan
getar air. Dan, setiap Ronggur mengerjakannya sambil
memejamkan mata, setiap itu pula T io memperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Dan, hatinya bergoncang dalam dada. Bila
Ronggur kembali mengangkat kepala, T io akan menarik napas
yang panjang, tapi diusahakan agar tidak kedengaran pada
Ronggur.
Pada hari selanjutnya, mereka telah tiba ke batas yang
boleh ditempuh manusia. Walau matahari tidak terik, dan
masing-siang, namun Ronggur mendaratkan perahu ke pinggir
sungai. Lalu menyuruh Tio menghidupkan api. Pertanda
mereka akan bermalam di sana.
Dia pergi ke tempat ketinggian, mendaki sebuah pundak
bukit, mengadakan peninjauan. Sejauh mata memandang
yang dilihat hanya batu padas saja. Sedang sungai seolah
terus menuju satu arah yang jauh, menerjang terus ke perut
bukit. Menembus bukit. Itulah mula gua yang diceritakan
bekas Datu Bolon. Arus sungai sudah cukup deras. Satu dua
batu jangkar sudah dijatuhkan Ronggur, agar kelajuan perahu
dapat dikendalikan.
Kembali dia ke tempat Tio, yang mencampakkan pandang
padanya, pandang yang meminta penjelasan. Tapi, Ronggur
tidak mengucapkan, sepatah kata. Kediam-diaman. Perasaan
masing-masing saling mengajuk nasib yang menanti mereka,
bila mereka mulai melewati batas itu besok pagi.
Ronggur dan Tio, pada pagi berikut melihat matahari
muncul dari satu kekosongan, tepat dari belahan jalur sungai.
Jadi tidak dari pundak Dolok Simanuk-manuk lagi, seperti yang
mereka kenal. Namun mereka meneruskan perjalanan juga.
Mulut tambah terkatup. Terus saja Ronggur mencampakkan
pandang ke kejauhan. Tetap meneliti keadaan. Wajahnya
bersikap menantang dan begitu tegang. Tangannya pasti
menggenggam ulu kemudi.
Mereka tidak perlu lagi mengayuh. Arus sungai sudah dapat
menghanyutkan perahu malah terlalu liar. Hingga batu jangkar
sudah tiga biji dijatuhkan. Telapak tangan Tio yang sudah
lecet dan keputihan, susut karana terus-terusan direndam air,
sekarang bisa mengasoh. Tangannya mengelus leher si belang
yang duduk di sampingnya. Dia mencari kekuatan hati dari
elusan itu. Atau, melontarkan perasaan yang tertekan.
Tapi, hari itu mereka tidak menemui sesuatu. Hanya arus
sungai yang bertambah kencang. Mereka masih selamat.
Walau sudah jauh melewati batas yang boleh didatangi
manusia.
Dikejauhan, bila diperhatikan benar, desiran arus sungai
kedengaran bangkit, mendesis. Dari jalur sungai dikejauhan,
bulan muncul. Menyinari kiri-kanan sungai yang tidak punya
tanda kehidupan. Tandus dan kosong. Bila mereka mendarat
ke pinggiran lagi, mereka temui sebuah lobang alam pada s isi
sungai yang agak tinggi, terbuat dari batu alam. Lobang yang
bersisi berlantai dan beratap batu. Dalam lobang, tidak seperti
lobang alam yang pernah mereka temui, tidak ada sepenggal
kayu atau bekas api. Tidak pernah didatangi manusia
layaknya. Dingin. Buru-buru Tio menghidupkan api. Beberapa
potong kayu diangkutnya dari perahu. Nyala api menari-nari di
dinding batu, di atap batu.
Tengah malam. Awan hitam merayap dan menjalar, lalu
menutupi wajah bulan. Keadaan sekitar menjadi pekat. Angin
kencang datang dari hulu sungai. Membangkitkan riak yang
tidak dapat dikatakan kecil, cukup gelisah permukaan sungai.
Satu-satu halilintar mengkilap membelah bumi. Diiringi suara
guntur yang mau memecahkan segala, menyengkak. Si belang
mendekat pada Tio. Memanaskan diri dekat api. Bersabung
halilintar dan guruh, hujan turun seperti dicurahkan dari
langit. Permukaan sungai naik. Riak sungai menjadi besar dan
tambah gelisah. Seperti marah karena ada orang yang berani
berlayar melewati batas yang sudah ditentukan.
Dalam saat begitu, perubahan alam begitu rupa
menimbulkan prasangka dalam diri, yang menumbuhkan
berbagai ragam anggapan, pertanda mula kecelakaan yang
akan menimpa diri. Semuanya serba asing dan menakutkan,
atau semua serba seperti menakut-nakuti. Ronggur pergi ke
tepian sungai memperkokoh ikatan tambatan perahu. Lantas
pergi ke atas gua alam itu, menatap ke sekitar. Kepekatan
menyeluruh menelan segala. Kekelaman yang abadi. Baru
beberapa saat yang lalu, keadaan udara cukup terang
benderang oleh sinar bulan yang nyaman.
Begitu cepat suasana alam berubah. Beberapa saat dia
berdiri di sana, memperhatikan sekitar dan mempelajari arah
dan mata angin yang menggalau. Tio yang tepat berada di
bawahnya, tidak mengetahui bahwa Ronggur tepat berada di
atasnya. Dipisah langit-langit gua yang terbuat dari batu alam.
Kulit tangannya masih tetap pucat dan menyusut.
Selagi Ronggur tidak ada dekatnya, dia merasa sepi atau
merasa takut. Dia selalu begitu, walau dia tahu Ronggur tidak
pergi jauh. Dia merasa lebih tenteram bila Ronggur di
dekatnya, walau tidak mengatakan sesuatu, selain hai yang
penting saja. Seperti: "Besok pagi kita melanjutkan perjalanan
sebelum matahari terbit. Tidurlah, selimuti dirimu dengan kulit
binatang berbulu. Biar terasa panas."
Mendengar cakap yang sepenggal itu saja, sudah
melonggarkan perasaan tertekan. Dan, dia tidak akan
menyahut, tapi melaksanakan yang dimaksudkan Ronggur.
Malam itu Ronggur agak lama baru kembali. Perasaan sak
wasangka tambah mencekam diri, karena dia tahu bahwa
mereka sudah berada di daerah yang berbahaya, daerah yang
belum pernah dimasuki manusia. Tio bangkit dari duduknya.
Dengan membungkuk dia menuju mulut gua. Hendak melihat
ke mana Ronggur pergi atau di mana Ronggur berada. Tapi,
ketika itu juga, tubuhnya tertumbuk ke tubuh Ronggur yang
berdada telanjang. T io terpekik karena terkejut. Lalu mundur.
Ronggur tersenyum, lalu mengatakan, "Pergilah tidur. Tidak
apa-apa. Besok, bila badai telah teduh, kita akan meneruskan
perjalanan."
Tio malu akan ketololan dan ketakutannya. Dia menyesali
diri kenapa dia harus terpekik. Dari goleknya dia melihat
Ronggur mengeringkan tubuh. Telapak tangan ditelempapkan
ke tubuh, lalu dikaiskan. Butiran air berjatuhan. Kemudian
Ronggur berjongkok dekat api. Mendekatkan telapak tangan
ke jilaman api. Begitu dekat hingga Tio yang melihatnya
merasa ngeri, kalau tangan itu akan hangus terbakar. Tidak
disadarinya matanya dapat ditangkap pandangan Ronggur.
Sambil memalingkan pandang Ronggur berkata, "Kau belum
tidur juga? Belum mengantuk?"
Tio menyurukkan kepala ke bawah kulit binatang. Dalam
hatinya dia merasa geli atas kelakuan Ronggur, Sedang
Ronggur merasa geli pula atas kelakuan Tio yang
menyurukkan kepala ke bawah selimut buru-buru, yang
dengan sendirinya kakinya menjadi telanjang. Kulit binatang
itu tidak cukup panjang untuk menyelimuti tubuhnya
sekaligus. Ronggur tersenyum, seperti Tio sendiri, tersenyum
di bawah selimut kulit berbulu.
Di luar hujan, angin, kilat, dan guruh masih bersabung. Si
belang sekali ini sudah tertidur. Permukaan sungai menaik,
riak sudah membesar sudah menyerupai ombak danau.
Namun perasaan keadaan sekitar, dia tahu, air tidak mungkin
menggenangi mulut gua di mana mereka berada. Dia
menggolekkan diri. Suara mendesis yang bersumber dari
sungai itu sangat menyayat atau menyengat pendengaran.
Suara yang timbul atau seolah datang dari dunia jauh, dunia
lain. Ronggur menutup kedua belah kupingnya, memejamkan
mata dengan paksa.
Cahaya putih sudah menerobos dari mulut lobang waktu
Ronggur membuka mata kembali. Api sudah padam. Dalam
gua menjadi dingin kembali, angin yang bersabung dan hujan
yang menderu di luar belum henti.
Tapi, sudah mulai me lemah. Desis lidah air masih terus
mengganggu pendengaran. Waktu kepalanya dijulurkan dari
mulut lobang untuk mengetahui keadaan cuaca, dia pun tahu,
bahwa cuaca masih tetap seburuk kemaren. Walau matahari
sudah terbit dan agak tinggi, namun bias cahayanya tidak
dapat menembus awan yang bergumpal dengan sempurna.
Dengan malas Ronggur kembali masuk ke dalam lobang.
Membaringkan diri. Tio belum bangun. Juga si belang. Ma lah
menggulungkan tubuhnya sampai bengkok untuk melawan
dingin. Didengarnya kelepak lemah di langit-langit gua.
Tambah lama tambah banyak. Matanya diliarkan menatap
langit-langit. Kelepak itu berasal dari lobang-lobang kecil yang
banyak di langit-langit gua. Perlahan dia bangkit, takut kalau
kelepak lemah itu henti. Dia mendekati salah satu lobang
kecil.
Heh, pikirnya. Di sini banyak kampret. Enak dimakan. Lalu
dia mengambil sebatang kayu. Dengan kayu itu, dicoloknya
tiap lobang. Kampret berjatuhan. Patah sayap. Asik dia
dengan pekerjaannya. Merasa bersyukur, justru karena dia
tahu, daging kampret enak dimakan.
Di samping itu, lalu dia dapat memastikan bahwa sesuatu
yang bernyawa masih ada di sana. Kampret itu ditumpukkan.
Tidak tahu dia Tio sudah bangun. Terus menghidupkan api.
Menjerangkan air yang ditampung dari pinggir sungai. Waktu
nyala api me loncat-loncat dan menari-nari di dinding gua,
Ronggur berpaling. Tio tersenyum tapi tertunduk.
Disambutnya juga senyum itu, lalu: "Di sini banyak kampret.
Bakarlah. Enak juga dimakan."
Kampret itu mereka panggang, langsung dengan bulunya.
Cepat benar sudah masak. Sambil meneguk air simar palia
yang pahit kental lagi panas, rasa dingin dan kantuk cepat
menghilang, mulut mengunyah daging kampret yang manis.
Bila angin dan hujan reda, mereka akan meneruskan
perjalanan. Yang terasa tidak punya akhir dan ujung.
Ingatan Ronggur cepat meloncat. Cepat dia mengaju
tanya: "Tio, di mana kau bikin pundi-pundi tempat bibit itu?
Sudah berapa hari tidak kulihat."
Tio memegang pinggangnya yang agak menonjol. Pundi-
pundi itu diikatkan di pinggangnya. Tio menjaga bibit itu
dengan baik. Bibit pertama yang akan mereka tanam di tanah
habungkasan. Atau, padi yang bisa mengurangi rasa laparnya
bila mereka memang jatuh ke ujung dunia. Jajan arwahnya
dalam perjalanan menghadap Mula Jadi Na Bolon.
"Kau menjaganya dengan baik kalau begitu." kata Ronggur.
Tio menundukkan kepala, Ronggur menyambung: "Teruskan
jaga baik-baik. Bila angin dan hujan teduh, kita meneruskan
perjalanan. Di tanah habungkasan yang kita tuju, bibit itu
sangat penting dan perlu bagi kita. Jangan sia-siakan.
Teruslah jaga baik-baik."
Cakapnya punya kepastian seolah mereka akan menemui
tanah habungkasan yang dimimpikan. Tio diam saja
mendengarkan. Padanya, menemui tanah habungkasan atau
menemui ajal, sekarang telah menjadi sama. Dia telah
menunjukkan kesetiaan sebagai budak pada tuannya. Atau,
dia sebagai perempuan, telah menunjukkan kesetiaan hingga
berani pergi ke mana saja, bersama seorang lelaki yang
dipercayainya kejujuran dan keberaniannya. Dan, dia telah
berani memilih perjalanan tanpa nasib, meninggalkan nasib
yang malarig di belakang. Itu saja pun baginya cukuplah.
Karena itu dia hanya menelan air liur mendengar omongan
Ronggur yang punya kepastian itu.
Cahaya yang menerobos ke dalam gua tambah terang juga,
berangsur secara perlahan. Angin tambah melemah dan hujan
sudah mulai teduh. Tapi, desis air yang menyayat
pendengaran itu tetap juga. Ronggur dan Tio bersama si
belang cepat-cepat meninggalkan gua, lalu memulai
perjalanan lagi. Menyusuri sungai. Si belang menggoyangkan
tubuh, membuang butir-butir air yang melengket pada
bulunya. Dia melengking kecil, atau suara lengkingan itu
tersekat dalam kerongkongan.
Perubahan pada kedua tepi sungai tambah nyata, tambah
beda dengan tepian sungai yang sudah mereka lewati. Air
sungai terus menerus mengarah ke satu bukit yang seolah
tegak berdiri, terhunjam ke dada bumi, menghadang sungai.
Tapi, air terus menerobos.
Tepian sungai menjadi tambah tinggi juga, terbuat dari
batu alam yang hitam. Tambah lama tambah berbentuk
semacam terowongan. Itulah gunung Batu yang diterobos air
sungai yang arusnya bertambah deras. Air yang
bertemperasan ke dinding tepian batu, berdesis dan muncrat
ke sana kemari. Gelisah tidak pernah henti. Sudah lebih dari
lima batu jangkar dijatuhkan Ronggur, namun kelajuan perahu
terus bertambah kencang. Seperti tidak terkendalikan.
Pendengaran terus dipertajam Ronggur, namun suara
gemuruh belum ada kedengaran. Karena, pikir Ronggur, bila
air sungai jatuh ke akhir dunia, tentunya menimbulkan suara
gemuruh yang dahsyat. Karena itulah, dia masih meneruskan
penyusuran itu. Bahaya, atau ujung dunia, masih jauh. Atau,
mula dari impiannya, tanah subur yang landai.
Batu jangkar sudah tujuh buah dijatuhkannya. Tali
temalinya bertegangan diseret perahu. Dan, kelajuan perahu
terus bertambah. Tapi, dapat dikuasai karena dibantu batu
jangkar itu. Bila arus bertambah kencang, batu jangkar terus
dijatuhkan. Begitu seterusnya. Melanjutkan perlawanan
terhadap arus sungai yang setiap saat bertambah kencang
juga.
Pancing yang diumpankan Tio tidak pernah lagi mengenal
Ikan bertambah jarang atau memang tidak ada sama sekali.
Ronggur hanya tinggal menunggui kemudi. Kelokan sungai
yaitu patah tambah sering mereka temui. Dan pada setiap
akhir kelokan riam sungai teap ditemui. Pada tiap riam, air
sungai gelisah warna putih melambung ke atas. Pada riam
yang lebih curam, walau dinding perahu sudah tinggi dibuat,
bisa juga temperasan masuk ke dalam perahu. Tio cepat
menimbanya, membuangnya kembalinya ke sungai. Dan,
terkadang wajah Ronggur sendiri disembur air, yang terus
memegang kemudi, tanpa mau melepaskan seketika saja pun
selagi perahu terus berlari dibawa arus.
Tepian sungai yang terbuat dari batu alam bertambah
tinggi juga. Pada puncaknya yang masih bisa dijangkau mata
tidak ada sesuatu yang tumbuh, selain dari tumbuhan kerdil
yang tidak berdaun hijau. Begitu curam dinding batu itu. Ada
kalanya sinar matahari seperti tidak sampai pada permukaan
sungai karena disungkup kedua dinding batu yang bertemu
puncaknya. Air sungai menjadi lebih dingin dan hitam. Sekitar
menjadi taram-temaram.
Mereka tidak bisa lagi dengan leluasa melihat matahari.
Membuat mereka terkadang tidak dapat mengetahui
peredaran waktu dengan pasti. Dan, keadaan begitu
bertambah jauh menyusuri sungai, bertambah memanjang.
Namun mereka tetap berlayar. Sebuah kata pun tidak ada
yang diucapkan. Mata terus-terusan ditancapkan ke depan.
Segala perasaan dikerahkan meraba yang menanti di
depan. Air yang bertemperasan pada dinding batu tambah
mendesis dan menyayat pendengaran. Tahulah Ronggur suara
desisan air yang menyayat pendengaran itu, bermula dari air
yang bertemperasan ke sisi sungai dan lebih hebat pada salah
satu tikungan. Celah dinding sungai di atas bertambah kecil
juga. Seperti mereka berada dalam satu lembah yang sempit
diapit kedua sisinya yang tinggi.
Arus sungai terus menerus bertambah kencang dan tambah
menggila. Air membiru sudah seperti menghitam. Sudah lebih
sepuluh batu jangkar yang mereka jatuhkan. Kelanjutan
perahu terus juga menggila. Air seperti membulat. Dari warna
biru permukaan yang sudah menghitam itu, tahulah Ronggur
bahwa sungai amat dalam.
Suara air yang bertemperasan ke dinding batu, terus
menerus mengisi pendengaran, terasa sangat membosankan.
Terlebih pula tidak ada yang menyelingi. Begitu menyiksa
terasa. Biarpun dia tahu bahwa sungai sangat dalam, tapi
pada tikungan yang dilalui terkadang ada juga batu muncul ke
permukaan air, menghadang. Mereka harus hati-hati
melewatinya. Bila terdampar ke sana, perahu akan pecah
remuk, dan nasib sudah teraba bentuknya. Air yang
bertumbukan dengan batu mencuat itu menjadi gelisah dan
liar. Bertemperasan. Tidak sedikit terlempar ke dalam perahu.
Perut perahu menjadi tergenang air. Tio harus cepat
menimbanya. Peralatan mereka menjadi basah. Dada dipukul
detak hati yang tambah mengencang. Tapi, wajah Ronggur
terus menantang ke depan. Meneliti dan menduga sesuatu
yang sedang menanti.
Mereka tidak ada lagi menemui gua alam. Begitu pula
tepian sungai yang landai, jadi, kalau cahaya yang menerobos
dari celah dinding sungai di atas itu me lemah, mereka hanya
bisa menambatkan perahu ke salah satu tungkul batu yang
mencuat. Mereka lalu tidur dalam perahu tanpa unggun api.
Selain kayu bakar tidak ada, menghidupkan api dalam perahu
berarti bunuh diri. Karena itu, mereka harus menahan dingin
malam yang menyiksa.
Tio di hulu perahu Ronggur di buritan, di tengah si belang.
Dalam saat begitu, pandang mereka sering ketemu. Cepat
dipalingkan. T idak mereguk air panas lagi di pagi hari. Hanya
air sungai yang dingin diteguk sehabis cuci muka. Tio
menyelimuti diri dan juga si belang, yang selalu mendekat
padanya dengan lengkingnya yang tersekat dalam
kerongkongan.
Dan, mereka akan meneruskan perjalanan lagi, menempuh
jalur sungai yang tidak dapat teraba, ke mana diri akan
dibawanya, bila utusan cahaya kembali menerobos celah
dinding sungai di atas itu.
Bila temperasan air yang melemparkan air ke perut perahu
tidak ada, yang berarti pekerjaan Tio tidak ada, dia selalu
melemparkan pandang ke depan dan menggunakan segala
perasaan. Begitu pula Ronggur yang berada di buritan perahu.
Tikungan bertambah sering ditemui. Arus sungai tambah
menggila. Dinding sungai bertambah tinggi dan tandus.
Suasana tambah menekan. Jiwa tambah terasa dihantam
habis-habisan.
Tio tidak terus-terusan atau tidak tekun lagi menatap ke
depan saja. Sudah sering dia berpaling ke belakang menatapi,
Ronggur. Tapi, Ronggur seperti tidak me lihatnya. Mata
Ronggur terus memandang ke depan. Walau terkadang hanya
tertumpu ke dinding batu pertanda sebuah tikungan.
Terkadang Tio berdiri meregangkan tubuh yang kaku, tapi
cepat saja Ronggur menyuruhnya agar duduk kembali. Agar
tatapannya tidak terhalang. Atau, agar kepala Tio tidak
tersangkut pada salah satu lingkungan dinding sungai yang
terkadang begitu rendah.
Mulanya sangat lemah sekali. Tambah lama tambah nyata.
Wajah Ronggur agak pucat juga dibuatnya. Bibirnya
gemetaran. Tio tertunduk. Arus sungai menggila Batu jangkar
sudah lebih duapuluh biji dijatuhkan. Namun perahu seperti
diseret dan dilarikan setan saja kencang nya. Suara yang
lemah itu, yang bangkit di depan itu, tambah nyala:
mengguruh. Mengancam nadanya, mengancam siapa saja
yang berani mendekat. Namun Ronggur belum mendaratkan
perahu. Dia masih meneruskan pelayaran.
Urat saraf Tio seperti lumpuh karena terus-terusan ditekan
suasana ketegangan. Walau air tidak tertumpuk pada salah
satu batu yang mencuat di permukaan sungai, namun riak air
sudah seperti gelombang. Pecah. Memercik ke sana ke mari.
Banyak terlempar ke dalam perahu. Tapi, Tio tidak bisa lagi
menimbanya. Perahu terangguk-angguk dan tergoncang.
Tiba-tiba saja biasan cahaya mencurah ruah, celah dinding
melebar di atas. Tapi, tingginya alangkah jauh lagi curam.
Seperti tidak terdaki layaknya. Ronggur menatap ke depan
dan pendengarannya terus dipertajam. Suara gemuruh di
depan tambah jelas. Tiba-tiba saja Tio menghantamkan
tangan ke haluan perahu, sambil berteriak:
"Ronggur, mendaratlah. Apakah kau mau bunuh diri?"
Berbaur akhirnya dengan suara gemuruh di depan dan
desis air dan suara riak sungai yang menari gila. Namun
Ronggur tidak memperdulikan atau tidak mendengarkan.
Matanya sebentar melihat ke kiri dan ke kanan, cepat bertukar
tempat. Lalu terus ke depan. Begitu liar. Suara gemuruh itu
seperti suara dari sesuatu benda yang jatuh ke satu tempat
yang amat dalam.
"Ronggur, kau tidak mendengarkan aku? Mendaratlah ke
tepi. Jangan teruskan lagi mengikuti sungai. Tidak dengar
suara gemuruh yang mengancam itu?"
Masih tidak diperdulikannya. Tio terus menjerit,
melengking. Dalam jeritannya sering dia memanggil nama
almarhum ayah bundanya. Sering dia menyebut nama dewata,
memohonkan ampun atas keangkuhan mereka berdua. Yang
telah berani menantang ketentuan dewata. Dengan tidak
berapa dikuasa iya pula, meledak teriakan panjang dari
mulutnya:
"Ronggur, dengarlah aku. Aku cinta padamu . . . ." lalu
tangisnya berkepanjangan, "Ronggur, jagalah dirimu, diri kita
berdua . . . ."
Perahu tambah dalam dan kuat anggukannya. Dan,
Ronggur mengangkat kepala mendengar jeritan Tio itu, yang
meledak dari dasar hatinya.
Air sungai tambah membulat dan berlari kencang, dulu
mendahului riaknya. Tiba-tiba saja tangan Ronggur
mengayunkan tali ke dinding sebelah kanan. Talinya tetap
sangkut pada sebuah gundukan batu yang mencuat agak
panjang dan besar, kokoh tertanam. Dapat dipercaya. Dinding
sungai agak landai tapi tetap mendaki ke atas.
Sewaktu Tio merasakan bahwa perahu mereka tergoncang
kuat karena ada yang menarik dan ada yang menahan, dia
mengangkat kepala. Kedua pelupuk matanya, pipinya basah
kuyup oleh air mata. Perahu sudah tertambat dan sudah
terhenti walau arus sungai berusaha melarikannya. Dia
menatapi Ronggur dengan biji mata yang tergenang air mata,
isaknya belum henti.
"Hapuslah mata dan pipimu," kata Ronggur. "Kering-
kanlah. Aku tidak sanggup melihat mata yang digenangi air
mata yang bening. Kita masih harus menempuh perjalanan
yang jauh. Kau lihat dinding sebelah kanan itu? Kita harus
mendakinya ke atas. Supaya kita dapat tahu yang ada di
depan. Kita harus meninjau dari sana. Tapi, sebelum itu,
kuatkan dulu hatimu bahwa kau sanggup mendakinya. Marilah
dulu makan daging kering. Biar kita punya tenaga. Kemudian
bambu itu isilah dengan air. kita memerlukan air barangkali di
atas sana. Mungkin tidak ada air di sana."
Tio mengerjakan semua yang dimaksud Ronggur. Sedang
Ronggur tambah memperkuat tambatan mengikat
pinggangnya dengan tali, sedang ujung satu lagi dibebaskan,
dan sebuah gulungan lagi disandang, dia mulai mendaki. Tapi,
cepat dihentikan T io dengan teguran, "Si belang bagaimana?"
"Biarlah tinggal dulu di perahu. Kita perlu mengadakan
peninjauan. Atau, kita memang sudah harus mendarat di sini.
Kau perlu turut ke atas agar ada nanti yang menarik
peralatan-peralatan kecil ke atas. Aku akan turun lagi.
Mengikat peralatan itu dan membawa si belang ke atas."
Di pinggangnya diselipkan penggada dan kampak
digenggam. Tio membelitkan bungkusan yang berisikan bekal.
Lebih dulu dielusnya leher si belang, baru dia mendarat.
Tajam lidah batu alam seperti menusuk telapak kakinya, yang
sudah beberapa hari basah saja. Si belang menggonggong
kecil, lehernya digoyang-goyangkan.
Ronggur maju menanjak sambil terus membuat semacam
anak tangga pada batu padas. Tidak vertikal. Agak mencong
jalannya tapi terus mendaki setapak demi setapak. Tio
memegang ujung tali satu lagi yang ujungnya dikaitkan pada
pinggang Ronggur sebagai pegangan. Supaya ada tempatnya
bergantung kalau dia tergelincir. Atau, tali itu bisa ditahannya
kalau Ronggur sendiri yang tergelincir. Tangga demi tangga
dibuat Ronggur dan didaki, yang terus diikuti Tio. Suara yang
menakutkan dan mengancam itu terus bergema. Terkadang
Tio menatap ke bawah melihat perahu mereka yang
terangguk-angguk, di perutnya si belang menatap ke arah
mereka sambil menjulur lidah.
Kemajuan pendakian itu lambat sekali. Namun tetap pasti.
Mereka sudah di pertengahan pendakian. Dari sana sudah
dapat kembali mereka tatap keluasan langit, yang untuk
beberapa hari lamanya tidak mereka lihat. Tak ubahnya
mereka seperti baru keluar dari satu lobang alam yang kelam
lagi sunyi, yang tidak memberi kesempatan pada mereka
untuk menatap keluasan langit. Walau sinar matahari
melemah, namun merasa lemah juga mata menatap yang
sudah sering ditatap tapi yang buat beberapa hari tidak
ditatap. Tapi, keadaan tetap sunyi. Tidak ada pertanda
kehidupan.
Yang ada hanya gemuruh yang menakutkan, yang
mengancam, tidak memberi kegembiraan. Dan arah matahari
dan lemahnya sinar, Ronggur tahu, hari sudah sore. Sebelum
gelap mereka sudah harus sampai di puncak. Karena itu, dia
sering membesarkan hati Tio, agar bisa lebih mendaki
tanjakan.
"Sebentar lagi, sebentar lagi," selalu katanya, "kita sudah
sampai ke atas. T idak jauh lagi. Teruslah mendaki. Tapi, hati-
hati, agak licin di sini."
Mereka harus bercakap kuat-kuat. Tidak bisa perlahan-
lahan, agar dapat ditangkap pendengaran. Keringat meleleh
dari tubuh masing-masing. Seperti memancur. Sudah cukup
haus Tio, namun Ronggur melarang meminum air sekali
banyak-banyak.
Betapa bersukur hati Ronggur, waktu tangannya sudah
dapat menggapai puncak yang dituju. Tapi, perasaan lega itu
tidak lama mengisi ruang dada.
Setiba di puncak, tahulah mereka yang ditemui, hanya
sejalur batu tandus dan di sana-sini berlidah tajam. Di kanan,
lembah putih, seperti diselaputi sesuatu dan tidak punya dasar
tampaknya. Di sebelah kiri, lembah yang dasarnya sungai
yang menggila arusnya. Ke arah depan dan belakang, jaluran
batu padas yang lebarnya hanyalah barang sedepa. Tidak
lebih.
Itu pun tidak jauh-jauh ditatap, karena ada sesuatu yng
menyungkap, putih kental seperti kabut. Atau, awan rendah.
Tidak bertepi dan tidak bermula. Angin meniup. Penemuan ini
membuat hati terpukau. Di depan sekali suara mengguruh itu
menanti.
Matahari memancarkan sinar kemerahan yang lemah, tidak
mampu menembus keputihan yang mengental.
Tidak ada satu suara pertanda kehidupan, tapi suara yang
mengancam kehidupan dengan liar mengguruh di depan.
Berlagak mau melumpuhkan dan mematikan tekad hati yang
sepadu-padunya.
Tio lantas saja memeluk tubuh Ronggur dengan gemetar.
Gigi gemelatukan. Tubuh menggigil. Ronggur membiarkan.
Karena dia pun seperti kehilangan semangat. Tekad hati yang
padu menjadi cair. Satu sama lain tidak bisa mengeluarkan
pendapat. Bisu. Senja tambah samar, cepat kelam. Tidak
berapa lama tari warnanya menghias langit.
"Kita akan mati lemas di sini," kata Tio pelan sekali.
Ronggur menoleh kepadanya seenak tanpa mengatakan
sesuatu. Pada sinar matanya, tidak ada lagi sinar cahaya
percaya diri. Mati. Namun tanpa bicara, dia membimbing
tangan Tio, bergerak ke depan perlahan-lahan. Geraknya
seperti gerakan yang bermula dari kedalaman. Melangkah
begitu saja, sempoyongan, tanpa percaya diri. Melangkah
berserah diri.
Sesekali mereka hendak tergelincir jatuh ke bawah, ke
jurang tanpa dasar. Karena, jalannya begitu licin. Ronggur
berjalan di depan. Tio di belakang, menggenggam tali lebih
kuat dan begitu dekat di belakang Ronggur. Dia gamang.
Lidah batu yang tajam menusuk telapak kaki. Terasa ngilu.
Mereka terus melangkah.
Sesayup sampai, salak si belang dari dasar sebelah kiri
kedengaran. Seperti mengantar mereka ke tempat tujuan
akhir. Dapat juga mereka temui tempat yang agak luas sedikit,
sekira tiga empat depa luas jaluran di sana. Mereka
memutuskan untuk bermalam di sana. T idak ada yang dapat
dibakar. Sekeliling begitu dingin membeku. Tio tidak berani
jauh-jauh dari Ronggur.
Sebelah atas mereka, awan rendah menyungkap. Mereka
rasakan langit begitu dekat. T idak tampak bintang atau bulan.
Awan rendah menyungkap semua atau memang langit begitu
rendah. Tambah lama menjadi hitam. Kental. Berlagak mau
menyelimuti segala. Sampai payah bernapas. Ronggur tidak
dapat tidur walau tubuh cukup capek dan payah. Semalaman
matanya terus terbuka.
Pada satu saat angin bertiup dari arah depan. Butiran air
halus memerciki tubuh mereka, dipikirnya hujan turun. Suara
gemuruh, desis air sungai yang bertemperasan ke dinding
sungai, lagu tunggal yang abadi, tapi menakutkan.
Melumpuhkan perasaan yang ada dalam diri. Lagu kematian
yang hendak mengantarkan para arwah ke tempat abadi,
dunia jauh lagi as ing.
"Apakah hujan?" tanya Tio.
"Aku tidak tahu. Tapi, kita sudah basah. Air begitu tipis.
Tidak pernah hujan begini tipis."
Kembali mereka diam. Akhirnya dapat diketahui Ronggur,
Tio jatuh tertidur sambil menggulungkan atau melipatkan
kakinya dekat ke dadanya, melingkar.
Ronggur terus membuka mata. Berusaha mengikuti
perobahan alam kalau memang perobahan itu ada. Lama-lama
hitam pekat itu beralih pula. Seperti ada utasan cahaya putih,
tapi begitu lemah. Sekitar, sekira empat lima depa, dapat
kembali ditatap. Tapi, sampai di situ saja. Lagi-lagi Tio
mengaju tanya, "Apakah sudah pagi?"
"Aku tidak tahu, Tio. Tapi, kepekatan yang menghitam itu
sudah kembali agak memutih. Namun mata hanya dapat
menembus sekira empat lima depa saja."
"Barangkali kita sudah terjebak," kata Tio pula.
"janganlah berkata begitu. Tapi, tetaplah waspada,"
katanya menasihati walau diri sendiri bimbang. Ada juga
dirasakannya kebenaran yang diucapkan Tio itu.
"Ke mana lagi kita harus pergi?" tanya Tio pula.
"Tabahlah," sahut Ronggur. "Sekalipun kita harus kembali
ke tempat asal, ke tempat Mula jadi Na Bolon, tapi marilah
dengan tabah mendekatinya."
Tio terdiam. Sedang Ronggur setelah dicekam habis-
habisan oleh perasaan takut, akhirnya muncul kembali, secara
berangsur, kepercayaan akan diri sendiri. Kemurnian cita yang
digenggam kembali memberi suluh pada keyakinan. Bilapun
Mula Jadi Na Bolon murka, tapi dengan alasan kenapa dia
harus mengarungi Sungai Titian Dewata, tentu dapat
melembutkan hati Mula Jadi Na Bolon yang pengasih
penyayang itu, pikir Ronggur.
"Kalau kita surut, tentu tidak bisa melawan arus yang
menggila," kata Tio pula.
"Ya, aku tahu," sahut Ronggur, "kita tidak bisa lagi
menempuh jalan sungai."
"Kita terjebak di s ini."
"Tidak terjebak. Tapi, kita telah melaksanakan tugas
kehidupan. Marilah tabah menerima upahnya, ganjarannya,"
bujuk Ronggur.
Tio terdiam. Beberapa saat kembali hening. Ronggur
mencampak pandang ke sebelah kiri, mencari tangga yang
dibuatnya semalam. Kembali dia teringat pada s i belang, pada
perahu, pada peralatan yang masih tinggal di sana. Lalu
diputuskan, dia harus menjemput si belang dan peralatan
serta perahu itu kembali.
Kalaupun ajal tiba, dia mau menghembuskan napas dengan
tenang di perut perahu itu. Perahu itu seperti rumah dan
tempatnya terakhir. Dengan perahu itu dia akan mendatangi
tempat Mula Jadi Na Bolon. Semua peralatan itu akan menjadi
saksi di depan Mula Jadi Na Bolon, tentang tujuan citanya.
Dia mulai menuruni anak tangga yang dibuatnya semalam.
Tio memegang ujung tali di atas. Bila perintah datang, melalui
goyangan tali yang digoncang Ronggur, Tio mengulurkan tali
lebih panjang. Sesampai di bawah, Ronggur mengikat
peralatan kecil. Dengan berteriak sekuatnya, sekerasnya,
disuruhnya agar Tio menarik.
Tio menarik. Kemudian menjatuhkan tali lagi ke bawah.
Ronggur mengikat perahu baik-baik. Mengisi air pada bambu
tempat air yang dilobangi ruasnya, tapi ruas sebelah bawah
tidak dilobangi. Air bisa tersimpan baik di sana. Kemudian
dituntunnya si belang. Kembali dia mendekat ke atas. Meraba-
raba. Terkadang harus digendongnya si belang. Si belang
seperti tahu marabahaya yang sedang mereka hadapi. Dia
menuruti segala petunjuk Ronggur dengan baik.
Setiba dipuncak, bersama dengan Tio, ditarik mereka
perahu ke atas. Perlahan-lahan agar tidak terbanting ke tebing
bukit batu, yang bisa membuat perahu pecah. Mereka
masukkan semua barang bawaan ke perut perahu. Tapi,
kampak terus digenggam, sedang di pinggang menyelip
panggada. Dia tambah yakin lagi pada diri sendiri. Perjalanan
itu tidak boleh surut dan tidak boleh henti. Harus terus maju.
Sampai tiba ke tempat yang menentukan.
Diputuskan akan terus mengikuti jaluran batu yang tidak
berapa luas itu ke depan. Ronggur di depan. Tio di belakang.
Mereka pikul perahu, jalan sempit terkadang, luas terkadang.
Keadaan masih tetap sama. Hanya beberapa depa dapat
ditembus pandang. Kabut tebal atau awan rendah
menyungkup segala dengan putihnya yang padu.
Tambah maju ke depan, suara gemuruh itu bertambah
jelas. Dan, alas yang mereka pijak seperti mempunyai getaran
kecil. Digoncang sesuatg tenaga yang maha kuat dan dahsyat.
Membuat hati kembali tertekan. Namun dengan tabah serta
keberanian yang bangkit perlahan-lahan, Ronggur terus
memelopori perjalanan rombongan yang kecil itu. Menuju
tempat yang menentukan, mimpinya benar atau memang
mimpi itu godaan setan jahat. Si belang mengikuti langkah
Ronggur, dekat sekali di belakangnya. Si belang tidak berani
mendahului ke depan. Tidak menggonggong. Hanya
melengking kecil.
Cahaya putih yang lemah itu menjadi tambah lemah lagi.
Keadaan sekitar kembali menghitam. Ruang hampa. Kembali
mereka mencari tempat istirahat. Air tipis halus itu, sudah
terus-terusan menghambur dari asalnya yang tidak tahu di
mana.
Ronggur mengosongkan peralatan mereka dari perut
perahu. Kemudian, perahu dibalikkan. Disuruhnya Tio dan si
belang berondok ke sana, agar tidak terus-menerus diperciki
air tipis. Dia sendiri tetap di luar. Tidak hentinya melihat
sekitar, walau yang dapat ditembus pandang hanya beberapa
depa saja.
Dingin mencekam. Ronggur tidak tahu, Tio menggigil juga
dalam sungkupan perahu, kedinginan. Wajah dan bibirnya
menjadi pucat. Tapi, Tio tidak mau mengatakan. Tidak ada
sumber panas yang bisa menyamankan sedikit.
Kembali warna putih yang lemah itu mendatang dari segala
arah. Tapi, begitu lemah. Kembali mereka melanjutkan
perjalanan, mengikuti jaluran setapak itu. Keadaan cuaca
masih tetap seperti semula. Terkadang jaluran itu mendaki,
tapi terkadang menurun, untuk mendatar lagi. Jalanan
bergelombang. Terkadang melurus, tapi tidak jarang
memenggok ke kiri dan ke kanan.
Mereka mengikutinya dengan tabah. Tapi, harus lebih hati-
hati, jalanan bertambah licin. Air tipis tambah tetap
berhamburan dari sumbernya. Suara gemuruh di depan yang
membosankan itu, tetap mengguruh. Si belang tidak berani
lagi berjalan sendiri. Dia harus dimasukkan ke perut perahu,
didukung. Beban bertambah berat. Di saat tubuh mulai
melesu. Di saat kepercayaan terakhir mulai merenggang dari
tubuh T io.
Sambil mengisak, Tio meminta, agar mereka menghentikan
perjalanan. Dia mendudukkan diri begitu saja. Tempat itu
agak luas sedikit. Sehingga mereka bisa agak leluasa sedikit
bergerak. Namun harus tetap hati-hati. Karena basah, licin.
"Ada apa Tio?" tanya Ronggur sambil mendekat. Tio
menundukkan kepala. Mengisak terus. Wajahnya memucat.
Bibirnya gemetar. Dingin. Sambil duduk di depan Tio, Ronggur
mencari dagunya. Diangkatnya perlahan dengan telapak
tangan yang menggetar juga karena basah. Ditatapnya wajah,
bibir, dan mata Tio yang memucat sayu
"Kau capek Tio?" Belum ada sahutan.
"Katakanlah."
"Katakanlah."
Tapi, begitu bening dan terasa agung. Ronggur tidak dapat
memancarkan sinar merah lagi di matanya.
"Marilah menanti hari esok di s ini, bila hari esok masih ada.
Marilah menanti apa saja di sini, apa saja," Tio lalu
menundukkan kepala. Melepaskan dagunya dari telapak
tangan Ronggur. Air berhamburan terus, membasahi tubuh
mereka. Tio mulai menggigil. Si belang juga. Terus
membulatkan tubuh dalam perahu, tidak berani turun.
"Katakanlah, apa yang harus kita kerjakan lagi Tio," kata
Ronggur melemah. "Aku telah membawamu ke tempat yang
hampa ini. Apakah kita harus pulang ke kampung halaman,
yang telah melemparkan aku, yang tidak menerima aku lagi
menjadi warganya? Nasib telah tertentu di sana, nasib yang
malang menanti diri. Katakanlah Tio, aku akan mengikutinya.”
"Marilah berhenti di sini," sahut Tio akhirnya. "Kupikir tidak
ada lagi gunanya kita meneruskan perjalanan ini. Marilah
pasrah di s ini. Berserah dengan hati bulat ke tangan Mula Jadi
Na Bolon. Bawalah daku padanya sebagai sembahanmu, agar
Mula Jadi Na Bolon tidak marah padamu." Suaranya begitu
lemah.
Tio menjatuhkan diri ke ujung kaki Ronggur. Sambil
mengisak dia mengatakan, "Janganlah kembali ke sana. Walau
apa yang telah kita temui. Marilah berpasrah diri di depan
Mula Jadi Na Bolon. Barangkali, ya barangkali, aku yang
membawa kenahasan ini padamu. Maafkanlah aku, Ronggur."
Perlahan, kembali Ronggur mengangkat dagu Tio.
Mendudukkannya. Ditatapnya lama biji mata yang sayu itu.
Jari jemarinya meraba pergelangan Tio. Lalu dengan hentakan
kasar, direnggutkannya gelang yang dipakai Tio, pertanda dia
seorang budak belian. Gelang itu dicampakkan Ronggur
sekuat tenaga. Jauh-jauh. Tio sudah merdeka kembali.
Berhadapan dengan kenyataan ini hatinya jadi bersorak
gembira. Air mata yang menggenangi pelupuk matanya tidak
bersumber dari kepiluan dan ketakutan lagi. Tapi, bermula
dari perasaan gembira.
"Kau merdekakan aku, Ronggur? Sungguh?"
"Ya, seperti kau lihat. Tidak ada sembahan kubawa ke
hadapan Mula jadi Na Bolon, selain diri sendiri."
Tio terdiam. Lalu dilanjutkan Ronggur, "Kalaupun kita mati,
mati bersama, sebagai orang yang sama hak, sama-sama
orang merdeka."
Arwah nenek moyang Tio akan menerima arwahnya di
tempat yang baik. Matinya, mati seorang manusia yang
merdeka, terhormat. Dia tambah mendekatkan bibirnya ke
bibir Ronggur. Sesuatu benda hangat tapi lembut menyentuh
bibirnya, melengket di sana beberapa saat. Lupa kepahitan,
lupa siksaan, lupa hal yang menghadang di depan. Terayun
dan dibuai sebuah lagu yang selama ini terpendam di
dasarnya. Sekarang berlomba bermunculan, membuai mereka
berdua.
"Ronggur," kata Tio dengan tegas, "marilah melanjutkan
perjalanan. Kita tidak boleh pulang. Kita harus maju. Sampai
tahu kepastian yang akan kita temui."
Ronggur tersenyum. Lalu, "Kita harus istirahat dulu di sini.
Sudah terlalu kelam untuk melanjutkan perjalanan. Lagi pula
kita telah menemui yang kita cari di sini. Boleh jadi, di sini
akhirnya."
"Tidak, tidak ada akhir," kata Tio tegas, "semuanya,
permulaan yang tidak punya akhir. Hanya permulaan."
Ronggur tersenyum. Tio tersenyum. Telapak tangan Tio
masih terus mengelus rambut Ronggur yang basah, dari
mulutnya keluar kata, "Aku cinta padamu . . .."
"Tio," bisik Ronggur, "maukah kau, bila kita mati, aku akan
mengatakan pada Mula Jadi Na Bolon bahwa arwahmu
bukanlah sembahanku. Tapi, istriku. Istri yang paling setia.
Yang tabah bersama suami mengarungi kehidupan, karena
ada cita tergenggam di tangan dan di hati. Berani mengarungi
segala kemungkinan, karena mau turut mempertaruhkan
keyakinan suaminya."
Tio menangkap leher Ronggur, lalu menciumi bibir Ronggur
lagi dengan bertubi-tubi.
"Marilah bersujud ke hadapan Mula Jadi Na Bolon.
Memohon ampun atas keangkuhanku, yang telah
membawamu ke tempat ini. Ke tempat para dewata
bersemayam." Tio memperbaiki duduknya. Ronggur
memimpin doa:
Mula Jadi Na Bolon
Asal mula dari segala kehidupan
Padanya kembali karena dia yang punya
Terimalah kedatangan kami
Hambamu
Karena keangkuhan yang berbenah dalam diri
Kami telah tiba di s ini Melanggar peraturanmu!

