BAB I
PENDAHULUAN
dari pelepah kelapa sawit dengan penambahan variasi perbandingan maizena dan
gliserin dengan hasil yang baik dengan degradasi ditimbun dalam tanah
menunjukkan 80% (Ramadhan, dkk, 2017).
Berdasarkan data BPS 2016 luas perkebunan perkebunan kelapa sawit di
Provinsi Riau terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2016 luas perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Riau 2.430.508 ha dan pada tahun terakhir 2017
meningkat menjadi 2.493.176 ha. Setiap pohon kelapa sawit mampu
menghasilkan 22 pelepah/tahun dan rata – rata bobot pelepah per batang mencapai
2,2 kg (Ali dkk, 2017). Selulosa merupakan biopolimer potensial yang memiliki
serat yang bagus sehingga dapat digunakan bahan dasar dalam berbagai
biopolimer. Selulosa dapat diperoleh dari ekstraksi tanaman berdasarkan asumsi
seperti pelepah kelapa sawit. Menurut Padil (2010), pelepah kelapa sawit
merupakan limbah pada sawit yang sangat potensial untuk digunakan sebagai
bahan baku utama selulosa merupakan salah satu golongan karbohidrat penyusun
tumbuhan dan dapat di konversi menjadi berbagai macam senyawa kimia lain.
Menurut Astuti (2018), kadar selulosa pelepah kelapa sawit dibagian pangkal dan
tengah mendapatkan hasil yang baik yaitu 45,76 %.
Berdasarkan uraian diatas peneliti menitik beratkan pada sintesis dan
karakterisasi selulosa asetat dari pelepah kelapa sawit untuk diaplikasikan plastic
biodegradable ramah lingkungan yang memvariasikan selulosa, tepung, dan
gliserol dengan berbagai macam tepung dari penelitian sebelumnya yaitu
(Ramadhan, 2017), hasil yang terbaik perbandingan 4:2:1 di uji kuat tarik.
Penelitian ini akan menggunakan perbandiangan tepung tapioka dan tepung
meizena.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana cara pembuatan selulosa dari pelepah kelapa sawit dengan
penambahan tepung tapioka dan tepung maizena, plasticizer gliserol sebagai
plastik ramah lingkungan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bahwa nutrisi pelepah kelapa sawit terdapat 5,8% protein kasar, 1,07%
lemak, 48,6% serat kasar, 3,3% abu dan 29,8% total digestible nutrient. Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa komponen penyusun terbesar dari pelepah kelapa
sawit adalah serat kasar. Serat kasar dalam pelepah kelapa sawit terdiri dari
selulosa, hemiselulosa, lignin dan lainnya. Komposisi kimia pelepah kelapa sawit
dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.2. Selulosa
Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air dan
ditemukan di dalam sel pelindung tanaman, terutama pada tangkai, batang, dahan
semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Senyawa ini termasuk suatu
polisakarida yang tak larut dalam air dan 10 merupakan zat pembentuk kulit sel
tanaman. Selulosa terdapat lebih dari 50% dalam kayu, berwarna putih,
mempunyai kulit tarik yang besar. Selain terdapat dalam kayu, selulosa
jugaterkandung dalam beberapa tanaman lain seperti pelepah pohon pisang dan
sekam padi. Umumnya, masyarakat kurang memperdulikan pelepah pohon pisang
terutama setelah pohonnya berbuah, demikian juga dengan sekam padi, padahal
dalam kedua bahan tersebut terkandung selulosa dalam jumlah yang cukup besar
(Octaviana, 2017).
Terdapat dua sumber utama selulosa yaitu tumbuhan dan serat selulosa yang
dihasilkan oleh bakteri disebut Bacterial Celluloses (BC). Serat selulosa yang
dihasilkan dari tumbuhan memiliki keunggulan yaitu jumlah bahan baku yang
sangat melimpah dan mudah didapat, tetapi untuk mengambil selulosa dari
tumbuhan perlu dilakukan beberapa proses yang sedikit rumit. Hal ini terjadi
karena selulosa digunakan sebgai penyusun dinding sel tumbuhan, sehingga untuk
mengambilnya dari sel tumbuhan harus dilakukan pengekstrakan dan pemurnian
lebih lanjut.