Ronggur menggenggam tangan Tio, lalu dilanjutkan:

Karena darimu mula cinta


Napasmu sangkala cinta
Satukanlah aku dan Tio
Suami isteri yang dihidupi api cinta
Tebarkanlah api cinta
Tiuplah api cinta
Membakar dada kami
Dari saat ke saat tanpa akhir!

Kembali mereka berdua berdekapan, seperti tidak mau


dipisah lagi, baik ruang, baik waktu. Dan, air tipis itu, terus-
terusan berhamburan. Sekitar menjadi kelam kembali.
Bersama mereka menyuruk ke perut perahu yang dibalikkan.
Karena cinta telah punya laut dan pelabuhan, batas ruang
dan waktu tidak berarti lagi. Si belang keluar dari sungkupan
perahu. Berjaga di luar perahu.
ccdw-kzaa

6
Ronggur terbangun. Menggigil kedinginan, walau dia dan
Tio berpelukan di bawah telungkupan perahu. Perlahan
diungkapnya pinggir perahu, lalu dijulurkannya kepala melalui
celah, yang sudah ditopang oleh batu yang diganjalkan.
Dia telah mengenal kabut pegunungan dan danau sejak
kecil. Tapi, kabut yang begini rupa tebalnya dan lamanya
belum pernah ditemui sebelum itu. Atau, awan rendah belum
pernah melingkupi tanah serendah itu. Langit seperti di atas
kepala saja dan dapat dijangkau tangan. Tapi, bila tangan
digapaikan ke atas, yang ada hanyalah kehampaan yang tidak
bertepi.
Perlahan me lepaskan pelukan Tio. Waktu itulah Tio
bangun. Bermalas-malas. Kembali tangannya dilingkarkan di
leher Ronggur, lalu seperti! anak kecil, dia menciumi pundak
Ronggur. Dari mulutnya perlahan berbisik, "Kenapa kau buru-
buru bangun? Apalagi yang mengejarmu? Bukankah sudah
semua kita lalui dan sekarang kita hanya tinggal menantikan
yang akan terjadi, permulaan dari segalanya?"
Ucapan manja bercampur kekanakan, membangkitkan iba
Ronggur. Tapi, dengan tegas dia menyahut, "Semalam atau ya
saat lalu, kita sudah berpendapat bahwa kita tidak akan
melihat dan mengecap saat lain lagi. Kita sudah beranggapan
bahwa tidak ada lagi hari, tapi sampai kini masih hidup dan
mengenal hari."
"Apa sudah pagi?" tanya Tio.
"Aku tidak tahu. Tapi, katakanlah dulu sudah pagi. Hingga
waktu lewat, hari lalu, dan waktu kini, hari yang kita nantikan
kemaren. Hari yang kita harapkan membawa perobahan pada
nasib yang mendatangi diri. Atau, perobahan pada yang
hendak kita temui. Lihatlah sekitar. Masih disungkup kabut
atau awan rendah yang masih tebal. Cahaya putih yang lemah
sudah ada lagi, hanya masih begitu lemah. Masih seperti saat
lalu."
"Wajahmu capek kelihatan," kata Tio.
"Tidak mengapa. Dibaliknya terkandung kegembiraan dan
harapan selalu."
"Kita masih mengharapkan?"
"Selalu. Harapan, satu-satunya api yang dapat membakar
semangat hidup. Tapi, janganlah pergunakan harapan untuk
harapan saja. Harapan harus dapat melahirkan sesuatu yang
berwujud dalam kenyataan kerja."
"Cakapmu tidak dapat kuartikan," kata Tio. Tapi, Tio
tersenyum. Merapatkan kepalanya ke pundak Ronggur.
Mereka mencuci muka dengan melapkan tangan saja
karena wajah mereka tetap basah. Dengan mengulurkan lidah,
beberapa titik air dapat ditelan sebagai sarapan pagi.
Ronggur berusaha menatap sekitar, namun pandangnya
masih tetap disungkup diputihan. Perlahan dirasakannya angin
bangkit. Di arah darimana bermula angin itu. Tio terus
merapatkan tubuhnya ke tubuh Ronggur, karena dia tetap
kedinginan yang tambah lama tambah bermaksud
membekukan diri. Panas tubuh mereka berdua yang merapat,
bisa sebagai bedeng, bisa menimbulkan panas.
"Lihat," kata Ronggur kemudian, "apa kau pikir itu?"
"Apa maksudmu?" tanya Tio.
"Lihat. Tidak kau lihat? Lihat ke bawah sana. Lurus ke
depan."
Tampak oleh mereka berdua sebuah benda putih yang kecil
tapi bundar, putih dan lebih putih dari semua, bergerak
dengan lamban seperti bermalas-malas. Namun tetap naik
atau berusaha naik ke atas, mengatasi segalanya. Begitu putih
hingga memijarkan sinar, tapi sinar lemah. Sinar yang
dipancarkannya sedang mengadakan perlawanan atau
berusaha menghancurkan kabut putih atau awan rendah itu.
Untuk menyingkirkannya. Agar bisa dapat dilihat mata apa
sebenarnya yang ada di sana, seperti itulah gayanya. Deru
yang terus menderu di depan memberi gendang layaknya.
Tidak mati-mati. Biar sesaat pun. Kuping benda bundar putih
tidak memperdulikannya.
Benda putih bundar itu merangkak perlahan, mendaki ke
ketinggian. Mata mereka terus mengikuti gerak ma las dari
benda putih yang bundar itu. Hati mereka menjadi tambah
menduga. Mereka belum pernah melihat tamasya alam begitu
rupa. Sesuatu benda putih yang bundar mengadakan
perlawanan terhadap sesuatu yang melingkupi segala dengan
warna putih, tapi tidak berwujud. Bundarnya, hampir
menyerupai bundar matahari yang mereka kenal, sewaktu
ditutupi awan di langit. Tapi, mereka tahu, matahari tetap
berada di atas.
Mereka tidak pernah memikirkan bahwa pada satu saat dan
tempat yang berobah, rnatahari bisa dilihat seperti berada di
bawah. Namun mata mereka terus mengikuti gerak lamban
dan malas dari benda putih yang semakin tinggi itu. Mulut
mereka ternganga. Bila butiran air tambah menebal melengket
di wajah, di rambut hingga menyusahkan mata untuk
menatap, sekali hapus saja akan hilang tapi cepat melengket
di sana butir air yang lain. Mulanya tipis. Lama kelamaan
menjadi tebal. Dan, bila sudah menebal, dihapus dengan
telapak tangan.
Tidak disadari mereka, entah berapa lama mereka
tenggelam dalam keadaan begitu. Tidak disadari mereka,
kenapa pandang mereka terpaut mengikuti gerak perlahan
yang menanjak itu. Mereka belum dapat menduga, warta yang
akan timbul darinya. Mereka memang tidak tahu lagi, apalagi
yang harus mereka hadapi. Hati berdenyut juga walau sudah
punya tekad, bersedia menerima segala tiba.
Detak hati yang menandakan diri anak manusia biasa. Dari
tubuh Ronggur sendiri, segala perasaan mencurah keluar,
mengikuti perjalanan benda bundar yang lemah itu. Dalam
saat begitu rupa, dia memerlukan kelembutan yang bermula
dari tubuh Tio. Dia tambah mengeratkan pelukannya ke
pinggang Tio. Kalau mati, marilah mati berpelukan, kata
hatinya ke diri sendiri. Dia tidak mau mengatakannya pada
Tio, takut kalau Tio menjadi takut, dan merasa ngeri. Tio
mendekatkan pipinya ke pipi Ronggur. Mata mereka terus
mengikuti gerak perlahan yang terus menanjak di depan
bermalas-malas, dengan tidak mau tahu pada mereka berdua
yang mengikuti geraknya terus menerus.
Perlahan sekali sehingga tidak terasa, sungkupan awan
rendah bercampur kabut tambah menipis juga dari sekitar.
Perobahan yang tidak tersadari. Mulut jurang sungai tambah
berbentuk. Begitu pula mulut jurang di sebelah kanan. Si
belang turut duduk dekat mereka, tidak bergerak. Melihat ke
arah yang mereka tatap. Lidahnya dijulurkan. Seperti menanti
sesuatu yang menentukan akan tiba.
Tebing jurang tambah menghitam, namun dasarnya belum
tampak atau memang tidak punya dasar. Apakah benda putih
itu akan menyuluh jurang yang tidak berdasar? Pandang
sudah bisa mereka campakkan barang sepuluh depa ke
depan, ke samping dan ke sekitar. Tambah jauh jarak yang
dapat ditangkap pandang.
Bila cuaca bertambah terang, si belang mulai sering
melangkah ke depan dan ke belakang, seperti melemaskan
otot. Tapi, cepat Tio memanggil kembali, takut kalau si belang
terjerumus ke mulut jurang yang belum tampak dasarnya.
Benda bundar yang putih itu bertambah tinggi juga.
Bertambah garang cahaya yang memancar darinya. Mereka
ikuti terus dengan tabah. Jarak yang dapat ditangkap pandang
bertambah jauh dan luas. Jauh ke belakang dapat dilihat
Ronggur, di sana tebing tidak berapa curam. Bisa dituruni, bila
hendak turun ke lembah di seberang kanan. Tapi, dasarnya
belum tampak sama sekali. Tapi, suatu harapan telah
menggeliat dalam hatinya. Tebing yang tidak berapa curam itu
menurut perhitungannya, bisa dituruni secara perlahan. Tidak
berapa sulit malah.
"Ronggur," pekik Tio meninggi sambil mempererat
pelukannya ke pinggang Ronggur, "itu matahari! Itu matahari!
Mula hidup! Itu matahari!"
Cepat Ronggur berpaling. Terbelalak mata mereka melihat
sinar yang tambah terang. Sungkupan kabut dan awan rendah
tambah menipis dan terangkat.
"Dan, - dan —" dengan gugup, gugup sekali, karena tidak
menduga walau itu yang dicari dan diharapkan, karena
dengan itu mereka telah dibebaskan dari kungkungan yang
mencekam dan mengancam. Karena dengan itu, mereka telah
menemui, jauh di bawah, melalui tingkatan pundak bukit,
terhempang kehijauan yang sangat luas. Kehijauan yang
maha lebat lagi datar.
Dapat ditangkap dengan pandang sekarang, itu dedaunan
dari pucuk pepohonan yang tinggi. Pucuk dedaunan itu seperti
berombak ditiup angin lalu, angin pagi. Angin pegunungan.
Sejauh mata memandang, yang dapat dilihat kehijauan yang
merata, lebat berimbun.
"Ronggur, itulah tanahmu. Ronggur, itulah tanah
habungkasanmu. Ronggur, itulah yang ditunjukkan mimpi dan
perkataan gaib dalam mimpimu. Dia telah membawamu ke
tanah habungkasan yang maha luas."
Ronggur gugup. Tidak dapat menyahut dengan segera.
Matanya menitikkan air bening. Semangatnya kembali hidup
secara perlahan. Api dalam dirinya kembali menyala atau bara
yang untuk beberapa saat tertimbun oleh debu, sekarang
debu itu telah menyisih sehingga merahnya bara kembali
rrienjilamkan panas menyala, membuat suhu tubuhnya
menjadi naik. Dapat dirasakan Tio. Lalu dia mengatakan
perlahan:
"Tio, tidak tanah itu saja yang ditunjukkan mimpi padaku.
Tidak tanah habungkasan itu saja."
"Apa lagi?" tanya Tio terbodoh.
Lama Ronggur menumpa pandang ke biji matanya, lalu,
"Juga kau. Kau, sayang!"
Pandang lama bertemu, lalu Ronggur melingkarkan
tangannya ke tubuh Tio dengan ketat, yang sekarang, sudah
bisa pula melemas.
"Tio, marilah mengucapkan sukur pada Mula Jadi Na Bolon,
yang telah mengirim matahari untuk kita, yang membuat kita
dapat melihat tanah habungkasan yang dijanjikannya dan
membuat aku dapat dengan jelas melihat wajahmu,
menanamkan pandang ke dasar bening matamu."
Mereka bersujud ke arah matahari. Perlahan, Ronggur
menegakkan Tio dari sujudnya. Setelah memberi kecupan
pada bibirnya, dia mengatakan pula, "Itu bukan tanahku,
Istriku. Tapi, juga tanahmu. Tanah kita berdua. Tanah anak
kita. T anah keturunan kita, yang pasti banyak dan akan terus
berkembang. Tapi, juga tanah orang lain, yang mau bungkas
ke sana."
Beberapa saat keduanya terdiam. Tapi, kata Ronggur
kemudian, "Perjalanan kita masih jauh. Kita harus menyelidiki
keadaan tanah di sana. Apakah baik dijadikan tanah
persawahan. Apakah hutannya banyak menyimpan binatang
buruan. Tapi, sebelum itu, sebelum kita memulai perjalanan
ke sana, izinkanlah aku mengatakan sesuatu kata yang telah
lama terpendam di hati, "aku cinta padamu Tio."
Tio menggigit bibir. Matanya menitikkan air bening. Sambil
tersedu karena terharu, dia menelungkupkan kepala ke dada
Ronggur yang bidang. Ronggur membiarkannya begitu
beberapa saat. Tidak mengganggu. T angannya terus menerus
mengelus rambut Tio yang panjang lagi lembut dan lemas,
tapi basah.
"Kita akan terus mengikuti aliran sungai menuju tanah
landai," kata Ronggur kemudian, "lihat terus ke sebelah timur
sana, sesuatu garis putih yang membelah kehijauan, ialah
terusan Sungai T itian Dewata."
Tio mengikuti arah yang dimaksudkan Ronggur. Melalui
dinding batu yang tidak berapa curam, mereka dapat melihat
gundukan perbukitan di sebelah kanan.
"Itulah jalan yang baik ditempuh," kata Ronggur.
Lalu dia mengikat pinggangnya dengan tali. Dia turun
sendirian ke gundukan tanah pertama. Membuat anak tangga.
Jalan ke gundukan pertama, agak curam. Tapi, dari sana, dia
ketahui, menurun ke gundukan kedua, lebih landai. Begitu
seterusnya, sampai tiba ke tanah datar di bawah. Kembali dia
memanjat. Lalu menyuruh Tio turun, sedang ia memegang
ujung tali, ujung yang lain diikatkan ke pinggang Tio.
Kemudian diturunkannya satu-satu peralatan, Tio menerima di
bawah, sampai akhirnya perahu sendiri. Kemudian dia sendiri
turun sambil menuntun si belang.
Mereka sudah sama berada di gundukan pertama, yang
mempunyai tanah, tapi masih begitu tipis, tanah melapisi
batu. Untuk pertama kali kembali mereka lengkap bersama
alatnya, termasuk si belang, memijak tanah, setelah beberapa
hari terendam di air, kemudian terdampar ke batu padas,
dibasahi titikan air yang terus menghujani mereka. Serpihan
air tipis yang menghujani itu tidak sampai lagi ke sana. Sudah
bisa mereka berjemur di sana, mengeringkan tubuh dan
memanaskan tubuh. Si belang menggoncangkan tubuh,
mengibaskan ekor biar cepat kering. Mereka tentukan untuk
bermalam di sana. Hari sudah sore.
Rumput kering, dijalin begitu rupa, hingga agak besar. Lalu
dibakar menghidupkan api. Betapa nikmatnya panas jilam api,
setelah beberapa lama tidak merasainya.
Malam itu keinginan Ronggur untuk meniup seruling
memuncak. Lagu yang mesra ditiupnya perlahan. Gemuruh air
dibalik bedeng terus kedengaran, sekarang seperti melengkapi
irama seruling yang ditiup Ronggur. Tidak menakutkan dan
mengancam lagi. Malah seperti menjadi pertanda. Agar
seseorang yang menyusuri sungai jangan meneruskan
penyusuran lagi, tapi agar memulai menempuh jalan darat.
Kemudian Tio mengiringi tiupan seruling itu dengan nyanyi:

Bila bulan di awan purnama


Di tepi danau aku menanti
Wajahmu menghias tanda masa
Mengajak daku ke dunia mimpi

Ronggur berhenti meniup seruling, dia melanjutkan


nyanyian itu:

Pohon aren di belah dua


Tempat berayun monyet berdua
Janji telah memadu
Pinang sebelah dibagi dua

Lalu berdua mereka melanjutkan:

Terbang engkau elang


Hinggap di kayu rindang
Ke mana engkau sayang
Kasihku tetap mendendang

Kemudian hanya T io melanjutkan sedang Ronggur kembali


meniup seruling:

Kalaulah benar warta impian


Ditimang beta dengan sayang
Sinar purnama empuk menayang
Haribaanmu lagu impian

Tio meletakkan kepala ke pangkuan Ronggur. Memejamkan


mata dengan manja. Api unggun yang kecil itu terus menari
dan menari. Si belang duduk menjauh, memaling pandang.
Malam terus melanjut.
Pagi terbit lagi. Pemandangan seperti pagi kemaren. Bola
putih itu pada mulanya lemah sinarnya dan berada seperti di
bawah mereka. Kemudian secara berangsur perlahan,
keadaan sekitar bertambah terang.
Sehabis sarapan pagi mereka melanjutkan perjalanan.
Seperti taktik kemaren juga. Begitulah secara perlahan dan
hati-hati, akhirnya sampai juga mereka ke tanah landai di
bawah. Di atas kepala, memayung dedaunan hijau, sedang
kemaren dedaunan itu masih berada di bawah mereka,
perobahan tempat mengadakan perbedaan.
Sinar matahari hanya dari celah dedaunan saja sampai ke
tanah. Tanah cukup lembab dan basah. Dilapisi dedaunan
yang gugur sudah membusuk. Membentuk lapisan tanah yang
lembut dan berair. Kaki mereka terbenam sampai ke lutut
terkadang. Membuat mereka agak susah bergerak. Tapi, di
sana bisa mereka tarik perahu bersama peralatan lain, tanpa
takut dasar perahu bolong.
Mereka meneruskan perjalanan yang agak melingkar,
karena suara gemuruh bertambah hebat dan terasa
menggoncangkan. Berpedoman pada ingatan pemandangan
kemaren sore di mana terusan sungai berada, agar kembali
tiba ke sungai. Si belang berlari ke sana ke mari dan
menggonggong. Kekayuan yang tinggi dan besar batangnya
seperti tiang abadi yang bergaya mendukung langit, agar tidak
runtuh lalu menimpa bumi serta penghuninya. Getaran bumi
tambah terasa. Tergoncang.
Di satu tempat di arah depan, sinar matahari lebih leluasa
tiba ke tanah. Ke sana mereka menuju, walau suara gemuruh
tambah jelas dan memekakkan telinga. Dan, betapa ternganga
mulut mereka melihat benda itu. Sesuatu benda putih
mengapas putih melambung ke atas. Kemudian jatuh ke
bawah bergulung-gulung, itulah air terjun yang tidak hentinya
menerjunkan diri. Membuat dedaunan sekitarnya
bergoyangan, membentuk telaga yang agak luas pada tempat
jatuhnya, tapi airnya berputar dengan cepat. Di sana-sini
terbentuk curup di lingkungan yang gelisah itu yang bisa
menenggelamkan apa saja yang jatuh ke tengah curup itu.
Tio merapatkan tubuhnya pada Ronggur. Tapi, mata terus
ditancapkan pada benda jatuh itu. Kala di bawah arusnya
melingkar dan membikin kepala pusing bila lama-lama
menatapnya, la mengalir dengan besarnya ke arah timur.
Itulah kelanjutan sungai.
Mereka menyisih cepat dari sana. Merasa takut kalau batu
yang membentuk jaluran kejatuhan air itu akan runtuh lalu
menimpa mereka. Jalanan terus menurun.
Seperti menuruni pundak perbukitan, tapi sudah ditumbuhi
kekayuan yang tua. Di sana-sini dedaunan gugur membentuk
lapisan tanah yang lembut.
Di arah depan kembali kedengaran suara gemuruh, tapi
tidak sekuat yang tadi lagi. Arus sungai kembali menggila,
membuat mereka tidak langsung berkayuh melalui sungai.
Tapi, tetap mengikut pinggiran sungai. Kembali mereka temui
air terjun, jarak jatuhnya lebih pendek dan lebih landai dari
yang pertama. Sehingga busa air tidak terlalu hebat sewaktu
jatuh.
Dengan memilih jalan agak melingkar mereka menurun
terus ke bawah. Sampai akhirnya berada di tempat jatuhnya
air kedua. Mereka menatap ke atas, benda putih mengkabut
bermula dari air jatuh pertama. Terus mereka menghilir
mengikuti tepian sungai. Sampai akhirnya arus sungai tidak
beriam lagi. Menurut perhitungan Ronggur sudah dapat
memulai pelajaran dari sana. Tapi, karena hari sudah agak
sore, mereka memutuskan untuk bermalam di sana.
Si belang melompat ke depan. Masuk semak. Biarpun Tio
memanggilnya. Beberapa saat kemudian, si belang keluar dari
semak mengejar seekor kijang, la meloncat ke depan. Dan,
tercengang melihat Tio dan Ronggur. Ronggur tidak
melewatkan kesempatan baik itu. Dengan tombaknya cepat
dia membunuh kijang yang tercengang itu. Kijang terguling ke
tanah, ujung tombak tertancap di dadanya.
Sambil menguliti, Ronggur mengatakan, "Kalau begitu, di
sini banyak binatang buruan. Kita tidak menguatirkan mati
kelaparan. Lagi masih begitu jinak binatang itu. Tidak punya
prasangka pada manusia yang memburunya "
"Lihat," kata Tio pula. "Itu pohon aren. Umbinya bisa kita
jadikan bahan makanan. Pengganti beras. Bila beras habis."
Tambah tahulah mereka tanah yang mereka temui itu,
mempunyai tumbuhan yang bersamaan dengan tumbuhan
yang ada di bidang tanah yang mereka tinggalkan.
Binatangnya juga begitu. Mereka tebang beberapa pohon
aren. Mereka ambil umbinya. Lalu mereka jemur, dan tumbuk
lalu direndam lagi kemudian ditapis untuk mengambil
tepungnya. Untuk beberapa hari mereka tinggal di situ.
Walaupun sudah menghilir arus sungai masih kencang.
Sungai terus menerus membelah hutan belantara. Terkadang
sungai seperti ditutupi dedaunan hijau yang merimbun di
atasnya. Sehingga sinar matahari tidak sampai ke permukaan
sungai.
Dan, mereka harus lebih hati-hati menjaga kemudi. Tidak
bisa berdiri dengan leluasa. Dedahanan terlalu rendah
terkadang. Beberapa buah batu jangkar masih dijatuhkan,
menjaga keseimbangan kelajuan perahu. Tio lebih banyak
memperhatikan sekitar, karena dia belum perlu mengkayuh.
Tapi, biarpun begitu perasaan Ronggur begitu pasti bahwa
mereka akan tiba ke tanah yang lebih landai dan lebih baik.
Dengan melampaui riak air yang terkadang menghempas
ke batu yang muncul di sana-sini, melalui riam yang liar di
tikungan sungai yang patah. Tapi, sekitar mereka sekarang
berwarna hijau dan tanah mengambangkan bau kesuburan.
Dari celah renggangan dedaunan, sinar matahari terus
memberi suluh abadi. Bila cahaya itu melemah, tahulah
mereka, hari sudah mengarah sore. Cepat mereka
meminggirkan perahu. Memilih dahan kayu yang baik untuk
tempat bermalam. Mereka tidak menguatirkan kehabisan
bahan bakar. Di sana-sini berletakan ranting kering,
bergeletakan dahan kering yang patah dari batangnya. Untuk
digantikan dahan lain mendukung dedaunan yang lebih hijau,
segar lagi lebat.
Kemana saja mata diarahkan, tetap tertumpu pada pohon
yang besar lagi tinggi, seperti raksasa dalam dongeng,
menjelma kepada penglihatan, ibarat penopang langit agar
tidak jatuh ke atas tanah. Ronggur dapat merasakan bahwa
batang kayu yang besar itu dapat digunakan selanjutnya
untuk kepentingan kehidupan.
Perjalanan diteruskan menuju ke timur, menghilir sungai.
Perasaan dalam dada masing-masing, seperti berlomba keluar
untuk disuarakan, meneriakkan kegembiraan. Untuk mencari
bentuk kata, kata yang paling sesuai diucapkan dengan yang
dirasakan dalam hati, yang ditiupkan musik alam ke dalam diri
atau untuk menyiutkan nada musik yang memadat dalam
rongga dada. Arus sungai tambah perlahan. Beberapa buah
batu jangkar sudah diangkat ke atas. Tapi, masih ada juga
dijatuhkan.
Ronggur selalu menghirup udara dalam-dalam. Ingin dia
menghirup habis segala kebebasan yang diberikan alam
padanya, namun dia tidak sanggup menghabiskannya. Bila
mereka menemui gua alam di tepi sungai, dan bila mereka
bermalam di sana dan biasanya lebih lama daripada bila
mereka tidur di dahan, Ronggur meniup seruling dan Tio
bernyanyi. Sedang si belang berlari kian kemari,
menggonggong dan menyalak, memelopori sebuah perburuan
bila fajar pagi tiba.
ccdw-kzaa