Selulosa pada tumbuhan terdapat pada beberapa bagian seperti pada batang
dan bagian lain. Bagian tubuh tumbuhan umumnya tidak hanya mengandung
selulosa tetapi juga lignin dan hemiselulosa, lignin membungkus selulosa oleh
karena itu untuk tahap ekstraksi serat lignin perlu membungkus selulosa oleh
karena itu untuk tahap ekstraksi serat, lignin perlu dilarutkan terlebih dahulu.
Pelarutan lignin ini menghasilkan bahan yang hanya mengandung serat selulosa
dan hemiselulosa (Putera, 2012).
2.3. Selulosa Asetat
Selulosa asetat adalah selulosa yang gugus hidroksilnya diganti oleh gugus
asetil. Selulosa asetat berbentuk padatan putih, tak beracun, tak berasa, dan tak
berbau. Selulosa asetat mempunyai nilai komersial yang tinggi karena memiliki
karakteristik fisik dan optik yang baik, sehingga banyak digunakan sebagai serat
untuk tekstil, filter rokok, plastik, film fotografi, lak, pelapis kertas, dan membran
(Souhoka dan Fanesa, 2018).
Selulosa asetat juga merupakan ester organik yang berupa padatan putih tidak
berbau, tidak beracun, dan tidak berasa, yang dibuat dengan mereaksikan selulosa
dengan anhidrida asam asetat dan asam sulfat sebagai katalis Reaksi ini dikenal
sebagai reaksi esterifikasi, yaitu substitusi atom hidrogen pada gugus hidroksil
oleh gugus asetil dari anhidrida asam. Selulosa asetat bersifat tidak mudah
terbakar dibandingkan dengan selulosa nitrat sehingga selulosa asetat lebih
disukai. Salah satu jenis polimer yang banyak digunakan dalam berbagai industry
terutama industri serat dan plastik adalah selulosa asetat (SA). SA merupakan
selulosa ester berbentuk padatan putih, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
beracun. SA biasa dibuat dari kapas dan pulp kayu. Pembuatan SA melalui proses
larutan yang terbagi atas tiga tahap yaitu tahap awal, tahap asetilasi, dan tahap
hidrolisis. Di indonesia, SA masih harus diimport dari luar negeri sehingga
memerlukan biaya yang mahal. Untuk itu perlu dilakukan upaya mendapatkan
sumber alternatif bahan dasar SA dengan memanfaatkan bahan dasar yang
tersedia di indonesia (Widyaningsih, 2007).
2.4. Pati
Ritonga (2018) Pati bagian utama polimer dengan dua glukosa (amilase dan
amilopektin) spasial yang diatur dalam butiran dan morfologi, komposisi kimia
dan pengaturan yang relatif makromolekul dalam keadaan padat tergantung dari
sumber botani. Proporsi relatif dari amilase dan amilopektin dan susunannya
dalam butiran padat yang menentukan fisikokimia dan fungsional sifat pati, serta
gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserin merupakan
jenis pelarut yang baik (Yusmarlela, 2009).
Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer dan film hidrofilik, seperti film
berbahan dasar pati, gelatin, pektin, dan karbohidrat lainnya termasuk kitosan.
Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus.
Gliserol adalah molekul hidrofilik yang relatifkecil dan dapat dengan disisipkan di
antara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan amida. Gliserol
dapat meningkatkan pengikatan air pada edible film. Gliserol merupakan cairan
yang memiliki kelarutan tinggi, yaitu 71 g/100 g air paada suhu 250C. Biasanya
digunakan untuk mengatur kandungan air dalam makanan dan mencegah
kekeringan pada makanan (Ginting, 2012).
2.6. Bioplastik
Bioplastik merupakan nama lain dari plastik biodegradable, plastik yang
dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai
oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida
setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat
kembali ke alam. Plastik biodegradable merupakan bahan plastik yang ramah
lingkungan. Plastik biodegradable adalah polimer yang dapat berubah menjadi
biomassa, H2O, CO2 dan atau CH4 melalui tahapan depolimerisasi dan
mineralisasi (Ardiansyah, 2011).