7
Bertambah hari, mereka menghilir sungai. Arus sungai
tambah perlahan. Batu jangkar sudah diangkat. Luas sungai
tambah lebar. Tapi, mereka belum perlu mengayuh. Arus
masih dapat menghanyutkan perahu walau dengan perlahan.
Ronggur selalu mengukur dalamnya sungai dengan tali
yang di ujungnya diikat batu sebagai pemberat. Di depannya
tali yang terbenam, itulah dalam sungai. Bila mereka bosan
dengan sungai, mereka mendarat ke tepian.
Sering Ronggur memanjat kayu yang tinggi, menatap dari
arah mana mereka datang dan menduga hendak ke mana
mereka dibawa sungai yang diikuti itu. Pundak pegunungan
bertambah jauh di belakang sudah membiru. Melalui
pengenalan akan pundak pegunungan, Ronggur dapat
menduga bahwa di balik pegunungan yang semakin menjauh
itu, di situlah kampung halamannya.
Bila mereka hendak pulang ke sana melalui jalan darat,
mereka harus menaklukkan pundak bukit itu, atau menembus
celah pegunungan yang terdapat pada pertemuan bukit yang
memanjang. Lalu menatap ke arah hilir sungai, hutan lebat
hijau di mana-mana menampung penglihatan.
Selalu dibuatnya tanda pada pohon kayu yang dipanjatnya.
Di garis batangnya melingkar. Sedang pada tepi sungai,
ditanamnya batu besar dan disambungkannya pada salah satu
bagiannya.
Pancing yang diumpankan Tio selalu mengena. Pancing
tidak perlu berlama diumpankan. Dalam waktu singkat ikan
sudah ada yang menyambar. Ikan yang cukup besar. Bila
dipanggang bara api bisa padam. Karena lemaknya.
Terkadang sampai berhari-hari mereka mengadakan
pemburuan, bila bosan dengan ikan sungai. Binatang buruan
begitu banyak dan jinak. Si belang sudah mulai gemuk.
Bulunya tebal berlinang. T api, satu hal makin mereka rasakan,
udara bertambah panas. Walau mereka berada di naungan
pepohonan rindang, udara panas itu tetap mengganggu,
membuat Ronggur tidak kerasan memakai sehelai kain atau
kulit binatang di bagian dadanya. Dibiarkannya dada
telanjang.
Setiap hari tepian sungai bertambah luas. Pepohonan tidak
lagi di tepian sungai seperti di hulu. Sudah agak menjauh.
Tanah luas yang berlumpur semakin lebar mengikuti jalur
sungai. Arus sungai tambah perlahan. Membuat mereka harus
mengayuh terkadang.
Dan, tanah berlumpur yang mengiring jaluran sungai,
tambah luas. Ronggur selalu menelitinya dengan seksama.
Digenggamnya tanah itu. Diperhatikan lunaknya. Terkadang
diciumnya dengan hidung, apakah bau lumpurnya sama
dengan bau lumpur yang ada di kampung halaman. Tapi, dari
lumut lumpur dia tahu bahwa tanah yang mereka temui itu
lebih lemak dan subur dari tanah di kampung halaman.
Sedang di hutan yang semakin menjauh dari tepian sungai
itu, mereka temui pohon yang berbuah. Buahnya lain dari
buah mangga yang mereka kenal di kampung halaman. Lebih
enak dan lezat. Membuat mereka terkadang seharian hanya
memakan buahan saja.
Hanya udara yang bertambah panas itu saja yang membuat
mereka agak merasa tidak senang. Udara seperti itu tidak
pernah mereka temui di sekitar kampung halaman, walaupun
matahari cukup terik. Ini tidak. Walau terkadang matahari
dilindungi awan, panas itu masih tetap terasa. Membuat tubuh
mereka selalu berkeringat, tapi cepat kering disapu angin lalu.
Tubuh seperti berminyak jadinya. Lengket dan tidak
mengenakkan perasaan. Membuat mereka sering terjun ke
dalam sungai, berenang, dan menyelam, agar keringat
melengket itu bisa menghilang untuk datang dan untuk
dihilangkan lagi.
Alangkah terkejutnya mereka, pada suatu hari, sewaktu
Ronggur berenang mengikuti perahu yang menghilir,
sekelompok binatang yang sedang berendam di tanah lumpur,
bergerak, lalu mengejar. Cepat Tio mengatakan, "Ronggur,
awas. Cepatlah ke perahu."
Ronggur berenang sekuat tenaga. Binatang itu memburu.
Perahu agak oleng sewaktu Ronggur menaikinya dari satu sisi.
Lalu terus mengayuh. Binatang itu terus mengejar. Jalan satu-
satunya untuk mempertahankan diri, Ronggur menyuruh Tio
terus mengayuh, sedang dia, dengan mempergunakan
kampak, tombak, memukuli setiap ada binatang datang
mendekat ke perahu, mencucuknya. Panggada juga turut
digunakan.
Satu dua ada yang mati di antara binatang itu. Terapung.
Binatang itu belum pernah mereka lihat. Begitu pandai
berenang. Mulutnya menganga lebar hendak menelan saja.
Ekornya bergerigi dan begitu keras tampak. Walaupun belum
pernah mengenalnya namun naluri mereka dapat memastikan
bahwa binatang itu binatang air yang membahayakan.
Binatang yang mati dan dihanyutkan arus mereka tangkap.
Dagingnya kurang enak dimakan. Karena itu daging binatang
itu mereka biarkan saja membusuk. Tapi, kulitnya cepat kering
dan dapat dilipat, begitu halus. Karena itu kulit binatang itu
mereka bawa. Bisa dibuat menjadi kantong tempat
menyimpan alat. Bila digantungkan di pinggang
kelembutannya selalu mengikutkan gerak-gerik pinggang.
Ronggur tetap memperhatikan dan mempelajari perobahan
bentuk tepi sungai. Air sungai tidak sebening di hulu lagi.
Sudah mulai keruh dan kotor. Tidak tahu mereka dari mana
datangnya air keruh itu. Kenapa air yang tadinya begitu
bening, bisa berobah menjadi keruh.
Pepohonan semakin jauh dari tepian sungai. Digantikan
gelagah dan daun nipah. Lumpurnya bertambah lembut dan
bertambah dalam dasarnya. Bertambah ke hilir bertambah
banyak anak sungai bersatu dengan sungai itu.
Bila mereka terus melalui tanah lumpur itu mendekat ke
tepian hutan yang semakin jauh, sebelum tiba ke tepi hutan,
lebih dulu ada tanah yang hanya ditumbuhi ilalang. Tanah
juga lembut. Gembur, bagus untuk ditanami.
"Inilah dia," kata Ronggur. "Inilah tanah yang kita cari.
Tanah landai yang sudah lama kumimpikan. Lihat, tepi hutan
tidak berapa lebat. Bisa ditebang pohonnya untuk dijadikan
persawahan."
"Apakah kita sampai di sini saja?" tanya Tio.
"Tidak," sahut Ronggur. "Kita harus meneruskan
perjalanan. Menyusuri sungai. Kita harus tahu, sampai ke
mana sungai ini. di mana muaranya. Itu sangat penting. Di
muara tanah landai akan tambah lebar lagi."
"Biasanya," kata Tio, "sungai yang ada di kampung
halaman, yang tidak sebesar sungai ini, bermula dari kaki
bukit. Untuk bermuara ke danau. Apakah sungai ini juga akan
bermuara ke danau?"
"Danau apa?" tanya Ronggur pula.
"Aku hanya bertanya."
"Kebiasaan memang begitu. Tapi, belum dapat kupastikan
mengenai sungai ini,"' jawab Ronggur.
Lalu mereka meneruskan penyusuran. Bertambah ke hilir,
di samping arus semakin perlahan, ada semacam getaran
mengganggu jalan perahu. Ada kalanya perahu tidak dapat
laju biar setapak pun ke depan. Walau mereka mengayuh
sekuat tenaga. Ada semacam tenaga menahan.
Dan, di saat itu, permukaan sungai naik. Air menjadi sangat
keruh dan asin. T anah lumpur dan tumbuhannya, gelagah dan
daun nipah menjadi tergenang. Terkadang sampai ke pucuk
digenangi air. Ronggur memperhatikan ini semua. Lalu dapat
memastikan bahwa tanah lumpur yang di tepian sungai benar,
tidak baik dijadikan persawahan. Karena sering tergenang.
Bisa membuat padi busuk. Harus lebih ke atas lagi, ke tempat
yang tidak dapat memastikan, dari mana air itu datang.
Kenapa permukaan sungai menaik. Dan, sungai menjadi
menggeliat. Berombak. Membuat mereka takut pada mulanya.
Sehingga mereka harus buru-buru mendarat ke tepi. Langsung
mencari tanah yang agak tiriggi. Di sana mereka harus
menggali tanah membuat sumur. Supaya ada air tawar.
Sambil terus memperhatikan perobahan pada permukaan air.
Dan, setelah beberapa lama, air sungai susut lagi. Di saat
begitu arus sungai mengencang ke hilir. Sehingga enak
berlayar. Tidak perlu mendayung. Arus menghanyutkan
perahu. Untuk tiba pula pada keadaan, arus mati. Kemudian
datang pula saat permukaan air sungai naik. Perahu tidak bisa
dikayuh. Malah hendak disorong ke belakang, kembali ke hulu.
Berhadapan dengan keadaan baru ini, Ronggur bertambah
was-was. Saat sungai menaik permukaannya dan saat sungai
kembali ke tarap biasa, diperhatikan dan disesuaikan
waktunya. Dicocokkan dengan waktu peredaran bulan dan
bintang. Kemudian diputuskannya untuk terus melayari
sungai. Biar permukaan sungai menaik atau menyusut. Agar
tahu dengan pasti, apa sebabnya dan apa akibatnya pada
orang yang berlayar di saat begitu.
Mereka terus berlayar. Dan, saat permukaan sungai naik
telah tiba. Mereka harus mengayuh dengan sekuat tenaga.
Gelombang sungai mulai menggeliat. Tapi, terus mereka
lawan. Berkayuh dan berkayuh. Walau tidak ada ditemui
kemajuan. Malah mereka seperti disorong ke belakang.
Mereka terus melawan. Arus sungai menyongsong dengan
kuat. Perahu seperti dihanyutkan kembali ke hulu. Walau
mereka sudah berkayuh dengan sekuat tenaga. Tapi, mereka
berdua terus berkayuh melawan air yang menyongsong itu.
Walau malam sudah bertambah jauh, mereka terus di dalam
perahu dan terus mengayuh.
Menjelang subuh, terasalah permukaan sungai kembali
menyusut. Sehingga perahu mereka begitu lajunya
dihanyutkan kembali ke hilir. Di saat begitu, mereka dapat
melepas lelah. Sambil T io berkata, "Apa lagi yang akan terjadi,
dan apa lagi yang akan ditemui pada perobahan sungai?"
"Justru, itu yang perlu kita ketahui," jawab Ronggur.
Karena begitu capek, mereka tertidur. Kantuk telah
membawa mereka ke alam tidur, di mana keadaan sekitar dan
kejadian dapat dilupakan. Perahu terus dihanyutkan arus
sungai.
Sinar matahari sudah kembali menampari wajah alam dan
wajah mereka sendiri yang tertidur di perut perahu. Si belang
berada di haluan perahu, mencerminkan mukanya ke
permukaan air. Lalu menggonggong panjang, melihat
keluasan yang terhampar di depannya. Di sekitarnya.
Karena silau dan karena gonggong si belang, mereka
terbangun. Pada penciuman terasa keluasan dan kebebasan
udara. Tidak terkungkung sedikit pun. Alangkah terbelalaknya
mata Ronggur sewaktu di hadapannya, di sekitarnya, air yang
maha luas mengitari mereka, perahunya terapung dan
mengangguk-angguk diperma inkan riak. Pada sisi kanan, kiri
dan di hadapan, air itu bertemu dengan kaki langit demi kaki
langit. Di bagian punggung, jauh sudah, tepian, atau daratan
yang hijau. Buru-buru Ronggur menyuruh T io duduk, lalu:
"Lihat, lihat Tio. Kita menemui danau. Tapi, danau yang
maha luas. Airnya, alangkah asin. Tidak bisa diminum."
Tio memilin mata. Membelalakkan pandang. Sinar matahari
mencurah ruah. Kemudian dipantulkan air ke atas kembali.
Sehingga lebih silau.
"Danau, tapi danau yang sangat luas," akhirnya Tio
mengatakan dengan kagum. "Danau apa ini?"
"Aku tidak tahu."
"Marilah ke tepi. Kita tidak tahu ke mana berakhir air yang
maha luas ini," ajak Tio.
Cepat mereka mengayuh ke tepian. Tepian memutih
ditimpa sinar matahari penuh. Agak jauh kedalam bermula
jajaran pohon kurus panjang dan hanya di bagian puncaknya
ada daun kelapa. Nyiur. Berjajar memagar pantai.
Cepat Ronggur dan Tio mengayuh. Benda ditepian yang
menerima sinar matahari seperti menyala itu, pasir putih.
Beda dengan pasir pantai danau yang mereka kenal di
kampung halaman. Mereka mendaratkan perahu jauh ke
darat. Menambatkannya pada pokok kelapa. Tambah siang
ombak tambah membesar. Ronggur memanjat kelapa lalu
memetik buahnya yang masih muda.
Mereka minum air kelapa muda. Diseling T io, "Di sini kelapa
tidak akan habis. Sekuat kita memakainya, putiknya akan
cepat mendatang lagi dan berlipat ganda banyaknya."
Sambil menatap keluasan air. Yang bergelung-gelung
ombaknya dan memecah di pantai, dengan lagunya sendiri.
Berdesir angin yang melewati atau membuat daun nyiur
melambai. Burung putih berterbangan ke sana ke mari, menari
dengan gaya yang bagus dan begitu jinak. Tidak punya
prasangka pada Ronggur dan Tio. Sehingga sambil bermalas-
malas, Ronggur dapat melemparnya. Beberapa ekor kena dan
jatuh ke tanah. Si belang menjemputnya. Dengan
moncongnya si belang menggigit dan membawa ke tempat
mereka berdua duduk.
Pada tanah lumpur sekitar muara sungai, bertambah
rimbun pohon gelagah dan daun nipah, diselang seling pohon
bakau. Walaupun daun nipah sudah kering, namun tetap kuat
dan tampak berminyak. Dengan daun nipah itulah, mereka
buat atap sebuah dangau. Tiangnya agak tinggi dibuat dari
pohon bakau yang panjang dan lurus lagi kuat. jendelanya
jauh lebih besar dari jendela rumah yang ada di kampung
halaman. Karena udara panas.
Sekarang mereka sudah punya rumah kembali. Sekarang
mereka sudah punya danau yang sangat luas malah.
Walaupun airnya asin, namun sangat banyak mengandung
ikan. Ikan yang besar. Mereka lalu kenal juga binatang laut
yang ada di tepian yang juga enak dimakan. Sedang pada
hutan di sebelah punggung mereka, dan di tanah yang
ditumbuhi ilalang sebagai pinggiran hutan, banyak menyimpan
binatang buruan. Mulai dari burung, ayam hutan, kijang
sampai pada binatang buas yang ditakutkan: Harimau, gajah,
beruang, dan di tepian sungai berpaya, binatang air itu,
buaya.
Pada hari pertama Ronggur tetap memperhatikan mula dan
arah angin. Akhirnya dapat mereka ketahui, pasang air sungai
yang membuat permukaan sungai naik dan sungai punya arus
ke hulu, tidak menetap saatnya. Tergantung pada hari bulan.
Begitu pula saat sungai surut kembali.
Bila air sungai pasang, perahu agak tertahan menuju
muara. Tapi, bila air sungai surut perahu dilarikan arus ke
tengah danau yang maha luas itu. Waktu siang hari angin dari
arah danau luas bertiup ke darat. Waktu itu bila berkayuh
menuju tepian dari tengah, sangat baik. Arus ombak
menghanyutkan perahu ke tepian. Sedang waktu malam hari,
menjelang dini hari, angin daratyang bermula dari hutan di
punggung mereka, bertiup ke arah danau luas itu.
Waktu itu sangat baik untuk memulai pelayaran ke tengah
danau luas itu. Dan, bila pasang naik tanah lumpur itu
tergenang, terkadang sampai sedalam dada. Bila air surut
permukaan sungai merendah. Tanah lumpur itu, rawa itu
kembali tampak. Tapi, walaupun tanahnya lumpur dan lembut
karena selalu tergenang, tidak baik dijadikan persawahan.
Bila mereka hendak membuka sawah percobaan, harus
memilih tempat yang agak tinggi dan jauh dari pantai, jauh
dari tepi sungai, agak menusuk ke tengah hutan. Mereka
harus merambah hutan belukar agak ke pedalaman.
Mereka cari tumpukan tanah yang agak datar di hutan dan
ditumbuhi ilalang. Agar lebih mudah mengerjakan sawah
percobaan itu. Kemudian dari hulu sungai yang belum asin
airnya, dibuka aliran parit. Sehingga ada pengairan ke sawah
itu, di samping air hujan. Dekat sawah itu mereka dirikan
dangau, tempat istirahat atau bermalam, bila merasa malas
pulang ke rumah di tepi pantai.
Persemaian telah digarap. T anahnya cepat lembut. Setelah
beberapa lama tanah yang digarap itu digenangi air yang
dialirkan ke sana, tanah itu cepat menghitam,
mengambangkan kesuburan. Beberapa bidang lagi tanah telah
diolah menjadi sawah percobaan.
Waktu menancapkan cangkul ke dada tanah, tahulah
Ronggur dan Tio, tanah itu tidak melapisi batu. Tanah itu
begitu gembur. Cepat lunak dan cepat menjadi lumpur hitam
yang lembut, bila telah digenangi air. Tidak tersangkakan,
walau itu yang diharapkan, tanah begitu cepat menerima
taburan bibit. Kemudian bermunculan di atas tanah batang
padi yang gemuk hijau, menjanjikan akan mendukung bulir
padi yang bernas. Merunduk ke tanah karena berisi.
Usaha percobaan itu terus diluaskan ke tanah yang lebih
tinggi dan agak susah didatangi air parit. Di sana juga tanah
dengan cepat menerima taburan bibit. Walau tidak punya air
selain air hujan dan yang dikandung tanah. Itulah ladang,
huma, sawah kering. Ini semua menanam harapan yang lebih
sempurna dalam dada.
Tanah yang mereka temui tanah yang dimimpikan setiap
orang di kampung halaman, yang dapat mengurangi
pertentangan yang bisa timbul antara kaum semarga, antara
marga, antara suku dan antara luhak. Perang yang bisa terjadi
di antara mereka, yang mengakibatkan kematian dan
kemelaratan, bisa dihilangkan, bila tanah habungkasan ini
ditunjukkan pada mereka.
Bila batang padi telah bertumbuhan di sawah, di ladang
dengan hijau gemuk, kerja Ronggur dan Tio tinggal mencabuti
rerumputan, agar pertumbuhan batang padi tidak terganggu.
Pada malam hari, mengadakan penjagaan yang dibantu si
belang, agar rombongan babi hutan tidak turun dari hutan
merusak sawah dan ladang percobaan itu.
Kemudian batang padi yang hijau gemuk itu, telah dihiasi
bulir padi dengan mencuat ke atas tegak lurus. Ditiup angin
terkadang, dan bulir yang belum berisi itu bergoyangan
perlahan, tangkainya kokoh mendukung. Kemudian bulir itu
semakin merunduk ke tanah, merunduk menguning kemudian
dipanen. Saat mardege tiba. Lalu hasil panen itu disimpan ke
dalam lumbung, yang didirikan tidak jauh dari sawah
percobaan itu.
Ronggur dan Tio harus memperbesar dangau kecil itu. Mau
dijadikan lumbung padi. Kekayuannya mereka ambil dari
hutan sekitar yang begitu dekat. Atap daun nipah yang tidak
mudah bocor, yang banyak ditemui di muara sungai. Padi
yang menguning, kemudian dipanen. Saat mardege tiba. Lalu
hasil panen itu disimpan ke dalam lumbung, yang didirikan
tidak jauh dari sawah percobaan itu.
Mereka tahu, hasil panen percobaan itu tidak akan habis
mereka makan sampai tiga kali jangka musim panen, bila
untuk mereka berdua saja. Lagi pula, musim panen lebih
pendek masanya di tanah habungkasan itu dari yang mereka
kenal di kampung halaman.
Ronggur dan Tio, sambil melepas lelah dari kerja berat di
sawah semusim panen itu, seharian mengadakan perjalanan
menyusuri tepi pantai. Setiap tambah jauh mereka berkayuh,
setiap itu pula, malah berlipat ganda luas air yang mereka
temui. Tidak bertepi dan tidak berujung. Bermula dari
keluasan dan berakhir pada keluasan. Membuat perasaan
lebih kagum lagi atas ciptaan alam yang hebat dan sempurna
itu.
Ciptaan Mula Jadi Na Bolon, dan hati tambah berterima
kasih atas tuntunan Mula Jadi Na Bolon, hingga mereka bisa
tiba ke sana. Dan, Ronggur tahu, bila luas danau begitu rupa
dihadiahkan pada orang di kampungnya, mereka tidak perlu
lagi mengadakan pancang sebagai batas di danau, sebagai
pertanda bahwa pancang itu perbatasan antara satu marga
dengan marga lain tepi danau mana yang boleh di tempati
suatu marga menangkap ikan. Juga pelanggaran perbatasan
di danau di kampung halaman, sering menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran, yang bisa menimbulkan
sesuatu peperangan.
Di danau yang maha luas itu, setiap orang dari setiap
marga mana saja pun, boleh pergi ke mana suka. Menangkap
ikan sekuat tenaga. Modal yang pokok hanya satu, kemauan
bekerja. Sekitar yang bermula dari keluasan itu dan berakhir
pada keluasan itu, menjanjikan kebahagiaan pada setiap
orang, melanjutkan hidup berkeluarga dan keturunan.
Rangsang lain mulai mempengaruhi pikiran Ronggur. Janji
harus ditepati, katanya selalu. Janji yang selalu mengingatkan
kampung halaman, yang mempertajam perasaannya akan
bahaya yang mengancam kerukunan hidup di kampung
halaman. Rindu pada ibu, pada bekas Datu-Bolon yang sudah
tua itu, keinginan untuk me lepaskan mereka dari berbagai
rupa ancaman.
Dia harus mewartakan berita penemuannya itu ke tengah
keluarganya, ke tengah marganya yang sudah mencoret
namanya dari silsilah marga, karena itu janji. Pada
pendengarannya, tambah sering mendengung suara bekas
Datu Bolon yang sudah tua itu, "Anakku, bapak yakin, kalian
akan menemui tanah habungkasan. Walau begitu pahitnya
penerimaan orang di sekitarmu atas cita-citamu, janganlah
kau berkecil hati. Seorang manusia yang ditunjuk dewata
menemui kebenaran, harus dengan tabah pula menyampaikan
warta kebenaran itu pada orang yang ada di sekitarnya. Agar
manusia itu dapat pula mencicipi nikmatnya. Walau pada
mulanya mereka menentangnya, dan menganggap diri yang
dikurnia dewata seorang gila. Mereka tidak perlu dihancurkan,
tapi perlu diinsafkan agar mereka tahu, lalu dapat merasakan
kenikmatan yang terkandung dalam kebenaran itu. Untuk
kelanjutan hidupnya, kelanjutan keluarganya, hingga akhirnya
turut merasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh
kebenaran itu. Karena itu anakku, bila kau menemui tanah
habungkasan di rantau, kau harus kembali kemari membawa
berita ria itu. Berjanjilah anakku, janji seorang lelaki. Karena
janji yang dibuat lelaki, janji yang akan tetap ditepati."
"Aku berjanji, Bapak."
"Terima kasih, Anakku," kata orang tua itu, lalu
melanjutkan, "Anakku, sesuatu penemuan yang bisa membuat
orang gembira dan berbahagia, bila keserakahan diri atau
dendam yang bersarang dalam dada, memaksa dan membuat
orang yang menemui itu tidak mewartakan-nya pada orang
lain, yang memerlukannya, sehingga orang lain tidak dapat
menikmati arti dan nilai penemuan itu akan berkurang, malah
beralih pada penemuan itu akan mengutuki diri. Karena itu,
agar kerjamu tidak sia-sia, janji yang kau buat sebagai lelaki,
penuhilah pula sebagai lelaki yang berhati jantan."
"Aku bapak," katanya. Lantas selanjutnya dia mengatakan,
"Doakanlah aku bapak, agar anakmu ini dilindungi Mula Jadi
Na Bolon."
"Doa dan restuku akan selalu mengiringi perjalananmu."
Dengungan percakapan itu tambah nyata dan jelas.
Memaksanya harus kembali ke kampung halaman,
mewartakan penemuan itu. Harus kembali mengarungi sungai
ke hulu, melawan arus. tapi, telah dapat diduganya, untuk
terus melawan arus, sangat susah.
Karena itu, dia sudah membayangkan bahwa mereka akan
menembus jalan darat. Dari pengenalan akan pundak bukit,
dan usaha menaklukkannya, dari pengenalan akan celah
pertemuan bukit dan usaha untuk menembusnya, dia sudah
dapat menggambarkan suasana perjalanan itu dalam kepala.
Perjalanan yang tentunya memayahkan, tapi perjalanan untuk
memenuhi janji yang dibuhul sebagai lelaki bersikap jantan.
Ronggur telah menentukan kapan mereka memulai
perjalanan pulang itu. Tio diam saja mendengarkan sambil
menundukkan kepala. Berhadapan dengan kebisuan Tio, yang
tidak menyahut itu, Ronggur lalu berkata, "Apakah kau tidak
ingin mewartakan berita ini pada sanak keluarga? Pada setiap
orang, yang selalu diancam bahaya di kampung halaman?
Agar mereka dapat bebas dari ancaman yang selalu menakut-
nakuti mereka itu?"
"Bukan itu alasannya. Bukan itu," sahut Tio.
Wajah Tio agak pucat waktu tengadah padanya. Darah
Ronggur tersirap dibuatnya.
"Tio, wajahmu pucat. Seperti orang sakit. Kau sakit?"
"Tidak. Tidak sakit."
"Kenapa wajahmu sepucat itu? Apa yang terjadi?" Wajah
Tio seperti menanggungkan sesuatu. Bibirnya gemetaran. Tio
merasakan sesuatu menggeliat dalam perutnya. Tambah lama
tambah sering dan menimbulkan perasaan nyeri. Sesuatu
tekanan mendesak hendak melalui kerongkongan, berupa
rintihan dan jeritan. Tapi, ditahan. Namun, sesuatu rintihan
lepas juga dari celah bibir yang dikatupkan, digigit oleh gigi
sendiri. Tapi, masih tetap berusaha tersenyum, bila
pandangnya bertemu dengan pandang Ronggur.
Akhirnya Ronggur tahu, sesuatu akan terjadi. Barulah sadar
arti perobahan bentuk tubuh istrinya, yang akhir-akhir ini
begitu nyata dan jelas. Sambil tersenyum dan duduk dekat
Tio, Ronggur mengatakan, "Kita memang masih belum bisa
memulai perjalanan pulang. Kita harus menanti di sini. Biarlah
perjalanan pulang ditangguhkan untuk beberapa lama."
Cepat Ronggur pergi memetik daun ampapaga, yang
banyak tumbuh di pematang sawah di antara rerumputan.
Daun ampapaga itu di dikeringkan di panas matahari. Bila
sudah kering, direbus, airnya sangat baik buat minuman
seorang ibu yang hendak dan baru melahirkan. Dan, dingin-
dingin ditelempapkan ke perut Tio dan kening. Dijerangkan
terus menerus air panas dalam periuk tanah. Dan, dia tidak
mau lagi pergi jauh-jauh dari dekat Tio, walau Tio selalu
mengatakan, "Aku tidak apa-apa. Tidak usah repot. Pergilah
berburu, atau menangkap ikan."
Ronggur pura-pura tidak mendengarkan. Disunggingkan
senyum sebagai sahutan. Dalam kepala terbayang seorang
anak lelaki yang sehat. Lelaki yang kelak sanggup mengolah
tanah yang bidang menjadi persawahan. Lelaki yang dapat
memelopori orang menjelajah hutan belantara yang abadi itu.
Hendaknya kehijauan daun padi dapat mengimbangi hijaunya
daun pepohonan, agar orang tidak takut kelaparan, juga
diharapkan agar anaknya seorang lelaki yang sanggup meniti
gelombang yang besar di danau luas itu. Mencapai daerah
baru.
Saat kelahiran semakin dekat, dan perasaan nyeri tambah
memaksa Tio merintih, sering juga membuat Ronggur harus
mengatakan dalam kebingungan, "Apa yang harus kuperbuat?
ke mana harus kucari dukun?"
Dari sela rintihannya, Tio menyahut, "jangan repot.
Semuanya akan menjadi beres, berjalan dengan baik." Balik
Tio yang menasihati dan menenteramkan hati Ronggur.
Setelah melengkingkan sebuah pekikan yang panjang lagi
nyaring, Tio lalu memelas, dan segumpal daging telah
ditayang Ronggur dengan hati-hati. Dipotongnya jabang bayi
dengan bambu yang ditajamkan pada kedua sisinya. Bayi
dimandikan. Tio diberinya minum air ampapaga. Kening Tio
yang berkeringat, dilap Ronggur dengan sayang. Anak lelaki
meneriakkan suaranya pertama, seperti warta pada dunia
bahwa dia telah lahir. Tak lama kemudian, Tio sudah dapat
senyum. Menoleh ke bayi yang baru dilahirkannya, seorang
lelaki, cukup umur, cukup merah. Begitu sehat. Tangisnya
pertama menantang gemuruh ombak yang memecah di
pantai. Atau, ombak itu menggamitnya, agar memulai
perjalanan, meniti ombak demi ombak yang begitu besar.
Hari berikutnya, anak kecil itu sudah digendong Ronggur
sambil dinyanyikannya. T idak jarang, Tio harus senyum pada
Ronggur dalam saat begitu bahagia. Kekerabatan dan
keakraban berumah tangga tambah terjalin. Tio sudah
menjadi seorang ibu, Ronggur sudah menjadi seorang ayah,
ibu dan ayah dari anak lelaki yang sehat. Bergaya seorang
yang akan cukup kuat dan punya ketahanan serta keberanian.
Bertambah hari, dan bertambah usia si anak, Ronggur
sudah menggendong si anak ke tepi pantai bersama Tio.
Ronggur selalu mengatakan, "Tataplah dengan mata
kanakmu, luasnya danau yang ada di depanmu, yang menanti
dayungmu berkayuh di permukaannya, meniti ombak demi
ombak yang bergulung-gulung memecah di pantai, mencapai
pantai lain. Tio, katanya, anak kita akan menjadi seorang
pengarung danau yang maha luas ini kelak."
Bila telah dua kali purnama timbul dan tenggelam, maka
Ronggur pun kembali mengatakan, "Tio, sudah waktunya kita
memulai perjalanan kembali ke kampung halaman.
Memberitakan dan mewartakan, akan penemuan-tanah
habungkasan, dan danau yang maha luas ini."
Tio tidak membantah. Dia akan tetap mendampingi
Ronggur, ke mana saja pun. Bermulalah perjalanan itu.
Mulanya menyusuri sungai ke hulu . . ..
ccdw-kzaa

8
Setelah menyediakan segala sesuatu yang perlu dalam
perjalanan, mereka pun memulai perjalanan pulang. Tiga
pundi padi yang bernas dibawa serta, akan mereka tunjukkan
sebagai bukti pada orang di kampung halaman. Bahwa padi
yang mereka bawa sepundi dulu sudah menjadi tiga pundi.
Sedang yang ditinggalkan di tanah habungkasan masih banyak
benar. T idak habis dimakan sekeluarga dalam jangka tiga kali
panen.
Beberapa potong kulit binatang buruan yang halus hulunya
dan sudah dikeringkan dibawa serta. Mereka berusaha, agar
yang dibawa, seringan mungkin dan yang perlu saja dalam
perjalanan. T io, selalu menggendong anaknya di punggung.
Mulanya mereka menyusuri sungai ke hulu. Sampai tiba ke
lempat arus mulai menderas dan susah dikayuh. Baru mereka
mulai menempuh jalan darat. Memenggal-meng-gal hutan
belantara, yang dilingkungi hamparan dedaunan hijau lebat,
permadani alam yang tebal lagi abadi. Jadi, perjalanan pulang
itu pun, sendirinya pula usaha merintis jalan darat, yang kelak
dapat digunakan jalan pulang pergi antara kampung halaman
dan tanah habungkasan, dan lebih aman daripada menyusuri
Sungai T itian Dewata.
Mereka sering berhenti di satu tempat sampai dua tiga hari,
mempelajari pintasan jalan yang lebih mudah ditempuh.
Begitu pula mengadakan tanda tertentu pada sesuatu pohon,
yang dipanjat Ronggur untuk menentukan arah tempuh.
Mempelajari jalur lembah dangkal yang banyak dalam hutan,
dan memilih tanjakan yang tidak menaik untuk didaki.
Tambah jauh mereka menyusup ke pedalaman hutan, bukit
dan lembah tambah banyak mereka temui. Lembahnya
tambah dalam dan perbukitannya tambah tinggi. Tanah di
lembah dipelajari Ronggur baik-baik. Melalui pengenalannya
akan tanah, tahulah dia, tanah itu sangat baik dijadikan
perladangan atau persawahan, bila kekayuan hutan sudah
ditebang. Sedang pundak perbukitan yang juga ditumbuhi
kekayuan tua, bukanlah bukit batu seperti bukit tandus di
kampung halaman. Tapi, bukit tanah yang gembur, hitam
mengandung kesuburan. Tidak tanah tipis melapisi batu alam.
Tidak jarang pula mereka temui parit kecil yang bermula
dari sesuatu dinding bukit yang bercelah. Airnya begitu bening
dan dingin. Sejuk. Pada sesuatu mata air begitu, Ronggur
selalu mengadakan tanda.
Dalam merintis jalan itu, Ronggur selalu berusaha agar
mereka dapat tiba kembali ke tempat air terjun itu. Tapi, di
tengah hutan tidak jarang mereka bertemu dengan kumpulan
binatang buruan yang enak dagingnya. Dan, tidak jarang pula
mereka harus mempertahankan diri dari serangan binatang
buas: harimau, beruang, dan kelompok gajah. Penciuman si
belang banyak membantu keselamatan rombongan kecil itu.
Bila si belang meringis dan mengarahkan penciumannya ke
satu arah terus-terusan, cepat mereka mengalih langkah.
Menyisih dari tempat sesuatu binatang buas, sarang binatang.
Tapi, tidak jarang Ronggur dengan dibantu si belang, harus
mengadakan perlawanan mempertahankan diri, kalau
kepergok. Dalam saat begitu, Tio memeluk anaknya, sambil
berjaga.
Mereka terus menyuruk di bawah hamparan dedaunan
hijau yang abadi itu. T erus berusaha mengarahkan langkah ke
tempat air terjun itu. Dari sana baru mereka tentukan, pundak
bukit yang memanjang sebagai pagar dan batas tanah dataran
tinggi kampung halaman dengan tanah habungkasan, yang
harus ditaklukkan. Atau, celah bukit mana yang harus
diterobos menuju kampung halaman. Dedahanan kekayuan
yang berjalinan mendukung dedaunan lebat, menghambat
sinar matahari menimpa tanah. Sehingga terasa, jangka siang
hari, agak pendek di bawah naungan yang tebal itu.
Anak mereka yang sudah mendekat ketiga purnama
usianya, dan sudah dapat melempar senyum di saat dia
merasa senang, tidak dapat melempar senyum, sebaik dia
turut mendengar suara air terjun yang mengguruh.
Tapi, bila lama-lama mereka berada di sana dan tidak ada
sesuatu yang menyakiti tubuhnya, dia tersenyum kembali.
Sedang Ronggur mengarahkan tatapan si anak ke air terjun
yang memutih kapas itu.
Apa yang ditakutkan Ronggur pada mulanya masih tetap
tidak terjadi. Batu jaluran yang ditembus air sungai yang
terjun, masih tetap kokoh pada tempatnya. Tidak terjadi
reruntuhan. Tapi, gemuruhnya tetap menderu. Dan, benda
putih diambangkan ke atas terus menerus. Bila lama kelamaan
ditatapi jatuhnya air itu dan kuping biasa kembali mendengar
suara mengguruh itu, yang menyerupai aum harimau, mereka
namakan air terjun itu, Sampuran Harimau.
"Tio," kata Ronggur, setelah beberapa lama mereka
terpukau di tempatnya tegak.
Tio memaling wajah pada Ronggur tanpa sahutan.
"Kita istirahat di sini untuk beberapa hari. Melepas lelah.
Dari sini kita akan mulai mendaki kaki pegunungan,
menaklukkan pundak demi pundak bukit, dan berusaha
menerobos celah bukit. Jalan memotong ke kampung
halaman. Perjalanan begitu tentu berat. Karena itu, perlu kita
istirahat untuk beberapa hari. Agar tenaga kita pulih kembali."
"Harus di sini kita istirahat?" tanya Tio.
"Ya, agar mudah kita memperoleh air. Lagi pula dinding
bukit sebelah sana, terdiri dari batu alam yang tidak keras.
Mudah digali. Untuk dijadikan lobang perlindungan. Aku akan
memburu binatang buruan, agar cukup daging untuk dimakan
nanti dalam perjalanan. Di pundak bukit gundul itu, payah
ditemui binatang buruan."
Mereka menggali lobang perlindungan yang agak luas. Agar
memberi ruang yang lapang bagi mereka. Ronggur dan Tio
bekerja sama menggalinya. Anak mereka ditidurkan di tanah
beralaskan kulit binatang buruan yang lembut. Di sampingnya
duduk si belang seperti menjaga. Ekornya dikibaskan, agar
tidak ada serangga hinggap ke wajah anak yang sedang tidur
nyenyak itu. Menjelang senja Ronggur dan Tio berhenti
menggali lobang. Mata mereka patok menatapi permainan
warna pelangi aneka rupa berpadu dengan air yang memutih
kapas. Sambil menggendong anaknya, Ronggur mengatakan,
"Lihat, lihat Tio. Betapa indah. Tari warna yang sempurna.
Begitu indah kalau hujan tidak turun atau kalau kabut tidak
menyungkup."
Tio mengikuti telunjuk jari Ronggur.
Nanar mereka menatapi tari warna pelangi yang aneka
ragam itu, mengagumi lukisan alam yang sempurna. Beberapa
ekor burung terbang di udara, menuju hutan belantara luas,
mencapai sarang. Sayang sekali, cicitnya tenggelam ditelan
gemuruh air terjun yang jatuh, tidak kedengaran.
Pada hari berikutnya, tinggal Tio saja yang meluaskan
mulut lobang perlindungan dan memperluas ruang dalam.
Ronggur sudah pergi berburu bersama si belang. Bila anaknya
haus, meminta ditetekkan, dia duduk berjuntai di mulut gua.
Mencampakkan pandang ke sekitar, di bawahnya tanah
habungkasan yang mereka temui. Oi sebelah kanan, air
terjun, dan mengitari itu semua, kaki bukit memanjang lagi
tinggi, bukit gundul.
Sejak lahir anak itu sudah disusukannya dan sudah berapa
lama itu berlangsung. Tapi, bila saat menyusukan tiba, dan
mulut anak itu sudah mengisap-isap muncung buah dadanya,
sesuatu perasaan selalu menggeliat dalam dada, rasa keibuan,
sumber kasih sayang abadi bagi seorang anak yang lahir dari
rahimnya. Tahulah dia, kenapa ada nyanyian alam terpendam
pada dedaunan yang berdesir bila disentuh angin lalu, tahulah
dia, kenapa pekikan keras lagi sakit waktu melahirkan sang
anak bercampur nikmat. Tidak jarang dalam saat begitu, dia
memicingkan mata menikmati kesempurnaan rasa bahagia di
saat mulut anaknya mengisap muncung buah dadanya.
Sedang mulutnya akan mendendangkan lagu seorang ibu,
lagu yang menyuarakan perasaan kasih sayang:

Pejamlah mata sayang seorang


kenapa harus kerisik seperti
dedaunan berhalau ditiup angin lalu
dunia terhampar di ujung kakimu
Pejamlah mata anakku seorang
menanti bapak kembali pulang
dari tengah hutan belantara
binatang buruan tersandung dibahu
Pejamlah mata intanku sayang
bila malam jatuh, bulan gemintang
kudekap kau pelukanku hangat
Pejamlah mata buah hati bunda
subuh tiba mula hari baru
berjuta utasan cahaya matahari
menyinari padang kembaramu