Bioplastik atau plastik organik adalah bahan polimer yang diperoleh dari
sumber biomassa terbarukan seperti minyak sayur, pati jagung, pati kentang dan
pati kacang, tidak seperti plastik bahan bakar fosil yang berasal dari minyak bumi
(Kipngetich, dkk. 2013). Bioplastik juga merupakan plastik yang dapat
diperbaharui karena senyawa - senyawa penyusunnya berasal dari tanaman seperti
pati, selulosa, dan lignin serta hewan seperti kasein, protein dan lipid (Aveirus
2004). Bioplastik dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori berdasarkan
komposisi kimianya, asal, dan metode sintesis, yaitu (Utami, 2014):
1. polimer langsung dari biomassa (misalnya pati, protein, selulosa)
2. polimer yang dihasilkan oleh sintesis kimia dari monomer bioderived
(misalnya PLA, berbasis bio PE)
Keterangan:
Ɛ = elastisitas/regangan (%).
Ɩ𝑜 = panjang mula-mula material yang diukur (cm).
∆Ɩ = pertambahan panjang (cm).
Kuat tarik dapat diukur berdasarkan beban maksimum (Ϝ𝑚𝑎𝑘𝑠) yang
digunakan untuk mematahkan material dibagi dengan luas penampang awal (∆𝑜)
yang ditunjukkan pada Persamaan 2.2 berikut:
Ϝ𝑚𝑎𝑘𝑠
𝜎= ∆0
Keterangan:
𝜎 = kuat tarik (kgf/cm2).
Ϝ𝑚𝑎𝑘𝑠 = beban maksimum (kgf).
∆0 = luas penampang awal.
(Marbun 2012).
2.7.2. Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy)
Struktur morfologi film dianalisis menggunakan scanning electron
microscopy. Sampel dipotong dengan ukuran yang kecil dan di letakkan pada
karbon tape. Hasil analisis SEM juga memperlihatkan penyebaran partikel pengisi
pada matriks sehingga dapat diketahui distribusi partikel pengisi pada matriks
tersebar dengan merata atau tidak (Marbun 2012).
2.7.3. Karakterisasi Biodegradabilitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui biodegradabilitas dari
bioplastik yang dihasilkan adalah pengujian soil burial test. Pengujian ini berguna
untuk mengetahui laju degradasi sampel dengan berbagai variasi sehingga waktu
yang dibutuhkan sampel tersebut untuk diuraikan oleh mikroorganisme dalam
tanah dapat diprediksi (Marbun. 2012).
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.3.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu natrium hidroksida,
natrium hikloporit, asam asetat, anhidra asetat, asam sulfat, gliserol, tepung
meizena, tanah kebun dan kotoran sapi.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Prosedur Keselamatan Kerja
Adapun prosedur keselamatan kerja yang harus diperhatikan yaitu:
1. Alat keselamatan kerja
Didalam ruang laboratorium harus sudah tersedia seluruh alat keselamatan
kerja, supaya saat terjadi kecelakaan bisa diatasi dengan pertolongan
pertama. Berikut adalah alat-alat keselamatan yang ada di laboratorium:
pemadam kebakaran, water shower, kotak P3K, jas laboratorium, kapas,
plaster pembalut, dan peralatan pembersih.
2. Cara memindahkan bahan kimia
Sebelum memindahkan bahan kimia, hal yang harus diperhatikan adalah
mengetahui segala informasi tentang bahan kimia yang akan digunakan.
Pindahkanlah sesuai kebutuhan dan jangan berlebihan. Bila ada sisa bahan
kimia, jagan dikembalikan ketempat semula karna dapat menyebabkan
kontaminasi pada bahan kimia.
Memindahkan bahan kimia berwujud cair dengan menggunakan batang
pengaduk atau pipet tetes. Hindari percikan karena bisa menyebabkan
iritasi pada kulit. Perhatikan menaruh tutup botol diatas meja supaya tutup
botol tidak kotor oleh kotoran diatas meja.
Untuk memindahkan bahan kimia yang berwujud padat, gunakan sendok
atau alat lainnya yang tidak terbuat dari logam. Hindari menggunakan
sendok untuk mengambil beberapa jenis zat kimia supaya terhindar dari
kontaminasi.
3. Pembuangan limbah
Seperti yang kita ketahui bahwa limbah dapat mencemari lingkungan.
Maka dari itu kita perlu memahami limbah tersebut dengan tepat. Untuk
limbah kimia hendaknya dibuang di tempat khusus karena beberapa jenis
zat kimia sangat berbahya bagi lingkungan. Sebaiknya pisahkan limbah
organik dan anorganik supaya pengolahan sampahnya lebih mudah.