Tidak jarang Ronggur pergi berburu seharian. Dia sangat


giat mengumpulkan daging binatang buruan. Sesekali
dijinjingnya ikan yang dipancingnya. Sedang mulutnya akan
cepat mengatakan, "kita harus banyak menyediakan daging.
Boleh jadi di pundak pegunungan gundul sana, payah
dijumpai binatang buruan."
Mereka potong tipis daging binatang buruan itu. Kemudian
mereka panggang di atas bara sampai kering. Sedang di siang
hari, Tio menjemurnya di bawah sinar matahari, agar cukup
kering dan tahan lama.
Bila Ronggur tidak pergi berburu, dia tambah sering
mencampak pandang ke air terjun itu dengan berlama-lama.
Begitu tekun. Suatu perasaan merangsang dirinya, terbayang
di wajahnya. Dia tidak dapat mengucapkan melalui bentuk
kata yang cukup tepat. Tapi, dia telah merasakan. Tio selalu
memperhatikannya di saat begitu. Dan, Ronggur merasakan,
alangkah susahnya dia untuk mengucapkan yang sedang
bergolak di dadanya, yang ditimbulkan air terjun itu. Sekali
waktu Tio mengganggunya dari menung menatapi air terjun
itu, "Bertambah hari, kulihat abang bertambah tekun
melihatnya. Tak bosan."
Sambil mengalih pandang pada Tio yaYig berdiri dekatnya,
Ronggur menyahut, "memang benar dugaanmu, Tio."
"Tapi, aku merasa takut digertak suaranya yang terus
menerus mengguruh itu. Kalau tidak bersama abang, aku
tidak kerasan di s ini."
Lama Ronggur menumpu pandang ke mata Tio. Lama
bibirnya bergerak-gerak, namun seucap kata belum melepas
dari bibirnya.
"Ada apa Bang?" tanya Tio. Membangunkan Ronggur dari
kebisuannya.
"Aku tidak tahu Tio," sahutnya. "Ada sesuatu yang
kurasakan. Yang timbul dari air terjun ini. Perasaan itu
melumpuhkan segala ketakutanku pada air terjun itu. Malah
dibuatnya sesuatu rasa bersyukur."
"Kenapa begitu?"
"Perasaan itu seperti membisikkan padaku bahwa a ir terjun
ini mengandung suatu manfaat. Menjanjikan sesuatu
kebahagiaan pada manusia."
"Manfaat apa?" tanya Tio terbodoh.
"Manfaat bagi kehidupan manusia."
Seketika mereka bertatapan tanpa mengucapkan kata. Biji
mata Tio begitu bening tapi jelas tampak tidak mengandung
pengertian akan apa yang diucapkan Ronggur. Sedang
Ronggur kemudian mengalih pandang ke air terjun itu, sambil
mengatakan, "kurasakan, justru karena adanya air terjun ini,
membuat arus sangat deras. Karena tempat jatuhnya begitu
tinggi dan curam, binatang air yang menakutkan dan buas itu
tidak bisa datang ke Danau Toba."
"Itu boleh jadi," sahut Tio berusaha mengerti. "Di samping
itu, masih ada manfaat lain dikandung air terjun ini."
"Apa lagi?" tanya Tio mendesak. Akhirnya dia sendiri ingin
mendengarkan yang dirasakan Ronggur.
"Kurasakan air terjun ini mempunyai suatu tenaga yang
sangat besar dan kuat. Selalu perasaanku berkata begitu.
Dan, bila tenaga yang terkandung di air terjun ini digunakan
manusia untuk kehidupannya, maka hidup manusia akan lebih
berbahagia. Orang kelak akan dapat menggunakannya untuk
kehidupannya. Sekarang memang yang kita lihat, darinya
timbul bencana saja. Coba kalau diri diterjunkan bersama air
terjun pasti lumat. Darinya timbul anggapan selama ini,
Sungai Titian Dewata jatuh ke ujung dunia. Hingga tak
seorang pun selama ini berani menyusurinya untuk mencapai
tanah habungkasan. Tapi, nanti, entah kapan, bila orang
menggunakan tenaga yang terkandung di air terjun ini, maka
tenaga yang disimpan air terjun ini bisa memberi arti yang
bernilai bagi -kehidupan manusia."
Tidak dapat Tio membumbui cakap Ronggur. Namun dia
tidak membantah seperti kebiasaannya yang tidak mau
membantah cakap Ronggur, walau dia tidak dapat
mengartikannya.
"Karena itu," kata Ronggur selanjutnya, “jangan lagi takut
padanya. Jangan lagi kutuk dia. Tapi, haruslah merasa
bersukur karena dia ada. Bersukurlah, karena dia menjanjikan
sesuatu kebahagiaan bagi kehidupan manusia di masa
datang."
Tio mencampak pandang ke tempat air terjun itu jatuh. Air
yang jatuh berputar pada lingkaran berbentuk kolam, arusnya
gelisah membentuk suatu pusingan yang cepat, yang bisa
menenggelamkan lalu menghancurkan sesuatu yang jatuh ke
sana. Tio merasa ngeri melihatnya. T io takut dibuatnya. T api,
semua perasaan itu ditekannya habis-habis, agar dia tidak
membantah yang dikatakan dan dirasakan Ronggur. Malah dia
ingin turut merasakan yang dirasakan Ronggur, tapi
perasaannya belum juga merasakannya.
Setelah beberapa hari istirahat dan tenaga mereka sudah
pulih kembali, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan
yang harus ditempuh, langsung mendaki bukit. Sesekali
menyusur di tebingnya, mencapai sesuatu celah, lalu
menembusnya untuk kemudian terus lagi mendaki sampai
pundak bukit ditaklukkan. Perjalanan yang memayahkan.
Perjalanan mereka agak lambat. Dalam sehari, terkadang
hanya sepundak atau dua pundak bukit saja yang dapat
mereka taklukkan. Ronggur selalu memilih celah bukit tempat
bermalam, agar terlindung dari serangan angin yang cukup
kuat. Tio menggendong anak mereka. Sedang Ronggur
memikul peralatan. Si belang mengikut di belakang, atau
terkadang berlari di depan. Menggonggong dan menggunakan
penciumannya.
Dengan mengenali pundak bukit mencari celah pertemuan
bukit, rombongan kecil itu terus mendaki pundak demi pundak
bukit yang berlapis-lapis, menuruni lembah batas perbukitan
yang berlapis-lapis itu untuk mendaki lagi. Tidak mengenal
lelah, tidak mau henti sebelum matahari tenggelam. Dan,
akhirnya lapisan bukit itu dapat ditaklukkan. Lalu lembah
dataran tinggi, yang dilingkari lapisan bukit demi bukit
melingkar dan memanjang, lembah kampung halaman, telah
berada kembali di hadapan pandang. Di tengahnya, tenang,
bersama kebiruannya yang damai, danau kesayangan,
mengitari Pulau Samosir. Di sekitar tepian danau, bertumpuk
rimbunan bambu duri, pertanda perkampungan.
Mereka bertatapan untuk kembali mencampak pandang ke
lembah perkampungan yang sudah sekian lama ditinggalkan.
Ronggur mengambil anak mereka dari gendongan T io. Tangan
anak itu dituntunnya menunjuk ke arah perkampungan sambil
mulut Ronggur berkata, "Itulah kampung nenek moyangmu,
ananda."
Mereka menarik napas lega, terutama Tio. Dan, karena
udara kembali dingin, mereka telah memakai kulit binatang
buruan yang halus bulunya. Terlebih anak mereka. Diselimuti
baik-baik sehingga tidak merasakan udara dingin. Dalam
hayalnya Tio telah mengatakan pada diri sendiri bahwa dia
akan membawa sisa anggota keluarga marganya ke tanah
habungkasan, agar bisa bebas dari nasib jelek yang menimpa
marga. Dia membayangkan betapa bahagia keluarga
marganya, mengecap nikmat udara kemerdekaan, setelah
sekian lama harus menjadi budak orang lain.
Tiba-tiba saja Ronggur memecah kesunyian itu, "Tio, satu
perjalanan panjang, menembus Sungai Titian Dewata,
mengarungi rimba alam abadi, telah kita laksanakan dengan
berhasil. Walaupun dengan susah payah. Tapi, di hadapan
kita, menanti tugas baru. Kita harus menaklukkan dan
menguasai alam pikiran orang di kampung halaman, yang
mempercayai bahwa Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung
dunia. Bila hasil perjalanan ini kita sampaikan pada mereka,
maka sendi kepercayaan mereka berarti digoyang. Pekerjaan
begitu tidak akan mudah. Merombak keyakinan seseorang,
menggantinya dengan kepercayaan baru tidaklah kerja
mudah. Akan jauh lebih payah daripada menaklukkan pundak
bukit yang cukup tinggi. Karena itu, kau harus tabah nanti
menerima segala sikap yang mengejek dan menantang. Yang
mungkin menyakitkan hati, atau membahayakan jiwa. Tapi,
ketahuilah Tio, aku cinta padamu. Kaulah seorang perempuan
yang telah berani menemani aku menempuh satu perjalanan
yang menantang keyakinan orang sekitar yang telah turun
temurun menguasai alam pikiran mereka. Kau telah
mengorbankan alam pikiranmu sendiiri untuk mengikuti
jejakku. Aku berhutang budi padamu dan aku cinta padamu."
Lama Tio terdiam. Kemudian dengan tidak dapat
dilawannya, dia telah menyandarkan kepala ke bahu Ronggur.
Dia mengisak di sana. Tanpa mengatakan sesuatu. Ronggur
mengelus rambutnya dengan sebelah tangan, sedang tangan
sebelah lagi, menggendong anaknya.
Perlahan Tio mengangkat kepalanya. Bertatapan dengan
Ronggur. Kemudian sama-sama mereka mencampak pandang
ke lembah di bawah, lembah perkampungan. Tangan kiri
Ronggur menggendong anaknya, tangan kanannya memeluk
pinggang Tio. Oi ujung kaki duduk si belang menjulurkan
lidah, menatap ke arah yang sama.
"Ronggur," kata Tio, “maukah kau membawa sisa warga
margamu ke tanah habungkasan?"
"Tentu, sudah tentu," jawab Ronggur, "mereka anak
manusia seperti kita. Mendambakan bahagia dalam hidupnya.
Dan di samping itu, mereka jaluran paman anakku. Jaluran
famili yang harus kuhormati, apalagi anakku."
Orang di kampung halaman sebenarnya telah lama
melupakan mereka berdua. Tidak menjadi bahan percakapan
lagi. Kenangan terhadap mereka bertambah tipis lalu
menghilang bersama bertukarnya penanggalan hari,
tenggelam, dan timbulnya kembali purnama. Orang
melupakan mereka dengan ucapan yang tumbuh dari
kepercayaan mereka:
"Dikutuk dewata dan para arwah. Matinya, mati terkutuk.
Arwahnya akan disumpahi Mula jadi Na Bolon."
Sedang ibu Ronggur, karena terus menerus menanggung
rindu dan tidak tahan mendengar ejekan yang diarahkan pada
anaknya dan padanya sendiri, karena dia seorang ibu yang
melahirkan anak durhaka, tidak berapa lama setelah Ronggur
dan Tio berangkat dulu, pulang ke tempat asalnya, ke
hadapan Mula Jadi Na Bolon.
Pada mulutnya, ibu tua itu masih mengharapkan anaknya
cepat kembali. Tapi, setelah beberapa kali purnama tenggelam
dan terbit lagi, dan anaknya tidak pulang juga, membuat
kemauan hidup melemah. Lalu, berakhirlah hidupnya.
Orang percaya, arwahnya akan tidak diterima Mula Jadi Na
Bolon dengan baik. Di saat mati, dia tidak punya apa-apa.
Hingga dia dikebumikan tanpa upacara dan gondang. Para
dewata tidak akan datang menjemput arwahnya ke tempat
yang baik me lalui Sungai Titian Dewata. Karena para dewata
tidak diberi tahu atas kematiannya, melalui pukulan gondang
yang dipalu dan mengorbankan beberapa ekor babi serta
ayam putih.
Tapi, bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, tidak
bosannya, setiap hari mencampakkan pandang ke arah
matahari terbit. Meneliti pundak bukit dan celah bukit yang
ada di sebelah timur. Dia masih tetap percaya, Ronggur dan
Tio akan kembali membawa berita ria. Pertanyaan yang
sebenarnya berupa ejekan yang diajukan orang padanya,
selalu disahutnya dengan baik.
"Sudah pulangkah Ronggur dari tanah habungkasan?
Sudah ditemuinya tanah habungkasan yang dijanjikan setan
itu? Kapan pulang, si anak durhaka itu?"
"Dia akan pulang membawa berita ria bahwa tanah
habungkasan yang dijanjikan para dewata telah ditemuinya.
Ronggur anak yang memperoleh petunjuk secara langsung
dari dewata. Dia anak yang berbahagia."
"Apa kau katakan? Para dewata mengganti setan? Patutlah
ramalan tenungmu tidak ada yang benar."
"Bukan setan yang menggoda. Tapi, dia telah dilahirkan
untuk menyampaikan kehendak dan pesan dewata."
Orang lalu tertawa. Kemudian orang itu me lanjutkan,
"Bukankah kau yang membuat ayah si Ronggur menemui ajal,
karena kau ajak dia menyusuri Sungai T itian Dewata?"
“Kami mengalami kegagalan yang mengakibatkan
kecelakaan itu. Aku akui, tekadku kurang kokoh waktu itu. Aku
meloncat dari biduk membuat keseimbangan biduk hilang.
Ayah Ronggur menemui ajal karena kecelakaan itu."
Mendengar sahutan begitu, orang menjadi ramai tertawa
lalu pergi sambil berkata, "Orang gila. Si tua gila."
Tapi, lama kelamaan orang tidak mau lagi mengganggu,
mencakapinya. Orang membiarkan menatap ke arah matahari
terbit setiap pagi. Orang tidak mengacuhkannya lagi. Malah
orang sudah sependapat, dia seperti tidak ada lagi. Orang
tidak memanggilnya ke pertemuan marga dan ke sidang
kerajaan marga.
Berita yang datang dari kampung sekitar, baik mengenai
perdamaian, begitu pula mengenai peperangan yang terus-
menerus meletus, antara satu marga dengan marga lain,
antara satu suku dengan suku lain, dan antara satu lunak
dengan luhak lain tidak disampaikan orang padanya.
Malah waktu marganya sendiri harus berperang karena
memperebutkan hutan di teluk danau itu, yang berakhir atas
kemenangan marganya, waktu itu pun, tenaganya tidak
diminta orang membantu marga. Marga yang dikalahkan
marganya itu, akhirnya harus membayar upeti pada kerajaan
marga. Membuat marga mereka menjadi lebih berkuasa, kuat,
dan kaya. Persawahan dan perkampungan tambah banyak
mereka kuasai. Orang yang kalah, yang dapat dihancurkan
kerajaan marganya, bila tertangkap, dijadikan budak belian.
Sedang yang sempat melarikan diri, pergi ke kaki bukit
terpencil, ke tanah batu yang sama sekali tidak baik dijadikan
persawahan, menjadi orang buruan. Sedang kerajaan marga
yang tidak sempat dihancurkan, lalu meminta damai sete lah
melepaskan haknya atas apa yang diperebutkan, harus pula
membayar upeti pada kerajaan marga mereka.
Orang tua itu membiarkan rambutnya panjang. Sehingga
sudah sampai di pundak. Memutih uban. Pipinya cekung.
Wajahnya bertambah lancip. Tapi, sinar matanya tetap
mengandung sinar kepercayaan. Tidak melesu. Dan, pagi itu
sinar mata tambah bening dan bersinar. Dijauhan ada tiga
benda kecil dilihatnya bergerak-gerak di kaki bukit sebelah
timur. Setiap saat benda yang bergerak itu mendekat atau
menurun ke lembah perkampungan mereka.
Matahari bersinar terang. Tidak ada awan di langit. Tanpa
disadarinya dia bertempik dan berlari ke tengah kampung,
sampai orang pada tercengang. Terlebih karena dia
meneriakkan, "Mereka telah kembali. Ronggur telah kembali
dari tanah habungkasan. Mereka sedang menuruni kaki
gunung sebelah timur."
Orang bertemperasan ke luar rumah lalu terus pergi ke
gerbang kampung sebelah timur. Menatap dengan patok ke
arah yang dimaksud orang tua itu. Mereka juga memang
melihat ketiga titik yang bergerak itu. Belum pernah seorang
manusia pergi ke sana. Karena gunung itu gunung angker
menurut kepercayaan mereka. Apalagi bila orang menurun
dari pundaknya, tempat matahari muncul.
Pagi itu juga kerajaan marga mengadakan sidang.
Diputuskan untuk mengirim kurir penunggang kuda,
menyelidiki keadaan sebenarnya. Kalau memang itu
rombongan Ronggur supaya dibawa pulang.
Sebanyak tiga orang penunggang kuda bergerak. Mereka
bawa juga dua ekor lagi kuda, yang tidak punya beban. Hati
tiap orang tambah gemuruh. Setiap orang melahirkan
anggapan dan duga demi duga. Apa yang akan terjadi. Atau
apa yang telah terjadi? Warta apa yang akan datang?
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, masih mengatakan bahwa
itu bukan rombongan Ronggur. Tapi, binatang liar lagi buas.
Percakapan menjadi simpang siur. Namun setiap orang lebih
menginginkan bersikap menanti, apa yang akan disampaikan
penyelidik yang sudah dikirim kerajaan.
Sampai sore orang semua tinggal menanti. Tidak ada yang
turun ke sawah. Tidak ada yang turun ke danau. Tiap orang
seperti terpacak di tempat masing-masing.
Bila senja telah mulai memerah di langit, mencampakkan
sinar yang beraneka warna ke permukaan danau, mereka
sudah dapat melihat kepulan debu mengepul ke udara.
Penyelidik penunggang kuda sudah pulang. Kuda yang dua
ekor lagi sudah ada penunggangnya. T ambah lama, bersama
dengan bertambah merahnya warna senja, rombongan itu
bertambah dekat. Orang terus saja dapat mengenali bahwa
penunggang kuda yang keempat, Ronggur. Di belakangnya
Tio menggendong bayi. Sedang dipangkuan Ronggur, si
belang menjulurkan lidah.
Suasana tambah tertekan. Setiap orang terdiam. Setiap hati
tambah bertanya. Anak yang sudah disangka mati dikutuk
dewata, telah kembali ke tengah mereka. Anak yang dikenal
kecakapan, ketabahan, keberanian, dan kekuatan serta
keuletannya, tapi sayangnya pula anak yang telah dicoret dari
silsilah marga karena digoda setan, dan berusaha
meruntuhkan kepercayaan mereka yang bisa membuat
dewata marah, telah kembali di tengah mereka. Tanpa kurang
sesuatu.
Ronggur melompat dari punggung kuda. Setelah menuntun
Tio turun dari pundak kuda, lalu terus mendekat ke orang
banyak. Dia tidak langsung menuju ke tempat raja yang juga
hadir di sana. Tapi, mendekat pada orang tua yang berambut
panjang putih itu. Mereka memberi sembah. Lalu dari mulut
Ronggur keluar kata:
"Bapak, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, yang tidak
pernah salah tafsir tenungnya. Dengan bantuan doa Bapak,
anakmu ini telah menemukan tanah habungkasan yang sangat
luas lagi landai, juga menemui sebuah danau yang tidak
bertepi tapi airnya asin. Namun sangat banyak ikan. Dataran
yang landai, ditumbuhi pohon kelapa berjajar, seperti pagar
tepian danau. Di punggungnya, hutan belantara yang sangat
hijau lagi luas, memberi imbangan akan luasnya danau yang
ada di depannya. Tanah di sana sangat baik dijadikan
persawahan. Bukan tanah tipis menyaputi batu alam. Hutan
menyimpan binatang buruan yang jinak. Orang yang pergi ke
sana, tidak perlu takut kehabisan makanan. Orang yang pergi
ke sana, tidak perlu berkelahi karena setitik air parit. Di sana
kedamaian akan tercipta, karena setiap orang rajin bisa
membuka tanah persawahan sesuka hatinya. Lagi pula, apa
yang kita takutkan bahwa penduduk akan sangat padat
sedangkan tanah begitu sempitnya karena penemuan tanah
habungkasan ini tidak jadi persoalan lagi. Setiap orang bisa
punya anak berpuluh-puluh, namun tidak perlu takut
kekurangan tanah. Tanah, alangkah gembur dan subur.”
"Di manakah itu, Anakku?" tanya orang tua itu ber-napsu.
"Di seberang ujung dunia. Sebenarnya bukan ujung dunia,
Bapak. Sungai Titian Dewata pada salah satu tempat, memang
mempunyai arus yang sangat deras. Karena ada air terjun, air
harus menuruni sebuah lembah yang sangat curam. Tapi,
itulah pula mula tanah landai, tanah habungkasan. jadi,
Sungai Titian Dewata tidak pernah putus. Setelah air terjun,
Sungai Titian Dewata terus mengalir, membelah dada hutan
belantara yang sangat lebat dan rimbun itu."
"Anakku, berapa keluarga yang dapat di tampung tanah
habungkasan yang kau temui itu?"
"Berapa keluarga? Ah, cobalah bapak bayangkan, sejauh
mata memandang hanya tanah yang landai yang tampak,
tanah yang hijau tidak bertepi. Sampai bertemu dengan kaki
langit. Jadi aku tidak dapat mengatakan berapa keluarga.
Tapi, semua keturunan si Raja Batak dapat di tampungnya
sekaligus dan bersama keturunan yang akan datang tanpa
menakutkan bahwa tanah garapan akan habis. Tanah di sana
tidak akan habis."
Sambil menitikkan air mata bening karena gembira, orang
tua itu lalu mengatakan:
"Anakku, kau telah melaksanakan petunjuk dewata,
sehingga lahir dalam melaksanakan petunjuk dewata,
sehingga lahir dalam kenyataan. Setiap orang seharusnya
mengucapkan terima kasih padamu dan pada Mula Jadi Na
Bolon yang telah menciptakan tanah habungkasan itu.
Pertempuran yang sering terjadi antara satu marga dengan
marga lain atau antara satu luhak dengan luhak lain, yang
kemudian menimbulkan luka serta duka yang dalam dan lebih
kejam lagi yang menimbulkan kemelaratan dan golongan
tertindas, akan tidak perlu berulang. Setiap orang akan
memperoleh kebebasannya kembali mengerjakan tanah,
bukankah begitu, Anakku?"
"Ya, Bapak."
"Terimalah ucapan terima kasihku padamu, Anakku."
Orang banyak, baik penduduk biasa, pun kerajaan,
semuanya terdiam mendengarkan percakapan itu. Tapi, dari
mata Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, memancar sinar
kebencian dan dendam. Tiba-tiba saja dia berkata, suaranya
terus lantang:
"Ronggur, kau telah mengatakan segala dusta. Apakah
buktinya bahwa kau telah menemukan tanah habungkasan
seperti yang kau dustakan?"
Ronggur mengeluarkan pundi yang tiga itu, yang padinya
begitu bernas, lalu, "Waktu aku berangkat dulu dari sini,
hanya sepundi kubawa. Sekarang aku bawa tiga pundi padi
yang bernas. Sebenarnya hendak kubawa lebih banyak. T api,
karena perjalanan begitu jauh, lagi pula harus melalui pundak
bukit dan celah bukit, aku memutuskan membawa tiga pundi
saja sebagai bukti. Tapi, di tanah habungkasan, kutinggalkan
padi bagi keperluan orang yang mau pindah ke sana dalam
taraf pertama. Menjamin keperluan mereka sebelum saat
panen tiba. Saat panen lebih pendek di sana daripada di sini.
Padi lebih cepat matang. Lihatlah, betapa bernasnya padi ini."
'Ke mana pergi gelang yang dipakai si Tio pertanda dia
budak?. Dan, anak siapa yang digendongnya itu? Anakmu?
Kau mengawini atau memilih seorang budak menjadi ibu
anakmu?"
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak tersenyum mengejek.
Wajah Ronggur memerah padam. Dengan suara menghentak,
"Tio telah menjadi isteriku, perempuan yang paling setia dan
tabah. Kami telah dipersatukan Mula Jadi Na Bolon secara
langsung, sewaktu kami tiba ke tempat jatuhnya air Titian
Dewata untuk pertama kalinya. Demi menghormati kesetiaan
dan ketabahannya, aku jadikan dia istriku. Dialah isteri paling
setia. Dia telah kubebaskan. Dia tidak akan pernah menjadi
budak lagi."
"Aku tidak mempercayai cakapmu. Tiga pundi soal
gampang. Bisa saja kau curi dari lumbung orang. Tapi, kau
telah mengatakan bahwa Sungai Titian Dewata tidak jatuh ke
ujung dunia, jadi persoalan. Kau telah menghancurkan
kepercayaan kami. Kau telah mengawini seorang budak belian
yang diharamjadahkan orang merdeka. Kau telah membuat
segala pekerjaan keji dan mengatakan kata yang keji. Inilah
persoalan yang sangat berat. Pada orang yang melakukannya,
dapat dijatuhkan hukuman. Dan, itu semua, kutuduhkan
padamu dan aku meminta pertimbangan khalayak dan
kerajaan, agar memilih bentuk hukuman yang pantas
ditimpakan padamu. Kalau tidak, para dewata akan murka.
Dan, mengutuk marga ini. Marga yang kuat perkasa lagi kaya
ini, marga yang dikurnia oleh dewata."
Kerajaan yang lengkap cepat saja mengadakan sidang.
Dalamm rapat kerajaan, suara Datu Bolon memegang peranan
yang penting. Karena persoalan, soal kepercayaan.
“Kita akan dikutuk para dewata dan arwah nenek moyang,
bila kita mau mendengar cakap dusta ini. Kita dulu
memutuskan, akan menangkap si Ronggur, akan
menjadikannya budak belian, bila dia kembali ke kampung
halaman ini. Tapi, sekarang tuntutanku tidak sampai di situ.
Karena dia telah mendustai kita dan dia telah membebaskan
seorang budak marga tanpa persetujuan sidang kerajaan,
tuntutanku:
Menangkap dan menghukum si Ronggur bersama budak
belian itu. Hukum mati. Ini perlu, agar para dewata yang telah
melindungi kita, yang telah membuat kita menang dalam
peperangan tidak memurkai kita. Bukankah kita sudah harus
bersyukur pada para dewata dan arwah nenek moyang,
karena sebaik kita mencoret nama Ronggur dari silsilah
marga, dan tak mau mendengarkan cakapnya, telah dua kali
marga kita mengalahkan marga lain dalam peperangan?
Hingga marga kita menjadi marga yang berkuasa, kuat, kaya,
dan dihormati setiap marga? Dan, luhak kita, menjadi daerah
taklukan kita?"
Segala saran yang dilancarkan Datu Bolon gelar Guru
Marlasak, mempengaruhi keputusan kerajaan. Lalu
mengeluarkan perintah, menangkap Ronggur dan Tio. Telah
diputuskan pula, besok pagi, akan dipalu canang ke tiap
kampung yang dikuasa i marga itu, untuk mengumpulkan
mereka, lalu sama menyaksikan hukuman mati yang harus
dijalani Ronggur bersama T io, karena mereka telah menghina
kepercayaan. Agar pengaruh yang dibiuskan Ronggur tidak
mempengaruhi orang untuk seterusnya.
Ronggur dan Tio diikat pada batang pohon mangga yang
besar. Bayi diletakkan di depan, mereka, langsung di atas
tanah. Dekatnya si belang. Apak kecil itu menangis sejadinya.
Tapi, tak seorang pun dibolehkan menyentuhnya.
Mendengar tangis bayi kecil itu, tidak saja perasaan Tio dan
Ronggur serasa disayat. Turut si belang menitikkan butir air
dari matanya. Tambah lama, suara anak menjadi parau. Si
belang mendekatkan moncongnya ke mulut anak itu. Lalu
lidahnya dijulurkan si belang. Disapukannya ke bibir anak.
Sampai basah. Lalu lidah anak itu menjilat bibirnya. Kemudian
lidah anak itu secara langsung disapu lidah si belang.
Sehingga air dari lidah si belang berpindah ke lidah anak itu.
Tangis anak itu mereda. Si belang meringis kecil, merasa
gembira dapat mendiamkan tangis anak itu. Bila matanya
dicampakkan ke arah T io dan Ronggur, si belang memperoleh
senyum terima kasih dari tuannya.
Segala alat yang dibawa oleh Ronggur dan Tio
ditumpukkan depan mereka, juga ketiga pundi padi itu. Semua
akan dibakar. Supaya bekas dari kejadian itu tidak tinggal
sedikit pun.
Tidak berapa lama setelah senja berganti malam, Raja
Panggonggom bersama pengiringnya, masih datang menemui
Ronggur, mengusulkan agar Ronggur mencabut kembali
semua yang telah diucapkannya.
Hukuman bisa dientengkan, tak perlu hukum mati, asal dia
mau. Tapi, Ronggur harus bersedia menjadi budak, begitu
pula Tio dan anaknya. Ronggur menolak sarat itu. Malah
dikatakannya:
"Aku tidak dapat membenarkan yang salah, begitu pula
sebaliknya. Yang benar harus kukatakan benar. Percayalah
padaku, Paduka Raja."
Tapi, Raja Panggonggom tidak mendengarkan. Bila fajar
pagi terbit hukuman mati itu akan dilangsungkan.
Cepat saja berita yang dibawa Ronggur dan Tio menjalar ke
mana-mana. Sampai ke kaki bukit tempat orang melarat,
tempat orang yang tidak berpunya, dan tempat
persembunyian orang buruan. Mereka menegakkan kepala
mendengar berita itu. Terutama setelah mereka memperoleh
penjelasan langsung dari bekas Datu Bolon, setelah saran
Ronggur ditolak kerajaan marga mereka.
Bekas Datu Bolon itu mengatakan pada mereka bahwa
yang mengetahui jalan ke tanah habungkasan itu hanyalah
Ronggur. Bila Ronggur mati dibunuh orang yang tidak dapat
mendengarkan penemuannya, maka tanah habungkasan itu
akan kembali hilang. Mereka semua akan menjadi orang yang
sia-sia turun-temurun. Mereka harus membela Ronggur dan
Tio, harus melepaskan mereka dari ancaman maut itu.
Orang melarat dan orang buruan yang tinggal di gua kaki
bukit itu akan selalu lari ke mana saja berpencar bila tentara
kerajaan marga Ronggur datang menangkap mereka, akhirnya
memutuskan:
Daripada mati dibunuh dan diburu di dada tanah batu yang
gersang, lebih baik mati menempuh jalan menuju ke tanah
habungkasan. Malam itu juga, sepuluh orang lelaki yang kuat
tubuhnya, menyelusup ke induk kampung marga Ronggur.
Lengkap dengan senjata masing-masing. Dari celah bambu
duri, mereka dapat melihat di mana Ronggur dan Tio diikat,
dijaga tiga orang pengawal. Unggun api sudah mulai
mengecil. Keadaan sunyi. Malam sudah jauh. Tiba-tiba saja si
belang menggonggong. Karena mencium bau orang yang
datang mendekat. Membuat ketiga pengawal itu terjaga.
Setelah mengitari kampung dan meneliti, akhirnya mereka
kembali tidur sambil menyepak si belang. Seseorang terus
mendekat ke tempat Ronggur, lalu membisikkan, "Ronggur,
suruh si belang diam."
Ronggur memberi isarat. Sehingga si belang duduk dekat
kakinya dan diam. Dan, sekali sergap saja, ketiga pengawal
yang sedang mengantuk itu tidak berdaya lagi. Mati terbunuh.
Tali temali yang mengikat Ronggur dan T io, mereka putuskan.
Mereka gendong bayi lalu mereka melarikan diri. Orang yang
tidak berpunya dan orang buruan telah menantikan mereka,
bersama bekas Datu Bolon di kaki bukit. Setelah mengucapkan
terima kasih, Ronggur bertanya, "Apa. yang harus kita
perbuat?"
Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan»berkata, "Berita yang
diturunkan para dewata padamu, harus kau sampaikan pada
setiap orang. Tanpa memandang dari marga mana mereka,
dari golongan mana mereka. Kalau sebagian orang tidak mau
merasakan arti yang dikandungnya, tidak dapat menerima
kebenarannya, maka orang yang mau mendengarlah yang
berhak menerima berkat darinya. Mereka inilah orang yang
tidak berpunya, orang buruan ini karena kalah perang, yang
mau mendengarkan berita penemuanmu. Merekalah yang
berhak menerima berkah darinya. Bawalah mereka ke tanah
habungkasan. Sehingga mereka dapat kembali mengecap
alam kebebasan. Dan, otot mereka yang kencang itu dapat
kembali digunakan mengolah tanah."
"Bapak juga harus ikut," kata Ronggur. "Bila mereka
menemui Bapak, Bapak juga hendak mereka tangkap dan
bunuh."
"Ya, Bapak akan ikut. Bapak juga walau dengan berjingkat,
ingin melihat tanah habungkasan dalam kenyataan, karena
aku sudah sering melihatnya dalam mimpiku. Aku ingin
melihat apa yang dibisikkan para dewata padaku."
Bergeraklah mereka malam itu juga. Memegang obor.
Menyuluh jalan jurang dan lembah dalam. Sedang di induk
kampung marga Ronggur, dipalu gong. Membangunkan setiap
orang. Mereka sudah tahu, Ronggur dan Tio bersama anaknya
dan si belang sudah lari. Sidang kerajaan dengan
berangsangan, belum pernah marga kita dihina orang begini
rupa. Ayo, tangkap mereka, bunuh setiap orang yang memberi
bantuan padanya.
Raja Nabegu memerintahkan Hulubalang yang terkemuka,
yang dipercayai beserta laskarnya yang terkenal keberanian
dan kekuatannya, mengejar dan menangkap Ronggur dan T io
kembali. Membunuh setiap orang yang memberi bantuan pada
Ronggur dan Tio.
Sedang Raja Panggonggom, memerintahkan anak lelakinya
yang sulung, anak lelaki Raja Nabegu dan Raja Ni Huta, turut
serta dalam rombongan yang harus menangkap Ronggur dan
Tio serta membunuh setiap orang yang memberi bantuan
padanya.
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, cepat mengusung bangkai
laskar marga yang telah mati ke Sopo Bolon. Di sana
disembayangkan, agar arwah laskar yang wafat itu mengutuk
perbuatan Ronggur dan Tio. Malah dimintanya, agar
mencelakakan Ronggur dan Tio bersama rombongannya.
Kepada ketiga anak raja itu, Raja Panggonggom memesankan
dan mengingatkan bahwa Ronggur punya cukup akal yang
licik. Dia harus diimbangi dengan kelicikan pula. Yang
diharapkan dipunyai oleh anaknya, yang kelak menggantikan
sebagai Raja Panggonggom bila dia wafat.
Di kala fajar pagi pertama menyingsing, bergeraklah orang
yang bertugas memburu rombongan Ronggur. Sedang
Ronggur, tetap menyuruh agar mengadakan tanda, jalan
mana mereka tempuh. Supaya orang yang memburu dapat
mengikuti jejak dan jalan mereka tempuh.
Rombongan terus bergerak. Orang yang memburu juga
terus bergerak. Tempik dan sorak, kemarahan dan hasutan,
dialamatkan pada rombongan Ronggur. Mereka harus
membunuh setiap anggota rombongan Ronggur dan menawan
Ronggur hidup-hidup, untuk dihadiahkan pada sidang
kerajaan. Untuk sama-sama dibunuh oleh tiap warga marga.
Matahari semakin tinggi. Pundak bukit pertama telah
ditaklukkan. Di sana mereka istirahat. Malah bermalam. Pada
pagi berikutnya, rombongan yang memburu telah tampak di
kaki bukit yang mereka taklukkan. Ronggur menyuruh, agar
orang menghidupkan api, mengepulkan asap. Menandakan
pada yang memburu bahwa mereka ada di sana.
Rombongannya merasa aneh juga terhadap tindakan begitu.
Maunya mereka menghilangkan jejak. Ini tidak. Malah
memberitahukan pada musuh di mana mereka berada. Tapi,
karena Ronggur sungguh-sungguh menyuruh, mereka
laksanakan juga dengan sebaik mungkin.
Bila rombongan yang memburu mulai mendaki bukit,
mereka pun mulai bergerak. Tanpa menjatuhkan batu untuk
menghancurkan yang memburu itu. Bila rombongan yang
memburu sudah berada di pundak bukit pertama, rombongan
Ronggur sudah kembali mendaki ke pundak bukit kedua.
Kedua rombongan dapat bertatapan, tapi dipisah lembah yang
dalam.
Matahari kembali melemah. Senja memerah. Kemudian
malam. Rombongan Ronggur istirahat. Begitu pula rombongan
yang memburu. Tidak ada yang berani melanjutkan perjalanan
di malam hari. Takut jatuh ke jurang dalam. Rombongan
Ronggur menghidupkan api unggun. Begitu pula rombongan
yang memburu. Dendam kesumat pada rombongan yang
memburu tambah menghebat, karena merasa diperma inkan.
Sedang Ronggur hanya tersenyum saja.
Bila fajar kembali terbit, rombongan yang diburu dan
memburu kembali bergerak. Begitu terus menerus. Tapi,
Ronggur tetap mengusahakan, agar kedua rombongan selalu
dipisah lembah. Juga diusahakan, agar rombongannya tidak
berada di dasar lembah, bila musuhnya berada di pundak
bukit, hingga musuhnya dapat menjatuhkan batu untuk
membunuh mereka. Begitu terus-menerus. Terkadang antara
kedua rombongan terjadi saling panggil-memanggil. Sambil
hasut menghasut.
Pada hari ketujuh, rombongan Ronggur telah melewati
celah pertemuan bukit, yang merupakan pintu ke tanah
habungkasan. Dari baliknya, dapat dilihat, di bawah melalui
pundak bukit yang menurun tanah habungkasan.
Setiba di balik bukit terus jurang dalam. Lapangan datar
hanya beberapa depa saja. Bermula terus jurang. Harus
memenggok ke kiri, beberapa jauh harus melalui di satu jalan
sempit, yang diapit oleh bukit dan dinantikan mulut jurang
menganga. Baru tiba kembali ke jalan yang agak luas, mula
jalan menurun yang baik menuju tanah habungkasan. Juga
dari sana dapat ditatap air terjun yang memutih. Setiap
anggota rombongan Ronggur kagum menatap tanah datar
yang luas dan hijau di bawah mereka. Setiap orang ternganga
melihat putihnya air terjun yang menerobos bukit sebelah
timur. Lalu setiap orang mengucapkan rasa terima kasihnya.
Dan, setiap orang yang memakai gelang pertanda budak,
disuruh Ronggur membuangnya dan menyampakkannya jauh-
jauh. Ke jurang dalam.
Ronggur menyuruh tiap orang berondok ke sisi bukit.
Mendaki sedikit ke atas. Tiap orang disuruhnya menyiapkan
senjata yang ada di tangan masing-masing. Kemudian orang
yang tidak bersenjata, disuruhnya memilih batu alam, yang
bisa digulingkan. Sedang dua tiga orang, disuruhnya pergi ke
mulut celah bukit. Menantikan rombongan yang memburu.
Memberi tanda pada mereka, agar rombongan yang memburu
itu mendatangi celah bukit.
Semua orang mengerjakan perintah Ronggur. Setiap orang,
baik perempuan. Lengkap senjata terhunus di tangan.
Rombongan yang memburu terus saja mengejar dengan
semangat meluap. Melewati celah bukit. Dan, mereka telah
ada di bawah rombongan Ronggur, pada satu tempat yang
tidak menguntungkan. Mereka terjebak sudah. Dengan
lantang, Ronggur berteriak, "Letakkan senjatamu. Kalau tidak
kamu sekalian akan kami bunuh. Di depanmu jurang dalam.
Boleh pilih, menyerah atau mati."
Rombongan yang memburu mengutuk pada diri sendiri.
Dengan terpaksa harus membuang senjata yang ada di
tangannya. Tapi, di saat begitu, anak Raja Ni Huta, mengambil
kesempatan. Cepat berpaling dan melayangkan tombaknya ke
arah Ronggur. Ronggur cepat berondok ke balik batu alam.
Dan, sebuah tombak balasan melayang ke bawah mengenai
anak Raja Ni Huta, yang lalu jatuh ke mulut jurang dengan
pekikan meninggi. Sekali lagi Ronggur berteriak, "Pilih antara
dua, menyerah atau mati. Kalian semua berada di tempat
yang tidak menguntungkan."
Anggota rombongan yang memburu itu, dengan terpaksa
mencampakkan semua senjatanya ke mulut jurang. Mereka
disuruh Ronggur menghadap ke arah jurang. Lalu kedengaran
suaranya meninggi:
"Kau para lelaki yang kuat. Tapi, yang tidak punya
kekuatan untuk menerima sesuatu warta kebenaran. Justru
karena warta itu bertentangan dengan kepercayaan yang kau
anut selama ini. Lihatlah sekarang dengan mala kepalamu
sendiri, di depanmu jauh di bawah sana, luasnya tanah hijau
yang landai, seperti yang kuceritakan padamu. Dan, di sebelah
kananmu itulah air terjun yang kukatakan."
“Lihatlah, apakah Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung
dunia? Dan, benda memutih dikejauhan yang terus menerobos
ke timur, membelah kehijauan hutan belantara itu, kelanjutan
Sungai Titian Dewata, merambah jalan ke danau yang maha
luas, yang airnya asin, tapi banyak ikannya. Pergunakanlah
mata kepalamu. Dengarlah dengan kupingmu sendiri, derum
air terjun yang jatuh, warta dari mula kehidupan. Apakah
kalian masih belum percaya?”
Orang yang memburu pada terdiam dan tercengang.
Sekarang mereka dengan mata kepala sendiri, telah
menyaksikan kebenaran cerita Ronggur, di saat mereka
terjebak pula. Harus tunduk pada Ronggur. Mulut mereka
ternganga.
Hulubalang yang memimpin rombongan itu, berpaling ke
arah Ronggur. Setelah menundukkan kepala tanda memberi
hormat, dia mengatakan:
"Ronggur, kalau kau sekarang mau membunuh kami, kau
telah bisa melakukannya tanpa sesuatu halangan. Dan, itu
memang hakmu. Tapi matiku telah merasa senang. Justru
karena aku telah melihat kebenaran ceritamu. Aku akan tidak
menyangsikan hidup anakku lagi. Tanah luas masih tersedia
untuk mereka walaupun aku mati. Tanah habungkasanmu,
Ronggur."
Ronggur membiarkan Hulubalang itu terus berkata. Yang
melanjut dengan, "Kami telah me lihat air terjun yang kau
ceritakan. Ujung dunia yang kami sangka selama ini, mula
tanah datar yang maha luas. Hijaunya telah kutatap, dan bau
kesuburan yang mengambang darinya telah kuhirup. Kami
telah mengikuti ajaran yang salah, dan kami tidak punya
kelapangan hati mendengar warta kebenaran darimu. Untuk
itu kami sewajarnya menerima hukuman. Akulah yang
pertama harus kau bunuh. Aku pemimpin rombongan yang
mengejarmu ini."
Seketika keadaan hening. Lama Ronggur menatap
tawanannya yang hendak menangkap pada mulanya. Yang
sebenarnya juga anggota keluarganya. Sesuatu perasaan yang
bertentangan tumbuh dalam dada, sebagian ingin menuntut
balas, tapi sebagian lagi memberi pertimbangan lain. Dalam
keadaan begitulah Ronggur memanggil orang tua, bekas Datu
Bolon Gelar Guru Marsait Lipan ke dekatnya.
"Bapak," katanya, "apa yang harus kuperbuat sekarang?"
Lama orang tua itu terdiam. Baru mulutnya mengatakan,
"Nasib mereka berada di tanganmu. Kau bisa menentukan,
apakah mereka masih berhak hidup atau mati. Tapi, bagi
Bapak, ada sesuatu hal yang menguntungkan dalam saat ini.
Kau telah gagal mewartakan berita penemuanmu secara
langsung. Tapi, sekarang kau memperoleh jalan lain untuk
mewartakannya kepada orang lain di kampung halaman.
Dengan sendirinya pula mewartakan kepada kelompok marga
lain, marga yang masih merdeka."
"Bagaimana caranya, Bapak?"
"Tawanlah anak Raja Panggonggom, anak Raja Nabegu.
Kemudian suruh pulang Hulubalang itu dengan pengiring kecil.
Tugaskan padanya agar dia mewartakan pada kerajaan marga
atas kebenaran ceritamu, kebenaran penemuanmu. Bila
mereka tidak juga mempercayainya, maka nasib anak Raja
Panggonggom dan anak Raja Nabegu, akan sama dengan
nasib Raja Ni Huta."
Tersenyum Ronggur memperoleh saran itu. Lalu
disambutnya, "Saran yang baik. Dan akan kutambahkan
bahwa tidak marga kita saja yang berhak datang ke tanah
habungkasan. Semua marga berhak. Semua orang berhak.
Tidak memandang apakah dia seorang budak, raja atau apa
saja. Semua orang berhak memperoleh tanah, seluas dan
selebar yang sanggup dia kerjakan."
Orang tua itu menundukkan kepala mengiakan.
"Di samping itu," kata Ronggur pula, "aku harus menuntut
pada kerajaan marga, agar mengembalikan tanah
persawahanku, yang dulu disita kerajaan dariku. Itu sangat
penting. Karena bagaimanapun seperti adat kita, sejauh kita
merantau, namun bona nipasogit, tidak boleh dilupakan.
Sesuatu harta pusaka turun-temurun yang mulanya dirambah
nenek moyang, harus dijaga dan dipelihara. Juga segala harta
milik Bapak yang disita dulu, harus dikembalikan. Dan, Bapak
tahu aku telah mengambil T io menjadi istriku."
"Ya, Bapak tahu," sahut orang tua itu cepat. "Dan, itu
sangat baik."
"Karena itu, kesatuan marga Tio sudah menjadi moraku.
Mora yang harus kuhormati."
"Ya, memang begitu menurut adat kita."
"Lalu, aku harus menuntut pula bahwa semua keturunan
marga Tio, harus dibebaskan dari perbudakan. Siapa saja di
antara mereka yang punya hasrat pindah ke tanah
habungkasan harus dibolehkan. Tidak boleh dihalangi. Sedang
orang yang tidak bisa pindah karena sudah tua atau karena
alasan lain, harus dibebaskan dari perbudakan."
Orang tua itu tersenyum. Mengiakan.
Segala hasil pembicaraan disampaikan Ronggur dengan
suara lantang pada Hulubalang. Itulah sarat yang harus
disampaikan Hulubalang pada kerajaan marga. Yang
ditambahnya pula:
"Dalam jangka dua purnama, utusan kerajaan sudah harus
ada yang datang menemui mereka ke tanah habungkasan.
Mewartakan, apakah saran itu diterima atau tidak. Utusan
kerajaan marga, boleh kelak menempuh jalan yang mereka
tandai."
Hulubalang itu menyanggupi akan menyampaikan pesan.
Malah dengan sadar dia menambahkan, "Karena aku sendiri
telah melihat kebenaran ceritamu, kebenaran penemuanmu,
tanpa sarat itu pun, aku akan bekerja keras menginsafkan
orang. Berilah kesempatan padaku, untuk berbakti."
Lima orang dari anggota yang memburu itu, ditunjuk
Ronggur mengiringi Hulubalang menuju kampung halaman.
Yang lima orang itu pun telah bersedia menjadi saksi atas
kebenaran penemuan Ronggur. Sedang rombongan Ronggur,
ditambah pasukan kerajaan marga yang sudah insaf menuju
ke timur, ke tanah habungkasan.
Kemudian rombongan lain bertambah banyak menuju
tanah habungkasan. Selalu mereka mengadakan upacara di
pangkal sungai, mempertebal keyakinan bahwa mereka akan
dituntun para dewata dan arwah nenek moyang ke tanah
habungkasan. Baik melalui sungai atau jalan darat. Sejak itu,
nama tempat itu mereka sebut Porsea.
Jalan tempuhan, tambah lama, tidak hanya yang dirintis
Ronggur saja yang mereka kenal. Tapi, telah terbuka
tembusan jalan baru. Daerah lain tambah banyak ditemui. Bila
mereka sudah sampai di tempat yang mereka namakan
Parhitean, mereka terus pergi ke arah timur, akan tiba ke
tanah habungkasan yang ditemui Ronggur, di mana
rombongan Ronggur membuka perkampungan.
Bila mereka dari Parhitean menuju ke utara, mereka akan
tiba ke Daerah T angga. Dari sana dapat mereka tatap pundak
bukit yang tiga, lalu mereka namakan itu Tiga Dolok. Dari
sana terus menembus ke daerah Simalungun. Bila terus
menyusur bukit sebelah barat, bisa mereka buka dua
persimpangan. Satu menuju Tanah Karo, satu lagi menuju
Dairi-Pakpak. Dari Dairi, bisa turun kembali ke Pulau Samosir.
Dari T iga Dolok, dapat mereka kenal pundak bukit yang ada di
bagian pundak mereka, pundak bukit di lingkungan Danau
Parapat. jadi bila mereka menuju ke sana, kembali tiba ke
lingkungan Danau Parapat.
Dari Parhitean, bila mereka memenggok ke selatan, mereka
akan tiba ke Parsoburan. Terus ke selatan, sampai ke daerah
perbatasan Sumatera Barat, yaitu Rao-Rao. Bila mereka
meneruskan perjalanan, tiba ke dataran tinggi Bonjol. Sedang
bila kembali ke arah utara dari Rao-Rao, berarti turun ke
daerah Mandailing Raja. Menembus terus ke daerah Angkola-
Sipirok-Pahae dan tembus ke Silindung, Tarutung. Lalu bisa
kembali ke Toba.
Dari Mandailing, bila mereka terus menurun, mereka
menemui pula sebuah danau yang luas, airnya asin, berteluk
indah, pesisir Sibolga. Di sini mereka bertemu dengan
rombongan yang sejak Parsoburon terus mengarah Barat.
Dan, telah menaklukkan pegunungan Pangaribuan, menurun
ke pesisir Barus. Sedang rombongan yang berangkat dari
Pangoruran Samosir, bila menuju ke arah barat, akan
menaklukkan pegunungan sebelah barat. Mereka tiba ke
Pangkat, terus menurun dari sana ke pesisir Barus.
Dari pesisir Sibolga, bila mereka kembali mendaki
pegunungan utara, tembus pula ke Rura Silindung, Tarutung.
Dari sana, pundak pegunungan Toba telah dapat mereka tatap
dan kenal kembali. Dari Angkola, yaitu dari Tor Simago-mago,
bila menembus ke selatan teru s, akan tiba ke daerah dataran
yang luas. Padang Lawas. Terus ke selatan, mereka bisa
bertemu dengan orang yang berangkat menuju tanah
habungkasan yang ditemui Ranggur, daerah Asahan-Labuhan
Batu.
Kemauan mempertahankan dan melanjutkan kehidupan,
sampai bersedia mengorbankan pertarungan demi
peperangan, yang tidak sedikit mengorbankan nyawa, telah
dialihkan semangatnya untuk menaklukkan pundak demi
pundak bukit. Menerobos celah pertemuan bukit memanjang,
merambah jalan di bawah naungan dedaunan belantara yang
menghijau lebat, untuk menemui dataran luas, dataran lain,
berhutan subur, dan punya binatang buruan yang jinak lagi
banyak. Untuk menemui danau yang maha luas, yang
menyimpan ikan banyak. Airnya asin mengandung garam.
Semuanya untuk kelanjutan kehidupan dan
mengembangkannya.
ccdw-kzaa