3.4.2. Prosedur Kerja
3.4.2.1. Preparasi Sampel
Bahan baku yang digunakan yaitu limbah pelepah kelapa sawit kemudian
dipotong-potong kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering
dan dipotong kecil-kecil kurang lebih berukuran 10 cm.
3.4.2.2. Pembuatan larutan Natrium Hidroksida (NaOH) 4%
Natrium hidroksida ditimbang sebanyak 4,0 g, kemudian dilarutkan dalam
akuades secukupnya sampai volume 100 ml.
3.4.2.3. Pembuatan larutan Natrium Hidroksida (NaOH) 17,5%
Natrium hidroksida ditimbang sebanyak 17,5 g, kemudian dilarutkan
dalam akuades secukupnya sampai volume 100 ml.
3.4.2.4. Pembuatan larutan Hidrogen Peroksida 10%
Larutan pekat natirum hipoklorit (50%) diambil sebanyak 20 ml kemudian
dilarutkan ke dalam air suling ke labu ukur 100 ml sampai tanda batas.
3.4.2.5. Proses Delignifikasi dan Ekstraksi Selulosa dari Sampel Pelepah
Kelapa Sawit (Sinurat, 2018).
Sebanyak 25 gram sampel hasil pengolahan seperti cara di atas
ditambahkan dengan 150 mL larutan natrium hidroksida 4%, dipanaskan pada
suhu 50ºC selama 1 jam. Kemudian dicuci, disaring dan diputihkan dengan 200
mL campuran larutan hidrogen peroksida 10%. Didihkan selama 3 jam, campuran
dicuci dan disaring.
Selulosa yang didapat dari pelepah kelapa sawit ditambah dengan 200
mL natrium hidroksida 17,5% dipanaskan pada suhu 80ºC selama 30 menit.
Hasilnya kemudian dicuci bersih dengan air. Lalu ditambah dengan campuran
hidrogen peroksida 10% dipanaskan pada suhu 100ºC selama 1 setengah jam.
Kemudian dicuci dengan air suling dan disaring, lalu dikeringkan pada suhu 60ºC
dalam oven. Maka diperoleh α selulosa.
3.4.2.6. Proses Pembuatan Selulosa Asetat Dari Limbah Pelepah Kelapa
Sawit (Asparingga dkk, 2018).
Selulosa asetat diperoleh dengan metode asetilasi. Selulosa yang telah
didapat selanjutnya ditimbang 5 gram dan dimasukkan kedalam labu leher tiga
kemudian ditambah asam asetat sebanyak 125 mL direfluks serta diaduk dengan
magnetik pada suhu 350C selama 45 menit. Setelah 45 menit asam asetat
ditambah 12 mL dan 1 tetes H2SO4 sambil di aduk selama 1 jam. Kemudian
dinginkan sampai suhu 200C, setelah suhu dingin ditambahkan sedikit demi
sedikit anhidra asetat dan 5 tetes H2SO4.
3.4.2.7. Proses Pembuatan Bioplastik dari Selulosa Asetat (Dewi dkk, 2017).
Pembuatan bioplastik dilakukan dengan pengukuran filtrate selulosa
asetaat lalu ditambahkan tepung tapioka dan tepung maizena kemudian gliserol
dengan perbandingan 4:2:1 kedalam wadah, dipanaskan dengan suhu selama 30
menit sambil diaduk, kemudian di tuang kedalam cetakan, selanjutnya dilakukan
proses pengeringan pada suhu 65 ̊C selama 6 jam, setelah kering lembaran
bioplastik didiamkan selama 24 jam pada suhu ruangan dan pengambilan
lembaran bioplastik dari cetakan.
3.4.2.8. Prosedur Pengujian Scanning Electron Microscope (SEM)
Karakterisasi uji sem untuk sampel dilakukan pada tegangan 22 kV dan
perbesaran 2000X, 1000X, 500X, dan 250X untuk mengetahui frofil morfologi
dan informasi kritalografi dari bioplastik yang dibuat.
3.4.2.9. Pengujian Uji Kuat Tarik
Sampel dibentuk dengan ukuran sampel standar sebesar 1,5 × 7 cm dengan
metode ASTM d-638 untuk plastik. Kemudian dilakukan pengujian dengan cara
kedua ujung di jepit dengan mesin penguji tensil. Sehingga diperoleh panjang
awal dan panjang akhir / elongasi (cm) serta nilai kuat tarik (Kg.F). perlakuan
setiap sampel uji dilakukan duplo dengan cetakan dan volume yang sama lalu
dianalisis kesesuaian antara beberapa data yang sama kemudian dilakukan secara
berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., Tarmizi, M., dan Febrina, D. 2017. Fraksi serat pelet silase pelepah kelapa
sawit (Elais guineensis) dan indigofera (Indigofera zollingerigna) dengan
komposisi yang berbeda, Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan
Veternier 2017 : 648-655.