Daftar Istilah
Ambalang= tali pelempar batu
Ama Ni Bolpung= ayah si Bolpung
Ampangngardang= juru perdamaian
Ampataga= nama sejenis tumbuhan biasa dipakai untuk
obat (luka)
Berandak= bersembunyi/berlindung
Bernas= berisi/berarti
Bolatan= destar
Bona Ni Pasolgit= kata ganti untuk kampung
halaman
Buhul = ikatan
Bungkas= pindah
Burung Ambaroba= burung pemakan padi, berdada
kuning
Curup= cerutu
Dibuhul= diikat
Dolok= gunung
Gelagah= rumput yg panjang
Habungkasan= tanah baru
Luhak= daerah
Mora= keluarga pihak isteri
Mula Jadi Na Bolon= T uhang Yg Maha Esa
Parhelaan= pesta adat (hela= menantu pria
Parhitaan= jembatan/perantara
Pargaul=luwes
Pargounci= grup yg memainkan gondang
Patentengan= sombong
.... tidak terbaca sobek...
Pisau Gajah Lompak= pedang sakti
Pohon Hariara= pohon beringin
Purada= jumbai-jumbai warna keemasan pada ulos
Raja Ni Huta= kepala kampung
Sampuran Harimau= air terjun si harimau
Sopo Bolon= rumah besar (rumah adat)
Sanduduk = rumput putri malu
Temterasan= lari kucar kacir
Terhempang= terhampar
Terpacak= tertanam/terpaku
Tuhil= pahat
Tongkat Panaluan= tongkat kepala adat (marga)
Ura= makanan khas Batak; terdiri dari bermacam daun
mentah, antara lain daun pepaya serta gula merah dan lain-
lain.
ccdw-kzaa

Anda mungkin juga menyukai