Asparingga., Hesti., Intan Syabanu., Andi Hairil., dan Alimuddin. 2018. Pengaruh
volume anhidra asetat pada sintesis selulosa asetat dari sabut kelapa
(Cocosnucifera L.). Jurnal Kimia Khatulistiwa, 3(7): 10-17.
Astuti, Sri., Ridwan Yahya., dan Sundaryono. 2018. Analisa kadar komponen
kimia pelepah kelapa sawit varietes dura sebagai bahan baku pulp yang
diterapkan pada pengembangan kimia. Journal of Science Education, 1(2):
69-75.
Aveivus, L. 2004. Biodegradable multiphase system based on plasticized starch. A
Review Jurnal of Macromoleculer Science – Part C Polymer Review, 3(4)
:231-273.
Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jendral
Perkebunan, Jakarta.
Dewi, N. L. G. S., Admadi, B., Hartiati, A. 2017. Karakteristik bioplastik alginate
dari rumput laut Ulva lactura (tinjauan suhu dan lama gelatinitas). Jurnal
REKAYASA dan MANAJEMEN Agroindustri, 3(5) : 66-73.
Ginting, A. 2012. Pemanfaatan gliserol dan turunannya sebagai plasticizer pada
edible fiml gelatin yang inkorporasi dengan minyak atsiri kulit kayu manis
(Cinnamomum burmammi) sebagai anti mikroba. Disertasi. Universitas
Sumatra Utara, Medan
Haryanto., dan Titani, F. R., 2017. Bioplastik Dari Tepung Tapioka dan Tepung
Maizena. Techno, 1(18): 1-6.
Kipngetich, T., dan Hillary, M. 2013. A blend of green algae and sweet potato
starch as a potential source of bioplastic production and its significance to
the polymer industry. International Journal of Green and Herbal Chemistry,
1(2) : 15-19.
Marbun, E. S. 2012. Sintesis bioplastik dari pati ubi jalar menggunakan penguat
logam zno dan penguat alami selulosa. Skripsi. Universitas Indonesia,
Depok.
Melani, A., Netty, H., Fari,. K. A. 2017. Bioplastik pati umbi talas melalui proses
melt intercalation (kajian pengaruh jenis filler, konsentrasi filler, dan jenis
plasticizer). Distilasi. 2(2) : 53-67.
Mostofa, N. A., Awater, A. F., Hala, M. A., Aghareed, M. T. 2018. Production of
biodegradable plastic from agricultural wates. arabian journal of chemistry,
11 : 546-553.
Nahir, N. 2017. Pengaruh penambahan kitosan terhadap karakteristik bioplastik
dari pati biji asam (Tamarindus indica L). Skripsi. UIN Alauddin, Makasar.
Oktaviana, M. 2017. Optimasi preparasi mikrokristalin selulosa dari sekam padi
menggunakan H2O2 dan NaOCl untuk sintesis CMC (Carboxy Methyl
Cellulose). Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
LAMPIRAN
Pembuatan Pembuatan
Persiapan alat
larutan NaOH larutan NaOH
dan bahan
4% 17,5%
Proses Pembuatan
Proses
delignifikasi larutan
pembuatan
dan ekstraksi hidrogen
selulosa asetat
selulosa peroksida 10%
Dipotong kecil-kecil ± 10 cm
Ditimbang NaOH 4 gr
2.5. Proses Delignifikasi dan Ekstraksi Selulosa dari Sampel Pelepah Kelapa
Sawit
Dikeringkan
Ditambah larutan Dipanaskan pada Dicuci dengan
pada suhu
hidrogen peroksida suhu 100˚C air suling dan
60˚C dalam
10% selama 30 menit disaring
oven
Setelah kering
didiamkan selama
24 jam pada suhu
ruangan
Sampel diambil
analisis data
Disiapkan
kompos yang Ditimbun sampel
diamati selama 3
terdiri dari dengan
hari
kotoran sapi dan pengomposan
tanah kebun